Anda di halaman 1dari 3

Perempuan Bukan Alat Pemuas Nafsu Oknum Tidak Waras

Oleh Dewi Sri Murwati

Baru-baru ini kembali menjadi topik perbincangan di tengah masyarakat yaitu


mengenai kasus kekerasan seksual, yang mana korbannya tidak mendapatkan dukungan baik
dari penegak hukum serta keluarga terdekat. Mirisnya kasus kekerasan seksual ini dalam satu
warsa tidak hanya sekali terjadi, tahun 2021 kasus kekerasan seksual di Indonesia telah
mencapai angka 3.122 kasus. Menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) di tahun
2019 kekerasan seksual sering terjadi di 3 tempat. Pertama di jalanan dengan persentase 33%,
kedua di transportasi umum 19%, ketiga di sekolah dan kampus 15%. Ketiganya ini
merupakan ruang publik, sudah seharusnya menjadi hak bagi setiap individu untuk dapat
beraktivitas tanpa adanya gangguan dari orang lain, adanya kekerasan seksual ini perempuan
mendapat perampasan hak mereka untuk hidup tenang.

Menanggapi kasus kekerasan seksual, orang awam biasanya sering menyudutkan para
korban, mereka beranggapan bahwa ini murni kesalahan dari korban sendiri karena memakai
pakaian yang minim, berjalan di tempat sunyi pada malam hari, dan tanpa adanya
pendamping. Memang benar jumah kasus kekerasan seksual banyak terjadi pada malam,
namun kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi saat ada kegelapan saja, bahkan di siang hari
serta di kerumunan orang, aksi bejat ini sering dilakukan. Korbannya tidak hanya mereka
yang mengenakan pakaian minim saja, perempuan yang memakai pakaian muslim yang
sangat tertutup dan jauh dari kata menampilkan bentuk tubuhnya juga menjadi korban atas
tindakan oknum yang tidak waras. Masyarakat sepertinya sudah terdoktrin dengan stigma
bahwa perempuanlah yang seharusnya menjaga kehormatan dan melindungi dirinya sendiri,
sehingga masyarakat memandang hina korban kekerasan seksual dan justru malah
menyalahkan korban karena tidak bisa menjaga diri.

Direktorat Jendral Kemendikbud Ristek tahun 2020 menyebutkan bahwa 77% dosen
mengatakan kekerasan seksual banyak terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak
melaporkan kasusnya. Di lingkup pendidikan sekalipun, perempuan tidak mendapatkan
keamanan, perempuan seolah dibatasi geraknya, perempuan seakan terkekang dan tidak ada
ruang aman bagi dirinya. Dari persentase tersebut tidak diragukan lagi mereka yang
mengalami kekerasan ini takut mengungkapkan aksi dari oknum yang tidak tahu malu itu,
banyak perempuan yang menjadi korban, takut jika tak ada yang membela mereka, tak ada
tempat untuk mereka bercerita secara leluasa, tak ada wadah yang membuat mereka tidak
tersudutkan dan tidak mengalami tekanan. Korban kekerasan seksual seringkali tidak tahu
dimana mereka bisa melaporkan kasus mereka. Tidak adanya support dari orang-orang
terdekat makin membuat mereka merasa tidak mendapatkan keadilan, hal inilah yang
menyebabkan banyak perempuan korban kekerasan seksual yang malah mengakhiri hidup
sebagai jalan akhir untuk menuntaskan permasalahannya.

Penanganan kasus kekerasan seksual seringkali dianggap remeh, dalam video


berdurasi kurang lebih 1 menit, perempuan bernama Nasya Ayudianti Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, pada acara mata najwa dia mengungkapkan bahwa selama ini dia
sangat kesulitan dalam advokasi kasus kekerasan seksual, bahkan dia pernah mendapat satu
kasus dimana forum ad hoc kekerasan seksual disamakan dengan kasus plagiarisme. Padahal
kasus kekerasan seksual ini merupakan kejahatan kemanusiaan dan sudah seharusnya
ditangani dengan serius serta hukum yang adil harus diberikan kepada para oknum aksi
kekerasan seksual. Namun nyatanya saat ini alur mekanisme penanganan kasus kekerasan
seksual masih tidak jelas, tidak adanya sanksi tegas dari hukum dan sering kali dianggap
remeh membuat perempuan merasa takut untuk melaporkan kasus mereka. Kekosongan
hukum yang terlihat sangat jelas membuat para oknum yang tidak waras bebas
melenggangkan aksinya, para oknum tersebut seolah mendapatkan perlindungan dari hukum,
dan pembenaran dari aksi bejat mereka.

Dibentuknya satuan tugas pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual


khususnya di lingkungan kampus akan menjadi langkah awal untuk dapat mengurangi kasus
kekerasan seksual di dunia pendidikan, dengan adanya satuan tugas ini diharapkan dapat
membantu para korban kekerasan seksual untuk dapat memperjelas mekanisme alur
pelaporan agar korban kekerasan seksual lebih berani untuk melaporkan kasus mereka.
Satuan tugas pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual kedepannya dapat menjadi
wadah bagi korban kekerasan seksual yaitu sebagai tempat bercerita, teman, dan pembela
keadilan untuk mereka. Satuan tugas ini juga diharapkan membuat masyarakat terkhusus di
lingkungan kampus agar lebih memahami akan kekerasan seksual ini, membimbing,
mengarahkan, dan menjadikan lingkungan kampus yang lebih aman untuk perempuan serta
korban kekerasan seksual.

Tidak cukup hanya ada satuan tugas pencegahan dan penanganan kasus kekerasan
seksual saja, demi mencegah aksi ini semua golongan masyarakat harus tahu betul akan salah
dan rusaknya aksi kekerasan seksual ini. Pada dasarnya yang dipahami orang-orang akan
kekerasan seksual hanyalah kejahatan yang berhubungan dengan fisik. Sebenarnya kekerasan
seksual itu tidak hanya fisik saja, kekerasan seksual juga dapat berupa perkataan yang
cenderung mengarah ke seksualitas yang nantinya dapat merusak mental korban, lewat
ketikan komentar yang dilontarkan melalui media sosial juga dikatakan sebagai kekerasan
seksual. Pemahaman umum mengenai kekerasan seksual harus diketahui oleh semua orang,
jika orang paham akan kekerasan seksual ini maka nantinya dapat terbentuk ikatan yang
saling melindungi, mengamankan, dan saling menguatkan. Jika ada korban kekerasan seksual
mereka harus mendapatkan dukungan, bukan hinaan bahkan cacian. Adanya ikatan dari
semua pihak harapannya kasus kekerasan seksual ini tidak akan pernah terjadi lagi,
khususnya di dunia pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai