Indonesia Report On REDD+ Performance
Indonesia Report On REDD+ Performance
INDONESIA
LAPORAN REDD
PADA PERTUNJUKAN
LAPORAN INDONESIA
TENTANG KINERJA REDD+
Republik Indonesia
Machine Translated by Google
Laporan Kinerja REDD+ Indonesia selesai Desember 2017, dimutakhirkan dan difinalisasi
Januari 2018, memuat informasi periode 2013 hingga 2017; bagian dari konten akan menjadi
subjek untuk Laporan Pembaruan Dua Tahunan ke-2
Indonesia.
Direktorat Jenderal Perubahan Iklim (Ditjen PPI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
2018.
Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 6 Wing A; Jend. Jalan Gatot Subroto, Jakarta
10270, Indonesia
Kutipan:
KLHK, 2018. Laporan Kinerja REDD+ Indonesia, Direktorat Jenderal Perubahan Iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Indonesia.
ISBN: 9786025135637
Machine Translated by Google
Penasihat
Pemimpin Redaksi
Nur Masripatin
Boer, Joko Prihatno (Direktur Inventarisasi GHG dan MRV), Emma Rachmawaty (Direktur Mitigasi
Perubahan Iklim), Achmad Gunawan Wicaksono (Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan
Daerah).
Penulis Utama:
(Urutan abjad) Arif Budiman, Arief Darmawan, Arief Wijaya, Budiharto, Delon
Marthinus, Dida Mighfar, Dinik Indrihastuti, Endah Tri Kurniawaty, Franky Zamzani,
Gamma Nurmerillia Sularso, Hari Wibowo, Haruni Krisnawati, Haryo Pambudi, Iid
Itsna Adkhi, Judin Purwanto, Lia Kartikasari, Muhammad Fariz Nasution, Rizaldi Boer,
Tim Penyumbang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengucapkan terima kasih kepada Kemitraan sebagai
hak dilindungi undang-undang. Tidak ada bagian dari publikasi ini yang boleh direproduksi, disimpan
dalam sistem pengambilan kembali, atau ditransmisikan dalam bentuk apapun atau dengan cara
KATA PENGANTAR
Dr.Siti Nurbaya
KATA PENGANTAR
Saya
Laporan Kinerja REDD+ Indonesia
Republik Indonesia
Machine Translated by Google
ISI
DAFTAR TABEL
TABEL GAMBAR
Gambar 8-1. Roadmap untuk meningkatkan NFMS agar sesuai dengan masa depan
kebutuhan ............................................... .............................. 81
I. PENDAHULUAN
Bab 7. Hasil penurunan emisi: menyajikan hasil aksi penurunan emisi pada
periode 2012/2013 – 2016/2017. Hasil yang dilaporkan dalam
dokumen ini juga akan tunduk pada penilaian yang diperlukan
terkait dengan pembayaran berbasis kinerja.
1 http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/resources/redd/
StrategiNasionalREDD_SatgasREDD_201209_in.pdf
Ada lima pilar yang menjadi dasar strategi REDD+ di Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam dokumen Strategi Nasional REDD+, yaitu kelembagaan dan
proses, undang-undang, program strategis, budaya dan paradigma, serta
keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Status implementasi setiap pilar
dan elemen Strategi dirangkum dalam Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Strategi REDD+ dan status implementasi hingga Januari 2018
Peraturan Presiden
(PERPRES) tentang
Pembentukan
Lembaga Keuangan
Lingkungan yang
memuat pendanaan REDD+
sedang dalam tahap
final; Peraturan Menteri
tentang REDD+
yang memuat
Pembiayaan REDD+
bersifat final (Permen
70/2017).
Pengakuan dan
Perlindungan
Hak Ulayat diberikan
oleh pemerintah pusat;
Reforma
Agraria sedang
berlangsung;
Keputusan Menteri
terkait Hutan Adat
diterbitkan: SK.6737/
menlhk pskl/
kum.1/12/2016;
Sk.6738/menlhk pskl/
kum.1/12/2016;
SK.6739/menlhk pskl/
kum.1/12/2016; SK.6740/
menlhk-pskl/
kum.1/12/2016;
SK.6743/menlhk pskl/
kum.1/12/2016;
SK.6744/menlhk pskl/
kum.1/12/2016; SK.6744/
menlhk-pskl/
kum.1/12/2016 di 5
provinsi dan 6 kabupaten.
Program Strategis
1. Pengelolaan Dioperasionalkan/ Memorandum of
lanskap yang Kemajuan Understanding (MoU)
berkelanjutan terus menerus dengan pemerintah
daerah untuk
mengembangkan
pengelolaan
lanskap
berkelanjutan
di tingkat
sub nasional
ditetapkan;
Pengelolaan DAS
dilaksanakan;
Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) berbasis DAS did
berlangsung; Sistem
Registrasi Nasional
Perubahan Iklim (platform
web), Sistem
Inventarisasi GRK Nasional
(platform web), SIS
REDD+ (platform
web)
dikembangkan; FREL
REDD+ Indonesia didirikan.
Keterlibatan multi-stakeholder
Metode emisi historis digunakan untuk menghasilkan garis dasar FREL yang
diproyeksikan di masa mendatang. Emisi tahunan rata-rata diterapkan untuk
menetapkan garis dasar deforestasi dan degradasi hutan di masa mendatang.
Sebagai hasil emisi yang diwariskan dari dekomposisi gambut, persamaan
regresi linier dikembangkan dengan menggunakan tahun sebagai variabel
prediktor untuk memperkirakan emisi gambut tahunan dari waktu ke waktu.
FREL berfokus pada lahan Indonesia yang tertutup hutan alam pada tahun
1990. Luasnya mencapai 113,2 juta ha atau sekitar 60% dari daratan negara.
Kawasan FREL berfokus pada kawasan hutan, terdiri dari tutupan hutan primer
dan sekunder, bukan fungsi hutan yang secara hukum ditetapkan untuk
penggunaan lahan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut, 2014). Luas FREL
yang disajikan pada skala nasional seperti yang terlihat pada Gambar 3-2
digunakan sebagai batas di mana pengurangan emisi akan diestimasi.
Gambar 3-2. Kawasan Forest Reference Emission Level (FREL) seluas 113,2
juta ha atau sekitar 60% dari daratan negara
Sehingga, istilah deforestasi yang digunakan dalam dokumen FREL (dokumen FREL 2016)
didefinisikan sebagai konversi tutupan hutan alam satu kali menjadi kategori tutupan lahan
lainnya. Definisi ini diambil demi kepraktisan, kesederhanaan dan kejelasan data yang
digunakan (proses identifikasi dan klasifikasi tutupan lahan). Istilah ini diperkenalkan dalam
dokumen IFCA (2008), dan istilah umum untuk definisi ini adalah “deforestasi bruto”.
“Deforestasi Bruto” dalam dokumen ini hanya menghitung apa yang telah hilang (pembukaan
atau penipisan hutan alam ke dalam kelas bukan hutan) dan tidak mempertimbangkan
pertumbuhan kembali hutan (baik intervensi alam maupun manusia), maupun penyerapan
karbon yang diambil oleh pertumbuhan kembali hutan. Hal ini berbeda dengan “Deforestasi
Bersih” yang memperhitungkan penanaman kembali hutan sekunder dan perkebunan.
Karena Indonesia memprioritaskan upaya untuk melindungi hutan alam tropisnya, skema REDD
hanya mempertimbangkan “deforestasi bruto”. “Net-deforestation” akan dihitung dalam
inventarisasi GRK dan/ atau pengembangan dan penjabaran lebih lanjut tentang “plus” REDD.
Kotak 3.2. Definisi Degradasi Hutan yang digunakan dalam FREL 2016
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 30 Tahun 2009, degradasi hutan adalah
penurunan kuantitas tutupan hutan dan cadangan karbon selama periode waktu tertentu
akibat aktivitas manusia.
Interpretasi deteriorasi tutupan hutan mengacu pada proses degradasi hutan yang secara
praktis kami lampirkan pada definisi degradasi hutan oleh ITTO: hutan alam, yang telah
terfragmentasi atau mengalami pemanfaatan hutan termasuk untuk kayu dan atau non-
pemanenan hasil hutan kayu yang mengubah tutupan kanopi dan struktur hutan secara
keseluruhan (ITTO, 2002).
Sehingga, definisi degradasi hutan yang digunakan dalam dokumen FREL (FREL, 2016)
mengarah pada perubahan di dalam hutan alam dari tidak terganggu/ hutan primer menjadi
terganggu/ terdegradasi/ hutan sekunder. Definisi tersebut mengacu pada definisi kerja
terkait dengan kepraktisan, kesederhanaan dan kejelasan data yang digunakan (proses
identifikasi dan klasifikasi tutupan lahan); Adalah kawasan yang berubah dari hutan tidak
terganggu menjadi hutan terganggu, dalam hal telah terfragmentasi atau menjadi sasaran
pemanfaatan hutan termasuk untuk pemanenan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu,
yang mengubah tutupan tajuk dan struktur hutan secara keseluruhan.
Sebaran Klaster :
1990-1996 (2.735 plot klaster)
Periode 2010-2015
Periode 1990-2009
1996-2000 ( 1.145 plot klaster)
2000-2006 ( 485 plot klaster)
2006-2015 (>3.000 plot klaster)
NFI saat ini secara umum, adalah sistem inventarisasi hutan terestrial
untuk menilai stok dan perubahan kayu secara berkala, khususnya
dengan perubahan tutupan hutan, dan potensi hasil hutan bukan
kayu. NFI mencakup semua lahan hutan (kawasan yang secara
hukum ditetapkan untuk hutan) yang ditutupi hutan pada ketinggian
<1000 m (tidak termasuk hutan pegunungan). Tipe hutan yang
tercakup dalam NFI meliputi hutan lahan kering, hutan rawa, dan
hutan mangrove, dengan strata primer dan tebangan/sekunder.
Sampling sistematis grid 20 km x 20 km diterapkan. Jika
memungkinkan, kerapatan petak yang lebih tinggi diterapkan dengan
petak 10 km x 10 km dan 5 km x 5 km. Setiap grid diwakili oleh
cluster plot, yang terdiri dari sembilan Temporary Sample Plot (TSP)
dan satu Permanent Sample Plot (PSP) (Gambar 4-1). Setiap PSP
harus diukur ulang setiap 4-5 tahun. Sebanyak 4.450 PSP dari
database NFI digunakan untuk menghasilkan data faktor emisi FREL.
Database tersebut berasal dari pengukuran di hutan lahan kering
primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer dan hutan rawa sekunde
Tabel 4-1. Peran dan Wewenang menjalankan NFMS dan kebutuhan MRV
Sistem ini sangat didukung oleh pemerintah (di bawah KLHK atau
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia).
Untuk memastikan kesinambungan NFMS untuk mendukung sistem
MRV sektor berbasis lahan, dibentuk sebuah unit bernama
Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan
(IPSDH) di bawah Ditjen PKTL KLHK untuk mengelola NFMS.
A B
D C
Gambar 4-6. Sejarah pemetaan tutupan lahan di Indonesia dan Peningkatannya dari
waktu ke waktu: hanya menunjukkan 5 periode waktu, yang mencerminkan
peningkatan signifikan pemetaan tutupan lahan Indonesia dari waktu ke waktu
(dimodifikasi dari FREL, 2016).
Pada awal 1990-an, di bawah proyek awal NFI, metode klasifikasi digital
diperkenalkan dan diuji. Namun terkendala dengan masalah konversi
data dari raster ke format vektor untuk analisis GIS lebih lanjut. Teknik
klasifikasi visual kemudian dipilih sebagai prosedur standar sejak Periode
1.
Peta tutupan lahan 23 kelas dihasilkan untuk memberikan pertimbangan untuk mengintegrasikan
tutupan lahan (misalnya hutan alam, hutan tanaman) dan informasi penggunaan lahan (misalnya
perkebunan, pemukiman), yang dapat dideteksi oleh citra penginderaan jauh resolusi menengah
(Landsat di resolusi spasial 30 meter) untuk penggunaan operasional. Penjelasan detail dari 23 kelas
tersebut dijabarkan dalam dokumen FREL (dokumen FREL 2016).
Klasifikasi manual melalui teknik visual delineasi pada layar berdasarkan elemen kunci interpretasi
gambar/ foto dipilih untuk klasifikasi pada citra penginderaan jauh beresolusi sedang (Landsat resolusi
30 meter)
(Kemenhut 2003, Margono et.al 2016, Kemenhut 2016). Kelemahan klasifikasi manual antara lain
memakan waktu dan padat karya (Margono et.al, 2012, 2016). Namun metode tersebut mampu
mengidentifikasi lebih banyak kelas daripada metode klasifikasi digital dan menangkap lebih banyak
informasi bio-geofisika untuk dipertimbangkan. Prosesnya melibatkan staf Kemenhut dari tingkat
kabupaten dan provinsi yang memiliki pengetahuan lokal untuk menafsirkan dan mendigitalkan citra
satelit secara visual.
Pengklasifikasian 23 kelas tersebut didasarkan pada kenampakan fisiognomi atau biofisik yang dapat
dibedakan oleh Landsat pada resolusi spasial 30 meter. Beberapa set data tambahan (termasuk batas
konsesi baik penebangan dan perkebunan, batas penggunaan lahan hutan) digunakan selama proses
delineasi, untuk memberikan informasi tambahan yang berharga untuk mengklasifikasikan jenis
tutupan lahan.
Meskipun di tingkat global, proses pemantauan yang lebih otomatis terkenal (misalnya data yang
disediakan oleh Global Land Analysis and Discovery-GLAD di http://glad.geog.umd.edu/), KLHK saat
ini masih menggunakan klasifikasi visual manual. kation untuk menangkap lebih banyak jenis tutupan
lahan. Sadar akan beberapa keterbatasan dalam hal teknik yang digunakan (seperti penyimpanan
untuk pemrosesan data dan keterbatasan perangkat lunak), Indonesia mempertahankan metode yang
digunakan sistem karena (a) kebutuhan untuk memiliki lebih banyak kelas untuk keperluan nasional,
(b) mengumpulkan informasi dari situs tingkat (sub-nasional), (c) menggunakan kapasitas nasional
untuk membangun rasa memiliki nasional. Namun di masa depan, untuk menjawab semua kebutuhan
masa depan, sistem yang ada akan menjadi kombinasi teknik visual manual dan pendekatan yang
lebih otomatis. Dukungan yang komprehensif jelas diperlukan untuk mencapai tujuan ini.
2 http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/resources/frell/
Understanding_Estimation_of_Emission.pdf dan http://ditjenppi.menlhk.
go.id/reddplus/images/resources/frell/Land-and-Forest-How-small-rev-1.
pdf
Kotak 4.2. Faktor emisi kebakaran gambut dijabarkan dalam FREL 2016 dan perbaikan
hingga saat ini
Beberapa penelitian misalnya Balhorn et.al 2009 menunjukkan bahwa emisi dari lahan gambut mengalami
lebih dari satu peristiwa kebakaran (kebakaran berulang) diasumsikan kurang atau bahkan berkurang
setengahnya dibandingkan dengan kebakaran pertama (UKP4 dan UNORCID, 2013 dalam FREL Nasional,
2016). Ini berarti area kebakaran berulang, terutama di lahan gambut, harus menggunakan faktor emisi yang
lebih kecil.
Untuk Indonesia, sangat disayangkan bahwa area kebakaran berulang belum tersedia, sehingga hanya satu
emisi kebakaran gambut yang digunakan untuk menghitung seluruh Indonesia, terlepas dari kejadian kebakaran
pertama atau kebakaran berulang. Faktor emisi kebakaran gambut yang digunakan dalam FREL 2016 adalah
923,1 tCO2e/ ha dengan asumsi rata-rata kedalaman terbakar 33 cm (UKP4 dan UNORCID, 2013 dalam FREL
Nasional, 2016).
Baru-baru ini, Airborne LiDAR telah digunakan untuk menghitung kedalaman gambut yang terbakar dengan
akurasi yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah, melaporkan kehilangan karbon
sebesar 114, 64, 38, dan 13 tC/ ha akibat kebakaran pertama hingga keempat, yang rata-ratanya 57,27 tC/ ha
atau 210 tCO2e/ ha dengan kedalaman terbakar relatif 13 cm (Konecny et.al, 2016). Namun beberapa studi
yang tidak dipublikasikan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian Indonesia bahkan melaporkan kedalaman
rata-rata luka bakar relatif 5 cm.
Berbagai informasi mengenai kedalaman kebakaran gambut memberikan ketidakpastian yang tinggi terhadap
emisi kebakaran gambut di Indonesia.
*) Penilaian dilakukan hanya untuk dua kelas (kelas hutan dan non hutan)
Untuk pendekatan kedua, hingga saat ini terdapat beberapa sub nasional
yurisdiksi yang bekerjasama dengan manajemen pusat (DGCC – KLHK),
yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Jambi, dan Provinsi Sumatera
Selatan. Selain itu, SIS-REDD+ juga mulai diperkenalkan kepada
masyarakat lokal di Kabupaten Sarolangun – Jambi, melalui beberapa
kelompok Masyarakat Hutan Adat (MHA) yang difasilitasi oleh Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Selama proses operasional, beberapa langkah perbaikan sedang
berlangsung, antara lain: penyiapan “payung” hukum untuk
operasionalisasi SIS REDD+, sebagai bagian dari peraturan KLHK
tentang implementasi REDD+).
Pendaftaran
Indonesia.
Nasional
Gambar
Sistem
kerja
Alur
6-3.
Perlu diingat bahwa PAA didirikan pada skala nasional dan sesuai
dengan FREL nasional saat ini, sebagai hitungan untuk pendekatan
nasional. Untuk pelaksanaannya, FREL nasional telah dipilah
menjadi FREL sub-nasional (lihat bab 6), demikian juga PAA. PAA
untuk setiap tingkat sub-nasional (provinsi) juga telah ditetapkan
untuk kepentingan proses MRV dalam implementasi sub-nasional.
Namun, karena REDD+ di Indonesia merupakan pendekatan
nasional dengan implementasi sub-nasional, hasil yang disajikan di
sini adalah untuk tingkat nasional.
PAA saat ini, dengan tahun pelaksanaan dari 2013 hingga 2020,
hanya berfokus pada kegiatan: deforestasi, degradasi hutan, dan
dekomposisi gambut akibat deforestasi dan degradasi hutan di lahan
gambut (lahan gambut yang dikeringkan) sejak 1990. Oleh karena
itu, kondisi pemungkin, dan “plus” lainnya ” kegiatan di bawah skema
REDD+ belum diperhitungkan, atau subjek dari sistem MRV saat ini.
Hasil penilaian khusus untuk deforestasi dan degradasi hutan dalam
KKP selama periode penilaian (2013-2017). Untuk deforestasi: rata-
rata deforestasi tahunan selama periode penilaian menurun dari
919.248 ha pada periode 2012-2013 menjadi 372.077 ha pada
2013-2014 dan naik lagi pada periode 2014-2015 dan 2015-2016
dan menurun lagi pada periode tersebut tahun 2016-2017 (Tabel
7-1). Kecuali 2012-2013, deforestasi di semua periode lebih rendah
dari baseline di FREL (918.678 ha thn-1). Laju deforestasi tertinggi
selama periode panjang 2013 hingga 2016 terjadi pada 2015 hingga
2016 dengan laju terendah pada 2013 hingga 2014 (Gambar 7-2).
Adanya deforestasi pada periode tersebut sebagian besar
disebabkan oleh pesatnya ekspansi perkebunan kelapa sawit dan
pesatnya pembangunan ekonomi.
Gambar 7-2. Tren deforestasi dan degradasi hutan dari tahun 2012 -
2016
Emisi tahunan rata-rata dari degradasi hutan (47,4 tCO2 e.yr-1) juga
lebih rendah dari baseline rata-rata (58 tCO2 e.yr -1). Namun, selama
periode 2014-2015 dan 2015-2016, emisi tahunan dari kegiatan ini lebih
tinggi dari baseline.
Gambar 7-4. Emisi tahunan dari degradasi hutan. Bilah abu-abu menggambarkan
data historis yang digunakan untuk garis dasar. Bilah kuning menggambarkan
emisi tahunan dari fase implementasi.
Data aktivitas, faktor emisi, dan prosedur pendugaan emisi CO2 dari
dekomposisi gambut sama dengan FREL. Untuk laporan ini, secara
konsistensi, definisi lahan gambut adalah kawasan dengan akumulasi
bahan organik yang terdekomposisi sebagian, jenuh air dengan
kandungan karbon minimal 12% (biasanya kandungan C 40-60%)
dan ketebalan lapisan tanah. lapisan kaya karbon minimal 50 cm
(Agus et al. 2011; SNI, 2013). Definisi lahan gambut ini konsisten
dengan FREL, meskipun berbeda dengan apa yang disebut sebagai
kawasan hidrologis gambut (Kesatuan Hidrologis Gambut/KHG)
sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri KLHK No 129/2017
tentang Kawasan Hidrologi Gambut/KHG. Secara teknis, data yang
digunakan untuk perhitungan dalam FREL maupun dalam laporan ini
adalah peta lahan gambut resmi yang dihasilkan oleh Badan
Penelitian Tanah – Kementerian Pertanian (Ritung et al. 2011).
Sedangkan untuk menilai emisi lahan gambut melalui dekomposisi
gambut, analisisnya menggunakan cakupan area yang sama (PAA)
dan menggunakan sumber data yang sama dengan FREL.
Kotak 7.1. Persamaan yang direvisi untuk memperkirakan emisi tahunan dari
dekomposisi gambut.
Dalam FREL, kami mengembangkan persamaan linier dari analisis regresi menggunakan
emisi gambut tahunan dari data historis. Emisi dari dekomposisi gambut diperkirakan
berdasarkan peta tutupan lahan. Dalam beberapa tahun, alih-alih peta tutupan lahan
tahunan, kami hanya memiliki peta tutupan lahan multi-tahun, yaitu 6 tahunan (1990 –
1996), 4 tahunan (1997 – 2000) dan 3 tahunan (2001 – 2009).
Kami menghasilkan emisi tahunan dari nilai rata-rata periode pemetaan. Setiap tahun
memiliki estimasi nilai emisi yang akan diregresikan terhadap tahun (Gambar A). Hal ini
mengakibatkan proyeksi emisi yang mustahil, dimana emisi tahun 2013 (218 MtCO2e)
lebih rendah dari emisi baseline tahun 2012 (226 MtCO2e).
nioit
s 240
op
220
mocedt
ae200
hal
mo 180
fr
sn
io 160
y = 3494842,462x - 6817424543
kak
M
R² = 0,932
E 140
120
Tahun
M 220
N y = 148683x2 - 6E+08x + 6E+11 R² = 0,994
ioits
Hai
200
pm
diberikan 180
ta
e
P
mo
160
frs
N
io
S
140
aliran
e
120
1990 1995 2000 2005 2010 2015
Tahun
Ada peringatan dalam FREL terkait dengan baseline proyek masa depan
dari dekomposisi gambut. Sementara emisi dari dekomposisi gambut
bersifat progresif karena emisi yang diwariskan dari lahan gambut yang
terdegradasi sebelumnya, emisi dari dekomposisi gambut tidak akan pernah
berkurang kecuali lahan gambut yang terdegradasi diubah/direstorasi
menjadi hutan rawa gambut dengan ekosistem alaminya, yang tidak
mungkin terjadi pada tahun ini. periode penilaian. Dalam FREL, proyeksi
emisi baseline periode 2012 – 2013 lebih rendah dibandingkan dengan
emisi tahun 2011 – 2012 (Gambar 7-5), hal ini disebabkan oleh analisis
regresi yang dilakukan pada saat penyusunan FREL tidak tepat. Oleh
karena itu, untuk melakukan koreksi secara tepat dalam waktu dekat,
berikut penyesuaian terhadap proyeksi baseline dengan menggunakan
baseline tahun terakhir (2012) sebagai titik awal dan dengan menggunakan
kemiringan yang sama dengan persamaan linier awal (Kotak 7.1. Gambar
A ), dilakukan (garis merah) dan diberi nama baseline yang disesuaikan.
Gambar 7-5. Emisi tahunan dari dekomposisi gambut. Bilah abu-abu menggambarkan emisi
historis yang digunakan dalam garis dasar. Garis putus-putus kuning oranye mewakili proyeksi
masa depan FREL menggunakan persamaan linier asli. Garis merah menunjukkan proyeksi garis
dasar di masa mendatang dengan menggunakan persamaan linier yang sama tetapi menerapkan
titik awal yang disesuaikan (garis dasar yang disesuaikan, lihat Kotak 7.1 A). Garis putus-putus
berwarna biru menggambarkan garis dasar di masa depan menggunakan persamaan polinomial yang
telah direvisi (lihat Kotak 7.1 B)
Seperti yang terlihat pada Gambar 7-6, emisi tahunan agregat dari
deforestasi, degradasi hutan dan pembusukan hewan peliharaan
selama periode 2013 – 2017 masih di bawah emisi baseline dengan
rata-rata 528 MtCO2 e.yr-1 . Hanya pada periode 2015-2016 emisi
agregat sedikit di atas baseline dengan emisi tahunan sebesar 618
MtCO2 e.yr-1. Terlihat bahwa emisi yang sangat besar ini sebagian
besar disebabkan oleh dampak kebakaran besar pada tahun 2015
yang memperbesar emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Gambar 7-7. Pengurangan emisi tahunan dari semua kegiatan terhadap baseline
T
7
P
e
(t
Machine Translated by Google
Pada tahun 2015, Indonesia telah mengajukan BUR 1 dan baru saja
menyelesaikan Komunikasi Nasional ke-3 . Sehubungan dengan aksi mitigasi
dari sektor berbasis lahan, khususnya di bawah mekanisme REDD+, laporan ini
disusun oleh Pemerintah Republik Indonesia antara lain untuk menunjukkan
kompetensi dan kemampuan Indonesia untuk melangkah ke fase pembayaran
berbasis hasil di bawah REDD+ mekanisme. Indonesia telah membangun
modalitas, keterampilan, dan infrastruktur yang kuat untuk implementasi penuh
REDD+.
Peristiwa kebakaran luar biasa pada tahun 2015, yang didorong oleh
El-Niño yang kuat, telah menjadi penyebab utama hilangnya dan
degradasi hutan. Hal ini menyebabkan tingginya angka degradasi
hutan, yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi di luar baseline
pada tahun 2014-2015 dan 2015-2016. Sebaliknya, deforestasi dan
degradasi hutan berkontribusi terhadap emisi pada periode 2016-2017
justru berkurang, signifikan dengan penurunan kejadian kebakaran
pada periode tersebut. Namun perhitungan lengkap pada tahun
lengkap (2017-2018) belum dilakukan, karena periode sumber data
yang disediakan untuk set data tutupan lahan, perubahan tutupan
lahan dan bekas luka bakar, belum selesai.
3 http://unfccc.int/resource/docs/2016/tar/idn.pdf
Gambar 8 1. Roadmap untuk meningkatkan NFMS agar sesuai dengan kebutuhan masa depan.
4 http://signsmart.menlhk.go.id/signsmart_new/web/efdb/home/main
partisipasi masyarakat
yang lebih inklusif
dan dukungan
Keputusan Menteri LHK 73/2017 tentang
Transfer teknologi diperlukan untuk perbaikan data baik faktor emisi maupun
data aktivitas. Peningkatan akurasi diperlukan untuk data yang terkait
dengan kegiatan yang ada (deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi
gambut). Untuk kegiatan lain, seperti kebakaran gambut, restorasi hutan,
konservasi dan pembalakan berdampak rendah, beberapa metode yang
kuat perlu dikembangkan.
Demikian pula, metode baru yang kuat diperlukan untuk menetapkan faktor
emisi untuk sumber karbon lain yang tidak termasuk dalam FREL.
Peningkatan NFMS di masa depan juga dapat didukung oleh inisiatif global
melalui peningkatan sistem pemantauan berbasis satelit yang divalidasi
menggunakan data lapangan yang berasal dari pengukuran terestrial atau
kendaraan udara dan udara tak berawak. Selain berbagi teknologi, transfer
pengetahuan diperlukan untuk meningkatkan metode pemrosesan satelit
IX. BIBLIOGRAFI