Anda di halaman 1dari 206

This guide book is a publication material of

JOGJA ART WEEKS

Juni - September 2022

Organized by:
Heri Pemad Management
Yayasan Hita Pranajiwa Mandaya
JAW | JOGJA ART WEEKS

Published by:
Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jalan Cendana 11 Yogyakarta 55166 Indonesia
Phone: +62 274 562628

www.jogjaartweeks.com

© 2022

Jogja Art Weeks I


TABLE OF CONTENTS

Preface III
Timeline V
Chart IX
Agenda

Maret 2
Mei 4
Juni 7
Juli 10
Agustus 41
September 58
Art Map

Yogyakarta 63
Magelang 65
Artikel 68
Museum 126

Jogja Art Weeks II


OPENING TEXT

JOGJA ART WEEKS


2022 - LEBARAN SENI

Jogja Art Weeks dimulai sebagai inisiatif non-profit di


Yogyakarta agar komunitas seni di Yogyakarta, baik pegiat
seni, seniman, maupun pecinta seni, dapat lebih terlibat
dalam sebuah pergerakan seni baru yang menekankan pada
keterbukaan.

Selain memiliki pesona objek pariwisata, Yogyakarta


juga memiliki komunitas seni dan budaya yang sangat
aktif. Sepanjang tahun selalu ada acara seni dan budaya di
Yogyakarta. Beberapa acara tersebut dikenal luas, namun
beberapa acara menjangkau hanya sedikit pemirsa karena
informasinya kurang tersebar dengan baik.

Jogja Art Weeks memulai dengan mengumpulkan


informasi mengenai kegiatan seni rupa, seni pertunjukan,
pertunjukan musik, lokakarya, diskusi, dan tur seni di
Yogyakarta, Magelang, dan sekitarnya, yang berlangsung
dalam kurun waktu yang sama dengan pelaksanaan ARTJOG.
Ini karena di saat tersebut biasanya Yogyakarta diserbu
banyak pengunjung yang disebabkan oleh musim liburan,
juga karena banyak orang yang datang ke Yogyakarta untuk
melihat ARTJOG. Dengan menerbitkan buklet agenda seni dua
bulan di Yogyakarta, Magelang, dan sekitarnya, publik dapat
mengetahui informasi acara yang mungkin menarik perhatian
mereka. Penerbitan buklet tersebut juga memberikan
kesempatan bagi seniman dan pegiat seni Indonesia
dari aneka latar belakang untuk menampilkan karya dan
menyampaikan ide mereka kepada pemirsa yang lebih luas.

Buklet Jogja Art Weeks dapat diunduh gratis dari situs


web Jogja Art Weeks. Buklet tersebut dapat memberikan
panduan bagi masyarakat untuk menikmati sisi Yogyakarta
yang agak berbeda dari biasanya.

Jogja Art Weeks III


TIMELINE
TIMELINE

MAR. APR. MEI JUNI JULI AGU. SEP. OKT.

WHY 26 26

NAPAK:
25 26
Let’s Play Again!

REJUVENATE 28 31

Narasi 12 12

COLLAGE & 26 20
DESTROY

Interlude 1-7

Jiwa yang
Tersembunyi 1-10

Terminal
Happy Colour 1 7

Broken White
Project #11 1 12

Titik Balik 3 3

Fragile Gift 6 2

Homo Jagad
Owah Gingsir 6 13

OFFBEAT 7 6

Buka Pintu 7 7

ART TRANSMISSION,
ART CURRENCY 7 31

ARTJOG MMXXII
Arts In Common: 7 4
Expanding Awarness

Double Horizon 8 4

Breaking Light:
Pre-launch of 9
Masriadi NFT

Jogja Art Weeks V


TIMELINE

MAR. APR. MEI JUNI JULI AGU. SEP. OKT.

Pura-Pura Tour 9-10

Sinom Ing
9-23
Mongso Ketigo
Potret Malam
14 11
Affandi

Exposure 15-17
Erlangga Art
Award Goes to 16-23
Jogja 2022
The Other Side;
Grass Is Always 16-31
Greener
“Innocent Entrance”
Santi Saned Solo 16 13
Exhibition

Borderless
Space 16 16

Dari Titik ke
Penguatan Keluarga 17-24

YADAYUDA DAYUDAYA
(Untitled Javanese Soul) 17 7

“Silang Saling:
18-28
Titian dan Undakan”

Taman Rasa 19 2

SAT SSST 22-31

MADYAPADA 23-30

PROSAIC PETIC - 23 12
NESOS

Gelar Gulung 29 5

Memory 26 26
Transformed

Small Treasure 1-31

Jogja Art Weeks VI


TIMELINE

MAR. APR. MEI JUNI JULI AGU. SEP. OKT.

Punguti, Kelola,
1-31
Karyakan

Preservation 1-31
6-31
in Advance
Tranfigurasi
Wayan Sudar 8 12

3 Hari Cerita di 12-14


Bilik Rana

Keris dalam 12 12
Gambar

Konvergensi: 12 12
Pasca-Tradisionalisme

In Divide 12 12
Individuals

Solo Exhibition
Bintang Tanatimur 17-28
"17"

INDPRINT 17-31

Head Down 17 7

Children Art Festival 20-26

Artepack 20-31

Gamarupa: 17 7
Delineation

Tilik Konco 29 12

Daur 30 12

Squad Iritan Iritan 20 20

Festival Film
Sewon Screening 27 1

Weave of Hope 27 1

Jogja Art Weeks VII


CHART
CHART

JAW 2022 IN TOTAL COVERAGE

Pam
era
nA i
rsip Sen
NFT E t i val
Fes
vent

51 Submit 2 Submit

2 Submit 1 Submit

Jogja Art Weeks IX


CHART

JAW 2022 AREA COVERAGE

27 Submit 22 Submit
Kota Yogyakarta Bantul

5 Submit 2 Submit
Sleman Kota Magelang

1 Submit
Surakarta

Jogja Art Weeks X


AGENDA
MARET SEPTEMBER
MARET
AGENDA MEI

PAMERAN SENI RUPA


WHY

Dates Tumurun Museum didirikan untuk


mengedukasi murid dan masyarakat sekitar
26 Maret - 26 September mengenai seni. Kami menghadirkan karya
2022 lokal dan internasional diharapkan para
pelajar dapat memahami karya2 dari dalam
dan luar negeri. Dengan tanpa membayar
Location biaya masuk museum, kami mengharapkan
para pelajar dapat belajar seni dengan
Tumurun Museum bebas, sehingga dapat memanfaatkan
museum menjadi jendela wawasan
masyarakat.
Jalan Kebangkitan Nasional Museum Tumurun juga memiliki program
no 2/4, Sriwedari, Laweyan, untuk menghadirkan special exhibition
setiap 6 bulan sekali. Untuk saat sedang
Surakarta terselenggara pameran WHY, dimana
pameran ini diselengarakan oleh sang
seniman yaitu Aditya Novali. Di dalam
Opening Hours
pameran ini menceritakan sebuah proses
10.00 - 12.00 WIB kita semua dalam menghadapi persoalan
pandemi era. Semua orang mempertanyakan
mengenai kehidupan yang akan terjadi dan
Penyelenggara proses apa yang harus dilakukan. Serta
Tumurun Museum karya2 Aditya Novali sendiri menceritakan
proses perjalanan hidup seorang Aditya
Novali sebagai seorang seniman. Pameran
ini menghadirkan karya2 spektakuler yang
selama ini tidak pernah kita pikirkan namun
terpikirkan oleh seorang Aditya Novali.
Sehingga setiap pengunjung yang hadir
di ajak untuk berpikir kembali dan masuk
dalam ruang imajinasi sang seniman. Karya2
yang dihadirkan sangat kreatif dan inovatif,
harapan nya supaya pengunjung juga dapat
membangun ide untuk mengembangkan
Kota Solo.

Jogja Art Weeks 2


MEI
AGENDA MEI

PAMERAN SENI RUPA


REJUVENATE

Dates Pameran lukis 8 karya dari 7


28 Mei - 31 Juli 2022 seniman ternama di Yogyakarta
dan Bali (AT. Sitompul, Dedy
Location Sufriadi, Faisal Azhari, Horestes
Vicha, I Made Arya Palguna,
ARTOTEL SUITES BIANTI
Tempa)
YOGYAKARTA

Jl Urip Sumoharjo 37
Yogyakarta 55222

Opening Hours
10.00 - 23.00 WIB

Penyelenggara
ARTOTEL SUITES BIANTI
YOGYAKARTA

Jogja Art Weeks 4


AGENDA MEI

PAMERAN SENI RUPA


NAPAK: Let’s Play Again!
Dates Artotel Yogyakarta bekerjasama
25 Mei - 25 Juli 2022 dengan Siam Artista
mempersembahkan pameran seni
berjudul ‘Napak – Let’s Play Again!’
Location di Artotel Yogyakarta. Pameran seni
ARTOTEL Yogyakarta ini terbuka untuk umum dengan
protokol kesehatan, sejak tanggal
Jalan Kaliurang KM. 25 Mei 2022 hingga 25 Juli 2022 di
Artspace Artotel Yogyakarta.
5,6 No.14, Manggung,
Caturtunggal, Kabupaten Siam Artista adalah seorang
Sleman, Daerah Istimewa seniman kelahiran Mataram yang
Yogyakarta memulai karir seninya di Yogyakarta.
Siam menyelesaikan pendidikan
seni rupa di Institut Seni Indonesia
Opening Hours
Yogyakarta. Karakter karyanya
10.00 – 20.00 WIB dikenal imagjinatif dengan
menggabungkan pop art, lowbrow
Penyelenggara art, dan seni tradisional. Ia juga
Artotel Jogja X Siam Artista seringkali memasukkan unsur
permainan dalam karyanya.

Dalam kesempatan ini Siam


menampilkan 13 karya lukisan pada
pameran tunggalnya. Siam juga
berkolaborasi dengan Alfin Rizal
sebagai penulis kuratorial dan
seniman Nano Warsono yang telah
hadir untuk membuka pameran
‘Napak – Let’s Play Again!’.

Jogja Art Weeks 5


JUNI
AGENDA JUNI

PAMERAN SENI RUPA


Narasi

Dates Narasi
Ruang dan Ekosistem
12 Juni - 12 Juli 2022
Bagaimana sebuah ruang bisa
Location mengingatkan dan mendeklarasikan
sebuah makna makna dan pesan dari
Studio Omah Gunung persoalan-persoalan di luar ruang?
Karya-karya di dalam ruang acap kali
Pangol, Payak Tengah RT. 2, adalah pokok-pokok persoalan di luar
ruang itu sendiri. Menariknya adalah
Srimulyo, Piyungan bagaimana ketika berada di dalam ruang
tersebut akan membawa ke dalam
Opening Hours ritus perenungan dan pengembaraan
imajinasi, jauh melampaui wilayah dan
10.00 - 20.00 WIB batas-batas persepsi. Untuk kali ke-4
ini, para perupa yang tergabung dalam
Penyelenggara kelompok Fajar 95, yang sebagian besar
adalah Alumni SMSR dan juga beberapa
Kelompok Fajar 95 Seniman Perupa yang lain merespon
keberadaan Ruang, sebagai kaitan
hubungan timbal balik dengan persoalan
di luar ruang.Konsep yang kurang lebih
sama dengan narasi Ekosistem, yang
menciptakan tatanan
Kesatuan dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan yang saling
mempengaruhi. Perhelatan yang digelar
di Omah Gunung bukit Pangol yang juga
adalah Studio dari salah satu pelukis
yang tinggal di Yogyakarta ini, menjadi
ruang dan tujuan yang diharapkan akan
mewakili momentum dan mengawali
atmosfer perubahan-perubahan yang
lebih baik setelah Pandemi melanda.

Jogja Art Weeks 7


AGENDA JUNI

PAMERAN SENI RUPA


Collage & Destroy
a mini solo exhibition by Prihatmoko Moki

Dates “Collage & Destroy adalah seri


26 Juni – 20 Juli 2022 karya yang dalam pembuatannya
menggunakan ‘limbah karya’.
Location Beberapa bahan yang digunakan
dalam pembuatan seri COLLAGE
Kumpeni Coffee & Art
& DESTROY ini berasal dari sisa
karya yang pernah dibuat
Pangol, Payak Tengah RT. 2, sebelumnya, seperti sisa TP/
Srimulyo, Piyungan test print, AP/artist proof, dan
beberapa print yang tidak
Opening Hours terpakai lainnya. Karya ini tidak
12.00 – 23.00 WIB mempunyai tema secara spesifik,
pembuatan karya seri”
Penyelenggara
“Sumber ‘limbah karya’ untuk
Kumpeni Coffee & Art
pembuatan karya seri ini berasal
dari karya seri; Prajurit Kalah
Tanpa Raja, Soekarno Kehilangan
Lukisan, ID Politics, dan Primbon
Betaljemur Adammakna. Secara
garis besar semua karya seri
tersebut menceritakan situasi
sosial yang berkaitan dengan,
politik, agama, kekuasaan,
ketegangan, dan ketidakadilan.”

Jogja Art Weeks 8


JULI
AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Jiwa yang Tersembunyi

Dates Merupakan pameran karya


1 Juli - 10 Juli 2022 seni konsepsi tentang kosmos;
hubungan antara alam
Location materia dan alam spiritualia di
dalam pandangan 18 seniman
Lokabudaya Soekimin
peserta pameran
Adiwiratmoko
terhadap alam sekitarnya.
Peserta pameran berangkat dari
Jl. Alun-alun Selatan No. 9 seni rupa jalanan/ street art
Kota Magelang di Kota Magelang dengan usia
termuda 17 tahun dan umur
Opening Hours tertua 23 tahun dan rata-rata
10.00 – 21.00 WIB baru pertama kali berpameran.

Penyelenggara
AKAR KUAS ART GROUP

Jogja Art Weeks 10


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Ramadhyan Putri “ Interlude “
Solo Exhibition

Dates “Interlude” adalah pameran


1 Juli - 7 Juli 2022 tunggal dari Ramadhyan
P. Interlude dapat disebut
Location juga sebagai jeda, interval,
pause ataupun distraksi yang
Langgeng Art Foundation
berarti ‘berhenti sejenak’ dan
beristirahat. Interlude atau jeda
Jl. Suryodiningratan ini memainkan peran besar dalam
No.37, Suryodiningratan, menjaga keseimbangan hidup
Kec. Mantrijeron, Kota dan ritme kehidupan. Interlude
Yogyakarta, Daerah telah ada dengan sendirinya di
Istimewa Yogyakarta alam.

Opening Hours
10.00 - 15.00 WIB

Penyelenggara
Ramadhyan Putri

Jogja Art Weeks 11


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


“Voices of Longing Calling You
Home”
Broken White Project #11

Dates Broken White Project merupakan


1 Juli - 12 Agustus 2022 rangkaian program pameran
yang digagas oleh Ace House
Location Collective dengan mitra untuk
menghadirkan seniman-
Ace House
seniman terpilih. Selama periode
program, seniman diajak untuk
Jl. Mangkuyudan mengeksplorasi dan mengkaji
No.41, Mantrijeron, kembali proses karyanya
Kec. Mantrijeron, Kota dengan pendampingan intensif
Yogyakarta, Daerah dari tim Ace House Collective
Istimewa Yogyakarta 55143 sebagai mitra untuk mendorong
pengembangan karya mereka
Opening Hours dan menawarkan serangkaian
kegiatan yang berfokus
13.00 -19.00 WIB
pada karya perawatan untuk
mendukung praktik artistik para
Penyelenggara seniman.
Ace House

Jogja Art Weeks 12


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Titik Balik

Dates Tema “Titik Balik” pada pameran


3 Juli - 3 Agustus 2022 ini dimaksudkan sebagai
penggalian kembali nilai-nilai
Location spiritual
tentang hakikat kehidupan, yang
Limanjawi Art House
sebenarnya tidak saja bersumber
dari berbagai hal dari luar diri
Tingal Kulon, Wanurejo, kita, tetapi justru bercermin
Borobudur, Magelang, Jawa terhadap diri kita sendiri. Kenapa
Tengah kita selalu dituntut melihat ke
dalam diri kita sebelum bertindak
Opening Hours pada apa-apa yang berada di
10.00 - 20.00 WIB luar diri kita?

Penyelenggara
Limanjawi Art House

Jogja Art Weeks 13


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Homo Jagad Owah Gingsir

Dates Sebuah ungkapan dalam bahasa


6 Juli - 13 Juli 2022 Jawa mengatakan Jagad Owah
Gingsir atau ‘dunia senantiasa
berubah’ bagi kami merupakan
Location ungkapan yang sangat menarik
Bentara Budaya Yogyakarta dan merepresentasikan bahan
permenungan kami tentang tema
ini. Pameran seni rupa Homo akan
Jl. Suroto No.2, Kotabaru, menjadi gambaran dari apa yang kami
Kec. Gondokusuman, Iihat dan temukan atau yang kami
Kota Yogyakarta, Daerah baca dan dengar tentang sebentuk
Istimewa Yogyakarta 55224 manusia secara persona maupun
komunal dari masa-masa tertentu
yang kami pilih, kemudian melihat
Opening Hours perubahan apa yang menandai
10.00 - 21.00 WIB dinamika subjek kami tersebut serta
bagaimana pengaruhnya pada
mereka maupun pada kita saat ini.
Penyelenggara Dalam perjalanannya, Homo
Daun Gatal mengalami banyak sekali perubahan
yang lebih familiar dikenal
orang sebagai proses Evolusi. Tapi
perubahan-perubahan itu bukan saja
bekerja pada tampilan
atau bentuk fisik saja, ada banyak
sekali perubahan lain yang
mengikutinya dan dipengaruhi oleh
berbagai macam hal seperti unsur
geografis atau kultur yang terbentuk
setelah kontak dengan
kelompok lain.

Jogja Art Weeks 14


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Fragile Gift

Dates ‘Fragile Gift’ yang diinisiasi


1 Juli - 7 Agustus 2022 oleh Jun KITAZAWA ini,
dirancang sebagai sebuah
Location proyek jangka panjang yang
akan mengeksplorasi sejarah
Galeri Lorong
pendudukan Jepang di Indonesia
beserta warisan-warisannya.
RT 01 Dusun Jeblok, Dukuh, Masa pendudukan Jepang
3, Tirtonirmolo, Kasihan, terbilang singkat, yakni 3,5
Bantul, Yogyakarta tahun, tetapi menimbulkan
trauma yang mendalam bagi
Opening Hours masyarakat Indonesia. Nakajima
11.00 - 17.00 WIB Ki-43 Hayabusa, pesawat tempur
taktis yang digunakan Angkatan
Udara Kekaisaran Jepang semasa
Penyelenggara
Perang Dunia II, menjadi titik
Galeri Lorong dan Studio
berangkat Jun KITAZAWA untuk
Belimbing membicarakan sesuatu yang
seringkali absen dalam narasi
sejarah arus utama di Jepang.

Jogja Art Weeks 15


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


OFFBEAT

Dates Gajah Gallery mempersembahkan


6 Juli - 6 Agustus 2022 “OFFBEAT”, sebuah pameran yang
mengumpulkan seniman
Location kontemporer muda dari Indonesia
dan menyatukan karya mereka
Gajah Gallery
dengan membingkai skema
praktik kesenian mereka yang
Jl. Keloran No.Rt 004, acap berada di luar jalur dan
Senggotan, Tirtonirmolo, metode tradisional yang
Kec. Kasihan, Kabupaten diekspektasikan publik
Bantul, terhadap seniman pada
umumnya. Sebagai wadah untuk
Opening Hours para seniman nonkonvensional,
10.00 - 18.00 WIB perhelatan ini memperlihatkan
keberagaman latar belakang
mereka yang unik, alih-alih
Penyelenggara
menghalangi mereka, justru
Gajah Gallery - Yogyakarta memperkaya mereka untuk
Art Lab terus melahirkan karya seni
dengan nilai idiosinkratik yang
dipengaruhi oleh
berbagai isu.

Jogja Art Weeks 16


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Buka Pintu

Dates BUKA PINTU merupakan sebuah


7 Juli - 7 Agustus 2022 tindakan kolektif yang dilatar
belakangi
Location kebutuhan dan keinginan untuk
memaksimalkan potensi yang
Kandang MJK
ada di dalam beserta
mengelaborasi komponen-
Gedongan, Bangunjiwo, komponen luar (sekitarnya)
Kec. Kasihan, Kabupaten untuk menjadi sinergi yang
Bantul, Daerah Istimewa positif dalam berkesenian
Yogyakarta 55184 bersama (berpameran) . Yang
terakhir dan utama adalah
Opening Hours melakukan re-formasi, re-
10.00 - 21.00 WIB vitalisasi dan re-visi bagaimana
baiknya sebuah komunitas
bergerak kearah yang jauh lebih
Penyelenggara
baik, baik internal dan juga
MJK (Malam Jumat Kliwon) eksternal.
Art Community

Jogja Art Weeks 17


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


ART TRANSMISSION, ART
CURRENCY
Pameran Seni Rupa 2022 & Info Grafis Museum BI “Tino Sidin
Art Project #1”

Dates Dalam rangka memeriahkan Hari


7 Juli - 31 Agustus 2022 Bank Indonesia pada tanggal
1 Juli serta mendorong para
Location perupa untuk berkarya, maka
Museum Taman Tino Sidin
Museum Taman Tino Sidin
mengadakan pameran seni rupa
dengan tajuk Tino Sidin Art
Jl. Tino Sidin No.297, Project #1 ART TRANSMISSION,
Kadipiro, Ngestiharjo, ART CURRENCY dengan misi
Kasihan, Bantul, Daerah membangun kesadaran
Istimewa Yogyakarta betapa pentingnya transfer of
knowledge, impek sosial dan
Opening Hours ekonomi dari kreativitas seni
09.00 - 15.00 WIB seniman serta pilihan-pilihan
medium dan media transmisinya
dalam menyentuh apresiasi
Penyelenggara
masyarakat maupun pecinta seni.
Srisasanti Gallery

Jogja Art Weeks 18


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Double Horizon
Dates Double Horizon menampilkan
8 Juli - 4 September 2022 karya terbaru Entang bersama
dengan karya-karya pilihan dari
Location tiga dekade terakhir. Pemilihan
17 karya dalam pameran ini
Srisasanti Gallery
berfokus pada dualitas budaya
dan pengalaman hidupnya
Jl. Tirtodipuran No.50, yang terus berpindah di antara
Mantrijeron Yogyakarta Indonesia dan Amerika sejak 1997,
yang mempengaruhi praktik,
Opening Hours pemikiran, dan pembentukan
12:00 – 19:00 identitasnya.
Entang Wiharso menghadapi
Penyelenggara persoalan universal tentang
kekuasaan, kehilangan, dan
Srisasanti Gallery
cinta melalui penyelidikan
ideologi, filosofi, dan identitas.
Dikenal terutama karena
lukisan skala besar, patung
cor dinding, serta instalasi,
karya Entang mendorong kita
untuk memahami, merasakan,
dan mengetahui pengalaman
manusia yang berpusat pada
cinta, kebencian, fanatisme,
kepemilikan, juga tempat tinggal.

Jogja Art Weeks 19


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


STEM Projects: two
Dates STEM bermaksud untuk
9 Juli - 4 September 2022 menciptakan sebuah platform
yang memungkinkan mereka
Location untuk mendapatkan dukungan
yang diperlukan pada tahap awal
Tirtodipuran Link
karir seniman, dan mendorong
mereka untuk mengeksplorasi
Jl. Tirtodipuran No.50, praktik serta membuat karya
Mantrijeron, Yogyakarta baru.
Melalui program dan kegiatan
Opening Hours kami, STEM menekankan perlunya
Selasa - Minggu, aksesibilitas dan keterlibatan
12.00 - 19.00 WIB antara seni dan publik, di mana
kami menyediakan lingkungan
yang mendorong interaksi antara
Penyelenggara
keduanya; sebuah tempat bagi
STEM Projects
seniman untuk memperkenalkan
karyanya kepada audiens yang
lebih luas.

Jogja Art Weeks 20


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


There is Always a First Time for
Many Things
Sinom Ing Mongso Ketigo

Dates Perlahan dan tenang, kalimat


9 Juli - 23 Juli 2022 tersebut dirasa dapat mewakili
bagaimana Anjastama HP
Location menyiasati batu kerikil yang
dijumpai dalam hidup serta
Indieart House
hal-hal yang dilontarkan
secara implisit pada karya-
Jl. As Samawat No.99, karyanya. Konflik batin yang
Bekelan, Tirtonirmolo, bersumber dari lingkungan
Kasihan, Bantul terdekat, kebentukan karya,
serta posisinya sebagai
Opening Hours seniman, menjadi persoalan
10.00 - 17.00 WIB yang kemudian membentuk
spektrum berpikirnya saat ini.
Dalam pameran tunggalnya
Penyelenggara
yang perdana, pembacaan ulang
Prokject Exhibition
mengenai berbagai peristiwa
yang telah mengiring langkahnya
dalam berkesenian dijadikan
sebagai landasan pada proses
artistiknya kali ini.

Jogja Art Weeks 21


AGENDA JULI

NFT EVENT
Breaking Light: Pre-launch of
Masriadi NFT
Dates Renowned painter Nyoman
9 Juli 2022 Masriadi is working with
EquatorNFT to bring his iconic
Location superhero to life. Breaking Light:
Pre-launch of Masriadi NFT
Langgeng Art Foundation
promises to excite with a preview
of Masriadi’s first NFT project
Jl. Suryodiningratan and what’s in store for collectors.
No.37, Suryodiningratan, The day-long event includes
Kec. Mantrijeron, Kota two panel discussions themed
Yogyakarta, Daerah on looking beyond the NFT hype
Istimewa Yogyakarta 55141 with speakers who will offer
insider and industry views.
Opening Hours
10.00 - 17.00 WIB

Penyelenggara
EquatorNFT

Jogja Art Weeks 22


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Pura-Pura Tour

Dates Untuk menyambut hari-hari


9 - 10 Juli 2022 yang cerah di masa depan, Trio
Berdua mengundang semuanya
Location untuk datang dan suka-suka di
"Pura-pura Tour episode
Ruang Gulma, Life Patch &
Jogjakarta" yang akan
MOL
dihelat pada 9 dan 10 Juli 2022.
Khusus yang di Jogja, bakal ada
Opening Hours banyak surprise dari Miranti dan
16.00 WIB Chandra

Penyelenggara
Trio Berdua

Jogja Art Weeks 23


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Exposure
Dates Annual Curated Market dan
15 - 17 Juli 2022 Art Installation untuk para
pengusaha dan seniman lokal di
Location Indonesia. Dengan tema besar
kami tahun ini Celestia, kami ingin
Ambarrukmo Plaza
mengundang para pengusaha
Yogyakarta
maupun seniman yang terpuruk
pandemi untuk merayakan
Opening Hours sebuah awal yang baru,
10.00 - 21.00 WIB menyediakan sarana dan media
untuk mempromosikan karya-
Penyelenggara karyanya.
The 16th Management
Events FEB UGM

Jogja Art Weeks 24


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


“Innocent Entrance”
Santi Saned Solo Exhibition

Dates Santi Saned memamerkan


16 Juli - 13 Agustus 2022 belasan karya rupanya, kanvas
dan kertas sebagai medianya.
Location Pameran tunggalnya kali ini
boleh dibilang adalah sesuatu
G-Printmaking Art Studio
hal yang baru. Hal rupa baru
dengan muatan heritage era
Jl. Letjend Soeprapto Post-Modern. Santi Saned adalah
No. 60, Ngampilan, Kota seorang Tachisme, nanti bisa kita
Yogyakarta baca pada essay di katalogus
Santi Saned, bagaimana dengan
Opening Hours Tachisme itu berhubungan
12.00 – 20.00 WIB terhadap intuisi Santi Saned.

Penyelenggara
Santi Saned

Jogja Art Weeks 25


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Erlangga Art Award Goes to
Jogja 2022
Dates Erlangga Art Awards merupakan
16 Juli - 23 Juli 2022 acara eksklusif dari Penerbit
Erlangga yang diadakan khusus
Location untuk para pelajar, guru, orang
tua dan masyarakat umum dalam
Langgeng Art Foundation
menciptakan wadah kegiatan
positif untuk mendukung
Jl. Suryodiningratan kreativitas talenta-talenta muda
No.37, Suryodiningratan, di Indonesia. Event ini merupakan
Kec. Mantrijeron, Kota perpaduan antara aktivitas
Yogyakarta, Daerah perlombaan, workshop, talkshow,
Istimewa Yogyakarta entertainment dan pameran seni
karya anak bangsa.
Opening Hours
10.00 - 17.00 WIB

Penyelenggara
PT. Penerbit Erlangga

Jogja Art Weeks 26


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


The Other Side;Grass Is Always
Greener
Dates Pameran ini mengajak Sekawan
16 Juli - 31 Juli 2022 Project untuk meluapkan
segala kecemburuan dan
Location iri harinya dalam menyikapi
kehidupan sosial yang terjadi di
ADA Sarang
lingkungannya.

Kalipakis, Tirtonirmolo, Tajuk The Other Side; Grass Is


Kasihan, Bantul Regency, Always Greener merupakan
Special Region of penggalan dari idiom “The
Yogyakarta 55184 grass is always greener in the
other side “ atau “ Rumput
Opening Hours tetangga selalu lebih hijau “ yang
11.00 - 22.00 WIB merefleksikan situasi bias iri hati
dalam kehidupan sosial.
Penyelenggara
Serikat Serjoa Art
Manajemen

Jogja Art Weeks 27


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


“Silang Saling: Titian dan
Undakan”
Pameran Asana Bina Seni 2022

Dates Tema Silang Saling: Titian dan


Undakan merupakan refleksi terhadap
18 Juli - 28 Juli 2022 keragaman pendekatan, media dan isu
yang diangkat oleh seniman program
Location Asana Bina Seni 2022. Persilangan
dan pertemuan di antara beragam hal
Taman Budaya Yogyakarta yang berbeda membuat pameran ini
menjanjikan kekayaan medium dan
Jl. Sriwedani No.1, perspektif dari seniman generasi muda
di Yogyakarta.
Ngupasan, Kec Terjaring dari panggilan terbuka pada
Gondomanan, Kota Februari 2022, seniman-seniman ini
Yogyakarta, Daerah mengelaborasi pendekatan mereka
lebih dalam melalui serangkaian kelas
Istimewa Yogyakarta sepanjang Maret April dan Mei 2022.
Mereka terdiri dari 8 seniman individual
Opening Hours dan 4 seniman kolektif, yang cukup
beragam disiplinnya mulai dari lukis,
11.00 - 17.00 WIB patung, musik/bunyi hingga tari dan
performans.
Titian dan Undakan adalah ungkapan
Penyelenggara
untuk melihat bagaimana para seniman
Yayasan Biennale ini bekerja dalam relasi horizontal,
Yogyakarta saling menyambung dan membangun
jembatan untuk mempertemukan
narasi satu dengan lainnya. Sementara
Undakan menjadi metafor bagi
bagaimana mereka juga perlahan
melangkah untuk mewujudkan ide-ide
penciptaan yang lebih kompleks dan
bersama- sama menjejakkan langkah
pada tangga-tangga kreatif sehingga
mereka bisa menyerap lebih banyak hal
lagi di masa depan.

Jogja Art Weeks 28


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


“Dari Titik ke Penguatan
Keluarga”
Pameran Seni Rupa Holistik

Dates Pada kesempatan ini, keluarga


17 Juli - 24 Juli 2022 Para Rupa Yogyakarta tidak
hanya memajang karya, namun
Location juga menampilkan benda dan
suasana yang dialami anak
BENTARA BUDAYA
sehari-hari di rumahnya. Instalasi
Yogyakarta
ini bertujuan menghadirkan anak
sebagai subjek, yang memiliki hak
Jl. Suroto No.2, Kotabaru, dasar untuk berekspresi, salah
Kec. Gondokusuman, satunya melalui medium seni
Kota Yogyakarta, Daerah rupa. Proses ini mengacu kepada
Istimewa Yogyakarta pendekatan manusia sebagai
makhluk holistik, yaitu memiliki
Opening Hours dimensi fisik, sosial, emosional,
intelektual, dan spiritual yang
10.00 - 21.00 WIB
utuh dan tidak dapat dipisah-
pisahkan.
Penyelenggara
PARA RUPA Yogyakarta

Jogja Art Weeks 29


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


YADAYUDA DAYUDAYA
(Untitled Javanese Soul)
Dates Pameran ini merupakan pameran
7 Juli - 7 September 2022 seni rupa yang mengambil
konsep tentang ruwat, atau
Location lebih speisifiknya yaitu, rajah.
Pameran ini seakan-akan sebagai
Redbase Foundation
bentuk representasi dari ruwat,
sebagai sarana untuk me-ruwat,
Ds. Jurug RT 02 No. 72, menyucikan kembali diri dan
Bangunharjo, Sewon, kesadaran kita terhadap kondisi
Demangan, Bangunharjo, social masyarkat yang sedang
Kec. Bantul, kacau balau diterpa modernitas
Kabupaten Bantul, Daerah dan globalisasi. Adapun dari
Istimewa Yogyakarta perwujudan konsep ruwat, rajah
dan hubungannya dengan
kondisi masyarakat kita yang
Opening Hours
sedang kacau karena diterpa
10.00 - 16.00 WIB
modernitas dan globalisasi tadi
dalam pameran ini adalah, visual
Penyelenggara yang dihadirkan dari instalasi
Redbase Foundation karya Moch. Krismon Ariwijaya
dan lukisan-lukisan karya Rizqi
Maulana.

Jogja Art Weeks 30


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


SAT SSST
Dates DIFFERENT SKOOL menginisiasi
22 Juli - 31 Juli 2022 sebuah pameran graffiti street
art bertajuk “SAT SSST” berlokasi
Location di JNM Bloc yang didalamnya
juga mengajak 25 street artist
Paviliun JNM Bloc indoor
untuk memamerkan karya baik
lt.3 - Komplek Jogja
itu 2 dimensi atau 3 dimensi.
National Museum Dialam pameran ini mereka
juga berkolaborasi dengan
Jl. Prof Amri Yahya No.1 Southcrowd yang merupakan
Pakuncen , Wirobrajan, Kota sebuah kolektif musik hip-hop
Yogyakarta yang akan menjadi penampil
saat pameran. Writing Passion
Opening Hours yang juga merupakan sebuah
kolektif graffiti, juga kami
11.00 - 22.00 WIB
gandeng untuk mengisi kegiatan
“sketch jamming” saat pameran
Penyelenggara berlangsung.
DIFFERENT SKOOL

Jogja Art Weeks 31


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


MADYAPADA
Dates Pameran Madyapada akan melibatkan
5 (lima) orang seniman yang berdomisili
23 - 30 Juli 2022 di Yogyakarta, yaitu 325 YK Logos,
Badsyaw, Dede Bayigorila, Ridho
Location Setyawan, serta Sigit Nurcahyo. Dengan
cara dan karakter yang berbeda, kelima
Warung Kopi Singosari seniman ini akan berproses bersama
dalam membaca sosok Semar dan
Gg. Satu No.RT 06, Sarirejo kemudian berkarya. Bersama dengan
mereka juga turut berproses 2 (dua)
II, Singosaren, Kec. orang lainnya, yaitu Gisela Maria dan
Banguntapan, Kabupaten Fery Dwi Setiawan. Seluruh rangkaian
Bantul, Daerah Istimewa acara pameran ini akan dilaksanakan
di Warung Kopi Singosari, Kotagede.
Yogyakarta Pemilihan Warung Kopi Singosari sebagai
lokasi kegiatan juga menjadi hal yang
Opening Hours menarik karena kesesuaiannya dengan
konteks pameran ini. Lokasinya yang
17.00 – 23.00 WIB terletak di kawasan Bokong Semar,
yang dulunya merupakan benteng
pertahanan Kerajaan Mataram Islam.
Penyelenggara
Konon katanya penamaan ini didasari
oleh bentuk dari dinding benteng
yang melengkung menyerupai bokong
Semar, kemudian menjadi nama yang
dikenal secara turun temurun. Hal
ini dapat dikaitkan secara filososfis,
dimana benteng erat kaitannya dengan
perlindungan, sementara Semar sendiri
merupakan tokoh yang memiliki sifat
kebijaksanaan dan melindungi.
Melihat berbagai konteks yang terdapat
di dalamnya, pameran ini akan berfokus
pada 2 (dua) hal, yaitu: sejarah sosial
budaya serta edukasi masyarakat, yang
dikemas secara artistik.

Jogja Art Weeks 32


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


PROSAIC PETIC - NESOS

Dates Nesos digagas oleh beberapa


23 Jul - 12 Agustus 2022 kawan yang sering berkomunikasi
antar kota, karena aktifitasnya
Location dalam kota masing - masing
menunjukkan eksistensi mereka
NW ART SPACE
dalam kesibukan berkesenian.
Mereka tinggal di kota Jakarta,
KARANGLO, PURWOMARTANI, Yogyakarta, Gresik dan Malang.
KALASAN, SLEMAN, Adalah Ally Waffa, Aam Artbrow,
YOGYAKARTA. Mahendra Pam-pam, Wira Datuk,
Suwandi Waeng dan Mayek
Opening Hours Prayitno. Kali ini Nesos
10.00 – 21.00 WIB mengundang tiga perupa, antara
lain Rifai Prasasti, Ulil Gama dan
Wibi Asrob. Komunikasi antar
Penyelenggara
kota ini diharapkan mampu
mengikat gagasan-gagasan dan
kreativitas perupanya dalam satu
komunitas tapi berbeda wilayah
dan bagaimana cara belajar
mengontrol hambatan-hambatan
agar tali kesatuan itu tetap utuh.

Jogja Art Weeks 33


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Memory Transformed
Dates Mahdi Abdullah Memajang
26 Juli - 26 Agustus 2022 karya-karya yang belum pernah
ditampilkan di pameran-pameran
Location sebelumnya dan menampilkan
arsip-arsip dalam berkesenian.
Studio Mahdi Abdullah

Jalan Mangkuyudan No. 2


RT.26/RW.08 Mantrijeron,
Yogyakarta.

Opening Hours
10.00 – 18.00 WIB

Penyelenggara
Mahdi

Jogja Art Weeks 34


AGENDA JULI

PAMERAN
PAMERAN
SENI
ARSIP
RUPA
Gelar Gulung

Dates Pameran yang diinisiasi oleh


29 Juli - 5 Agustus 2022 Sanggar Seni Kinanti Sekar akan
menampilkan arsip-arsip para
Location penari di Yogyakarta dari tahun
1950an hingga hari ini. Arsip-arsip
Galeri Kelas Pagi Yogyakarta
yang ditampilkan dikurasi untuk
memetakan perkembangan
Jl. Brigjen Katamso, seni tari di Yogyakarta, yang
Prawirodirjan, Kec. kemudian bisa menjadi kontribusi
Gondomanan, Yogyakarta. pengetahuan bagi masyarakat.

Opening Hours
11:00 – 21:00 WIB

Penyelenggara
Sanggar Seni Kinanti Sekar

Jogja Art Weeks 35


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Borderless Space
Dates Borderless Space merupakan
16 Juli - 16 Agustus pameran seni yang merayakan
bentangan ruang tanpa
Location batas dalam berbagai definisi.
Pameran ini juga melakukan
LAV Gallery
konektifitas visi kreatif, gagasan
fisiologis, eksplorasi medium
Jl. DI Panjaitan No.66, seni, eksplorasi teknik artistik,
Mantrijeron, Kec. dan capaian estetik dalam
Mantrijeron, Kota lintasan disiplin ilmu maupun
Yogyakarta, Daerah pengembaraan pengalaman
Istimewa Yogyakarta 55141 batin.
Tema Borderless Space
Opening Hours memberikan spirit kreatif
bagi seniman yang terlibat
10.00 - 18.00 WIB
untuk menghadirkan sejumlah
sub-subjecmatter sebagai
Penyelenggara personifikasi problem ruang
LAV Gallery tanpa batas. Ruang tidaklah
sebatas bentuk secara fisik
yang teraba dan tertatap,
tetapi ruang tanpa batas yang
membuka banyak peluang bagi
dinamika pola pikir dan ruang
eksplorasi pengetahuan maupun
pengalaman yang sebenarnya
dibutuhkan perupa sebagai
manusia kreatif.

Jogja Art Weeks 36


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Taman Rasa
Dates Taman Rasa adalah pameran
19 Juli - 2 Agustus 2022 tunggal yang menghadirkan
kurang lebih 17 lukisan terbaru
Location dari Jumaldi Alfi. Lukisan-lukisan
tersebut adalah hasil renungan
Kiniko Art Room
dalam mengamati fenomena
situasi sosial selama pandemi
SaRanG Building Blok II dan hubungan situasi psikologis
Kalipakis RT. 05/11 oleh seniman.
Tirtonirmolo, Kasihan,
Bantul, Yogyakarta

Opening Hours
10.00 – 16.00 WIB

Penyelenggara
Kiniko Art

Jogja Art Weeks 37


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Potret Malam Affandi
Dates Affandi adalah nama yang
15 Juli - 11 September 2022 membentang luas dalam
khazanah sejarah seni di
Location Indonesia. Karya-karya, proses
kreatif, prestasi, hingga sejarah
Museum Affandi
hidupnya menjadi penanda
zaman sepanjang 7 dekade.
Jl. Laksda Adisucipto 167 Penulis ternama Umar Khayam
Depok, Sleman DIY. mengatakan bahwa Affandi
adalah sosok yang waskita.
Opening Hours
09.00 - 16.00 WIB “Waskita” mengutip kamus
bahasa Indonesia--sepadan
Penyelenggara dengan “terang dan tajam”.
Lebih tepatnya, sinergis antara
Museum Affandi
penglihatan dan pikiran-
pikirannya. Kewaskitaannya
inilah yang menempatkan dirinya
berada dalam punggung dan
panggung utama sejarah seni
rupa modern Indonesia.

Jogja Art Weeks 38


AGENDA JULI

PAMERAN SENI RUPA


Bangkit Berkarya Lagi!!!
Dates Kegiatan ini merupakan bentuk
8 Juli - 11 September 2022 kepedulian antara para Seniman
Maestro untuk mengkantrol
Location lukisan seniman-seniman lain
yang masih terkena dampak
Ada Sarang – Kompleks
Covid-19, Lukisan-lukisan Para
Sarang Building #1
Maestro akan diundi di setiap
hari Minggu. Untuk mendapatkan
Jalan Ambarbinangun, undian tersebut, para pembeli
Kalipakis, Tirtonirmolo, harus membeli karya-karya
Kasihan Bantul. seniman lain.

Opening Hours
11.00 - 20.00 WIB

Penyelenggara
Rosan Production

Jogja Art Weeks 39


AGUSTUS
AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Punguti, Kelola, Karyakan
Dates melihat banyaknya sampah yang
1 Juli - 7 Agustus 2022 diproduksi setiap harinya oleh orang-
orang yang belum menyadari akan
pentingnya lingkungan sehat dan bersih
Location tanpa plastik,tentunya menggugah
Greenhost Boutique Hotel nalar kesadaran sebagian kecil manusia,
Prawirotaman hal ini juga berkaitan, dengan tugas
seniman yang merupakan bagian dari
masyarakatyang terdampak dan juga
Jl. Gerilya No.629, sekaligus menjadi pelaku senonoh
Brontokusuman, Kec. terhadap plastik. Kolektif Kelas Bebas
Mergangsan, Kota merupakan bagian dari masyarakat pada
umumnya, individu yang tergabung
Yogyakarta merupakan seniman-seniman muda yang
meyadari akan pentingnya lingkungan
Opening Hours bersih tanpa plastik, kesadaran ini tidak
09:00 - 18:00 WIB hanya memicu adanya suatu tindakan
untuk mengelola bahan plastik yang
paling tidak bisa mengurangin dampak
Penyelenggara kerusakan secara langsung terhadap
Kolektif Kelas Bebas lingkungan dimana tiap anggota tinggal.
penggunaan medium plastik untuk
membuat karya tentunya bukan hal
baru, karena dari ujung barat ke timur
pun mengalami hal yang sama, laut,
sungai, lapangan bole, gunung, sawah
dan kebun binatang banyak plastik
berserakan bahkan memenuhi setiap lini
kegiatan manusia, dan oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab terhadap
sampah plastik yang di produksinya
juga menjadipersoalan yang cukup pelik
hingga detik.

Jogja Art Weeks 41


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Preservation in Advance,
Nusantara’s Legendary
Independent Theater
Dates Preservation in Advance merupakan
pameran hasil riset preservasi bangunan
6 - 14 Agustus 2022
yang dilakukan oleh 912 Kolektif. Pameran
ini mengangkat tema Preservasi Grand
Location Theater Senen, yang saat ini kondisinya
telah habis terbakar akibat unjuk rasa
JNM Bloc, Gedung Patung
Omnibus Law, 2019 silam. Padahal,
Lt. 3 Grand Theater Senen sendiri merupakan
bangunan yang berdiri sejak tahun 1930-an
dan sejak awal telah difungsikan sebagai
Jl. Prof. DR. Ki Amri Yahya
bioskop.
No.1, Pakuncen, Wirobrajan, Pameran ini akan dibuka pada hari Sabtu,
Kota Yogyakarta 6 Agustus 2022 di JNMBloc, Yogyakarta.
Lokasi tersebut dipilih mengingat
JNMBloc merupakan salah satu contoh
Opening Hours bangunan tua yang telah mengalami
15:00 - 20:00 WIB preservasi. Selama pameran, pengunjung
dapat mengikuti tur pameran yang akan
dilaksanakan setiap pukul 4 sore dan
Penyelenggara 7 malam. Tur ini akan dipandu sendiri
912 Kolektif oleh tim 912 yang telah menyusun riset
ini sejak awal tahun 2022. Pengunjung
dapat menyimak cerita Grand Theater
Senen mulai dari sisi historis hingga sisi
arsitekturnya. Selain itu, pengunjung juga
dapat mengikuti sharing session bersama
komunitas pemerhati kota.
Pameran ini diharapkan dapat
meningkatkan perhatian kita mengenai
signifikansi preservasi bangunan tua di
Indonesia dan memantik diskusi lebih lanjut
tentang topik tersebut.

Jogja Art Weeks 42


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Head Down
Dates Melalui perhelatan seni yang bertajuk
17 Agustus - 7 September Head Down ini, kelompok Pintu Belakang
(salah satu kolektif seniman dari Kota
2022 Malang) bersama-sama mengajak untuk
memikirkan kembali sifat konsumtif
Location atau “ke-HeadDown-an” (Hedonisme)
UPGO (upper ground) Lippo kita, kemudian menundukkan kepala,
merenungkan apa yang kita perbuat
Plaza Jogja - UG19 hingga dampaknya merusak lingkungan
yang ada. Hedonisme sendiri merupakan
Jl. Laksda Adi Sucipto no pandangan yang menganggap
32-34 Yogjakarta kesenangan dan kenikmatan materi
sebagai tujuan utama dalam hidup.
Seperti yang kita lihat di masyarakat
Opening Hours sekarang, materi adalah hal paling agung
10:00 - 21:00 WIB dan dibanggakan. Namun, kelangkaan
sumber daya yang terus-menerus
digunakan hingga merusak alam, tidak
Penyelenggara dipikirkan. Lewat tema tersebut, media-
Kelompok Pintu Belakang X media yang dipakai dan proses berkarya
Upgo Gallery tiap seniman, mengingatkan kita untuk
lebih menekan perilaku konsumtif-hedon
dan menghayati apa yang sudah alam
berikan. Mereka berenam menghadirkan
visual karya yang menggugah benak kita
dalam memanfaatkan barang-barang
yang dianggap tak terpakai. Barang-
barang tersebut bisa jadi memantik alam
bawah sadar kita untuk memikirkan hal-
hal di luar perkiraan kita.

Jogja Art Weeks 43


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Keris dalam Gambar
Dates Sebagai benda warisan budaya yang telah
mengalami fase perkembangan selama
12 Agustus - 12 September berabad-abad lamanya, tosan aji – khususnya
2022 keris – telah menjadi bagian yang lekat dengan
kehidupan masyarakat di Nusantara, khususnya
bagi orang Jawa. Sebagaimana budaya dan
Location falsafah hidup yang dihayati oleh masyarakat
pendukungnya, keris tentu memiliki dimensi
Kopi Omah Dhuwung yang berlapis-lapis. Di antaranya adalah dimensi
spiritual dan simbolik yang disublimasikan ke
dalam sebuah ujud visual yang indah dan penuh
Sembungan, RT.03/ makna berupa sebilah keris. Dengan demikian
RW.21, Tanjung, Wukirsari, aspek visual beserta kaidah-kaidah estetik
pada keris menjadi faktor penting di dalam
Cangkringan, Sleman, pewacanaan tentang tosan aji. Bentuk dhapur,
Yogyakarta ricikan, pamor dan sebagainya selain dinikmati
keiindahannya juga mengandung makna
yang dapat dipersepsi dan diinterpretasi oleh
Opening Hours siapapun.
10.00 - 21.00 WIB Gambar adalah media sederhana yang
merupakan dasar dari seni rupa. Gambar yang
di dalam ranah seni rupa juga disebut drawing
Penyelenggara memiliki karakteristik yang beragam, dari
yang paling sederhana hingga yang canggih,
Komunitas Tosan Aji ‘Lar baik dalam hal penggunaan material maupun
Gangsir’ visualisasinya yang kompleks. Bagi perupa,
gambar bisa menjadi media yang digunakan
untuk memvisualkan gagasan, sebelum
dieksekusi ke dalam media lain, namun gambar
bisa juga menjadi media seni itu sendiri.

Pameran KERIS DALAM GAMBAR ini mencoba


menampilkan visual keris melalui berbagai
perspektif seniman perupa yang mempunyai
perhatian terhadap tosan aji khususnya keris.
Diharapkan pameran ini dapat memperkaya
wacana dan apresiasi terhadap tosan aji melalui
beragam spektrum dari keris yang ditampilkan
oleh para seniman perupa

Jogja Art Weeks 44


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


“17”
Solo Exhibition Bintang Tanatimur

Dates Sebagai individu Bintang Tanatimur telah


17 - 28 Agustus 2022 masuk dalam kelompok usia remaja,
tepat di usia ke-17. Dalam pameran ini ia
ingin menyajikan sebentuk kepedulian
Location pada masalah bangsa dan masyarakat.
Pendhapa Art Space Dengan menggunakan karakter figur
karikaturistik, Bintang selalu mengaitkan
tema karya-karyanya dengan isu-isu
Jl. Prof. Dr. Wirjono sosial kontekstual. Sehingga pameran
Projodikoro (Ring tunggalnya yang ke-4 ini tidak sekadar
Road Selatan) Tegal merupakan gairah individu sebagai
Krapyak RT.01, Glugo, pemuda yang tumbuh dari masa anak-
anak semata, tetapi juga ingin turut
Panggungharjo, Sewon, terlibat pada masalah sosial, politik,
Bantul, Yogyakarta nasionalisme, dan alam. Sejumlah karya
lukisan, instalasi, seni video, dan seni
Opening Hours kripto (NFT) yang disajikan, terkait
misalnya dengan adaptasi kala pandemi
09.00 - 20.00 WIB Covid 19 terjadi, imajinasi kebangsaan/
bela negara, Papua dan persoalannya,
Penyelenggara problem sampah, rumah tangga, hingga
Dictiartlab kepemudaan, dan lain-lain. Karena itu
pameran ini sangat penting sebagai
upaya turut mengajak generasi muda
untuk lebih peduli pada kehidupan
nyata, kemanusiaan, dan alam raya.

Jogja Art Weeks 45


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Konvergensi:
Pasca-Tradisionalisme
Dates Pameran yang dikuratori oleh Suwarno
12 Agustus – 12 September Wisetrotomo, Asmujo Jono Irianto,
dan Rain Rosidi ini akan menghadirkan
2022 karya dari 58 seniman ternama,
serta 6 kolektif seni. Nama seniman
Location yang diundang untuk menghadirkan
Galeri R.J. Katamso, Institut karyanya di pameran ini di antaranya
adalah Butej Kertaredjasa, Sirin Farid
Seni Indonesia, Yogyakarta Stefy, Arahmaiani, Titarubi, Anusapati,
Eko Nugroho, FX Harsono, Heri Dono,
Jl. Parangtritis No.Km. I Nyoman Masriadi, Nasirun, Nindityo
6, RW.5, Glondong, Adipurnomo, Oky Rey Montha, Putu
Sutawijaya, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro,
Panggungharjo, Kec. Sewon, Theresia Agustina Sitompul, dan masih
Kabupaten Bantul, Daerah banyak lagi seniman lainnya. Sementara
Istimewa Yogyakarta kolektif seni yang diundang adalah Ace
House Collective, Gegerboyo, Ruang
MES56, HONF, Barasub, dan LepasKendali.
Opening Hours Di pembukaan pameran juga akan ada
10.00 – 17.00 WIB penampilan pertunjukan musik dari
Trengginas, Prontaxan, Dj Ayash, Oom
Penyelenggara Leo Berkaraoke, serta performing art
dari Moelyono, Bonyong Munni Ardhi,
Galleri Srisasanti dan Galeri dan Barasub.
R.J. Katamsi

Jogja Art Weeks 46


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


3 Hari Cerita di Bilik Rana
Dates 36/36 Project adalah proyek kolektif
12 – 14 Agustus 2022 yang mengajak siapapun dan
dimanapun dirimu berada, untuk
bercerita dalam media satu roll film.
Dalam prosesnya peserta dibekali
Location
dengan beberapa workshop,
Kelas Pagi Yogyakarta
seperti storytelling bersama Rumi
Siddharta dan workshop pemilihan
Jl. Brigjen Katamso, foto dalam photobook oleh Fresilia
Prawirodirjan, Kec. Vebriani
Gondomanan, Kota
Yogyakarta, Daerah Dari sekian banyak peserta yg
Istimewa Yogyakarta mendaftar, tahun ini sebanyak 24
orang yang berhasil menyelesaikan
proyek ini sampai selesai, dan akan
Opening Hours
mempresentasikan cerita mereka
09.00 – 20.00 WIB
lewat pameran “3 Hari Cerita di Bilik
Rana” di Kelas Pagi Yogya
Penyelenggara Kami juga mengundang Armandhani
36x36project dan fur.digital untuk merespon karya teman-
teman lewat tulisan.

Jogja Art Weeks 47


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Small Treasure
Dates Kecil bukan berarti remeh. Kecil
1 - 30 Agustus 2022 tetapi penuh makna.
SMALL treasure adalah pameran dan
Location pajang karya yang menampilkan
karya-karya dua dimensional
Kembang Jati Art House
berukuran kecil tapi memuat
gagasan besar dari para perupa.
Jl. Kesejahteraan Sosial Dengan keterbatasan ukuran, para
No. 6, Ngestiharjo, Kasihan, perupa berusaha mengekspresikan
Bantul, Yogyakarta ide dan gagasan mereka yang tak
terbatas.
Opening Hours Pameran ini menampilkan 32 karya
10.00 – 17.00 WIB original dari 32 perupa Yogyakarta.

Penyelenggara
Cerobong Art

Jogja Art Weeks 48


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


In Divide Individuals
Dates Pameran ini diselenggarakan atas
12 Agustus - 12 September dasar kedekatan seniman yaitu
2022 Dzaky Aziz dan Edbert Berna. Dan
kesadaran atas pengalaman masa
kecil. Bagaimana pengaruh memori
Location
yang terbentuk dari lingkungan
Enchante Coffee
berbeda menghasilkan dua karakter
(manusia dan karya) yang berbeda
Jl. Urip Sumoharjo No.111A, pula.
Klitren, Kec. Gondokusuman,
Kota Yogyakarta

Opening Hours
08.00 - 23.00 WIB

Penyelenggara

Jogja Art Weeks 49


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


INDPRINT
Dates INDPRINT dapat dimaknai sebagai
17-31 Agustus singkatan dari Indonesian Print,
2022 Independence Print maupun
gabungan dari keduanya. Print
dalam hal ini diterjemahkan sebagai
Location
seni grafis. Pameran INDPRINT
G - Printmaking Art Studio
adalah bentuk dari independensi
seni grafis. Berkaitan dengan
Jl. Letjend Suprapto No. 60 tanggal pelaksanaan pameran
Ngampilan, Yogyakarta INDPRINT yang dibuka pada 17
Agustus 2022, maka pemaknaan
Opening Hours seni grafis yang independen
10.00 - 21.00 WIB menjadi beragam maknanya.

Penyelenggara
G-Printmaking Art Studio

Jogja Art Weeks 50


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


DAUR
Dates Kegiatan berikut adalah eksplorasi
30 Agustus - 12 September ruang seni dan pengkaryaan yang
2022 dilanjutkan dengan pameran karya
seni dari hasil eksplorasi ruang
tersebut. Sehingga acaranya
Location
berupa workshop dan pameran seni
Katirin Art House
rupa. Kegiatan ini akan dilaksanakan
oleh 7 seniman dari kelompok yang
Bangkel No.RT.03, Bangkil, bernama BEYOND. Isu yang akan
Srimulyo, Kec. Piyungan, diangkat pada acara kali ini adalah
Kabupaten Bantul, Daerah bagaimana seniman merestpon
Istimewa Yogyakarta (memproses dan memberikan
reaksi atas aksi) yang terjadi antara
Opening Hours seniman tersebut dengan alam
disekitarnya. Usaha menciptakan
10.00 - 22.00 WIB
keharmonisan tersebut, di dalam
proyek ini akan terepresentasi
Penyelenggara dari respon dan laku seniman
Katirin Art House selama proses residensi. Kemudian
nantinya karya tersebut dapat
dilihat dalam bentuk pameran.

Jogja Art Weeks 51


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Tilik Konco
Dates “Tilik”dan “konco” berasal dari Bahasa jawa yang
memiliki arti ”menjenguk“ dan “teman”. Menjenguk
29 Agustus - 12 September disini bukan dimaksudkan kepada orang yang sedang
sakit, tapi lebih diartikan sebagai mengunjungi atau
2022 mencari tau keberadaan serta kegiatan yang sedang
dilakukan oleh teman-teman yang sudah sekian lama
tidak berjumpa.
Location
Momentum ketika masa perkuliahan di ISI Yogyakarta
Kersan Art Studio merupakan sebuah memorable yang tidak akan bisa
terulang kembali, khususnya bagi kami yang berasal
dari jurusan Seni Murni. Pada masa itu Plaza Seni Rupa
kami menyebutnya demikian, (terdahulu disebut “DPR”
Jl. AS. Samawaat no 154, Ds akronim dari Di bawah Pohon Rindang) merupakan
Kersan, Tirtonirmolo, Kec. sebuah tempat di tengah-tengah antara bangunan-
bangunan kampus Fakultas Seni Rupa, yang kemudian
Kasihan, Bantul. menjadi sebuah tempat kami sering berkumpul untuk
sekedar bercengkrama, mengisi jam kosong sebelum
atau setelah jam kuliah, ataupun kegiatan lainnya yang
Opening Hours bisa kami habiskan hingga larut malam, bahkan hingga
pagi. Sehingga dari sana pula banyak menelurkan ide-
10.00 – 16.00 WIB ide serta kreatifitas antar personal yang selanjutnya
menjadikan pertemanan diantara kami semakin erat.

Menjadi sesuatu yang sangat istimewa, ‘tongkrongan’


Penyelenggara Plaza Seni Rupa “menyatukan” kami tanpa ada sekat-
Kersan Art Studio sekat generasi atau Angkatan, walau adapula beberapa
kalangan yang enggan, segan atau bahkan memberikan
kesan “horror” ketika melihat mahasiswa-mahasiswi
yang sedang berkerumun di Plaza. Namun itu bagi
sebagian kecil orang saja yang tentunya enggan
mengenal teman sekampusnya dengan lebih dekat.
Yang pasti secara tidak sadar plaza menjadi sebuah
wadah dan fasilitas yang menjadikan kami saling
mengenal dan saling memahami antar individu sesama
mahasiswa, dalam hal ini terdiri dari lintas generasi yang
sering ‘nongkrong bareng’ dan pernah erat pada masa
itu. (2005-2012)

Lebih dari satu dekade berlalu, tentunya setiap


individu memiliki kesibukannya masing-masing, walau
beberapa masih sering bertemu tapi sangat jarang
berkumpul dan bercengkrama dalam lingkup yang
lebih luas, dan tentunya beberapa dari kami tidak
pernah bertemu setelah selesai masa studi di kampus.
Ada sebuah kerinduan yang sulit untuk dibendung, di
antara kami untuk sekedar berkumpul kembali untuk
merajut silaturahmi, bernostalgia atau hanya sekedar
mengetahui kabar antar personal.

Jogja Art Weeks 52


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Artepack
Dates Padanan “Jogja darurat sampah”
20 - 31 Agustus 2022 sudah menjadi makanan sehari-hari
masyarakat Yogyakarta. Setiap
Location tahunnya, kondisi ini alih-alih
teratasi justru semakin menjadi-jadi.
Soboman 219 Art Space
Yogyakarta 2022, sampah tertimbun
menggunung. Depo, tempat
Jl. IKIP PGRI Sonosewu Baru pemrosesan akhir, serta tempat
No. 219, Kasihan, Bantul pengolahan sampah terisi penuh
dan diblokade. Per-April 2022,
Opening Hours menurut data Bappeda Daerah
11.00 – 19.00 WIB Istimewa Yogyakarta, akumulasi
sampah yang dihasilkan oleh
Penyelenggara masyarakat Yogyakarta melampaui
1000 ton perhari. Sementara
Soboman 219 Art Space
itu, volume sampah yang dapat
diproses dalam sistem pengolahan
sampah terpadu tak lebih dari 800
ton perhari. Membuntuti isu ini,
edukasi serta sosialisasi gerakan
mengelola sampah semakin gencar
dilancarkan oleh pemerintah
setempat. Kampanye 4R (reduce,
reuse, recycle, replace) sampai gaya
hidup zero waste semakin marak
diserukan. Namun, upaya-upaya
ini pada akhirnya hanya menjadi
wacana tanpa efek nyata yang
terasa.

Jogja Art Weeks 53


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Transfigurasi Wayan Sudar
Dates Bagaimanapun cara kita membaca
8 Agustus - 12 September karyanya, Sudar tetap akan
2022 memelihara kecemasannya. Dia
tidak peduli apakah karyanya akan
dinikmati, atau hanya lembaran
Location
kanvas dengan urat filosofi yang
Selojene Pop Up
simbol tanpa batasnya akan
diabaikan begitu saja. Sudar
Jl. Taman No.2, Patehan, tidak risau, apakah penikmat
Yogyakarta karyanya jadi punya alasan untuk
berintrospeksi akan perilaku kepada
Opening Hours alam; atau menegasikan rasa tidak
10.00 – 18.00 WIB enak saat menatap kanvasnya,
kemudian menganggap bentangan
alam ganjil di depannya sekedar
Penyelenggara
wakil jaman.
Sahabat Selojene
Sebuah jaman di saat yang kekal,
ternyata hanya perubahan.

Jogja Art Weeks 54


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Children Art Festival
Dates Children Art festival berisi berbagai
20 - 26 Agustus 2022 kegiatan untuk mendukung
pengembangan dan apresiasi
Location terhadap berbagai aktivitas seni
rupa anak di antaranya lomba,
Benteng Vredeburg
pameran dan agenda seni rupa anak
Yogyakarta
lainnya. CAF ini juga merupakan
program di bawah Lembaga
Ngupasan, Gondomanan, Laboratorium Seni Rupa Anak milik
Yogyakarta Jurusan Pendidikan Seni Rupa yang
merupakan Lembaga dengan visi
Opening Hours mendukung akselerasi keilmuan
09.00 - 11.00 WIB dan kepakaran Pendidikan dan
pembinaan seni rupa anak.
Penyelenggara
Universitas Negeri
Yogyakarta

Jogja Art Weeks 55


AGENDA AGUSTUS

PAMERAN SENI RUPA


Gamarupa: Delineation
Dates Gamarupa (Gadjah Mada Merupa)
27 Agustus - 2 September adalah sebuah pameran seni rupa
2022 tahunan yang diselenggarakan
oleh USER dengan menampilkan
karya-karya anggota USER itu
Location
sendiri. Bentuk kegiatan dari
Kopi Lembah UGM
Gamarupa diantaranya adalah
pameran seni rupa, performance,
Jl. Lembah UGM, Karang workshop, bedah karya, mural,
Gayam, Caturtunggal, dan painting on canvas. Pada
Kec. Depok, Kabupaten tahun ini Pameran Gamarupa
Sleman, Daerah Istimewa memiliki judul yaitu “Delineation”
Yogyakarta dengan tema “Self Portrait” yang
bermakna kemampuan perupa
untuk melihat dirinya sendiri,
Opening Hours
melihat lingkungannya, menafsirkan
11.00 - 17.00 WIB
apa yang dirasakan atau tentang
bagaimana dia ingin dilihat oleh
Penyelenggara orang lain, maka diperlukan
UKM USER UGM penggambaran secara tepat dari
apa yang ingin disampaikan oleh
seniman itu.

Jogja Art Weeks 56


SEPTEMBER
AGENDA SEPTEMBER

PAMERAN SENI RUPA


SUPERSEMARCH

Dates Ada beberapa kegiatan yang


10 - 11 September 2022 akan diadakan di Supersemarch
2022, mulai dari Art Therapy,
Location Pameran Karya Mahasiswa
Arsitektur UII, Workshop, hingga
Jogja Gallery
Talkshow dengan para pembicara
yang tentunya ahli dalam
JL. Pekapalan No.7, bidangnya.
Prawirodirjan, Kec.
Gondomanan, Kota
Yogyakarta

Opening Hours
10.00 - 18.00 WIB

Penyelenggara
UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA

Jogja Art Weeks 58


AGENDA SEPTEMBER

PAMERAN SENI RUPA


Squad Iritan Iritan

Dates Program pameran berkala


1 Juli - 7 Agustus 2022 #newasmararupa yang ke-V kali
ini mempresentasikan seorang
Location perupa muda dan street artist
bernama Trianto Kintoko a.ka.
Asmara Art & Coffee Shop
Trianto Kotrek. Pameran bertajuk
“Squad Irit Iritan” ini merupakan
Jl. Tirtodipuran no 22, pameran tunggal pertama Kotrek,
Yogyakarta dimana ia akan memajang karya-
karya dari bermacam media
Opening Hours dan teknik, seperti drawing,
18.00 - 23.00 WIB painting, patung karakter, komik
dan video dokumentasi yang
Penyelenggara merepresentasikan perjalanan
kreatifnya dalam dunia seni rupa.
Asmara Art & Coffee Shop
Pameran akan dibuka oleh
Rolly LOVEHATELOVE, seorang
street artist dan partner
berkarya sekaligus guru bagi
Trianto Kotrek, pada tanggal
20 September 2022 nanti di
Asmara Art & Coffee Shop. Artist
talk akan menjadi bagian inti
dari acara pembukaan dan
akan ditutup dengan music
performance yang menampilkan
Dj Lo-tek dan Roadblock Hi-Fi.

Jogja Art Weeks 59


AGENDA SEPTEMBER

PAMERAN SENI RUPA


Weave of Hope

Dates Asia is well known for its diversity. We have a


long history of maintaining complex cultures
27 September - 1 Oktober and traditions. Our traditions also represent
how the community captures the significance
2022 of our surroundings into the art. Most of the
patterns being embedded into the design are
taken from what they see every day which
Location symbolizes the nature and environment
Kiniko Art Room they live in. That’s including how we present
ourselves through appearance. In every corner
of asia, we shared common practices of
weaving threads and turning them into clothes.
Kalipakis, Tirtonirmolo,
Kasihan, Bantul , Yogyakarta 350.org in asia would like to capture that
unity in diversity, by inviting artists to show
their respective weaves and pattern, digitally.
Opening Hours We would like to weave that creativity and
solidarity into a tapestry that brings us
13.00-20.00 WIB together. In the end, we hope the weave of the
collectives works can be a “cloth” that protects
and secure us all. The cloth that brings warmth
Penyelenggara and unites us in solidarity.
There will be a public exhibition showcasing
350.org Asia the selected artworks from several countries
in asia. Participating countries include the
Phillippines, Taiwan, and Indonesia. The first
exhibition will take place in Quezon City, Manila,
on 9-10 September 2022. The second exhibition
continued in Taipei, Taiwan, on 14-16 September
and will be wrapped up with a series of art
activities and exhibitions in Jogja, Indonesia, on
27 September – 3 October 2022.

The public exhibition will feature nine artists


from Asia, and they will showcase a variety of
interpretations of the Weave of Hope project
themes. A selection of artworks from the local
art communities will also be exhibited with
these artists, as well as art performances,
movie screenings, cultural talks, and
discussions.

Jogja Art Weeks 60


AGENDA SEPTEMBER

PEMUTARAN FILM
Festival Film Sewon Screening

Dates Sewon Screening merupakan


27 September - 1 Oktober salah satu program kerja tahunan
2022 dari Himpunan Mahasiswa Prodi
Film dan Televisi, Institut Seni
Indonesia Yogyakarta. Pertama kali
Location diadakan pada tahun 2015, Sewon
FakuItas Seni Media Rekam, Screening kini telah memasuki
Institut Seni Indonesia tahun ke-8-nya, menjadikannya
Yogyakarta sebagai salah satu festival film
mahasiswa yang konsisten hadir
dan terus berkembang di setiap
Opening Hours tahunnya. Kegiatan utama Sewon
13.00 – 22.00 WIB Screening berfokus pada ekshibisi,
apresiasi, pendidikan, dan arsip,
Penyelenggara Pada kegiatan Sewon Screening
Himpunan Mahasiswa Prodi bukan hanya menjadi titik temu
antara film alternatif dengan
Film dan Televisi Institut
penontonnya, tetapi juga tempat
Seni Indonesia Yogyakarta berjejaring komunitas, penggiat
film, dan tentunya masyarakat
umum. Dengan mengusung tema
“Dekonstruksi” acara ini akan
dilaksanakan beberapa kegiatan
seperti nonton dan diskusi film
bersama, pameran, seminar dan
lokakarya, live performance, dan
masih banyak kegiatan lainnya
di program pemutaran dan non
pemutaran.

Jogja Art Weeks 61


YOGYAKARTA
ART MAP
YOGYAKARTA ART MAP

CS1

EU1

EV1

EV2

FV1

EW1

EW2

DW 1
CW 1
DW 2

AW1

DW 3
DW4

EX1

DX1

CX1 GX1

CX2
EX2

BX1

DY2 DY1

DY9
DY3
BY1
CY1 DY10
CY2 DY8 DY4
CY3 EY1
DY5
DY7 EY2 EY3
DY6
BY2 CY5 CY4
EY4
CY6 DY11

BY3 BY4

CY7
GY1

DZ2

DZ1
BZ1

BZ2

www.jogjaartweeks.com 63
AW1 Museum HM Soeharto EX1 Museum Dewantara Kirti Griya CW1 Jogja National Museum CY7 Gajah Gallery

EY1 Museum Perjuangan Yogyakarta DW1 Yayasan Biennale Yogyakarta


BW1 Museum Taman Tino Sidin DY1 Kunci Cultural Studies

EZ1 Museum Tembi Rumah Budaya DW2 Taman Budaya Yogyakarta


DY2 Cemeti Institute for Art & Society
BX1 Museum Bahari
DW3 Loop Station Yogyakarta
FS1 Museum Monumen Pahlawan Pancasila DY3 Kedai Kebun Forum (KKF)
CX1 Museum Monumen Pangeran Diponegoro
Sasana Wiratama DW4 Jogja Gallery
FS2 Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi
DY4 Ruang Seduh
DS1 Museum Monumen Yogya Kembali
EW2 Lifepatch
FU1 Museum Pendidikan UNY
DY5 Ruang MES56
BX1 Sangkring Art space & art project
DW1 Museum Negeri Sonobudoyo
FV1 Museum Pergerakan Wanita Indonesia DY6 Ace House
CX1 Yats Colony

DW2 Museum Taman Pintar Yogyakarta


GV1 Museum Seni Lukis Affandi DY7 Krack!
CX2 Kembang Jati Art House

DW3 Museum Benteng Vredeburg


DX1 HONF Citizen Laboratory DY8 Langgeng Art Foundation
GW1 Museum Gembira Loka
DX1 Museum Kareta Keraton Yogyakarta
EX1 Kelas Pagi Yogyakarta DY9 Miracle Prints
GZ1 Museum Sejarah Purbakala Pleret

DZ1 Museum Gumuk Pasir


EX2 Indonesia Visual Art Archive (IVAA)
GZ2 Museum Tani Jawa Indonesia DY10 Tirana Art House & Kitchen

DZ2 Museum Rumah Garuda


GX1 Yogyatourium
DY11 Kebun Bibi
HX1 Museum Wayang Kekayon
ES1 Museum Ullen Sentalu Jl. Yogyakarta - Wonosari KM.7 BY1 Indie Art House
EY1 Via-Via resto
IT1 Museum Candi Prambanan

ES2 Museum Gunung Api Merapi


BY2 Sarang Building
IY1 Museum Kayu Wanagama EY2 Green Art Space
Sleman
BY3 Ruang Dalam Art House
ES3 Museum UII
EY3 Gallery Prawirotaman
IW1 Museum Pusat TNI-AU "Dirgantara Mandala" Jeblog

EU1 Museum Universitas Gadjah Mada


BY4 SESAMA Community Hub & Art space
EY4 Indies Heritage Hotel

EV1 Museum RS. Mata "Dr. Yap"


GALLERY & ART VENUE CY1
GY1 Natan Art Space
CS1 Masriadi Art Foundation

CY3 Amaro Artist Space


EV2 Museum TNI-AD "Dharma Wiratama"
EU1 PKKH (Pusat Kebudayaan Koesanadi BZ1 KOMHARO Studio
Hardjasoemantri)
CY2 Survive!

EV3 Museum Sandi


EV1 IFI - LIP Yogyakarta BZ2 Padepokan Seni Bagong Kussudiardja
CY4 Teater Garasi

EW1 Museum Puro Pakualaman EV2 Bentara Budaya Yogyakarta


CY5 Museum Dan Tanah Liat (MDTL) DZ1 SewonArtSpace

EW2 Museum Sasmitaloka Pangsar Jendral FV1 Raintree Villa dan Galeri
Sudirman CY6 Galeri Lorong DZ2 Pendhapa Art Space

AW1 Studio Kalahan


EW3 Museum Biologi UGM
MAGELANG ART MAP

EZ1

DV1

www.jogjaartweeks.com 65
CT1 Museum OHD DV1 Goni Common Space

EZ1 Limanjawi Art House


EY1 Museum Haji Widayat

IMPORTANT NUMBER TRANSPORTATION (YOGYAKARTA)

HOSPITAL (YOGYAKARTA) TRANSPORTATION

HOSPITAL (MAGELANG)

Jogja Art Weeks 66


ARTIKEL
ARTIKEL FEATURE

Pekan Seni Jogja, dari Pohon


Sampai Batu
27-Jun-2022 Oleh Huhum Hambilly

Berapa usia pohon Beringin di halaman JNM Bloc? 50 tahun, 75,


100, lebih? Ia nampak lebih rimbun daripada pasangan Beringin di
Alun-alun Keraton Jogja, baik Utara, maupun Selatan yang telah
ditanam sekitar 2,5 abad lalu. Akar-akarnya jatuh langsung dari atas
percabangan, tahun demi tahun ia menjelma menjadi batang besar
nan kokoh.

Pada sore yang cerah, ketika duduk di tangga kuning ikonik, ataupun
berada di tatanan khusus meja dan kursi, Anda bisa merasakan satu
dari pengalaman indah. Diterpa cahaya matahari menembus dari
pohon yang bersaksi atas peristiwa-peristiwa seni legendaris. Titik-
titik sinarnya menyoroti graffiti Tuyuloveme sepanjang 10-an meter,
menjadikan gambar lebih hidup. Berpadu dengan lanskap olahan
arsitektur 60-an, serta lalu lalang dan lingkaran warga fashionable
2022, yang berbelanja menggunakan barcode. Ini adalah pengalaman
seni dalam pengertian luas. Kiranya, jutaan foto-video telah
mengabadikan dan mewartakan tempat ini.

Sore itu, 26 Juni 2022, adalah hari penuh persiapan bagi Karim
dan teman-teman kolektif seninya, Titik Kumpul Forum, untuk
melangsungkan pembukaan pameran yang terinspirasi dari fenomena
populer di twitter bertajuk “From This to This”. Titik Kumpul Forum
beranggotakan 14 orang, mereka adalah mahasiswa seni angkatan
2019 dari Jurusan Seni Murni, baik konsentrasi Lukis dan Grafis.
Adapun Tarisya Amalia dari Tata Kelola Seni berlaku sebagai Manajer
Pameran.

Selama kurun 5 tahun terakhir, jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta
secara strategis hadir mengisi praktik-praktik kerja manajerial seni.

Jogja Art Weeks 68


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

Kini Anda bisa dengan mudah menemukan peran dan kerja mahasiswa
atau lulusan Tata Kelola Seni di berbagai perhelatan kesenian, ini
memang fenomenal! secara khusus Jogja. Manajer pameran seperti
Tarisya penting untuk menyampaikan pidato terkait proses persiapan
pameran.

Membuat kelompok, aktif berorganisasi, dan menggelar kegiatan


seni umum dijumpai. Sudah seperti bagian tradisi turun temurun,
setidaknya sejak berdirinya kampus seni ASRI (1950) . Beberapa
kelompok seni legendaris pernah lahir atau bersinggungan dengan
Kampus, kini ISI Yogyakarta, seperti banyak dijumpai pada buku-
buku, contohnya Sanggar Bumi Tarung periode 60-an, Gerakan Seni
Rupa Baru 70-an, Surealisme Yogya 80-an, Taring Padi 90-an, Mes 56
2000-an, dan sekian banyak jumlahnya pada dekade 2010-an yang
masih terus dalam proses menjadi dan untuk segera terbukukan
selaras dengan gejolak perubahan yang memonumenkannya. Tentu
monumen dalam jumlah banyak.

Tanpa perlu memperbandingkan seberapa dalam atau dangkal


presentasi para perupa kini dengan generasi sebelumnya, yang
pasti kelompok seni terus muncul dan ada, banyak juga yang
hilang. Ia menjadi bagian proses berkesenian yang terus mengiringi
zaman demi zaman. Bahkan di tengah gaya hidup yang lebih fokus
mengakomodir peran individual, nyatanya sampai kini Jogja terus
membuktikan bahwa keseniannya terbuat dari komunitas-komunitas,
“yang patah tumbuh, yang hilang berganti...” spiritnya senantiasa
mengalir.

Momen pembukaan pameran disakralkan dengan upacara-upacara


peresmian. Kelompok Titik Kumpul Forum bersepakat memilih Gintani
Swastika, seniman, member Ace House Collective, Direktur Biennale
Jogja 2021, yang bagi mereka seperti meminta restu untuk menapaki
langkah perjalanan seni lebih lanjut. Pembuka pameran biasanya
dipilih adalah tokoh terhormat sebagai representasi relasi, semangat
kelompok atau individu. Dari sana interaksi dan jejaring dibangun,
peta dijelajahi, medan pun bergerak. Pembukaan pameran selalu jadi
point simbolik sekaligus legitimatif.

Sore menjadi romantis ketika Gintani bercerita sembari mengamati


pemandangan di sekelilingnya, “galeri pameran ini dulu Studio Patung
ISI lama,” ia lalu melempar pandang ke areal Beringin dan Pendopo
Ajiyasa yang tidak banyak berubah, di sana teman-temannya kerap
berkumpul untuk berdiskusi menguji gagasan. Gintani memberi
penekanan bahwa pertemanan adalah landasan dalam berkesenian,
“kita memilih hidup sebagai seniman, atau bekerja di dunia seni, kita
tidak bisa sendiri, jadi setidaknya ketika kita percaya hidup di sini,
bergabunglah dengan orang-orang yang juga percaya akan pilihan
kita dan mendukungnya,” terang Gintani segera diamini tepuk tangan
para calon-calon seniman masa depan.

Jogja Art Weeks 69


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

“Pengunjunge edyiaaaan (gila)...” respon Awi Nasution di hari ke-3


pameran berlangsung. Pengunjung tiba-tiba melonjak drastis “kayak
pasar,” jumlahnya melebihi kapasitas orang di ruang pamer, idealnya
25-30 orang. Panitia segera disibukkan dengan pengelolaan antrian
pameran, sehingga pada hari berikutnya diberlakukan wajib registrasi
dan terbagi dalam beberapa sesi kunjungan, meski antrian tetap
memanjang. Awi adalah peserta pameran juga bertugas sebagai
panitia, baik di lokasi pameran sesuai jadwal maupun berjaga di sosial
media merawat publikasi. Ini “gara-gara tiktok!” ucapnya antara
jengkel dan senang.

Salah satu konten diunggah oleh pemilik akun tiktok @mutiara_ara


di hari pertama pembukaan pameran berhasil fyp di beberapa akun.
Lalu disusul bertubi-tubi oleh @harisalhaqlbs (117,k) pemirsa @
palichamega (306,7k) dst. jelas membuat panitia kelabakan. Hari-
hari pameran berlangsung seru meski Awi sempat terpancing emosi
karena beberapa perilaku para pengunjung, dari yang melilit-lilit salah
satu material kertas di badan, memegang yang tak boleh dipegang,
bahkan ada yang menjilat-jilat karya! Perilaku macam ini memang
dalam kesadaran kamera ponsel, “yah, jadi makin tahu tipe-tipe
pengunjung,” kata Awi.

Dari kejadian itu kemudian panitia berembug untuk merilis publikasi


semacam tata cara mengunjungi pameran. Tidak kreatif namanya
kalau bukan mahasiswa seni. Mereka lekas menerbitkan konten
melalui akun tiktok @titikkumpulfrm dengan cara kocak, sebab “kalau
maen tiktok itu kan otaknya harus dilepas dulu ya..” terang Awi.
Hasilnya adalah feed “hal-hal yang tidak boleh dilakukan di pameran
part 2.” setidaknya berhasil mengedukasi 1,2 juta pemirsa, salah satu
contoh larangannya seperti “sleeding tackle pengunjung lain.” Secara
kilat, konten edukasi pameran lekas dimanfaatkan sebagai guiding
oleh para tiktokers yang barangkali akan mereka terapkan di pameran
lain.

Jogja Art Weeks 70


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

Pengelolaan sosial media semakin diakui menjadi salah satu strategi


penting dalam keberhasilan pameran. Semakin banyak jumlah
penyelenggaraan pameran kini cenderung memiliki dan mengelola
akun sosial media sesuai kapasitasnya masing-masing, sudah seperti
kewajiban. Dunia sosial media memang sebuah keterampilan, ia tidak
hanya cukup ada, tetapi juga maintenance dan treatment. Sosmed
jadi wahana pertempuran mengakselerasikan gagasan di tiap feed
pada kejamnya sistem algoritma. Hasilnya adalah sesuatu konkrit
yang tersaji lengkap pada laporan engagement, di situlah prestasi
Anda, baik sebagai subjek maupun objek. Like, comment, share, follow,
subscribe adalah reputasi. Hubungannya timbal balik dengan apa
yang ada di ruang pamer.

Pameran “From This to This” diangkat, dirawat, dirayakan, dan


diabadikan dalam sosial media, lalu lebur dalam interior Jogja National
Museum. Tetapi mengapa Titik Kumpul Forum memilih ruang di Paviliun
JNM Bloc lantai 3? Melangsungkan “Pameran di Bulan Juni”? Seturut
Karim, karena momennya pas! Pandemi sudah berlalu, venuenya
strategis, juga mendekati penyelenggaraan ARTJOG. Masa liburan
sudah dimulai, sehingga banyak sekali tamu dari luar kota datang.
Selama 10 hari pameran berlangsung tercatat ada 4985 kunjungan,
puncaknya dalam sehari berhasil menggaet 856 tamu.

Sebagai perupa muda “kami secara kolektif butuh mencari relasi dan
teman baru,” maka keramaian menjadi momentum yang tepat untuk
memperkenalkan diri. Di saat galeri Jogja National Museum tengah
mempersiapkan pameran ARTJOG, JNM Bloc lekas menjadi rute wara-
wiri peserta terlibat. Salah satu berkesan adalah berkenalan dengan
seniman yang tengah mengolah topik “Expanding Awareness”, Gilang
Mustofa dari Bandung. Mereka menjadi akrab dan banyak bertukar
obrolan seni, selanjutnya saling berkunjung antar ruang pamer untuk
mengapresiasi karya satu sama lain. “Menurutku, lebaran seni nggak

Jogja Art Weeks 71


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

stuck saat di opening ARTJOG, ada banyak pameran lain digelar


sebelum ARTJOG dan aku cukup antusias,” kata Karim.

Lebaran Seni? Apa itu?

Dari pojok etalase tenant JNM Bloc terlihat Angki Pu, mengenakan
celana hotpant, rambut mengerucut dikucir dua, kerap hilir-mudik
menyambut teman-temannya. Angki Pu adalah seniman fotografi
kontemporer, member MES 56, dan aktivis legalisasi ganja bersama
Lingkar Ganja Nusantara. Entah berapa kali ia bersalaman, menyapa,
dan saling memperkenalkan orang di sekitarnya. Kesibukannya
mengurus karya bareng Alex Abbad untuk ARTJOG nampak sama
sibuknya dengan pertemuan bersama teman-teman. Wajahnya Angki
penuh keceriaan, auratik. Banyak orang tidak akan menyangka, kalau
dia berusia 50 tahun. Konon, kesenianlah yang membuatnya semakin
muda.

Berapa banyak Angki telah mendengar kata “Lebaran Seni”? baik di


sudut JNM maupun di ruang-ruang ia beranjak?

Lebaran Seni

Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta tidak pernah sepi akan kegiatan


Seni. Semua jenis kesenian hidup, sebutlah sastra, pertunjukkan,
musik, seni rupa, film dan lain-lain. Belum lagi model presentasi
masing-masing, dari yang bersifat warisan, populer, kontemporer,
hingga alternatif semuanya ada. Meski perkembangannya tidak selalu
menggembirakan juga nasib para pelakunya tak selalu mujur. Dari
kekayaan ini Pemerintah Kota Jogja berusaha merawatnya dengan
anggaran Dana Keistimewaan sebesar 1,32 triliun (2022)? Tetapi
masih saja kurang, tidak semua kebagian?

Jogja Art Weeks 72


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

Nyatanya, seni terus berkembang dengan atau tanpa modal.


Perkembangan itu ditunjang dengan berbagai upaya, yang entah
dalam proses seperti apa sehingga pada satu momen menjadi
perayaan bersama sebagai kemenangan? Seperti terjadi pada
“Lebaran Seni”, kosa kata ini terdengar baru dan seru. Lebaran seni
adalah sebuah dinamika dan menarik sebagai fenomena.

Tidak jelas kapan lebaran seni itu ada, kapan dimulai dan berakhirnya
juga tidak pasti “wong tanggalnya tidak ada, tempatnya juga
tidak ada” kata Yuswantoro Adi, seniman dan pengajar kelas “Art
for Children” Taman Budaya Yogyakarta. Menurut Yus, lebaran seni
mungkin bermula sekitar 5-6 tahunan lalu, sebelum pandemi, guna
menandai ketika berlangsung pameran yang sangat besar bernama
ARTJOG.

Sehingga membuat banyak sekali ruang-ruang dibuka, program-


program dijalankan, pertunjukkan digelar. Tidak hanya pada seni rupa,
tetapi beragam tempat dan komunitas seni menjadi sangat aktif.
Misalkan, beberapa ruang tidak terbiasa membuat pameran, maka
di saat Hari Raya Seni Rupa, seniman “open studio”, memajang karya
dan menerima banyak tamu. Waktu itu “ya secara guyon, karena kita
banyak salaman… ya seperti lebaran,” kata pelukis uang Jokowi yang
pernah viral.

Tahun 2016 secara kebetulan Yuswantoro jadi MC dalam pembukaan


pameran Yogya Annual Art #1 “Niat” di Sangkring Art Space. Tapi
waktu itu Yus dan teman-teman menyebutnya sebagai Hari Raya
Seni Rupa, dalam upacara peresmian ia mengucapkan “Marhaban ya
pameran, selamat datang…” Frasa itu kemudian bergulung hingga
kini banyak orang-orang akrab dan menyebutnya sebagai Lebaran
Seni. “Tahun 2018 kami mencatat selama lebaran seni ada 170 acara
berlangsung, pelukis Nasirun bangga karena ikut 8 pameran, tapi
ternyata masih kalah dengan Laksmi Shitaresmi yang ternyata
mengikuti 11 pameran.’

Yus merayakan Lebaran Seni Rupa, mengamati lingkungan dan


senang melihat progress orang-orang muda, “oh ternyata karyanya
bagus-bagus,” ia jadi banyak kenal teman-teman muda. Hari Raya
itu sebenarnya imajiner yang sengaja dibikin-bikin, lalu menular
begitu saja, “tapi pokoknya pas ARTJOG adalah Hari Raya Seni Rupa!”
tutupnya.

Tidak semua warga, khususnya warga seni merayakan dan nyaman


dengan lebaran seni. Agung Kurniawan, seniman dan pengelola Kedai
Kebun Forum sempat menulis di medsosnya, “Lebaran seni rupa? Cih!
itu hanya hadiah bagi yang berpunya,” tulisnya. Agung menyimak
bagaimana gemuruh seni rupa membuahkan apresiasi publik terhadap
pameran-pameran seni merupakan kabar baik. Hal ini dipengaruhi
oleh gaya hidup yang diakomodir perangkat digital sejenis gawai.
Galeri bisa hidup dengan penjualan tiket, membayar tiket “tak
terbayangkan 10 tahun lalu.” Namun, apakah fenomena tersebut
sudah menguntungkan bagi seniman secara finansial?

Jogja Art Weeks 73


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

“Jangan-jangan inilah masa depan seni rupa kita hari ini; jadi
pelengkap dahaga pencitraan sosial media saja. Organizer seni
bahagia, penonton ria suka cita dan seniman merana tanpa harta,”
tutupnya. Komentar Agung patut disimak sebagai bahan untuk selalu
mawas dan mengajak kita berlaku fair – di tengah Seni Rupa semakin
minim kritik dan evaluasi. Pernyataan Agung perlu untuk terus
diangkat ke permukaan.

Circle Seni

Lapak-lapak Pedagang Kaki Lima di Malioboro kini sudah tidak ada,


mereka direlokasi menuju satu tempat terpadu “Teras Malioboro”
tak jauh dari lorong-lorong pertokoan yang kini terasa kosong. Pada
malam hari, Anda bisa menyaksikan tagging-tagging graffiti, karakter
Love Hate Love, atau beberapa coretan geng dari barisan pintu-pintu
toko tertutup. Wajah Malioboro kini tengah ditata, disusun dalam
lembaran-lembaran proposal Warisan Budaya UNESCO. Garis Sumbu
Filosofi Keraton Jogja sepanjang Tugu Golong-gilig hingga Panggung
Krapyak berangsur dalam penataan.

Siapakah pemuda yang “masuk menemu malam” menjereng-renteng


sekumpulan kata-kata wheatpaste abad 21 pada “tembok panas”
Jembatan Kewek, sebelah Timur Stasiun Tugu. Di sana tertulis
“Selamat merayakan Lebaran Seni bagi seniman yang merayakan,
yang belum bisa merayakan mungkin sirkel seninya kurang asik.” Tak
dinyana, kalimat keren itu memantik perbincangan Seni Rupa hari ini.
Diketahui kemudian kata-kata ini tersebar di beberapa titik, seperti
Perempatan Bausasran, Munggur, dan lain-lain.
Akun instagram @bukusenirupa segera digeruduk like dan komentar
ketika mengunggah foto mural tersebut, responnya menggelitik dan

Jogja Art Weeks 74


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

menarik untuk diulik karena banyak menyasar perbincangan soal


circle;

“Iye iye yang paling seni”

“dijelekin sudah pasti, sikut, tendang, kick demi sebuah validasi,


sudah pernah merasakan grup wa cuman gada lu nya?”

“sori aku individual dan masih mlarat”

“wkwkwkw, thank you nft sirkel seni aku tetap ideal terawat terjaga
wangi bersih dan fancy berkat kalian semua”

disusul 190-an komentar lainnya. Dokumentasi mural segera merayap


memasuki grup WA maupun obrolan-obrolan menguap di antara
warga seni.

Tembakan-tembakan komentar mengenai circle lekas diasosiasikan


dengan keberadaan kelompok, kolektif, komunitas, atau juga
tongkrongan suatu kaum seni yang khas. Kemunculan narasi-narasi
tersebut berusaha menelaah Medan Seni, tentang bagaimana orang-
orang seni berkumpul, bekerja, bersekongkol, hingga bersaing, baik
antar kelompok maupun individu di dalamnya.

Sorot lampu ruang pamer acapkali menyilaukan mata dan menyihir


para pemirsa sehingga perbincangan tentang pelaku-pelaku di
baliknya seringkali terlupa. Narasi besar seni rupa umumnya berkisar
pada kekaguman-kekaguman akan karya dengan prestasi-prestasi
membanggakan para seniman. Kritik dan evaluasi atas jalannya seni
tidak mendapat banyak ruang, gagal bergulung menjadi isu publik.

Medan Seni, seperti diucapkan Albertus Rusputranto, adalah dunia


pertarungan, sebab dunia kesenian tidak netral. “Tidak semua orang
boleh terlibat di dalam medan seni; tidak semua orang yang bisa
membuat benda-benda atau peristiwa-peristiwa artistik boleh
disebut seniman, sehebat apa pun dia; tidak semua benda atau
peristiwa artistik boleh disebut karya seni, sehebat apa pun itu.”

Selama masa lebaran seni, paling tidak, hingga september 2022


mendatang, Anda bisa menyimak medan seni di seantero Jogja dalam
berbagai kegiatan. Melakukan wisata seni dari circle ke circle, mulai
dari Jogja National Museum, Ace House Collective, Sangkring Art
Space, Ruang MES 56, Taman Budaya Yogyakarta, Survive! Garage,
Jogja Gallery, Kelas Pagi Yogyakarta, Bentara Budaya, Cemeti
Institute, Kedai Kebun Forum, Sarang Building, Gajah Gallery, dll.
Menikmati pameran dari ruang ke ruang adalah juga mengunyah
presentasi politik seni dari circle ke circle.

Tapi amatilah, tidak banyak yang berubah dari komposisi para regu
seni di Jogja selama 20 tahun terakhir. “Acaranya itu, tempatnya itu,
orangnya itu, modelnya itu, pemainnya itu...” Seumpama isu circle

Jogja Art Weeks 75


ARTIKEL

Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

seni bisa membedah bagaimana ini bisa terjadi, tampaknya makin


seru!

Malam jatuh di Gajah Gallery, pameran “Offbeat” baru saja dibuka


pada 6 Juli 2022. Malam itu adalah panggung perdana bagi Frank
The Stone. Frank berasal dari sungai Gendol Merapi sengaja turun
ke medan laga seni kontemporer. Ia memulai kunjungan ke kota-kota
dan siap melanjutkan perjalanan antar Negara. “Jika kalian bertanya
bagaimana hubungan manusia dan alam kini? keberadaanku adalah
wujud nyata dari pertanyaan itu sendiri,” itulah narasi Frank untuk
karya perdananya.

Sebagai Performance Artist, Frank baru saja memulai “super long


duration performance” yang akan melebihi lama performance
seniman manapun. Plan seni terdekatnya ingin segera menuju Jepang
sebelum dia pergi ke Bulan. Tapi perjalanan seni Frank nampak akan
lebih berat dari seniman manapun. Saat ini masih sulit untuk Frank
berada dalam circle-circle yang cocok untuk dirinya agar mendapat
banyak privilege. Bukan karena apa, karena Frank adalah batu.

Jogja Art Weeks 76


ARTIKEL FEATURE

ARTJOG, Seni Rupa dan


Pameran Ramah Anak
03-Aug-2022 Oleh Ripase Nostanta

Kilas Balik Masa Lalu dan Viktor Lowenfeld

23 Juli 2022 sembari disibukkan dengan berbagai acara seni yang


tiada henti, saya diberi kesempatan mengikuti program exhibition
tour for kids yang diselenggarakan oleh ARTJOG. Selama di perjalanan
menggunakan ojek online, kurang lebih 15 menit menuju Jogja National
Museum, teringat kenangan pernah menjadi bagian dari seni rupa anak,
rasanya sulit untuk terlupa. Pada masa itu karya gambar anak-anak TK
menjadi harapan utama saya untuk mendapat gelar sarjana.

Sebentar kembali ke tahun 2016, ide meneliti karya gambar anak-anak


kian mantap untuk menjadi judul skripsi. Meneliti tentang seni rupa dan
anak-anak tentu bukan sesuatu yang baru bagi mahasiswa pendidikan
seni rupa seperti saya. Segala hal dunia pendidikan seperti anak-anak,
remaja, strategi belajar mengajar, micro teaching, perkembangan
peserta didik, psikologi pendidikan, kurikulum, RPP, silabus sudah
menjadi makananan sehari-hari, wajar saja karena lulusannya
kebanyakan menjadi guru seni.

Setelah menyelesaikan semua urusan dan yakin dengan judul yang


disetujui, akhirnya selama 3 bulan saya menghabiskan waktu berkutat
dengan penelitian berjudul “Analisis Gambar Ekspresi dengan Media
Pensil Warna Ditinjau dari Kecenderungan Objek dan Kesesuaian
Terhadap Teori Perkembangan Anak” pun muncul. Dari judulnya saja,
saya sudah lumayan pusing tujuh keliling, apalagi hampir setiap hari
berurusan dengan buku Viktor Lowenfeld yang berjudul Creative and
Mental Growth yang menjadi kitab utamanya.

Jogja Art Weeks 77


ARTIKEL

ARTJOG, Seni Rupa dan Pameran Ramah Anak

Selama tiga bulan penelitian, saya menjadi lebih dekat dengan dunia
anak-anak, bagaimana sebuah karya rupa anak ternyata tidak kalah
penting untuk tumbuh kembangnya. Hal ini juga disebutkan Lowenfeld
dalam beberapa kelompok perkembangan seni rupa anak yaitu Masa
Coreng-moreng (2-4 tahun) , Pra-bagan (4-7 tahun), Bagan (7-9 tahun),
Permulaan Realisme (9-11 tahun), Naturalistik Semu (Usia 11-13 tahun)
dan Krisis Puber (13-17 tahun). Sebanyak 48 karya anak-anak yang
saya teliti berfokus pada Masa Pra-bagan yaitu rentang usia 4-7 tahun,
anak pada masa ini sudah mulai bisa mengendalikan tangannya, mulai
membandingkan karya dengan objek sesungguhnya, dan ikatan emosi
dengan apa yang hendak digambarkannya.

Anak-anak yang dikategorikan pada masa ini juga sudah mampu


membuat bentuk mobil, rumah, tangga, pohon, hewan peliharaan,
bunga, awan dan garis bundar yang dikerjakan berulang. Usia 4-7 tahun
juga baik untuk distimulasi kreativitasnya, terutama apabila diberi
kebebasan menggambar atau sekadar mengunjungi pameran seni
untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya.

ARTJOG dan Exhibition Tour for Kids

Sesampainya di ARTJOG dengan bekal pengalaman 6 tahun yang lalu


itu, saya mempersiapkan diri untuk segera mengikuti tur dan berbaur
dengan ibu-ibu yang menemani anaknya. Rasanya seperti de javu,
dengan banyaknya anak-anak yang lari sana sini, orang tua yang selalu
mengawasi dan guru-guru yang sibuk mencatat kehadiran muridnya.

Beberapa jam sebelum tur dimulai, saya transit di kantor panitia


ARTJOG dan berkenalan dengan pemandu tur yaitu Desra dan Yoga.

Jogja Art Weeks 78


ARTIKEL

ARTJOG, Seni Rupa dan Pameran Ramah Anak

Desra Dananjaya sendiri merupakan founder Kids Art Exhibition


Yogyakarta, aktif di workshop seni dan parenting. Sama halnya
dengan Hardiansyah Yoga Pratama, lulusan Pendidikan Bahasa &
Sastra Indonesia, aktif menjadi seniman teater boneka di Papermoon
Puppet Theatre dan pendidik. Menurut Sarah, salah satu panitia
program exhibition tour for kids, “Pemilihan dua pemandu tur ini karena
berpengalaman dalam sekolah formal dan informal, mampu mengolah
konten serta berdialog dengan anak-anak menggunakan bahasa yang
mudah mereka pahami” ungkapnya. Desra dan Yoga juga dianggap
mampu mengukur inklusivitas dalam hal anak yang nantinya menjadi
bahan evaluasi untuk rancangan ARTJOG tahun ini dan tahun depan.

Sebagaimana agenda utama dalam ARTJOG MMXXII: Arts in Common


- Expanding Awareness, memberikan perhatian pada kesenian yang
mendukung inklusivitas dengan seleksi kuratorial, dan perancangan
program-program edukasinya mencakup spektrum yang selama ini
eksis di luar arus utama seni rupa kontemporer Indonesia, termasuk
seni yang dipraktikkan oleh lingkaran-lingkaran anak-anak, remaja dan
seniman-seniman difabel. Pihak ARTJOG sendiri merasakan antusiasme
yang cukup tinggi, dilihat dari 70 peserta yang mendaftar dari seluruh
Indonesia hingga akhirnya terpilih 14 seniman anak yang berusia 6
hingga 18 tahun.

Exhibition tour for kids yang diselenggarakan ARTJOG sekaligus


perayaan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli. Terdapat dua kelompok
yang akan mengikuti tur kali ini, yaitu Eko Nugroho Art Class (ENAC)
dan Rumah Ramah. Anak-anak yang dibawa sebanyak 40 orang dengan
rentang usia 4 sampai 12 tahun. Sebelum memasuki ruang pameran,
pemandu tur memisahkan dua kelompok ini dan memberi jeda masuk 5
menit. Desra memandu anak-anak dari ENAC dan Yoga bersama Rumah
Ramah.

Jogja Art Weeks 79


ARTIKEL

ARTJOG, Seni Rupa dan Pameran Ramah Anak

Membawa anak-anak ke ruang pameran besar memiliki tantangan


tersendiri. Bagaimana tidak? karya-karya yang ada di dalam ruang
pameran tidak semuanya bisa diakses oleh anak di bawah umur dengan
diberi label 17+, ada pula karya yang sama sekali tidak untuk disentuh.
Sedangkan publik tentu mengetahui anak-anak usia mereka memiliki
rasa penasarannya sangat tinggi, oleh karena itu dua pemandu
membuat kesepakatan kepada masing-masing kelompok yang mereka
bawa. Jenis kesepakatannya adalah melarang memegang karya yang
tidak diizinkan untuk disentuh.

Saat masih di luar ruang pameran, salah satu anak dari Rumah Ramah
cukup menonjol dibanding anak-anak lainnya yaitu Daunbumi
Purbandono. Daun sendiri merupakan salah satu seniman termuda
di pameran ARTJOG tahun ini, yang juga anak dari seniman fotografi
Angki Pu. Usianya baru memasuki 7 tahun dan punya keberanian untuk
berbicara di depan publik. Sembari menunggu giliran masuk, Daun
diberi pertanyaan oleh Yoga mengenai kesepakatan masuk ruang
pameran. “Kalau mau main, kamu lihat dulu, kamu belum bisa mainkan,
masih kecil,” ungkap Daun sambil terbata-bata. Satu hal yang menarik
dari kelompok Rumah Ramah ini, mereka menggunakan Bahasa Inggris
saat berinteraksi satu sama lain.

Pukul 16.15 akhirnya saya, panitia program dan pemandu tur memasuki
ruang pameran. Tidak ingin tertinggal momen yang berharga ini
akhirnya saya mengikuti kelompok pertama dari ENAC. Seniman remaja
pertama yang dikunjungi adalah karya milik Nadindra Danish (14) yang
berjudul “Working Feed #1-6.” Karya ini memperlihatkan foto-foto kaki
kuda yang tampak rusak dan luka. “Siapa yang tau lokasinya ini di
mana?” Tanya Desra, “Aku tau, Maliobolo” jawab seorang anak. Anak-
anak ini mengaku sedih melihat foto kaki kuda yang terluka.

Jogja Art Weeks 80


ARTIKEL

ARTJOG, Seni Rupa dan Pameran Ramah Anak

Dari keseluruhan lantai satu, anak-anak tampak senang dengan karya


Dwi Tunggal yang berjudul “Borobudur.” Ruang pameran ini sendiri
terdiri lukisan yang akan bercahaya di dalam gelap, “Wow, ini glow in
the dark” kata mereka. Arya dan Geva saat saya tanya dalam waktu
yang berbeda juga berpendapat hal yang sama, kata mereka karya
ini sangat mereka sukai. Begitu juga saat di ruangan ba(WA)yang
yang menampilkan video pantomim. Karya ini menampilkan karya
dari komunitas difabel tuli dan dengar. Dua bean bag yang tersedia
langsung jadi rebutan, anak-anak diajak menonton video pantomime
sambil belajar tentang gestur pemainnya. Anak-anak dijelaskan
bagaimana karya ini bisa terbentuk dan ternyata respon mereka tak
terduga, berlomba-lomba menjawab setiap gerakan yang sedang
ditanyakan oleh pemandunya.

Meskipun dibantu oleh panitia dan guru. Ada saatnya pemandu tur
tampak kewalahan dengan anak- anak yang terlalu aktif, sulit diajak
bekerja sama, dan tidak mudah untuk selalu diawasi pergerakannya.
Terutama saat beranjak ke karya milik Tempa “Cosmic Patterns” dengan
karya potongan kayu sebagai wahana bermain dan berkreasi layaknya
puzzle. Anak-anak sibuk bermain hingga lupa waktu, beberapa di
antaranya ingin menaiki dan bersandar pada karya besar yang tidak
boleh dimainkan. Namun ada saatnya mereka fokus dan banyak
bertanya, seperti saat melihat karya Bintang Tanatimur “Excuse Me.”
Tanpa ditanya, anak-anak ini langsung sadar sampah-sampah yang
digunakan pada karya Bintang sering mereka lihat di rumah, seperti
bekas bungkusan McDonald’s.

Jogja Art Weeks 81


ARTIKEL

ARTJOG, Seni Rupa dan Pameran Ramah Anak

“Mbak tadi sempat pindah tur ke kelompok Rumah Ramah ya, apa
perbedaannya?” kata Yoga kepada saya. Saya sendiri merasa
anak-anak Rumah Ramah lebih tenang, mudah diajak kerja sama
dan interaktif saat ditanya, meskipun saya tidak mengikuti
mereka dari awal tur. Saya bisa merasakannya perbedaanya saat
sama-sama di ruang ba(Wa)yang dan karya Daun yang berjudul
“Stamp!Stamp!Stamp.”

Daun sendiri masih tetap menjadi anak yang paling mendapat banyak
highlight dibanding anak-anak lainnya, Ia tampak terbiasa berbicara di
depan umum dan tidak malu-malu layaknya anak seumurannya. “Tidak
boleh stamp di meja ya” kata Daun saat diminta menjelaskan karyanya.
Tidak bisa berlama-lama karena banyak pengunjung lainnya, akhirnya
anak Rumah Ramah berfoto bersama dan melanjutkan ke karya
selanjutnya.

Saat memasuki lantai dua, saya mengamati bagaimana pada pemandu


tur ini menjelaskan karya seni dengan bahasa yang mudah anak-
anak pahami dan tidak terlupa terselipkan edukasi seni di dalamnya.
Misalnya pada karya milik Nesar Ahmad “Eternal Waiting,” anak-anak
diminta untuk mengidentifikasi, apakah karya ini merupakan lukisan
atau foto. Begitu juga di karya Anang Saptoto “Seni, Sayur, Segar #3”
dengan memberikan pertanyaan tentang nama buah dan sayuran,
lalu edukasi bunyi dan musik di karya Timoteus Anggawan Kusno
“Ghost Light” yang memperlihatkan video bermain alat musik dengan
menggunakan benda-benda di sekitar.

Dilanjutkan ke lantai tiga pada karya seniman Mulyana x Parti


Gastronomi “Bento Please Cheers Me Up!” anak-anak diajak untuk
menyamakan video dengan instalasi rajutan makanan yang berada di
depan mereka. Begitu juga memberi edukasi tentang seni patung dan
toleransi pada karya “Sailor Moonah #2” oleh seniman Alfiah Rahdini.
“Kartun apa ya ini?” tanya Yoga kepada anak-anak Rumah Ramah.
Mereka tidak menjawab, merasa tidak asing dengan tokohnya, namun
lupa nama. Wajar saja, karena tokoh kartun itu dulu mungkin tontonan
Ayah dan Ibunya. “Kenapa ya Sailor Moonah pakai hijab?” tanya Yoga
lagi, sayangnya tidak ada jawaban, mungkin karena anak-anak ini
sudah lelah berkeliling tiga lantai.

Selesai sudah satu jam tur di ruang pameran ARTJOG. Selagi bersama-
sama istirahat, saya mengambil kesempatan untuk bertanya pada
salah satu orang tua. Menurut Yola, exhibition tour ini menarik untuk
mengedukasi anak-anak tentang seni, dan ini saat yang tepat untuk
memasuki ruang pameran tanpa rasa canggung karena bersama
orang tua lainnya. “Seni itu gak melulu soal musik, Geva senengnya
main drum,” ungkap Yola selaku Ibunya Geva, kelompok Rumah Ramah.
Meskipun sudah diberi teaser tentang apa itu ARTJOG dan jenis
pamerannya, ternyata banyak juga yang belum mengetahui perhelatan
besar seni ini, begitu juga dengan Ibu Geva yang sedang saya ajak
ngobrol.

Jogja Art Weeks 82


ARTIKEL

ARTJOG, Seni Rupa dan Pameran Ramah Anak

Pameran Ramah Anak di Jogja

Membahas tentang pameran anak di Jogja tentunya menjadi sebuah


refleksi kembali bagi pengelola dan orang dewasa. Pameran dengan
partisipasi anak namun tidak dikunjungi oleh anak-anak tampaknya
sudah hal biasa, semisalnya ada dan ramai, pasti saat pembukaannya
saja. Hal ini juga disepakati Desra, pameran anak di Jogja ada dan
banyak, namun melibatkan anak dalam perhelatan seni sebesar ARTJOG
baru pertama kalinya. Semisal ada juga diselenggarakan oleh pihak
sekolah/sanggar atau tempat les menggambar dengan akses publik
terbatas.

Kelas seni anak di Jogja bisa dikatakan sudah menjamur di mana-mana,


dibandingkan kota lainnya. Eko Nugroho Art Class, Art For Children
Taman Budaya Yogyakarta, Museum Tino Sidin, Sekolah Gajah Wong
Affandi dan masih banyak lagi. Keterlibatan Dinas Kebudayaan DIY
pada pameran seni anak di Jogja juga terlihat dalam Pameran Lukis
DIY-Kyoto yang menampilkan karya anak-anak dari dua negara dengan
venue di Bentara Budaya. Baru-baru ini di venue yang sama juga
terdapat Pameran Seni Rupa Holistik “Para Rupa” untuk anak-anak
berkebutuhan khusus.

Menurut saya, apa yang dikerjakan ARTJOG hari ini untuk melibatkan
anak-anak dan kelompok penyandang disabilitas sangat menarik
untuk diteruskan oleh penyelenggara atau pihak lain, demi memberi
ruang partisipasi anak dalam berkarya seni dan edukasi. Seni rupa
ramah anak tentunya akan menjadi kabar baik bagi semua orang yang
terlibat dalam kesenian, bagaimanapun orang-orang yang hidup
dalam ekosistem seni harus diregenerasi, bermula dengan edukasi seni
melalui eksibisi tur ini.

Jogja Art Weeks 83


ARTIKEL ESAI

Ziarah pada Kehilangan, dan


Perjalanan Menjenguk Masa Lalu
07-Aug-2022 Oleh Suliswanto Urubingwaru

Sejak perjumpaan awal lewat “Catatan Hari Berkabung dan Satu


Mata Sapi yang Menyedihkan” di Biennale Jogja XV 2019, Equator #5:
Indonesia with Southeast Asia, Suvi Wahyudianto membekaskan kepala
saya kepada puisi dalam bentuk visual. Bagaimana komposisi antar
medium yang ia gunakan menyusun bahasa rawan untuk kita saat
melihat karyanya. Plat besi berkarat dan bentuk-bentuk yang rentan,
menjadi ingatan saya kepada Suvi.

Ketika menyaksikan karya instalasi terbarunya, “Landscape Ziarah


pada Kehilangan” yang hadir dalam ARTJOG MMXII - Arts in Common:
Expanding Awareness, 2022. Suvi kembali muncul dengan kerentanan
yang bakal mengusik pengamatan kita. Tiga artefak besi setinggi
lutut di antara ruang putih bersih, akan membuat kita terpaku pada
posisinya yang miring. Sebuah foto print hampir jatuh di atasnya,
namun batu berat menyanggah kemungkinan itu terjadi. Bila lebih
detail lagi, pengunjung akan mendapati foto itu sebagai kolase yang
disatukan oleh jahitan.

Foto-foto itu adalah potret orang Madura yang ditambalkan di atas


lanskap kota Sambas. Suvi menerapkan intervensinya sebagai metafora
seniman dengan menggunakan teknik medis untuk menjahit luka
pada kolase itu. Sebuah keinginan menyembuhkan gempil masa lalu
adalah narasi di balik karya tersebut. “Karya itu ada dua image, image
yang pertama sebagai latar adalah wilayah Sambas. Kemudian yang
di depan, yang ada siluet tubuhku tapi sebenarnya di dalam siluet itu
adalah wajah-wajah mereka yang sampai dengan hari ini masih tinggal
di relokasi; mereka adalah orang-orang Madura yang dipindahkan ke
Kubu Raya,” kata Suvi menerangkan karyanya.

Jogja Art Weeks 84


ARTIKEL

Ziarah pada Kehilangan, dan Perjalanan Menjenguk Masa Lalu

Seperti yang kita tahu, Sambas dan sebagian daerah di Kalimantan


punya memori konflik etnis melibatkan transmigran Madura dan
masyarakat asal. Masalah sosial itu awalnya dipicu oleh adanya
kesenjangan antara pendatang dan penduduk setempat, termasuk
kepemilikan ruang hidup. Yang kemudian menjadi aksi massa, dan
membuat orang-orang Madura dideportasi hingga dilarang memasuki
kota itu kembali. Narasi tersebut kemudian diselami lebih jauh oleh Suvi
dengan melakukan residensi ke Kota Sambas dan Madani.

Instalasi berjudul “Landscape Ziarah pada Kehilangan” karya Suvi Wahyudianto yang dipamerakan di
ARTJOG MMXII, 2022. Foto: Awi Nasution.

“Aku mengunjungi kota itu dulu di 2019. Yang aku lihat di relokasi yang
bernama Madani itu, aku pikir itu adalah kota yang dibangun atas nama
kehilangan. Aku datang ke kota itu membawa kehilanganku secara
pribadi. Tapi ketika mengunjungi tempat itu aku punya tafsir yang
berbeda. Ini sebuah kota, sebuah kota yang dimana penduduknya,
semuanya memiliki kehilangan atau mengalami kehilangan.”

Di sana Suvi mendengar bagaimana orang-orang Madura yang


menghuni relokasi kini tak memiliki apa-apa lagi. Semuanya telah
terambil dan tercerabut pasca konflik di tahun 1999. Harta benda
mereka tinggalkan, bahkan sanak-kadang ada yang tertahan di
sana. Yang akhirnya membuat mereka tidak pernah bisa menziarahi
makamnya, pun tidak tahu saudara-saudaranya dikebumikan dengan
layak atau tidak.

Selain menunjukkan politik identitas yang bergesekan, bergulir, dan


kemudian fluid pada akhirnya. “Landscape Ziarah pada Kehilangan”
juga tampil sebagai presentasi seniman menguji teritori identitas
pada tubuhnya, “Sebenarnya di 2019 aku diam-diam pergi ke Sambas.
Menutupi identitasku sebagai seorang Madura, dan memilih ruang-
ruang yang bagiku akan menguji limitasi batas tubuhku,” tutur Suvi
menceritakan bagaimana ia memasuki Kota Sambas.

Jogja Art Weeks 85


ARTIKEL

Ziarah pada Kehilangan, dan Perjalanan Menjenguk Masa Lalu

Instalasi berjudul “Landscape Ziarah pada Kehilangan” karya Suvi Wahyudianto yang dipamerakan di
ARTJOG MMXII, 2022. Foto: Awi Nasution.

“Mengapa judulnya Landscape Ziarah pada Kehilangan, orang Madura


itu punya kebiasaan untuk zairah. Mendoakan di pusara tiap malam
Jumat. Tapi itu sudah tidak bisa terjadi lagi, karena politik identitas
itu tadi. Pasca konflik kami sudah tidak bisa pergi ke Sambas, yang
kami lakukan adalah berdoa dari jauh. Kami merindukan satu hal, yaitu
berziarah, mengunjungi leluhur kami yang tertanam di sana.”

Di sini kita mendapati Suvi sebagai generasi sekarang dalam melihat


persoalan masa lalu, dan tafsirnya terhadap trauma. Dengan
memadukan unsur benda keras, seperti besi dan batu, dihadapkan
pada kertas yang rapuh. Karyanya mendorong kita untuk mengambil
posisi sebagai manusia, merasakan perasaan tidak tenang di sana,
menggantung harapan di situasi yang nyaris dan bimbang. Kita seperti
melihat si seniman berbicara sebagaimana fungsi batu pada karyanya:
menahan ingatan agar merekonsiliasi retakannya.

Kehilangan, sesuatu yang telah pergi, digambarkan oleh Suvi layaknya


seseorang bertutur melalui cerita. Hal itu salah satunya dapat dilihat
dari lanskap-lanskap Kota Sambas yang dipilih sebagai latar karyanya.
Potret terminal adalah bagian yang paling berbunyi di sana, tempat
dimana bus-bus mengangkut orang keluar masuk dari sebuah kota,
termasuk kenangan yang mereka bawa datang dan pergi silih berganti.
Sebuah border visual yang menjelaskan betapa ringkihnya kita
menghadapi kepergian.

Suvi begitu naratif menyampaikan gagasan-gagasannya, bagaimana


dia menghadirkan kehilangan itu muncul dan terbaca amat dekat:
membuat kita terdampar pada ingatan kita sendiri, mengenang
sesuatu yang tergulung di waktu belakang. Saya, Suvi, dan mungkin
siapa saja yang merasa tersangkut di masa lalu, kita bersolidaritas
dalam kehilangan.

Jogja Art Weeks 86


ARTIKEL ESAI

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat


Mata: Pengalaman dari 900 MDPL
08-Aug-2022 Oleh Adhi Pandoyo

“ssst… kowe… reneo… kowe.. ssst...” (suara dari sela rumpun bambu)

Seandainya hari sabtu jadi opsi penting buat berakhir pekan dengan
jajan, jalan-jalan (kini dibaca: healing), pesta atau cukup dengan
asyik bersama keluarga dengan segala pekerjaan rumah. Maka sabtu
bertarikh 30 Juli 2022, adalah momen istimewa bagi saya untuk turut
serta dalam program seni dari “900 mdpl” (meter di atas permukaan
laut). Seperti namanya, 900 mdpl adalah sebuah perhelatan seni yang
terletak di dataran tinggi. Persisnya di bilangan perumahan kaliurang,
sekitar 7 km dari kawah gunung Merapi. Ajang inilah yang menjadi
wahana berlangsungnya presentasi artistik para seniman terpilih,
berbasis “site-specific” atau boleh jadi diterjemahkan sebagai: proyek
seni tempatan.

Sabtu itu adalah hari kedua dari tiga hari pelaksanaan 900 mdpl (29 –
31 Juli 2022) dalam tajuk “Genealogy of Ghosts and How to Live with
Them”/”Genealogi Hantu dan Bagaimana Hidup Bersamanya”. 900 mdpl
di tahun 2022 ini terdiri dari dua putaran, yakni putaran pertama (24
– 26 Juni 2022), sementara yang sedang saya kunjungi kala itu adalah
putaran kedua. Bagi pengunjung yang seksama, dengan mengamati
penjelasan di akun media sosial instagram @900mdpl, maupun dalam
laman www.900mdpl.com, dapat diketahui bahwa 900mdpl (2022)
adalah kali ketiga, dari dua seri sebelumnya, yakni: 900mdpl #1 ( 1-18
November 2017) selaku tajuk perdana, dan 900mdpl #2 (18-27 October
2019) dengan judul “Hantu-Hantu Seribu Percakapan (Ghosts of a
Thousand Conversations).

Menutup layar gawai dan memacu kencang sepeda motor, seketika


muncul pertanyaan di benak: Sudah siapkah saya untuk bertemu

Jogja Art Weeks 87


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

hantu? Hantu macam apakah yang dimaksud, sehingga berulang


menggentayangi tajuk perhelatan 900 mdpl?

Hantu: Karya Seni “Site-Specific”

Sesampainya di lokasi yang terkoordinat dalam google map, saya tiba


di bilangan perumahan yang terbilang rapi. Tidak berselisih dengan
lokasi wisata kaliurang, dan lengkap dengan riuh rendah turis. Tak
sulit buat kami menemu cukup kerumunan, di dekat lokasi yang
tampak khas pos kamling, yang juga digunakan menjadi titik kumpul
sekaligus pos pemberangkatan. Kami disambut oleh panitia dengan
formalitas pemeriksaan pendaftaran dan beragam sajian snack. Tak
lama berselang setelah bertegur sapa dengan peserta lainnya, panitia
membawa kami tergabung dalam rombongan pertama tur. Artinya
peserta dibagi dalam beberapa kloter rombongan berdasarkan kuota.

Salah satu panitia 900 mdpl, Ahmad Sulton menjadi pemandu utama
kami. Ketika ditanya, ia menjawab “saya di sini sebagai edukator”.
Dalam hati saya bergumam, tampaknya ini bukan sekedar pameran,
tetapi juga kelas untuk peserta didik. Sulton pun mulai menjelaskan
segala peraturan dan tata cara tur 900 mdpl putaran kedua ini. Kami
pun segera melangkah beberapa meter menuju lokasi karya pertama,
di sebuah bangunan yang tampak rapuh dan terabaikan. Bercat putih
namun sebagian tembok mengelupas, ditingkahi lumut dan jelatang.
Di sana bertengger karya Dito Yuwono, berupa instalasi foto dan
video. Bangunan yang dulunya Rumah Kaca Balai Pembibitan, seketika
dijadikan ruang pamer bagi “Sebuah Kerajaan, Gunung Berapi Raksasa
Berbentuk Jamur” dan video “Sand Run Through Your Hand, Flow with
the Water.”

Jogja Art Weeks 88


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

Kami atau setidaknya saya sebagai pengunjung, tampak diajak untuk


menggeser persepsi. Dari yang biasanya menonton presentasi karya
seni di dalam gedung cantik nan white cube, menjadi menyaksikan di
dalam bangunan yang terbengkalai. Saya membatin, “Apakah karya-
karya yang mengakuisisi wilayah tak didiami manusia inilah, yang
dimaksud hantu?”

Mendengar penjelasan Sulton, sedikit saya pahami bahwa Dito


Yuwono ingin merepresentasikan pengetahuan ontologis kosmologi
orang Jawa-Islam. Terlebih dengan sejarah perjumpaan pengetahuan
Hindu, hingga apa yang kerap disebut secara serampangan sebagai
“animisme”. Dito juga berbagi visual tentang praktik ekstraktif industri
penambangan pasir di kaki gunung Merapi. Mengingat Merapi adalah
gunung yang dianggap sebagai poros penting dalam keyakinan
kosmologis di Yogyakarta, bahkan di seantero Jawa. Kendati seperti
kita tahu, sebagian orang juga menganggap keterhubungan geografi
imajiner antara Merapi, Keraton, hingga Laut Selatan (Kerajaan Nyai/Nyi
Roro Kidul) hanyalah mitos.

Namun apabila keyakinan adanya makhluk halus atau gaib selalu


menyertai benda-benda, termasuk batu dan pasir yang ditambang;
lantas adakah dampaknya ketika material leluhur yang didiami makhluk
halus seperti pasir vulkanik, batu, dan kerikil diangkut keluar dari
tempat asalnya? Toh jika sebuah kota dibangun dengan bahan yang
‘berpenghuni’, apakah lantas warga kotanya dihantui oleh roh-roh
terlantar? Apakah mungkin mereka menghentikan atau memperlambat
eksploitasi sumber daya alam? Bisakah mereka menolak pemindahan
paksa ke tempat-tempat asing? Pertanyaan semacam itu yang ditulis
kurator 900 mdpl, Mira Asriningtyas dalam catatan caption karya Dito.

Ketika tiba saatnya bergeser menuju pos ronda RT 06, kita disuguhi
karya video Mark Salvatus berjudul “That Day Most Eagerly Awaited”.
Sulton menjelaskan bahwa karya Mark telah diputar di banyak negara,
dan mengambil filosofi tentang bagaimana mereka yang tinggal lebih
dekat ke gunung, rupanya jauh dari politik serta pengetahuan tentang
pusat. Namun karena keadaan itu pula, mereka jadi lebih dekat dengan
pengetahuan menubuh yang dipelajari melalui alam.

Tak berhenti di situ, kami menuju ke karya Nindityo Adipurnomo


“Letsedubarbekyu” (Let’s do barbeque), yang bekerja sama dengan
tempat pengepulan rosok. Nindityo memasang LCD yang menampilkan
video performnya ketika sedang memakan daging sapi. Ironisnya,
daging sapi panggang dimakan persis di atas kepungan sampah-
sampah bersama lalat-lalat, dengan membersamai sapi-sapi yang
biasa memakan sampah. Perform Nindityo di TPA Piyungan yang
dilakukan pada tahun 2008 ini, sengaja dipajang di bagian dalam ruang
pengepulan rosok, sehingga tampak meneror peserta yang masuk
dan menonton. Saya sempat penasaran, apakah daging yang dimakan
Nindityo juga berasal dari sapi yang memakan sampah itu?

Dari situ kami pun bergeser menuju tanah lapang milik pondok

Jogja Art Weeks 89


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

pesantren. Di situ tampak sapu lidi dibalikkan dan dibariskan. Pada


sebagian lidi pada tiap sapu, terdapat cabai merah dan bawang merah.
Hal ini memang jamak dalam ritual penangkal hujan. Sulton menjelaskan
bahwa seniman yang menyusun instalasi berjudul “Sapu gerang
nyuwun terang” tersebut adalah Ahmad Barokah dan Suwarto. Kedua
seniman ini mendaku bahwa instalasi itu bukan menolak hujan, tetapi
meminta terang. Sehingga bukan menegasikan pemberian-Nya, tetapi
meminta atau memohon yang terbaik.

Masih dalam lapangan yang sama, tampak selimut-selimut dipajang,


yang bahkan beberapa teman yang hadir salah mengiranya sebagai
jemuran. Karya ini dibuat oleh Ibnu Banuharli, dengan judul “Lurik
pantiyoso, ora duwe jarik kemulan kloso”. Menurut Sulton pula, Ibnu
berusaha mengajak warga sekitar untuk menyumbangkan selimut
yang tidak terpakai. Pak Ibnu sendiri adalah seniman yang rumahnya
kerap menjadi perkumpulan komunitas seniman “Merapi Siring Kidul”.
Ia dan komunitasnya merasakan bagaimana terjadinya perubahan
iklim Kaliurang, yang dahulu demikian dingin dan sejuk, kini justru
terasa panas. Selimut yang tak terpakai dan digantungkan itu sedang
bersaksi tentang pemanasan global.

Tibalah saatnya kami dibawa memasuki areal di luar pemukiman. Kami


diajak menyusuri jalan setapak yang menyela rimbunnya pepohonan.
Tiara, salah seorang edukator, menjelaskan beberapa gambar dan
guratan-guratan pada lumut di bebatuan yang membentuk citra
hewan tupai, kupu-kupu, macan. Karya dari Maryanto ini tersebar
di beberapa tempat secara acak. Melalui tak kurang 10 titik lokasi,
Maryanto berupaya menyoroti hewan-hewan yang jadi tolok ukur
keseimbangan ekosistem, hingga hewan-hewan yang mengalami
kepunahan di lereng Merapi, seperti elang jawa, babi hutan, rusa, dan
macan kumbang. Kami seakan dipancing untuk mengolah sensibilitas
dan kepekaan pada alam sekitar, maupun keseharian. Sebab kerap kali
kita melewatkan detil-detil yang sebenarnya menandakan banyak
makna.

Sementara masih dalam lokasi yang sama, persis sebelum jembatan


bambu di atas sungai Jubug, tampak Instalasi kain batik dengan
menggunakan latar belakang warna hitam bergambar pohon Gondang
dan wimba orang-orang yang sedang secara kolektif ‘rewang ngangsu’
(bersama-sama mengambil air untuk tetangga yang sedang punya
hajat). Menurut Tiara, karya Fitri DK ini terinspirasi dari sungai Jubug
dan pohon besar yang melindungi mata air yang dahulu digunakan
langsung oleh warga. Namun kegiatan ngangsu telah berubah seiring
hadirnya modernisasi perusahaan air (PDAM). Saya memperhatikan
tangan mengepal di antara gentong yang disusun melingkar, persis
di depan karya batik yang dibentangkan. Menurut Tiara pula, Fitri
sengaja menambahkan tangan mengepal itu guna menyimbolkan
perjuangan demi air. Sebagaimana judul karyanya “Eling banyu eling
sangkan paraning dumadi”, yang buat saya bermakna syukur sekaligus
perjuangan. Sebab, Tuhan mencipta bumi dengan airnya, manusia
diharuskan berjuang untuk meraihnya demi takdir penghidupan.

Jogja Art Weeks 90


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

Namun di saat bersamaan meninggalkan jembatan, Tiara bercerita


pada kami bahwa warga sekitar meyakini sungai dan mata air telah
lama dijaga oleh makhluk gaib atau danyang berwujud ular naga putih.
Sebagian dari kami terdiam dan melanjutkan langkah. Saya dalam
hati bertanya, jika karya-karya dengan gagasan kritis yang terdiam di
lokasi-lokasi sepi ini disebut sebagai site-specific; bukankah hantu/
dhanyang juga site-specific? Sebab ia diyakini menunggui lokasi-lokasi
tertentu dengan tujuan-tujuan spesifiknya, menjaga tempat beserta
konteksnya. Atau jangan-jangan danyang maupun hantu itu dianggap
eksis sejauh kita merasa takut? Bisakah hantu didefinisikan tanpa
kaitannya dengan manusia? Butuhkah hantu dengan manusia?

Di tengah pertanyaan-pertanyaan itulah, saya sadari bahwa sebagai


manusia biasa, saya hanya sanggup meyakini tetapi tak sanggup
melihat hantu maupun makhluk gaib. Hanya dengan melihat dan
merenungi karya-karya seni site-specific dari para seniman, dalam
posisi yang mungkin didiami para danyang. Karya-karya 900 mdpl
ibarat hantu yang kasat mata!

(Hantu): Menyadari Kurasi

Saya melanjutkan panduan Sulton dan Tiara. Rombongan terus melaju


menyusuri makadam dan hawa yang seperti kombinasi dingin, sejuk,
teduh dan segar. Beberapa langkah mendorong kami ke taman yang
tertata, dengan gapura yang di sampingnya bertuliskan, Oxygen Park.
Membaca tulisan itu, saya kian merasa sehat. Segera kami diarahkan
pada instalasi besar berbentuk buah stroberi yang sekilas bak karya
Yayoi Kusama. Rupanya itu adalah kamar mandi yang sengaja didesain

Jogja Art Weeks 91


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

dengan bentuk buah endemik. Buah ini adalah “Oncen-Oncen”, alias


stroberi hutan yang banyak ditemui di sekitar situ. Kamar mandi
dengan desain khas itu dikisahkan menjadi tumpuan hajat hidup
sebagian warga sekitar, terlebih ketika musim pandemi menyita geliat
ekonomi pariwisata di sekitar Kaliurang.

Waktu mendorong kami bergeser meninggalkan atmosfer khas


dari Oxygen Park. Kami melewati salah satu situs apresiasi, yakni
jembatan Cengkrama, lalu dibelokkan ke kiri menuju ke sebuah LCD
yang tertanam. Video berjudul “Kaliurang Nocturnal” karya Jompet
Kuswidananto terputar berulang, membagikan footage-footage
suasana kaliurang di kala malam. Jalanan lengang dan sepi yang khas,
wewarna nyala lampu-lampu led dan neon yang sendu, serta jejak-
jejak keramaian yang bisu. Ditambah pula audio kisah tutur warga.
Bagi Jompet, lanskap dan suasana Kaliurang di antara tengah malam
hingga pukul 3 pagi, dipercaya merupakan saat ketika mimpi paling
memiliki makna. Saat itulah yang digambarkan Jompet berkaitan
dengan kisah warga atas “mimpi dijajah Alien” yang mereka alami di
saat Merapi sedang aktif. Pengalaman inilah yang menjadi kepekaan
liyan, bagi sebagian warga Kaliurang. Mimpi hadir sebagai peringatan
“awas” erupsi Merapi.

Sementara di saat masih bertekur dengan video, sebagian peserta lain


telah dipandu untuk bergeser ke sekitaran rumpun bambu. Sayup-
sayup terdengar suara “sssst… kowe… mrene…”. Saya sendiri segera
beralih. Benarlah, suara-suara misterius itu terus berulang, dan nyaris
menegakkan bulu kuduk. “Ini adalah karya Jompet yang tak berjudul”
terang Sulton. Segera sebagian dari kami mendekat dan mencari asal
suara. Seorang kawan berhasil menengarai posisinya. Sebuah potongan
ruas bambu yang menjadi sumber suara. Walau tak terlihat, speaker
pastinya ditanam di dalamnya. Karya audio bisikan ini sebenarnya
berkaitan dengan upaya Jompet menggambarkan pengalaman warga
sekitar, ketika mendapati bisikan jelang ancaman erupsi Merapi tiba.
Akan tetapi pengalaman bisikan itu, juga menimbulkan wasangka yang
lain. Tubuh terbukti merespon penuh pengalaman mendengar bisikan
dengan ragam kesimpulan. Instalasi suara tak berjudul ini buat saya
menjadi masterpiece dari perjalanan menemu karya yang terserak di
sepanjang 900 mdpl. Ada pelajaran berharga dari “bisikan Jompet”.

Kami pun berlanjut menuju reruntuhan rumah yang terasa cantik


dalam kerapuhannya. Sebab jalinan tanaman rambat dan paku-pakuan
menutup penuh dinding papa, yang disitu bertengger instalasi foto
Wimo Ambala Bayang. Tampak properti kuda lumping atau jaran kepang
dengan posisi layaknya standing horse yang menantang, dengan latar
jalur kali Boy0ng. Kali atau Sungai yang menjadi jalur aliran air, lava
dingin, dan bebatuan dari Merapi ini dipercaya warga sebagai jalan
raya penghubung antara kerajaan Merapi dengan Laut Kidul.

Melalui karya bertajuk “The Messengers of Chaos & Order” ini, Sulton
menjelaskan upaya Wimo dalam membahasakan ulang fenomena
yang diyakini warga Merapi menjadi aktivitas di sungai Boyong. Konon

Jogja Art Weeks 92


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

pada waktu-waktu tertentu terlihat lilin-lilin, hingga kereta kuda yang


bergerak, layaknya jalur transportasi. Jaran kepang yang tampak
dalam foto-foto karya Wimo itulah yang menjadi artefak representatif
tentang mobilitas gaib pembawa pesan. Sebab Jaran kepang itu
dipotret Wimo dalam kondisi telah memiliki “isian” makhluk gaib atau jin.

Dalam tahap ini, saya sadari bahwa kurasi 900 mdpl ingin mengolah
kepekaan penonton dalam rentang perjalanan berkeliling areal
pemukiman hingga hutan lindung dan kebonan dengan berjalan kaki.
Setelah mengarungi karya demi karya, rupanya membuat beberapa dari
kami mulai tampak mengeluarkan keringat. Meninggalkan karya Wimo
menjadi pertanda memasuki kembali areal pemukiman. Disambutlah
kami dengan “konstruksi Manekung” dari Rahmad Affandi, dengan
instalasi kain yang menampakkan wajah pasangan orang-tua, dengan
beragam simbolisasi. Ada parabola mini, patung tangan menengadah
dan mikrofon yang bertengger di dudukan besi, tertanam di tungku
tembikar berarang.

Sulton segera menjelaskan bahwa kata “manekung” ini bermakna


pengabdian atau menundukkan jiwa kepada ‘yang melampaui
segalanya’. Dalam risetnya, Rahmad bertemu sosok Ibu Tentrem,
seorang pembuat sesajen memiliki sanad ilmu hingga keraton Mataram-
Islam. Sanad ilmu ‘membuat sesajen’ yang dimiliki Ibu Tentrem inilah
yang bagi Rahmad memiliki arti penting. Sebab jalur ilmu pengetahuan
secara turun-temurun dari orang satu ke orang selanjutnya,
diestafetkan secara terpilih dan tersambung melalui ketubuhan dan
kelisanan.

Jika kurasi kali ini bukan hanya menghantarkan karya-karya seniman

Jogja Art Weeks 93


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

dalam lanskap hunian dan alam, tetapi juga apa yang distilah Mira
Asrinigtyas sebagai ‘mlaku’ (berjalan), yakni berakar pada kata ‘laku’
(perbuatan). Laku kemudian bermakna suatu tindakan dengan
pendalaman dan penghayatan. Manusia dan pengetahuannya terbukti
memiliki trayektori. Manusia bergerak dari satu tempat ke tempat lain,
begitu pula pengetahuan berpindah dari satu manusia ke manusia lain.

Kini giliran instalasi kelir wayang yang diterangkan oleh Sulton, persis di
dalam limasan padukuhan lama kaliurang timur. Tampak kelir menyajikan
wayang-wayang yang biasa ditancapkan di atas debog (batang pohon
pisang). Rupanya wayang itu dibuat oleh Sutarman dan dipentaskan
oleh Ibnu Banuharli sebagai Dalang, tepat pada saat pembukaan 900
mdpl, dengan diiringi kelompok gamelan NKRI (Nindakake Karawitan
Religi Islami). Wayang yang disebut “Wayang Tanpo Aran” ini boleh jadi
tidak mengikuti pakem semalam suntuk, dan hanya dipanggungkan
singkat. Akan tetapi lakon “Ontran-Ontran Alas Ponteng” dan “Murcane
Wit Pule Mayang Sekar” itu memberi kisah teladan tentang keharusan
menjaga kelestarian alam di tengah pembangunan ekonomi dan
pariwisata di Kaliurang.

Akhirnya usai sudah perjalan menyusuri karya. Tinggal satu rute menuju
pos pemberangkatan kembali. Namun Sulton kembali menjelaskan
sebuah karya yang sungguh tak tampak. Ternyata kisah penunggu
sungai dan danyang-danyang yang sempat diceritakan oleh Tiara
maupun Sulton, tak lain adalah karya dari Arum Dayu dan Jim Allen
Abel. Berjudul “The Ancient of MSG”, Arum dan Jim sengaja mengolah
hasil risetnya seputar kisah-kisah penuturan warga tentang makhluk
gaib yang menunggu alias Danyang di desa ini. Baik Tiara dan Sulton
didelegasikan oleh Arum dan Jim sebagai pencerita yang menyebarkan
informasi dari mulut ke mulut, tentang kepercayaan danyang. Efek

Jogja Art Weeks 94


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

“getok tular” cerita ini tampaknya cukup mengena. Setidaknya saya


sendiri sempat meluangkan pikiran untuk membayangkan sesosok
naga maupun makhluk danyang yang cantik tetapi ganjil.

Seperti kerap terdengar di beberapa analisa, bahwa keyakinan adanya


danyang turut membantu menjaga kelestarian maupun kearifan
lokal. Namun bagi saya, tampaknya ini bukan hanya pada upaya
menjaga maupun berbagi ruang bersama dengan makhluk halus. Akan
tetapi lebih kepada arti penting keyakinan atas yang gaib atau tak
kasat mata itu. Seperti halnya memahami kurasi. Kurasi tidak pernah
berwujud fisik, tetapi dia dikenali melalui proses imanen ide dan
pengetahuan, sehingga berada hanya dalam kesadaran kita. Hantu
yang tak tampak dalam 900 mdpl adalah kurasi itu sendiri, namun kita
meyakini ada dengan dampak kuasa dan direksionalnya.

Memang terdapat sesi terakhir dari tur 900 mdpl, yakni perform dari
Rahmad Affandi di dalam makam Mayang Sari. Namun tubuh lemah saya
meminta istirahat, sembari ngobrol di sekitaran ‘pos ronda’. Sembari
mencecap panganan dan minuman, saya sempat berbicara dengan
beberapa kawan yang menghadiri perform berjudul “Babad dan Hal-Hal
yang Pergi” itu. Menurut kesaksian, Rahmad mengadaptasi laku ziarah,
mulai dari membersihkan makam hingga upaya merawat ingatan. Ziarah
menjadi metode pengetahuan yang terus eksis di dalam masyarakat di
Jawa maupun pulau-pulau lain di Nusantara.

Rahmad sendiri seusai perform bercerita pada kami. Ia menjelaskan


prosesi perform mulai dari izin dari juru kunci makam dan syarat-
syarat lainnya, hingga tembang suluk dan tabuh gender memberi
harmoni laku ziarahnya. “Semua ada adabnya. dan kalau tidak ada
lagi yang menziarahi mereka, berhenti pula (pengetahuan) cerita dan
sejarahnya,” imbuh Rahmad.

Di tengah beberapa obrolan, beberapa pengunjung tampak puas


menikmati tur 900 mdpl. Sepasang pasangan muda yang masih
berstatus mahasiswa, Yobi dan Nadin, mengaku tertarik dengan
gagasan karya Maryanto dan Nindityo Adipurnomo. Kendati secara
umum Nadin merasa tidak seperti ekspektasinya, yang dikiranya akan
bertemu hantu-hantu atau semacam uji nyali. Sementara Yusi, seorang
mahasiswa ISI jurusan film, mengaku telah dua kali mengikuti tur ini.
Ia sengaja mengikuti putaran kedua ini sembari mengajak kawannya.
Yusi terbukti melakukan ‘getok tular’ tentang 900 mdpl. Bagi Yusi, 900
mdpl membuatnya bertemu dengan “hal-hal yang unexpected.” Tetapi
cukupkah (hantu) seni, hanya dengan segala ketakterdugaan?

Saya kembali merenungkan ‘hantu kurasi’ dalam 900 mdpl ini.


Akan kemanakah 900 mdpl setelah ini? Seorang teman yang juga
pengunjung bernama Hans, sempat mengungkapkan kepuasan
“healing” dalam acara tur 900 mdpl. Hans mengungkapkan bahwa
pengetahuan bahwa hantu juga digunakan untuk mengingatkan
manusia agar tidak terlalu rakus mengeksploitasi alam, menjadi hal
yang bermakna buatnya. Hanya saja ia merenungkan perhelatan seni

Jogja Art Weeks 95


ARTIKEL

Hantu-hantu Seni yang (Tak) Kasat Mata: Pengalaman dari 900 MDPL

rupa dengan format semacam ini, khususnya ketika sampai memburu


cerita warga sekitar hingga reka “pengalaman”; Hans pun lantas
bertanya: “inikah yang menunjukkan hasrat seni rupa hari ini?”

Mendengar pertanyaan Hans, saya hanya mengiyakan sekaligus


penasaran dalam batin. Mira sendiri selaku kurator, mengakui bahwa
900 mdpl menjadi kerja intelektual yang merentang mulai dari
memikirkan ulang posisi kaliurang dalam sejarah Indonesia, hingga
upaya penggalian pengetahuan, tradisi dan kepercayaan di kaki
gunung Merapi. Sementara bagi Jompet, agenda seni ini menawarkan
satu perjalanan panjang, dengan karya seni yang bukan menjadi tujuan
akhir. “Sebab bisa jadi (karya) itu hanya untuk membangun interaksi
dengan warga di sini, dan memahami kenyataan-kenyataan yang ada
di sini, sekaligus menjadi bagian dari kenyataan itu.” terang Jompet.

Sementara Dito Yuwono selaku seniman sekaligus bagian dari direksi


artistik LIR dalam tur ini, menganggap bahwa 900 mdpl dimaksudkan
untuk mengarsipkan ruang. Sehingga perjalanan panjang dan
berkelanjutan adalah konsekuensinya. Akhirnya bagi Dito maupun Mira,
selaku subjek penting di balik “hantu kurasi” 900 mdpl, upaya menjalin
kebersamaan berkarya dan berkegiatan dengan warga sekitar, menjadi
momentum istimewa. “Terlebih ketika sesi pembukaan yang meriah
dengan keterlibatan dan kehadiran warga sebagai tamu VVIP, sejak Ibu-
Ibu hingga sesi khusus muda-mudi Kaliurang.” pungkasnya.

Dito dan Mira serta beberapa teman peserta maupun seniman


berpamitan. Hanya tersisa saya, Huhum Hambilly dan Awi Nasution.
Kami bertiga menjadi manusia terakhir yang berdiam di pos ronda
pemberangkatan yang mulai diterpa senja dan kumandang maghrib.
Kami masih tetap tak bisa melihat hantu yang sebenarnya.

Jogja Art Weeks 96


ARTIKEL FEATURE

Karena Seniman Tak


Sepenuhnya Merdeka
17-Aug-2022 Oleh Arlingga Hari Nugroho

Jika karya seni adalah gambaran atau tiruan dari realitas sosial, lalu
apakah seorang seniman sungguh-sungguh merdeka bersama karya
seninya?

Barangkali pertanyaan di atas bisa jadi titik berangkat untuk melihat


karya seniman Riyan Kresnandi berjudul Reconnected Access Memory
(RAM Museum) yang dipamerkan dalam ARTJOG MMXXII: Arts in
Common - Expanding Awareness 2022 di Jogja National Museum,
Yogyakarta.

Perihal kata ‘kemerdekaan’ itu sendiri, tentu dapat dimaknai secara


beragam dan universal tanpa paksaan apapun. Kita bisa saja tumpang-
tindih menyebut merdeka adalah bebas dari penjajahan bangsa
lain, merdeka dari rasa takut, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari
kebodohan, merdeka berpendapat, merdeka berserikat, juga merdeka
untuk mencari pekerjaan yang layak. Apapun itu, ada baiknya jawaban
tadi tetap kita simpan masing-masing.

Hampir tak ada yang menyangka kalau karya yang dikerjakan oleh
Riyan ini cukup ‘bandel’ dihadirkan dalam sebuah pasar seni rupa
kontemporer termahsyur di Yogyakarta, atau barangkali juga Indonesia.
Melalui karya RAM Museum, Riyan merangsang kembali ingatan kita
untuk menilik beragam peristiwa kebudayaan yang terjadi setelah
masa Orde Baru. Puluhan kasus dikumpulkan dengan menyorot
beragam karya yang dianggap ‘bandel’ oleh sekelompok golongan.
Hampir seluruhnya dokumentasi tersebut dicomot dari arsip media
cetak dan media digital.

Dalam bentangan waktu lebih dari dua dekade, era Reformasi

Jogja Art Weeks 97


ARTIKEL

Karena Seniman Tak Sepenuhnya Merdeka

nampaknya masih menyisakan wajah-wajah lama dalam tampilan


yang mungkin berbeda (mungkin juga tidak). Kuasa Orde Baru di masa
sebelumnya, tentu begitu mudah meredam (baca: membungkam)
gejolak sosial yang dianggapnya tak sehaluan. Lalu bagaimana dengan
yang terjadi di dunia kesenian di masa Reformasi?

RAM Museum telah menengok ke belakang dan membentangkan


arsip penting kebudayaan, setidaknya sepanjang tahun 1999 hingga
2022, tentang apa saja yang terjadi dengan seniman dan karya
seninya. Dari arsip seni ’bandel’ ini, Riyan seolah-olah sedang ngece
teman-temannya dengan mengatakan kalau seniman tak sepenuhnya
merdeka.

Membungkus Arsip ‘Bandel’

Kemajuan teknologi membawa pengaruh yang besar bagi banyak orang


untuk beradaptasi dengan modernitas. Tak jarang beberapa orang
justru terlihat gagap melangkah di era informatika. Setidaknya selama
dua tahun belakangan ini, aspek kehidupan hampir-hampir bergantung
sepenuhnya pada kemajuan teknologi dengan memanfaatkan fitur
virtual, digitalisasi, dan jaringan komunikasi elektronik (internet) untuk
saling terhubung di masa pandemi.

Merespons hal ini, Riyan kemudian memanfaatkan medium virtual untuk


memindahkan arsip seni ‘bandel’ ke dalam satu wahana permainan.
Berkolaborasi dengan komunitas game Indonesia Mineversal
dan Unibuild (MIVUBI) dan menggandeng kurator Karen Hardini,
Riyan menciptakan ruang pamer arsip atas peristiwa kebudayaan

Jogja Art Weeks 98


ARTIKEL

Karena Seniman Tak Sepenuhnya Merdeka

‘bermasalah’ yang terjadi di masa Reformasi.

Terdapat sekitar 76 kasus terlacak yang kemudian 18 di antaranya


dikreasikan ulang dalam museum virtual. Riyan dan tim, membagi arsip
ini ke dalam 4 server berbeda, di antaranya server film, server buku,
server aktivisme, dan server musik. Bejubel karya ‘bandel’ ini sudah
pasti dipilih karena berhasil dicap sebagai ‘karya bermasalah’. Hal ini
dapat ditelusuri berdasarkan reaksi sosial atas karya seni tersebut,
misalnya mendapat tindakan represif, social media bullying, digeruduk
massa, dipersekusi sekelompok masyarakat, hingga penghilangan/
penghapusan karya. Semua itu dikemas Riyan menggunakan empat
instalasi seni yang masing-masing tampil dalam medium yang berbeda.

Pada instalasi utama, Riyan masih menunjukkan spesialisnya dengan


menggunakan medium video game. Instalasi ini menghadirkan museum
virtual dalam wahana game Minecraft. Menariknya, para pengunjung
diajak berpetualang di dunia virtual, memasuki gedung museum, dan
melihat karya-karya seni terlarang yang sudah disusun sedemikian
rupa.

Pemilihan medium ini sepertinya menjadi siasat Riyan untuk


menghadirkan arsip ‘bandel’ tadi ke dalam medium yang lebih
alternatif, eye cathing, dan kekinian. Kenapa eye catching? Sebab
instalasi ini hadir dengan tembakan layar proyektor, speaker mini,
dan sebuah joystick (game controller). Ketika masuk dalam ruang,
pengunjung bisa langsung meraih joystick dan memainkannya dengan
visual layar yang cukup besar. Ya semisal tak sempat memainkan
karena ada orang lain yang bermain, paling tidak kita masih dapat
menikmati petualangan museum virtual dengan menontonnya saja.

Jogja Art Weeks 99


ARTIKEL

Karena Seniman Tak Sepenuhnya Merdeka

Aktivasi dan interaksi antara karya seni dan pengunjung seperti ini,
dapat dikatakan seperti sedang menyambung dua garis yang terpisah.
Dari sini, Riyan mencoba membuat lintasan baru untuk audiens ‘zaman
now’ tertarik melihat dan membaca arsip sejarah.

Instalasi kedua, tergolong memilih gaya tradisional dari praktik


pengarsipan. Riyan menampilkan sebuah buku berisi kumpulan kliping
kasus-kasus seni ‘bandel’. Di bagian tengah buku, pengunjung dapat
menemukan garis timeline dari temuan kasus-kasus yang disusun
berurutan. Tak perlu waktu lama, beberapa kasus yang ditempelkan
terasa begitu dekat (secara emosional atau intelektual) meskipun
sudah terjadi cukup lama.

Selanjutnya, tepat di seberang instalasi kedua, sebuah layar monitor


tergantung di dinding dengan menampilkan video kolase dari arsip
digital yang dikumpulkan. Instalasi ketiga ini disusun menjadi sebuah
video pendek yang menyuguhkan footage-footage kasus kebudayaan
yang sempat viral di layar televisi kita di rumah maupun yang tersebar
di dunia internet.

Pada sisi dinding lainnya dan yang terakhir, tiga karya terpampang
dalam pigura klasik. Ketiga karya hadir dengan judul yang terkoneksi,
yaitu Reconnected People’s Justice, Reconnected Macan Cisewu, dan
Reconnected Pink Swing.

Untuk seri People’s Justice, karya ini merekam peristiwa penurunan


lukisan Taring Padi pada gelaran documenta fifteen 2022 yang terjadi
beberapa waktu lalu. Lalu untuk seri Macan Cisewu, mengingatkan kita

Jogja Art Weeks 100


ARTIKEL

Karena Seniman Tak Sepenuhnya Merdeka

akan peristiwa penghancuran patung Macan Cisewu di Garut (Jawa


Barat) sesaat setelah ramai menjadi bahan olokan di media sosial.
Begitu juga untuk seri Pink Swing yang menjadi saksi atas penurunan
karya seniman Agus Suwage dan Davy Linggar dari arena CP Biennale
2005 di Museum Bank Indonesia karena dianggap sebagai konten
pornografi oleh ormas radikal.

Melalui karya Reconnected Access Memory (RAM Museum) yang


dihadirkan di pameran ARTJOG 2022, ini bisa dibilang menjadi suntikan
yang tepat karena dapat diresapi sebagai asupan melihat karya seni
dan gejolak sosial di sekitarnya, terutama di era Reformasi. Rasanya
tak perlu menjadi seniman, lebih-lebih menjadi seorang pengamat seni
untuk sekadar menikmati karya Riyan Kresnandi tadi. Beberapa koleksi
karya seni ‘bandel’ yang disuguhkan, barang satu atau dua karya
mungkin pernah mengingatkan kita akan sesuatu yang pernah terlintas
di siaran berita televisi, viral di media sosial, ataupun merasakan
tegangannya di masa lalu.

Keseluruhan instalasi yang dikerjakan Riyan bersama MIVUBI dan


Karen Hardini, membengang ingatan kita sekali lagi kalau kebebasan
berpendapat (dalam praktik kesenian) adalah kebebasan yang nggak
bebas-bebas banget. Bukankah karya seni dilahirkan dari ekspresi
dan kreativitas seorang manusia? Kembali ke pertanyaan awal, jika
karya seni adalah gambaran atau tiruan dari realitas sosial, lalu apakah
seorang seniman sungguh-sungguh merdeka bersama karya seninya?

Namun apa daya, tak ada yang sungguh-sungguh merdeka di dunia ini,
sekalipun seniman.

Jogja Art Weeks 101


ARTIKEL FEATURE

Menyebarkan Virus Seni Rupa


bersama Mencuri Raden Saleh
25-Aug-2022 Oleh Ripase Nostanta

Pada akhir Agustus lalu dunia seni rupa sedang dihebohkan dengan
ramainya poster film terbaru sineas Angga Dwimas Sasongko berjudul
Mencuri Raden Saleh. Saya dan beberapa teman di Jogja sudah
merencanakan, apabila film ini resmi tayang kami akan nonton bersama
untuk ikut mengapresiasi.

Tentunya saya sangat bersemangat karena ini pertama kalinya film


yang bersinggungan dengan seni rupa benar-benar digarap oleh
rumah produksi ternama yaitu Visinema. Rekam jejak karya rumah
produksi ini tidak perlu dipertanyakan lagi, contohnya Filosofi Kopi
(2015), Surat dari Praha (2016) dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini
(2020). Film terbarunya ini menarik bagi kalangan seni-senian karena
membahas karya bapak seni lukis modern Indonesia. Jajaran cast
yang dibawa cukup meyakinkan untuk mendulang kesuksesan selama
pemutaran.

Pernah Memandang Sebelah Mata Karya Sineas Indonesia

Sebenarnya saya sering ragu untuk nonton film Indonesia, mungkin


karena ekspektasi saya yang pernah tidak sesuai realita. Bisa juga
terpengaruh sinetron yang cringe dengan episode ratusan, yang
katanya lulus sensor tapi banyak yang bocor.

Misalnya ada film terbaru yang sedang viral, saya wajib nonton trailer
dan minta spoiler dari teman yang sudah duluan nonton. Namun,
treatment saya akan sedikit berbeda untuk film Mencuri Raden Saleh,
mungkin sedikit berbeda. Meskipun film ini nantinya tidak memenuhi
ekspektasi, saya wajib tonton karena begitu relate dengan keseharian
dalam dunia seni rupa. Sepertinya fenomena FOMO (Fear of Missing

Jogja Art Weeks 102


ARTIKEL

Menyebarkan Virus Seni Rupa bersama Mencuri Raden Saleh

Out) karena sosial media benar adanya.

Sempat terpikir apakah film tentang seni rupa seperti ini bisa diterima
masyarakat luas? Apa mereka kenal siapa Raden Saleh? Apa film genre
heist ini nantinya akan dibanding-bandingkan dengan banyaknya
rujukan film serupa yang sukses sebelumnya?

Menonton Para Pencuri Amatir

Semua rasa penasaran itu terbayarkan setelah meluangkan waktu


menonton di CGV Hartono Mall bersama 6 teman lainnya. Film ini
berhasil mematahkan keraguan, bahkan melebihi ekspektasi. Sepanjang
penayangan, tidak ada part yang membuat saya merasa bosan atau
kasihan atas pembagian peran yang biasanya dominan pada pemeran
utamanya. Semua terlihat sama rata dan punya bagian terbaik untuk
aksinya masing-masing. Apalagi setiap adegan melukis dan meretas
internet, ini paling keren.

Penonton akan dikenalkan dengan Piko yang diperankan oleh Iqbal


Ramadan, diceritakan sebagai seorang mahasiswa seni rupa yang
memiliki bakat melukis dan meniru karya maestro, cita-citanya ingin
pameran di Museum of Modern Art (MoMA). Ayahnya sedang dipenjara
dan butuh dana untuk bisa kembali menuntut keadilan, dari sinilah
salah satu alasan mengapa film ini ada. Lalu ada Ucup (Angga Yunanda)
seorang hacker yang mumpuni dan seorang penawar yang ulung.
Umay Shahab dan Ari Irham, mereka memerankan Gofar dan Tuktuk,
saudara tiri beda ibu yang bisa diandalkan dalam dunia otomotif dan
balapan. Rachel Amanda sebagai Fella, anak orang kaya yang selama ini
aktif menjadi seorang bandar judi, jago menganalisis dan menciptakan
strategi untuk melancarkan aksi pencurian mereka. Terakhir ada
Aghniny Haque berperan sebagai Sarah, pacar Piko ini merupakan atlet
silat, aksi laganya jadi bagian paling saya tunggu.

Film ini dimulai dengan Piko yang sedang memalsukan karya seniman
Widayat yang berjudul Hutan Rimba, nantinya lukisan ini akan dijual
ke rumah lelang dengan bid harga yang fantastis. Tokoh antagonis
dimunculkan pada part ini yaitu sosok Permadi (Tio Pakusadewo) yang
berperan sebagai mantan presiden yang ambisius dan manipulatif.
Beberapa menit di awal saja kita sudah diajak berkenalan dengan sisi
gelap dunia seni rupa seperti pemalsuan, pencurian, penjualan karya
palsu hingga politik kuasa.

Sebagai seseorang yang pernah kuliah seni rupa, banyak permasalahan


hidup Piko tampak akrab dengan realita hidup sebagai seniman, salah
satunya berkutat dengan stigma tidak baik di masyarakat. Ada juga
terselip tentang permasalahan ekonomi, kesetiakawanan, perkuliahan,
konflik keluarga dan tentunya bumbu-bumbu cinta anak muda.

Dari sisi ekosistem seni, film ini ikut memperkenalkan stakeholder


seperti rumah lelang, galeri, kolektor, kurator dan art dealer. Selain para
pemangku kepentingan dunia seni, penonton akan banyak mendengar
nama seniman Indonesia yang selama ini jarang dikenal khalayak

Jogja Art Weeks 103


ARTIKEL

Menyebarkan Virus Seni Rupa bersama Mencuri Raden Saleh

umum seperti Affandi, Widayat, Lee Man Fong, Jeihan, Sunaryo, Hendra
gunawan, Sudjojono dan Agus Suwage.

Penonton juga turut dikenalkan dengan karya Raden Saleh selain


“Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang akan menjadi opsi target
pemalsuan selanjutnya yaitu “Potret Sultan dan Pejabat VOC” dan
“Penunggang Kuda.” Dari sini kita diberi fakta tentangnya minim dan
pentingnya arsip karya seniman, karena informasi yang terbatas
tersebut memudahkan oknum-oknum seperti Piko untuk beraksi.

Tidak ketinggalan zaman, film berdurasi 2 Jam 34 Menit ini juga


memperjelas penjualan karya seni yang tidak lagi bertransaksi
konvensional namun sudah menggunakan kripto currency. Aksi
pencurian para amatir ditutup dengan adegan pengkhianatan oleh
ayah Piko yang telah kabur dari penjara, ia mencuri lukisan yang sudah
susah payah direncanakan oleh tim. Plot twist lainnya adalah para anak
muda ini berhasil menukar karya yang dibawa ayah Piko dengan lukisan
Agus Suwage, setelah terpikir untuk menciptakan Plan B dari kata
“Kontingensi.”

Jogja Art Weeks 104


ARTIKEL

Menyebarkan Virus Seni Rupa bersama Mencuri Raden Saleh

Sang Master Mind Pencurian yang Sesungguhnya

Kalau dalam adegan film, Ucup layak disematkan sebagai sang


mastermind atas aksi mereka. Namun mastermind yang sesungguhnya
dalam dunia nyata adalah Angga sendiri. Pria berusia 37 tahun ini
menciptakan film bukan sekadar mengikuti tren terkini saja, pada tiap
bagian cerita terlihat bagaimana keseriusan Angga dengan melakukan
riset yang panjang atas minatnya yang tinggi dalam dunia seni.

Pada video YouTube Blueprint: Making of Mencuri Raden Saleh yang


diunggah Visinema Pictures, Angga bercerita tentang latar belakang
seni keluarganya. Ayahnya ternyata sangat akrab dengan dunia
lukis, memiliki banyak teman yang berprofesi sebagai seniman. Beliau
memiliki circle pertemanan yang luas dan suporter pelukis-pelukis
muda lokal. Banyak dari rekan seniman berkunjung dengan membawa
hasil karya lukis mereka untuk dipajang di rumah mereka, salah satunya
adalah lukisan Widayat yang dimunculkan sebagai opening yang
memorable. Bagi Angga, lukisan Widayat memiliki posisi istimewa,
layaknya sebuah amanah, lukisan ini dirawat bahkan direstorasi oleh
para profesional, karena merupakan bagian dari memori dan prasasti
keluarga.

Apakah Film Ini Berhasil?

Saya memposisikan diri sebagai penonton biasa di luar dari

Jogja Art Weeks 105


ARTIKEL

Menyebarkan Virus Seni Rupa bersama Mencuri Raden Saleh

pembahasan seni rupa. Sebagai orang awam saja saya bisa


memprediksi karya Angga ini menghabiskan budget yang besar dalam
pembuatannya. Totalitas benar-benar terlihat pada banyak adegan
seperti balapan di kota tua, menghadirkan adegan macet-macetan
di tengah kota, yang tentunya membutuhkan banyak izin dan waktu
yang terbatas. Para aktor dan aktris film ini juga bisa menjiwai setiap
profesi yang diperankannya, terutama Iqbal Ramadhan. Saya pernah
baca pada satu artikel, Iqbal bahkan belajar melukis dan mengamati
seniman di Kota Jogja demi menciptakan kesan pelukis otentik.

Memperkenalkan seni rupa melalui layar sinema dengan target pasar


utamanya Generasi Z menurut saya sudah berhasil. Antusiasme bisa
terlihat dari jumlah penonton yang menembus angka 2.000.000++.
Rasa penasaran mungkin akan muncul setelah menonton ini, seperti
mengulik lebih dalam tentang siapa Raden Saleh, kenapa lukisannya
seharga 150 miliar, seberapa penting karya ini untuk sejarah negara
maupun sejarah seni rupa Indonesia. Pilihan cast seperti Iqbal dan
kawan-kawan saja sudah benar-benar mewakili ketertarikan anak muda
untuk menonton, bahasanya yang mudah dipahami juga aksi-aksi
menarik yang tidak terkesan dipaksa atau cringe.

Sekilas Tentang Sejarah Lukisan

Apabila penonton pernah membaca tentang buku Raden Saleh, pasti


akan sangat mudah memahami bahwa setiap adegan-adegan yang
dibawa Angga Dwimas Sasongko terinspirasi dari latar terciptanya
lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro,” kata kuncinya adalah
kelas sosial, perlawanan dan pengkhianatan.

Lukisan Raden Saleh “Penangkapan Pangeran Diponegoro” sendiri


merupakan bentuk penghormatan kepada Pangeran Diponegoro

Jogja Art Weeks 106


ARTIKEL

Menyebarkan Virus Seni Rupa bersama Mencuri Raden Saleh

sekaligus bentuk rasa nasionalismenya saat itu. Karya ini penting


sebagai rekaman historis dan artefak dari Perang Jawa, pengkhianatan
pimpinan Belanda yang awalnya ingin berunding malah berakhir
penangkapan.

Lukisan ini memiliki versi lain, dengan momen yang sama namun sudut
pandang yang berbeda, antara pelukis kolonial dengan pribumi.
Pelukis Belanda Nicolaas Pieneman menciptakan lukisan berjudul “De
Onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-generaal de Kock, 28
Maart 1830” yang menceritakan bagaimana Pangeran Diponegoro
ditaklukkan. Karya milik Raden Saleh sendiri dilukis 27 tahun kemudian
saat situasi politik sudah mendingin. Lukisan ini dihadiahkan Raden
Saleh kepada Raja Belanda Willem III sebagai balas budi telah
disekolahkan selama puluhan tahun di Eropa. Siapa sangka di balik
sebuah lukisan ini terselip sebuah kritikan atas peristiwa sejarah.

Pada lukisan versi Pieneman, ia mengemas suasana yang bertolak


belakang sebagai manifestasi kemenangan Belanda atas
tertangkapnya pemimpin Perang Jawa. suasana yang penuh
kepasrahan Pangeran Diponegoro berbanding terbalik dengan
Jenderal de Kock yang dianggap sebagai pahlawan. Posisi Jenderal
de Kock yang berada di bagian atas tangga mengisyaratkan hierarki
status sosial antara penjajah dan rakyat negeri jajahan. Tangan
Pangeran Diponegoro tampak terkulai, pandangan dan suasana
tampak hampa. Sebaliknya, Jenderal De Kock dibuat tampak gagah dan
bahasa tubuh yang memerintah.

Hal kontras ditunjukkan oleh versi Raden Saleh, berbagai hal diubah
secara sadar dan bentuk menunjukkan sikap. Mulai dari judul karya,
kata ‘Penaklukan’ pada “De Onderwerping van Diepo Negoro aan
Luitenant-generaal De Kock, 28 Maart 1830” menjadi ‘Penangkapan’
yaitu “De Gevangenneming van Prins Diponegoro door Generaal de
Kock.” Pangeran Diponegoro dilukis dengan ekspresi wajah yang geram
disertai kepalan tangan yang menahan amarah. Bahasa tubuh Jendral
de Kock dibuat lebih halus dengan gestur telapak tangan terbuka
sebagai representasi kesopanan. Posisi berdiri pada anak tangga
sama, sebagai bentuk kesetaraan. Ada satu hal yang mengganjal pada
bentuk tubuh orang-orang Belanda yang tidak proporsional, tubuh
yang kerdil dan kepala besar. Padahal Raden Saleh dikenal dengan
kepiawaiannya melukis anatomi tubuh, tentu sebuah kesengajaan.

Lukisan ini pernah tersimpan di Istana Kerajaan Amsterdam, dipidahkan


ke Koninklijk Militair Invalindenhuis Broonbek di Aarnhem. Tahun 1987
dikembalikan ke Indonesia sebagai pemberian Kerajaan Belanda pada
Pemerintah Indonesia. Sesampainya di Indonesia karya Raden saleh
ini dipajang di Museum Pusat Jakarta bersama artefak Perang Jawa
hingga akhirnya dipindahkan ke Istana Negara Jakarta.

Jogja Art Weeks 107


ARTIKEL FEATURE

Panggung Daya Bara, Antara Pameran


Seni dan Luapan Emosi yang Membara
27-Sep-2022 Oleh Yuda Atmadja

Pemandangan yang sedikit berbeda dari pameran seni lainnya


merupakan suatu hal yang kerap terjadi dalam dunia seni. Segala
ciri khas dalam gelaran kebudayaan ini memang selalu menjadi daya
pikat untuk masyarakat umum maupun para penikmat kesenian. Tak
jarang juga beberapa pameran kesenian yang sudah terselenggarakan
menjadi potret sejarah dan mampu memberikan pandangan sekaligus
pengetahuan bahwa pameran seni bukanlah untuk segala hal yang
aesthetic dan konten sosmed semata.

Yogyakarta lagi-lagi menjadi tempat yang banyak sekali menawarkan


ilmu pengetahuan dan berbagai macam pertunjukan seni untuk disimak
dan dipelajari. Daerah yang masih menyandang keistimewaan ini
seolah tidak pernah sepi dari acara-acara kebudayaan berbagai sudut
kabupaten. Setiap acara pasti akan menampilkan berbagai perspektif
tradisional maupun kontemporer.

Pameran Seni yang Dipenjara

“Daya Bara” diartikan sebagai kekuatan atau semangat yang membara.


Pameran ini menampilkan 52 karya seni, terdiri dari drawing dan patung,
dan semuanya adalah karya baru yang dibuat Aris Prabawa selama
kurun waktu di tahun 2021 sampai 2022.

Dibantu dengan kacamata dan observasi jurnalis Bambang Muryanto,


pameran ini memberikan pandangan nyata mengenai persoalan yang
sedang terjadi di bumi ini. Terlebih persoalan-persoalan lingkungan
yang masih sedikit untuk didapatkan informasinya melalui chanel
televisi nasional.

Kemudian bersama organizer pameran yaitu Heri Pemad, pameran

Jogja Art Weeks 108


ARTIKEL

Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara

ini sangat penting untuk diselenggarakan. Menurutnya materi dan


gagasan pameran ini tidak lain adalah bentuk dari banyak kegelisahan
dan kecemasan masyarakat terhadap apa yang sudah terjadi disekitar
kita. Sengaja menggunakan jeruji besi sebagai pintu masuk dan keluar
ruangan pameran, penggambaran penjara ini juga merupakan bagian
pembahasaan dari proses berkesenian Aris Manyul.

Aris Prabawa atau sering disapa Manyul ini merupakan seniman asal
Surakarta, Solo yang tumbuh besar di Yogyakarta. Ia menempuh
pendidikan seninya di Institut Seni Indonesia (ISI) dan ikut mendirikan
Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi.

Perjalanan Manyul dalam berkarya tidak lepas dari isu sosial politik.
Banyak hal yang Manyul pelajari secara individu dan berkelompok
bersama Taring Padi juga memberikan berbagai pandangan dan
ideologi yang sampai sekarang ini masih menjadi ciri khas manyul.

“Pameran ini memberikan semangat baru bagi saya dan masyarakat


dalam menghadapi bencana alam, seperti banjir akibat dari perubahan
iklim,”ucap Aris Manyul. Manyul juga bersumpah bersama teman-teman
Taring Padi untuk menggunakan seni sebagai media membela rakyat
kecil dari penindasan pemerintah otoriter.

Band-Band-an Daya Bara

Entah kapan sejarah ini dimulai, namun gelaran pameran seni dari
berbagai galeri yang berada di Yogyakarta banyak sekali memberikan
panggung musik untuk berekspresi. Acara ini bisa dijumpai di berbagai
tempat dari berbagai kelas, seperti di warung kopi, gedung serba guna,
galeri kampus, maupun sekelas museum.

Jogja Art Weeks 109


ARTIKEL

Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara

Memasuki gerbang Jogja National Museum, tepat di belakang sebelum


area JNM Block terdapat panggung yang berdiri di ruang terbuka.
Ukuran panggung mungkin kurang lebih 5 x 5 meter, dan panggung ini
sudah menjadi langganan pertunjukan dari berbagai acara.

Sore itu 23/09/2022 area JNM ramai seperti biasa, berbagai


pengunjung yang melintas memasuki kawasan ini tidak lain adalah
untuk memenuhi kebutuhan mencari pengalaman, bersosialisasi,
menghidupi akun sosial media, kencan, juga untuk berkumpul bersama
teman.

Pemandangan hari itu mungkin sedikit dipulas berbeda dari hari


biasa. Dibantu melalui berbagai teman dan media yang beredar, group
kolektif beserta teman-teman baru dari berbagai penjuru juga ikut
berkumpul dan bersiap melepas penat bersama Band-Band-an Daya
Bara.

Acara ini menampilkan beberapa band pilihan yang membara


diantaranya adalah Deathgang, Los Fungos, Deru Baru, Bad Semen,
John And The Jail Story, Dendang Kampungan, dan B.U.K.T.U.

Tidak usah memerlukan waktu yang lama untuk membuat area


panggung sekitar Pendapa Ajiyasa menjadi seperti lautan manusia.
Lingkaran pertemanan dan sub kultur yang sudah terjalin membuat
keadaan seperti ini sudah menjadi pemandangan lumrah dalam acara
berkesenian, apalagi disambung dengan panggung berekspresi.

Band-Band-an DAYA BARA mengundang siapa saja yang ingin terlibat


dan membakar segala emosinya mengenai persoalan-persoalan yang
berlum selesai lewat bernyanyi dan berdansa.

Jogja Art Weeks 110


ARTIKEL

Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara

Malam semakin membara dan membuat area ruangan pameran yang


dipenjara semakin marah. Meskipun malam itu langit Jogja National
Museum sedang mendung, namun semangat yang berapi-api tidak
membuat panggung lantas sepi.

Penonton yang datang dan menyaksikan pun enggan hanya diam


berdiri. Beberapa momen yang terjadi di panggung Band-Band-an
Daya Bara ini menampilkan beberapa kejadian yang tak kalah meriah
dan heboh dengan panggung musik ternama.

Sampai dimana hujan turun, ruangan musik di panggung enggan untuk


mati. selama acara berlangsung, potret keintiman dari setiap penonton
yang terjalin dalam area panggung ini menjadi daya tarik. Panggung
ini tak hanya meluapkan emosi dengan berdansa ria saja, namun ajang
untuk menemukan ikatan pertemanan yang solid.

Tubuh yang basah keringat dicampur dengan guyuran air hujan seolah
membuat penonton ini memiliki energi lebih untuk berpogo ria. Tepat di
depan panggung, penonton juga membuat gerakan Circlepit, gerakan
dimana penonton membuat lingkaran kemudian memutar berlawanan
dengan arah jarum jam.

Acara ini juga tidak lepas dari konsep yang dimiliki Aris Manyul. Selain
seorang seniman, Manyul juga merupakan vokalis sekaligus gitaris
band punk rock, Black Boots.

Melalui karyanya bersama Black Boots, Aris Manyul memiliki visi untuk
memberikan suara minoritasnya dari berbagai permasalahan sosial
politik serta lingkungan yang ada di sekitar. Materi-materi ini digarap
dengan serius dengan nuansa punk rock yang rabel. Lewat amukkan

Jogja Art Weeks 111


ARTIKEL

Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara

bermusiknya, tak jarang beberapa sejarah yang sudah terjadi di


panggung Black Boots pernah dibubarkan oleh aparat berseragam
lengkap, meskipun masa itu sudah eranya demokrasi.

Meskipun personil tidak lengkap. Malam itu, Band-Band-an Daya Bara


akhirnya menjadi ajang reuni dan mengenang sejarah bagaimana Aris
dan Black Boots masih bersikeras untuk mengabarkan isu-isu yang
terjadi di sekitarnya. Bahkan sikap ini nyatanya masih dibawa dan
mendarah daging untuk Manyul sendiri.

Beberapa penonton yang datang ke panggung juga sepertinya sudah


menyiapkan pernak pernik yang lengkap, dan menjadi simbolisasi atas
terjadinya persoalan-persoalan yang belum selesai di negeri ini.

Pemandangan paling mencolok adalah penonton yang menggunakan


rompi Polisi. Alasan penonton ini menggunakan rompi tersebut adalah
karena Black Boots punya lagu yang membahas soal Polisi. Selain itu
beberapa pandangan lain yang terekam mata adalah atribut jaket kulit,
sepatu boots, dan aksesoris punk. Menurut beberapa penonton yang
menggunakan aksesoris punk adalah terinspirasi dari lagu Black Boots
berjudul Punk Merdeka.

Malam dengan langit mendung dan suasana gerimis menutup acara


Band-Band-an Daya Bara. Beberapa Band yang sudah tampil telah
memberikan kesan dan pesan. Acara ditutup dengan rangkaian foto
bersama dan saling berpelukan. Tanda bahwa kelompok kecil ini akan
selalu solid dan akan membawa proses berkeseniannya sampai mati.

Jogja Art Weeks 112


ARTIKEL ESAI

Lampu dengan Temaram Masa Lalu


Itu adalah Jompet Kuswidananto
10-Oct-2022 Oleh Suliswanto Urubingwaru

Tidak ada dansa, maupun symphony Canon in D Major. Hanya


seonggok lampu gantung yang telah pecah berkeping-keping.
Jompet Kuswidananto sengaja menjatuhkannya untuk membubarkan
pertunjukan orkes sejarah, semua dipaksa membatu berhadapan
dengan hantu masa lalu. Pedang telanjang, dan karpet beludru hasil
rampasan dari Madras, adalah ingatan kolonial yang dipadatkan oleh
Jompet dalam teater instalasinya.

Seniman lulusan Fisipol UGM ini begitu melekat dalam benak saya,
sejak melihat karyanya “Love is A Many Splendored Thing” di ARTJOG
2021. Sebuah ruangan layaknya pintu ke mana saja. Begitu masuk di
dalamnya, kesadaran seperti dibimbing untuk menjejak “dunia yang
mirip di sini tapi tidak di sini”. Karena hanya di ruangan itu saya bisa
menyaksikan bangkai anjing mati tertusuk lampu neon. Begitu sureal,
begitu puitis.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan kembali melihat Jompet


di pameran “Analogous”. Sebuah pameran duo bersama Timotius
Anggawan Kusno yang diselenggarakan oleh ISA Art Gallery X Omah
Budoyo Gallery, 8 Juli - 3 September, 2022. Pameran itu menjelaskan
untaian kesamaan dari kedua seniman dalam menggunakan fiksi dan
imajinasi sebagai metode mengungkap kisah atau hal yang belum
selesai dari sejarah.

Baru saja memasuki ruangan, saya langsung disambut dengan


kematian visual. Bukan anjing yang dikorbankan, kali ini ada seekor
singa gunung yang gugur di ruang pamer. Makhluk resin itu berselimut
dan terbaring di atas permadani berwarna biru prussian, warna yang
sama seperti jubah para bangsawan dari negeri jauh. Agak lama saya
terdiam mengamati “Shades of The Unseen”, karya Kusno itu. Kematian

Jogja Art Weeks 113


ARTIKEL

Lampu dengan Temaram Masa Lalu Itu adalah Jompet Kuswidananto

yang tidak biasa. Karya yang menggambarkan sejarah hanya mencatat


penguasa, orang besar dengan menumbalkan ribuan kepala.

Setelah merasa selesai, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling.


Ruangan dengan bentuk memanjang ini memiliki jarak pandang sempit.
Rasanya akan lebih nyaman untuk bisa mundur beberapa langkah demi
menangkap kesan karya dengan baik. Di dinding terpajang banyak
kanvas dan gambar berukuran kecil. Semuanya tentang penarasian
ulang sejarah yang memang akan terus diperebutkan.

Selanjutnya saya berdiri di depan rangkaian lampu Jompet, “Long


Shadow #2” dan “Strange Form of Love”. Sepintas lalu keduanya
terkesan mewah-antik, cahaya redup yang anggun dan memancing
nostalgia. Namun saat melihatnya lebih dekat lagi, detail-detail ajaib
diselingi teka-teki muncul di sela pedang dan bayangan. Butuh
beberapa menit sampai saya menyadari ada sesuatu yang hilang. Saya
membuka Spotify lalu memasang earphone di sebelah telinga:

“… À votre avis qu’avons-nous vu

De l’amour?

De vous à moi vous m’avez eu

Mon amour

Ne vous déplaise

En dansant la Javanaise

Nous nous aimions

Jogja Art Weeks 114


ARTIKEL

Lampu dengan Temaram Masa Lalu Itu adalah Jompet Kuswidananto

Le temps d’une

Chanson …”

Tembang “La Javanaise” dengan iringan biola dan piano itu membuka
sumbatan di kepala saya. Antara penghayatan visual Jompet yang
dramatis, ditambah alunan suara Madeleine Peyroux menjadi satu
momen yang dengan agak berlebihan saya sebut menakjubkan. Narasi
kolonialisme jadi sesuatu yang sangat dekat, bahkan bisa kita nikmati.
Ketegangan identitas dan kronik masa lalu terasa baur dan abu-abu.
Jompet tidak berdiri sebagai subjek tunggal seorang Jawa, dia adalah
Jawa yang telah mengalami interaksi kultural dengan dunia yang besar.

Bagi Jompet sendiri, identitas adalah sesuatu yang kompleks dan


tersusun atas bentangan peristiwa nun jauh ke belakang, “Identitas
adalah rentang waktu sekian abad pertemuan dengan yang lain,
dengan the other. Jadi yang membentuk Jawa saat ini adalah rentang
panjang pertemuan dengan liyan ini. Sejak pra kolonial, kolonialisme,
itu sudah membentuk satu identitas yang kompleks. Kemudian setiap
zaman mengubah itu,” terang seniman yang sekarang berusia 45 tahun
tersebut.

Menurut saya, hal paling menarik dari karya Jompet adalah bayangan
yang selalu menghantui, cahaya hanyalah tipuan untuk mata yang
tidak terbiasa dengan gelapnya masa lampau. Antara sejarah, fiksi,
dan kekuasaan tidak terpilah. Sejarah adalah kontrol kuasa untuk masa
depan. Atau kalau kata Agung Leak “sejarah itu berulang, waktu itu
melingkar tidak lurus memanjang. Seperti konde… Jadi abai pada masa
lalu, adalah kutukan di masa depan”.

Jogja Art Weeks 115


ARTIKEL

Lampu dengan Temaram Masa Lalu Itu adalah Jompet Kuswidananto

Lebih lanjut laki-laki yang pernah menjadi musisi dan aktif di Teater
Garasi itu mengatakan, bahwa tubuh Jawa adalah tubuh hantu-hantu.
Karena menurutnya, salah satu sisi Jawa adalah versi identitasnya
yang ngambang, yang mengalir, yang terus berubah. Identitas Jawa
bisa berbentuk apa saja yang kamu bayangkan. Jika diumpamakan
sebagai sebuah tubuh, dia tidak punya garis batas jelas atau memiliki
outline yang samar.

Secara metafor pun, Jompet menggunakan bahasa visual “lampu


pecah” untuk membicarakan banyak hal. Kalau dibayangkan dia
seperti tokoh yang ditulis oleh seorang pengarang Perancis, Gaston
Leroux, dalam novel “The Phantom of the Opera”. Di mana pada salah
satu adegan kunci, seorang masyarakat kelas pinggir melakukan
pemberontakan dengan menjatuhkan lampu chandelier, sehingga
mengacaukan sebuah opera, sebuah konstruksi sosial. Di sini
chandelier yang pecah bisa bercerita tentang interupsi, sabotase
pada yang berkuasa, yang dominan. Seperti yang terjadi di sepanjang
sejarah Indonesia.

Tak cuma menggunakan simbol visual, Jompet juga menempatkan


suara sebagai elemen penting dalam beberapa seri karyanya. “Aku
menaruh musik dalam karya instalasi pada posisi penting, krusial
menurutku. Karena suara sebagai sebuah medium paling tidak secara
praktis membantuku untuk menciptakan ruang yang lain, ruang yang
bukan fisik. Ini ada ruang fisik, ketika ada suara, itu akan membuat
layer ruang yang lain di dalam perspektif penonton,” kata Jompet
menceritakan tentang nilai bunyi dalam karyanya.

Menggunakan suara sebagai subjek matter, Jompet dalam beberapa


seri awalnya seperti “Java’s Machine: Phantasmagoria”, “The
Commoners”, dan “Words and Possible Movements”, membuat instalasi

Jogja Art Weeks 116


ARTIKEL

Lampu dengan Temaram Masa Lalu Itu adalah Jompet Kuswidananto

secara keseluruhan menyerupai sebuah pertunjukan. Dalam karya-


karya itu ia membawa tema mengenai performativitas dalam demokrasi
Indonesia. Yang menurutnya ketika dalam konteks politik Indonesia
setelah mengalami sekian tahun di bawah pemerintahan otoriter, suara
menjadi sesuatu yang politis, juga sesuatu yang traumatis. Suara
punya banyak nilai yang bisa diperbincangkan.

Karya-karya Jompet adalah parade, sebuah karnaval identitas yang


beragam dan majemuk. Saya setuju dengan Alia Swastika yang
mengatakan dalam esainya, “Me(re)konstruksi Tubuh atas Ingatan”,
bahwa “… karya Jompet tidak hanya mengemuka dalam kerangka
konteks isu yang sedang ia representasikan, tetapi juga dalam medium
yang dipilihnya, yang menyerupai slogan klasik “medium adalah
politikal”.”

Kembali kepada lampu dan masa lalu, walau benar waktu itu melingkar
serupa konde Agung Leak, masa depan tetap saja tanda tanya yang
buram. Sebagaimana dinding-dinding bertagar #katacindhil yang
mengabarkan selamat tinggal dan kematian yang dikenang, salah
satunya berbunyi: “Hantu-hantu dari masa lalu kembali berkisah, tak
ada lagi ketakutan, sebab ia tak punya masa depan.” Pesta dansa pun
usai, dan chandelier itu pecah berkeping-keping.

Jogja Art Weeks 117


ARTIKEL FEATURE

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission


X Menuju the Hope
12-Oct-2022 Oleh Adhi Pandoyo

Rasanya familiar, ketika kita mendengar nama “Ira” disebut di sekitaran


obrolan seniman dan para pegiat seni Indonesia, atau khususnya di
Jogja. Irene Agrivina (kadang tertulis ‘Agrivine’) Widyaningrum (1976),
jika seusia kami akan lebih akrab dan nyaman menyapanya “Mba Ira.”
Satu keterangan tentang Ira yang kemudian bersarang di telinga
adalah HONF (House of Natural Fiber). HONF yang berdiri sejak 1999
ini mendefinisikan dirinya sebagai laboratorium seni media baru dan
teknologi.

Ira sebagai salah satu pendiri HONF, pada 2013 mengembangkan


kolektif di dalamnya bernama XXLab. XXLab inilah yang menjadi sebuah
kolektif yang melibatkan perempuan di dalam membuat laboratorium
kreatif. Melalui XXLab ini pula, Ira dan seniman-seniman yang terlibat
berhasil melakukan banyak eksperimen terhadap material limbah yang
diolah ulang menjadi bahan produktif. Pada tahun 2015, tim XXLab
kala itu (Asa Rahmana, Atinna Rizqiana, Eka Jayani Ayuningtyas, Irene
Agrivina Widyaningrum dan Ratna Djuwita) berhasil mengolah limbah
tahu menjadi karya “BIO/SOYA C(O)U(L)TURE” dan memenangkan [the
next idea] Art and Technology Grant Voestalpine 2015 dalam ajang “Ars
Electronica” di Austria.

Jelang pertengahan 2022 ini, seiring dengan agenda Jogja Arts Weeks
yang merentang sepanjang Juni hingga September, kami mengamati
giatnya beberapa proyek seni dan kurasi dari Ira. Salah satunya
adalah XXLab yang menghadirkan “Ingsun Project”, demi ditampilkan
dalam ARKO Art & Tech Festival, 11 Agustus – 23 October 2022 di Korea
Selatan; dengan tajuk: “The Fabel of Net in Earth”. Kepada penulis, Mba
Ira menceritakan pengalamannya:

Jogja Art Weeks 118


ARTIKEL

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission X Menuju the Hope

“Tadinya aku residensi di ACC (Asia Culture Center), tahun 2021.


Kemudian aku ketemu sama pihak ARKO, yang kebetulan memang
mau bikin festival seni dan teknologi. Mereka udah riset tentang
HONF, dan menawarkan untuk berpartisipasi. Tema dari ARKO emang
menarik, mereka ngomongin tentang metaverse, lalu mempersoalkan
persinggungan barat dan timur dalam soal teknologi.

Itulah kenapa kolektif kita (XXLab) mengangkat Ingsun, karena


mengangkat hubungan manusia, “subjek aku” dengan entitas lain
atau liyan (other). Nah biasanya ketika kita berhubungan, selalu pakai
medium, nah medium-medium ini yang diangkat menggunakan cutting
edge technology, untuk dipresentasikan dalam festival Seni dan
Teknologi di ARKO Art Center.”

Ira bersama tim XXLab yang terbaru (Bio Andaru, Dhoni Yudhanto,
Gisela Maria, Nona Yoanisarah dan Yoga Permana) sengaja mengajukan
terlebih dahulu konsep Ingsun Project itu sebagai gagasan
aktivasi karyanya. Dalam Ingsun Project itu pula, XXLab senantiasa
menggunakan metode kinerja HONF, yakni ”open knowledge”, sehingga
proses pembuatannya melibatkan publik, termasuk adanya public
kitchen. Menarik dicatat, sebelum berangkat ke Korea Selatan, Ingsun
Project dipresentasikan preposisinya terlebih dahulu dalam pameran
Mission X Project.

Pameran yang berlangsung pada 23 – 30 Juli 2022 di Lembaga


Indonesia-Perancis, Yogyakarta ini menjadi bagian dari “Indonesia UFO
Festival” yang juga diinisiasi oleh HONF. Melalui pameran Mission X
Project tersebut, Ira sebagai kurator, bukan hanya menghadirkan karya
preposisi “Ingsun Project” yang akan berangkat ke Korea Selatan;
namun memilah secara khusus seniman dan karya-karyanya yang lain.
Sehingga muncul karya yang berhubungan dengan gender, termasuk
membuat artcamp bersama ibu-ibu dan anak-anak. Ira kembali
menjelaskan:

Jogja Art Weeks 119


ARTIKEL

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission X Menuju the Hope

“Dalam Mission X itu, karya-karya yang ada memang bersifat preposisi,


atau lebih ke showcase, jadi karya-karya yang berbasis research yang
sedang berproses, baik dilakukan oleh anak-anak sampai dewasa dan
ibu-ibu. Inilah mengapa kami berupaya inklusif. Mereka yang terlibat
diajak mencari hal-hal yang X, atau terbukti baru, misalnya ibu-ibu yang
mengerjakan dengan materi-materi baru, hingga tema-tema tentang
space science itu sendiri. Itu menarik sekali, misalnya ada anak-anak
yang ibunya textile artist, ternyata seneng banget bermain-main
dengan “teknologi”, dari yang keluar asap-asapnya sampai decoding, ia
sengaja mencari-cari dan belajar dari youtube.

Nah pentingnya Mission X itu di situ ya. Mungkin ke depannya si anak


itu kelak jadi engineer atau scientist misalnya. Makanya Mission X tadi
seperti mengajak kembali pentingnya penggalian potensi pengetahuan
yang belum diketahui. Termasuk mengenalkan teknologi dan proses
pembuatannya. Nah, inilah bukti pengenalan critical making sejak dini.
Hal yang juga sesuai dengan gagasan utama Ingsun Project.”

Pameran Mission X Project sebenarnya juga bertujuan membersamai


simposium di dalam rangkaian “Indonesia UFO Festival”, yang
berlangsung sejak 16 hingga 30 Juli 2022. Festival ini juga melibatkan
banyak kegiatan, termasuk workshop hingga pendirian monument UFO
di Padukuhan Krasaan, Kelurahan Jogotirto, Kepanewonan Berbah,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendiri HONF selain
Ira, Venzha Christ, yang juga selaku Direktur Indonesia Space Science
Society, menjadi inisiator utama di dalam festival ufo tersebut.

Sepanjang perhelatan festival ufo tersebut, Ira juga mengritisi


persoalan dominasi idiom dan simbolisasi “maskulin”. Ia merasa bahwa
maskulinitas dan agresivitas menjadi bawah sadar imajinasi dunia
penjelajahan teknologi maupun narasi tentang ruang angkasa. “Kalau
saya sebenarnya skepstis, khususnya dalam soal man’s world-nya

Jogja Art Weeks 120


ARTIKEL

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission X Menuju the Hope

yang kerasa banget. Alien kan selalu digambarkan man, selalu macho
gitu ya, padahal kan mungkin genderless juga. Jadi lewat UFO Festival
itu, ketika saya membuat program bersama ibu-ibu tadi, setidaknya
menunjukkan bahwa soal ruang angkasa maupun alien, bukanlah ‘dunia
laki-laki’ gitu ya.” Imbuhnya

Ira pun menegaskan arti penting pendekatan dan perspektif lokal


di dalam memaknai ruang angkasa atau antariksa. Menurutnya,
masyarakat di Indonesia tampak telah terbiasa membayangkan
masalah antariksa sebagai bagian yang jauh di luar Indonesia. Ia pun
memaparkan:

“Saya sebenarnya ingin ada pembacaan lebih lanjut sih, kalau kita bicara
antariksa, mesti imajinasinya macam NASA gitu yang muncul. Padahal
di sini ada konteks dan sejarahnya sendiri, tentang teknologi dan
keyakinannya pada “kalau boleh disebut” alien. Kalau kita kan mungkin
semacam keyakinan adanya ‘sang/yang liyan’. Karena 80 persen dari
tubuh kita aja dipenuhi sang liyan, sebenarnya ibarat kata 80 persen diri
kita itu alien juga.

Makanya kalau di bidang space science, karena saya banyak ranahnya


bekerja di bidang biologi, menurut saya, alien itu bentuknya nggak mesti
yang kayak monster. Tapi bisa aja kan bakterial dan mikroba yang belum
kita kenal, katakanlah virus Corona itu ya alien juga kan. Awalnya kita
merasa asing dan latah. Intinya pembahasan tentang hal-hal yang tidak
kita kenal itu masih banyak.

Pasalnya kalau di NASA sendiri masih berkutat pada space tech,


daripada persepsi tentang sang/yang liyannya itu sendiri. Inilah
kesempatan kita memberi wacana tandingan maupun melengkapi narasi
alien yang amerika-sentris.”

Jogja Art Weeks 121


ARTIKEL

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission X Menuju the Hope

Dalam upaya terus menggali persepsi teknologis melalui bahasa


seni itulah, Ira kemudian berjumpa dengan beragam potensi seniman
maupun pendanaan/funding internasional. Oleh sebabnya jelang akhir
bulan September lalu, Ira secara khusus mengkurasi sebuah pameran
bertajuk “Weave of Hope”. Pameran yang berlangsung 27 September
- 1 Oktober 2022 di Kiniko, Yogyakarta ini disponsori sekaligus menjadi
bagian dari proyek yang diinisiasi 350 asia.

Dalam pameran tersebut, sejumlah seniman dipilih (sebagian melalui


seleksi) berhasil melibatkan seniman Indonesia, Filipina dan Taiwan.
Kesemuanya dikurasi Ira untuk menampilkan karya, sebagai bentuk
keresahan mereka pada krisis iklim. Dari situ Ira memproyeksikan
gerakan artistik berbagi harapan dan solidaritas, bahwa bumi sedang
tidak baik-baik saja. Mba Ira kembali mengemukakan pengalamannya
kepada penulis:

“Saya diminta jadi kurator, lalu sempat ada perbedaan pengetahuan,


mereka itu ngiranya kurator itu sekedar milih artist, padahal kalau
aku ngga bisa kayak gitu. Aku harus tahu prosesnya dan seterusnya
sampai pameran. Kalau nggak gitu, nanti pamerannya kan garing
banget. Terlebih, aku memang sudah lama kepingin bikin pameran yang
sustainable, maksudnya secara material dan trustable, supaya kita tidak
banyak menciptakan residu.

Jadi emang dari cara pemilihan bahan-bahan yang digunakan itu, kita
menekankan minimal ya ramah lingkungan atau at least bisa di-recycle.
Untungnya, para perupanya kooperatif dengan konsep kurasi kita;
pertama menyampaikan tentang krisis iklim, kemudian kedua, mereka
sebisa mungkin menampakkan kepedulian lingkungan tadi secara visual
maupun material.”

Keseriusan Ira melalui kekaryaannya sepanjang karir, utamanya di HONF


dengan XXLab, hingga Mission X dan Weaving The Hope, tampaknya
menawarkan sebuah preposisi artistik. Sebab bagi Ira, semua proyek
seni bukan persoalan final, tetapi proses yang terus bekerja. Dalam hal
inilah, ruang-ruang kolektif menjadi wahana progresif dalam gerakan
seni rupa kontemporer hari ini. Hal yang tidak selalu mudah di negara
lain. Pengamatannya di Korea Selatan terakhir, dijelaskan pada penulis:

“Ketika mengamati dunia seni di Korea (Selatan), rupanya nggak


se-fluid kita. Untuk jadi seniman itu susah banget. Walaupun support–
nya banyak, tapi untuk yang bekerja dengan kolektif (seni), apalagi
berkaitan dengan teknologi gitu, nggak semudah kayak di sini. Waktu
kita datang ke sana (Seoul), yang lebih membuat mereka tertarik itu,
‘bagaimana sih kamu bisa mengerjakan dari hal-hal yang kecil dan
sederhana jadi sebuah karya.’ Jadi kalau mereka mungkin karena banyak
di-direct government itu, karya kesannya harus yang flawless (tanpa
cela).

Kalau soal kolektif, di sana itu kayaknya agak susah ya. Mereka di sana
seolah harus jadi kolektif yang establish dulu, baru bekerja. Makanya
buat mereka, sangatlah menarik mempelajari kolektif kita yang terbiasa
dengan latar belakang berbeda, tetapi mudah untuk bisa kerja bareng.
Mungkin itu kelebihan kolektif kita di Indonesia, yang lebih fluid dan bisa
solid tampil di luar.”

Jogja Art Weeks 122


ARTIKEL

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission X Menuju the Hope

Menyoroti komparasi tersebut, Ira merasa seni rupa di Indonesia


memiliki potensi tinggi untuk diarahkan menjadi proyek-proyek
diplomatis. Diplomasi yang dimaksud tentunya diplomasi budaya,
yang akan berguna untuk menyemai kerja sama dalam level global.
Tujuannya jelas, turut mengupayakan humanisme, keadilan sosial,
gender dan kepedulian krisis ekologi maupun iklim; termasuk persoalan
relasi manusia dengan teknologi itu sendiri. Mba Ira sendiri mencoba
mengisahkan pada penulis tentang apa yang perlu kita ambil dari
strategi kebudayaan Korea Selatan:

“Korea membuat Asia Culture Center, udah belasan tahun. Mereka


salalu ingin mempresentasikan Asia, mereka ingin bikin sendiri. Misalnya
dengan Jepang, mereka sangat bersaing dalam perebutan pengaruh
kebudayaan dan merepresentasikan Asia. Ini jelas sejalan dengan misi
pemerintah mereka.

Mereka mempromote negara di bidang kebudayaan, makanya ada


macam anggota BTS (Bangtan Boys / Beyond The Scene) yang tampak
memperhatikan seni rupa. Ini bukti bahwa mempresentasikan dan
mereprestasikan Asia jadi bagian dari upaya strategi kebudayaan
mereka.

Mereka juga selalu bikin pameran internasional dan mengadakan


residensi buat orang Asia. Mereka bahkan punya researcher sendiri
dan membayar mahal untuk itu. Kalau ARKO di Seoul, memang berbeda
dengan ACC, tetapi bisa dibilang mereka punya misi yang sama dalam
representing dan berjejaring dengan seluruh kawasan Asia.”

Sepanjang obrolan kurang lebih satu jam, kami menampung banyak


sekali pengalaman dan gagasan. Kami pun tiba pada obrolan akhir
seputar antusiasme dan perhatiannya kini, khususnya sebagai
seniman maupun kurator. Ira sendiri kemudian banyak memaparkan

Jogja Art Weeks 123


ARTIKEL

Irene Agrivine: Ingsun dalam Mission X Menuju the Hope

pengalamannya yang merentang dari event ke event, pameran, konser


bahkan party. Semua itu tidak lepas dari upaya Ira dalam merajut
komunikasi dan proyeksinya di dalam jejaring kerja artistik yang multi
disiplin. Ira kembali menjabarkan panjang lebar:

Aku sebenarnya agak belajar tentang ilmuwan seperti Leonardo Da


Vinci, yang lintas disiplin. Nah aku sebagai artist atau katakanlah
pseudo scientist, misalnya aku mengerjakan eksperimen, itu kan hampir
sama dengan mengerjakan praktik kuratorial. Sebab selalu based-nya
experiment, jadi aku seneng berinteraksi dengan banyak orang.

Aku pikir kerjaku sebagai artist juga hampir sama. Jadi aku memahami
karakteristik dan latar belakang setiap keterlibatan. Misalnya ketika
bekerja dengan makhluk lain, seperti pengalamanku bekerja dengan
mikroba, itu ya berarti mikroba inilah kolaboratorku.

Tapi kalau ditanya perhatian terbaruku, aku justru terkadang ingin jadi
semacam media theorist. Jadi berhubungan dengan digital network.
Misalnya kurasi sekarang berdasarkan click bait, tentu ada dong
pergeseran, yang membuatnya berbeda sekali dengan dulu. Hari ini kita
berjualan karya udah nggak ribet dan harus melulu dengan galeri kan.
Menurut aku, kita ini masih lambat mencerna perkembangan global;
misalnya pameran seni yang offline, lalu ditulis untuk publik online, ini
tentunya punya persoalan pencerapan yang berbeda.”

Memungkasi obrolan ditengah renungan penulis mendengarkan


pemaparannya, Mba Ira mendesis harapan kecil pribadinya: “ya mudah-
mudahan kelak disertasiku bisa selesai ya”. Saya baru menyadari
bahwa di tengah kesibukan proyek seninya, masih ada langkah
akademis formal yang diam-diam diusahakannya. Tampaknya simpulan
obrolan dengan Mba Ira mempertebal dugaan awal saya. Sebagai
subjek dalam medan seni, Irene Agrivina ibarat state of the art itu
sendiri!

Jogja Art Weeks 124


ARTIKEL ESAI

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas


Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam
1-Nov-2022 Oleh Adhi Pandoyo

Biennale Jogja seri Equator atau BJE telah usai. Selama sepuluh
tahun telah dilalui kerja sama dengan enam negara maupun kawasan,
yakni India (2011); Kawasan Arab (2013); (Nigeria (2015); Brazil (2017);
Asia Tenggara (2019) dan Oceania (2021). Kini, baru saja berlangsung
‘Simposium Khatulistiwa’ yang biasa menyertai BJE di tiap tahun
genap. Simposium Khatulistiwa kali ke enam ini berlangsung pada 28
– 29 Oktober 2022 di Concer Hall Pascasarjana ISI Yogyakarta. Melalui
tajuk “Kuat Akar, Kuat Tanah: Solidaritas Trans-Nasional dan Gerakan
Trans-Global,” simposium ini diharapkan menjadi penutup rangkaian
BJE putaran pertama (2011 – 2021) sekaligus menjembatani menuju
putaran kedua di masa mendatang.

Selama dua hari penyelengaraan, terdapat masing-masing pembicara


kunci sebagai episode presentasi pembuka. Jeebesh Bagchi dari
Raqs Media Collective (Delhi, India) membuka hari pertama dengan
pembahasannya tentang pengalaman kekaryaan kolektifnya di
berbagai perhelatan internasional. Dr. Mitha Budhyarto selaku
moderator, sempat menyimpulkan bahwa beberapa konsepsi yang
ditawarkan Bagchi, seperti “Glimmer” (Cahaya Redup), memiliki
relevansi dengan konteks realitas dunia termutakhir, yang terbukti
dipenuhi kegelapan dan kekelaman. Saya sempat tercenung sesaat
ketika di akhir Bagchi berucap: “Now, in Art World, you will see that
most expressed is that historical time now, more and more is seen as
Horror. So history becomes just recording as a horror.”

Sementara di hari kedua, dua pembicara kunci, Jiradej Meemalai dan


Pornpilai Meemalai, secara khusus memaparkan pengalaman kerja
keduanya dalam Baan Noorg Collaborative Arts. Dalam konteks kota
Ratchaburi di Thailand, Baan Noorg berupaya membahasakan isu lokal
ke dalam konteks baru, melalui perhelatan seni kontemporer global,
salah satunya saat turut serta dalam Documenta 15 di Kassel, Jerman.

Jogja Art Weeks 125


ARTIKEL

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

Menarik ketika di akhir, Pornpilai mengungkapkan: “The context


where we live, I think it’s all, for us, is like a Rhizomes, so it really
depends which at what’s under certain issue what do you want, or
how do you want to cook or address with certain elements from the
cultural background. Maybe it can be mix and combine together, but
sometimes you can also propose with one certain visual.”

Menuju Putaran Kedua

Dalam pembukaan simposium, Alia Swastika, selaku direktur Yayasan


Biennale Yogyakarta (YBY), menyampaikan bahwa: “Dalam putaran
kedua nanti, kita tidak lagi secara khusus bekerja sama dengan negara-
negara tertentu, tetapi lebih bersifat global, dalam cakupan solidaritas
trans-nasional dan gerakan trans-lokal. Jadi tidak lagi berbasis pada
negara-bangsa, tetapi melihat solidaritas-solidaritas antar warga
sebagai titik tumbuh dari gerakan global itu sendiri.”

Selain itu, putaran kedua kelak akan tetap melanjutkan cita-cita


bersama, yakni menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah seni dunia
dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni. Terutama berfokus
pada mempertanyakan kembali definisi dan kerangka geopolitik
dunia. Alia juga menjelaskan bahwa untuk putaran kedua itu pula, BJE
menyediakan dua kata kunci, yakni: Trans-Local atau Lintas-Lokal dan
Trans-Historical atau Lintas-Kesejarahan.

Di satu sisi, konsepsi ‘lintas lokal’ akan menghubungkan pengetahuan


antar lokalitas, sistem seni dan kebudayaan berbasis konteks adat
yang spesifik, serta artikulasi pengetahuan yang berakar pada bahasa-
bahasa lokal. Sementara di sisi lain, konsepsi ‘lintas kesejarahan’ akan
merujuk pada alur sejarah yang terbukti memberi inspirasi bagi gerakan
sipil.

Jogja Art Weeks 126


ARTIKEL

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

Silang Gagasan Utama di Hari Pertama

Selama berjalannya simposium, selain pembahasan dari pembicara


kunci, tak kurang muncul sepuluh pembahasan. Kesemuanya terbagi
dalam tujuh nomor urutan tema, yakni: (1) “Internet, Seni dan Gerakan
Solidaritas Baru”; (2) “Seni dan Aktivisme di Tengah Kapitalisme
Mutakhir”; (3) “Gerakan Perempuan dan Dekolonisasi”; (4) “Kelas dan
Identitas Post-Kolonial”; (5) “Desain Vernakular dan Pengetahuan
Lokal”; (6) “Trans-Nasional dan Trans-Historis”; dan (7) “Artikulasi
Translokalitas dan Budaya Hibrida”. Ketujuh nomor urutan tema itu,
menurut Alia, berada dalam payung gagasan, yakni: “Belajar dari
Kesalahan, Gerakan Seni dan Spekulasi Masa Depan”.

Pada hari pertama, terbagi tiga sesi, dengan sesi pertama simposium
dengan Dr. Annisa R. Beta, Fellalia Hasna Hanifa dan Mega Nur
Simanjuntak yang membawakan pembahasan tema nomor satu. Annisa
melalui komunikasi daring zoom, menjelaskan soal solidaritas rasa dan
aktivisme feminis di media sosial. Irham Nur Anshari yang bertindak
sebagai moderator kemudian juga menjembatani pemaparan Fellalia
menyoal gerakan akun twitter @wadas_melawan; dengan presentasi
Mega terkait modalitas kewargaan metizen seniman muda, sebagai
medan alternatif seni rupa.

Sementara menjelang siang, sesi kedua menampilkan Rahma Azizah,


Natasha Devanand Dhanwani dan Benny Widya dengan pembahasan
tema nomor kedua. Rahma memaparkan pengalaman upaya Tanijiwo
mengusung residensi di kawasan Dieng. Sedangkan Natasha membagi
pengalamannya bekerja bersama masyarakat Sangihe, Sulawesi Utara,
khususnya dalam gerakan menolak tambang.

Jogja Art Weeks 127


ARTIKEL

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

Kemudian Benny yang menyodorkan pengalaman keterlibatan


dan pengkajiannya atas praktik Biennale Jatim melalui wacana
desentralisasi. Di sesi ini, tampak beragam tanggapan, misalnya
Nindityo Adipurnomo mempersoalkan pentingnya berhati-hati dalam
melakukan kerja residensi seniman di desa-desa, agar tidak terjebak
dalam godaan klasik eksotisasi dan eksploitasi warga.

Memasuki sesi ketiga, atau terakhir, muncul pembahasan tema nomor


ketiga, dengan pembicara Astrid Reza, Margareth Ratih Fernandez dan
Amanatia Junda, serta dipandu oleh Putu Sridiniari. Astrid yang bekerja
di RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan) membagi telaahnya
atas sejarah gerakan perempuan Indonesia dalam gerakan aktivisme
transnasional, khususnya pengalaman di dekade 1950an. Sedangkan
Margareth dan Amanatia dari Perkawanan Perempuan Menulis (PPM),
menyampaikan pengalaman kerja mereka dalam membangun literasi
dan kekaryaan mengusung perspektif dan pengalaman perempuan.
Diskusi sesi akhir ini kian impresif, ketika tiga pembicara memberikan
“closing statement” dengan membacakan puisi Sugiarti Siswadi secara
estafet.

Kehangatan Hari Kedua dan Sebuah Rekomendasi Kritis

Kala hari kedua, simposium terbagi dalam empat sesi. Dalam sesi
pertama, Amos, Ken Miryam Vivekananda dan Jean-Pascal Elbaz
menelanjangi persoalan tema nomor empat, dengan Suwarno
Wisetrotomo yang memoderatori jalannya silang pemaparan. Amos
tampak bersemangat menyampaikan pelacakan sejarah genosida
VOC terhadap pulau Banda, yang tercermin dalam tarian Onatani
Sarawandan. Sementara Ken menawarkan “Malay as Method” sebagai
upaya konstruksi identitas kaum muda di Sumatra Timut, khususnya
melalui media sosial dan internet.

Jogja Art Weeks 128


ARTIKEL

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

Selanjutnya Elbaz yang mengajukan tafsirannya bahwa Louis Charles


Damais, Claire Holt dan Étiennette Bénichou merupakan Indonesianis
yang berpihak kepada Indonesia. Bagi Elbaz, ketiganya telah berhasil
menemukan ruang negosiasi, area untuk agensi, dan mengungkapkan
wacana perlawanan/resistensi. Hal ini dibantah oleh Kelana Wisnu, yang
meragukan keberpihakan Claire Holt, mengingat posisinya yang sempat
menjadi agen CIA.

Menjelang sesi kedua, Dr. Mitha Budhyarto kembali hadir memoderatori


paparan David Hutama dan Raden Roro Hendarti. Kedua pembicara
tampak saling melengkapi di dalam mengusung tema nomor kelima.
David menunjukkan beberapa cacat modernitas, termasuk dalam
obsesinya mendidik manusia secara kuantitatif, terbukti terus
merendahkan kualitas dan terjebak dalam apa yang diistilahkannya
sebagai “imposisi epistemic”. Oleh sebabnya, David menekankan
pendidikan berbasis pengetahuan “Metis” yang berpijak pada
keunikan individual dan praktik. Lalu Roro yang menyampaikan praksis
pengalaman aktivisme lingkungannya dengan gerakan literasi untuk
warga, hingga pembuatan bank sampah bersama.

Ketika memasuki sesi ketiga, Hendra Himawan memandu tema nomor


keenam yang dipantik oleh Bayu Genia Krishbie, Dhianita Kusuma
Pertiwi dan Kelana Wisnu. Bayu memulai dengan menjelaskan
pentingnya upaya ‘Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara
Non Blok’ di tahun 1995. Sementara Dhianita mendedahkan kajiannya
atas arah diplomasi budaya di Indonesia. Kelana menutup sesi ketiga
dengan menegaskan pentingnya pemikiran ‘humanisme pasca-kolonial’
yang muncul dalam dalam solidaritas transnasional para sastrawan,
khususnya di era 1950-an.

Jogja Art Weeks 129


ARTIKEL

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

Akhirnya di sesi keempat menyajikan tema nomor ketujuh, yang


berlangsung hangat dengan durasi ekstra. Aditya Dipta Anindita (Indit)
dari Sokola Rimba, dan Dicky Takndare dari Udeido Collective, ditemani
Titah Asmaning Winedar selaku moderator, berupaya membabar
pengalaman dari dua wilayah. Indit mengawali dengan mengurai
pengalamannya berkerja untuk sokola rimba, persis di wilayah hidup
orang rimba atau suku anak dalam di Jambi. Indit juga menunjukkan
bahwa suku anak dalam atau orang rimba, sangatlah kaya akan
pengetahuan tersendiri dan selalu fleksibel dengan perubahan.

Ironisnya kapitalisme melalui pembangunanisme yang digadang


pemerintah maupun perambahan perkebunan sawit, senantiasa
menyudutkan dan mendiskreditkan orang rimba. Sehingga selalu
muncul dalih “memodernkan” orang rimba, oleh sebab kesalahpahaman
akibat kesenjangan pengetahuan antara mereka yang dididik dalam
masyarakat adat, dengan yang dididik dalam dunia dan sekolah
modern.

Kendati lebih banyak dihadiri para mahasiswa dan peneliti daripada


seniman-seniman, simposium ini tampak berjalan dengan lancar.
Salah satu yang sangat membekas bagi saya adalah pernyataan
dari Dicky Takndari jelang akhir sesi keempat. Sembari berdiri, Dicky
menyampaikan pernyataan bak manifesto, yang dijuduli sebagai
“REKOMENDASI”, sebagai berikut:

“Udeido Collective merekomendasikan segenap praktisi seni


atau kuratorial terkhusus dalam institusi-institusi akademik di
Indonesia untuk meninjau kembali percakapan-percakapan/
kurikulum terkait sejarah praktik kuratorial di Indonesia; dan
mulai memberikan tempat bagi narasi-narasi serupa yang

Jogja Art Weeks 130


ARTIKEL

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

sesungguhnya terluput dari penulisan sejarah praktek kuratorial


yang bersifat hegemonis dan terpusat; yang selama ini
mewarnai seni rupa Indonesia, Asia, maupun Pasifik.

Reformasi ini akan melahirkan pandangan yang lebih


komprehensif tentang pemetaan praktik seni rupa di Indonesia,
Asia, maupun Pasifik; dan membuka sebuah alternatif ruang
dialog yang sangat sangat dibutuhkan untuk mengurai berbagai
permasalahan sosial politik, khususnya di wilayah konflik seperti
Papua Barat.”

Simposium kuat akar, kuat tanah pun berakhir dalam petang sesudah
maghrib. Setelah dua hari tenggelam dalam lalu lintas pemaparan,
kami melebur dalam kemeriahan sesi foto bersama seluruh peserta,
di tengah putaran lagu nyanyian sendu dari Mambesak, hingga pesta
kecil ulang tahun seorang panitia. Kami semua pulang mengantongi
pengalaman lintas rumpun gagasan dan sejumput tujuan cemerlang ke
depan. Semoga!

Jogja Art Weeks 131


ARTIKEL FEATURE

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan


Pembawa Memori Masa Silam
14-Nov-2022 Oleh Ripase Nostanta

Suara bunyi pasien kritis terdengar “....Titt..titt…” suasana menjadi


kelam, kedai Kopitiam yang sepi pengunjung kini menjadi makin muram
sepeninggal wanita tua yang ia panggil istri.

Tanggal 6 Oktober, Jogja mendung. Bisa diprediksi, semisal pagi hari


terang benderang sorenya pasti hujan deras. Begitu juga yang terjadi
di hari Jumat itu, saya dan Awi (Fotografer JAW) sudah merencanakan
datang ke Pesta Boneka sekaligus jadi pengalaman pertama
berkunjung menonton International Biennale Puppet Festival.

Selama diperjalanan menuju utara, lagi-lagi saya diajak recall memori-


memori lama. Dibawa kembali mengingat rasa dan suasana panggung
yang di depannya tampak gelap dan gerah karena lampu kuning yang
menyorot tajam. Tidak lagi terlihat berapa banyak mata yang sudah
menunggu adegan saya yang memerankan tokoh Petra, hanya ada
suara tepukan tangan dan tawaan kala saya berakting menjadi seorang
gadis muda genit pelayan Senora si janda tua.

Saya pernah bergabung selama 4 tahun bersama komunitas teater di


bawah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bernama Teater Lakon Kesenian
Kampus atau LKK. Sebut saja seperti olah vokal, olah tubuh, olah
rasa, keaktoran, monolog, naskah, pementasan, produksi, manajemen
sanggar pernah menjadi makanan sehari-hari. Saking seringnya
beraktivitas bersama sanggar teater, sempat terpikir untuk pindah
tempat tinggal. Kalau bukan karena kepikiran ditanya orang tua ngekos
di mana, ingin rasanya tinggal di sanggar saja, karena hampir setelah
pulang kuliah rumah berukuran 7x6 meter itu menjadi tujuan utama.

Jogja Art Weeks 132


ARTIKEL

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam

Pementasan Bon Puppet berjudul Broom...Brmm...Brmm...

Momen-momen berproses hingga teriakan kakak senior “Vokalmu


dek, pakai suara perut jangan suara tenggorokan” masih terngiang
kuat saat melihat aktor lain di panggung sedang berdialog. Selain
pernah menjadi aktor, saya juga pernah merasakan bagaimana
serunya menjadi sutradara dan bagian dari tim produksi. Pementasan
pertama saya berperan sebagai aktor utama di naskah Teras Jodoh
oleh sutradara Fatia Aini tahun 2013, menceritakan nenek tua yang
mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang pengangguran. Pada tahun
berikutnya, mendapat kesempatan memerankan tokoh Petra dalam
naskah Pagi Bening, sebuah drama komedi satu babak dari tanah
Spanyol karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero terjemahan Sapardi
Djoko Damono, disutradarai oleh salah satu senior yaitu Ardian di
tahun 2014. Sebagai anak teater tidak lengkap rasanya apabila belum
pernah menjadi sutradara dan menggarap naskah sendiri, di tahun 2015
naskah komedi berbalut seni rupa dengan tajuk “Mona Lisa” sukses
dipertunjukkan di panggung megah Taman Budaya Sumatera Utara.

Tidak mau berlarut lama dengan ingatan yang tiada habisnya.


Setelah sampai di Kampung Media Resort Yogyakarta, saya bergegas
menghubungi Meyda salah satu Tim Pesta Boneka yang akan
menjelaskan tentang semua kebutuhan liputan kali ini. Meyda banyak
menjelaskan tentang apa itu Pesta Boneka, siapa saja partisipannya
dan penampilan siapa saja yang bisa disaksikan pada sore hari itu.

“Pesta Boneka #8 tahun ini berjudul Remembrance, diikuti oleh 35


kelompok dan individu seniman dari 18 negara. Untuk open stage
bisa masuk tanpa registrasi tapi memungkinkan masuk apalagi masih
ada slot, sedangkan untuk yang berada di ruang pementasan harus
registrasi karena kapasitas terbatas. Selama pementasan offline
berlangsung, total pengunjung kami sebanyak 500 orang per hari,
ini adalah hari kedua jadi sekitar 1000 orang sudah berkunjung,” ujar
Meyda.

Jogja Art Weeks 133


ARTIKEL

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam

Sekilas Tentang Pesta Boneka oleh Papermoon Puppet

Pesta Boneka adalah festival teater boneka berskala Internasional


yang diadakan secara independen oleh Papermoon Puppet Theatre
sejak tahun 2008. Festival yang diadakan per dua tahun ini menjadi
ruang berkumpulnya seniman dan para pecinta teater boneka dari
berbagai belahan dunia. Tempat penyelenggaraannya juga beragam
mulai dari ruang teater sampai ke desa-desa. Menurut Meyda, acara
tahun ini sangat istimewa karena kembali mengadakan pertunjukan
Offline pertama setelah terhalang akibat pandemi.

Setelah ngobrol seputar Pesta Boneka, saya dan Awi mencari salah
satu tempat pertunjukan yang akan tampil dalam waktu dekat, dan
kami memutuskan untuk menonton penampilan dari Five Stones
Theater Singapura dengan judul Kopitiam. Para pengunjung yang
sebagian merupakan orang asing ini berbaris rapi menunggu
pengecekan tiket yang sudah mereka dapatkan melalui pendaftaran
online. Saat giliran kami masuk, sebuah ruang pertunjukan mini sudah
disetting sedemikian rupa. Dua orang menggunakan kaos putih dengan
sangat ramah menyapa dan mempersilakan pengunjung untuk duduk.
Mereka tampak sumringah, menyapa siapa saja layaknya sudah akrab
dan kenal lama.

Dua orang yang menyapa pengunjung tadi bernama Hui Xuan


dan Bright mereka adalah aktor untuk memerankan sekaligus
menggerakkan boneka kakek nenek di pementasan Kopitiam. Selagi
semuanya menunggu, mereka juga mengambil posisi di panggung,
duduk di dua kursi kayu sambil membaca koran. Semua orang jadi
terdiam, mungkin bertanya-tanya, apakah sejak awal mereka menyapa,
sudah bagian dari pertunjukan? Sama seperti penampilan teater
pada umumnya, akan ada properti pendukung. Uniknya di panggung
Kopitiam, terdapat properti besar yang akan digunakan para aktor dan
mini properti untuk boneka. Mereka menghadirkan kursi, meja, lemari,
pemanggang roti, cangkir, saringan teh, kipas angin dan tumpukan rak
botol sebagai panggung untuk boneka. Ada yang khas, sebuah plat
nama toko berukuran mini dengan tulisan hanzi dan latin bertuliskan
“Chin Choo”.

Sesi tanya jawab bersama Bright

Jogja Art Weeks 134


ARTIKEL

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam

Hui Xuan dan Bright sedang akting membaca koran

Sekilas Cerita Tentang Kopitiam

Pertunjukan ini diawali dengan Hui Xuan dan Bright yang berdansa
dengan lagu The Shirelles-Will You Still Love Me Tomorrow sambil
mengalungkan handuk kecil. Mereka berperan sebagai dalang boneka-
boneka kayu dan aktornya sendiri. Kopitiam bercerita tentang dua
orang tua yang mengelola warung kopi di tengah kota yang sudah
dipenuhi oleh kafe kekinian di Singapura. Rutinitas sepasang suami-
istri ini hampir sama seperti yang dilakukan pedagang kopi pada
umumnya. Si kakek menyusun kursi dan meja, membersihkan warung
dan si nenek menyiapkan roti panggang untuk dijual bersama dengan
kopi. Mereka mencoba menawarkan kopi kepada setiap pejalan kaki
yang melewati warungnya, namun tetap saja tidak ada yang mau
singgah. Hari demi hari berlalu, mereka masih melakukan hal yang sama
dan sesekali menikmati hidup dengan berdansa dengan lagu favorite
mereka, persis sama seperti yang Hui Xuan dan Bright lakukan di awal
pertunjukan.

Suatu hari nenek terjatuh dan dirawat, namun sayang sang nenek
meninggal dunia. Sebuah pigura dengan potret nenek ditampilkan di
atas lemari tua. Waktu terus berlanjut, Kopitiam masih terus berjalan,
tidak ada lagi yang memanggang roti dan membantu memijat bahu
laki-laki tua malang itu. Saat adegan sepi dan sendiri ini dihadirkan,
muncul tokoh baru yang diperankan ganda oleh Hui Xuan sebagai
pemilik bangunan, ia meminta kakek untuk membayar uang sewa atau
tempat itu akan segera ditutup. Karena permasalahan ekonomi, satu
per satu barang-barang kakek terpaksa harus diambil hingga pada
pemutusan listrik. Malamnya, terjadi gempa yang meluluhlantakkan
semua barang-barang, kakek berusaha menyelamatkan barang yang
bisa diraih, salah satunya adalah pigura foto sang istri. Adegan ini
cukup seru dan haru, sebagian warung terpaksa hancur dan terbelah.
Bagian lainnya masih layak digunakan untuk berjualan. Hari-hari
kembali seperti biasa lagi dan kakek masih menjual kopi.

Jogja Art Weeks 135


ARTIKEL

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam

Adegan-adegan yang diperankan oleh boneka kayu ini bisa dirasakan


emosinya oleh penonton, selain karena diekspresikan oleh dalangnya.
Kesedihan juga turut dirasakan oleh para penonton saat adegan
nenek yang masuk rumah sakit dan meninggal, yang tersisa hanya
seorang kakek tua yang berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan
berjualan kopi. Kesetiaan dan cinta sang kakek terlihat jelas dalam
tiap adegannya setelah ditinggal oleh nenek. Pada penampilan ini,
penonton diberi pemaknaan, apa itu arti kehilangan dan bagaimana
kita menghadapi perubahan.

suasana pengunjung menunggu giliran masuk ruang pertunjukan

Kopitiam dan Singapura

Setelah pementasan berakhir, terdapat sesi tanya jawab dengan para


aktor. Pertanyaan seputar latar belakang pengangkatan cerita ini,
semua properti hingga proses pembuatan boneka. Cukup menarik,
ternyata karya mereka berangkat dari pandemi, Kopitiam yang mulai
digeser kafe kekinian, hingga ranah politik di Singapura.

Saya juga menyempatkan ngobrol Hui Xuan seputar penampilan


mereka, “It’s been great, I mean the energy from the audience. Being
very nice you know everyone is so loving and giving love. And so I
think for us it’s peace, especially for Kopitiam, which is about love and
love letters to institutions and generations of people. I think it’s very
special to perform this piece here. This is our first time performing in
Indonesia, we performed it in Singapore twice and this is the third time
in Indonesia. We are still here until 2nd October in Indonesia” ujarnya.

Penasaran dengan tanggapan penonton dengan pertunjukan barusan,


saya sempatkan ngobrol dengan salah satu dari mereka. “Ini tadi, saya
merasa senang banget nontonnya, benar-benar enjoy setiap detik
yang ditampilkan di atas panggung, gestur-gestur dan komponen

Jogja Art Weeks 136


ARTIKEL

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam

benar-benar terbawa suasananya. Pokoknya senang dan terharu


banget bisa nonton offline lagi, pertama kali nonton pesta boneka di
tahun 2016 tepatnya di UGM dekat lapangan” ungkap Zahra penonton
Kopitiam dari Magelang.

Lampu sorot warna kuning yang menjadi ciri khas tata panggung teater

Hujan Masih Belum Reda, Akhirnya Nonton Pertunjukan Kedua

Selagi menunggu hujan reda, kami sempatkan untuk menonton satu


pertunjukan lagi dari grup teater boneka asal Bandung yaitu Bon
Puppet dengan judul “Broom..Brmm…Brmm…..”. Kesan saya saat
menonton penampilan mereka adalah profesional dan totalitas,
para dalang terus melanjutkan pementasan walau sedang gerimis.
Mengisahkan seorang petani sunda yang tinggal di gubuk sederhana.
Suatu hari sesampainya di depan rumah, si kakek menyapu daun-
daun yang berguguran. Setelah selesai ternyata sebuah sapu ajaib
bisa bergerak sendiri dan membalikkan keranjang sampah sehingga
teras menjadi kotor kembali. Klimaks dari pementasan ini saat
kakek mengetahui sapu yang dimilikinya bisa bergerak dan terjadi
pertarungan yang lucu di antara keduanya.

Setelahnya, masih ada waktu untuk berkeliling art & craft bazaar
yang diramaikan oleh pengrajin dan bisnis lokal. Pengunjung bisa beli
oleh-oleh atau sekadar jajan di area foodcourt. Berkunjung ke Pesta
Boneka adalah kesempatan berharga dan langka, terutama acara yang
sama hanya akan bisa saya nikmati di dua tahun yang akan datang.
Akhir-akhir ini suasana kesenian di kota Jogja bagi saya cukup syahdu,
dipenuhi hal-hal serba baru, mau tak mau harus dijalani tidak lupa
disyukuri. Hujan bulan Oktober ini juga baik, ia turun sambil membawa
memori lama yang menguatkan dan mengingatkan, bahwa seni-senian
tidak melulu seni rupa sesekali kembalilah berdrama.

Jogja Art Weeks 137


ARTIKEL FEATURE

Nostalgia ke Masa Lalu, Rekreasi ke


Masa Depan
25-Dec-2022 Oleh Della Naradika

“NU-SA-MA-TRA” merupakan sebuah pameran seni bagian dari kegiatan


peluncuran FlipFLop TV dengan sasaran audiens utama pameran
adalah anak-anak. Mengutip teks kuratorial Huhum Hambilly dan
Adhi Pandoyo, “Kata Nusa dipahami sebagai sebuah konsep ruang
hidup yang konsentris sekaligus dinamis. Kata Nusa kemudian kami
tautkan dengan kata Matra, yang dalam bahasa Sansekerta memiliki
arti sebuah ukuran, seperti panjang, tinggi, lebar ataupun dalam
makna luas, menyangkut ukuran irama dan bunyi maupun satuan kata.
Nusamatra menandai ruang hidup yang merangkum beragam matra
dalam pameran seni rupa kali ini.”

Pemeran “NU-SA-MA-TRA” dihelat pada 20-21 Desember di Galeri


Pendopo Ajiyasa Jogja National Museum, melibatkan seniman maupun
koletif seperti: Agan Harahap x Broken Pitch, Anang Saptoto, Mbah
Atemo Wiyono & Hanafi K Sidhartha, Sekawan Project, Studio Foto Kilat
56, dan TEMPA. Setelah membaca nama-nama ini, mungkin akan muncul
pertanyaan, apakah semua karya bisa dinikmati dengan baik oleh
anak-anak? Bagaimana mungkin konsep-konsep yang memuat wacana
diusung dalam karya seni dapat diterima dengan baik oleh anak-anak?

Setelah berdiskusi panjang bersama kurator Nusamatra,


Huhum Hambilly, saya sepakat bahwa anak-anak tidak lagi menjadi
pengunjung pasif pada pameran, datang untuk melihat dan bersang-
bersenang adalah gaya klise apresiasi seni yang tidak akan terjadi di
Nusamatra. Pengunjung Nusamatra, baik dewasa maupun anak-anak
memiliki kesempatan yang sama untuk memahami, berpikir kritis, serta
merespon setiap karya yang ditampilkan.

Jogja Art Weeks 138


ARTIKEL

Nostalgia ke Masa Lalu, Rekreasi ke Masa Depan

Karya Agan Harahap x Broken Pitch menjadi karya pertama yang


tampak setelah memasuki pintu masuk galeri. Pengunjung disambut
dengan penampakan harimau yang mengunjungi pusat perbelanjaan
untuk mencari daging. Konsumerisme telah membumihanguskan
keseimbangan alam. Melalui karya ini, pengunjung diajak rekrasi
ke masa depan, menjenguk bumi yang sakit dengan segala
ketidakseimbangannya. Pengunjung difasilitasi pensil dan kertas
untuk merespon karya ini, hasilnya sungguh mengejutkan. Saya ambil
tiga dari ratusan karya yang saya pilih secara acak. Karya-karya ini
adalah angin segar, pengunjung (baik anak-anak maupun dewasa)
telah menuntaskan `rekreasi ke masa depan` dengan baik. Pemeran
yang dibuka oleh Kak Seto ini tidak hanya formalitas untuk merayakan
kegembiraan anak-anak, tapi anak-anak sebagai subjek utama telah
melakukan banyak hal melampui dari yang seniman, kurator, maupun
edukator bayangkan. “Pameran ini membuat anak-anak dekat sekali
dengan karya seni,” tutur Kak Seto saat tengah mengelilingi galeri.

Usai menuntaskan gambaran ekosistem masa depan di kertas masing-


masing, pengunjung diajak bermain dengan gembira, menyusun
modular berupa potongan lembaran kayu dengan pola unik dan penuh
warna karya TEMPA. “Menambah dan mengurangi sesuatu adalah hal
yang lumrah dalam berkarya seni. Itu yang akan ditanamkan ke anak-
anak. Agar di masa depan, mereka tidak takut melakukan perubahan-
perubahan pada karya mereka,” ujar Putud Utama, salah satu seniman
TEMPA.

Di sisi selatan galeri, wayang karya Mbah Atemo dan Hanafi K Sidhartha
menyambut pengunjung dengan begitu ramah. Karya-karya Mbah
atemo yang dibuat dengan bahan-bahan bekas mengingatkan
saya dengan recycle dan seni berkelanjutan. Tepat sehari sebelum
pameran dibuka saya sempat berdiskusi ringan dengan Hanafi, ia
mengatakan, “Seni berkelanjutan tidak hanya karena Mbah Atemo

Jogja Art Weeks 139


ARTIKEL

Nostalgia ke Masa Lalu, Rekreasi ke Masa Depan

menggunakan bahan bekas dalam proses berkaryanya. Tapi ada hal


lain yang jauh lebih besar: Usianya 82 tahun, Mbah Atemo memutuskan
untuk mengabdikan usianya untuk terus membuat wayang di saat
semua orang di lingkungannya berhenti melakukannya. Itulah seni
bekelanjutannya.” Setelah itu saya tahu bahwa di lingkungan tempat
tinggal Mbah Atemo dulunya adalah sentra permainan tradisional dan
wayang, namun semuanya tinggal nama. Mbah Atemo menjadi satu-
satunya pengrajin sekaligus seniman tunggal yang masih memproduksi
wayang.

Beranjak ke karya Anang Saptoto yang mengajak pengunjung untuk


membuat kartu pos sebagai bentuk kepedulian dan dukungan
terhadap anak-anak korban gempa di Cianjur. Selama pameran
berlangsung, kartu pos ini ditempelkan di dinding galeri. Pasca
pameran, kartu pos ini akan dikirim oleh Anang Saptoto kepada anak-
anak di Cianjur. Antusiasme pengunjung sangat tinggi, baik anak-anak
dewasa, maupun turis mancanegara turut menunjunkan kepedulian
mereka dengan membuat kartu pos ini.

Berangkat dari konsep ‘kepedulian’, pembuatan kartu pos ini adalah


bagian dari karya Anang Saptoto yang berada di pameran Nusamatra.
Selain kartu pos, Anang Saptoto menampilkan seri fotografi “Panen Apa
Hari Ini” yang merupakan olahan artistik dari kegiatan Kelompok Wanita
Tani. Pengujung diajak untuk mengenal lebih dekat geliat pertanian
yang menjadi jantung ketahanan pangan namun sering terabaikan.

Di pintu masuk pengunjung diajak rekreasi ke masa depan, sedangkan


menjelang di pintu keluar pengunjung diajak nostalgia ke masa
lalu bersama karya dari Sekawan Projek. Sekawan menghadirkan
permainan-permainan tradisional yang nyaris atau mungkin telah
ditenggelamkan oleh modernitas. Tidak sekonyong-konyong

Jogja Art Weeks 140


ARTIKEL

Nostalgia ke Masa Lalu, Rekreasi ke Masa Depan

memindahkan gudang mainan tradisional ke galeri, Sekawan melakukan


inovasi, kreasi, serta edukasi yang menjadikan area ini dicintai
pengunjung. Sajian dakon dengan replika bitcoin sebagai buah untuk
menjalankan permainan, engklek pesawat dengan detektor serta lampu
otomatis, telepon kaleng yang berisi suara nasihat serta panggilan
ibu saat petang tiba, dan hero masa lalu yang sempat popular pada
masanya turut dihadirkan.

Tepat di pintu keluar, sebuah gerobak biru bertuliskan “Foto Kilat


Menyambar Rezeki” menyediakan jasa foto untuk mengabadikan
momen berharga ini. Jasa foto ini merupakan bagian dari serangkaian
karya kolektif MES 56 yang juga turut menyediakan lab fotografi di
dalam galeri. Jasa foto ini benar-benar sangat berjasa, karena setelah
pameran berakhir, ingatan masa kecil, pengalaman artistik, serta
respon-respon dari pameran ini akan terbenam di ingatan, dan mungkin
akan dilupakan oleh waktu. Hanya cetakan foto dari Studio Foto Kilat
56 ini yang akan menjadi pengingat bahwa kita pernah bersnostalgia
ke masa lalu dan rekreasi ke masa depan di Nusamatra.

Nusamatra menjadi kabar baik bagi saya dan tentunya bagi seluruh
anak-anak yang datang ke pameran ini. Setelah sekian banyak pameran
seniman dewasa yang menjadikan anak sebagai audiensnya, namun
anak-anak masih diposisikan sebagai subjek pasif karena dianggap
terdapat jurang yang cukup dalam antara makna karya seni dan cara
anak memahaminya. Nusamatra tidak hanya memberikan pengalaman
artistik pada anak, tapi juga memposisikan anak-anak sebagai manusia
yang memiliki kecerdasan untuk memahami lingkungan, sosial, dan
alam, melalui karya seni. Anak-anak dibawa bertamasya ke masa lalu
hingga masa depan. Nusamatra tidak hanya menjadikan anak sebagai
audiens, tapi mereka diberikan kesempatan untuk merespon serta
menjadi seniman itu sendiri.

Jogja Art Weeks 141


ARTIKEL FEATURE

Lembana dan Burung-burung yang


Hanya Ingin Mengikuti Angin
30-Dec-2022 Oleh Suliswanto Urubingwaru

Desember menjadi peta panjang perjalanan saya mulai dari Banten


sampai timur Jawa, bahkan hingga ke seberang utara. Madura. Setelah
mengunjungi beberapa pameran seni di Jakarta, saya berhenti
selama empat hari di Yogya untuk presentasi tugas lukis di kampus.
Selanjutnya naik kereta Sri Tanjung ke Surabaya, dari sanalah langkah
saya dikesiur angin menuju pulau garam.

Nama tempat itu adalah Perigi, tapi orang sana lebih akrab
menyebutnya Lembana. Sebuah desa kecil yang sawahnya hanya
sanggup ditumbuhi padi gogo. Letaknya berada di antara dua
perbukitan karst yang tampak bagai belukar dari kejauhan. Lembana
sendiri berarti wilayah yang melembah.

Namun siapa sangka, di atas tanah Sumenep yang bersahaja itu


berdiri sebuah galeri seni. Bukan gedung besar dengan lampu meriah,
tetapi rumah sederhana lengkap dengan dapur yang hidup. Tempat
itu menampung pembicaraan yang akrab kita dengar di medan seni
mapan. Tepat di halamannya, kita akan melihat petani menggarap
ladang, dan seorang ibu yang menggendong rerumputan di
punggungnya. Juga terdapat sebuah langgar yang konon sama tuanya
dengan usia Desa Perigi.

Adalah kebetulan saya tiba di Sumenep malam itu. Oleh karena secara
spontan mengiyakan ajakan Ayos Purwoaji, seorang kurator banal
yang mencintai Madura dan Bebek Sinjay. Lembana Artgroekosystem
sedang menggelar pameran mereka yang kedua. Menggabungkan
konsep exhibition making dengan lanskap pedesaan, pameran
“Babadlembana” menyajikan konsep eksibisi yang tidak hanya
terpaku pada dinding putih, melainkan pada pengertian ruang yang
menyangkut cara hidup banyak orang.

Jogja Art Weeks 142


ARTIKEL

Lembana dan Burung-burung yang Hanya Ingin Mengikuti Angin

Bila di Jakarta atau Yogya, sebuah pameran tak akan lengkap tanpa
beer, lampu kerlap-kerlip, dan alunan musik DJ. Tapi di tempat ini, di
desa ini, pameran adalah aktivitas warga. Selawat, tabuh rebana, dan
beragam kemeriahan yang hanya bisa ditumbuhkan oleh kultur tanah,
menciptakan suasana semarak berbeda. Kopi mengalir tak henti-
hentinya sepanjang malam, diskusi seni dapat melibatkan pemuda
desa, petani, dan ibu rumah tangga. Lembana Art merupakan galeri
yang memungkinan seni ramah terhadap siapa saja.

Karya seni sekaligus narasi yang ia bawa menyatu dengan tempatnya


berada. Baik itu di sawah, masjid, bahkan hingga ke puncak bukit.
Pameran semi outdoor ini memperlihatkan kemungkinan perkawinan
gagasan antara lokasi dengan ide artistik. Uniknya, beberapa karya
seni di sini seakan lebur menjadi bagian dari Lembana sendiri. Seperti
karya Kolektif Kecoak Timur dari Surabaya yang tanpa keterangan,
pasti bakal dikira benda sakral kuburan. Mereka membuat gambar
seperti rajah yang membalut nisan berupa batu-batu karang di atas
bukit.

Atau bila kita tengadah, akan tampak segerombolan burung gagak


seolah sedang mengintai bangkai di bawah mereka. Burung-burung itu
bertengger pada pepohonan tepat di atas pemakaman. Seandainya
tanpa pengumuman pameran, sangat mungkin pengunjung tidak
akan tahu bahwa burung itu milik Timotius Anggawan Kusno, seorang
seniman asal Yogyakarta. Karya itu berjudul “Kepada Kisah-kisah yang
Hilang Bersama Angin Mencari Sarang”, sebuah medium tutur yang
tidak berusaha menjelaskan, tetapi menyerap cerita dari tempatnya
berdiam.

Setelah 3 minggu waktu saya habis di perjalanan dan kota-kota.


Saya menaruh solidaritas dengan burung Kusno. Mereka juga telah
mengalami perjalan, bahkan lebih panjang melewati laut dan angin

Jogja Art Weeks 143


ARTIKEL

Lembana dan Burung-burung yang Hanya Ingin Mengikuti Angin

kencang. Burung-burung itu sudah terbang dari Yogya, Jakarta, Korea,


lalu ke Rijksmuseum di Belanda, dan sekarang memutuskan menetap di
Madura. Di bukit Lembana. Ya, gerombolan gagak itu akan seterusnya
menjaga makam, barangkali sampai lapuk, sampai seni tinggal cerita
yang sulit dimengerti.

Melihat Perigi mengingatkan saya pada kampung dan masa kecil.


Pemandangan gunung, sawah, dan bunyi surau yang samar dikejauhan,
terasa amat karibnya. Bedanya, dulu saya tak mengenal apa itu
pameran seni. Desa menyuguhkan kerja nyata, hidup adalah peluh
yang dikucurkan. Ternak, tanah, dan air, mesti digarap tanpa banyak
bicara. Tidak ada referensi visual lebih dari pemandangan kering dan
kemiskinan. Seni dan gagasan seputarnya baru saya pahami ketika
remaja, itu pun usai keluar dari desa tempat ari-ari saya ditanam.

Jogja Art Weeks 144


ARTIKEL

Lembana dan Burung-burung yang Hanya Ingin Mengikuti Angin

Tetapi di Lembana, ingatan saya tentang desa seperti diputar ulang.


Di sini anak-anak bisa mendengar istilah seni kontemporer. Bisa
mengenal nama seniman selain dari buku sekolah, yang seringnya
menampilkan Affandi atau Basuki Abdullah. Nama-nama seperti
Jompet Kuswidananto, Suvi Wahyudianto, Wimo Ambala Bayang, Ipeh
Nurberesyit, Ika Arista, Yosep Arizal, dan banyak seniman hari ini mudah
terakses. Bahkan saya sempat menemui beberapa dari mereka di
tempat ini.

Sebagaimana kata kurator Ayos Purwoaji, seni bisa bersifat ideologis


di sini. Ia menyediakan akses, dan referensi visual yang sama seperti
wilayah-wilayah pusat. Pengetahuan alternatif mampu menjadi jalan
lain untuk memperkaya diskursus dan pendekatan akademis, lebih-
lebih untuk daerah pinggir dan pedesaan. Seni menjadi portal yang
memungkinkan isu sosial, politik, dan lingkungan terhubung ke banyak
daerah.

Usai seharian keliling dan mengikuti tur, malamnya saya mendengar


ceramah budaya oleh Asief Abdi, pertunjukan noise oleh Bethara Lendir
dan Toyol Dolanan Nuklir. Musik nyeleneh itu meredam suara jangkrik
dan ngorek kodok, lalu ditutup nobar kemenangan Argentina di final
World Cup. Ingin rasanya sebelum kantuk datang untuk pergi ke atas
bukit. Melihat gerombolan burung gagak dalam gelap. Tapi perjalanan
masih jauh, beberapa hari lalu saya sempat mimisan karena kelelahan.
Tentu saya ingin menikmati ribuan hari masa muda ini lebih panjang.
Saya harus istirahat.

Esoknya, setelah dua kali melihat matahari terbit di Desa Perigi.


Bersama Ayos Purwoaji dan rombongan, saya kembali menyeberang
Suramadu. Dari Terminal Purbaya, bus membawa saya pulang ke rumah
di Kediri. Di sepanjang jalan, kepala saya terus membayangkan seekor
burung yang mengambang di udara. Tanpa gedung dan pepohonan,
hanya angin yang menentukan ke mana arah perginya. Bus melaju
dengan agak ugal-ugalan. Tiba-tiba saya ingin lekas menyelesaikan
kuliah, ingin menjadi burung bersama angin mencari sarangnya.

—-a walker who’s swept by the wind—-

Jogja Art Weeks 145


ARTIKEL ESAI

Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja


Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi
12-Jan-2023 Oleh Adinda Ayu

Buku tidak pernah terlepas dari adanya proses transfer ideologi dan
pengetahuan dari penulis dan pembaca. Entah apa isinya, buku hampir
selalu menjadi ruang runding. Dalam aktivitas membaca, pembaca
bernegosiasi dalam menunjukkan sikap terhadap buku yang dibacanya.
Selebihnya soal buku, saya tidak akan menuliskannya disini karena
fungsi dan manfaatnya bisa dicari sendiri di kotak pencarian di
internet.

Jumat (6/1) pekan lalu telah berlangsung acara Peluncuran Buku 10


Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi.
Acara ini dilangsungkan di Ruang Seminar LPPM Universitas Sanata
Dharma, Kampus 2 Mrican, Yogyakarta. Kemudian, terberkatilah mereka
yang selama ini nonton Biennale Jogja Equator dan keluar ruang
pamer dalam keadaan bingung karena barangkali buku ini akan menjadi
jawaban atas pertanyaan yang muncul di benak masyarakat perihal
seri Equator tapi ngga ngerti harus nanya kemana.

10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik


dan Dekolonisasi menjadi buku yang merangkum rangkaian
penyelenggaraan Biennale Jogja Equator yang telah dimulai sejak 2011.
Lebih dari satu dekade lalu, Jogja Biennale mengawali project Equator
mereka dengan India, dengan Kawasan Arab pada 2013, dengan Nigeria
pada 2015, dengan Brazil pada 2017, dan dengan Asia Tenggara pada
2019. Pada penutup seri Equator di 2021, Jogja Biennale bekerjasama
dengan kawasan Oceania, atau Pasifik.

Penting untuk mengumpulkan pembacaan dan praktik penciptaan seni


yang diharapkan akan berpengaruh dan berkontribusi pada munculnya
teori baru atau kajian baru, baik dalam dalam koridor seni, maupun
kebudayaan. Pada saat yang sama Biennale Jogja juga melihat seluruh
proses ini sebagai bagian dari pemicu atau pendorong untuk terjadinya
perubahan sosial.

Jogja Art Weeks 146


ARTIKEL

Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa:


Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi

Biennale seringkali memunculkan karya yang sangat politis. Karya


yang berbasis pada proses. memunculkan kembali suara kelompok-
kelompok marjinal, dan menjadikan seni sebagai bagian dari kepedulian.
Biennale Jogja mengkonsep buku ini untuk menunjukkan seluruh
proses dan diskusi yang terjadi selama adanya seri Equator. Sehingga
dapat membangun satu ruang dimana berbagai kelompok masyarakat,
terutama lintas generasi, lintas disiplin ilmu, bahkan juga lintas
identitas politik. Tak jarang terdapat karya seni atau karya tulis (dalam
buku) yang berupaya menuliskan ulang sejarah, baik dalam konteks
yang sangat personal, maupun sejarah yang berkaitan dengan sebuah
negara atau kawasan.

Perspektif Adaptif

Proses memilah dan memutuskan penulis yang akan terlibat dalam


buku ini telah terprogram dengan rapi. Buku lain yang menjadi
penanda kerap kali ditulis oleh figur yang telah dikenal secara luas,
seperti penulis dengan nama besar, figur yang berpengalaman,
atau pakar untuk menuliskan atau memberikan kesaksian terhadap
keberlangsungan perhelatan acara. Biennale Jogja justru membuka
diri dan mengundang para penulis muda yang belum terlalu sering
atau secara khusus bekerja dalam konteks akademis untuk melakukan
kajian khusus terhadap arsip-arsip yang dimiliki oleh Yayasan Biennale
Yogyakarta.

Beberapa penulis yang terlibat dalam proyek ini adalah para penulis
muda yang tergabung dalam program Asana Bina Seni. Asana Bina Seni
telah dimulai pada tahun 2019. Dalam empat tahun terakhir ini Asana
Bina Seni terfokus pada kelas belajar bersama terkait dengan praktik
kuratorial, praktik penelitian seni, praktik manajemen seni, eksibisi
pra-Biennale, hingga proses pembacaan dan terlibat langsung dalam
ekosistem seni, terutama yang berfokus pada produksi pengetahuan.

Jogja Art Weeks 147


ARTIKEL

Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa:


Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi

Sebagian besar penulis dalam buku ini adalah peserta dari program
Asana Bina Seni. Menariknya, sebagian besar dari para peserta
tersebut sebetulnya berjarak dengan sejarah Biennale Jogja
Equator. Tidak semua dari mereka mengikuti Biennale Jogja Equator.
Namun, pembacaan yang berjarak ini justru menjadi penting untuk
diketengahkan bersama, sehingga akan terlihat bagaimana dampak,
atau memori dari peristiwa menonton ini untuk generasi yang lebih
muda. Selain itu, Biennale juga mengundang teman-teman yang selalu
mengikuti Biennale Jogja dan perkembangannya untuk membaca
kembali apa saja yang telah dilakukan oleh Biennale Jogja, terutama
dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.

Saraswati N merupakan satu penulis dalam buku 10 Tahun Biennale


Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi dari tujuh belas
jumlah penulis secara keseluruhan. Dalam diskusi peluncuran buku ini,
Saraswati membagikan sedikit pengalaman pertamanya menulis perihal
seni rupa. Hal menarik yang disampaikan adalah baginya saat meneliti,
seseorang tidak akan bersikap netral, dan ini menjadi menarik bagi
penulis karena agar pengabaian posisi dan pembungkaman subyek
dapat diantisipasi bersama.

Saraswati berkisah mengenai tantangan yang dihadapi dalam proses


penulisannya kali ini. Ia mengawali project ini dengan memetakan
kesamaan atau pengalaman koletivitas yang sama 10 tahun Biennale
Jogja seri Equator. Tentu ini merupakan pekerjaan yang rumit dan sulit.
Kadang Ia berpikir: apakah ada kesamaan yang ditarik memungkinkan
untuk Ia dapat menarik benang merah.

Dalam prosesnya, penulis juga kerap merefleksi: apakah penelitian dan


penulisan ini telah sesuai dengan apa yang ingin dinyatakan? Sudah
Ia telah memposisikan para subjek di tempat yang tepat? Karena
sesungguhnya Ia tidak ingin melihat subyek hanya sebagai subyek,
yang berjarak dan tidak melebur. Tantangan lainnya adalah perihal

Jogja Art Weeks 148


ARTIKEL

Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa:


Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi

riset. Penulis harus mencari tahu tentang narasumber melalui dokumen


yang sudah ada, sementara sangat disadari oleh penulis bahwa
dokumen, arsip atau catatan menjadi materi yang penting, akan tetapi
bisa saja hal ini justru menjadi sangat riskan mengingat perbedaan
waktu memungkinkan adanya pernyataan opini atau sikap yang tidak
lagi relevan.

Mengkonversi Konvensi

Seperti pada ungkapan sebelumnya, mungkin saja tidak sedikit orang


yang keluar nonton pameran malah pusing. Barangkali pula ada orang
yang marah karena merasa pameran yang ditonton ngga jelas, atau
malu karena ngga ngerti. Semua reaksi itu nggak apa-apa. Reaksi
apapun akan menjadi tanda refleksi—yang memang seharusnya ada.
Tidak melulu refleksi itu hadir dari mata pengunjung, namun juga dari
pihak yang punya hajat.

Banyak sekali kegiatan, tapi kurang refleksi. Sementara sebetulnya


masih banyak pekerjaan yang belum dan perlu untuk direfleksikan.
Melalui hal inilah maka akan terbentuk proses belajar dan Biennale
Jogja memberikan ruang berproses untuk itu, tidak hanya untuk para
seniman yang terlibat, akan tetapi juga bagi para peserta Asana Bina
Seni.

Perubahan generasi publik menjadi hal yang menarik karena buku


ini tidak hanya membacakan karya-karya dan konsep kuratorial
yang muncul, namun juga pembacaan terhadap publik. Melalui hal ini
pembaca dapat menemukan para penulis yang membentangkan tafsir
bebas dan terbuka atas peristiwa-peristiwa penciptaan seni yang
disajikan dalam Biennale Jogja Equator.

Jogja Art Weeks 149


ARTIKEL ESAI

Ipeh Nur Beresyit, Dalang dari Benda-Benda


yang Bercerita
06-Feb-2023 Oleh Suliswanto Urubingwaru

Saya mengenali Ipeh Nur Beresyit sebagai seniman, terutama sekali


pada penggunaan ragam artefak dalam karyanya. Tentu saja selain
gambarnya yang punya kesan mendekati wayang beber dan sedikit
seni visual klasik Jepang—datar dan dipadati oleh sebuah pertunjukan.
Berbagai medium pendukung kerap ia tambahkan, seperti soko guru
tua, jendela aus, kubah mushala, sampai dengan spion motor suaminya,
Enka Komariah.

Ipeh terlihat sangat ingin bercerita dalam karya-karyanya. Seandainya


ia seorang dalang, saya sepertinya bakal menyaksikan adegan dengan
iringan “pathet sanga” dan “manyura”, alur pewayangan yang biasa
mulai tengah malam sampai menjelang subuh. Scene ngelangut ketika
masalah bermunculan, disusul suara gamelan bernada tinggi untuk
melatari perang. Gambar-gambar Ipeh merupakan kumpulan elemen
visual yang perlu penutur. Sulit membayangkannya dengan cuma
mengandalkan nalar penglihatan.

Nuansa tradisi begitu kental dalam karya perempuan lulusan 2016 dari
studio grafis Seni Murni, ISI Yogyakarta itu. Figur transparan penuh
distorsi tampil layaknya bayangan hantu-hantu yang nenek ceritakan
di kampung dulu. Makhluk dengan leher panjang, sosok tanpa
kepala, siluman hewan setengah manusia, dan banyak image mirip
memedi lainnya. Drawingnya memiliki kualitas ketakutan, ambivalensi,
kegamangan yang suram dan menyimpan misteri.

Hal itu mengingatkan saya pada gambar-gambar Tjitro Waloejo (1912-


1990), seorang seniman tradisional yang banyak mengilustrasikan
pesugihan dan mistis Jawa. Bedanya, pada gambar Ipeh memadukan
unsur mistis dengan objek-objek dan fenomena nyata. Seperti teve,
senapan, net tenis, atau adegan mencuci tangan saat pandemi.
Perspektifnya bukan lagi mengilustrasikan apa yang tak kasat mata,

Jogja Art Weeks 150


ARTIKEL

Ipeh Nur Beresyit, Dalang dari Benda-Benda yang Bercerita

tapi situasi yang dilihat dan dihidupi hari ini. Tidak ada batas dalam
alam imaji Ipeh, karya-karyanya seolah berbicara bahwa yang tak
nyata, fiktif, dan hal yang berwujud angan-angan turut mempengaruhi,
bahkan menggerakkan kesadaran kita.

Drawingnya yang menitikberatkan pada kekuatan outline, dibumbui


teks dan komposisi teatrikal, sedikit-banyak menunjukkan singgungan
proses kreatifnya dengan komunitas seni di Yogyakarta. Memasuki
tahun 2000-an wabah komik masih kuat menginfluens seniman-
seniman muda, memunculkan kolektif dengan pendekatan seni massa
dan penerbitan mandiri. Beberapa di antaranya yang eksis hingga
hari ini seperti Geger Boyo, Krack! Studio, juga Barasub. Dan memang,
di antara komunitas itulah Ipeh menjangkarkan karir dan awal proses
kreatifnya.

Perahu dan Cerita Tentang Lautan

Terakhir kali saya mendapati Ipeh dalam pameran Rimpang Nusantara


di Cemeti Institute, lewat karya “Menghanyut: Tubuh dan Perjalanan”
(2022). Ia membawa perahu dan lautan dalam mode artistik instalasi.
Berupa tenda bergambar dilengkapi soko guru terbalik, dan video
proyeksi berlatar ombak segara. Lagi-lagi sajian simbol amat melimpah.
Membuat kita berhenti untuk mengernyitkan dahi, apa korelasi laut,
jendela, dengan tiang rumah?

Di sinilah kemudian peran Ipeh sebagai dalang dibutuhkan. Karya


tersebut merupakan hasil residensinya dari kepulauan Mandar,
Sulawesi Barat. Selama sebulan di sana, ia tertarik pada laku hidup
masyarakat pesisir Pambusuang, bagaimana mereka memberi
perlakuan terhadap kehidupan laut beserta pirantinya. Seperti ketika
ia berkesempatan melihat proses pembuatan kapal padewakang, jenis
kapal yang lebih tua dari pinisi, ternyata kaya prosesi simbolik dengan
ragam cerita dibaliknya.

Jogja Art Weeks 151


ARTIKEL

Ipeh Nur Beresyit, Dalang dari Benda-Benda yang Bercerita

Ia menaruh minat pada pola kultural dan bagaimana cara sebuah


mitos membangun karakter masyarakat. Hal tersebut kemudian
menumbuhkan banyak pertanyaan tentang identitasnya sendiri.
Keberjarakan dan batas teritori memberinya perspektif baru dalam
melihat sejarah dan pencatatan masa lalu. Mulai dari metode lisan
hingga pewarisan tata cara melakukan sesuatu secara kolektif.

Cerita dan entitas yang diyakini ada, memang seperti ruh tersendiri
bagi karya Ipeh. Mitos tak sekadar kisah lalu, ia adalah kesadaran
konseptual sekaligus kepekaan untuk terhubung dengan komunitas
sosial, serta masalah-masalah bersama.

Kembali ke pertanyaan detail mengenai penggunaan benda-benda


pada instalasi Ipeh. Sebagaimana yang terdapat pada gambar-
gambarnya, seolah tak mau kehilangan setiap inci instrumen untuk
bercerita, ia tampak asik dan bersemangat membubuhkan tanda demi
tanda. Soko guru terbalik punya narasi tentang kekuasaan posisi
simbol, pun cermin dan jendela adalah perkara lainnya. Instalasi Ipeh
seperti buku yang bisa dimulai dari bab berapa pun. Ia memiliki banyak
lakon carangan, terasa berlebihan, namun kadang kala bisa begitu
menarik disamping lakon utamanya.

Karya Menghanyut bukan seri laut pertama Ipeh yang saya lihat.
Sebelumnya dalam pameran parade mengenang almarhum Gunawan
Maryanto, “Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan”,
motif perahu telah muncul. Namun dengan perwujudan yang lebih
sederhana. Menggunakan medium kerangka besi dengan canthik kapal
berbentuk siluet kepala “Mas C”. Pada karya “Perahu Terakhir” (2022)
itu, kapal sebagai metafora pelarungan, pelepasan, sudah cukup kuat
menjadi pilihan bahasa. Tidak riuh tapi mengena. Terkesan utuh dan

Jogja Art Weeks 152


ARTIKEL

Ipeh Nur Beresyit, Dalang dari Benda-Benda yang Bercerita

bisa membuat sang dalang beristirahat, karena wayangnya mampu


menuntaskan lakonnya sendiri.

Saya bisa membayangkan Ipeh akan menua dan menjadi sosok seniman
sekaligus nenek yang kaya dongeng. Sangat menyenangkan.

Jogja Art Weeks 153


MUSEUM
MUSEUM

Museum Bahari
Museum bahari didirikan dengan tujuan membuka wawasan
& pengetahuan kemaritiman, khususnya bagi generasi muda.
Harapannya mereka lebih mencintai laut dan memberdayakan
sumber daya kelautan.

Di sini, pengunjung dapat mengetahui detail isi anjungan kapal


perang dan dokumenter sejarah TNI AL. Ada pula koleksi alat
pertahanan laut seperti: meriam, bom laut, torpedo, alat selam,
telegraf, miniatur kapa, peta laut dunia, jangkar dan replika kapal.

Location
Jl. R.E. Martadinata, No. 69, Wirobrajan, Yogyakarta
(0274) 376691

Opening Hours
Tuesday–friday: 8.30 AM – 3.30 PM
Open in Sunday & National Holiday

Website
http://bahari.museum.jogjaprov.go.id/id

Jogja Art Weeks 155


MUSEUM

Museum Benteng Vredeburg


Di Museum Benteng Vredeburg, Anda dapat menyusuri rentetan
sejarahmulai Perang Diponegoro (1825—1830) hingga pengakuan
kedaulatan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (1949). beberapa
pergolakan sejarah yang terjadi di Yogyakarta hingga Orde baru
juga tersaji apik dalam ruangruang diorama di museum yang
menjadi bangunan benda cagar budaya bergaya arsitektur
Belanda ini.

Location
Jl. Margomulyo / Ahmad Yani No. 6, Yogyakarta
(0274) 586934, 510996

Opening Hours
Tuesday–friday, 8 AM - 4 PM
Open in Saturday, Sunday & National Holiday until 5 PM

Website
http://vredeburg.id/

Jogja Art Weeks 156


MUSEUM

Museum Biologi
Museum biologi menawarkan pengalaman bagi pengunjung untuk
berpetualang ke dalam keragaman dunia ora dan fauna. Museum
ini memiliki sepuluh ruang dengan berbagai koleksi binatang
vertebrata, invertebrata, dan herbarium.

Location
Jl. Sultan Agung No. 22 Yogyakarta
(0274) 376740

Opening Hours
Tuesday–Friday: 8 AM - 3 PM
Close in Saturday, Sunday & National Holiday

Website
https://museum.biologi.ugm.ac.id/

Jogja Art Weeks 157


MUSEUM

Museum Candi Prambanan


Hal menarik dari Museum Candi Prambanan ialah keberadaan peta
persebaran Candi budha yang berada di area Prambanan yang
merupakan kompleks percandian Hindu terbesar di Indonesia
meliputi; Candi Sewu, Candi Plaosan, dan Candi Sojiwan. Candi-
candi yang ada telah samasama berdirimeski dalam bentuk
pemujaan yang berbeda. Hal itu telah menunjukkan adanya
toleransi antar umat beragama yang tersirat dalam konstruksi
percandian di Prambanan.

Location
Jl. Jogja-Solo Km. 16, Prambanan, Sleman, Yogyakarta
(0274) 496 402 / 496 401
fax (0274) 496 403

Opening Hours
Monday–Sunday: 6 AM - 5 PM

Website

Jogja Art Weeks 158


MUSEUM

Museum Dewantara Kirti Griya


Bangunan museum merupakan bekas tempat tinggal tokoh
pendidikan Ki Hajar Dewantara dan diresmikan penggunaannya
sebagai museum pada tanggal 2 Mei 1970. Museum tersebut
berada di atas lahan seluas 2.720 meter persegi dengan bangunan
seluas 300 meter persegi di jantung perguruan Taman Siswa,
Yogyakarta.

Location
Jl. Tamansiswa No. 25, Yogyakarta
(0274) 377459, 389208

Opening Hours
Monday–Thursday & Saturday: 8 AM - 1 PM
except friday until 11 AM
Close in Sunday and National Holiday

Website
http://dewantara.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 159


MUSEUM

Museum Gembira Loka


Kebun Raya dan Kebun binatang Gembira loka merupakan tempat
rekreasi di Yogyakarta yang menyenangkan dan layak di kunjungi.
berlokasi strategis, tidak jauh dari pusat kota dan mudah dijangkau
dengan berbagai alat transportasi, wahana rekreasi yang
menempati lahan seluas 20,4 hektar ini diresmikan oleh Sri Sultan
Hamengku buwono Ix pada tanggal 10 November 1953 dengan
koleksi berjumlah 186 jenis satwa dan 350 jenis tumbuhan.

Location
Jl. Kebun Raya No. 2 Yogyakarta
(0274) 373861, 374792

Opening Hours
Monday–Sunday: 8 AM - 5 PM

Website
https://www.gembiralokazoo.com/

Jogja Art Weeks 160


MUSEUM

Museum Geoteknik Mineral


Museum ini mempunyai koleksi berbagai jenis mineral, batuan,
fosil bahan galian (tambang), maket, dan gambar-gambar yang
berhubungan dengan dasar- dasar ilmu kebumian, ilmu geologi,
dan rekayasa ilmu kebumian di bidang teknik pertambangan,
perminyakan, serta aplikasi ilmu geologi di bidang pertanian.

Location
Kompleks Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Jl. Babarsari No. 2, Tambakbayan, Yogyakarta
(0274) 486991

Opening Hours
Moday-friday: 7.30 AM - 4 PM

Website
http://geoteknologi.museum.upnyk.ac.id/

Jogja Art Weeks 161


MUSEUM

Museum Gumuk Pasir


Museum Gumuk Pasir hadir sebagai laboratorium geospasial di
pesisir Parangtritis, dan ruang pamer berbagai benda berkaitan
dengan ekosistem pesisir pantai. berbagai jenis bebatuan, pasir,
herbarium, dan kekhasan kehidupan pantai menjadi benda koleksi
museum.

Location
Parangtritis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
(0274) 902332, 902336

Opening Hours
Monday–friday: 8 AM - 4 PM
Close in Saturday, Sunday & National Holiday

Website
https://pgsp.big.go.id/museum-gumuk-pasir/

Jogja Art Weeks 162


MUSEUM

Museum Gunung Api Merapi


Memiliki semboyan “Merapi Jendela bumi”, museum ini menyajikan
fenomena pertumbuhan kubah, pos pengamatan sejak era belanda
hingga era modern & mitos menarik tentang Merapi. berbagai tipe
gunung api dan letusannya dapat dilihat melalui panel museum.
Artefak dari letusan Gunung Merapi (2006) berupa bangkai sepeda
motor, alat-alat rumah tangga, serta foto-foto erupsi tahun 2010
juga tersajikan dengan apik.

Location
Jl. Kaliurang Km. 22, Dusun Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman
(0274) 869613

Opening Hours
Tuesday–friday: 8.30 AM – 3.30 PM
Open in Sunday & National Holiday

Website
http://www.slemankab.go.id/572/museum-gunungapimerapi.slm

Jogja Art Weeks 163


MUSEUM

Museum HM Soeharto
Museum HM Soeharto dibangun sebagai penanda dan pengingat
serta wahana edukasi tentang salah satu tokoh besar dalam
sejarah bangsa Indonesia. Di museum ini terdapat Gedung
Atmosudiro (nama kakek Soeharto) yang mengisahkan perjalanan
Soeharto dari masa kanak-kanak hingga mencapai puncak
kejayaannya.

Location
Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta
0813 9219 6351

Opening Hours
Sunday–Monday: 8.30 AM - 5 PM

Website
https://www.museumsoeharto.com/

Jogja Art Weeks 164


MUSEUM

Museum Gempa Prof. Dr.


Sarwidi
Museum Gempa ini dibangun atas kesadaran dan keprihatinan
bahwa masyarakat Indonesia kurang memiliki kesadaran
membangun bangunan yang tahan gempa. Dari hal tersebut,
gagasan museum muncul di Universitas Islam Indonesia dengan
difasilitasi Center for Earthquake Engineering and Dynamic Effect
and Disaster Studies (CEEDEDS) UII. Pada tahun 2007 Museum
Gempa Prof. Dr. Sarwidi didirikan dan dibuka untuk umum.

Location
Jl. R.E. Martadinata, No. 69, Wirobrajan, Yogyakarta
(0274) 376691

Opening Hours
Monday-Saturday: 9 AM - 4 PM

Website
www.museumgempasarwidi.org

Jogja Art Weeks 165


MUSEUM

Museum Kayu Wanagama


Museum Kayu Wanagama dikelola oleh fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada dan berada di tengah-tengah panorama
indah desa bunder, Gunungkidul. lokasinya berjarak sekitar 35
kilometer dari kota Yogyakarta, sehingga museum ini terasa
natural dan jauh dari hiruk pikuk kota. Museum Kayu Wanagama
menyimpan berbagai koleksi kayu dan fosil kayu, serta pohon
hidup.

Location
Hutan Wisata Wanagama desa Bunder, Playen, Gunungkidul
(0274) 545639

Opening Hours
Monday-Saturday: 8 AM - 2 PM

Website

Jogja Art Weeks 166


MUSEUM

Museum Kareta Karaton


Yogyakarta
Museum Kareta Karaton Yogyakarta menyimpan berbagai kereta
kuda Keraton Kesultanan Yogyakarta yang dirintis pada masa
kepemimpinan Sri Sultan Hamengku buwono VII. Terdapat 22
koleksi kereta, yang sebagian besar diproduksi di belanda dan
menjadi alat transportasi raja sehari-hari.

Location
Jl. Rotowijayan, Kadipaten, Kraton Yogyakarta

Opening Hours
Monday–Sunday: 9 AM - 4 PM

Website
https://www.kratonjogja.id/

Jogja Art Weeks 167


MUSEUM

Museum Lingkungan Batik


“Joglo Cipto Wening”
Museum lingkungan batik “Joglo Cipto Wening” pada mulanya
menyimpankoleksi pribadi milik ibu linda Heri Diyana bondan
Gunawan, dan pertama kali diresmikan pada 18 Maret 2004.
Setelah sempat mengalami kerusakan berat akibat gempa Jogja
tahun 2006 lalu, museum ini secara resmi kembali dibuka untuk
umum oleh Sri Sultan Hamengku buwono x pada 12 November
2007.

Location
Dusun Paseban, Desa Ketandan Tengah, Imogiri, Bantul
0817 411 5621

Opening Hours
Tuesday–Sunday: 8 AM - 3 PM

Website

Jogja Art Weeks 168


MUSEUM

Museum Monumen Pahlawan


Pancasila
Monumen ini menjadi penanda peristiwa kelam perjalanan bangsa
Indonesia. Tanda penghormatan atas gugurnya dua perwira
Angkatan Darat, Kolonel Katamso dan letnan Kolonel Soegijono
atas kekejaman PKI. Meski telah direncanakan sejak 1986,
monumen ini baru dibangun tahun 1988 dan selesai tiga tahun
kemudian. Atas dasar surat dari Sekretaris Militer tahun
1988, monumen ini ditetapkan oleh Presiden Soeharto sebagai
Monumen Pahlawan Pancasila.

Location
Jl. Pandega Sakti, Kentungan, Depok, Sleman
(0274) 562319

Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 2 PM
Close in Sunday and National Holiday

Website

Jogja Art Weeks 169


MUSEUM

Museum Monumen Yogya


Kembali
Monumen Yogya Kembali didirikan sebagai penanda peristiwa
sejarah mundurnya tentara Belanda dari ibukota Yogyakarta
tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya Presiden Soekarno ke
Yogyakarta, tanggal 6 Juli 1949. Pendirian Monumen Yogya
Kembali diprakarsai oleh Kolonel Soegiarto selaku Wali Kota Madya
Yogyakarta pada tahun 1985.

Location
Jl. Lingkar Utara, Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman
(0274) 868225

Opening Hours
Tuesday–Sunday: 8 AM - 4 PM Close in Monday

Website
www.monjali-jogja.com

Jogja Art Weeks 170


MUSEUM

Museum Negeri Sonobudoyo


Museum Sonobudoyo merupakan lorong penelusuran tradisi dan
budaya yang menjadi magnet dalam menguak tradisi budaya
kehidupan masyarakat (termasuk masyarakat Jawa) dari masa
prasejarah hingga peradaban yang
lebih berkembang. Museum Sonobudoyo didirikan oleh Java
Instituut, yaitu
Yayasan Kebudayaan Jawa, bali, lombok, dan Madura pada masa
kolonial
yang beranggotakan orang asing dan pribumi tahun 1913.

Location
Jl. Pangurakan No. 6 dan Jalan Wijilan Pb I/2A, Yogyakarta
(0274) 385664

Opening Hours
Monday–Sunday: 8.30 AM - 2 PM

Website
www.sonobudoyo.com

Jogja Art Weeks 171


MUSEUM

Museum Sasana Wiratama


Monumen Pangeran
Diponegoro
Museum ini menyimpan berbagai jenis senjata tradisional seperti,
keris, tombak, pedang, dll. Terdapat juga tembok berlubang yang
menjadi jalan keluar Pangeran Diponegoro untuk meloloskan
diri dari kepungan penjajah belanda. Ada pula koleksi Sri Sultan
Hamengku buwono II, mulai dari ketipung dan wilahan bonang
panembung yang terbuat dari kayu dan perunggu yang berwarna
merah dan kuning, yang semua barang peninggalan-peninggalan
tersebut sudah mecapai lebih dari 100 buah.

Location
Jl. H.O.S Cokroaminoto TR III/430 Tegalrejo, Yogyakarta
(0274) 622668

Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 1 PM Close in Sunday

Website
https://museum-monumen-pangeran-diponegoro.business.site/

Jogja Art Weeks 172


MUSEUM

Museum Pendidikan Indonesia


UNY
Museum ini mengelola berbagai macam koleksi; buku sekolah, arsip
kependidikan, media pembelajaran, dan masih banyak lagi.
Museum Pendidikan Indonesia UNY telah memiliki 5 ruang utama
yang diperuntukan untuk; koleksi foto dan peralatan sekolah,
tokoh pendidikan, koleksi media pembelajaran, Ruang Apresiasi
Karya, dan Ruang Cinema MPI yang memiliki kapasitas 116 tempat
duduk dengan kualitas dolby surround sound.

Location
Kampus Pusat Universitas Negeri Yogyakarta. Jl. Colombo No.1,
Karangmalang, Sleman, D.I. Yogyakarta

Opening Hours
Monday–Thursday: 7.30 –AM - 2 PM

Website
www.mpi.uny.ac.id

Jogja Art Weeks 173


MUSEUM

Museum Pergerakan Wanita


Indonesia
Museum bergaya arsitektur Jawa dengan atap berbentuk
limasan ini diresmikan Presiden Suharto pada 22 Desember 1983.
Perjuangan wanita dalam pembangunan bangsa tergambar
dalam dua relief di pendhapa balai Shinta. Selain patung Tjut Njak
Dien dan R.A. Kartini, terdapat pula diorama perjuangan wanita,
termasuk adegan Kongres Perempuan Indonesia I, di Pendhapa
Dalem Djojodipoeran, 22–25 Desember 1928.

Location
Jl. Adisucipto, Maguwoharjo, Depok, Sleman
(0274) 587818, 513282, 548721

Opening Hours
Tuesday–Saturday: 8 AM - 2 PM

Website
http://pergerakanwanita.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 174


MUSEUM

Museum Perjuangan
Yogyakarta
Museum Perjuangan Yogyakarta memiliki gedung berbentuk
silinder, berdiameter 30 meter dan tinggi 17 meter, beratap
seperti topi baja, disangga lima buah terap. Arsitektur bangunan
ini tampak seperti perpaduan antara gaya Romawi Kuno dengan
candi Indonesia. Secara simbolis, bangunan ini menunjukkan
bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangan,
bukan merupakan hadiah.

Location
Jl. Kolonel Sugiono 24 Yogyakarta
(0274) 387576

Opening Hours
Monday–Friday: 8 AM - 4 PM

Website

Jogja Art Weeks 175


MUSEUM

Museum Puro Pakualaman


Museum Puro Pakualaman diresmikan pada 29 Januari 1981.
Museum ini terletak di kompleks Puro Pakualaman, sekitar dua
kilometer sebelah timur jalan Malioboro. Pengunjung dapat masuk
ke Museum Puro Pakualaman melalui Regol (gapura) Wiwara
Kusuma (berhiaskan lambang mahkota Praja Pakualaman dan
tanaman lung-lungan). Gapura ini selesai dibangun pada 7
Agustus 1884, pada masa pemerintahan Paku Alam V dan menjadi
simbol pengayoman, keadilan, dan kebijaksanaan.

Location
Kompleks Puro Pakualaman, Jalan Sultan Agung
(0274) 562161

Opening Hours
Monday–Friday: 9 AM - 2.30 PM
Saturday open until 12 PM

Website

Jogja Art Weeks 176


MUSEUM

Museum TNI AD Dharma


Wiratama
Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama” memiliki koleksi
berjumlah 1.780 buah, meliputi senjata, alat komunikasi dan
kesehatan, seragam dan tanda jasa, serta atribut-atribut
kebesaran TNI AD. Tank jenis Stuart MK I dan MK III buatan Amerika
bercat hijau khas TNI AD menjadi simbol kegagahan para pejuang.
Dua meriam gunung kaliber 75 milimeter berlapis baja dengan
sepasang roda baja di sisi kanan dan kiri masih terawat dengan
baik dan tampak kokoh

Location
Jl. Jendral Sudirman No. 75
(0274) 561417

Opening Hours
Monday–Friday: 7 AM - 5 PM
Close in Saturday & Monday

Website

Jogja Art Weeks 177


MUSEUM

Museum TNI AU Dirgantara


Mandala
Museum Dirgantara Mandala berlokasi di kompleks Pangkalan
Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Museum ini menampilkan koleksi
pesawat terbang pertama karya anak negeri yang tidak banyak
diketahui umum. Keberadaan museum ini atas gagasan pimpinan
TNI AU untuk mengabadikan dan mendokumentasikan seluruh
kegiatan dan peristiwa bersejarah di lingkungan TNI AU.

Location
Kompleks landasan Udara Adisucipto,
Jl. Kolonel Sugiono, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
(0274) 587818, 513282, 548721

Opening Hours
Tuesday-friday: 8 AM - 3 PM
Saturday: 8 AM - 2 PM

Website
http://pergerakanwanita.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 178


MUSEUM

Museum Rumah Sakit Mata


Dr. Yap
Memiliki luas bangunan kurang lebih 246 meter persegi dan
menempat lahan di Jalan Cik Ditiro 5 Yogyakarta, museum ini
memberikan alternatif wisata ilmu pegetahuan, khususnya
tentang kesehatan mata. berbagai peralatan kedokteran milik
pendiri Rumah Sakit Mata “Dr. Yap” Yogyakarta, Dr. Yap Hong Tjoen
dan Dr. Yap Kie Tiong, dijadikan koleksi museum.

Location
Jl. Cik Ditiro No. 5, Yogyakarta
(0274) 547448, 550380, 562054

Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 3 PM

Website
http://dryap.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 179


MUSEUM

Museum Rumah Garuda


Museum Rumah Garuda didirikan pada 17 Agustus 2011 oleh
Nanang R. Hidayat, dosen Jurusan Televisi ISI Yogyakarta. Ia mulai
mengoleksi bentukbentuk garuda sejak 2003 dan hingga sekarang
telah mengumpulkan sekitar 300-an koleksi. Nanang melakukan
banyak penelitian yang membuahkan narasi tentang burung dan
lambang negara, Garuda. Ia berusaha mempublikasikannya kepada
khalayak umum melalui Museum Rumah Garuda

Location
Trirenggo, Bantul, Yogyakarta 55714
0818 279 088

Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 12 PM

Website
https://rumahgaruda.com/

Jogja Art Weeks 180


MUSEUM

Museum Sandi
Museum Sandi dibangun atas prakarsa bersama antara Kepala
lembaga Sandi Negara Republik Indonesia, Mayjen. TNI Nachrowi
Ramli dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Juli
2008. Koleksi museum antara lain berupa mesin sandi, mebeler, tag,
sepeda, manekin, slide sistem sandi, buku kode, foto-foto, peta
(napak tilas sandi), lukisan (kegiatan sandi dalam perundingan),
dan sebagainya.

Location
Jl. Faridan M. Noto No. 21, Kotabaru, Yogyakarta
0812 8889 7813

Opening Hours
Monday-Friday: 8 AM - 4 PM
Saturday-Sunday: 9 AM - 12 PM

Website

Jogja Art Weeks 181


MUSEUM

Museum Sasmitaloka Pangsar


Jendral Sudirman
Meski sakit mendera, Panglima besar Jenderal Sudirman tetap
bergelora memimpin perang gerilya dengan ditandu. Kobaran
semangatnya dapat dirasakan di Museum Sasmitaloka, yang
diresmikan pada 30 Agustus 1982 di bekas kediaman Jenderal
Sudirman saat menjabat sebagai Panglima besar Angkatan Perang
Republik Indonesia. Terdiri atas bangunan induk serta dikelilingi
bangunan lain di sayap kanan, kiri, dan belakang, museum
menyimpan 350 koleksi benda peninggalan keluarga Pak Dirman,
yang menjadi saksi perjalanan kehidupannya.

Location
Jl. Bintaran Wetan No. 3, Yogyakarta
(0274) 376663

Opening Hours
Monday–Friday: 8 AM - 5 PM
Close in Saturday & Sunday

Website

Jogja Art Weeks 182


MUSEUM

Museum Sejarah Purbakala


Pleret
Museum Sejarah Purbakala Pleret dibangun sejak 2007 dan mulai
dibuka untuk umum pada tanggal 10 Maret 2014. Museum yang
berada di Kawasan Cagar Budaya (KCB) Pleret ini terletak di Jl.
Raya Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten bantul. Museum ini
menyimpan benda-benda koleksi peninggalan Mataram di wilayah
bantul pada umumnya dan Pleret pada khususnya.

Location
Jl. Raya Pleret, Dusun Kedaton, Pleret, Bantul
(0274) 387576

Opening Hours
Sunday–Monday: 8 AM - 3.30 PM
Close in National Holiday

Website
http://pleret.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 183


MUSEUM

Museum Lukis Affandi


lebih dari 2.000 lukisan Affandi dipamerkan di Museum Seni lukis
Affandi. bangunan museum dirancang sendiri oleh Affandi dengan
bentuk yang sangat unik. Desain atapnya menyerupai daun pisang
dan di sekeliling bangunan tumbuh berbagai pohon. Jadi, sepanas
apapun cuaca, pengunjung senantiasa merasa sejuk jika berada di
lingkungan museum ini.

Location
Jl. Laksda Adisucipto 167
(0274) 562593

Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 2 PM

Website
www.affandi.org

Jogja Art Weeks 184


MUSEUM

Museum Taman Pintar


Yogyakarta
Taman Pintar Yogyakarta adalah sebuah pusat ilmu pengetahuan
di bawah pengelolaan Pemerintah Kota Yogyakarta yang mulai
dibangun dan didirikan pada tahun 2004. Sebagai sebuah
science center, pembangunan Taman Pintar dimaksudkan untuk
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta sebagai komitmen Pemerintah Kota Yogyakarta dalam
meningkatkan mutu pendidikan.

Location
Jl. Panembahan Senopati No. 1-3
(0274) 583 631, 583 713

Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 4 PM

Website
www.tamanpintar.com

Jogja Art Weeks 185


MUSEUM

Museum Tino Sidin


Taman Tino Sidin resmi dibuka oleh Menteri Pendidikan &
Kebudayaan, Prof. M. Nuh pada 4 Oktober 2014. Sebelumnya, buku
Tino Sidin: Guru Gambar dan Pribadi Multi Dimensional diluncurkan
oleh Direktur Pelestarian Cagar budaya dan Permuseuman,
Kementrian Pendidikan & Kebudayaan, Harry Widianto pada 27
September 2014.

Location
Jl. Tino Sidin 297, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul
0812 1530 1188 / (0274) 618846 (Titik Sidin)

Opening Hours
Monday–Saturday: 9 AM - 4 PM

Website
www.tamantinosidin.net

Jogja Art Weeks 186


MUSEUM

Museum Tani Jawa Indonesia


Musem Tani Jawa Indonesia merupakan tempat menyimpan
seluruh peralatan dan budi daya tanaman pertanian,
baik tradisional maupun modern. Museum didirikan untuk
menginformasikan, melakukan, merasakan, memahami, dan
mewariskan tradisi tani. Museum menyediakan wahana bagi
pengunjung untuk merasakan dan memahami nilai perjuangan,
budaya, dan tradisi tani dengan memberi informasi dan melakukan
praktek langsung di lahan pertanian.

Location
Kampung Tani Candran, Desa Kebonagung, Imogiri, Bantul
0851 0086 5311, 0851 0089 2762

Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 3 PM
Close in Sunday & National Holiday

Website
http://tanijawa.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 187


MUSEUM

Museum Ullen Sentalu


Ullen Sentalu menghadirkan warisan budaya intangible berwujud
karyakarya seni lukis untuk dikomunikasikan secara tangible.
Museum ini memiliki konsep “jendela” yang mengungkapkan
proses peradaban zaman. Dari karya-karya yang ditampilkan
diharapkan dapat membuka celah bagi siapapun untuk memasuki
proses peradaban zaman.

Location
Dusun Kaliurang barat, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman
(0274) 895161, 880158

Opening Hours
Tuesday–Friday: 8.30 AM - 2 PM
Saturday & Sunday open until 5 PM

Website
www.ullensentalu.com

Jogja Art Weeks 188


MUSEUM

Museum Universitas Gadjah


Mada
Museum Universitas Gadjah Mada (UGM) mulai dirintis sejak
2000-an dan menjadi embrio pada 19 Desember 2012. Museum
UGM merupakan museum yang menarasikan perjalanan sejarah
Universitas Gadjah Mada dari masa ke masa. Museum UGM
diharapkan menjadi jendela UGM bagi masyarakat yang ingin
mengenal lebih dekat UGM sebagai universitas perjuangan,
universitas kerakyatan, universitas Pancasila, dan universitas
kebangsaan.

Location
Kompleks Kampus UGM, bulaksumur blok D-6 dan D-7
0812 2636 3444

Opening Hours
Monday–Friday: 8 AM - 3 PM
Close in Saturday, Sunday & National Holiday

Website
http://bahari.museum.jogjaprov.go.id/id

Jogja Art Weeks 189


MUSEUM

Museum UII
Museum UII diresmikan Senin, 17 Oktober 2011, bersamaan dengan
Purna Pugar Candi Kimpulan Perpustakaan Pusat Universitas Islam
Indonesia. bentuk bangunan menunjukkan gagasan baru desain
perpustakaan yang melingkar dan di tengahnya terdapat Candi
Kimpulan, yang ditemukan saat penggalian pondasi perpustakaan
pada Jumat, 11 Desember 2009. Candi menjadi daya tarik
pengunjung yang berkeliling ke Museum UII.

Location
Jl. Kaliurang Km 14,5 Sleman Yogyakarta
(0274) 898 444

Opening Hours
Monday–Saturday: 8 AM - 4 PM

Website

Jogja Art Weeks 190


MUSEUM

Museum Wayang Kekayon


Diresmikan pada 1991 oleh Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam VIII,
Museum Wayang Kekayon menyimpan koleksi warisan pusaka
dunia berupa puluhan jenis wayang, lebih dari 5.000 koleksi
wayang nusantara maupun mancanegara. “Seratus Wayang
Kurawa” merupakan koleksi masterpiece yang tiada duanya. Tidak
berlebihan bila museum ini menjadi rujukan bagi pecinta kesenian
wayang.

Location
Jl. Laksamana Adi Sucipto, Demangan, Gondokusuman, Kota
Yogyakarta
(0274) 379058, 0817 461 551

Opening Hours
Monday–Friday: 8.30 AM - 2 PM
Saturday open until 12 PM
Close in Sunday & National Holiday

Website
http://kekayon.museumjogja.org/id

Jogja Art Weeks 191


#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
#ARTNENGNDI
Juni - September 2022
www.jogjaartweeks.com

Anda mungkin juga menyukai