Abstrak
Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS) adalah kondisi klinis yang timbul dari
komplikasi diabetes mellitus. Kondisi klinis ini sebelumnya disebut koma hiperglikemik
non-ketotik; sindrom hiperosmolar hiperglikemik non-ketotik, dan koma hiperosmolar
non-ketotik (KHONK). Kriteria diagnostik HHS saat ini meliputi kadar glukosa plasma
>600 mg/dL dan peningkatan osmolalitas plasma efektif >320 mOsm/kg tanpa adanya
ketoasidosis. Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS) biasanya terjadi dengan
tingkat insulinopenia yang lebih rendah dibandingkan dengan diabetic ketoacidosis
(DKA), tetapi patofisiologinya dianggap sama. Angka kematian pada Hyperosmolar
hyperglycemic syndrome (HHS) dapat mencapai 20% yaitu sekitar 10 kali lebih tinggi
daripada kematian yang terlihat pada ketoasidosis diabetikum. Hasil klinis dan
prognosis pada HHS ditentukan oleh beberapa faktor: usia, derajat dehidrasi, dan ada
atau tidaknya penyakit penyerta lainnya.
Kata Kunci: Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS), koma hiperglikemik non-
ketotik, diabetes mellitus, diabetic ketoacidosis (DKA)
Abstract
Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS) is a clinical condition arising from
complications of diabetes mellitus. This clinical condition was previously called a non-
ketotic hyperglycemic coma; non-ketotic hyperosmolar hyperglycemic syndrome, and
non-ketotic hyperosmolar coma (KHONK). Current HHS diagnostic criteria include
plasma glucose levels >600 mg/dL and an increase in effective plasma osmolality >320
mOsm/kg in the absence of ketoacidosis. Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS)
usually occurs with lower insulinopenia levels compared to diabetic ketoacidosis
(DKA), but its pathophysiology is considered the same. The mortality rate in
Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS) can be up to 20% which is about 10
times higher than the death seen in diabetic ketoacidosis. Clinical outcomes and
prognosis in HHS are determined by several factors: age, degree of dehydration, and
the absence or absence of other accompanying diseases.
Keyword: Hyperosmolar hyperglycemic syndrome (HHS), non-ketotic hyperglycemic
coma, diabetes mellitus, diabetic ketoacidosis (DKA)
Copyright holder: I Gusti Bagus Widiamatra Linggabudi, Rani Salsabilla, Elvika Aulia Fitroningtyas
(2022)
DOI : https://doi.org/10.54543/fusion.v2i02.150
Published by : Rifa Institute
I Gusti Bagus Widiamatra Linggabudi, Rani Salsabilla, Elvika Aulia Fitroningtyas
Pendahuluan
Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemia berat, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Insiden pasti
HHS tidak diketahui, tetapi diperkirakan mencapai <1% dari rawat inap pada pasien dengan
diabetes. Sebagian besar kasus HHS terlihat pada pasien lanjut usia dengan diabetes tipe 2;
Namun, hal itu juga telah dilaporkan pada anak-anak dan dewasa muda (Stoner, 2017).
Angka kematian keseluruhan diperkirakan mencapai 20%, yaitu sekitar 10 kali lebih
tinggi dari kematian pada pasien dengan ketoasidosis diabetik (DKA). Prognosis ditentukan
oleh tingkat keparahan dehidrasi, adanya penyakit penyerta, dan usia lanjut. Pengobatan HHS
diarahkan untuk menggantikan defisit volume dan mengoreksi hiperosmolaritas,
hiperglikemia, dan gangguan elektrolit, serta pengelolaan penyakit yang mendasari yang
memicu dekompensasi metabolic (Pasquel & Umpierrez, 2014).
Protokol infus insulin dosis rendah yang dirancang untuk mengobati DKA tampaknya
efektif; namun, tidak ada penelitian prospektif acak yang menentukan strategi pengobatan
terbaik untuk pengelolaan pasien dengan HHS. Di sini, kami menyajikan tinjauan ekstensif
literatur tentang koma diabetik dan HHS untuk memberikan perspektif historis tentang
presentasi klinis, diagnosis, dan pengelolaan komplikasi diabetes yang serius ini (Anil
Bhansali, 2018).
Metode Penelitian
Penulisan artikel ini menggunakan berbagai jenis sumber yang berasal dari jurnal ilmiah.
Pencarian sumber dilakukan di portal online publikasi jurnal seperti Pusat Nasional untuk
Informasi Bioteknologi / NCBI (ncbi.nlm.nih.gov) dan Google Scholar
(scholar.google.com). Kata kunci yang digunakan adalah "Hyperosmolar Hyperglycemic",
"Diabetes Mellitus", dan "Diabetic Ketoacidosis" (Triandini et al., 2019).
ini akan meningkat menjadi 629 juta kasus pada tahun 2045 (Zamri & Rahayu Oktaliani,
n.d.).
Prevelensi diabetes di Indonesia masuk kedalam peringkat keenam di dunia dengan
jumlah kasus sebanyak 10,3 juta jiwa dan diperkirakan angka ini akan meningkat menjadi
21,3 juta jiwa pada tahun 2030 jika tidak ditangani dengan baik. Diabetes merupakan
penyakit yang berbahaya dan mematikan, menurut data kementerian kesehatan pada tahun
2014, diabetes mellitus dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di
Indonesia dengan persesntase sebesar 6,7% setelah stroke dan penyakit jantung coroner.
Komplikasi akut dari diabetes mellitus adalah ketoasidosis diabeteikum (KAD) dan
Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS) (Milanesi & Weinreb, 2015).
Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS) merupakan istilah yang dipakai
menggantikan KHH (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik
Hiperosmolar Non Ketotik) pada komplikasi akut diabetes mellitus. Insiden pasti HHS masih
belum diketahui secara pasti, akan tetapi diperkirakan bahwa kurang dari 1% penderita
diabetes melitus akan mengalami HHS. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Agrawal
et al, 2018 menunjukkan bahwa 13,8% dari 390 keadaan darurat hiperglikemik pada
pediatrik akan mengalami kombinasi KAD dan HHS, sementara 0,8% diantaranya hanya
melibatkan HHS saja (Dewan et al., 2018).
Angka kematian HHS diperkirakan setinggi 20%, yaitu sekitar 10 kali lebih besar
daripada Ketosidosis Diabetik (KAD). Sebagian besar kasus HHS terjadi pada usia rata-rata
60 tahun atau pada decade kelima dan keenam kehidupan. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan HHS terjadi pada usia lebih muda, hal ini terkait dengan meningkatnya obesitas
dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak. Obesitas ekstrim dengan indeks masa tubuh
lebih dari 30 dan adanya diabetes tipe 2 tampaknya meningkatkan resiko untuk terjadinya
HHS pada remaja.
Selain itu HHS juga dapat terjadi sebagai komplikasi pada mereka yang datang tanpa
adanya diabetes, misalnya setelah luka bakar yang parah, dialysis peritoneal ataupun
hemodialisis. Penggunaan obat-obatan seperti metadon, diuretic, kortikosteroid, beta-blocker
dan fenitoin juga mempunyai resiko tinggi untuk terkena HHS (McNaughton et al., 2011).
HHS merupakan suatu kedaruratan metabolik yang serius namun jarang ditemui, angkat
morbiditas dan mortalitas sangat tinggi jika tidak ditangani dengan segera dan adekuat.
C. Patogenesis
Patofisiologi HHS hampir sama dengan DKA yang di cirikan dengan kondisi terjadinya
defisiensi insulin. Dibandingkan dengan DKA, produksi badan keton pada HHS lebih sedikit.
Hal ini terjadi karena pada HHS insulin masih diproduksi dengan tingkat yang lebih tinggi
oleh sel beta pancreas dan tingkat produksi hormone glucagon yang lebih rendah. Pada HHS,
konsentrasi insulin masih memadai untuk menghambat proses lipolisis pada jaringan
adiposit, sehingga tidak terjadi peningkatan kadar badan keton. Oleh sebab itu, pembentukan
badan keton atau ketonemia dan acidemia pada pasien HHS sedikit dibandingkan pada KAD
(Ng & Edge, 2017).
Pada HHS akan terjadi defisiensi insulin yang menyebabkan hambatan pergerakan
glukosa ke dalam sel sehingga terjadi penumpukan glukosa dalam darah. Akibatnya sel akan
kekurangan nutrisi dan tubuh akan memberikan feedback yaitu pembentukan hormone
glucagon. Peningkatan hormone glucagon akan menyebabkan glikogenolisis yang dapat
meningkatkan kadar glukosa dalam darah. konsentrasi glukosa yang tinggi pada kondisi
hiperglikemia akan berdampak pada peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel. Pada keadaan
hyperosmolar akan didapatkan peningkatan volume cairan intravascular akibat penarikan
cairan intrasel menuju ekstrasel (Wiyanto, 2020).
Tingginya kadar glukosa dalam darah akan dikeluarkan melalui ginjal. Saat terjadi
hiperglikemia ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorpsi sejumlah glukosa dalam darah
akibatnya terjadi glucosuria. Timbulnya glikosuria akan mengakibatkan diuresis osmotic
secara berlebihan (polyuria). Diuresis osmotic akan menyebabkan hilangnya elektrolit seperti
natrium dan kalium secara belebihan yang akan megakibatkan mengakibatkan dehidrasi
intraseluller, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus secara
terus menerus atau di sebut polidipsi. Keadaan glukosoria akan menyebabkan kegagalan pada
kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat
kehilangan air (Noordiana & Masnina, 2015). Karena hiperosmolaritas dan diuresis pasien
dengan HHS dapat mengalami defisit cairan hinggal 9L. Bila osmotic diuresis terus berlanjut,
hal ini akan menyebabkan terjadinya hipovolemik dan pada akhirnya berkembang menjadi
dehidrasi berat, penurunan laju filtrasi glomerulus, dan perbukukan kondisi hiperglikemia,
Koma adalah tahap akhir dari proses hiperglikemik ketika terjadi gangguan elektrolit berat
yang berhubungan dengan hipotensi.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis khas adalah polyuria dan polydipsia yang merupakan hasil dari
stimulasi pusat rasa haus akibat dehidrasi parah dan peningkatan osmolaritas. Selain itu ada
pula gambaran klinis lain diantaranya dehidrasi berat dengan turgor jaringan yang buruk,
mukosa buccal kering, bola mata cekung, ekstremitas dingin dan denyut nadi yang cepat
(takikardi) (Kurniawan, n.d.). Pada anak-anak biasanya gejalanya non spesifik seperti sakit
kepala, kelemahan, dan muntah atau bisa juga disertai dengan nyeri perut. Status mental
dapat ditemukan lucidity hingga disorientasi dan lethargy hingga koma. Koma sering terjadi
saat osmolaritas serum lebih besar dari 340 mOsm per kg. Secara umum akan di dapatkan
gambaran klinis sebagai berikut:
E. Diagnosis
Diagnosis pada pasien dengan HHS, ditegakkan dari hasil anamnesis seperti polyuria,
polydipsia, kelemahan, penglihatan kabur, dan kemunduran progresif dalam status mental.
Pasien yang mengalami HHS pada umumnya berusia lebih dari 60 tahun dengan infeksi.
Pada pemeriksaan fisik, pasien HHS sering kali memiliki tanda yang jelas seperti dehidrasi,
selaput mukosa kering dan turgor kulit yang buruk, atau hipotensi.
Diagnosa dapat ditegakkan jika ditemukan keadaan seperti plasma glukosa > 600 mg/dl,
hypovolemia, hiperglikemia (≥ 30 mmol/L atau 540 mg/dL) tanpa tanda hiperketonemia (pH
> 7.3, bikarbonat >18 mEq/L), osmolaritas ≥ 320 mOsm/Kg, dan tidak adanya ketoasidosis.
DKA dan HHS ditandai dengan defisiensi insulin absolut atau relatif, yang mencegah
tubuh memetabolisme karbohidrat dan menghasilkan hiperglikemia berat. Ketika kadar
glukosa darah meningkat, ambang glukosa ginjal kewalahan, dan urin menjadi lebih encer,
yang menyebabkan poliuria, dehidrasi, dan polidipsia. Pasien dengan DKA secara klasik
hadir dengan triad hiperglikemia yang tidak terkontrol, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton tubuh total. Di sisilain, HHS didefinisikan oleh perubahan status mental
yang disebabkan oleh hiperosmoalitas, dehidrasi yang mendalam, dan hiperglikemia berat
tanpa ketoasidosis yang signifikan (Widijanti et al., 2021).
F. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan KHONK adalah untuk menormalisasi osmolalitas,
mengembalikan kehilangan cairan serta elektrolit, menormalisasi kadar glukosa darah
sekaligus mencegah terjadinya trombosis vena maupun arteri, ulkus pada ekstremitas, serta
komplikasi lain seperti edema serebral. Untuk mencapai tujuan terapi tersebut, prinsip
penatalaksanaan pada pasien KHONK adalah: (1) rehidrasi adekuat secara intravena; (2)
pengaturan elektrolit; (3) pemberian insulin secara intravena; (4) diagnosis serta
penatalaksanaan awal terkait faktor pencetus dan masalah yang mendahului KHONK (Zamri,
2019). Berdasarkan dua hal tersebut, tatalaksana untuk pasien dengan KHONK adalah:
1. Pemberian NaCl 0,9% secara intravena (IV) untuk mengatasi dehidrasi yang
terjadi. Cairan ini bisa diganti dengan NaCl 0,45% jika osmolalitas tidak
mengalami penurunan setelah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. Terapi ini
diberikan dengan dosis 15-20 mL/kgBB/jam. Setelah beberapa jam, kadar
natrium dalam darah perlu dievaluasi. Jika hasil evaluasi tersebut menunjukkan
angka <135 mmol/L, maka pemberian NaCl 0,9% dilanjutkan dengan dosis 250-
500 mL/jam. Namun jika evaluasi tersebut menunjukkan angka yang normal,
maka cairan diganti menjadi NaCl 0,45%.
2. Jika kadar kalium sebelum terapi <3,3 mmol/L maka diberikan kalium dengan
dosis 40 mmol/; jika kadar kalium 3,3-4,9 mmol/L maka diberikan kalium dengan
dosis 20-30 mmol/jam; dan jika kadar kalium >5 mmol/L maka tidak perlu
diberikan tambahan kalium
3. Insulin diberikan dengan dosis 0,1 unit/kgBB secara bolus lalu secara intravena
dengan dosis 0,1 unit/kgBB/jam setelah pemberian cairan rehidrasi sebanyak 1
liter. Setelah kadar glukosa mencapai 300mg/dL (16,7 mmol/L), maka dosis
pemberian insulin diturunkan menjadi 1-2 unit/jam.
Kesimpulan
Koma hiperosmolar non ketotik (KHONK) atau saat ini dikenal dengan hyperosmolar
hyperglicaemic state (HHS) adalah kondisi klinis yang timbul dari komplikasi akut yang
parah dari diabetes yang umumnya terjadi pada pasien lansia penderita diabetes mellitus tipe
2. Penatalaksanaan HHS harus segera dilakukan untuk rehidrasi adekuat secara intravena;
pengaturan elektrolit; pemberian insulin secara intravena; diagnosis serta penatalaksanaan
awal terkait faktor pencetus dan masalah yang mendahului KHONK. Pasien HHS harus di
monitor secara berkala agar tidak terjadi perburukan keadaan pasien menjadi koma, atau
bahkan kematian.
BIBLIOGRAFI