Anda di halaman 1dari 18

13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Hukum ketenagakejaan sebelumnya disebut dengan hukum

perburuhan yang diambil dari Bahasa Belanda yaitu arbeidrechts. Kendati

demikian, pengertian hukum perburuhan itu sendiri dirasa masih belum

sesuai apabila ditinjau dari sudut pandang para ahli hukum. Beberapa

pendapat para ahli hukum terkait Hukum Perburuhan adalah sebagai

berikut:1

1) Molenaar memberikan penjelasan terkait Hukum Perburuhan adalah

bagian hukum yang berlaku, yang pokoknya mengatur hubungan antara

tenaga kerja dan pengusaha serta antara tenaga kerja dan tenaga kerja

dan antara tenaga kerja dengan pengusaha.

2) M.G. Levenbach memberikan penjelasan terkait Hukum Perburuhan

adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana

pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan

penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.

3) N.E.H Van Esveld memberikan penjelasan terkait Hukum Perburuhan

tidak hanya meliputi hubungan kerja di mana pekerjaan dilakukan di

bawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh

1
Arifuddin Muda Harahap, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,” Cetakan I. (Batu:
Literasi Nusantara, 2020), 15–16.
14

swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko

sendiri.

4) Soepomo memberikan penjelasan terkait Hukum Perburuhan adalah

himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang

berkenaan dengan kejadian dimana seoarang bekerja pada orang lain

dengan menerima upah.

5) Soetikno memberikan penjelasan terkait Hukum Perburuhan adalah

keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang

mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah

perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan

penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja

tersebut.

Pada hakikatnya Ketenagakerjaan memiliki pengertian yang lebih

luas daripada istilah Perburuhan.2 Dalam Pasal 1 angka 1 UU 13/2003,

ketenagakerjaan diartikan sebagai segala hal yang berhubungan dengan

tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Oleh

karena itu, guna menghilangkan perbedaan persepsi dalam penggunaan

istilah perburuhan dengan ketenagakerjaan, maka istilah ketenagakerjaan

lebih sesuai untuk digunakan dalam pembahasan ini. Sebagai contoh

penggunaan istilah dalam UU 13/2003 menggunakan istilah

Ketenagakerjaan dan bukan menggunakan istilah Perburuhan.

2
Arifuddin Muda Harahap, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,” Cetakan I. (Batu:
Literasi Nusantara, 2020), 16.
15

Pada dasarnya Hukum Ketenagakerjaan memiliki beberapa unsur

sebagai berikut:3

1) Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.

2) Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan

pengusaha/majikan.

3) Adanya orang yang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan

mendapat upah sebagai balas jasa.

4) Mengatur perlindungan pekerja/buruh, yang meliputi perlindungan atas

hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha,

perlindungan keselamatan, kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi

pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta

perlindungan tentang upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja,

dan masih banyak lagi.

2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-

aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar

akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Dengan

berdasarakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber hukum

ketenagakerjaan adalah tempat dimana dapat ditemukannya ketentuan-

ketentuan terkait masalah ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Sumber hukum ketenagakerjaan digunakan sebagai dasar bagi pihak-pihak

yang berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan untuk menjamin

3
Ibid.
16

kepastian hukum dan keadilan sebagai akibat timbulnya hubungan hukum

yang diawali dengan perjanjian yang dibuat antara masing-masing pihak.

a. Undang-undang

Dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, terdapat banyak undang-undang yang mengatur hal-hal yang

berhubungan dengan ketenagakerjaan. Hal tersebut dikarenakan banyak

terjadi perubahan dengan munculnya undang-undang baru yang

dianggap mampu memenuhi tuntutan dari berbagai pihak yang terkait

dengan ketenagakerjaan itu sendiri. Undang-undang tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan

Industri.

3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat

Pekerja/Serikat Buruh.

4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


17

5) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial.

6) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja.

b. Peraturan Lainnya

Yang dimaksud dengan peraturan lain dalam penulisan skripsi

ini adalah peraturan-peraturan yang terkait dengan hukum

ketenagakerjaan di Indonesia yang mempunyai kedudukan di bawah

undang-undang. Peraturan lain tersebut dapat berupa sebagaimana

berikut:

1) Peraturan Pemeritah

2) Peraturan Menteri

3) Keputusan Meteri

c. Putusan

Yang dimaksud dengan Putusan dalam penulisan skripsi ini

adalah putusan Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konsitusi

yang terkait dengan Hukum Ketenagakerjaan yang menjadi

yurisprudensi dan menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini.

d. Perjanjian

Apabila mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1313 KUH

Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan

dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang lain atau

lebih. Dalam hal ini perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian kerja

dimana pembuatannya haruslah memenuhi syarat materiil yang


18

terkandung dalam Pasal 52, 55, 58, 59 dan 60 UU 13/2003. Dan syarat

formil terdapat dalam Pasal 54 UU 13/2003 dan Pasal 81 Angka 13

Pasal 57 UU 11/2020.

3. Subjek Dan Objek Dalam Hukum Ketenagakerjaan

a. Subjek Hukum Ketenagakerjaan

Dalam ketentuan yang terkandung dalam UU 13/2003 telah

dijelaskan bahwa subjek hukum ketenagakerjaan tidak hanya

pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha. Terdapat subjek hukum

lain seperti serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga

kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, dewan pengupahan,

pemerintah.

1) Pekerja/buruh

Pada zaman penjajahan Belanda, kata buruh digunakan

untuk merujuk orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar seperti

kuli, mandor, tukang dan lain sebagainya. Pemerintah Belenda

menjuluki orang-orang yang melakukan pekerjaan seperti ini

sebagai blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang

bekerja di kantor-kantor, tempat-tempat pemerintah, atau mereka

yang bekerja halus dijuluki sebagai white collar (berkerah putih).4

Dalam Seminar Hubungan Perburuhan Pancasila yang

dilakukan pada tahun 1974, istilah buruh dirubah dengan kata

4
Arifuddin Muda Harahap, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,” Cetakan I. (Batu:
Literasi Nusantara, 2020), 34.
19

pekerja.5 Oleh karena isitilah buruh dianggap mempunyai kesan

negatif yang dapat mengakibatkan tidak mendorong terciptanya

kerjasama yang baik, sikap gotong royong, dan suasana

kekeluargaan. Hal tersebut juga bertentangan dengan ketentuan

yang terkandung dalam UUD 1945 yang pada penjelasan pasal 2

dimana dijelaskan bahwa yang disebut golongan-golongan adalah

badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain. Oleh

karena itu, disepakati penggunaan kata pekerja lebih sesuai

dibandingkan dengan istilah buruh karena didukung dengan dasar

hukum yang kuat.

Dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 angka 3

UU 13/2003 istilah pekerja disandingkan dengan buruh menjadi

istilah pekerja/buruh. Dalam pasal tersebut pekerja/buruh diartikan

sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain.

2) Pemberi kerja/pengusaha

Dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 angka 4

UU 13/2003, yang dimaksud dengan pemberi kerja merupakan

perseorangan, pengusaha, badan usaha, atau badan-badan lainnya

yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain.

5
Ibid.
20

Berdasarkan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1

angka 5 UU 13/2003 yang dimaksud dengan pengusaha haruslah

memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:

a) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang


menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
b) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
Dalam pengertian yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 5

diatas orang yang menjalankan perusahaan bukan miliknya sendiri

atau yang biasa dikenal dengan pengurus perusahaan termasuk

dalam pengertian pengusaha. Adapun pengurus perusahaan juga

dikenal dengan istilah pembantu-pembantu perusahaan. Pembantu-

pembantu perusahaan yang dimaksud dalam hal ini adalah pimpinan

perusahaan atau yang lebih dikenal dengan istilah manajer

perusahaan, yaitu pemegang kuasa pertama dari pengusaha

perusahaan.

3) Serikat pekerja/serikat buruh

Dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 Ayat 1

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat

Pekerja/Serikat Buruh menjelaskan bahwa serikat pekerja/serikat

buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk

pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang

bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab


21

guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan

kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan

pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam Pasal 5 Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2000 dijelaskan bahwa setiap serikat

pekerja/serikat buruh bebas membentuk jumalah anggotanya

minimal sepuluh orang pekerja/buruh dengan tidak adanya campur

tangan dari pihak manapun baik pengusaha maupun pemerintah.

Pembentukan serikat pekerja/buruh dapat dibentuk berdasarkan

beberapa sektor usaha, jenis pekerjaan atau bentuk lain sesuai

keinginan pekerja. Gabungan dari sekurang-kurangnya lima serikat

pekerja/serikat buruh disebut federasi serikat pekerja/serikat buruh.

Sedangkan gabungan dari sekurang-kurangnya tiga federasi serikat

pekerja/serikat buruh disebut konfederasi serikat pekerja/serikat

buruh.

4) Organisasi pengusaha

Dalam UU 13/2003tidak menyebutkan secara spesifik

tentang pengertian dari organisasi pengusaha. Dalam hal organisasi

pengusaha diatur dalam Pasal 105 UU 13/2003sebagai berikut:

a) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota

organisasi pengusaha.

b) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


22

Sedangkan terkait bagaimana hubungan organisasi

pengusaha dalam hal ketenegakerjaan tidak menyebutkan secara

jelas. Secara umum di Indonesia organisasi pengusaha dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Kadin

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)

dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 49 Tahun 1973 Tentang Kamar Dagang dan Industri.

Kadin merupakan organisasi dari para pengusaha/gabungan

usaha nasional baik ditingkat Nasional maupun Daerah.

2. Apindo

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) adalah

organisasi pengusaha indonesia yang bersifat demokratis, bebas,

mandiri dan bertanggung-jawab yang secara khusus menangani

bidang hubungan industrial, ketenagakerjaan, investasi dan

kegiatan usaha dalam arti seluas-luasnya dalam rangka

mewujudkan pelaksanaan hubungan industrial yang harmonis,

dinamis, dan berkeadilan. Tujuan dibentuknya APINDO dalam

pasal 7 anggaran dasarnya adalah sebagai berikut:6

a) Mengembangkan hubungan industrial yang harmonis dan

produktif.

6
Tim Perumus dan Hasil Musyawarah Nasional Khusus, “ANGGARAN DASAR /
ANGGARAN RUMAH TANGGA ASOSIASI PENGUSAHA INDONESIA” (Jakarta Selatan:
SEKRETARIAT DPN APINDO, 2016), 9–10.
23

b) Melindungi, membela dan memberdayakan seluruh pelaku

usaha.

c) Berperan aktif dalam meningkatkan investasi.

d) Berperan aktif dalam proses penyusunan kebijakan

pemerintah.

5) Lembaga kerja sama bipartit

Dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 Angka 18

UU 13/2003 lembaga kerja sama bipartit adalah suatu forum

komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari

pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau

unsur pekerja/buruh. Dalam Pasal 106 UU 13/2003 dijelaskan

bahwa setiap perusahaan yang memiliki 50 (lima puluh) pekerja atau

lebih diwajibkan untuk membentuk lembaga kerja sama bipartit.

6) Lembaga kerja sama tripartit

Dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 Angka 19

UU 13/2003 lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi,

konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang

anggotanya terdiri dari unsur organsiasi pengusaha, serikat

pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan


24

Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit, lembaga kerja sama

tripartit dapat dibedakan menjadi 4 (empat) sebagai berikut:

a) Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, yang memiliki tugas


memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
Presiden dan pihak terkait dalam penyususnan kebijakan dan
pemecahan masalah ketenagakerjaan secara nasaional.
b) Lembaga Kerja Sama Tripartit Propinsi, yang memiliki tugas
memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
Gubernur dan pihak terkait dalam penyususnan kebijakan dan
pemecahan masalah ketenagakerjaan di wilayah Propinsi yang
bersangkutan.
c) Lembaga Kerja Sama Tripartit Kabupaten/Kota, yang memiliki
tugas memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
Bupati/Walikota dan pihak terkait dalam penyususnan
kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan di wilayah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
d) Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral Nasional, Lembaga
Kerja Sama Tripartit Sektoral Propinsi, Lembaga Kerja Sama
Tripartit Sektoral Kabupaten/Kota, yang memiliki tugas
memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
Pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam penyusunan
kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan untuk
sektor tertentu.

7) Dewan Pengupahan

Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural

yang bersifat tripartit dimana anggotanya teridiri dari unsur

pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat

buruh.7 Berdasarkan ketentuan yang terkadung dalam Pasal 2 dan 3

Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 Tentang Dewan

Pengupahan, Dewan Pengupahan terdiri dari:

7
Arifuddin Muda Harahap, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,” Cetakan I. (Batu:
Literasi Nusantara, 2020), 42.
25

a) Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas

dibentuk oleh presiden.

b) Dewan Pengupahan Provinsi yang selanjutnya disebut Depeprov

dibentuk oleh gubernur.

c) Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut

Depekab/Depeko dibentuk oleh bupati/walikota.

8) Pemerintah

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran pemerintah dalam bidang

ketenagakerjaan merupakan faktor utama yang menentukan

keberhasilan daripada penegekan hukum ketenagakerjaan di

Indonesia. Dalam hukum ketenagakerjaan yang berlaku di

Indonesia, pemerintah berperan sebagai pengawas dan pengontrol

agar senantiasa penegakan hukum ketenagakerjaan tidak merugikan

pihak manapun. Dalam hukum ketenagakerjaan sendiri terdapat

perbedaan pendapat diantara para ahli hukum, sebagian mengatakan

bahwa hukum ketenagakerjaan bersifat perdata/privat

(privaatrechtelijk), dan sebagian lagi bersifat umum/publik

(publiekrechtelijk).8

Dalam hal-hal yang berkenaan dengan ketenagakerjaan,

maka menjadi kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan. Kendati

demikian, perlu dipahami bahwa sebagian besar kementrian yang

8
Arifuddin Muda Harahap, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,” Cetakan I. (Batu:
Literasi Nusantara, 2020), 43.
26

ada saat ini mengalami banyak perubahan baik itu penggabungan,

pemisahan, penggantian nama, baik yang bersifat sementara

maupun permanen, tidak terkecuali Kementrian Ketenagakerjaan.

Berikut adalah nama-nama lembaga pemerintah yang menangani

masalah terkati ketenagakerjaan sejak awal berdirinya Indonesia:9

a) Kementrian Sosial (19 Agustus1945).

b) Pada tanggal 3 Juli 1947 dibentuk Kementrian Perburuhan

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1947 tanggal 25

Juli 1947 ditetapkan tugas pokok Kementrian Perburahan

kemudian berdasarkan Peraturan Manteri Perburuhan (PMP)

Nomor 1 Tahun 1948 tanggal 29 Juli 1947 ditetapkan tugas

pokok Kementrian Perburuhan yang mencakup tugas urusan-

urusan sosial menjadi Kementrian Perburuhan dan Sosial.

c) Pada masa transisi 1966-1969, Kementrian Perburuhan diubah

namanya menjadi Departemen Tenaga Kerja (Depnaker)

d) Pada Kabinet Pembangunan II, Departemen Tenaga Kerja

mengalami perubahan kembali dan mengalami perluasan ruang

lingkup menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan

Koperasi, yang mengakibatkan tugas dan fungsinya tidak hanya

mencakup permasalahan ketenagakerjaan tetapi juga mencakup

permasalahan ketransmigrasian dan pengkoperasian.

9
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, “Tentang Kemnaker,” last modified
2018, diakses Februari 10, 2022, https://kemnaker.go.id/information/about.
27

e) Pada Kabinet Pembangunan III, unsur koperasi dipisahkan

sehingga menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

(Depnakertrans).

f) Pada Kabinet Pembangunan IV dibentuk Departemen

Transmigrasi, sehingga unsur transmigrasi dipisah dari

Depnaker.

g) Pada masa reformasi tepatnya pada tanggal 22 Februari 2001

Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Transmigrasi

kemudian bergabung kembali menjadi Kementrian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans).

h) Hingga pada Kabinet Kerja tahun 2014. Kementrian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi berubah nama menjadi Kementerian

Ketenagakerjaan Republik Indonesia atau Kemnaker.

b. Objek Hukum Ketenagakerjaan

Adapun yang menjadi objek hukum ketenagakerjaan adalah

sebagai berikut:10

1) Pelanggaran atas suatu ketentuan dalam terpenuhinya pelaksanaan

sanksi hukuman, baik yang bersifat administratif maupun bersifat

pidana sebagai akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam suatu

peraturan perundang-undangan.

10
Arifuddin Muda Harahap, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,” Cetakan I. (Batu:
Literasi Nusantara, 2020), 21.
28

2) Terpenuhinya ganti rugi banyak pihak yang dirugikan sebagai akibat

wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya terhadap perjanjian

yang telah disepakati.

B. Pemutusan Hubungan Ketenagakerjaan

1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja

Berdasarkan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 Angka 25

UU 13/2003 pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja

karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan

kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam bidang

ketenagakerjaan sendiri pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu

dari perselisihan hubungan industrial yang kerap kali menjadi masalah yang

menimbulkan konflik antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi

kerja. Perselisian hubungan industrial ini dikenal dengan istilah perselisihan

pemutusan hubungan kerja.

Dalam UU 13/2003 sendiri ketentuan mengenai pemutusan

hubungan kerja sendiri diatur secara jelas dalam Pasal 150 – 172. Ketentuan

tersebut berlaku pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak

berbadan hukum, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik

badan hukum, milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha

sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan

orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

2. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja


29

Dalam Pasal 81 Angka 42 Pasal 154A UU 11/2020, pemutusan

hubungan kerja dapat terjadi oleh karena hal sebagai berikut:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan,


atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh;
b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan
perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami
kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force
majeur);
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran
utang;
f. perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh
pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut:
1) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
2) membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
3) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun
pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
4) Tidak melakuan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
5) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di
luar yang diperjanjikan; atau
6) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang
diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus
memenuhi syarat:
1) mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
30

2) tidak terkait dalam ikatan dinas; dan


3) tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri;
j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-
turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti
yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara
patut dan tertulis;
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama,
kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku
untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam)
bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana;
m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
o. pekerja/buruh meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai