Anda di halaman 1dari 2

Ringkasan Transkip Meeting Zoom Bersama Dr. Zainal Mustafa Eq, M.M.

1. Populasi adalah semua unit analisis yang diteliti. Jika populasi diteliti semua, maka
metode pengumpulan data yang digunakan adalah sensus. Setelah populasi diolah
dan dianalisis menghasilkan data yang disebut dengan parameter. Jadi, parameter
adalah angka-angka hasil analisis yang diperoleh dari populasi. Parameter bukan
indikator. Jadi, hipotesis adalah klaim kesimpulan peneliti tentang parameter, bukan
populasi statistik.
2. Jika populasi tidak diteliti semua, maka digunakan sampel. Sampel berperan sebagai
penduga dari populasi. Sampel harus representatif yang diukur berdasarkan minimum
error. Dalam model lama, minimum error ditentukan 5%, yang disebut dengan taraf
signifikansi 5%. Sampel digunakan ketika peneliti tidak mampu menghitung populasi.
Jika populasi bisa dihitung, maka tidak perlu menggunakan sampel.
3. Pada prinsipnya, sampel dan populasi tidak pernah ketemu, sehingga sampai kapan
pun peneliti tidak pernah mengetahui secara pasti, apakah dugaan (hipotesis) yang
diajukan itu benar atau salah. Karena itu, setiap dugaan harus didasari oleh teori yang
mapan, itulah yang disebut hipotesis.
4. PLS adalah software yang bisa digunakan dalam konteks (hipotesis) penelitian tidak
didukung teori yang kuat. PLS juga bisa digunakan ketika jumlah sampel terbatas (tidak
memenuhi standar minimal). Berbeda dengan software Amos yang hanya mau
mengolah data dengan sampel besar, sesuai standar normalitas.
5. Populasi harus dapat diidentifikasi. Proses identifikasi ini disebut regresi, sebagai
kebalikan dari progres. Jika progres berorientasi ke depan, sebaliknya regres adalah
bergerak mundur, mencari data ke belakang. Regresi dibangun oleh Keynesian
menggunakan time series.
6. Jadi proses penelitian adalah: menentukan teori sebagai penduga/hipotesis, hipotesis
berkaitan dengan populasi, tidak bisa untuk statistik tapi parameter, tapi yang diuji
adalah sampel, dari sampel punya hasil, dari hasil digeneralisasi untuk menentukan
apakah hipotesis bisa diterima atau ditolak.
7. Hipotesis berasal dari hipotesis nihil (nol hipotesis) yang mengatakan ketiadaan,
simbolnya sama. Artinya, tidak ada perbedaan dan tidak ada pengaruh, tidak ada
hubungan. Hipotesis nihil sebagai basis pengujian 0 hipotesis, maka yang muncul
adalah: yang menolak 0 (nol hipotesis), yang menerima 0 (nol hipotesis), tidak lazim
mengatakan: terima H1, tolak H1, tapi yang tepat adalah H0.
8. Setiap peneliti mengasumsikan hipotesisnya benar. Tetapi pada akhirnya yang
menentukan salah atau benar adalah uji hipotesis. Sebagai peneliti tentu akan
mengharap hasil uji hipotesis menolak H0. Jika ternyata hasilnya menerima H0, maka
peneliti harus melakukan evaluasi, di mana letak kesalahannya?
9. Ada yang disebut “kesalahan tipe 1”. Yaitu, ketika peneliti menolak hipotesis nihil,
padahal hipotesis itu benar. Kalau hipotesis benar, mestinya diterima, tapi ternyata
ditolak. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan, karena tidak mungkin H0 100% benar.
Itulah mengapa kesalahan tipe 1 muncul, karena peneliti merasa benar, tapi ada yang
salah. Artinya, ketika peneliti menolak H0, tidak selamanya H0 itu sepenuhnya salah,
dan tidak sepenuhnya juga benar.
10. Berapa besarnya kesalahan tipe 1? Harga kemungkinan (probabolitas) tipe 1 disebut
alfa, atau signifikansi level, atau bevalue. Alfa atau signifikansi level adalah
probabilitas nilai harga. Jika alfanya 5%, berarti kemungkinan kesalahan karena
menolak sesuatu yang benar, hanya 5%, dan selebihnya 95% benar. Jika probabilitas
tidak membuat kesalahan baru, disebut dengan convident level, satu minus alfa.
11. Ada yang disebut dengan kesalahan tipe 2, sebagai kebalikan dari kesalahan tipe 1.
Yaitu, menerima H0, padahal H0 sebenarnya salah. Peneliti menyimpulkan tidak ada
perbedaan, padahal sesungguhnya ada perbedaan; menyimpulkan tidak ada
pengaruh, padahal sesungguhnya ada pengaruh. Hal ini disebut dengan kesalahan tipe
2. Probabilitas kesalahan tipe 2 disebut dengan beta. Jika peneliti berhasil tidak
membuat kesalahan tipe dua, satu dikurangi beta, inilah yang disebut dengan power
of the test (kekuatan uji).
12. Dari dua kesalahan di atas, jika dibandingkan, kesalahan tipe 1 lebih ditolerir daripada
kesalahan tipe 2. Hal ini karena menolak H0 itu mempunyai risiko yang lebih kecil
dibandingkan dengan menerima H0.
13. Idealnya, peneliti memiliki power of the test (kekuatan uji) untuk mendeteksi agar hasil
uji hipotesis diharapkan alfa dan beta sama sama kecil, sehingga satu minus beta kecil.
Namun dalam praktiknya, jika alfa kecil maka mesti beta besar, karena berlawanan.
Sebaliknya, jika beta dikecilkan, maka alfanya besar. Karena tidak mungkin keduanya
sama-sama kecil, dengan mempertimbangkan konsekuensi risiko, maka alfa dipilih
sebagai dasar pengambilan keputusan, bukan beta (memilih kesalahan tipe 1). Sangat
jarang peneliti dalam riset menyinggung power of test.
14. Peneliti harus memiliki keberanian dan reasoning untuk mempertahankan
hipotesisnya didukung dengan power of test, termasuk berani mengubah standar taraf
signifikansi 5%, misalnya, dinaikkan menjadi 10%. Peneliti harus berani menyatakan
risiko dalam melakukan kesalahan pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai