Konsep Dasar
Konsep Dasar
A. DEFINISI
Demensia adalah sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari - hari.
Demensia merupakan keadaan ketika seseorang mengalami penurunan daya ingat dan
daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas kehidupan sehari hari (Nugroho,
2008).
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi vegetative
atau keadaan yang terjadi. Memori, pengetahuan umum, pikiran abstrak, penilaian, dan
interpretasi atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu (Elizabeth, 2009).
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan
daya ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan
terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan
kognitif. Perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan
sehari-hari penderita (Aspiani R.Y., 2014).
B. ETIOLOGI
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3
golongan yaitu:
1. Sindrom demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal kelainan
yaitu: terdapat pada tingkat subsuler atau secara biokimiawi pada system enzim,
atau pada metabolisme
2. Sindrom demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
penyebab utama dalam golongan ini diantaranya:
a) Penyakit degenerasi spino-serebral atau biasa disebut ataxia
adalah penyakit yang menyerang otak kecil dan tulang belakang dan
menyebabkan gangguan pada saraf motorik.
b) Subakut leuko-esefalitis sklerotik fan bogaert
c) Khorea hungtington, adalah kelainan genetik yang menyebabkan kerusakan
pada sel-sel saraf di otak. Penyakit ini memengaruhi gerakan, pikiran, dan
emosi penderitanya.
3. Sindrom demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan
ini diantaranya:
a) Penyakit kardiovaskuler-
b) Penyakit - penyakit metabolik
c) Gangguan nutrisi
d) Akibat intoksikasi menahun
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi demensia menurut Aspiani (2014) dapat dibagi menjadi tiga tipe,
yaitu:
1. Demensia Kortikal dan Sub Kortikal
a) Demensia Kortikal
Merupakan demensia yang muncul dari kelainan yang terjadi pada
korteks serebri substansia grisea yang berperan penting terhadap proses
kognitif seperti daya ingat dan bahasa. Beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan demensia kortikal adalah Penyakit Alzheimer, Penyakit
Vaskular, Penyakit Lewy Bodies, sindroma Korsakoff, ensefalopati
Wernicke, Penyakit Pick, Penyakit Creutzfelt Jakob.
b) Demensia Subkortikal
Merupakan demensia yang termasuk non-Alzheimer, muncul dari
kelainan yang terjadi pada korteks serebri substansia alba. Biasanya tidak
didapatkan gangguan daya ingat dan bahasa. Beberapa penyakit yang
dapat menyebabkan demensia kortikal adalah penyakit Huntington,
hipotiroid, Parkinson, kekurangan vitamin B1, B12, Folate, sifilis,
hematoma subdural, hiperkalsemia, hipoglikemia, penyakit Coeliac,
AIDS, gagal hepar, ginjal, dan nafas.
2. Demensia Reversibel dan Non reversible
a) Demensia Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang dapat diobati.
Yang termasuk faktor penyebab yang dapat bersifat reversibel adalah
keadaan / penyakit yang muncul dari proses inflamasi atau dari proses
keracunan (intoksikasi alcohol dan bahan kimia lainnya), gangguan
metabolik dan nutrisi (hipo atau hipertiroid, defisiensi vitamin B1, B12,
dll).
b) Demensia Non Reversibel
Merupakan demensia dengan faktor penyebab yang tidak dapat
diobati dan bersifat kronik progresif. Beberapa penyakit dasar yang dapat
menimbulkan demensia ini adalah penyakit Alzheimer, Parkinson,
Huntington, Pick, Creutzfelt Jakob, serta vascular.
3. Demensia Pre Senilis dan Senilis
a) Demensia Pre Senilis
Merupakan demensia yang dapat terjadi pada golongan umur lebih
muda yaitu umur 40-50 tahun dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
medis yang dapat mempengaruhi fungsi jaringan otak seperti penyakit
degeneratif pada sistem saraf pusat, penyebab intra kranial, penyebab
vaskular, gangguan metabolik dan endokrin, gangguan nutrisi, penyebab
trauma, infeksi dan kondisi lain yang berhubungan, penyebab toksik
(keracunan), dan anoksia.
b) Demensia Senilis
Merupakan demensia yang muncul setelah umur 65 tahun.
Biasanya terjadi akibat perubahan dan degenerasi jaringan otak yang
diikuti dengan adanya gambaran deteriorasi mental.
D. PATOFISIOLOGI
Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia.
Penuaan dapat menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan
saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada penuaan antara
umur 30 -70 tahun. Berbagai faktor etiologi yang telah disebutkan diatas merupakan
suatu kondisi yang dapat mempernaruhi sel - sel neuron korteks serebri.
Penyakit degenerative pada otak, gangguan vascular dan penyakit lainnya serta
gangguan nutrisi, metabolic dan toksitasi secara langsung maupun tak langsung depat
menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia, infrak,
inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu
fungsi dari are kortikal ataupun sub kortikal.
Disamping itu kadar neurotransmitter di otak yang diperlukan untuk proses
konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi kognitif
(daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian, kesadaran), persepsi,
isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan tergantung lokasi area yang
terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya, karena manifestasinya dapat
berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan konfusio akut
demensia (Boedhi Darmojo, 2009).
E. PATHWAY
Faktor Predisposisi: Virus Lambat, Proses Autoimun, Keracunan Aluminium dan Genetik
KERUSAKAN MEMORI
G. KOMPLIKASI
Kushariyadi (2011) menyatakan komplikasi yang sering terjadi pada demensia
adalah:
1. Peningkatan resiko infeksi diseluruh bagian tubuh
a) Ulkus diabetikus
b) Infeksi saluran kencing
c) Pneumonia
2. Thromboemboli dan infarkmiokardium
3. Kejang
4. Kontraktur sendi
5. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
6. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan serta kesulitan menggunakan
peralatan
H. TATA LAKSANA
1. Penatalaksaan pada pasiendemensia menurut Aspiani (2014) sebagai berikut:
a) Farmakoterapi
1) Untuk mengobati demensia digunakan obat antikoliesterase seperti
Donepezil, Rivastigmine, Glantamine dan Memantine
2) DEmensia vaskuler membutuhkan obat-obatan antiplatelet seperti Aspirine,
Ticlopidinedan Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
dapat memperbaiki gangguan kognitif
3) Demensia yang disebabkan karena stroke secara berturut-turut tidak dapat
diobati, tetapi perkembangannya dapat diperlambat ataubahkandapat
dihentikan dengan mengobati penyebab terjadinya stroke seperti tekanan
darahnya atau kencing manis
4) Jika hilangnya ingatan disebabkan karena depresi, maka berikanlah obat-
obatan anti depresi seperti Sertraline dan Citalopram
5) Untuk dapat mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak yang
bias menyertai demensia stadium lanjut, maka dapat digunakan obat-obatan
anti psikotik seperti Haloperidol, Quetiaoine, dan Risperidone
b) Dukungan atau peran keluarga
Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantupenderita tetap
memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yangterang, dan jam dinding
dengan angka-angka.
c) Terapi simtomatik
Menurut Erwanto & Kurniasih (2018), penderita penyakit demensia
dapat diberikan terapi simtomatika yaitu terapi rekreasional dan aktifitas
dimana upaya yang dapat dilakukan dengan memberikan terapi brain gym.
Brain gym ini berupa senam otak dengan melibatkan petugas untuk
mengajarkan gerakan-gerakan mudah pada pasien demensia. Senam otak ini
bertujuan untuk membuktikan pernyataan menurut Pratiwi (2016) bahwa
apabila senam otak dilakukan secara rutin 1 kali dalam sehari maka dapat
menjaga fungsi daya ingat pada lansia sehingga dapat memenuhi aktivitas
sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan presentase pengkajian
Indeks KATZ dan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chancellor,
Duncan, & Chatterjee (2014) bahwa senam otak mampu meningkatkan
fungsi kognitif pada lansia yang mengalami demensia.
d) Pencegahan dan perawatan demensia
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya
demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa
mengoptimalkan fungsi otak seperti:
1) Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel otak seperti
alkohol dan zat adiktif yang berlebihan
2) Mambaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya
dilakukan setiap hari
3) Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif
seperti kegiatan rohani dan memperdalam ilmu agama
4) Tetap berinteraksi dengan lingkungan dan berkumpul dengan teman
yang memiliki persamaan minat atau hobi
5) Mengurangi setress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap rilex
dalam kehidupan sehari-hari karena dapat membuat otak kita tetap
sehat
2. Menurut Munir (2015) Terapi Non Farmakologi yang dapat dilakukan, yaitu
memberikan program harian untuk pasien. Berikut ini merupakan program yang
mungkin dapat diterapkan:
1) Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik yang
dapat memacu aktifitas fisik dan otak yang baik seperti brain gym
2) Asupan gizi yang seimbang, cukup serat, mengandung antioksidan
(obat-obat penangkal kerusakan dalam tubuh yang diakibatkan karena
pola hidup yang kurang sehat), mudah dicerna, serta penyajian yang
menarik dan praktis
3) Mencegah atau mengelolah faktor resiko yang dapat memberatkan
penyakitnya, misalnya hipertensi, kadar lemak yang meningkat dalam
darah, diabetes, dan merokok
4) Melaksanakan hobi dan aktifitas sosial sesuai dengan kemampuannya
5) Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatikan dan Asosiasi) yaitu
suatu strategi untuk memaksa otak berfikir yang dapat mencegah
lajunya dimensia
6) Tingkatkan aktifitas di siang hari, tempatkan di ruangan yang
mendapatkan cahaya cukup serta aman untuk beraktifitas. Hal ini
dapat mencegah terlalu banyak tidur di siang hari yang dapat
mengganggu periode tidur malam
I. PEMERIKSAAN DEMENSIA
Menurut Aspiani (2014), pemeriksaan fungsi kognitif awal bila menggunakan
minimental-state examination (MMSE) dari folstein dengan skor atau angka maksimal
30. Jika mempunyai skor dibawah 24, pasien patut dicurigai mengalami demensia.
Meskipun nilai skor ini sangat subjektif karena pengaruh pedidikan juga berperan pada
tingginya nilai skor. Tidak ada perbedaan pada wanita maupun pria. Jadi pemeriksaan
MMSE dianjurkan ditambah dengan clock drawing test seperti menggambar jam
sekaligus diatur waktu jamnya. Nilai skor berkisar antara 0-4 dengan perincian skor
sebagai berikut:
1. Dapat menggambar lingkaran bulat yang benar (nilai 1)
2. Penempatan nomor tepat pada tempatnya (nilai 1)
3. Lengkap 12 nomor tepat (nilai 1)
4. Penempatan panah tunjuk pendek atau panjang tepat (nilai 1)
A. DEFINISI
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Lansia merupakan suatu
proses yangalami, semua orang tentunya akan mengalami proses menjadi tua dan masa
tua juga merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini, seseorang akan
mengalami kemunduran fisik, mental, dan social secara bertahap (Azizah, 2011:1).
Usia lanjut dapat dikatakan sebagai tahap akhir pada daur kehidupan manusia
(Budi Anna Keliat, 1999). Sedangkan, menurut pasal 1 ayat (2), (3), dan (4) dalam UU
No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dapat dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Batasan usia manusia menurut WHO Tahun 2022 yaitu, usia pertengahan (Middle
Age) yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (Elderly) antara usia 60 sampai
74 tahun, lanjut usia tua (Old) antara usia 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (Very
Old) diatas 90 tahun (Maryam, 2010).
C. KARAKTERISTIK LANSIA
Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam Maryam (2010) lansia memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang
kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat bahkan sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
maladaptive.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
D. TIPE LANSIA
Beberapa tipe lansia bergantung pada karakteristik, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, social dan ekonomi (Nugroho, 2000 dalam Maryam,
2010). Berikut ini merupakan tipe-tipe lansia:
1. Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
2. Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam hal mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.
3. Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin dlaam hal menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak
menuntut dalam segala hal.
4. Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan keagamaan, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe Bingung
Tipe yang kehilangan kepribadiannya, kaget, mengasingkan diri, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia yaitu, tipe optimis, tipe konstruktif,tipe dependen
(kebergantungan), tipe defensive (bertahan), tipe militant dan serius, tipe pemarah atau
frustasi (kecewa akibat dari kegagalan dalam melakukan sesuatu hal), serta tipe putus asa
(benci pada diri sendiri).
Sedangkan jika dilhat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasarkan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian ketz), para lansia
dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia mandiri sepenuhnya, lansia
mandiri dengan bantuan langsung keluarga, lansia mandiridengan bantuan tidak
langsung, lansia dengan bantuan badan social, lansia di panti werdha, lansia yang dirawat
di rumah sakit, dan lansia dengan gangguan mental (Maryam, 2010).