Anda di halaman 1dari 19

MODUL PERKULIAHAN

Pendidikan
Agama Islam
Munakahat dan
Ilmu Waris
__

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh


Semua Fakultas Semua 199101001 Tim Dosen PAI Universitas Widyatama
Prodi
14
Abstrak Kompetensi
Salah satu tujuan adanya Mahasiswa mampu menjelaskan
syariat/hukum dalam Islam adalah hukum nikah, meminang, syarat sah
untuk menjaga keturunan. Pernika- nikah, dan pencatatan pernikahan,
han merupakan jalur yang ditetapkan thalak dan rujuk serta mahasiswa
Islam untuk mendapatkan dan menja- mampu menjelaskan pengertian dan
ga keturunan. Agama Islam melalui istilah waris, dasar hukum waris,
al-Qur`an dan Hadits telah membeti sebab-sebab mewarisi.
aturan dan petunjuk yang jelas
tentang pernikahan. Pernikahan dalm
Islam menempati posisi yang tinggi,
bahkan dikatakan bahwa menikah itu
separuh Agama. Pernikahan juga
merupakan peraturan yang diridhai
Allah untuk menciptakan kemasla-
hatan manusia, baik di dunia maupun
di akhirat. Satu hal yang terkait erat
dengan ilmu pernikahan adalah ilmu
waris atau ilmu faraid (pembagian
harta pusaka).
Latar Belakang

Pernikahan atau perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan, sebagaimana firman-Nya:
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36).
Berbeda dengan makhluk lain seperti binatang yang bisa bebas menyalurkan hasrat seksualnya,
maka manusia tidak demikian. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaanya, Allah
Swt. membuat hukum pernikahan untuk manusia.

Hal ini sejalan dengan aalah satu tujuan adanya syariat/hukum dalam agama Islam adalah
untuk menjaga keturunan. Pernikahan adalah jalur yang ditetapkan Islam untuk menjaga
keturunan. Agama Islam telah memberikan aturan dan petunjuk yang jelas tentang pernikahan
yang dikenal dengan Fiqih Munakahat. Pernikahan dalam Islam menempati posisi yang tinggi,
bahkan nikah itu itu disebut separuh Agama. Pernikahan juga merupakan peraturan yang
diridhoi Allah Swt. untuk menciptakan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Satu hal yang terkait erat dengan ilmu pernikahan adalah ilmu waris. Ilmu waris termasuk
kajian dalam muamalah yang tujuannya adalah mengatur harta antara sesama pewaris. Dalam
istilah lain ilmu waris disebut juga ilmu faraid, yaitu ilmu yang mengatur cara pembagian harta
dari muwaris kepada ahli waris, karena faraid artinya bagian-bagian. Maka dalam membahas
hukum waris ilmunya disebut faraid atau ilmu waris.

Sistematika Modul
Modul ini terdiri dari:
1. Bagian Muka
Berisi identitas mata kuliah dan tema bahasan.

2. Latar Belakang
Berisi mengeni Munakahat dan Ilmu Waris.

3. Bagian Isi
Berisi mengenai pokok bahasan tentang Munakahat dan Ilmu Waris.
4. Daftar Pustaka
Berisi mengenai sumber rujukan.
Bagian Isi

A. Munakahat

1. Pengertian dan Kedudukan Pernikahan

Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah swt sebagai jalan bagi manusia untuk
mengembangkan keturunannya, sebagaimana tercantum dalam Firman Allah swt:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaa-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasakan tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-
Rum: 21).
Bentuk pernikahan ini telah memberikan jalan yang aman untuk menyalurkan hasrat
seksual agar tidak laksana bunga yang dapat dipetik oleh siapa saja. Peraturan pernikahan
seperti inilah yang diridhai oleh Allah Swt. untuk menciptakan kemaslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat, sedangkan di luar itu hanya akan melahirkan ketidakteraturan
dan generasi yang tidak jelas.

Peraturan pernikahan yang tidak jelas dan dianggap bathil, sebagaimana yang pernah
terjadi pada zaman sebelum Islam (Jahiliah), yaitu pernikahan dengan cara pengundian,
tukar menukar istri, perkawinan pinang, perkawinan pinjam (gadai) sejumlah laki-laki
(dibawah 10 orang) bersama-sama menggumuli seorang perempuan atau perempuan-
perempuan yang tidak menolak digauli oleh banyak laki-laki.

Di Indonesia, pernikahan di atur dalam Undang-Undang nomor satu tahun 1974 yang
efektif berlaku pada tanggal 1 oktober 1975.

2. Anjuran Untuk Menikah

Islam dalam menganjurkan pernikahan menggunakan beberapa cara dengan selalu menjadi
tauladan bagi ummatnya, sehingga melakukannya adalah ibadah, sebagaimana sabda Nabi:
“Empat perkara yang merupakan sunnah Nabi saw yaitu: celak, wangi-wangian,
siwak, dan menikah.”
Terkadang menikah disebut sebagai salah satu kerunia yang baik, sebagaimana firman-Nya:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)
Nikah juga sebagai salah satu kekuasaan Allah sebagaimana yang tercantum dalam
Al-Qur`an surat Ar-Rum: 21. Dari uraian di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa hukum pernikahan itu sebagai berikut:

a. Wajib, yaitu bagi orang yang sudah berkeinginan untuk menikah, mampu menanggung
kebutuhan dan tanggung jawab, serta merasa khawatir jika tidak menikah akan
terjerumus ke dalam perzinahan.

b. Sunnah, yaitu bagi orang yang berkeinginan untuk menikah, mampu menanggung
kebutuhan dan tanggung jawab, tetapi ia tidak khawatir untuk terjerumus kedalam
perzinahan maka baginya lebih baik menikah.

c. Haram, yaitu bagi orang yang mengetahui dirinya tidak mampu hidup berumah tangga,
melaksanakan kewajiban suami isteri. Demikian pula haram bagi orang yang memiliki
tujuan untuk menyakiti istrinya. Di samping itu, haram menikah karena faktor lain,
seperti beda agama, serta turunan dan lain-lain.

d. Makhruh, yaitu bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan pelayanan
selayaknya, sementara ia sendiri tidak terdesak untuk melakukan pernikahan.

e. Mubah, yaitu boleh dan hal ini merupakan hukum asal dari pada nikah boleh bagi yang
ingin dan tidak masalah bagi yang tidak menginginkannya, asal tidak terjerumus kepada
masalah perzinahan (Nurdin, 1995: 121).

Pernikahan sebagai ikatan yang suci atau ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidha) di
antara pria dan wanita adalah suatu keputusan yang tidak mudah atau lepas atau dilepaskan,
oleh karena itu Islam memandang perlu adanya seleksi, survey bahkan mohon petunjuk
kepada Allah (istikharah) agar tidak menyesal di hari kemudian.

Dalam ajaran Islam, laki-laki yang akan memilih pasangan hidupnya dianjurkan oleh
Nabi saw untuk memilih, diantaranya adalah sebagai berikut:
“Seorang perempuan dinikahi karena empat hal : (1) karena kecantikannya, (2)
karena hartanya, (3) karena keturunannya dan (4) karena agamanya. Maka
utamakanlah agama itu niscaya kamu selamat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut menjalaskan berbagai kriteria bagaimana seorang laki-laki memilih calon
pasangannya. Demikian juga hadits di atas menekankan masalah agama, maksudnya adalah
pilihan pasangan hidup dengan agama yang menjadi perioritasnya, keluarga yang dibangun
menjadi selamat.
3. Meminang

Meminang adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara


seorang pria dengan seorang wanita (Dirjen pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag
RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hal, 13). Meminang pada umumnya dilakukan
oleh laki-laki kepada perempuan, baik secara langsung maupun mewakilkan. Meminang
hukumnya adalah boleh dilakukan sebagaimana firman Allah swt:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Meminang diperbolehkan dengan syarat perempuan yang dipinang itu, tidak dalam
keadaan bersuami, tidak dalam keadaan thalak raj‟i dan tidak di bawah pinangan orang lain.
Pada saat meminang, seorang laki-laki atau wakilnya diperbolehkan untuk melihat
perempuan yang akan dipinangnya, agar tidak menyesal di kemudian hari. Walaupun
demikian, laki-laki tidak diperbolehkan melihat perempuan itu secara utuh, tetapi pada
bagian yang diperbolehkan, seperti wajah dan telapak tangan, seperti hadits Nabi saw:
“Jika salah seorang kalian melamar seorang wanita, sedangkan ia diberi
kemampuan untuk melihat sebagian dari apa-apa yang menarik dirinya untuk
menikahinya, hendaklah ia lakukan itu.” (H.R.Ahmad dan Dawud)
Diharamkan seseorang meminang pinangan orang lain, karena akan menimbulkan
tersakitinya orang yang pertama meminang, memecah belah persaudaraan dan
menimbulkan permusuhan, sebagaimana hadits Nabi saw riwayat Ahmad dan Muslim:
“Orang muslim dengan yang lainnya adalah bersaudara, tidak boleh ia membeli
barang yang sedang dibeli saudaranya dan meminang di bawaah pinangan
saudaranya, sebelum ia tinggalkan.” (Sabiq, hal, 42).
Demikian pula harus diperhatikan dalam meminang hubungan keluarga dan
hubungan yang lainnya yang menyebabkan pinangan jadi tidak syah atau haram. Di bawah
ini adalah perempuan-perempuan yang haram dipinang dan haram dinikahi (muhrim).

a. Karena Pertalian Nasab (Kekerabatan)

Keharaman pernikahan karena nasab sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur`an surat
An-Nisa ayat 23 sebagai berikut:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya,(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat di atas menjelaskan sejumlah wanita yang tidak boleh dinikahi karena ada
pertalian nasab/hubungan darah, yaitu: Ibu dan seterusnya ke atas; Anak perempuan ke
bawah; Saudara perempuan kandung; Saudara perempuan sebapak atau seibu; Saudara
perempuan ibu sekandung, sebapak dan seibu; dan Anak saudara perempuan.

b. Karena Pertalian Pernikahan, yaitu: Ibu dari istri (mertua); Anak istri dari suami yang
lain jika ibunya telah digauli; Istri anak (menantu perempuan) termasuk bekas mantu;
Istri bapak (ibu tiri) termasuk bekas ibu tiri.

c. Karena Hubungan Sepersusuan, yaitu: Perempuan yang menyusui (ibu susuan);


Saudara-saudara sepersusuan.

d. Haram Sementara, yaitu: Karena dalam status nikah; Karena dalam status iddah; Karena
telah ba‟in kubra; Menghimpun dua saudara sekaligus; Menghimpun perempuan lebih
dari empat orang; Berbeda agama.

4. Pelaksanaan Pernikahan

Proses pernikahan menurut Islam prosedurnya berlangsung empat (4) tahap, yaitu: Khitbah
nikah; Khutbah nikah; Akad nikah dan; dan Walimatun nikah.

Dalam pelaksanaannya, sebelum akad nikah diucapkan, maka harus diperiksa rukun dan
syarat nikah, adapun rukun nikah adalah: Ada calon mempelai pria; Ada calon mempelai
wanita; Wali; Dua orang saksi; dan Ijab Kabul.

Adapun syarat masing-masing dari lima rukun tersebut di atas adalah sebagai berikut adalah

a. Calon mempelai pria: Laki-laki; Baligh; Berakal; dan Islam.

b. Calon mempelai wanita: Wanita; Baligh; Berakal; dan Islam.


c. Wali: Laki-laki; Baligh; Berakal; Adil; dan Merdeka.

d. Saksi: Laki-laki; Baligh; Berakal; Adil; dan Merdeka.

e. Ijab Kabul

Ijab kabul adalah ucapan wali yang berisi menikahkan anak perempuannya kepada laki-
laki (mempelai pria) dengan mahar yang telah ditentukan, sedangkan ijab adalah ucapan
mempelai pria berisi penerimaan atas pernikahannya dengan mahar yang telah
ditentukan.

Dalam ijab kabul ada hal yang harus diperhatikan, yaitu adanya ittisal yaitu bersambung
antara ucapan ijab dan kabul , jangan terputus oleh hal-hal yang dapat memisahkan atau
memutuskan diantara ijab kabul. Contoh saudara “fulan bin fulan, saya nikahkan
dengan fulanah binti fulanah dengan maskawin dan seperangkat alat sholat dibayar
tunai.” Maka mempelai pria menjawab dengan kata-kata: “saya terima nikahnya anak
bapa bernama fulanah binti fulanah dengan maskawin (mahar) dibayar tunai.”

5. Mahar

Mahar adalah pemberian wajib dari seorang suami kepada istri setelah melaksanakan
pernikahan. Mahar tidak termasuk rukun nikah walaupun bagi suami hukumnya wajib
memberikannya kepada istri. Firman Allah swt. dalam Al-Qur`an surat An-Nisa ayat 4:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa:4)
Mahar adalah kewajiban suami untuk memenuhi hak istri, adapun prinsip-prinsip
mahar adalah sebagai berikut:

a. Mahar dapat dibayarkan berupa uang, benda, atau juga jasa.

b. Mahar dapat dibayarkan secara kontan atau ditangguhkan dalam waktu tertentu

c. Mahar tidak dapat diminta lagi oleh suami, kecuali jika terjadi fasakh nikah (putus tali
pernikahan), kemudian suami belum menggaulinya, maka mahar dapat diminta
setengahnya, sedangkan jika sudah digauli walaupun terjadi fasakh nikah, maka mahar
tidak dapat diambil kembali.
Dalam hal yang berhubungan dengan mahar, dikalangan ulama ada yang dimaksud
dengan kawin shigar, maksudnya adalah seorang wali menikahkan putrinya dengan seorang
laki-laki dengan tanpa bayar mahar. Rasulullah saw melarang kawin semacam ini.
Sebagaimana sabdanya: tidak ada shigar dalam Islam.

6. Kewajiban Suami Istri

Dalam membangun keluarga yang harmonis populernya dikenal dengan sakinah,


mawaddah, warahmah, maka diantara suami istri itu harus menegakkan atau melaksanakan
kewajiban masing-masing. Disamping mereka dapat menuntut haknya. Adapun kewajiban
suami adalah:

a. Nafkah lahir batin, berupa sandang, pangan, dan papan, sebagaimana firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan gaulilah
mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
b. Menggaulinya dengan baik (mu‟asyarah bil ma‟ruf) sebagaimana firman Allah swt:
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 223)
c. Menjaga dan mendidiknya, sebagaimana firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. at-Tahrim: 6)
d. Menjaga rahasia istri. Seorang suami wajib menjaga rahasia istrinya kepada orang lain
atau kepada siapapun, kecuali bila diperlukan dalam jangka pendidikan dan kepentingan
kedokteran dan lain-lain yang dibolehkan syariat. Adapun kewajiban istri adalah:

1) Taat patuh kepada suami, seorang istri wajib taat dan patuh kepada suami, sepanjang
perintah suami tidak membahayakan dan tidak bertentangan dengan hukum syari‟at,
diantara ketaatan itu adalah:
a) Tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin

b) Tidak boleh melakukan tindakan di dalam rumah tangga tanpa izin suami,
walaupun kelihatannya itu ibadah, seperti puasa sunnat dengan tanpa izin suami.

c) Tidak boleh menolak ajakan suami, apabila suami menghendaki dalam keadaan
tidak ada halangan yang syar’i.

d) Menjaga aurat, kecuali kepada suami, sebagaimana firman Allah swt:


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu‟minun : 5-6)
e) Menjaga harta suami, seorang istri sesungguhnya tidak berkewajiban mencari
nafkah untuk diri dan keluarganya karena suamilah yang sesungguhnya wajib
untuk memenuhi nafkah keluarga, juga sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan janjinya.” (QS. Al-mu‟minun : 8)
f) Mendidik keluarga

g) Menjaga rahasia suami, sebaik-baiknya istri adalah yang dapat menjaga


kekurangan dan aib suami.

7. Putusnya Akad Pernikahan

Ada beberapa faktor yang menyebabkan putusnya ikatan pernikahan diantaranya adalah:
Kematian; Thalaq; Khuluq; Fasakh; Syiqaq; Pelanggaran taliq talaq.

a. Kematian

Kematian adalah hak bagi setiap orang yang sudah pasti dan tidak dapat dipungkiri lagi,
walaupun tidak ada yang mengetahui kapan, dimana dan dengan cara apa akan mati.
Seseorang tidak dapat meramalkan kematian apakah seseorang itu akan diperpanjang
umurnya atau tidak. Oleh karena itu, kematian adalah sesuatu yang misteri walaupun
pasti datangnya, sebagaimana firman Allah:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali-Imran
: 185).
Selain ayat di atas, juga dilihat Al-Qur`an surat Yunus: 49, surat al-Nahl: 61, surat al-
Hijr: 5 dan surat al-Mu’minun dan surat al-A’araf: 34.
Apabila salah seorang diantara suami istri meninggal dunia, maka putuslah ikatan
pernikahannya. Seorang suami dapat melakukan pernikahan lagi dengan wanita lain,
tanpa harus menunggu waktu, karena baginya tidak ada masa menunggu, begitupun
wanita dapat melakukan pernikahan dengan laki-laki lain dengan syarat harus
menunggu dulu pada masa iddah-nya, yaitu empat bulan sepuluh hari, dan kalau lagi
hamil cukup sampai melahirkan.

b. Thalaq

Thalaq menurut bahasa, adalah lepas, atau putus, yaitu lepasnya pernikahan atau
putusnya ikatan pernikahan. Sedangkan menurut istilah thalaq adalah lepasnya ikatan
pernikahan dengan menggunakan lafadh thalaq atau lafadh yang lainnya yang identic
dengan lafadh thalaq.

Dalam ajaran islam thalaq hukumnya boleh, walaupun demikian perbuatan thalaq
adalah perbuatan yang tidak disukai oleh Allah swt, bahkan termasuk perbuatan yang
sangat dibenci, sebagaimana hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Ibn Majah sebagai berikut: “Barang halal yang amat dibenci Allah adalah thalaq” (HR.
Abu Dawud dan Ibn Majah).

c. Khuluq

Khuluq adalah penceraian antara suami istri dengan cara istri membayar uang iwadh
(pengganti), istri boleh melakukan ini dengan syarat sebagai berikut: Suami berzina
dengan perempuan lain; Suami seseorang pemabuk; Suaminya tidak melaksanakan
ajaran islam; Istri tidak senang lagi pada tingkah laku suami.

Penceraian seperti ini tidak dapat di rujuk kembali untuk selamanya, karena sudah
membayar iwadh atas suaminya.

d. Fasakh

Fasakh adalah penceraian yang diputuskan oleh hakim atas permintaan pihak istri, hal
dibolehkan dengan syarat-syarat sebagai berikut: Suami gila; Suami berpenyakit yang
sulit sembuh; Suami tidak sanggup lagi memberikan nafkah biologis; Suami tidak dapat
memenuhi nafkah lahir; Suami hilang dan tidak tentu datang.
e. Syiqaq

Syiqaq adalah yang disebabkan oleh adanya pertengkaran antara suami istri yang sulit
didamaikan lagi, jika dalam damai tidak dapat di selesaikan, maka penceraian tidak
dapat dihindarkan. Seperti firman Allah swt:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa:35)
f. Pelanggaran Ta’liq Thalaq

Ta’liq talaq adalah thalaq yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya, saat setelah
menikah. Adapun isi dari ta‟liq thalaq adalah: Jika meninggalkan istri dua tahun
berturut-turut; Tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan; Menyakiti
badan/jasmani istri; Membiarkan istri enam bulan berturut-turut.

Apabila peristiwa itu terjadi dan istrinya mengadukan ke pengadilan agama,


pengaduannya akan di benarkan dan istri membayar iwadh Rp. 10000,- maka jatuhlah
thalaq suami kepada istrinya satu. Thalaq tersebut sah sekalipun tidak di hadiri oleh
suami, karena sudah dikuasakan kepada pengadilan agama setempat.

8. Iddah

Iddah adalah masa menunggu bagi perempuan yang dithalaq atau di tinggal mati oleh
suaminya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. Dalam kondisinya iddah dapat
dibedakan menjadi empat bagian:

a. Iddah perempuan yang diceraikan dalam keadaan suci, maka iddahnya adalah tiga bulan
sepuluh hari, hal ini tercantum dalam firman Allah swt:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Baqarah: 228)
b. Iddah perempuan yang sudah berhenti haid (menopouse) adalah tiga bulan sepuluh hari.
Seperti firman Allah swt:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (QS. At-Thalaq: 4)
c. Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, adalah empat bulan sepuluh hari.
Sebagaimana firman Allah swt:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)
d. Iddah perempuan yang ditalaq dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan, sperti
firman Allah swt:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (QS. At-Thalaq: 4)

B. Ilmu Waris

1. Pengertian dan Istilah Waris

Ilmu waris termasuk kajian dalam muamalah yang tujuannya adalah mengatur harta
antara sesama pewaris. Dalam istilah lain ilmu waris disebut juga ilmu faraid, yaitu ilmu
yang mengatur cara pembagian harta dari muwaris kepada ahli waris, karena faraid artinya
bagian-bagian. Maka dalam membahas hukum waris ilmunya disebut faraid atau ilmu
waris.

Pengertian mawaris adalah berasal dari kata mirats dan turats, yaitu harta-harta
peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh pewarisnya (Ash-Shiddiqie, 1997:
5). Orang yang meninggalkan harta disebut muwaris, orang yang menerima warisan disebut
ahli waris, sedangkan harta warisan disebut waris atau tirkah dan ilmu yang mempelajari
harta dan muwaris kepada ahli waris adalah ilmu waris atau ilmu faraid.
Adapun pengertian ilmu waris secara istilah adalah “ilmu utuk mengetahui orang
yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, kadar yang diterima
oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya” (Ash-Shiddiqie, 1997: 6).

2. Urgensi dan Keistimewaan Mempelajari Ilmu Waris

Mempelajari dan mengamalkan ilmu waris ini sangat penting/urgen. Berikut ini
diantara beberapa alasan pentingnya mempelajari ilmu waris:

a. Ancaman Kekal di Neraka


“Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya (hukum waris), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (QS.
An-Nisa‘: 14)
b. Perintah Khusus Dari Rasulullah saw.
“Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu
Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu
dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari
umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthny dan Al-Hakim)
c. Dicabutnya Ilmu Waris
“..... Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang lain, karena Aku
hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah
menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan
namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Daruquthuny dan
Hakim)
d. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
“Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu
faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". (HR. Ad-Daruquthuny dan
Al-Hakim)
e. Bagian Dari Penegakan Syariah Islam

Mempelajari ilmu mawaris pada zaman ini merupakan bentuk nyata sebagai langkah
penegakan salah satu pondasi sekaligus tiang bangunan syariah Islam. Ini merupakan
bagian dari apa yang sedang diperjuangkan umat.

Mempelajari ilmu waris juga banyak keistimewaannya. Berikut ini diantara beberapa
keistimewaan mempelajari ilmu waris:

a. Allah Swt. yang langsung menentukan teknis dan kadar serta jatah faraidh

Pada umumnya, Allah swt memerintahkan suatu kewajiban dalam Al-quran itu dengan
bentuk perintah yang umum tanpa memberikan penjelasan teknisnya. Sehingga
memberi ruang untuk Nabi-Nya menjelaskan teknis pelaksanaannya.

b. Paling sedikit ikhtilaf-nya

Semua aturannya sudah dijelaskan secara gamblang dan lengkap didalam al-Qur`an,
sehingga ilmu faraidh ini merupakan ilmu dalam bab fiqih yang paling sedikit
perbedaan pendapatnya diantara bab-bab fiqih lainnya.

c. Setengah dari keseluruhan Ilmu agama


“Pelajarilah Ilmu Faraidh dan ajarkanlah, karena sesunggunya ia adalah
setengah dari ilmu agama. Dan ia adalah ilmu yang pertama kali diangkat dari
Ummatku" (HR. Ibnu Majah).
d. Banyak berkaitan dengan Ilmu lain

1) Berkaitan dengan akidah dan iman (berbeda agama tidak saling mewarisi)

2) Berkaitan dengan hal pernikahan (munakahat)

3) Berkaitan dengan bidang muamalah (hutang piutang)

e. Mudah karena hitungannya jelas

Semua aturan dan hitungan faraidh itu sudah tertera dalam al-Qur`an dan Allah Swt.
yang langsung menjelaskannya, hal ini membuat ilmu faraidh menjadi mudah.

Hitungannya jelas: 1/2, 1/3 1/4, 1/6, 1/8, 2/3 dan sisa.

3. Dasar Hukum Waris

Adapun dasar hukum waris sebagaimana di dalam Al-Qur`an surat An-Nisa: 11-14
secara rinci Allah menjelaskannya panjang lebar yang artinya:
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Untuk dua orang ibu-bapa, bagian masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak maka hartanya diwarisi oleh ibu-bapanya (saja) di mana ibunya
mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam yang (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat atau sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS.
An-Nisa: 11-14).
4. Sebab-Sebab Mewarisi/Mempusakai

Adapun sebab-sebab mempusakai harta warisan adalah sebagai berikut:

a. Hubungan nasab, yaitu hubungan keturunan, baik ke atas, seperti ayah, ibu, bapak,
kakek, maupun ke bawah, seperti anak, cucu dan seterusnya. Pada dasarnya asal-usul
dari hubungan nasab itu adalah ahli waris dan berhak atas harta warisan, tetapi yang
paling dekat itulah yang dapat bagian, seperti bapak dan kakek, maka bapaklah yang
berhak mendapatkan bagian, sedangkan kakek terhalang oleh bapak, atau anak dengan
cucu, maka anak dapat bagian, sedangkan cucu terhalang oleh anak, dan seterusnya.

b. Hubungan perkawinan, ahli waris yang mendapatkan waris dari hubungan perkawinan
adalah suami/istri, jika yang meninggal suami, maka istri dapat bagian dari suaminya
karena hubungannya melalui perkawinan dan begitu juga sebaliknya.

c. Memerdekakan budak, seorang majikan yang memerdekakan budak, jika budak yang
dimerdekakakn tadi meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka dia dapat menjadi
ahli warisnya, karena hubungan memerdekakan, tetapi hal tersebut tidak dapat terjadi
sebaliknya, yaitu jika yang memerdekakan lebih dulu meninggal dunia, maka yang
dimerdekakan tidak dapat warisan, karena bukan darah dagingnya.
d. Hubungan keislaman, yaitu jika ada muwarits meninggal dunia tidak mempunyai ahli
waris (kalalah) maka hartanya dibagikan berdasarkan hubungan keislaman.

5. Dzawil Furudh

Berikut ini adalah bagian masing-masing dari dzawil furudh:

NO Status Bagian Keterangan


1/2 Jika tidak ada anak
1 Suami
1/4 Jika ada anak
1/4 Jika tidak ada anak
2 Istri
1/8 Jika ada anak
1/8 Jika ada anak
3 Bapak
Ashabah Jika tidak ada anak laki-laki
1/3 Jika tidak ada anak
4 Ibu
1/8 Jika ada anak
1/2 Jika tunggal
5 Anak perempuan 2/3 Jika dua orang atau lebih
ABG Jika bersama dengan anak laki-laki
1/2 Jika tunggl
Anak perempuan
6 2/3 Jika dua orang atau lebih
dari anak laki-laki
1/6 Jika tidak ada anak laki-laki
Saudara 1/2 Jika tunggal dan tidak ada anak
7 perempuan 2/3 Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak
sekandung ABG Jika bersama dengan saudara laki-laki
Jika tidak ada saudara sekandung, tidak ada anak dan
1/2
Saudara tunggal
8 perempuan Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak dan
2/3
sebapak tunggal
1/6 Jika tidak ada anak, hanya ada saudara sekandung
1/6 Jika tidak ada saudara sekandung dan sebapak
Saudara
9 Jika dua orang atau lebih dan tidak ada sebagaimana di
perempuan seibu 1/3
atas
1/6 Jika tidak ada Bapak
10 Kakek
ABN Jika tidak ada anak laki-laki dan tidak ada Bapak
1/3 Jika tidak ada Ibu dan tidak ada anak
11 Nenek
1/6 Jika tidak ada Ibu

(Ash-Shiddiqi, 1997).

Dzawil furudh adalah ahli waris yang berhak mendapatkan bagian tertentu, seperti
1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3. Ahli waris tersebut perempuan atau laki-laki, seperti anak
perempuan, cucu perempuan, ibu, bapak dan lain-lain.
Ahli waris dikalangan perempuan adalah: Anak cucu perempuan; Cucu perempuan
dari anak laki-laki; Ibu; Nenek dari bapak; Saudara perempuan sekandung; Saudara
perempuan sebapak; Saudara perempuan seibu; Istri; dan yang memerdekakan.

Adapun ahli waris dari laki-laki adalah: Anak laki-laki; Cucu laki-laki dari anak laki-
laki; Bapak; Kakek; Saudara laki-laki sekandung; Saudara laki-laki sebapak; Saudara laki-
laki seibu; Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung; Anak laki-laki dari saudara
sebapak; Saudara laki-laki sekandung dari bapak; Saudara laki-laki dari sebapak dari bapak;
Anak laki-laki dari saudara bapak sekandung; Anak laki-laki dari saudara bapak sebapak;
Suami; dan yang memerdekakan.

Jika ahli waris ada semua, baik dari pihak perempuan maupun dari pihak laki-laki,
maka yang dapat bagian adalah: Anak perempuan; Anak laki-laki; Ibu; Bapak; dan
Suami/istri.

6. Ashabah

Ashabah adalah ahli waris yang berhak mendapatkan bagian sisa, setelah diambil oleh
dzawil furudh. Ahli waris yang menjadi ashabah kebanyakan dari laki-laki, seperti anak
laki-laki dan seterusnya, walaupun demikian, dapat juga dari ahli waris perempuan. Dengan
demikian, maka ashabah dapat dibedakan menjadi.

a. Ashabah binnafsi: yaitu ashabah yang mendapatkan bagian sisa secara langsung tanpa
perantara dan tidak terhalangi, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki dan lain-lain:

Adapun urutan ashabah binnafsi adalah: Anak laki-laki; Cucu laki-laki dari anak laki-
laki; Bapak; Kakek; Saudara laki-laki sekandung; Saudara laki-laki sebapak; Anak laki-
laki saudara laki-laki sekandung; Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak; Saudara
laki-laki sekandung dari bapak; Paman yang sebapak dari bapak; Anak laki-laki dari
paman yang sekandung; dan Anak laki-laki dari paman yang sebapak

b. Ashabah bilghair (ABG), yaitu ashabah yang mendapatkan bagian sisa karena bersama-
sama dengan ahli waris lain yang tidak sejenis, seperti anak perempuan yang bersamaan
dengan anak laki-laki.

Adapun ashabah bilghair adalah: Anak perempuan jika bersama dengan anak laki-laki;
Cucu perempuan jika bersama dengan cucu laki-laki; Saudara perempuan sekandung,
jika ada saudara laki-laki sekandung; dan Saudara perempuan sebapak, jika ada saudara
laki-laki sebapak.

c. Ashabah ma’alghair (AMG), yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena bersamaan
dengan ahli waris perempuan (sejenis dan sederajat).

Adapun urutan ashabah ma’alghair adalah: Dua saudara perempuan atau lebih yang
sekandung; Dua saudara perempuan atau lebih yang sebapak; dan Dua saudara
perempuan atau lebih yang seibu.

7. Tirkah

Tirkah adalah harta peninggalan muwarits (orang yang meninggal) setelah dikurangi oleh:
Biaya pemakaman; Utang piutang; Zakat mal dan fitrah; dan Wasiat.

Tirkah juga dapat dipisahkan dari harta bawaaan istri, kecuali jika semua harta dijadikan
harta gono-gini, maka setelah dikurangi empat hal diatas itulah tirkah yang sesungguhnya.

Disamping pembagian kadar yang sudah tentu sebagaimana di atas, ada juga bagian ahli
waris lain yang akan mendapatkan bagian, yaitu ashabah, baik ashabah binnafsi (ANB),
ashabah bilghair (ABG), maupun ashabah ma‟alghair (AMG). Bahkan terkadang bagian
ashabah dapat menghalangi bagian yang lain.

Sebelum harta peninggalan muwarits dibagikan selain empat hal di atas, yaitu: (1) biaya
pemakaman, (2) utang, (3) zakat, dan (4) wasiat, masih ada yang perlu diperhatikan, yaitu
penghalang yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan haknya. Hal itu disebut hijab.

8. Hijab

Dalam ilmu waris ada dua macam hijab (penghalang memperoleh warisan). Adapun hijab
dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Hijab nuqson, yaitu penghalang yang bersifat mengurangi bagian yang sudah
ditentukan, penghalang ini bersifat kondisional, terkadang mengurangi bagian,
walaupun terkadang menutupi seluruh bagian dari ahli waris.

b. Hijab hirman, yaitu penghalang yang dapat menghilangkan seorang ahli waris untuk
mendapatkan bagian warisnya secara tetap. Adapun yang termasuk hijab hirman adalah:
Berbeda agama; Pembunuhan terhadap muwarits atau ahli waris lain; dan Murtad. Jika
tiga hal itu terdapat pada ahli waris, maka ahli waris dapat kehilangan hak warisnya
secara tetap.
9. A’ul

A’ul menurut bahasa adalah mengangkat atau meninggikan, sedangkan a’ul menurut istilah
adalah menambah saham-saham dzawil furudh atas asal masalah disebabkan dzawil furudh
memerlukan tambahan (Ash-Shiddiqi, 1997: 215).

10. Radd

Radd menurut bahasa artinya dikembalikan, sedangkan menurut istilah radd adalah
dikembalikannya saham (bagian) ahli waris karena tidak ada ahli waris lain yang sederajat
(dzawil furudh) yang belum mendapatkan bagian.

Daftar Pustaka

Nur, Tajudin dkk. (2018). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. Bandung: Unpad
Press.
Abdurrahman Sh., M.H. Dirjen pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Locus
Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Beirut: Daar el-Kitab Al-Araby
Majid, Abdul dkk. (2009). Islam Tuntunan dan Pedoman Hidup. Badung: Value Press.
Nurwardani, Paristiyanti, dkk. (2016). Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi,
Cetakan I, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset dan Teknologi
Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Rahmat, Munawar. (2009). Memahami Misi dan Tujuan Agama Islam. Bandung: Value Press
bekerja sama dengan Jurusan MKDU FPIPS UPI.

Anda mungkin juga menyukai