Anda di halaman 1dari 2

Kontroversi Lagu ‘Joko Tingkir’

Nina Khaerunnisa (Komplek L Putri)

Baru-baru ini sering sekali terdengar di telinga kita sebuah lagu yang berlirikkan
“Joko Tingkir ngombe dawet jo dipikir marai mumet”. Lagu tersebut diciptakan oleh Pratama
yang kemudian menjadi populer ketika dibawakan oleh para penyayi dangdut koplo di
berbagai kanal media.
Kontroversi lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet saat ini sedang ramai diperbincangkan.
Pasalnya, lagu tersebut dinilai tidak pantas mengingat pemilik nama tersebut adalah kakek
buyut para ulama Jawa.
Dilansir dari nuonline.or.id pada Kamis 18/08/2022, “secara bahasa, lagu tersebut
sebenarnya tidak memiliki unsur negatif, mengingat ‘ngombe’ bukanlah hal yang buruk. Saya
yakin, seandainya zaman dulu sudah ada minuman dawet, para perawi hadis nggak bakal jadi
dhoif haditsnya gara-gara ngombe dawet," ujar Makyun Subuki, pakar linguistik dari UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Rabu (17/8/2022).
Kendati demikian, bila dilihat dari segi kepantasan, Makyun melihat memang tidak
pas. Pasalnya, Joko Tingkir adalah ulama dan kakek buyutnya ulama-ulama NU. "Rasanya
kurang elok dijadikan sampiran lirik lagu yang dipakai joget," ujar penulis buku Semantik:
Pengantar Memahami Makna Bahasa itu. Dia menekankan bahwa bahasa bukanlah masalah,
pengaturan bahasa adalah masalahnya. "Bukan bahasanya yang dianggap menyinggung, tapi
lingkungan penggunaannya," kata Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(PBSI) itu.
Namun yang lebih menarik bukanlah lagu tersebut menyinggung atau tidak,
melainkan latar belakang pemilihan nama Joko Tingkir untuk lirik sampiran tersebut. "Yang
lebih menarik bukan apakah lagu itu melecehkan, tetapi bagaimana Joko Tingkir bisa
menjadi sampiran lirik," ujarnya. Bagi Makyun, ini menandakan bahwa Joko Tingkir tidak
dikenal, apalagi terintegrasi dengan kesadaran keagamaan masyarakat. Itu tidak sesuai
dengan kesadaran agama mereka. “Mungkin ini berarti ada yang salah dengan pendidikan
sejarah Islam kita,” pungkas lulusan Pondok Pesantren Assidiqiyah Kebon Jeruk, Jakarta
Barat tersebut.
Johan Wahyudi, seorang dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan
pilihan kata “Joko Tingkir” hanya berbentuk sampiran, jadi lagunya tidak boleh terlalu
menyinggung. Dari perspektif seni untuk seni, itu tidak terlalu penting. "Di sini saya
menggunakan perspektif Gus Dur: Seni adalah untuk seni. Persepsi tentang sejarah bisa
menimbulkan salah paham," katanya.
Menulis lirik ini mungkin dimaksudkan untuk mengingatkan generasi milenial bahwa
ada tokoh bernama Joko Tingkir. Menurutnya, tidak perlu kesadaran sejarah yang
mendalam untuk membuat sebuah lagu. Yang terpenting adalah liriknya sederhana dan
mudah dinikmati pendengar. Hanya karena liriknya yang sederhana dan mudah diingat, Johan
melihat lagu Joko Tingkir dan pembelajaran sejarah sebagai dua hal yang berbeda.
Setelah menimbulkan kontroversi di masyarakat, akhirnya pencipta lagu ‘Joko
Tingkir Ngombe Dawet’ meminta maaf. Pratama meminta maaf dalam sebuah video yang
diunggahnya ke channel YouTube ‘Tama Halu 008’. Di video tersebut ia meminta maaf
kepada masyarakat Lamongan Jawa Timur dan semua pihak yang tersinggung oleh lagu-lagu
yang ia tulis. Ia mengatakan bahwa ia tidak mengetahui jika ‘Joko Tingkir’ merupakan sosok
ulama besar yang menurunkan ulama-ulama di Jawa.
Dari fenomena kontroversi lagu ‘Joko Tingkir Ngombe Dawet’ ini memberikan
sebuah refleksi bagi kita semua agar hendaknya selalu berhati-hati dalam memberikan
justifikasi pada sesuatu hal yang belum tentu benar atau salah tanpa melihat dan menelaah
lebih jauh penyebab bagaimana dan mengapa suatu hal dapat menuai pro dan kontra,
termasuk pada peristiwa kontroversi lagu ‘Joko tingkir ngombe dawet’ ini.
Segala sesuatu memang sudah seharusnya diletakkan pada tempat yang tepat. Namun
memang kadangkala sebuah opini tanpa dasar yang kuat dan benar boleh jadi atau bahkan
bisa menjerumuskan seseorang atau sekelompok orang kepada ketersesatan paradigma.
Editor: Arina Al-Ayya

Anda mungkin juga menyukai