Organized by:
Heri Pemad Management
Yayasan Hita Pranajiwa Mandaya
JAW | JOGJA ART WEEKS
Published by:
Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jalan Cendana 11 Yogyakarta 55166 Indonesia
Phone: +62 274 562628
www.jogjaartweeks.com
© 2022
Preface III
Timeline V
Chart IX
Agenda
Maret 2
Mei 4
Juni 7
Juli 10
Agustus 41
September 58
Art Map
Yogyakarta 63
Magelang 65
Artikel 68
Museum 126
WHY 26 26
NAPAK:
25 26
Let’s Play Again!
REJUVENATE 28 31
Narasi 12 12
COLLAGE & 26 20
DESTROY
Interlude 1-7
Jiwa yang
Tersembunyi 1-10
Terminal
Happy Colour 1 7
Broken White
Project #11 1 12
Titik Balik 3 3
Fragile Gift 6 2
Homo Jagad
Owah Gingsir 6 13
OFFBEAT 7 6
Buka Pintu 7 7
ART TRANSMISSION,
ART CURRENCY 7 31
ARTJOG MMXXII
Arts In Common: 7 4
Expanding Awarness
Double Horizon 8 4
Breaking Light:
Pre-launch of 9
Masriadi NFT
Sinom Ing
9-23
Mongso Ketigo
Potret Malam
14 11
Affandi
Exposure 15-17
Erlangga Art
Award Goes to 16-23
Jogja 2022
The Other Side;
Grass Is Always 16-31
Greener
“Innocent Entrance”
Santi Saned Solo 16 13
Exhibition
Borderless
Space 16 16
Dari Titik ke
Penguatan Keluarga 17-24
YADAYUDA DAYUDAYA
(Untitled Javanese Soul) 17 7
“Silang Saling:
18-28
Titian dan Undakan”
Taman Rasa 19 2
MADYAPADA 23-30
PROSAIC PETIC - 23 12
NESOS
Gelar Gulung 29 5
Memory 26 26
Transformed
Punguti, Kelola,
1-31
Karyakan
Preservation 1-31
6-31
in Advance
Tranfigurasi
Wayan Sudar 8 12
Keris dalam 12 12
Gambar
Konvergensi: 12 12
Pasca-Tradisionalisme
In Divide 12 12
Individuals
Solo Exhibition
Bintang Tanatimur 17-28
"17"
INDPRINT 17-31
Head Down 17 7
Artepack 20-31
Gamarupa: 17 7
Delineation
Tilik Konco 29 12
Daur 30 12
Festival Film
Sewon Screening 27 1
Weave of Hope 27 1
Pam
era
nA i
rsip Sen
NFT E t i val
Fes
vent
51 Submit 2 Submit
2 Submit 1 Submit
27 Submit 22 Submit
Kota Yogyakarta Bantul
5 Submit 2 Submit
Sleman Kota Magelang
1 Submit
Surakarta
Jl Urip Sumoharjo 37
Yogyakarta 55222
Opening Hours
10.00 - 23.00 WIB
Penyelenggara
ARTOTEL SUITES BIANTI
YOGYAKARTA
Dates Narasi
Ruang dan Ekosistem
12 Juni - 12 Juli 2022
Bagaimana sebuah ruang bisa
Location mengingatkan dan mendeklarasikan
sebuah makna makna dan pesan dari
Studio Omah Gunung persoalan-persoalan di luar ruang?
Karya-karya di dalam ruang acap kali
Pangol, Payak Tengah RT. 2, adalah pokok-pokok persoalan di luar
ruang itu sendiri. Menariknya adalah
Srimulyo, Piyungan bagaimana ketika berada di dalam ruang
tersebut akan membawa ke dalam
Opening Hours ritus perenungan dan pengembaraan
imajinasi, jauh melampaui wilayah dan
10.00 - 20.00 WIB batas-batas persepsi. Untuk kali ke-4
ini, para perupa yang tergabung dalam
Penyelenggara kelompok Fajar 95, yang sebagian besar
adalah Alumni SMSR dan juga beberapa
Kelompok Fajar 95 Seniman Perupa yang lain merespon
keberadaan Ruang, sebagai kaitan
hubungan timbal balik dengan persoalan
di luar ruang.Konsep yang kurang lebih
sama dengan narasi Ekosistem, yang
menciptakan tatanan
Kesatuan dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan yang saling
mempengaruhi. Perhelatan yang digelar
di Omah Gunung bukit Pangol yang juga
adalah Studio dari salah satu pelukis
yang tinggal di Yogyakarta ini, menjadi
ruang dan tujuan yang diharapkan akan
mewakili momentum dan mengawali
atmosfer perubahan-perubahan yang
lebih baik setelah Pandemi melanda.
Penyelenggara
AKAR KUAS ART GROUP
Opening Hours
10.00 - 15.00 WIB
Penyelenggara
Ramadhyan Putri
Penyelenggara
Limanjawi Art House
NFT EVENT
Breaking Light: Pre-launch of
Masriadi NFT
Dates Renowned painter Nyoman
9 Juli 2022 Masriadi is working with
EquatorNFT to bring his iconic
Location superhero to life. Breaking Light:
Pre-launch of Masriadi NFT
Langgeng Art Foundation
promises to excite with a preview
of Masriadi’s first NFT project
Jl. Suryodiningratan and what’s in store for collectors.
No.37, Suryodiningratan, The day-long event includes
Kec. Mantrijeron, Kota two panel discussions themed
Yogyakarta, Daerah on looking beyond the NFT hype
Istimewa Yogyakarta 55141 with speakers who will offer
insider and industry views.
Opening Hours
10.00 - 17.00 WIB
Penyelenggara
EquatorNFT
Penyelenggara
Trio Berdua
Penyelenggara
Santi Saned
Penyelenggara
PT. Penerbit Erlangga
Opening Hours
10.00 – 18.00 WIB
Penyelenggara
Mahdi
PAMERAN
PAMERAN
SENI
ARSIP
RUPA
Gelar Gulung
Opening Hours
11:00 – 21:00 WIB
Penyelenggara
Sanggar Seni Kinanti Sekar
Opening Hours
10.00 – 16.00 WIB
Penyelenggara
Kiniko Art
Opening Hours
11.00 - 20.00 WIB
Penyelenggara
Rosan Production
Penyelenggara
Cerobong Art
Opening Hours
08.00 - 23.00 WIB
Penyelenggara
Penyelenggara
G-Printmaking Art Studio
Opening Hours
10.00 - 18.00 WIB
Penyelenggara
UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA
PEMUTARAN FILM
Festival Film Sewon Screening
CS1
EU1
EV1
EV2
FV1
EW1
EW2
DW 1
CW 1
DW 2
AW1
DW 3
DW4
EX1
DX1
CX1 GX1
CX2
EX2
BX1
DY2 DY1
DY9
DY3
BY1
CY1 DY10
CY2 DY8 DY4
CY3 EY1
DY5
DY7 EY2 EY3
DY6
BY2 CY5 CY4
EY4
CY6 DY11
BY3 BY4
CY7
GY1
DZ2
DZ1
BZ1
BZ2
www.jogjaartweeks.com 63
AW1 Museum HM Soeharto EX1 Museum Dewantara Kirti Griya CW1 Jogja National Museum CY7 Gajah Gallery
EW2 Museum Sasmitaloka Pangsar Jendral FV1 Raintree Villa dan Galeri
Sudirman CY6 Galeri Lorong DZ2 Pendhapa Art Space
EZ1
DV1
www.jogjaartweeks.com 65
CT1 Museum OHD DV1 Goni Common Space
HOSPITAL (MAGELANG)
Pada sore yang cerah, ketika duduk di tangga kuning ikonik, ataupun
berada di tatanan khusus meja dan kursi, Anda bisa merasakan satu
dari pengalaman indah. Diterpa cahaya matahari menembus dari
pohon yang bersaksi atas peristiwa-peristiwa seni legendaris. Titik-
titik sinarnya menyoroti graffiti Tuyuloveme sepanjang 10-an meter,
menjadikan gambar lebih hidup. Berpadu dengan lanskap olahan
arsitektur 60-an, serta lalu lalang dan lingkaran warga fashionable
2022, yang berbelanja menggunakan barcode. Ini adalah pengalaman
seni dalam pengertian luas. Kiranya, jutaan foto-video telah
mengabadikan dan mewartakan tempat ini.
Sore itu, 26 Juni 2022, adalah hari penuh persiapan bagi Karim
dan teman-teman kolektif seninya, Titik Kumpul Forum, untuk
melangsungkan pembukaan pameran yang terinspirasi dari fenomena
populer di twitter bertajuk “From This to This”. Titik Kumpul Forum
beranggotakan 14 orang, mereka adalah mahasiswa seni angkatan
2019 dari Jurusan Seni Murni, baik konsentrasi Lukis dan Grafis.
Adapun Tarisya Amalia dari Tata Kelola Seni berlaku sebagai Manajer
Pameran.
Selama kurun 5 tahun terakhir, jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta
secara strategis hadir mengisi praktik-praktik kerja manajerial seni.
Kini Anda bisa dengan mudah menemukan peran dan kerja mahasiswa
atau lulusan Tata Kelola Seni di berbagai perhelatan kesenian, ini
memang fenomenal! secara khusus Jogja. Manajer pameran seperti
Tarisya penting untuk menyampaikan pidato terkait proses persiapan
pameran.
Sebagai perupa muda “kami secara kolektif butuh mencari relasi dan
teman baru,” maka keramaian menjadi momentum yang tepat untuk
memperkenalkan diri. Di saat galeri Jogja National Museum tengah
mempersiapkan pameran ARTJOG, JNM Bloc lekas menjadi rute wara-
wiri peserta terlibat. Salah satu berkesan adalah berkenalan dengan
seniman yang tengah mengolah topik “Expanding Awareness”, Gilang
Mustofa dari Bandung. Mereka menjadi akrab dan banyak bertukar
obrolan seni, selanjutnya saling berkunjung antar ruang pamer untuk
mengapresiasi karya satu sama lain. “Menurutku, lebaran seni nggak
Dari pojok etalase tenant JNM Bloc terlihat Angki Pu, mengenakan
celana hotpant, rambut mengerucut dikucir dua, kerap hilir-mudik
menyambut teman-temannya. Angki Pu adalah seniman fotografi
kontemporer, member MES 56, dan aktivis legalisasi ganja bersama
Lingkar Ganja Nusantara. Entah berapa kali ia bersalaman, menyapa,
dan saling memperkenalkan orang di sekitarnya. Kesibukannya
mengurus karya bareng Alex Abbad untuk ARTJOG nampak sama
sibuknya dengan pertemuan bersama teman-teman. Wajahnya Angki
penuh keceriaan, auratik. Banyak orang tidak akan menyangka, kalau
dia berusia 50 tahun. Konon, kesenianlah yang membuatnya semakin
muda.
Lebaran Seni
Tidak jelas kapan lebaran seni itu ada, kapan dimulai dan berakhirnya
juga tidak pasti “wong tanggalnya tidak ada, tempatnya juga
tidak ada” kata Yuswantoro Adi, seniman dan pengajar kelas “Art
for Children” Taman Budaya Yogyakarta. Menurut Yus, lebaran seni
mungkin bermula sekitar 5-6 tahunan lalu, sebelum pandemi, guna
menandai ketika berlangsung pameran yang sangat besar bernama
ARTJOG.
“Jangan-jangan inilah masa depan seni rupa kita hari ini; jadi
pelengkap dahaga pencitraan sosial media saja. Organizer seni
bahagia, penonton ria suka cita dan seniman merana tanpa harta,”
tutupnya. Komentar Agung patut disimak sebagai bahan untuk selalu
mawas dan mengajak kita berlaku fair – di tengah Seni Rupa semakin
minim kritik dan evaluasi. Pernyataan Agung perlu untuk terus
diangkat ke permukaan.
Circle Seni
“wkwkwkw, thank you nft sirkel seni aku tetap ideal terawat terjaga
wangi bersih dan fancy berkat kalian semua”
Tapi amatilah, tidak banyak yang berubah dari komposisi para regu
seni di Jogja selama 20 tahun terakhir. “Acaranya itu, tempatnya itu,
orangnya itu, modelnya itu, pemainnya itu...” Seumpama isu circle
Selama tiga bulan penelitian, saya menjadi lebih dekat dengan dunia
anak-anak, bagaimana sebuah karya rupa anak ternyata tidak kalah
penting untuk tumbuh kembangnya. Hal ini juga disebutkan Lowenfeld
dalam beberapa kelompok perkembangan seni rupa anak yaitu Masa
Coreng-moreng (2-4 tahun) , Pra-bagan (4-7 tahun), Bagan (7-9 tahun),
Permulaan Realisme (9-11 tahun), Naturalistik Semu (Usia 11-13 tahun)
dan Krisis Puber (13-17 tahun). Sebanyak 48 karya anak-anak yang
saya teliti berfokus pada Masa Pra-bagan yaitu rentang usia 4-7 tahun,
anak pada masa ini sudah mulai bisa mengendalikan tangannya, mulai
membandingkan karya dengan objek sesungguhnya, dan ikatan emosi
dengan apa yang hendak digambarkannya.
Saat masih di luar ruang pameran, salah satu anak dari Rumah Ramah
cukup menonjol dibanding anak-anak lainnya yaitu Daunbumi
Purbandono. Daun sendiri merupakan salah satu seniman termuda
di pameran ARTJOG tahun ini, yang juga anak dari seniman fotografi
Angki Pu. Usianya baru memasuki 7 tahun dan punya keberanian untuk
berbicara di depan publik. Sembari menunggu giliran masuk, Daun
diberi pertanyaan oleh Yoga mengenai kesepakatan masuk ruang
pameran. “Kalau mau main, kamu lihat dulu, kamu belum bisa mainkan,
masih kecil,” ungkap Daun sambil terbata-bata. Satu hal yang menarik
dari kelompok Rumah Ramah ini, mereka menggunakan Bahasa Inggris
saat berinteraksi satu sama lain.
Pukul 16.15 akhirnya saya, panitia program dan pemandu tur memasuki
ruang pameran. Tidak ingin tertinggal momen yang berharga ini
akhirnya saya mengikuti kelompok pertama dari ENAC. Seniman remaja
pertama yang dikunjungi adalah karya milik Nadindra Danish (14) yang
berjudul “Working Feed #1-6.” Karya ini memperlihatkan foto-foto kaki
kuda yang tampak rusak dan luka. “Siapa yang tau lokasinya ini di
mana?” Tanya Desra, “Aku tau, Maliobolo” jawab seorang anak. Anak-
anak ini mengaku sedih melihat foto kaki kuda yang terluka.
Meskipun dibantu oleh panitia dan guru. Ada saatnya pemandu tur
tampak kewalahan dengan anak- anak yang terlalu aktif, sulit diajak
bekerja sama, dan tidak mudah untuk selalu diawasi pergerakannya.
Terutama saat beranjak ke karya milik Tempa “Cosmic Patterns” dengan
karya potongan kayu sebagai wahana bermain dan berkreasi layaknya
puzzle. Anak-anak sibuk bermain hingga lupa waktu, beberapa di
antaranya ingin menaiki dan bersandar pada karya besar yang tidak
boleh dimainkan. Namun ada saatnya mereka fokus dan banyak
bertanya, seperti saat melihat karya Bintang Tanatimur “Excuse Me.”
Tanpa ditanya, anak-anak ini langsung sadar sampah-sampah yang
digunakan pada karya Bintang sering mereka lihat di rumah, seperti
bekas bungkusan McDonald’s.
“Mbak tadi sempat pindah tur ke kelompok Rumah Ramah ya, apa
perbedaannya?” kata Yoga kepada saya. Saya sendiri merasa
anak-anak Rumah Ramah lebih tenang, mudah diajak kerja sama
dan interaktif saat ditanya, meskipun saya tidak mengikuti
mereka dari awal tur. Saya bisa merasakannya perbedaanya saat
sama-sama di ruang ba(Wa)yang dan karya Daun yang berjudul
“Stamp!Stamp!Stamp.”
Daun sendiri masih tetap menjadi anak yang paling mendapat banyak
highlight dibanding anak-anak lainnya, Ia tampak terbiasa berbicara di
depan umum dan tidak malu-malu layaknya anak seumurannya. “Tidak
boleh stamp di meja ya” kata Daun saat diminta menjelaskan karyanya.
Tidak bisa berlama-lama karena banyak pengunjung lainnya, akhirnya
anak Rumah Ramah berfoto bersama dan melanjutkan ke karya
selanjutnya.
Selesai sudah satu jam tur di ruang pameran ARTJOG. Selagi bersama-
sama istirahat, saya mengambil kesempatan untuk bertanya pada
salah satu orang tua. Menurut Yola, exhibition tour ini menarik untuk
mengedukasi anak-anak tentang seni, dan ini saat yang tepat untuk
memasuki ruang pameran tanpa rasa canggung karena bersama
orang tua lainnya. “Seni itu gak melulu soal musik, Geva senengnya
main drum,” ungkap Yola selaku Ibunya Geva, kelompok Rumah Ramah.
Meskipun sudah diberi teaser tentang apa itu ARTJOG dan jenis
pamerannya, ternyata banyak juga yang belum mengetahui perhelatan
besar seni ini, begitu juga dengan Ibu Geva yang sedang saya ajak
ngobrol.
Menurut saya, apa yang dikerjakan ARTJOG hari ini untuk melibatkan
anak-anak dan kelompok penyandang disabilitas sangat menarik
untuk diteruskan oleh penyelenggara atau pihak lain, demi memberi
ruang partisipasi anak dalam berkarya seni dan edukasi. Seni rupa
ramah anak tentunya akan menjadi kabar baik bagi semua orang yang
terlibat dalam kesenian, bagaimanapun orang-orang yang hidup
dalam ekosistem seni harus diregenerasi, bermula dengan edukasi seni
melalui eksibisi tur ini.
Instalasi berjudul “Landscape Ziarah pada Kehilangan” karya Suvi Wahyudianto yang dipamerakan di
ARTJOG MMXII, 2022. Foto: Awi Nasution.
“Aku mengunjungi kota itu dulu di 2019. Yang aku lihat di relokasi yang
bernama Madani itu, aku pikir itu adalah kota yang dibangun atas nama
kehilangan. Aku datang ke kota itu membawa kehilanganku secara
pribadi. Tapi ketika mengunjungi tempat itu aku punya tafsir yang
berbeda. Ini sebuah kota, sebuah kota yang dimana penduduknya,
semuanya memiliki kehilangan atau mengalami kehilangan.”
Instalasi berjudul “Landscape Ziarah pada Kehilangan” karya Suvi Wahyudianto yang dipamerakan di
ARTJOG MMXII, 2022. Foto: Awi Nasution.
“ssst… kowe… reneo… kowe.. ssst...” (suara dari sela rumpun bambu)
Seandainya hari sabtu jadi opsi penting buat berakhir pekan dengan
jajan, jalan-jalan (kini dibaca: healing), pesta atau cukup dengan
asyik bersama keluarga dengan segala pekerjaan rumah. Maka sabtu
bertarikh 30 Juli 2022, adalah momen istimewa bagi saya untuk turut
serta dalam program seni dari “900 mdpl” (meter di atas permukaan
laut). Seperti namanya, 900 mdpl adalah sebuah perhelatan seni yang
terletak di dataran tinggi. Persisnya di bilangan perumahan kaliurang,
sekitar 7 km dari kawah gunung Merapi. Ajang inilah yang menjadi
wahana berlangsungnya presentasi artistik para seniman terpilih,
berbasis “site-specific” atau boleh jadi diterjemahkan sebagai: proyek
seni tempatan.
Sabtu itu adalah hari kedua dari tiga hari pelaksanaan 900 mdpl (29 –
31 Juli 2022) dalam tajuk “Genealogy of Ghosts and How to Live with
Them”/”Genealogi Hantu dan Bagaimana Hidup Bersamanya”. 900 mdpl
di tahun 2022 ini terdiri dari dua putaran, yakni putaran pertama (24
– 26 Juni 2022), sementara yang sedang saya kunjungi kala itu adalah
putaran kedua. Bagi pengunjung yang seksama, dengan mengamati
penjelasan di akun media sosial instagram @900mdpl, maupun dalam
laman www.900mdpl.com, dapat diketahui bahwa 900mdpl (2022)
adalah kali ketiga, dari dua seri sebelumnya, yakni: 900mdpl #1 ( 1-18
November 2017) selaku tajuk perdana, dan 900mdpl #2 (18-27 October
2019) dengan judul “Hantu-Hantu Seribu Percakapan (Ghosts of a
Thousand Conversations).
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Salah satu panitia 900 mdpl, Ahmad Sulton menjadi pemandu utama
kami. Ketika ditanya, ia menjawab “saya di sini sebagai edukator”.
Dalam hati saya bergumam, tampaknya ini bukan sekedar pameran,
tetapi juga kelas untuk peserta didik. Sulton pun mulai menjelaskan
segala peraturan dan tata cara tur 900 mdpl putaran kedua ini. Kami
pun segera melangkah beberapa meter menuju lokasi karya pertama,
di sebuah bangunan yang tampak rapuh dan terabaikan. Bercat putih
namun sebagian tembok mengelupas, ditingkahi lumut dan jelatang.
Di sana bertengger karya Dito Yuwono, berupa instalasi foto dan
video. Bangunan yang dulunya Rumah Kaca Balai Pembibitan, seketika
dijadikan ruang pamer bagi “Sebuah Kerajaan, Gunung Berapi Raksasa
Berbentuk Jamur” dan video “Sand Run Through Your Hand, Flow with
the Water.”
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Ketika tiba saatnya bergeser menuju pos ronda RT 06, kita disuguhi
karya video Mark Salvatus berjudul “That Day Most Eagerly Awaited”.
Sulton menjelaskan bahwa karya Mark telah diputar di banyak negara,
dan mengambil filosofi tentang bagaimana mereka yang tinggal lebih
dekat ke gunung, rupanya jauh dari politik serta pengetahuan tentang
pusat. Namun karena keadaan itu pula, mereka jadi lebih dekat dengan
pengetahuan menubuh yang dipelajari melalui alam.
Dari situ kami pun bergeser menuju tanah lapang milik pondok
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Melalui karya bertajuk “The Messengers of Chaos & Order” ini, Sulton
menjelaskan upaya Wimo dalam membahasakan ulang fenomena
yang diyakini warga Merapi menjadi aktivitas di sungai Boyong. Konon
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Dalam tahap ini, saya sadari bahwa kurasi 900 mdpl ingin mengolah
kepekaan penonton dalam rentang perjalanan berkeliling areal
pemukiman hingga hutan lindung dan kebonan dengan berjalan kaki.
Setelah mengarungi karya demi karya, rupanya membuat beberapa dari
kami mulai tampak mengeluarkan keringat. Meninggalkan karya Wimo
menjadi pertanda memasuki kembali areal pemukiman. Disambutlah
kami dengan “konstruksi Manekung” dari Rahmad Affandi, dengan
instalasi kain yang menampakkan wajah pasangan orang-tua, dengan
beragam simbolisasi. Ada parabola mini, patung tangan menengadah
dan mikrofon yang bertengger di dudukan besi, tertanam di tungku
tembikar berarang.
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
dalam lanskap hunian dan alam, tetapi juga apa yang distilah Mira
Asrinigtyas sebagai ‘mlaku’ (berjalan), yakni berakar pada kata ‘laku’
(perbuatan). Laku kemudian bermakna suatu tindakan dengan
pendalaman dan penghayatan. Manusia dan pengetahuannya terbukti
memiliki trayektori. Manusia bergerak dari satu tempat ke tempat lain,
begitu pula pengetahuan berpindah dari satu manusia ke manusia lain.
