Seri 1 - Buku 005
Seri 1 - Buku 005
Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling
itu tak akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan
pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekali.
Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula, “Nah, aku
sangka Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya,
bersama-sama Agung Sedayu.”
“Ya Kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat
membasahi keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung
Sedayu agar berbuat sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya
kepada kemampuan diri.
Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada
persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-
orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan
dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan
lebih banyak permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya
sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau
Citra Gati.”
Hudaya dan Citra Gati yang berdiri di belakang Widurapun tersenyum masam.
Namun mereka tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura
memberi kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan
meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu.
Bukankah dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya,
apabila ada akibat dari permainan ini? Seandainya ia melampaui Sidanti, sedang
Sidanti itu kemudian marah kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab
pamannya?
Karena itu, terdorong pula oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung
Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya.
Katanya lirih, “Baiklah Paman. Kalau Paman menghendaki.”
Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum
kepadanya. Karena itu hati Agung Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikan tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang melingkari mereka itupun kemudian berlari-larian menyibak.
Sedang Swandaru menjadi bergembira pula. Segera iapun berlari-lari pula
berkeliling lapangan untuk memungut panah-panahnya yang berserakan di sekitar
orang-orangan yang telah dilepas kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi
apabila mereka berdua harus mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya
sekali. Mereka pasti akan dengan mudah dapat mengenainya.