Anda di halaman 1dari 4

Melanjutkan Perjuangan Ulama

(Refleksi Hari Kemerdekaan)

Sudah tak terbantahkan lagi bahwa pondok pesantren memiliki kontribusi besar
terhadap kemajuan bangsa dan negara tercinta ini. Pesantren adalah salah satu bagian
penting dalam dinamika sejarah pendirian bangsa Indonesia. Kontribusi besar ini menurut
Jamal Ma’mur (2022) tidak lepas dari peran organisasi sosial keagamaan terbesar
Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, NU adalah organisasi para ulama pesantren
dalam memperjuangkan tegaknya Aswaja dan kemajuan bangsa Indonesia.

Di antara peran penting kaum ulama dan santri dalam sejarah bangsa ini adalah
berjuang mengusir penjajah dari tanah Indonesia dengan membentuk Laskar Hisbullah dan
Sabilillah, mempertahankan kemerdekaan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
lembaga pendidikan yang ada di dalamnya.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari serangan kolonialisme tampak jelas


saat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengumandangkan “Resolusi Jihad” pada
tanggal 22 Oktober 1945 di mana isinya adalah mengajak umat Islam untuk membela dan
mempertahankan kemerdekaannya. Resolusi ini merupakan hasil kesepakatan wakil-wakil
daerah NU seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Resolusi
jihad inilah yang menjadi sumber energi meletusnya pertempuran 10 November 1945.
Kemerdekaan yang kita nikmati saat ini tidak lepas dari peran dan kontribusi
kalangan pesantren. Bagi kaum ulama dan santri, merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah merupakan harga diri yang harus
diperjuangkan. Karenanya, sampai kapan pun kontribusi kalangan pesantren tetap
dibutuhkan demi keutuhan NKRI. Dalam konteks ini, Ach. Dhofir Zuhry (2018)
menegaskan, pesantren adalah benteng NKRI yang paling kokoh sejak pra kemerdekaan,
masa revolusi bahkan hingga kini dan nanti.

Jihad Kekinian

HM. Amin Haedar dkk (2004) menyebutkan, para ulama tidak hanya terlibat dalam
perjuangan fisik melawan bangsa penjajah, tetapi turut juga ambil bagian dalam mendirikan
bangsa, aktif dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bersama-sama komponen
bangsa lainnya. Sejalan dengan itu, tidak berlebihan seandainya pada periode tahun 1959-
1965, pesantren disebut sebagai “alat revolusi” dan penjaga keutuhan NKRI.

Sudah semestinya, di Hari Kemerdekaan RI yang ke-77 tahun ini, semangat dan
perjuangan para ulama perlu kita kontekstualisasikan di era sekarang dalam merespons
tantangan zaman yang semakin rumit. Kontribusi para ulama dalam memerdekakan
Indonesia dari penjajah patut menjadi refleksi bagi kita semua terutama generasi muda.

Penting diingat bahwa peringatan Hari Kemerdekaan bukan sekadar seremonial


tahunan yang hampa makna. Jangan sampai kita terjebak dalam gegap gempita perayaan
proklamasi kemerdekaan. Tantangan di era digital sekarang ini semakin kompleks. Dalam
konteks inilah kita mesti melanjutkan perjuangan para ulama untuk berjihad sesuai
kemampuan kita masing-masing.

Dewasa ini bangsa kita masih menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan,
kebodohan, ketidakadilan, korupsi, politik identitas, dan defisit moral pemimpin. Inilah
ladang jihad yang harus kita garap. Jangan sampai persoalan ini tumbuh subur tanpa
penanganan dan perhatian dari kita.

Tantangan lain yang mesti menjadi perhatian adalah masifnya penyebaran konten-
konten radikal di ruang digital. Perkembangan media sosial sering kali dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu untuk menyebarkan paham radikal dan perekrutan teroris. Tentu saja,
penyebaran paham radikal di dunia maya sangat membayakan bagi generasi muda. Bagi
mereka yang tingkat literasi digitalnya masih rendah ajakan aksi terorisme dengan dalih
jihad di jalan Allah akan mudah diterima dan terhanyut di dalamnya.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli
Amar membeberkan, sebanyak 600 akun media sosial (medsos) terindikasi mengandung
paham radikalisme (Jawa Pos, 25/1/2022).

Praktik intoleransi dan penyebaran paham radikal melalui platform digital telah
membuat relasi keagamaan dan kebangsaan semakin merenggang. Dalam hal ini, pesantren
melalui kiai dan santrinya harus bisa membendung dan meluruskan pemahaman yang
sering disebarkan kelompok radikal. Inilah jihad kebangsaan kaum santri di era kekinian.

Pihak pesantren harus menguasai ruang digital untuk mendakwahkan ajaran Islam
yang ramah, santun, dan toleran kepada seluruh umat manusia. Kaum santri tidak boleh
mendiamkan pemahaman radikal yang terus bertebaran di dunia maya. Pesantren harus
berada di garda terdepan dalam membumikan doktrin Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Negara telah mengakui kontribusi pesantren dalam momentum kemerdekaan.


Karenanya, perjuangan para ulama terdahulu dalam mempertahankan kemerdekaan perlu
dilanjutkan. Ke depan, pesantren dan santrinya diharapkan mampu memaksimalkan
perannya dalam menyelesaikan berbagai masalah kebangsaan dengan terus menguatkan
nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Wallahu a’lam bish
shawab.

Oleh: Hermansyah Kahir*

Editor: Irfan Fauzi

*Penulis adalah alumni pondok Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Al-Amien


Prenduan (2004-2006)

Anda mungkin juga menyukai