Kini giliran instalasi kelir wayang yang diterangkan oleh Sulton, persis di
dalam limasan padukuhan lama kaliurang timur. Tampak kelir menyajikan
wayang-wayang yang biasa ditancapkan di atas debog (batang pohon
pisang). Rupanya wayang itu dibuat oleh Sutarman dan dipentaskan
oleh Ibnu Banuharli sebagai Dalang, tepat pada saat pembukaan 900
mdpl, dengan diiringi kelompok gamelan NKRI (Nindakake Karawitan
Religi Islami). Wayang yang disebut “Wayang Tanpo Aran” ini boleh jadi
tidak mengikuti pakem semalam suntuk, dan hanya dipanggungkan
singkat. Akan tetapi lakon “Ontran-Ontran Alas Ponteng” dan “Murcane
Wit Pule Mayang Sekar” itu memberi kisah teladan tentang keharusan
menjaga kelestarian alam di tengah pembangunan ekonomi dan
pariwisata di Kaliurang.
Akhirnya usai sudah perjalan menyusuri karya. Tinggal satu rute menuju
pos pemberangkatan kembali. Namun Sulton kembali menjelaskan
sebuah karya yang sungguh tak tampak. Ternyata kisah penunggu
sungai dan danyang-danyang yang sempat diceritakan oleh Tiara
maupun Sulton, tak lain adalah karya dari Arum Dayu dan Jim Allen
Abel. Berjudul “The Ancient of MSG”, Arum dan Jim sengaja mengolah
hasil risetnya seputar kisah-kisah penuturan warga tentang makhluk
gaib yang menunggu alias Danyang di desa ini. Baik Tiara dan Sulton
didelegasikan oleh Arum dan Jim sebagai pencerita yang menyebarkan
informasi dari mulut ke mulut, tentang kepercayaan danyang. Efek
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Memang terdapat sesi terakhir dari tur 900 mdpl, yakni perform dari
Rahmad Affandi di dalam makam Mayang Sari. Namun tubuh lemah saya
meminta istirahat, sembari ngobrol di sekitaran ‘pos ronda’. Sembari
mencecap panganan dan minuman, saya sempat berbicara dengan
beberapa kawan yang menghadiri perform berjudul “Babad dan Hal-Hal
yang Pergi” itu. Menurut kesaksian, Rahmad mengadaptasi laku ziarah,
mulai dari membersihkan makam hingga upaya merawat ingatan. Ziarah
menjadi metode pengetahuan yang terus eksis di dalam masyarakat di
Jawa maupun pulau-pulau lain di Nusantara.
Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
Jika karya seni adalah gambaran atau tiruan dari realitas sosial, lalu
apakah seorang seniman sungguh-sungguh merdeka bersama karya
seninya?
Hampir tak ada yang menyangka kalau karya yang dikerjakan oleh
Riyan ini cukup ‘bandel’ dihadirkan dalam sebuah pasar seni rupa
kontemporer termahsyur di Yogyakarta, atau barangkali juga Indonesia.
Melalui karya RAM Museum, Riyan merangsang kembali ingatan kita
untuk menilik beragam peristiwa kebudayaan yang terjadi setelah
masa Orde Baru. Puluhan kasus dikumpulkan dengan menyorot
beragam karya yang dianggap ‘bandel’ oleh sekelompok golongan.
Hampir seluruhnya dokumentasi tersebut dicomot dari arsip media
cetak dan media digital.
Aktivasi dan interaksi antara karya seni dan pengunjung seperti ini,
dapat dikatakan seperti sedang menyambung dua garis yang terpisah.
Dari sini, Riyan mencoba membuat lintasan baru untuk audiens ‘zaman
now’ tertarik melihat dan membaca arsip sejarah.
Pada sisi dinding lainnya dan yang terakhir, tiga karya terpampang
dalam pigura klasik. Ketiga karya hadir dengan judul yang terkoneksi,
yaitu Reconnected People’s Justice, Reconnected Macan Cisewu, dan
Reconnected Pink Swing.
Namun apa daya, tak ada yang sungguh-sungguh merdeka di dunia ini,
sekalipun seniman.
Pada akhir Agustus lalu dunia seni rupa sedang dihebohkan dengan
ramainya poster film terbaru sineas Angga Dwimas Sasongko berjudul
Mencuri Raden Saleh. Saya dan beberapa teman di Jogja sudah
merencanakan, apabila film ini resmi tayang kami akan nonton bersama
untuk ikut mengapresiasi.
Misalnya ada film terbaru yang sedang viral, saya wajib nonton trailer
dan minta spoiler dari teman yang sudah duluan nonton. Namun,
treatment saya akan sedikit berbeda untuk film Mencuri Raden Saleh,
mungkin sedikit berbeda. Meskipun film ini nantinya tidak memenuhi
ekspektasi, saya wajib tonton karena begitu relate dengan keseharian
dalam dunia seni rupa. Sepertinya fenomena FOMO (Fear of Missing
Sempat terpikir apakah film tentang seni rupa seperti ini bisa diterima
masyarakat luas? Apa mereka kenal siapa Raden Saleh? Apa film genre
heist ini nantinya akan dibanding-bandingkan dengan banyaknya
rujukan film serupa yang sukses sebelumnya?
Film ini dimulai dengan Piko yang sedang memalsukan karya seniman
Widayat yang berjudul Hutan Rimba, nantinya lukisan ini akan dijual
ke rumah lelang dengan bid harga yang fantastis. Tokoh antagonis
dimunculkan pada part ini yaitu sosok Permadi (Tio Pakusadewo) yang
berperan sebagai mantan presiden yang ambisius dan manipulatif.
Beberapa menit di awal saja kita sudah diajak berkenalan dengan sisi
gelap dunia seni rupa seperti pemalsuan, pencurian, penjualan karya
palsu hingga politik kuasa.
umum seperti Affandi, Widayat, Lee Man Fong, Jeihan, Sunaryo, Hendra
gunawan, Sudjojono dan Agus Suwage.
Lukisan ini memiliki versi lain, dengan momen yang sama namun sudut
pandang yang berbeda, antara pelukis kolonial dengan pribumi.
Pelukis Belanda Nicolaas Pieneman menciptakan lukisan berjudul “De
Onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-generaal de Kock, 28
Maart 1830” yang menceritakan bagaimana Pangeran Diponegoro
ditaklukkan. Karya milik Raden Saleh sendiri dilukis 27 tahun kemudian
saat situasi politik sudah mendingin. Lukisan ini dihadiahkan Raden
Saleh kepada Raja Belanda Willem III sebagai balas budi telah
disekolahkan selama puluhan tahun di Eropa. Siapa sangka di balik
sebuah lukisan ini terselip sebuah kritikan atas peristiwa sejarah.
Hal kontras ditunjukkan oleh versi Raden Saleh, berbagai hal diubah
secara sadar dan bentuk menunjukkan sikap. Mulai dari judul karya,
kata ‘Penaklukan’ pada “De Onderwerping van Diepo Negoro aan
Luitenant-generaal De Kock, 28 Maart 1830” menjadi ‘Penangkapan’
yaitu “De Gevangenneming van Prins Diponegoro door Generaal de
Kock.” Pangeran Diponegoro dilukis dengan ekspresi wajah yang geram
disertai kepalan tangan yang menahan amarah. Bahasa tubuh Jendral
de Kock dibuat lebih halus dengan gestur telapak tangan terbuka
sebagai representasi kesopanan. Posisi berdiri pada anak tangga
sama, sebagai bentuk kesetaraan. Ada satu hal yang mengganjal pada
bentuk tubuh orang-orang Belanda yang tidak proporsional, tubuh
yang kerdil dan kepala besar. Padahal Raden Saleh dikenal dengan
kepiawaiannya melukis anatomi tubuh, tentu sebuah kesengajaan.
Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara
Aris Prabawa atau sering disapa Manyul ini merupakan seniman asal
Surakarta, Solo yang tumbuh besar di Yogyakarta. Ia menempuh
pendidikan seninya di Institut Seni Indonesia (ISI) dan ikut mendirikan
Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi.
Perjalanan Manyul dalam berkarya tidak lepas dari isu sosial politik.
Banyak hal yang Manyul pelajari secara individu dan berkelompok
bersama Taring Padi juga memberikan berbagai pandangan dan
ideologi yang sampai sekarang ini masih menjadi ciri khas manyul.
Entah kapan sejarah ini dimulai, namun gelaran pameran seni dari
berbagai galeri yang berada di Yogyakarta banyak sekali memberikan
panggung musik untuk berekspresi. Acara ini bisa dijumpai di berbagai
tempat dari berbagai kelas, seperti di warung kopi, gedung serba guna,
galeri kampus, maupun sekelas museum.
Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara
Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara
Tubuh yang basah keringat dicampur dengan guyuran air hujan seolah
membuat penonton ini memiliki energi lebih untuk berpogo ria. Tepat di
depan panggung, penonton juga membuat gerakan Circlepit, gerakan
dimana penonton membuat lingkaran kemudian memutar berlawanan
dengan arah jarum jam.
Acara ini juga tidak lepas dari konsep yang dimiliki Aris Manyul. Selain
seorang seniman, Manyul juga merupakan vokalis sekaligus gitaris
band punk rock, Black Boots.
Melalui karyanya bersama Black Boots, Aris Manyul memiliki visi untuk
memberikan suara minoritasnya dari berbagai permasalahan sosial
politik serta lingkungan yang ada di sekitar. Materi-materi ini digarap
dengan serius dengan nuansa punk rock yang rabel. Lewat amukkan
Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara
Seniman lulusan Fisipol UGM ini begitu melekat dalam benak saya,
sejak melihat karyanya “Love is A Many Splendored Thing” di ARTJOG
2021. Sebuah ruangan layaknya pintu ke mana saja. Begitu masuk di
dalamnya, kesadaran seperti dibimbing untuk menjejak “dunia yang
mirip di sini tapi tidak di sini”. Karena hanya di ruangan itu saya bisa
menyaksikan bangkai anjing mati tertusuk lampu neon. Begitu sureal,
begitu puitis.
De l’amour?
Mon amour
Ne vous déplaise
En dansant la Javanaise
Le temps d’une
Chanson …”
Tembang “La Javanaise” dengan iringan biola dan piano itu membuka
sumbatan di kepala saya. Antara penghayatan visual Jompet yang
dramatis, ditambah alunan suara Madeleine Peyroux menjadi satu
momen yang dengan agak berlebihan saya sebut menakjubkan. Narasi
kolonialisme jadi sesuatu yang sangat dekat, bahkan bisa kita nikmati.
Ketegangan identitas dan kronik masa lalu terasa baur dan abu-abu.
Jompet tidak berdiri sebagai subjek tunggal seorang Jawa, dia adalah
Jawa yang telah mengalami interaksi kultural dengan dunia yang besar.
Menurut saya, hal paling menarik dari karya Jompet adalah bayangan
yang selalu menghantui, cahaya hanyalah tipuan untuk mata yang
tidak terbiasa dengan gelapnya masa lampau. Antara sejarah, fiksi,
dan kekuasaan tidak terpilah. Sejarah adalah kontrol kuasa untuk masa
depan. Atau kalau kata Agung Leak “sejarah itu berulang, waktu itu
melingkar tidak lurus memanjang. Seperti konde… Jadi abai pada masa
lalu, adalah kutukan di masa depan”.
Lebih lanjut laki-laki yang pernah menjadi musisi dan aktif di Teater
Garasi itu mengatakan, bahwa tubuh Jawa adalah tubuh hantu-hantu.
Karena menurutnya, salah satu sisi Jawa adalah versi identitasnya
yang ngambang, yang mengalir, yang terus berubah. Identitas Jawa
bisa berbentuk apa saja yang kamu bayangkan. Jika diumpamakan
sebagai sebuah tubuh, dia tidak punya garis batas jelas atau memiliki
outline yang samar.
Kembali kepada lampu dan masa lalu, walau benar waktu itu melingkar
serupa konde Agung Leak, masa depan tetap saja tanda tanya yang
buram. Sebagaimana dinding-dinding bertagar #katacindhil yang
mengabarkan selamat tinggal dan kematian yang dikenang, salah
satunya berbunyi: “Hantu-hantu dari masa lalu kembali berkisah, tak
ada lagi ketakutan, sebab ia tak punya masa depan.” Pesta dansa pun
usai, dan chandelier itu pecah berkeping-keping.
Jelang pertengahan 2022 ini, seiring dengan agenda Jogja Arts Weeks
yang merentang sepanjang Juni hingga September, kami mengamati
giatnya beberapa proyek seni dan kurasi dari Ira. Salah satunya
adalah XXLab yang menghadirkan “Ingsun Project”, demi ditampilkan
dalam ARKO Art & Tech Festival, 11 Agustus – 23 October 2022 di Korea
Selatan; dengan tajuk: “The Fabel of Net in Earth”. Kepada penulis, Mba
Ira menceritakan pengalamannya:
Ira bersama tim XXLab yang terbaru (Bio Andaru, Dhoni Yudhanto,
Gisela Maria, Nona Yoanisarah dan Yoga Permana) sengaja mengajukan
terlebih dahulu konsep Ingsun Project itu sebagai gagasan
aktivasi karyanya. Dalam Ingsun Project itu pula, XXLab senantiasa
menggunakan metode kinerja HONF, yakni ”open knowledge”, sehingga
proses pembuatannya melibatkan publik, termasuk adanya public
kitchen. Menarik dicatat, sebelum berangkat ke Korea Selatan, Ingsun
Project dipresentasikan preposisinya terlebih dahulu dalam pameran
Mission X Project.
yang kerasa banget. Alien kan selalu digambarkan man, selalu macho
gitu ya, padahal kan mungkin genderless juga. Jadi lewat UFO Festival
itu, ketika saya membuat program bersama ibu-ibu tadi, setidaknya
menunjukkan bahwa soal ruang angkasa maupun alien, bukanlah ‘dunia
laki-laki’ gitu ya.” Imbuhnya
“Saya sebenarnya ingin ada pembacaan lebih lanjut sih, kalau kita bicara
antariksa, mesti imajinasinya macam NASA gitu yang muncul. Padahal
di sini ada konteks dan sejarahnya sendiri, tentang teknologi dan
keyakinannya pada “kalau boleh disebut” alien. Kalau kita kan mungkin
semacam keyakinan adanya ‘sang/yang liyan’. Karena 80 persen dari
tubuh kita aja dipenuhi sang liyan, sebenarnya ibarat kata 80 persen diri
kita itu alien juga.
Jadi emang dari cara pemilihan bahan-bahan yang digunakan itu, kita
menekankan minimal ya ramah lingkungan atau at least bisa di-recycle.
Untungnya, para perupanya kooperatif dengan konsep kurasi kita;
pertama menyampaikan tentang krisis iklim, kemudian kedua, mereka
sebisa mungkin menampakkan kepedulian lingkungan tadi secara visual
maupun material.”
Kalau soal kolektif, di sana itu kayaknya agak susah ya. Mereka di sana
seolah harus jadi kolektif yang establish dulu, baru bekerja. Makanya
buat mereka, sangatlah menarik mempelajari kolektif kita yang terbiasa
dengan latar belakang berbeda, tetapi mudah untuk bisa kerja bareng.
Mungkin itu kelebihan kolektif kita di Indonesia, yang lebih fluid dan bisa
solid tampil di luar.”
Aku pikir kerjaku sebagai artist juga hampir sama. Jadi aku memahami
karakteristik dan latar belakang setiap keterlibatan. Misalnya ketika
bekerja dengan makhluk lain, seperti pengalamanku bekerja dengan
mikroba, itu ya berarti mikroba inilah kolaboratorku.
Tapi kalau ditanya perhatian terbaruku, aku justru terkadang ingin jadi
semacam media theorist. Jadi berhubungan dengan digital network.
Misalnya kurasi sekarang berdasarkan click bait, tentu ada dong
pergeseran, yang membuatnya berbeda sekali dengan dulu. Hari ini kita
berjualan karya udah nggak ribet dan harus melulu dengan galeri kan.
Menurut aku, kita ini masih lambat mencerna perkembangan global;
misalnya pameran seni yang offline, lalu ditulis untuk publik online, ini
tentunya punya persoalan pencerapan yang berbeda.”
Biennale Jogja seri Equator atau BJE telah usai. Selama sepuluh
tahun telah dilalui kerja sama dengan enam negara maupun kawasan,
yakni India (2011); Kawasan Arab (2013); (Nigeria (2015); Brazil (2017);
Asia Tenggara (2019) dan Oceania (2021). Kini, baru saja berlangsung
‘Simposium Khatulistiwa’ yang biasa menyertai BJE di tiap tahun
genap. Simposium Khatulistiwa kali ke enam ini berlangsung pada 28
– 29 Oktober 2022 di Concer Hall Pascasarjana ISI Yogyakarta. Melalui
tajuk “Kuat Akar, Kuat Tanah: Solidaritas Trans-Nasional dan Gerakan
Trans-Global,” simposium ini diharapkan menjadi penutup rangkaian
BJE putaran pertama (2011 – 2021) sekaligus menjembatani menuju
putaran kedua di masa mendatang.
Pada hari pertama, terbagi tiga sesi, dengan sesi pertama simposium
dengan Dr. Annisa R. Beta, Fellalia Hasna Hanifa dan Mega Nur
Simanjuntak yang membawakan pembahasan tema nomor satu. Annisa
melalui komunikasi daring zoom, menjelaskan soal solidaritas rasa dan
aktivisme feminis di media sosial. Irham Nur Anshari yang bertindak
sebagai moderator kemudian juga menjembatani pemaparan Fellalia
menyoal gerakan akun twitter @wadas_melawan; dengan presentasi
Mega terkait modalitas kewargaan metizen seniman muda, sebagai
medan alternatif seni rupa.
Kala hari kedua, simposium terbagi dalam empat sesi. Dalam sesi
pertama, Amos, Ken Miryam Vivekananda dan Jean-Pascal Elbaz
menelanjangi persoalan tema nomor empat, dengan Suwarno
Wisetrotomo yang memoderatori jalannya silang pemaparan. Amos
tampak bersemangat menyampaikan pelacakan sejarah genosida
VOC terhadap pulau Banda, yang tercermin dalam tarian Onatani
Sarawandan. Sementara Ken menawarkan “Malay as Method” sebagai
upaya konstruksi identitas kaum muda di Sumatra Timut, khususnya
melalui media sosial dan internet.
Simposium kuat akar, kuat tanah pun berakhir dalam petang sesudah
maghrib. Setelah dua hari tenggelam dalam lalu lintas pemaparan,
kami melebur dalam kemeriahan sesi foto bersama seluruh peserta,
di tengah putaran lagu nyanyian sendu dari Mambesak, hingga pesta
kecil ulang tahun seorang panitia. Kami semua pulang mengantongi
pengalaman lintas rumpun gagasan dan sejumput tujuan cemerlang ke
depan. Semoga!
Setelah ngobrol seputar Pesta Boneka, saya dan Awi mencari salah
satu tempat pertunjukan yang akan tampil dalam waktu dekat, dan
kami memutuskan untuk menonton penampilan dari Five Stones
Theater Singapura dengan judul Kopitiam. Para pengunjung yang
sebagian merupakan orang asing ini berbaris rapi menunggu
pengecekan tiket yang sudah mereka dapatkan melalui pendaftaran
online. Saat giliran kami masuk, sebuah ruang pertunjukan mini sudah
disetting sedemikian rupa. Dua orang menggunakan kaos putih dengan
sangat ramah menyapa dan mempersilakan pengunjung untuk duduk.
Mereka tampak sumringah, menyapa siapa saja layaknya sudah akrab
dan kenal lama.
Pertunjukan ini diawali dengan Hui Xuan dan Bright yang berdansa
dengan lagu The Shirelles-Will You Still Love Me Tomorrow sambil
mengalungkan handuk kecil. Mereka berperan sebagai dalang boneka-
boneka kayu dan aktornya sendiri. Kopitiam bercerita tentang dua
orang tua yang mengelola warung kopi di tengah kota yang sudah
dipenuhi oleh kafe kekinian di Singapura. Rutinitas sepasang suami-
istri ini hampir sama seperti yang dilakukan pedagang kopi pada
umumnya. Si kakek menyusun kursi dan meja, membersihkan warung
dan si nenek menyiapkan roti panggang untuk dijual bersama dengan
kopi. Mereka mencoba menawarkan kopi kepada setiap pejalan kaki
yang melewati warungnya, namun tetap saja tidak ada yang mau
singgah. Hari demi hari berlalu, mereka masih melakukan hal yang sama
dan sesekali menikmati hidup dengan berdansa dengan lagu favorite
mereka, persis sama seperti yang Hui Xuan dan Bright lakukan di awal
pertunjukan.
Suatu hari nenek terjatuh dan dirawat, namun sayang sang nenek
meninggal dunia. Sebuah pigura dengan potret nenek ditampilkan di
atas lemari tua. Waktu terus berlanjut, Kopitiam masih terus berjalan,
tidak ada lagi yang memanggang roti dan membantu memijat bahu
laki-laki tua malang itu. Saat adegan sepi dan sendiri ini dihadirkan,
muncul tokoh baru yang diperankan ganda oleh Hui Xuan sebagai
pemilik bangunan, ia meminta kakek untuk membayar uang sewa atau
tempat itu akan segera ditutup. Karena permasalahan ekonomi, satu
per satu barang-barang kakek terpaksa harus diambil hingga pada
pemutusan listrik. Malamnya, terjadi gempa yang meluluhlantakkan
semua barang-barang, kakek berusaha menyelamatkan barang yang
bisa diraih, salah satunya adalah pigura foto sang istri. Adegan ini
cukup seru dan haru, sebagian warung terpaksa hancur dan terbelah.
Bagian lainnya masih layak digunakan untuk berjualan. Hari-hari
kembali seperti biasa lagi dan kakek masih menjual kopi.
Lampu sorot warna kuning yang menjadi ciri khas tata panggung teater
Setelahnya, masih ada waktu untuk berkeliling art & craft bazaar
yang diramaikan oleh pengrajin dan bisnis lokal. Pengunjung bisa beli
oleh-oleh atau sekadar jajan di area foodcourt. Berkunjung ke Pesta
Boneka adalah kesempatan berharga dan langka, terutama acara yang
sama hanya akan bisa saya nikmati di dua tahun yang akan datang.
Akhir-akhir ini suasana kesenian di kota Jogja bagi saya cukup syahdu,
dipenuhi hal-hal serba baru, mau tak mau harus dijalani tidak lupa
disyukuri. Hujan bulan Oktober ini juga baik, ia turun sambil membawa
memori lama yang menguatkan dan mengingatkan, bahwa seni-senian
tidak melulu seni rupa sesekali kembalilah berdrama.
Di sisi selatan galeri, wayang karya Mbah Atemo dan Hanafi K Sidhartha
menyambut pengunjung dengan begitu ramah. Karya-karya Mbah
atemo yang dibuat dengan bahan-bahan bekas mengingatkan
saya dengan recycle dan seni berkelanjutan. Tepat sehari sebelum
pameran dibuka saya sempat berdiskusi ringan dengan Hanafi, ia
mengatakan, “Seni berkelanjutan tidak hanya karena Mbah Atemo
Nusamatra menjadi kabar baik bagi saya dan tentunya bagi seluruh
anak-anak yang datang ke pameran ini. Setelah sekian banyak pameran
seniman dewasa yang menjadikan anak sebagai audiensnya, namun
anak-anak masih diposisikan sebagai subjek pasif karena dianggap
terdapat jurang yang cukup dalam antara makna karya seni dan cara
anak memahaminya. Nusamatra tidak hanya memberikan pengalaman
artistik pada anak, tapi juga memposisikan anak-anak sebagai manusia
yang memiliki kecerdasan untuk memahami lingkungan, sosial, dan
alam, melalui karya seni. Anak-anak dibawa bertamasya ke masa lalu
hingga masa depan. Nusamatra tidak hanya menjadikan anak sebagai
audiens, tapi mereka diberikan kesempatan untuk merespon serta
menjadi seniman itu sendiri.
Nama tempat itu adalah Perigi, tapi orang sana lebih akrab
menyebutnya Lembana. Sebuah desa kecil yang sawahnya hanya
sanggup ditumbuhi padi gogo. Letaknya berada di antara dua
perbukitan karst yang tampak bagai belukar dari kejauhan. Lembana
sendiri berarti wilayah yang melembah.
Adalah kebetulan saya tiba di Sumenep malam itu. Oleh karena secara
spontan mengiyakan ajakan Ayos Purwoaji, seorang kurator banal
yang mencintai Madura dan Bebek Sinjay. Lembana Artgroekosystem
sedang menggelar pameran mereka yang kedua. Menggabungkan
konsep exhibition making dengan lanskap pedesaan, pameran
“Babadlembana” menyajikan konsep eksibisi yang tidak hanya
terpaku pada dinding putih, melainkan pada pengertian ruang yang
menyangkut cara hidup banyak orang.
Bila di Jakarta atau Yogya, sebuah pameran tak akan lengkap tanpa
beer, lampu kerlap-kerlip, dan alunan musik DJ. Tapi di tempat ini, di
desa ini, pameran adalah aktivitas warga. Selawat, tabuh rebana, dan
beragam kemeriahan yang hanya bisa ditumbuhkan oleh kultur tanah,
menciptakan suasana semarak berbeda. Kopi mengalir tak henti-
hentinya sepanjang malam, diskusi seni dapat melibatkan pemuda
desa, petani, dan ibu rumah tangga. Lembana Art merupakan galeri
yang memungkinan seni ramah terhadap siapa saja.
Buku tidak pernah terlepas dari adanya proses transfer ideologi dan
pengetahuan dari penulis dan pembaca. Entah apa isinya, buku hampir
selalu menjadi ruang runding. Dalam aktivitas membaca, pembaca
bernegosiasi dalam menunjukkan sikap terhadap buku yang dibacanya.
Selebihnya soal buku, saya tidak akan menuliskannya disini karena
fungsi dan manfaatnya bisa dicari sendiri di kotak pencarian di
internet.
Perspektif Adaptif
Beberapa penulis yang terlibat dalam proyek ini adalah para penulis
muda yang tergabung dalam program Asana Bina Seni. Asana Bina Seni
telah dimulai pada tahun 2019. Dalam empat tahun terakhir ini Asana
Bina Seni terfokus pada kelas belajar bersama terkait dengan praktik
kuratorial, praktik penelitian seni, praktik manajemen seni, eksibisi
pra-Biennale, hingga proses pembacaan dan terlibat langsung dalam
ekosistem seni, terutama yang berfokus pada produksi pengetahuan.
Sebagian besar penulis dalam buku ini adalah peserta dari program
Asana Bina Seni. Menariknya, sebagian besar dari para peserta
tersebut sebetulnya berjarak dengan sejarah Biennale Jogja
Equator. Tidak semua dari mereka mengikuti Biennale Jogja Equator.
Namun, pembacaan yang berjarak ini justru menjadi penting untuk
diketengahkan bersama, sehingga akan terlihat bagaimana dampak,
atau memori dari peristiwa menonton ini untuk generasi yang lebih
muda. Selain itu, Biennale juga mengundang teman-teman yang selalu
mengikuti Biennale Jogja dan perkembangannya untuk membaca
kembali apa saja yang telah dilakukan oleh Biennale Jogja, terutama
dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.
Mengkonversi Konvensi
Nuansa tradisi begitu kental dalam karya perempuan lulusan 2016 dari
studio grafis Seni Murni, ISI Yogyakarta itu. Figur transparan penuh
distorsi tampil layaknya bayangan hantu-hantu yang nenek ceritakan
di kampung dulu. Makhluk dengan leher panjang, sosok tanpa
kepala, siluman hewan setengah manusia, dan banyak image mirip
memedi lainnya. Drawingnya memiliki kualitas ketakutan, ambivalensi,
kegamangan yang suram dan menyimpan misteri.
tapi situasi yang dilihat dan dihidupi hari ini. Tidak ada batas dalam
alam imaji Ipeh, karya-karyanya seolah berbicara bahwa yang tak
nyata, fiktif, dan hal yang berwujud angan-angan turut mempengaruhi,
bahkan menggerakkan kesadaran kita.
Cerita dan entitas yang diyakini ada, memang seperti ruh tersendiri
bagi karya Ipeh. Mitos tak sekadar kisah lalu, ia adalah kesadaran
konseptual sekaligus kepekaan untuk terhubung dengan komunitas
sosial, serta masalah-masalah bersama.
Karya Menghanyut bukan seri laut pertama Ipeh yang saya lihat.
Sebelumnya dalam pameran parade mengenang almarhum Gunawan
Maryanto, “Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan”,
motif perahu telah muncul. Namun dengan perwujudan yang lebih
sederhana. Menggunakan medium kerangka besi dengan canthik kapal
berbentuk siluet kepala “Mas C”. Pada karya “Perahu Terakhir” (2022)
itu, kapal sebagai metafora pelarungan, pelepasan, sudah cukup kuat
menjadi pilihan bahasa. Tidak riuh tapi mengena. Terkesan utuh dan
Saya bisa membayangkan Ipeh akan menua dan menjadi sosok seniman
sekaligus nenek yang kaya dongeng. Sangat menyenangkan.
Museum Bahari
Museum bahari didirikan dengan tujuan membuka wawasan
& pengetahuan kemaritiman, khususnya bagi generasi muda.
Harapannya mereka lebih mencintai laut dan memberdayakan
sumber daya kelautan.
Location
Jl. R.E. Martadinata, No. 69, Wirobrajan, Yogyakarta
(0274) 376691
Opening Hours
Tuesday–friday: 8.30 AM – 3.30 PM
Open in Sunday & National Holiday
Website
http://bahari.museum.jogjaprov.go.id/id
Location
Jl. Margomulyo / Ahmad Yani No. 6, Yogyakarta
(0274) 586934, 510996
Opening Hours
Tuesday–friday, 8 AM - 4 PM
Open in Saturday, Sunday & National Holiday until 5 PM
Website
http://vredeburg.id/
Museum Biologi
Museum biologi menawarkan pengalaman bagi pengunjung untuk
berpetualang ke dalam keragaman dunia ora dan fauna. Museum
ini memiliki sepuluh ruang dengan berbagai koleksi binatang
vertebrata, invertebrata, dan herbarium.
Location
Jl. Sultan Agung No. 22 Yogyakarta
(0274) 376740
Opening Hours
Tuesday–Friday: 8 AM - 3 PM
Close in Saturday, Sunday & National Holiday
Website
https://museum.biologi.ugm.ac.id/
Location
Jl. Jogja-Solo Km. 16, Prambanan, Sleman, Yogyakarta
(0274) 496 402 / 496 401
fax (0274) 496 403
Opening Hours
Monday–Sunday: 6 AM - 5 PM
Website
Location
Jl. Tamansiswa No. 25, Yogyakarta
(0274) 377459, 389208
Opening Hours
Monday–Thursday & Saturday: 8 AM - 1 PM
except friday until 11 AM
Close in Sunday and National Holiday
Website
http://dewantara.museumjogja.org/id
Location
Jl. Kebun Raya No. 2 Yogyakarta
(0274) 373861, 374792
Opening Hours
Monday–Sunday: 8 AM - 5 PM
Website
https://www.gembiralokazoo.com/
Location
Kompleks Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Jl. Babarsari No. 2, Tambakbayan, Yogyakarta
(0274) 486991
Opening Hours
Moday-friday: 7.30 AM - 4 PM
Website
http://geoteknologi.museum.upnyk.ac.id/
Location
Parangtritis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
(0274) 902332, 902336
Opening Hours
Monday–friday: 8 AM - 4 PM
Close in Saturday, Sunday & National Holiday
Website
https://pgsp.big.go.id/museum-gumuk-pasir/
Location
Jl. Kaliurang Km. 22, Dusun Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman
(0274) 869613
Opening Hours
Tuesday–friday: 8.30 AM – 3.30 PM
Open in Sunday & National Holiday
Website
http://www.slemankab.go.id/572/museum-gunungapimerapi.slm
Museum HM Soeharto
Museum HM Soeharto dibangun sebagai penanda dan pengingat
serta wahana edukasi tentang salah satu tokoh besar dalam
sejarah bangsa Indonesia. Di museum ini terdapat Gedung
Atmosudiro (nama kakek Soeharto) yang mengisahkan perjalanan
Soeharto dari masa kanak-kanak hingga mencapai puncak
kejayaannya.
Location
Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta
0813 9219 6351
Opening Hours
Sunday–Monday: 8.30 AM - 5 PM
Website
https://www.museumsoeharto.com/
Location
Jl. R.E. Martadinata, No. 69, Wirobrajan, Yogyakarta
(0274) 376691
Opening Hours
Monday-Saturday: 9 AM - 4 PM
Website
www.museumgempasarwidi.org
Location
Hutan Wisata Wanagama desa Bunder, Playen, Gunungkidul
(0274) 545639
Opening Hours
Monday-Saturday: 8 AM - 2 PM
Website
Location
Jl. Rotowijayan, Kadipaten, Kraton Yogyakarta
Opening Hours
Monday–Sunday: 9 AM - 4 PM
Website
https://www.kratonjogja.id/
Location
Dusun Paseban, Desa Ketandan Tengah, Imogiri, Bantul
0817 411 5621
Opening Hours
Tuesday–Sunday: 8 AM - 3 PM
Website
Location
Jl. Pandega Sakti, Kentungan, Depok, Sleman
(0274) 562319
Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 2 PM
Close in Sunday and National Holiday
Website
Location
Jl. Lingkar Utara, Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman
(0274) 868225
Opening Hours
Tuesday–Sunday: 8 AM - 4 PM Close in Monday
Website
www.monjali-jogja.com
Location
Jl. Pangurakan No. 6 dan Jalan Wijilan Pb I/2A, Yogyakarta
(0274) 385664
Opening Hours
Monday–Sunday: 8.30 AM - 2 PM
Website
www.sonobudoyo.com
Location
Jl. H.O.S Cokroaminoto TR III/430 Tegalrejo, Yogyakarta
(0274) 622668
Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 1 PM Close in Sunday
Website
https://museum-monumen-pangeran-diponegoro.business.site/
Location
Kampus Pusat Universitas Negeri Yogyakarta. Jl. Colombo No.1,
Karangmalang, Sleman, D.I. Yogyakarta
Opening Hours
Monday–Thursday: 7.30 –AM - 2 PM
Website
www.mpi.uny.ac.id
Location
Jl. Adisucipto, Maguwoharjo, Depok, Sleman
(0274) 587818, 513282, 548721
Opening Hours
Tuesday–Saturday: 8 AM - 2 PM
Website
http://pergerakanwanita.museumjogja.org/id
Museum Perjuangan
Yogyakarta
Museum Perjuangan Yogyakarta memiliki gedung berbentuk
silinder, berdiameter 30 meter dan tinggi 17 meter, beratap
seperti topi baja, disangga lima buah terap. Arsitektur bangunan
ini tampak seperti perpaduan antara gaya Romawi Kuno dengan
candi Indonesia. Secara simbolis, bangunan ini menunjukkan
bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangan,
bukan merupakan hadiah.
Location
Jl. Kolonel Sugiono 24 Yogyakarta
(0274) 387576
Opening Hours
Monday–Friday: 8 AM - 4 PM
Website
Location
Kompleks Puro Pakualaman, Jalan Sultan Agung
(0274) 562161
Opening Hours
Monday–Friday: 9 AM - 2.30 PM
Saturday open until 12 PM
Website
Location
Jl. Jendral Sudirman No. 75
(0274) 561417
Opening Hours
Monday–Friday: 7 AM - 5 PM
Close in Saturday & Monday
Website
Location
Kompleks landasan Udara Adisucipto,
Jl. Kolonel Sugiono, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
(0274) 587818, 513282, 548721
Opening Hours
Tuesday-friday: 8 AM - 3 PM
Saturday: 8 AM - 2 PM
Website
http://pergerakanwanita.museumjogja.org/id
Location
Jl. Cik Ditiro No. 5, Yogyakarta
(0274) 547448, 550380, 562054
Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 3 PM
Website
http://dryap.museumjogja.org/id
Location
Trirenggo, Bantul, Yogyakarta 55714
0818 279 088
Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 12 PM
Website
https://rumahgaruda.com/
Museum Sandi
Museum Sandi dibangun atas prakarsa bersama antara Kepala
lembaga Sandi Negara Republik Indonesia, Mayjen. TNI Nachrowi
Ramli dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Juli
2008. Koleksi museum antara lain berupa mesin sandi, mebeler, tag,
sepeda, manekin, slide sistem sandi, buku kode, foto-foto, peta
(napak tilas sandi), lukisan (kegiatan sandi dalam perundingan),
dan sebagainya.
Location
Jl. Faridan M. Noto No. 21, Kotabaru, Yogyakarta
0812 8889 7813
Opening Hours
Monday-Friday: 8 AM - 4 PM
Saturday-Sunday: 9 AM - 12 PM
Website
Location
Jl. Bintaran Wetan No. 3, Yogyakarta
(0274) 376663
Opening Hours
Monday–Friday: 8 AM - 5 PM
Close in Saturday & Sunday
Website
Location
Jl. Raya Pleret, Dusun Kedaton, Pleret, Bantul
(0274) 387576
Opening Hours
Sunday–Monday: 8 AM - 3.30 PM
Close in National Holiday
Website
http://pleret.museumjogja.org/id
Location
Jl. Laksda Adisucipto 167
(0274) 562593
Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 2 PM
Website
www.affandi.org
Location
Jl. Panembahan Senopati No. 1-3
(0274) 583 631, 583 713
Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 4 PM
Website
www.tamanpintar.com
Location
Jl. Tino Sidin 297, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul
0812 1530 1188 / (0274) 618846 (Titik Sidin)
Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 4 PM
Website
www.tamantinosidin.net
Location
Kampung Tani Candran, Desa Kebonagung, Imogiri, Bantul
0851 0086 5311, 0851 0089 2762
Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 3 PM
Close in Sunday & National Holiday
Website
http://tanijawa.museumjogja.org/id
Location
Dusun Kaliurang barat, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman
(0274) 895161, 880158
Opening Hours
Tuesday–Friday: 8.30 AM - 2 PM
Saturday & Sunday open until 5 PM
Website
www.ullensentalu.com
Location
Kompleks Kampus UGM, bulaksumur blok D-6 dan D-7
0812 2636 3444
Opening Hours
Monday–Friday: 8 AM - 3 PM
Close in Saturday, Sunday & National Holiday
Website
http://bahari.museum.jogjaprov.go.id/id
Museum UII
Museum UII diresmikan Senin, 17 Oktober 2011, bersamaan dengan
Purna Pugar Candi Kimpulan Perpustakaan Pusat Universitas Islam
Indonesia. bentuk bangunan menunjukkan gagasan baru desain
perpustakaan yang melingkar dan di tengahnya terdapat Candi
Kimpulan, yang ditemukan saat penggalian pondasi perpustakaan
pada Jumat, 11 Desember 2009. Candi menjadi daya tarik
pengunjung yang berkeliling ke Museum UII.
Location
Jl. Kaliurang Km 14,5 Sleman Yogyakarta
(0274) 898 444
Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 4 PM
Website
Location
Jl. Laksamana Adi Sucipto, Demangan, Gondokusuman, Kota
Yogyakarta
(0274) 379058, 0817 461 551
Opening Hours
Monday–Friday: 8.30 AM - 2 PM
Saturday open until 12 PM
Close in Sunday & National Holiday
Website
http://kekayon.museumjogja.org/id