Tugas PKN
Tugas PKN
NIM : 043061915
Prodi : Akuntansi Keuangan Publik
UPBJJ : Malang
LEMBAR JAWABAN
Faktor Sumber Daya Manusia adalah Manusia sebagai pelaku pemerintahan daerah harus
mampu menjalankan tugasnya dalam mengurus rumah tangga daerah demi tercapainya
tujuan. faktor yang menentukan kualitas SDM ialah pendidikan, terutama pendidikan dasar
dan menengah. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) mulai tahun 2019 dan
selanjutnya menjadi pengarusutamaan strategi pembangunan bangsa Indonesia ke depan,
pilihan strategi tersebut diupayakan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang
dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Urgensi pembangunan sumber daya
manusia menjadi faktor kunci dalam memenangkan persaingan global, yang membawa
konsekuensi semakin ketatnya persaingan ditengah ketidakpastian, langkah strategis ini
sudah selayaknya mendapatkan dukung penuh dari seluruh pemangku kepentingan.
Penguatan sumber daya manusia menuju manusia unggul memiliki korelasi yang erat dengan
peningkatan produktivitas kerja, dalam memenangkan persaingan ditengah perubahan-
perubahan yang berlangsung cepat dalam dunia bisnis, ekonomi politik dan budaya.
Kemampuan Struktural Organisasi yaitu Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu
menampung segala aktivitas dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Ada beberapa
faktor yang memengaruhi struktur organisasi, yaitu strategi organisasi, skala organisasi,
teknologi, serta lingkungan. Besaran organisasi perangkat daerah, sekurang- kurangnya juga
harus mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas, luas wilayah
kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah, serta sarana
dan prasarana penunjang tugas.
Faktor Anggaran: Sebagai alat utama dalam pengendalian keuangan daerah, sehingga
dibutuhkan rencana anggaran yang tepat guna. Proyeksi Jumlah Pajak yang Diterima. Salah
satu faktor penting yang menentukan besarnya pengeluaran pemerintah adalah
- jumlah pajak yang diramalkan.
- Tujuan-tujuan Ekonomi yang Akan Dicapai.
- Pertimbangan Politik dan Keamanan.
Faktor Peralatan: Setiap alat yang digunakan harus mampu memperlancar kegiatan
pemerintah daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan
bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada
semua aspek pemerintahan.
Manajemen yang Baik: susunan organisasi beserta pejabat, tugas,dan wewenang harus
memiliki hubungan yang baik dalam rangka mencapai tujuan. Rangkuman Manajemen
Pemerintahan daerah dimaksudkan sebagai pengaturan aktivitas usaha atau kegiatan yang
dilakukan dalam organisasi pemerintahan daerah guna tercapainya tujuan Daerah / Negara
dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya yang dimiliki dengan secara efisien dan efektif.
Di tengah gejolak ekonomi dunia yang semakin bersaing, Indonesia dituntut untuk tetap
konsisten menaikkan angka pertumbuhan ekonomi, guna menjawab masalah peningkatan
kesejahteraan rakyat. Hal ini berbarengan dengan derasnya harapan untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara maju dengan potensi bonus demografi dan anugerah sumber daya
alam.
Komitmen Politik: Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat
selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi.
Masih Terpaku pada Sentralisai: Daerah masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap
pusat, sehingga mematikan kreativitas masyarakat dan perangkat pemerintahan di daerah.
Kesenjangan Antardaerah: Kesenjangan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, serta
intra struktur ekonomi.
Ketimpangan Sumber Daya Alam: Daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam
tetapi populasi penduduknya tinggi akan terengah-engah dalam melaksanakan otonomi.
Benturan Kepentingan: Adanya perbedaan kepentingan yang sangat melekat pada berbagai
pihak yang menghambat proses otonomi daerah, seperti benturan keinginan pimpinan daerah
dengan kepentingan partai politik.
Keinginan Politik atau Political Will: Keinginan politik yang tidak seragam dari pemerintah
daerah untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat dan daerah.
Perubahan perilaku elit lokal: elit lokal mengalami perubahan perilaku dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah karena pengaruh kekuasaan yang dimilikinya.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai
akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan
otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi
hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah
pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah
Pusat.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme
empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih
mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan
otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani
oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis.
Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari
suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang
dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik
bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak
diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu
strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga
tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan
terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah
otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller,
1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka
semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To
Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller,
1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini
diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah
diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada
kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya.
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai keadaan di
mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini
didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan
perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai
kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian. Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22
Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang
menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah
“negara kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah),
tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang
mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut,
di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat
991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai
”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda
dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun
1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara
yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal,
sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika
hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola
secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22
Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini
bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut. Memang tidak ada
salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun
dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini
agaknya menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti;
mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil
komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang
ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini
mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat
campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang
ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1)
dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan
kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat
Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya
hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada
lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural.
Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol
langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di
Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang
kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang
Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek
UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di
negara Federasi seperti Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution,
padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi
daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat dan Daerah tetap
terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi,
Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan
adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan
kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele Huishoudingsleer,
namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22
Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila
diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah
Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-
potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara
Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang
otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah
diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu. Malangnya UU No. 22
Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu
UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan.
Presiden B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5
Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi.
Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan.
Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya
sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar.
Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung
implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan
provinsi yang bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak
bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh
karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep
otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi,
otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol,
empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan
interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep
otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.
Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan
otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan
berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya
membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah
daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis
subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak
dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat
tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi
“otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi
pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat
berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52)
yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu
mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat
daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya
menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi
Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan
terbaik bagi masyarakat.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral
dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi,
sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera
masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal
ini sudah sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat
diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi,
prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi,
prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan
pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah
disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai
tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan
proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan
pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah
dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama
dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi
pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah,
meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta
mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992) atau reinventing
government, 1992, 1997).
Kesalahan strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah
sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang
mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi
pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan
kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat
sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan
aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan
menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah
merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah
baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat
berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan
otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan,
kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Dari uraian tersebut maka dapat kita rincikan kendala pelaksanaan otonomi daerah seperti
terlihat dalam peta konsep berikut ini
3. Solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
• Adanya sosialiasai bagi masyarakat daerah mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang
dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah
Penjelasan:
Otonomi daerah merupakan pemberikan wewenang yang dilakukan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam mengelola dan melaksanankan pemerintahanya guna
memaksimalkan setiap potensi baik SDM dan SDA yang dimiliki oleh suatu daerah agar
memingkatkan daya guna dan hasil guna pemerintah daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
- Menjalin hubungan yang rukun dan harmonis bagi pemerintahan daerah dan pusat
- Kebebasan
Memberikan kebebasan bagi pemerintah pusat maupun mayarakat dalam mengambil
dan melaksanankan setiap kebijakan dalam rangka memecahakan masalah yang
sedang dihadapi bersama
- Partisipasi
4. Mahasiswa tidak selalu harus terjebak dalam kondisi dimana statusnya dalam kampus hanya
diartikan sempit dengan berkutat di dunia kampus yang hanya mempelajari disiplin ilmu yang
digelutinya. Hanya berusaha mempertahankan IPK yang setinggi tingginya. Namun tidak dapat
di pungkiri seperti itulah kondisi mahasiswa sekarang. Akan sia-sia saja mahasiswa yang
semasa kuliahnya hanya seperti itu. Menjadi mahasiswa yang apatis. Sebenarnya memang
tidak salah sebagai mahasiswa kita memiliki beban untuk belajar dengan sungguh-sungguh
dan berusaha untuk mendapat nilai yang baik sebagai tanggung jawab terhadap orang tua
yang telah membiayai kita dan sebagai syarat untuk meniti karir setelah lulus.
Akan tetapi, harus diingat bahwa tanggung jawab mahasiswa tidak hanya itu saja. Mahasiswa
masih memiliki banyak tanggung jawab lain yang harus dipenuhi. Mahasiswa memiliki
tanggung jawab untuk berkontribusi kepada masyarakat, di mana mahasiswa harus memiliki
kepekaan untuk berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi di luar dirinya maupun
kegiatan kampus, baik itu masyarakat umum di lingkungan kampus maupun masyarakat
sekitarnya atau bahkan permasalahan bangsanya. Terlebih lagi bagi mereka yang berkuliah di
universitas negeri, di mana kampusnya dibangun dengan uang masyarakat kecil. Sudah
sepatutnya mahasiswa itu lebih memiliki tanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu,
sebagai mahasiswa, kita diharapkan mempunyai andil dan kontribusi nyata terhadap
masyarakat.
Mahasiswa merupakan kelompok kaum intelektual muda yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa, sehingga mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting untuk
mewujudkan good governance di lingkungan masyarakat. Mahasiswa juga memiliki kewajiban
untuk memberikan upaya terbaik mereka di sela-sela waktu perkuliahan demi mewujudkan
perubahan yang baik di lingkungan masyarakat sekitarnya. Tiga peranan penting yang harus
dilakukan mahasiswa terhadap masyarakat untuk mewujudkan good governance, diantaranya
yaitu Agent of Change, Agent of Control, dan Iron Stock. Sebagai Agent of Change mahasiswa
tidak boleh hanya diam saja melihat kondisi lingkungan sekitarnya, namun mahasiswa
dituntut dapat melakukan suatu perubahan dan merubah kondisi lingkungan sekitarnya
menuju kearah yang lebih baik. Mahasiswa harus bisa bertindak sebagai katalis atau bisa
disebut sebagai pemicu terjadinya sebuah perubahan yang nantinya akan berdampak positif
serta memperjuangkan perubahan-perubahan yang mengarah pada perbaikan di dalam
kehidupan masyarakat. Mahasiswa juga sangat berperan penting untuk mewujudkan good
governance dalam sistem pemerintahan sebagai kontrol terhadap kebijakan yang telah dibuat
atau Agent of Control. Seperti mengkritisi dan mengamati keadaan yang sedang terjadi di
lingkungan masyarakat sekitarnya, baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan
masyarakat luas. Sebagai Agent of Control, mahasiswa diharuskan untuk terlibat sebagai
pelaku di dalam lingkungan masyarakat agar dapat menjadi panutan dalam masyarakat,
bukannya hanya sebagai pengamat yang hanya bisa duduk manis.
Sebagai aset atau cadangan masa depan suatu negara (Iron Stock), mahasiswa juga
diharapkan dapat menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa kepemimpinan serta memiliki
moralitas yang baik sehingga dapat menggantikan kepemimpinan generasi yang sebelumnya
sudah pernah memimpin. Maka dari itu untuk mewujudkan ketiga peranan penting tersebut
mahasiswa diharuskan untuk peduli dan melek dengan keadaan di lingkungan sekitarnya,
sehingga mahasiswa akan menyadari semua permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi
di tengah masyarakat. Karena, yang akan layak dan akan mampu mengusung perubahan
bangsa ini di kemudian hari hanyalah para mahasiswa yang sadar dan peduli dengan keadaan
yang terjadi di lingkungan sekitarnya.