Anda di halaman 1dari 3

Muslimah Kaltim Perindu Surga

UU IKN Disahkan: Prioritas untuk Rakyat Kembali Dipertanyakan

Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd

(Alumni Pascasarjana Unlam)

#MuslimahKaltimPerinduSurga - Rapat Paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang Ibu


Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-undang pada Selasa lalu (18/1). Seluruh poin yang tertuang di
RUU IKN telah disepakati seperti IKN baru berbentuk otorita setingkat provinsi hingga pemimpin IKN
baru ialah kepala otorita.

Ahmad Doli Kurnia selaku Ketua Pansus RUU IKN mengatakan telah mengebut pembahasan RUU IKN
agar segera dapat menjadi payung hukum para investor yang mau terlibat mendanai pembangunan ibu
kota baru.

Oligarki dan Penjajahan Asing Makin Berkuasa

Dapat dikatakan pemerintah Indonesia ambisius membangun Ibu Kota Negara (IKN) meski pandemi
masih melanda, keuangan defisit dan utang luar negeri yang tinggi.

Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia yaitu US$416,4 miliar pada akhir November
2021. (, 21/1/2022)

Betapa pemerintah ambisius membangun IKN baru dengan kondisi yang sebenarnya tidak mendukung
kecuali berharap pada investasi asing. Padahal investasi atau kerja sama dengan asing baik level negara
atau lembaga tentu tidak ada yang gratis. “No free lunch”, asing tidak mungkin terlibat dalam IKN baru
tanpa ada keuntungan.

Keterlibatan asing dan oligarki justru akan menjadikan pengambilan keuntungan ekonomi tersalurkan
kepada mereka bukan untuk rakyat yang hanya sebagian kecil. Akhirnya prioritas untuk rakyat pun
dipertanyakan dengan disahkannya UU IKN.
Indonesia sudah semakin tergantung dengan asing. Bagaimana tidak ibu kota sebagai pusat
pemerintahan dan kebanggaan justru dari sisi pendanaan berasal dari negara atau asing termasuk para
oligarki. Andai dikatakan proyek IKN akan menyedot keuangan negara, tentu ini tidak patut.

Pemerintah seharusnya tidak perlu memaksakan pindah ibu kota Indonesia. Apapun alasannya
melibatkan asing dan para kapital dalam IKN baru akan membuat mereka semakin berkuasa.

Pemerintah akan disetir oleh mereka sehingga negara pun tidak lagi mandiri dan berdaulat. Kerja sama
atau investasi bagaikan utang bahkan strategi penjajahan baru (neoimperalisme).

Keinginan dan tekad kuat untuk mandiri seharusnya ditancapkan oleh negarawan pemegang kekuasaan.
Mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis. Cukup sudah selalu libatkan asing dan
swasta, Indonesia semakin terjajah jika terus-terusan berharap pada investasi.

Belajar dari Sejarah Islam dalam Pindah Ibu kota

Sungguh Allah swt telah melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-
orang beriman:

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141).

Ayat ini relevan untuk dijadikan dalil keharaman memberikan jalan kepada pihak asing (kaum kafir)
dalam menyelesaikan urusan kaum mukmin.

Merujuk pada sejarah peradaban Islam, sejatinya Khilafah tidak antiasing. Rasulullah saw dan para
Khalifah setelah beliau sebagai pemimpin negara acapkali melakukan hubungan dan kerja sama dengan
bangsa lain.

Namun, tentu berbeda dengan saat ini hubungan yang dibangun oleh para pemimpin muslim dulu
mencerminkan kewibawaan, keberanian, dan kemerdekaan sebagai negara ideologis Islam yang
berdaulat, jauh dari sikap pengecut, tidak mau tunduk pada tekanan asing, apalagi menjadi budak
mereka.

Terkait dengan pemindahan ibu kota negara, sejarah Islam mencatat bahwa pernah terjadi dalam
beberapa kali di masa Kekhilafahan. Artinya, perpindahan IKN bukanlah hal yang terlarang atau haram,
tetapi boleh saja untuk dilakukan sepanjang pembiayaan yang ada memang berasal dari kas sendiri.

Dalam sistem pengaturan keuangan Islam, maka pos-pos pemasukan dan pengeluaran jelas darimana
sumbernya. Pembiayaan pembangunan infrastruktur akan bersumber dari proteksi beberapa kategori
kepemilikan umum, seperti minyak dan gas bumi, termasuk batu bara dan barang mineral lainnya yang
bernilai ekonomis. Di mana pengelolaannya dilakukan oleh negara dan hasilnya untuk rakyat, dan
negara boleh menjual ke luar negeri jika pemenuhan kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi dan hasil
penjualan akan masuk ke dalam Baitul Mal yang nantinya akan dipakai untuk kemaslahatan masyarakat.

Selanjutnya adalah dharibah, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim, laki-laki dan mampu. Sifatnya
tidak tetap, diambil di saat Baitul Mal dalam keadaan tidak ada dana atau tidak mencukupi. Jika Baitul
Mal sudah tercukupi dananya, maka dharibah ini akan dihentikan. Oleh karena itu, kemandirian dalam
pembiayaan infrastruktur adalah sebuah keharusan, ini menjadikan negara mempunyai kedaulatan
sendiri, tidak bisa didikte oleh negara lain.

Dengan kembali kepada konsep Islam dalam menjalankan kehidupan bernegara adalah hal yang wajib
bagi muslim. Termasuk memandang pemindahan ibu kota yang tentu akan bisa terselesaikan hanya
dengan syariat Islam dan pastinya membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai