Anda di halaman 1dari 13

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI JAKARTA

Nama : Tumpal Samuel Silitonga


Nim : 221770040016
Mata Kuliah : Teologi Kontemporer (Presentasi 22 Februari 2022)
Program Studi : Doktor Teologi (D.Th)
Dosen Pengampu : Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D. dan Yonky Karman, Ph.D.

Mencari Arah Spiritualitas Baru Lewat Nyanyian Rohani (Buku Ende HKBP)
pada Jumat Agung Di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)

Pendahuluan
Spiritualitas merupakan kata yang lazim dan familiar dipahami umat beriman di
segala tempat. Segala kegiatan peribadahan umat beragama, baik personal maupun kom
unal, umumnya dipahami sebagai cikal-bakal hidup spiritualitas pemeluknya. Salah satu
dari kegiatan peribadahan orang Kristen adalah bernyanyi. Bagi gereja arus utama, sala
h satunya Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), nyanyian dalam ibadah selalu d
isusun berdasarkan tema perayaan liturgi. Lewat nyanyian rohani setiap Minggu, umat
akan memahami corak perayaan dan nama ibadah Minggu yang sedang dirayakan. Nyan
yian rohani dalam ibadah di gereja, lebih dari sekadar memenuhi tema Minggu dan cora
k perayaan, akan tetapi memuat unsur-unsur spiritualitas yang dapat dihidupi umat seh
ari-hari.
Makalah ini bertujuan untuk mencari arah baru spiritualitas di gereja HKBP lewa
t nyanyian rohani di Minggu Sengsara dan Jumat Agung. Penulis melihat kekhasan nyan
yian di Minggu Sengsara dan Jumat Agung sebagai sumber kekayaan spiritualitas orang
percaya, khususnya HKBP. Bagaimanakah corak spiritualitas yang diusung nyanyian HK
BP pada Jumat Agung? Lewat tulisan ini, penulis akan memaparkan corak teologi yang t
ermuat dalam nyanyian tersebut, guna mencari arah spiritualitas baru dari nyanyian ter
sebut.

Kata kunci: Spiritualitas, Nyanyian Rohani, Gereja, HKBP, Minggu Sengsara dan Jumat A
gung.
Pembahasan
Spiritualitas merupakan suatu bidang studi yang memuat unsur-unsur teologis, li
turgis, biblis, historis, psikologis, dan sosial. Spiritualitas dapat diwujudkan dalam perm
enungan dan praktik sistematis kehidupan manusia, yang dalam komunitas kristen dap
at diwujudkan dengan doa, kebaktian, dan disiplin. Pada akhirnya spiritualitas akan me
nolong pengikutnya untuk menjernihkan langkah para komunitas untuk bergerak dala
m hidup sehari-hari (Jan. S. Aritonang dan Antonius Eddy Kristiyanto. Peny., 2021, 645).
Satu unsur spiritualitas yang akan penulis kembangkan darinya adalah liturgi, khususny
a nyanyian rohani di Minggu Sengsara dan Jumat Agung.
Kata spiritualitas berasal dari bahasa Yunani, pneuma yang menunjuk pada roh
(band. 1 Kor. 6:17; 1 Kor. 2:10). Dalam pemahaman sederhana spiritualitas merupakan
manifestasi Roh Allah (Philip Sheldrake, 1998, 42). Teologi Spiritualitas mencakup tiga
kriteria yang saling berhubungan, yaitu kontekstual global, evangelis dan karismatik. Kr
iteria pertama menunjukkan bahwa teologi spiritual yang memadai harus dicirikan oleh
kepekaannya terhadap perbedaan kontekstual di dunia. Ia mengglobal bukan karena me
miliki karakter teologia perennis, artinya sesuai di semua tempat dan setiap saat, tetapi
karena ia mengakui bahwa dunia itu kompleks—terdiri dari konteks berbeda yang mem
bentuk perilaku dan pemikiran manusia. Kedua, warisan evangelis mengandung sumber
daya yang dapat digunakan untuk mengembangkan spiritualitas yang lebih terintegrasi
dan komprehensif. Hal ini dapat dilakukan teologi spiritualitas, sebab ia setia pada tradi
si Kristen. Kriteria ketiga, karismatik, penting karena juga merupakan komponen esensi
al dalam tradisi spiritual Kristen. Realitas karismatik memperluas doktrin kita tentang k
asih karunia. Hal ini mengingatkan kita bahwa kehidupan Kristen tidak terbatas pada p
ola aktivitas spiritual yang dapat diprediksi. Terkadang Tuhan bekerja dengan cara yang
mengejutkan dan tidak terduga. Ini adalah kebebasan Tuhan. (Simon Chan, 1998, 29-3
3)
Spiritualitas bukanlah kegiatan permanen dari dunia ke dalam biara, gurun, atau
gua, bukan pula menyepi ke suatu tempat untuk menenangkan hati dan pikiran. Spiritua
litas justru tampak di tengah-tengah pengalaman hidup, masuk ke dalam kepenuhan hid
up dengan memberi makna, nilai, dan arah pada semua hal yang sedang dilakukan man
usia. Spiritualitas lahir, muncul, dan terbentang dalam kehidupan manusia di bumi; ia te
rlihat tumbuh, mekar, dan berkembang. (Ursula King. 2008, 195). Spiritualitas adalah re
alitas yang dijalani manusia sebagai sebuah refleksi rohani dan formalisasi realitas seca
ra sistematis (Simon Chan Jilid 1. 1998, 8). Spiritualitas Kristen tertuang dalam ritual ib
adahnya. Lazimnya, kegiatan ibadah di gereja terdiri dari doa, pembacaan Alkitab, berny
anyi, dan khotbah. Tujuan ibadah adalah memberi hormat dan pujian kepada Allah Tritu
nggal, merasakan kehadiran-Nya dan menerima petunjuk kehidupan (George D. Chryssi
des dan Margaret Z. Wilkins. 2011. 161)
Dalam gereja Orthodoks, nyanyian biasanya dilangsungkan tanpa pemandu lagu,
namun oleh paduan suara Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa s
piritualitas merupakan kehidupan nyata umat beragama yang memberi makna dan nilai
bagi dirinya dan sesamanya yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus. Spirit
ualitas terkandung dalam kegiatan peribadahan umat di gereja. Ada beberapa unsur iba
dah orang Kristen di gereja, antara lain bernyanyi, berdoa, dan mendengarkan firman T
UHAN. Salah satu unsur ibadah yang akan penulis dalami adalah nyanyian rohani yang s
arat akan nilai-nilai spiritualitas untuk dihidupi orang kristen dalam hidup sehari-hari.
Spiritualitas dalam Tradisi Lutheran

Spiritualitas merupakan warisan tradisi teologi dari zaman ke zaman. Alister E.


McGrath menyatakan bahwa tema-tema spiritualitas kristen tidak bisa dilepaskan dari t
radisi teks-teks klasik Kristen yang memiliki nilai dan faedah dari generasi ke generasi
(Alister E. McGrath, 1999, 135). Menurut McGrath, ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan saat hendak mewarisi tradisi teks-teks klasik kekristenan. Pertama, audie
ns yang dituju, artinya orang yang terlibat untuk memahami warisan spiritualitas terseb
ut. Mereka perlu diedukasi terkait makna yang dimaksud dari setiap teks yang diwarisi,
baik dari segi historis maupun dalam pemahaman modern. Kedua, Tujuan penulis deng
an teks-teks klasik. Salah satu hal yang paling penting untuk dihargai tentang membaca
teks-teks klasik spiritualitas adalah menciptakan interaktif antara pembaca dengan tek
s-teks tersebut. Pembaca bukan peserta pasif dalam proses, tetapi dimaksudkan untuk t
erlibat dengan teks. (McGrath, 136-137).
Beberapa kata kunci yang dapat kita petik dari pandangan teolog spiritualitas di
atas adalah, pertama, spiritualitas merupakan warisan tradisi teologi dan zaman ke zam
an yang memuat nilai dan makna sejarah yang dapat diwariskan dari generasi ke genera
si. Kedua, spiritualitas merupakan praktik hidup beriman orang percaya terdahulu yang
memuat peristiwa ilahi dan mampu membangkitkan emosional umat percaya yang meli
batkan diri di dalamnya.
Salah satu tokoh pewaris spiritualitas yang akan penulis paparkan di sini adalah
Martin Luther (1483–1546). Corak teologi spiritualitasnya tidak terlepas dari konsep ke
selamatan total yang bertumpu pada tema Paulus tentang pembenaran oleh iman. Pada
tahun 1517, ia menerbitkan 95 tesis tentang indulgensi yang menyebabkan dia dikutuk
oleh Paus karena ajaran teologisnya dan mengakibatkan dia memisahkan diri dari gerej
a abad pertengahan. Meskipun Luther dikenang terutama sebagai seorang teolog dan ak
tivis gerejawi, dia memiliki kepedulian pastoral yang mendalam terhadap spiritualitas o
rang-orang percaya Kristen, khususnya tentang kapan dan bagaimana berdoa. (McGrath,
158).
Luther menempatkan spiritualitas orang percaya pada pemahaman tentang kesa
tuan mistik antara Kristus dan orang percaya. Dalam tulisannya tahun 1520, “The Freed
om of a Christian”, Luther mengeksplorasi sifat dan implikasi dari keduanya bagi spiritu
alitas Kristen. Luther menekankan peran kritis iman dalam membangun hubungan inti
m antara Kristus dan orang percaya menjadi hal terpenting. (McGrath, 159).
Dalam Buku Konkord, kata spiritualitas disebutkan satu kali dalam menentang k
esalahan-kesalahan yang tidak boleh dibiarkan dalam gereja. Pernyataan tersebut dituli
skan demikian:
“Bahwa kebenaran kita di hadapan Allah tidak seluruhnya terjadi karena jasa Kristus saja, tetapi
oleh pembaruan dan kesalehan kita sendiri. Sebahagian besar dari kesalehan ini dibangun di ata
s spiritualitas seseorang yang dia pilih sendiri, yang sebenarnya tidak lain dari suatu jenis kerahi
ban yang baru” (Theodore G. Tappert. Penerj. 2004. 699).
Pernyataan di atas tentu memberi penekanan bahwa spiritualitas seseorang tida
k dapat melakukan pembaruan bagi dirinya selain karena pembenaran yang dilakukan
Kristus. Hidup dalam kesalehan tidak berarti menjadikan seseorang berjasa dan atau pu
nya andil dalam mendatangkan keselamatan bagi dirinya. Bagi Luther, seorang Kristen a
dalah tuan yang sempurna, bebas dari segala sesuatu dan tidak mengabdi kepada siapap
un. Seorang Kristen adalah hamba yang sempurna, patuh kepada segalanya dan mengab
di kepada semua (Mangasi S. E. Simorangkir, 2015, 62). Meskipun tubuh seseorang dibal
ut dengan jubah suci, atau para imam yang bertempat tinggal di dalam Bait Suci, atau ter
libat dengan tugas-tugas suci atau doa-doa, atau puasa-puasa, memantangkan makanan
tertentu, perenungan-perenungan, semedi, dan semuanya yang dapat dikerjakan oleh ji
wa, itu tidak dapat menolongnya (Simorangkir, 63-64). Hanya iman sajalah yang berma
nfaat menyelamatkan dan menyembuhkan (band. Rom. 1:16 dan 10:4-9). Pekerjaaan ya
itu perbuatan (baik) adalah ujian bagi ketekunan, kehormatan adalah ujian bagi kerend
ahan hati, pesta adalah ujian bagi kesanggupan menahan diri, kesukaan duniawi adalah
ujian bagi kesucian, ritual atau upacara-upacara keagamaan adalah ujian bagi kebenara
n iman (Simorangkir, 105).
Bagi Luther, konsep kehidupan Kristen berpusat pada tema “tindakan iman dala
m kasih” dari Galatia 5:6. Dia menggabungkan tema ini dalam sebuah tulisan Kebebasa
n Seorang Kristen pada tahun 1520 (Bradely C. Hanson Peny. 1990,140). Bagi Luther pe
kerjaan baik tidak akan menjadikan manusia baik, namun seorang manusia yang baik ak
an melakukan hal-hal yang baik. Orang kristen yang benar-benar menghargai anugerah
keselamatan yang diberikan melalui Yesus Kristus akan bertindak seperti Kristus terha
dap sesamanya. Mereka dapat diumpamakan dengan dua hal, yaitu bebas dari tuannya
dan pelayan yang berbakti. Kebebasan spiritual mereka menjadi landasan yang murni te
rhadap tanggungjawab kepada Allah dan sesama. Luther menekankan iman yang aktif d
an kebebasan orang kristen bertumbuh dalam pengalaman religiusnya (Hanson, 141).
Salah satu persoalan Spiritualitas Protestan adalah relasi antara anugerah dan pe
rbuatan baik. Relasi anugerah dan perbuatan harus didasarkan dalam hubungan yang b
enar dengan Allah, yaitu pembenaran oleh iman. Bagaimanakah hubungan pembenaran
dengan pengudusan? Pengudusan adalah buah dari pembenaran. Orang yang berada dal
am hubungan yang benar dengan Tuhan akan menghasilkan buah orang benar. (Simon
Chan, 91). Helmut Thielicke melihat melihat relasi anugerah dan perbuatan baik dalam
beberapa hal. Pertama, perbuatan baik bukanlah sarana untuk membuat kita lebih suci
(penyucian terjadi hanya karena kasih karunia Allah semata). Perbuatan baik akan mem
ungkinkan rahmat bekerja di dalam diri manusia yang telah dikuduskan. Kedua, perbuat
an baik bukan sebagai sarana untuk menjadikan kita orang Kristen yang lebih baik atau
membantu kita dalam kemajuan spiritual tetapi pada dasarnya adalah memperlihatkan
pekerjaan Tuhan di dalam kita dan untuk kita. Perbuatan baik tidak menjadikan kita dit
erima Allah. (Chan, 92-93)
Titik berangkat Lutheranisme tentang pengudusan dari ungkapan tradisional si
mul iustus et peccator (pada saat yang sama benar dan pada saat yang sama berdosa). L
utheranisme memegang konsep pembenaran dan penerimaan Allah atas orang berdosa.
Dilihat dari sudut pandang manusia, pengudusan tidak lebih dari keadaan yang dibenar
kan. Pengudusan adalah pembenaran dan pembenaran adalah pengudusan. Pembenara
n dan pengudusan merupakan dua realitas yang tidak terpisah. Pengudusan dan pembe
naran bukan berarti Luther menekankan untuk menolak melakukan perbuatan baik. Se
baliknya, Lutheran mengatakan, dengan keyakinan bahwa pembenaran hanya dengan i
man, terlepas dari perbuatan, namun orang percaya harus mengerjakan perbuatan baik
sebab Alkitab mengajarkan demikian. (Nathan D. Holsteen & Michael J. Svigel, Ed. 2014.
71-72).
Spiritualitas Lutheran tampak juga dalam penjelasan implisit Brian Edgar. Dia m
embangun konsep spiritualitas di atas dasar persahabatan, sebab persahabatan baginya
merupakan sebuah anugerah dari Allah. Diselamatkan karena anugerah memberi perny
ataan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang oleh jasa ibadahnya dapat mendatang
kan keselamatan atasnya. Sekalipun dia pastor atau pemuka agama kristen lainnya mest
i memahami peristiwa keselamatan ini merupakan anugerah (Brian Edgar, 2013, 35-36)
Hal ini terlihat dari persahabatan yang dibangun Yesus dengan para pendosa dan dari l
atarbelakang yang berbeda-beda (band. Yoh. 15:10-15). Salib Kristus merupakan ponda
si persahabatan orang kristen. Tanpa salib Kristus, tidak ada persahabatan. Kematian Kr
istus merupakan penyataan alam dan karakter Allah sebagai sahabat. Kristus adalah sah
abat orang berdosa. Maka spiritualitas persahabatan adalah mencintai, bahkan kepada o
rang-orang yang membenci kita (Edgar, 66-67).

Arah Baru Spiritualitas Gereja HKBP Lewat Nyanyian Ibadah Jumat Agung

Ada tiga belas judul nyanyian rohani dalam Buku Ende HKBP sebelum edisi pena
mbahan dalam beberapa dekade belakangan ini. Untuk memudahkan pembaca melihat
corak spiritualitas dari nyanyian tersebut, berikut akan disajikan judul lagu dan tahun t
erbitnya (HKBP, 66-78):
BE. 76 Judul : “Sada nama Sangkap ni Rohangku” (Hanya ada Satu Kerinduan Hatiku), oleh komposer Albe
rt Knapp, 1748
BE. 77 Judul: “Hamu Saluhut Halak”, (Hai Seluruh Umat) Karya Hendrick Isaak, 1559
BE. 78 Judul: “O Ulu Na Sap Mudar” (Kepala yang Berdarah), karya Hans Leo Hassler, 1601
BE. 79 Judul: “Di Na Ponjot Rohangku” (Hatiku Sangat Susah), karya Julius Gasenius, 1450
BE. 80 Judul : “Mauas Jesus” (Yesus Kehausan), tanpa keterangan pengarang dan tahun.
BE. 81 Judul: “Jesus Mual ni Ngolungku” (Yesus Sumber Kehidupanku”, Karya Christoph Anton 1643
BE. 82 Judul: “O Jesushu tu Bugangmu” (Ya Yesusku, Bilur-Mu), karya Grafschaft Glatz Schesien, abad ke-1
8
BE. 83 Judul: “Na Lao Do Birubiru i" (Anak Domba akan Mati), karya Wolfgang Dachstein, 1525
BE. 84 Judul: “Aut na Ginorga tu rohangku” (Seandainya Diukir Di dalam Hatiku), karya Wilhelm Amandus
Auberlen, 1855
BE. 85, Judul: “Sai Ingoton Ni Rohangku” (Hatiku ‘kan Selalu Mengenang-Nya), karya Koln, 1638.
BE. 86, Judul: “Silang Nabadia i" (Salib-Mu yang Kudus), karya August Montague Toplady, 1776
BE. 87, Judul: “Ho Tinobus Ni Tuhanmu” (Kau yang Ditebus Tuhanmu), karya Joachim Neandar, 1680
BE. 88, Judul: “Jesushu Naung Manobus Au” (Yesusku, Penebusku), karya Benjamin Schmolck, 1698

Buku Nyanyian HKBP yang disebut Buku Ende berbahasa Batak pertama kali terb
it tahun 1924 dengan jumlah 331 nyanyian. Selanjutnya terbit edisi kedua tahun 1933 d
engan 555 nyanyian hingga edisi terakhir saat ini berjumlah 865 nyanyian. (Darwin Lu
mbantobing, 2016, 161-162). Bagi masyarakat Kristen Batak generasi pertama, syair Bu
ku Ende merupakan “the second bible” dalam penghayatan iman kekristenan sehari-har
i. Itu sebabnya warga jemaat Kristen Batak kala itu, dapat menghafal seluruh syair lagu
Buku Ende meski satu nyanyian terdiri dari lima bait bahkan lebih (Lumbantobing, 165).
Dari seluruh nyanyian rohani di Minggu Sengsara dan Jumat Agung di atas, penul
is menaruh perhatian kepada beberapa hal. Pertama, tahun munculnya syair dalam nya
nyian. Kedua, tahun para komposer mempublikasikannya. Ketiga, asal-usul para kompo
ser. Ketiga perhatian penulis akan membantu pembaca, bahkan gereja HKBP sendiri unt
uk mencari arah spiritualitas yang terkandung dalam nyanyian di Jumat Agung, sekaligu
s menunjukkan HKBP tentang identitasnya sebagai Lutheranisme.
Penulis melihat, ketigabelas nyanyian di Jumat Agung yang termuat dalam Buku
Ende HKBP merupakan kompilasi nyanyian dari abad ke-15 hingga ke-19. Demikian pul
a para komposer nyanyian tersebut berasal dari berbagai negara, bahkan semuanya buk
an dari warisan Lutheran. Melalui penelusuran biografi di internet, penulis menemukan
asal-usul komposer lagu-lagu di atas dari denominasi aliran gereja. Misalnya, Hendrik Is
aac, penyanyi dan pencipta lagu rohani dari Nederland. Paul Gerhardt, seorang Teolog I
njili Jerman, pengarang lagu gerejawi, Justus Gemenius, seorang teolog dan pencipta lag
u dari Jerman, Ernst Christoph Homburg, komposer lagu-lagu gerejawi dari Jerman, Chri
stian Renatus von Zinzendorf, pemimpin paduan suara gerejawi yang kharismatis di Jer
man, Augustus Montague Toplady, seorang himnolog gereja Anglikan Inggris, Joachim N
eander, seorang teolog Reformed Calvinis, pengajar dan penulis lagu di Jerman.
Dari tiga belas komposer dan nyanyian di hari Jumat Agung yang dipakai gereja
HKBP, sedikitnya memuat tiga tradisi, yakni Lutheran, Calvinis, dan Anglikan. ketiga tra
disi ini tentu memuat tradisi spiritualitas yang akan dicoba untuk dipaparkan di bawah i
ni.
Pertama, syair Lagu Lutheran “Di Na Ponjot Rohangku” (Hatiku Sangat Susah) ka
rya Julius Gasenius, 1450, terjemahan dari Buku Nyanyian HKBP nomor 79:1-8
Hatiku sangat susah karena dosaku
Ingatkan aku Tuhan, hal kematian-Mu
Di atas kayu salib-Mu, darah-Mu t’lah tercurah menebus dosaku

‘ku takjub memikirkan kuasa kasih-Mu


Engkau menjadi korban menebus dosaku
Dib’rikan Allah, Put’ra-Nya mengorbankan nyawa-Nya s’lamatkan diriku

Kini aku pun bebas dari hukuman b’rat


Karena kasih Tuhan, aku dis’lamatkan
Yesus berkorban bagiku, aku tak lagi takut akan kuasa maut

“ku puji Kau selalu ya Yesus Tuhanku


Mengingat derita-Mu di kayu salib-Mu
‘Ku mengenang jeritan-Mu serta darah kudus-Mu dan kasih setia-Mu

Biarlah sengsara-Mu mendorong hatiku


Untuk bersungguh-sungguh menjauhi dosaku
Jerih payah-Mu pun Tuhan, tak akan ‘ku lupakan walaupun sebentar

Jikalau kesusahan menghimpit hidupku


Tolonglah aku Tuhan, memikul salibku
Kaulah teladanku Tuhan, menghadapi cobaan di dunia yang fana

Pengorbanan-Mu Tuhan, kasih-Mu padaku


Itu mau ‘kulakukan pada sesamaku
Mampukan aku Tuhanku, mengasihi diri-Mu setulus hatiku

Damai-Mu di hatiku, mengingat salib-Mu


Saat kematianku. ‘ku ingat darah-Mu
Itulah keyakinanku, Tuhan menyambut aku di pintu surga-Mu

Dari syair lagu di atas, ada beberapa nilai spiritual yang dapat dihidupi jemaat ya
ng menyanyikannya, yakni mengingat kematian, memikirkan kuasa kasih dan derita-Ny
a, dan mengenang jeritan-Nya. Syair lagu di atas lebih didominasi sikap manusia terhad
ap Allah yang disalibkan. Di dalamnya terlihat dialog dua pribadi, yakni manusia dan All
ah.
Kedua, syair lagu dari tradisi Calvinis: “Ho Tinobus Ni Tuhanmu” (Kau yang Dite
bus Tuhanmu), karya Joachim Neandar, 1680, terjemahan dari Buku Nyanyian HKBP No
mor 87:1-8
Umat yang ditebus Yesus, tenangkanlah hatimu
Allah ada besertamu jangan gundah hatimu
Bertekunlah dengan tulus, melayani Tuhanmu

Renungkanlah dalam hatimu, pengorbanan Tuhan-Mu


Dia mati disalibkan oleh kar’na dosamu
Agar engkau tak binasa kar;na kejahatanmu

Pandanglah sengsara Tuhan yang tergantung di salib


Dapatkah engkau bayangkan sakit-Nya tak terperi
Sambutlah serta renungkan, keagungan kasih-Nya

Denggan sungguh menyesali dosa kejahatanmu


Agar dapat menghayati pengorbanan Tuhanmu
Mintalah setiap kali pengampunan dosamu

Demi kasih setia-Mu, kutinggalkan dosaku


Ukirlah dalam hatiku makna pengorbanan-Mu
T’rimalah jiwa ragaku, upah kasih setia-Mu

Tidak lagi ‘kulakukan dosa kesalahanku


Tidak lagi ‘ku dukakan hati-Mu, ya Roh Kudus
Agar hati-Mu gembira menerima hamba-Mu

Walau hidupku tertindas, ‘ku tak lagi menyerah


Salib dan pengorbanan-Mu menguatkan imanku
Kau Rajaku, Kau Tuhanku, hingga akhir hayatku

Pengorbananmu ya Tuhan, selamanya kukenang


Itulah yang mengantarkanaku ke neg’ri baka
Di rumah-Mu ‘ku bersama semua orang beriman

Dari syair lagu di atas, ada beberapa nilai spiritual yang dapat dihidupi jemaat ya
ng menyanyikannya, yakni menenangkan hati, bertekun, merenungkan pengorbanan-N
ya dan dosanya, memandang sengsara dan derita-Nya, meminta pengampunan dosa, me
ngukir makna pengorbanan-Nya, dan bertobat. Syair ini terlihat dibangun dalam dua dia
log, pertama seolah orang ketiga, bisa saja seorang imam kepada jemaat, dan dialog ked
ua adalah orang berdosa yang ditebus dengan Kristus yang tersalib.
Ketiga, syair lagu dari tradisi Anglikan, judul: “Silang Nabadia i" (Salib-Mu yang K
udus), karya August Montague Toplady, 1776, berdasarkan terjemahan Buku Nyanyian
HKBP Nomor 86:1-5:
Kayu salib yang kudus, Kaulah perlindunganku
Menghadapi dosaku, saat putus harapku
Dalam pergumulanku, Kaulah perlindunganku

Walau banyak amalku, dan menangis tersedu


Walau aku bertekun, tak menghapus dosaku
Hanya kemurahan-Mu yang menolong hamba-Mu

Aku datang pada-Mu, kasihani hamba-Mu


Kau korbankan nyawa-Mu, kar’na kasih setia-Mu
Sambut aku Tuhanku, dan lindungi jiwaku

‘ku dihimpit dosaku, Kau yang melepaskanku


Penuh noda hidupku, dikuduskan darah-Mu
Aku hina tercela, Kau b’ri harta yang baka

Kayu salib yang kudus, Kaulah perlindunganku


Jika habis kuatku, dan mataku pun redup
Dalam pergumulanku, Kaulah perlindunganku

Dari syair lagu di atas, ada beberapa nilai spiritual yang dapat dihidupi jemaat ya
ng menyanyikannya, yakni pemujaan terhadap Kristus yang disalib, salib tempat perlind
ungan, dan salib tempat pengudusan orang berdosa. Salib menjadi bukti cinta kasih Alla
h yang menyelamatkan para pendosa.
Dari tiga nyanyian di atas, yang berasal dari tiga tradisi, penulis melihat beberap
a hal. Pertama, pusat spiritualitas dari nyanyian di Jumat Agung adalah pada Kristus yan
g tersalib, bukan pada manusia berdosa yang menangisi penderitaan Kristus. Kedua, seg
ala amal dan jasa manusia tidak akan membenarkannya dan menggagalkan rencana pen
ebusan Allah melalui Yesus Kristus. Ketiga, pertobatan dalam artian melawan dosa menj
adi jalan untuk menghidupi anugerah keselamatan yang dikerjakan Kristus. Keempat, or
ang berdosa yang telah dianugerahi keselamatan karena kematian Kristus dimungkinka
n menghidupi internalisasi nilai-nilai spiritual seperti mengingat, mengenang, dan mere
nungkan penderitaan Kristus dengan membangun relasi dan interaksi dengan sesaman
ya tanpa perlu mengasingkan diri ke suatu tempat.
Kekuatan Buku Ende HKBP dalam kehidupan spiritualitas Kristen Batak terletak
pada formula syair dan lagunya. Setiap formula syair lagu merupakan rumusan teologi y
ang kemudian dijadikan pegangan hidup. Buku Ende HKBP sangat berfungsi dalam mem
bangun iman jemaat, memberi solusi dalam setiap pergumulan, memberi pengharapan
dan penghiburan dalam setiap situasi dan kondisi kehidupan (Darwin Lumbantobing, 3
12). Sebagian besar syair lagu nyanyian Buku Ende HKBP berasal dari Gereja Uniert yan
g berlatarbelakang Pietisme Jerman. Gerakan Pietisme ini muncul di akhir abad ke-16 hi
ngga ke-18 dengan mengedepankan semangat hidup religiositas yang saleh (Lumbantob
ing, 2018, 313).
Pietisme merambah lingkungan warga gereja Lutheran dan Calvinis yang masih s
etia dengan ajaran reformasi (Jan S. Aritonang, 2018, 46-47). Dalam Kamus Gereja dan T
eologi Kristen disebutkan demikian:
“Pietisme secara khusus dipakai untuk gerakan kesalehan yang timbul pada abad ke-17 di gereja-
gereja Lutheran Jerman. Timbulnya Pietisme di Jerman tidak terlepas dari perkembangan geraka
n-gerakan kesalehan yang sejenis di gereja-gereja Protestan di Inggris dan Belanda. Di Inggris sek
itar tahun 1565 muncul Puritanisme yang mencita-citakan pemurnian gereja Anglikan dari unsu
r-unsur Katolik di tata gereja dan tata ibadah, dan juga memperjuangkan suatu cara hidup yang d
icirikan oleh penghayatan iman yang dalam dan ketaatan yang diteliti pada perintah-perintah All
ah. Bapak Pietisme Jerman adalah Philipp Jakob Spenner (1635-1705), seorang pendeta di Frankf
urt yang pada tahun 1675 menerbitkan tulisan berjudul Pia Desideria berarti hasrat-hasrat kesal
ehan” (Aritonang. Peny. 557-558).
Beberapa penekanan teologi pietisme dalam syair di Buku Ende HKBP yang terlih
at yakni penekanan pada pemeliharaan hubungan pribadi dengan Tuhan secara vertikal,
hidup dalam kesucian, mengenal diri sebagai pribadi berdosa, dan melihat anugerah ke
selamatan yang diberikan Allah melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (Lumb
antobing, 316-317).Salah satu seruan liturgi di masa Prapaskah, yang di dalamnya Juma
t Agung adalah pertobatan. Yesus datang menyatakan, "Bertobatlah, karena Kerajaan All
ah sudah dekat (band. Mat. 3:2). "Bertobat" berarti "mengubah arah mencari kebahagia
an." Panggilan untuk pertobatan adalah ajakan untuk memperhatikan dan mengendalik
an kebutuhan emosional dalam mengejar kebahagiaan. Ini adalah Penekanan penting da
n pijakan liturgi Prapaskah. Liturgi Prapaskah dimulai dengan pencobaan Yesus di pada
ng gurun yang menyangkut tiga bidang kebutuhan naluriah yang dimiliki setiap manusi
a (band. Mat. 4:1-11). Ketiga pengalaman ujian Yesus ini dibingkai dalam tiga kenyaman
an manusia, yakni keamanan, harga diri, dan kekuasaan. Ini adalah tiga area klasik di ma
na godaan bekerja pada manusia untuk mendatangkan kebahagiaan (Thomas Keating, 3
1). Prapaskah mengajarkan kita untuk menggapai kebahagiaan yang sesungguhnya di d
alam Tuhan, bersama alam, orang lain, dan diri sendiri. Beberapa kegiatan yang dilakuk
an antara lain puasa, doa, dan sedekah (Keating, 42-43).
Flora Slosson Wuellner dalam buku Karen E. Smith, menyebut ada dua bentuk pe
nderitaan yaitu salib dan kelahiran. Bagi Wuellner, salib merupakan penderitaan yang d
ialami ketika seseorang secara sadar memilih untuk masuk ke dalam rasa sakit yang dia
lami orang lain. Sedangkan kelahiran adalah penderitaan yang disebabkan oleh kebangu
nan, peregangan, atau kelahiran kembali diri kita yang terdalam. (Karen E. Smith, 2007,
108). Kasih merupakan penekanan spiritualitas orang Kristen yang tentunya berpijak d
ari salib, kematian, dan kebangkitan Kristus (Smith, 115). Kasih inilah yang dibagikan d
alam komunitas yang sedang mengalami penderitaan (Smith, 119).

Kesimpulan

Daftar Pustaka
Lumbantobing, Darwin Tumbuh Lokal, Berbuah Universal, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2
018
__________________________, HKBP do HKBP, HKBP is HKBP, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2016
HKBP, Buku Ende HKBP, Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 2015
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di dalam dan Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, 201
8.
Bradley C. Hanson (ed.), Modern Christian Spirituality, The American Academy of Religion,
1990
Chan, Simon, Spiritual Theology, Studi Sistematis tentang Kehidupan Kristen, Yogyakarta:
Penerbit Andi, 1998.
Chryssides, George D dan Mamrgaret Z. Wilkins, Christian in The 21st Century. Oakville: E
quinox Publishing Ltd. 2011
Edgar, Brian, God is Friendship, Theology of Spirituality, Community, and Society, 2013 US
A: Seedbed
Smith, E. Karen, Christian Spirituality London: SCM Press. 2007
King, Ursula, The Search for Spirituality: Our Global Quest for a Spiritual Life. New York: B
lue Bridge. 2008
Michael J. Exploring Christian Theology, The Church, Spiritual Growth, and The End Times.
Minnesota: Bethany House Publishers 2014
Chan, Simon, Spiritual Theology, A Systematic Study of The Christian Life. Illinois: Inter
Varsity Press 1998.
Sheldrake, Philip SJ, Spirituality and History, New York: Orbis Books, 1998
Tappert, Theodore G. Penerj. Buku Konkord. Konfessi Gereja Lutheran. Jakarta: BPK Gunu
ng Mulia, 2004
Simorangkir, Mangasi S. E. Martin Luther, Kebebasan Seorang Kristen. Pematangsiantar:
Akademi Lutheran Indonesia 2015.
Keating, Thomas The Mystery of Christ, The Liturgy as Spiritual Experience New York: Co
ntinuum, 2008.

Anda mungkin juga menyukai