NA Raperda Tentang RPPLH
NA Raperda Tentang RPPLH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Bagian Mengingat huruf a – f menyebutkan dasar
pertimbangan melakukan perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup, bahwa lingkungan
hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi bagi warga negara wajib dipenuhi dan bahwa adanya
kondisi dimana kualitas lingkungan hidup semakin menurun.
2
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia
Tahun 2014, hlm.1.
2
3
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia
Tahun 2016, hlm.5.
4
Siti Sundari / Koesnadi, Buku Tata Lingkungan, hlm.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan yang diuraikan pada latar belakang di atas dan berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa perlu dirumuskan permasalahan terkait
penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat yang dilihat berdasarkan 4 (empat)
pokok masalah6, yaitu:
1. Merumuskan permasalahan lingkungan hidup dalam ruang lingkup Provinsi
Jawa Barat yang dihadapi sebagai bagian dalam kehidupan berbangsa
bernegara, dan bermasyarakat serta cara mengatasi permasalah tersebut;
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jawa Barat
tentang RPPLH sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Raperda Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH; dan
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup perngaturan,
jangkauan dan arah pengaturan dalam Raperda Provinsi Jawa Barat tentang
RPPLH.
Mengacu pada empat pokok permasalahan tersebut di atas, maka
dirumuskanlah identifikasi masalah dalam penyusunan naskah akademik
Raperda Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH sebagai berikut:
1. Bagaimana menyusun dan mengimplementasi RPPLH di wilayah Provinsi
Jawa Barat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RPPLH Nasional?
5
UU No.32 Tahun 2009, Pasal 1 angka 4.
6
UU No.12Tahun 2011, Lampiran 1 Teknik Penyusunan Naskah Akademik.
D. Metode Penelitian
7
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 122.
BAB II
KAJIAN TEORETIK DAN
PRAKTIK EMPIRIK
1. Pengertian RPPLH
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH Pasal 1 angka 4,
diatur bahwa:
“Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.”
Mengacu pada pengertian tersebut maka yang menjadi pokok bahasan
dalam RPPLH antara lain:
a. Merupakan perencanaan tertulis.
Sebagai rencana yang tertulis, tentunya harus menggunakan metodelogi
ilmiah sehingga dapat menghasilkan perencanaan yang berasal dari
kajian ilmiah;
b. Memuat potensi lingkungan hidup dalam sebuah wilayah.
Wilayah yang dimaksud terkait penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat,
maka potensi lingkungan hidup yang harus dimuat adalah potensi
lingkungan hidup yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Barat;
c. Memuat masalah lingkungan hidup dalam sebuah wilayah.
Terkait penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat, maka masalah
lingkungan hidup yang harus terpotret dan teridentifikasi adalah
permasalahan di wilayah Provinsi Jawa Barat;
d. Memuat upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Rencana yang disusun dalam RPPLH merupakan rencana yang
mengandung aspek maupun bertujuan sebagai upaya perlindungan dan
pengelolaan bagi lingkungan hidup.
RPPLH disusun untuk menjadi dasar dan dimuat dalam RPJMP/RPJMD);
serta menjadi arahan pemanfaatan sumber daya alam yang berdasarkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. RPPLH disusun atas
dasar8:
a. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
8
Kajian Teknis RPPLH Jawa Barat 2017, hlm.19
9
Ibid, hlm.20.
2. Kedudukan RPPLH
Pasal 10 ayat (3) UU No.32 Tahun 2009 menyatakan bahwa RPPLH
diatur dan berbentuk Peraturan Perundang-undangan, secara hirarkis:
a. Peraturan Pemerintah untuk RPPLH Nasional;
b. Peraturan Daerah Provinsi untuk RPPLH Provinsi; dan
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota untuk RPPLH Kabupaten/Kota.
10
Ibid, hlm. 14.
11
Ibid, hlm.16.
12
Ibid.
13
Ibid, hlm.18.
14
UUPPLH Pasal 5.
PENETAPAN
INVENTARISASI
LINGKUNGAN HIDUP
WILAYAH PENYUSUNAN RPPLH
EKOREGION
15
Draft Naskah Akademik RPPLH Provinsi Jawa Barat 2014, Bab 2 Hlm.3.
16
Draft Naskah Akademik RPP RPPLH 2014, Hlm.34.
Ekoregion dihasilkan dari konsep geografis dan spasial, oleh karena itu
data yang muncul adalah berupa peta, dalam melakukan proses
inventarisasi data dan informasi lingkungan hidup, terutama tahap
inventarisasi akan menjadi tahap selanjutnya dalam menentukan wilayah
ekoregion maka pertimbangan terkait infrastruktur data spasial merupakan
aspek yang berpengaruh dalam tahap inventarisasi lingkungan hidup.
Data Spasial adalah rekaman yang memperlihatkan distribsusi secara
spasial suatu fakta atau fenomena; data hasil pengukuran, pencatatan, dan
pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada,
atau diatas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada
sistem koordinat nasional17. (Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2007).
Infrastruktur Data Spasial (IDS) merupakan suatu inisiatif untuk
membuat suatu kondisi yang memungkinkan berbagai macam pengguna
dapat mengakses dan memperoleh data dalam cakupan IDS tertentu,
secara lengkap, konsisten, mudah dan aman. Agar IDS dapat terwujud dan
memberikan manfaat yang maksimal, ada lima komponen yang harus diatur,
yaitu: Data spasial, Kebijakan, Standar, Teknologi, dan SDM. Kelima
komponen di atas, akan diuraikan untuk melihat aspek-aspek inventarisasi
lingkungan hidup18.
UUPPLH Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa kegiatan
inventarisasi lingkungan hidup bermaksud untuk memperoleh data dan
informasi mengenai sumber daya alam berupa:
1) potensi dan ketersediaan;
2) Jenis yang dimanfaatkan;
3) Bentuk penguasaan;
4) Pengetahuan pengelolaan;
5) Bentuk kerusakan; dan
6) Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
17
Ibid, Hlm. 35.
18
Ibid.
19
Supra catatan no.1 pada 16.
Selain itu, tujuan lainnya dari penetapan ekoregion adalah agar secara
fungsional dapat menghasilkan perencanaan perlindungan-pengelolaan
lingkungan hidup, pemantauan, dan evaluasinya secara bersama antar
daerah yang saling bergantung, meskipun dalam kegiatan operasional
pembangunan tetap dijalankan masing-masing oleh dinas wilayah
administrasi sesuai kewenangannya masing-masing. Penentuan wilayah
dan pemetaan ekoregion dimaksudkan untuk dapat digunakan dalam
berbagai tujuan, yaitu :
1) Sebagai unit analisis dalam penetapan daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
2) Sebagai dasar dalam memberikan arahan untuk penetapan rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan untuk
perencanaan pembangunan yang disesuaikan dengan karakter wilayah.
3) Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup yang mengandung persoalan pemanfaatan,
pencadangan sumber daya alam maupun persoalan lingkungan hidup.
4) Sebagai acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa
ekosistem/lingkungan yang mempertimbangkan keterkaitan antar
ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain dalam satu ekoregion,
sehingga dapat dicapai produktivitas optimal untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Penetapan Wilayah Ekoregion dihasilkan dari hasil inventarisasi lingkungan
hidup tingkat nasional dan inventarisasi lingkungan hidup tingkat
pulau/kepulauan, setelah ditetapkan wilayah ekoregion tersebut dilakukan
inventarisasi wilayah tingkat ekoregion. Tahap tersebut memperlihatkan
kedudukan penetapan wilayah ekoregion sangat penting untuk dapat
melanjutkan tahapan berikutnya. Selain itu penetapan wilayah ekoregion
akan digunakan dalam membentuk RPPLH sejak tingkat nasional hingga
daerah karena dalam tahap inventarisasi ekoregion selalu dilakukan pada
setiap tahapnya.
4) karst yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil pelarutan batu gamping;
5) organik/koral;
6) struktural yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses tektonik;
7) vulkanik yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil letusan gunung
berapi; dan
8) denudasional yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses gradasi dan
degradasi yang umumnya pada lahan berbatuan sedimen.
d. Dataran organik/koral Jawa (1)
Ekoregion dataran organik/koral Jawa terdapat di Kabupaten Cianjur
bagian selatan. Asal proses pembentukan dataran organik/koral Jawa
adalah aktivitas organik pada zona laut dangkal (litoral) yang kemudian
mengalami pengangkatan daratan atau penurunan muka air laut sehingga
terumbu karang muncul ke permukaan dan mengalami metamorfosis
membentuk batu gamping terumbu. Kondisi iklim pada dataran organik
cenderung kering dengan curah hujan tahunan 1.000-2.500 mm dan suhu
udara rata-rata 26-28oC. Topografi ekoregion dataran organik berupa
dataran dengan morfologi atau relief datar hingga landai dengan kemiringan
lereng secara umum 0-3% hingga berombak (3-8%). Material penyusun
ekoregion ini adalah batuan sedimen organik atau non klastik berupa batu
gamping terumbu atau koral sebagai hasil proses pengangkatan dan
metamorphosis terumbu karang. Sifat material batu gamping terumbu yang
banyak diaklas (retakan) dan lubang-lubang pelarutan menyebabkan
material ini tidak mampu menyimpan air dengan baik. Air tanah dijumpai
berupa air tanah dangkal atau air tanah bebas dengan potensi sangat
terbatas dan input utama air hujan. Di ekoregion ini mata air relatif sulit
ditemukan dan sistem hidrologi permukaan tidak berkembang.
Kondisi batu gamping terumbu yang relatif masih segar belum
memungkinkan proses pembentukan tanah secara baik. Kemungkinan
masih berupa bahan induk tanah yang berupa material pasir terumbu
berwarna putih dan bersifat granuler (terlepas-lepas). Pemanfaatan lahan di
ekoregion ini secara umum adalah untuk pariwisata alam. Ekoregion dataran
organik/koral berfungsi sebagai habitat bagi fauna perairan laut dangkal.
Fauna asli pada ekoregion ini berupa terumbu karang. Sedangkan pada
dataran organik yang sudah berkembang sebagai kawasan wisata dan
permukiman, ditemukan flora berupa tanaman semusim dan tanaman
pekarangan dengan fauna domestik. Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion ini adalah jasa pengaturan tata air.
berbagai tipe substrat dari mulai tanah, lumpur, hingga pasir pantai, dan juga
flora dan fauna yang dapat beradaptasi pada kondisi salinitas yang
bervariasi. Fauna pada ekosistem estuari juga merupakan kombinasi antara
fauna daratan, fauna air tawar, dan fauna air asin (Office of Environment &
Heritage). Ekosistem ini ditempati oleh vegetasi daratan dan vegetasi
mangrove, walaupun sebagian merupakan bukan mangrove sejati seperti
Nipah (Nypa fruticans), Bintaro (Cerbera manghas), dan Pandan Hutan
(Pandanus odoratissima).
Ekosistem alami yang menempati dataran fluvial Cilacap adalah
hutan riparian. Hutan riparian merupakan hutan yang menjadi peralihan
antara daratan dan ekosistem akuatik seperti sungai dan danau. Ekosistem
ini ditempati oleh vegetasi yang teradaptasi terhadap variasi muka air
sungai, sehingga terkadang hidup dalam kondisi daratan dan terkadang
hidup dalam kondisi terendam air. Ekosistem ini memiliki peran yang penting
terhadap aliran sungai, yaitu sebagai peneduh sehingga menjaga suhu
perairan tetap stabil. Hutan riparian juga menjadi sumber energi bagi
ekosistem perairan di sekitarnya karena jatuhan daun dari hutan ini akan
masuk ke perairan sebagai sumber material organik dan terdekomposisi
sehingga menjadi sumber nutrisi yang dapat digunakan dalam rantai
makanan. Hutan riparian berfungsi sebagai habitat berbagai jenis satwa dan
sebagai koridor pergerakan satwa sepanjang aliran sungai. Sistem
perakaran vegetasi riparian membantu untuk mengikat tanah sehingga
meminimalisir terjadinya erosi pada bantaran sungai. Vegetasi riparian juga
berperan dalam menyaring polutan dan kelebihan nutrisi dari daratan
sehingga tidak memasuki dan mengganggu kualitas perairan (Water &
Rivers Commision, 2000).
f. Dataran vulkanik (4-5)
Ekoregion dataran vulkanik di Jawa Barat tergolong menjadi dataran
vulkanik Bantar Waru (kode pada peta: 4) dan dataran vulkanik Serang-
Tanggerang-Depok (kode pada peta: 5). Dataran vulkanik Bantar Waru
terdapat di Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Subang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Majalengka. Sedangkan
dan tanah alluvial yang berwarna lebih muda. Kedua jenis tanah tersebut
merupakan tanah yang subur dengan kandungan hara tinggi, solum tebal,
dengan tekstur pasir bergeluh hingga geluh berpasir, struktur remah hingga
pejal, dan mampu meresapkan air hujan sebgai input air tanah dengan baik.
Tanah alluvial dan grumusol potensial untuk pengembangan lahan pertanian
tanaman semusim dengan irigasi intensif. Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion Dataran Vulkanik Bantar Waru adalah jasa pengendalian hama
dan penyakit, sementara jasa ekosistem maksimal pada Dataran Vulkanik
Serang-Tangerang-Depok adalah produksi primer.
Ekosistem alami pada dataran vulkanik adalah ekosistem hutan hujan
dataran rendah yang mengisi seluruh jenis dataran vulkanik di Jawa Barat
(dataran vulkanik Bantar Waru dan dataran vulkanik Serang – Tanggerang –
Depok). Ekosistem hutan hujan dataran rendah terdapat pada ketinggian
kurang dari 1.000 m di atas permukaan laut. Hutan dataran rendah
merupakan ekosistem yang paling kaya akan keanekaragaman hayati.
Berdasarkan dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa
Barat (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008,
2008), pada saat ini ekosistem hutan hujan dataran rendah hanya tersisa
sedikit dan terfragmentasi dengan masing-masing luasan kecil.
Ekosistem ini tersusun oleh berbagai macam vegetasi khas dataran
rendah dengan keanekaragaman jenis yang sangat tinggi dibandingkan
dengan hutan pegunungan. Hutan dataran rendah memiliki karakteristik
kerapatan vegetasi yang rendah dengan pepohonan yang menjulang tinggi
dengan diameter batang yang besar, didominasi oleh pepohonan dengan
akar papan/banir, dan terdiri dari beberapa lapisan tajuk vegetasi (van
Steenis, 2006). Tumbuhan cauliflora (tumbuhan yang berbunga pada
batang) terdapat banyak pada ekosistem ini seperti jenis-jenis dari famili
Moraceae (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun
2008, 2008). Tidak seperti hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan
yang didominasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, hutan dataran
rendah Jawa pada umumnya tidak memiliki famili atau jenis tumbuhan yang
dominan. Namun biasanya terdapat beberapa spesies pohon yang selalu
dominan adalah andosol, latosol, dan litosol. Jenis tanah andosol dan latosol
tergolong subur.
Sebagian besar kawasan ekoregion ini masih berhutan lebat.
Meskipun begitu, karena kondisi tanah yang tergolong subur, sebagian kecil
wilayah pada beberapa daerah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Kondisi iklim yang sejuk dan tanah yang subur menjadikan pemanfaatan
lahan di ekoregion ini berupa pertanian yang didominasi tanaman sayuran
dan buah-buahan. Selain itu, kondisi ekoregion ini yang sejuk, berhutan
lebat, dan memiliki banyak kawah vulkanik dapat dimanfaatkan sebagai
daerah wisata, seperti contohnya di kawasan Puncak di Bogor, Gunung
Tangkuban Perahu di Bandung Utara dan Kawasan Kawah Putih Gunung
Patuha di Bandung Selatan, serta Gunung Papandayan di Garut.
Ekoregion ini berasosiasi dengan jajaran pegunungan vulkanik di
Jawa Barat. Sebagian besar kawasan ekoregion ini masih berhutan lebat
dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena sebagian besar
wilayah ekoregion ini berstatus sebagai kawasan konservasi, yaitu Cagar
Alam (CA), Taman Wisata Alam (TWA), Suaka Margasatwa (SM), dan
Taman Nasional (TN). Ekoregion ini dapat ditemukan di wilayah TN Halimun
Salak di Bogor; TN Gunung Gede-Pangrango di Kabupaten Bogor dan
Sukabumi; CA Burangrang, CA Junghuhn, CA/TWA Tangkuban Perahu di
Bandung Utara; CA Gunung Tilu, CA Gunung Malabar, CA/TWA Telaga
Patengang, TWA Cimanggu di Bandung Selatan; CA/TWA Gunung
Papandayan, CA/TWA Kamojang di Garut; CA Gunung Jagat di Kabupaten
Sumedang; CA/TWA Telaga Bodas di Kabupaten Garut dan Tasikamalaya;
TN Gunung Ciremai di Kabupaten Majalengka dan Kuningan; CA Panjalu
dan SM Gunung Sawal di Kabupaten Ciamis (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008). Jasa ekosistem maksimal
pada ekoregion Pegunungan Vulkanik Gunung Ciremai adalah jasa
pengendalian hama dan penyakit, sementara jasa ekosistem maksimal di
Pegunungan Vulkanik G. Halimun-G. Salak-G. Sawal adalah produksi
primer.
Sebaliknya bergerak kearah barat dari saat air menuju pasang hingga saat
air tertinggi dengan kecepatan maksimum 0,16 m/detik. Pola arus pasang
surut pada saat purnama menunjukkan bahwa arus bergerak kea rah timur
dari saat air menuju surut hingga saat air tersurut dengan kecepatan
maksimum 0,63 m/detik. Sebaliknya bergerak kearah barat dari saat air
menuju pasang hingga air tertinggi dengan kecepatan maksimum 0,4
m/detik.
Ekosistem alami di ekoregion Laut Jawa di Provinsi Jawa Barat
adalah ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Secara umum luas
ekosistem terumbu karang sisi utara Jawa Barat lebih rendah dibandingkan
dataran pantai bagian selatan. Luas ekosistem terumbu karang di utara
Jawa Barat adalah sekitar 3326,47 hektar, sedangkan di dataran pantai
selatan Jawa Barat luas ekosistem terumbu karang sekitar 9479,98 hektar
(BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).
Ekosistem terumbu karang di Laut Jawa Provinsi Jawa Barat ditemui di
Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Terumbu karang di
ekoregion ini merupakan terumbu karang marjinal yang terbentuk sejak akhir
masa glasial dan merupakan terumbu karang unik yang teradaptasi
terhadap sedimen tinggi (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup
Daerah Tahun 2009, 2009). Sementara itu, ekosistem padang lamun di
utara Jawa Barat hanya terdapat di Kabupaten Karawang serta di Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan luas sekitar 52 hektar. Jenis dominan
yang ditemukan di ekosistem padang lamun di Jawa Barat yaitu Thallassia
sp. dan Enhalus acoroides (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup
Daerah Tahun 2008, 2008).
Tabel 2.2 Luas Kawasan Ekologi Berdasarkan Bentang Alam (Sumber : Hasil Olahan, 2014)
15 Sawah 79.000,24
16 Perdesaan 170.435,44
17 KB-Tubuh Air 20.954,52
Tabel 2.2 Pola Ruang Kawasan Ekoregion Cidurian Citarum
Ket : LNH = Lindung Non Hutan
KB = Kawasan Budidaya
Sumber : Hasil Olahan, 2014
resap kecil sampai kedap air.Sedangkan sekitar 593,47 km2 daerah hulu
tergolong rawan longsor menengah sampai tinggi.
Tata air Kawasan Ekologi Cidurian -Citarum, menunjukkan hampir separuh
kawasan(2.523,40 km2) tergolong daerah kering dengan curah hujan rata-rata <
2.000mm/tahun dan hanya sebagian kecil kawasan di puncak G.Tampomas
(401,10 km2) tergolong mempunyai curah hujan berlebihan dengan curah hujan
rata-rata > 4.000mm/tahun.
Kawasan diatur oleh enam DAS yaitu Pagadungan, Cilamaya, Ciasem,
Cipunagara, Kali Beji dan Cipanas. Keenam DAS tersebut mempunyai bagian
hulu yang lebih sempit dibandingkan dengan daerah hilir sungainya, serta tidak
semua lahan dibagian hulu tergolong mempunyai daya resap besar, bahkan
lebih dari seperti galahan di daerah hulu tergolong mempunyai daya resap kecil
sampai kedap air. Di Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas tercakup 7 Cekungan
Air Tanah (CAT) dengan luas daerah luahan dan imbuhan/ resapan air tanah
masing-masing 1.386,50 km2 dan 718,88 km2.
Pada Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas telah ditetapkan kawasan hutan
konservasi dan kawasan hutan lindung untuk melindungi kekayaan hayati, tata
air dan tanah dengan total luas masing-masing adalah 27,92 km2 dan 392,89
km2. Termasuk dalam kawasan hutan konservasi antara lain adalah Cagar Alam
Burangrang (2.700 Ha), Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung
Tangkubanprahu (1.660 Ha), dan Taman Wisata Alam G. Tampomas (1.250
Ha).
d. Kawasan Ekologi Cimanuk - Cisanggarung
Kawasan ini merupakan daerah aliran sungai (DAS) dari 6 sungai. Curah
hujannya berkisar dari kering di daerah pantai sampai kelewat basah di
sebagian puncak gunung api.
Terdapat areal yang ditetapkan sebagai hutan konservasi dan hutan lindung,
terutama di daerah pegunungan dan puncak gunung. Rangkaian gunung api
pada Kawasan Ekologi Cimanuk – Cisanggarung terdiri dari G.Ciremai (3.078
m), G. Cakrabuwana, G. Talagabodas (2.201 m), G.Cikuray (2.821 m), G.
Papandayan (2.622 m) dan G. Guntur (2.249 m). Kecuali G.Cakrabuwana dan
G. Cikuray, keempat gunung lainnya masih dikategorikan sebagai gunung api
aktif.
Kawasan Ekologi Cimanuk-Cisanggarung didominasi oleh lahan datar dengan
kemiringan 0-8% (3712,29 km2), hanya sebagian kecil merupakan daerah
berkemiringan lereng > 45% (180,24 km2) dan berketinggian > 2.000 m (57,01
km2). Sekitar separuh kawasan (3.488,45 km2) tergolong mempunyai daya
resap air tinggi sampai sedang dan sekitar seperenam luas kawasan (1.102,89
km2) tergolong mempunyai daya resap kecil sampai kedap air. Sekitar
seperempat luas kawasan (1.533,64 km2) tergolong rawan longsor menengah
sampai tinggi, lokasinya tersebar dipegunungan patahan dan rangkaian gunung
api.
Tata air Kawasan ekologi Cimanuk-Cisanggarung, menunjukkan sekitar
sepertujuh kawasan (991,70 km2) tergolong daerah kering dengan curah hujan
rata–rata <2.000mm/tahun dan hanya sebagian kecil (123,40 km2) daerah di
rangkaian gunung api tergolong mempunyai curah hujan berlebihan dengan
curah hujan rata -rata >4.000mm/tahun.
Kawasan diatur oleh enam DAS, yaitu Cimanuk, Cimanggis, Ciwatingin,
Kalibunder, Bangkaderes dan Cisanggarung. Kecuali Kalibunder dan S.
Bangkaderes,keempat sungai lainnya mempunyai bagian hulu yang lebih luas
dibandingkan dengan bagian hilir sungainya.
Pada Kawasan Ekologi Cimanuk -Cisanggarung tercakup 12 Cekungan Air
Tanah (CAT) dengan luas daerah luahan dan imbuhan/resapan air tanah
masing-masing 3.150,60 km2 dan 1.828,08 km2.
14 Perkotaan 26.374,94
15 Sawah 30.869,48
16 Perdesaan 379.721,56
17 KB-Tubuh Air 8.275,19
Tabel 2.5 Pola Ruang Kawasan Ekoregion Citanduy Cimandiri
Ket : LNH = Lindung Non Hutan
KB = Kawasan Budidaya
Sumber : Hasil Olahan, 2014
C. Jasa Ekosistem
Jasa ekosistem adalah barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem
alami yang bermanfaat untuk manusia20. Makna lainnya adalah kondisi dan
proses yang terdapat pada ekosistem alami dan spesies yang membuat mereka
dapat mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan hidup manusia 21. Hal ini
dapat juga dinyatakan sebagai manfaat yang dihasilkan untuk manusia atau
20
Price, 2008.
21
Daily, dkk, 1997.
lingkungan alami, yang diakibatkan oleh fungsi ekosistem. Sementara Kremen 22,
mendefinisikan jasa ekosistem adalah sekumpulan fungsi ekosistem yang
berguna bagi manusia. Definisi lain dari jasa ekosistem adalah komponen alam
yang secara langsung dinikmati, dikonsumsi, atau digunakan untuk
kesejahteraan manusia. Contoh jasa ekosistem adalah pemurnian air,
biodiversitas, pengendali banjir, perlindungan angin dan penyediaan makanan.
Menurut Carroll23, barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem memiliki
hubungan langsung dengan kesehatan ekonomi lokal dan global.
Banyak dari jasa ekosistem merupakan faktor kritis untuk kemampuan
bertahan hidup manusia (misalnya regulasi iklim, pembersihan udara, dan
penyerbukan tanaman) sementara yang lainnya meningkatkan kualitas hidup
(aestetika) manusia. Namun dominasi manusia pada biosfer telah mendorong
perubahan cepat dalam komposisi struktur dan fungsi ekosistem 24, sehingga
dalam banyak kasus kapasitas mereka dalam menyediakan jasa yang
diperlukan menjadi berkurang atau terkikis. Pemahaman ekologis yang rinci dari
sebagian besar jasa ekosistem masih sedikit, sehingga merintangi kemajuan
dalam konservasi dan manajemen jasa ekosistem.
Susunan jasa ekosistem dihasilkan oleh interaksi kompleks yang saling
mempengaruhi dari kekuatan aliran energi matahari dan proses ini berjalan
lintas skala ruang waktu25. Sebagai contoh proses penguraian limbah melibatkan
siklus hidup bakteri seperti halnya siklus unsur-unsur kimia utama di planet ini
misalnya siklus karbon dan nitrogen. Proses seperti itu berharga trilyunan dolar
setiap tahun. Namun karena sebagian besar dari manfaat itu tidak dihargai di
pasar ekonomi, maka perhatian masyarakat terhadap persediaan atau
penurunan jasa ekosistem yang dihasilkannya kurang atau bahkan tidak ada
karena ancaman untuk sistem ini terus meningkat, ada suatu kebutuhan kritis
untuk identifikasi dan monitoring dari jasa ekosistem baik secara lokal dan
22
Kremen, 2005.
23
Caroll, 2009.
24
Vitousek dkk, 1997
25
Daily dkk, 1997
Gambar 2.5/2.9. Persebaran penduduk di Provinsi Jawa Barat tahun 2015 dalam sistem grid 30”×30
Indikasi daya dukung dan daya tampung di Wilayah Ekoregion Provinsi Jawa Barat
dibagi berdasarkan analisis ambang batas, status daya dan kerentanan terhadap
bahaya, berdasarkan Kajian teknis pembentukan peraturan daerah Provinsi Jawa Barat
tentang RPPLH indikasi daya dukung dan daya tampung di Wilayah Ekoregion Provinsi
Jawa Barat terbagi menjadi:
1. Ambang batas dan status daya dukung penyedia bahan pangan;
2. Ambang batas dan status daya dukung penyedia air bersih;
3. analisis daya tampung sampah;
4. Analisis emisi udara; dan
5. kerentanan terhadap bahaya yang terkait dengan perubahan iklim.
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selain harus berdasarkan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal
6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut juga harus memuat materi
muatan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan asas:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaam kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban, kepastian hukum, dan atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas
materi muatan peraturan perundang-undangan, Pasal 6 ayat (2) UU Nomor
12 Tahun 2011 menyatakan bahwa selain asas-asas materi muatan
peraturan perundang-undangan, Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan, dalam hal ini prinsip maupun asas yang
terkait dengan lingkungan hidup dapat menjadi muatan asas.
26
Suparto Wijoyo dan A’an Efendi. Hukum Lingkungan Internasional.,hlm. 86.
27
UU No.32 tahun 2009, Pasal 2.
sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan
sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
j. Asas pencemar membayar
Asas pencemar membayar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf j
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf bahwa yang
dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap
penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya
pemulihan lingkungan.
k. Asas partisipatif
Asas partisipatif sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf k diberikan
penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf k bahwa yang dimaksud
dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong
untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Partisipasi masyarakat menurut rumusan UNDP, artinya semua warga
masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
l. Asas kearifan lokal
Asas kearifan lokal sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf l
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf l bahwa yang
dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
m. Asas tata kelola pemerintahan yang baik
Asas tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 2 huruf m diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf m
bahwa yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik”
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh
prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
d. Asas "keterbukaan" yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
e. Asas "proporsionalitas" yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;
f. Asas "profesionalitas" yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
g. Asas "akuntabilitas" yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Perencanaan pada penyusunan peraturan daerah tentunya harus
memperhatikan asas- asas yang terdapat pada Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan
negara yang terdiri atas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggara negara;
c. kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efisiensi;
i. efektivitas; dan
j. keadilan.
28
Wilayah ekoregion yang dimaksud dalam subbab ini bersumber dari Kajian Teknis Pembentukan RPPLH
Provinsi Jawa Barat Tahun 2017.
Kondisi ekosistem
coral yang relatif
masih baik dapat
mendukung
perkembangbiakan
ikan dan hasil laut
lainnya sebagai
sumber pangan.
Impacts Responses
Wilayah ini dapat berperan sebagai wilayah Pemeliharaan kondisi ekosistem di dalam
penyangga untuk penyedia dan tata air, serta wilayah ekoregion; kerjasama dengan daerah
sebagai sumber pangan khususnya dari sektor disekitarnya dalam hal penyediaan pangan.
perikanan tangkap, kedua hal tersebut
berpotensi untuk sebagai pemasukan
pendapatan daerah.
Pertumbuhan penduduk Aktivitas ekonomi dan Alih fungsi lahan dan tekanan Degradasi
cukup tinggi di Kota wisata di Kab. emisi sampah akibat aktivitas ekosistem hutan
Banjar Pangandaran wisata terhadap hutan pesisir pesisir dan hutan
dan hutan hujan dataran rendah hujan dataran
di Cagar Alam Pangandaran. rendah di CA
Pangandaran
Impacts Responses
Wilayah ini dapat berperan sebagai wilayah Pemeliharaan kondisi ekosistem di dalam wilayah
penyangga untuk penyedia tata air, serta sebagai ekoregion, serta koordinasi lintas wilayah untuk
sumber pangan dari produksi serat, kedua hal pengelolaan kawasan cagar alam dan taman wisata
tersebut berpotensi untuk sebagai pemasukan alam Pangandaran yang berkelanjutan.
pendapatan daerah.
Penurunan kualitas
Polusi udara di Kota Cirebon
udara di Kota Cirebon
Penurunan kualitas air
Polusi air di Kota Cirebon
Pertumbuhan kota Cirebon bersih di Kota Cirebon.
Timbulan sampah diprediksi Penurunan kualitas
mencapai 362.528.950 tanah, udara, dan air di
liter/tahun di Kota Cirebon Kota Cirebon.
pada 2045
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk aktivitas pertanian di dukung air di Kab.
Kab. Majalengka Majalengka
Aktivitas pertanian di
Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
Proyeksi pertumbuhan Kab. Majalengka
berlebih dan pestisida ke di Kab. Majalengka
penduduk Kota Cirebon (6.822,6 Ha) untuk
badan air di Kab. Majalengka
kota Cirebon
Pelepasan gas methana ke Penurunan kualitas
udara di Kab. Majalengka udara di Kab.
Majalengka
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem untuk Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
penghasil air dan pangan serta pemurnian air Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
akibat meningkatnya aktivitas pertanian yang pertanian terhadap lingkungan.
dapat mempengaruhi penurunan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Kerjasama antar Kabupaten Majalengka dan Kota
Kabupaten Majalengka. Cirebon dalam hal penyediaan sumber pangan
berkelanjutan.
Tabel 2.12. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Vulkanik Bantar Waru
wilayah ini adalah pengendalian hama penyakit, produksi primer (oksigen dan
habitat spesies), tata air, pencegahan dan perlindungan bencana dan
pemeliharaan kualitas udara. Namun hal tersebut dapat terancam keberadaan
dan keberlangsungannya akibat tekanan proyeksi penduduk yang tinggi di tahun
2045 di Kabupaten Cirebon yang berpengaruh pada penyediaan jasa ekosistem
tata air dari Gunung Ciremai dan degradasi ekosistem dan berkurangnya
keanekaragaman hayati. Proyeksi tekanan penduduk tinggi ini juga berpotensi
meningkatkan resiko bencana longsor, khususnya di kawasan perbatasan
Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, serta peningkatan aktivitas
pertanian di Kabupaten Cirebon, Majalengka dan Kuningan. Koordinasi dan
kerjasama antara Kabupaten Majalengka dan Kuningan untuk menjaga
keberlangsungan ekosistem di Taman Nasional Gunung Ciremai agar dapat
mengurangi bahaya longsor di perbatasan kedua kabupaten tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan data tahun 2015 dan proyeksi 2045, status daya
dukung pangan dan air, sebagian wilayah di Kabupaten Cirebon dan Kota
Cirebon telah melampaui ambang batasnya. Untuk timbulan sampah Kabupaten
dan Kota Cirebon memiliki volume timbulan yang tinggi, namun kedua daerah
tersebut tidak memiliki lahan yang sesuai untuk TPA. Analisis DPSIR ekoregion
Dataran Vulkanik Ciremai dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk aktivitas pertanian di dukung air di Kab.
Kab. Majalengka Majalengka
Aktivitas pertanian di
Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
Proyeksi pertumbuhan Kab. Majalengka
berlebih dan pestisida ke di Kab. Majalengka
penduduk Kota Cirebon (6.822,6 Ha) untuk
badan air di Kab. Majalengka
kota Cirebon
Pelepasan gas methana ke Penurunan kualitas
udara di Kab. Majalengka udara di Kab.
Majalengka
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem untuk Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
penghasil air dan pangan serta pemurnian air Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
akibat meningkatnya aktivitas pertanian yang pertanian terhadap lingkungan.
dapat mempengaruhi penurunan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Kerjasama antar Kabupaten Majalengka dan Kota
Kabupaten Majalengka. Cirebon dalam hal penyediaan sumber pangan
berkelanjutan.
Tabel 2.14. Analisis DPSIR ekoregion DataranVulkanik Ciremai
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Alih fungsi lahan Penurunan produksi
sawah untuk padi sebesar 499,86
pemukiman 3.989,67 Ton/tahun di Kota
Ha di Kota Bandung, Tasikmalaya,
Perluasan pemukiman di
510,29 Ha di kota 16.393,55 Ton/tahun
Kota Sukabumi, Kota Bogor,
Cimahi dan 84,11 Ha di Kota Bandung, dan
Kota Bandung, Kota Cimahi,
di kota Tasikmalaya 3.038,78 Ton/tahun di
Kota Tasikmalaya
Kota Cimahi
menyebabkan
penurunan daya
dukung pangan
Pelepasan emisi dan Penurunan kualitas
gas rumah kaca di udara di Kota
Kota Sukabumi, Kota Sukabumi, Kota
Bogor, Kota Bandung, Bogor, Kota Bandung,
Kota Depok, Kota Kota Depok, Kota
Cimahi, dan Kota Cimahi, dan Kota
Tasikmalaya Tasikmalaya
Pelepasan pencemar Penurunan kualitas air
ke badan air di Kota bersih di Kota
Sukabumi, Kota Sukabumi, Kota
Bogor, Kota Bandung, Bogor, Kota Bandung,
Kota Depok, Kota Kota Depok, Kota
Cimahi, dan Kota Cimahi, dan Kota
Tasikmalaya Tasikmalaya
Timbulan sampah Penurunan kualitas
pada 2045 mencapai air, kualitas tanah, dan
Proyeksi
411.650.650 kualitas udara di Kota
pertumbuhan liter/tahun di Kota Sukabumi, Kota
penduduk di kota Sukabumi, Bogor, Kota Bandung,
Depok, Bogor, 1.586.293.650 Kota Depok, Kota
Pertumbuhan kota Sukabumi,
Sukabumi, Bandung, kota Bogor, kota Bandung, liter/tahun di Kota Cimahi, dan Kota
Cimahi dan kota Depok, kota Cimahi dan Bogor, 3.756.399.325 Tasikmalaya
Tasikmalaya kota Tasikmalaya liter/tahun di Kota
Bandung,
887.949.188
liter/tahun di Kota
Cimahi, dan
901.576.463
liter/tahun di Kota
Tasikmalaya
Pemanfaatan air di
Kab. Bogor untuk kota
Bogor
Pemanfaatan air di
Kab. Bandung, Kab. Penurunan daya
Bandung Barat, dan dukung air di Kab.
Kab. Cianjur untuk Bandung, Kab.
kota Bandung Bandung Barat, dan
Pemanfaatan air di Kab. Cianjur.
Kab. Bandung Barat
dan Kab. Cianjur
untuk kota Cimahi
Aktivitas pertanian di Kab. Penurunan daya
Bogor (16.227,55 Ha) dan dukung air di Kab.
Kab. Sukabumi (4.990,32 Ha) Pemanfaatan air Bogor, Kab.
untuk kota Depok dan kota berlebih untuk Sukabumi, Kab.
Bogor; pertanian Bandung, Kab. Garut,
Kab. Tasikmalaya, dan
Aktivitas pertanian di Kab. Kab. Ciamis
Berkurangnya kemampuan ekosistem penghasil air, tata Kebijakan izin pertambangan dan industri,
air dan pangan sebagai akibat dari pertumbuhan AMDAL dan ambang batas emisi.
penduduk, aktivitas ekonomi dan alih fungsi lahan Kota
Sukabumi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Depok, Penerapan tata kota yang tangguh dan
Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya. berkelanjutan.
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Bandung, Kab. Tata kelola lingkungan hidup yang bersumber
Bandung Barat, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. pada kearifan lokal.
Bogor, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis,
Kota Bogor, Kota Sukabumi, dan Kota Cimahi.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk pertanian di Kab. dukung air di Kab.
Aktivitas pertanian di Kab. Ciamis dan Kab. Ciamis dan Kab.
Ciamis (5.497,36 Ha) dan Pangandaran Pangandaran
Kab. Pangandaran Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
(5.789,09 Ha) untuk kota berlebih dan pestisida ke dan kualitas tanah di
Tasikmalaya badan air dan tanah di Kab. Ciamis dan Kab.
Kab. Ciamis dan Kab. Pangandaran
Proyeksi Pangandaran
pertumbuhan Pelepasan emisi dan gas Penurunan kualitas
penduduk di kota rumah kaca ke udara di udara di Kota
Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Tasikmalaya
Pelepasan pencemar ke Penurunan kualitas air
Pertumbuhan Kota badan air di Kota di Kota Tasikmalaya
Tasikmalaya Tasikmalaya
Timbulan sampah pada Penurunana kualitas
2045 diprediksi mencapai air di Kota
29.919.050 liter/tahun Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya
Impacts Responses
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Ciamis dan Penerapan tata kota yang tangguh dan
Kab. Pangandaran. berkelanjutan.
Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
Penurunan kualitas lingkungan di Kota Tasikmalaya, Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
Kab. Ciamis, dan Kab. Pangandaran. pertanian terhadap lingkungan.
Peningkatan resiko bencana longsor di Kab. Bogor, Penerapan kebijakan pertanian Good
Kab. Cianjur, Kab. Kuningan, Kab. Purwakarta, Kab. Agricultural Practices (GAP) untuk mengurangi
Sumedang dampak negatif pertanian terhadap lingkungan.
Menurunnya kemampuan ekosistem penghasil air dan Kebijakan izin industri dan pertambangan,
tata air di Kab. Bogor, Kab. Purwakarta, Kab. Cianjur, AMDAL dan ambang batas emisi
Kab. Kuningan, Kab. Sumedang.
Tabel 2.17 Analisis DPSIR ecoregion Perbukitan Struktural Jonggol Sumedang Cilacap
Impacts Responses
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya dukung
Aktivitas pertanian di Kab.
untuk pertanian di Kab. air di Kab. Sukabumi,
Sukabumi (19.452,32 Ha)
Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bandung, Kab.
untuk kota Sukabumi;
Kab. Garut, dan Kab. Garut, dan Kab.
Tasikmalaya Tasikmalaya
Aktivitas pertanian di Kab.
Bandung (233,73 Ha) dan Pelepasan pupuk kimia
Penurunan kualitas
Kab. Garut (19.361,94 berlebih dan pestisida ke
Proyeksi tanah dan kualitas air di
Ha) untuk kota Bandung badan air dan tanah di
Kab. Sukabumi, Kab.
pertumbuhan dan kota Cimahi; Kab. Sukabumi, Kab.
Bandung, Kab. Garut,
penduduk di kota Bandung, Kab. Garut, dan
dan Kab. Tasikmalaya
Bandung, Cimahi, Aktivitas pertanian di Kab. Kab. Tasikmalaya
Sukabumi, dan Tasikmalaya (3.813,67 Pelepasan gas methana Penurunan kualitas
Tasikmalaya (2025) Ha) untuk kota ke udara di Kab. udara di Kab. Sukabumi,
Tasikmalaya Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bandung, Kab.
Kab. Garut, dan Kab. Garut, dan Kab.
Tasikmalaya Tasikmalaya
Pemanfaatan air di Kab. Penurunan daya dukung
Pertumbuhan kota
Bandung, Kab. Cianjur air di Kab. Bandung,
Bandung, Cimahi,
dan Kab. Bandung Barat Kab. Bandung Barat,
Sukabumi dan
untuk kota Bandung dan Kab. Cianjur
Tasikmalaya
kota Cimahi
Penambangan Tanah Liat
di Kab. Bandung Barat,
Kab. Garut, Kab. Peningkatan resiko
Sukabumi, Kab. bencana longsor dan
Tasikmalaya erosi tanah di Kab.
Penambangan emas di Pelepasan sedimen dan Sukabumi, Kab. Garut,
Aktivitas ekonomi di Kab. Cianjur, Kab. Garut, pencemar ke badan Kab. Bandung Barat,
wilayah ekoregion Kab. Sukabumi perairan serta pembukaan Kab. Tasikmalaya, Kab.
Penambangan galena di lahan ternaungi Cianjur
Kab. Cianjur, Kab. Garut,
Kab. Sukabumi
Penambangan batubara Penurunan kualitas air di
di Kab. Garut Kab. Sukabumi, Kab.
Penambangan tembaga Garut, Kab. Bandung
Impacts Responses
Menurunnya kemampuan ekosistem penghasil air, Pembatasan pembangunan di zona-zona
tata air akibat kegiatan pertanian pertambangan dan perlindungan dan pemanfaatan terbatas melalui
pertumbuhan penduduk di Kab. Sukabumi, Kab. kebijakan tata ruang dan perijinan lingkungan untuk
Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Bandung Barat, Kab. kegiatan industry.
Garut, Kab. Tasikmalaya.
Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
Peningkatan resiko bencana longsor Kab. Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
Sukabumi, Kab. Garut, Kab. Bandung Barat, Kab. pertanian terhadap lingkungan.
Tasikmalaya, Kab. Cianjur.
Penerapan konsep kota yang tangguh dan
Ancaman terhadap masyarakat adat Kasepuhan berkelanjutan.
Ciptagelar yang bersentuhan dengan kawasan
pertambangan emas di Kab. Sukabumi dan Penerapan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan
masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya lokal.
seiring pertumbuhan penduduk dan alih fungsi
lahan.
Tabel 2.18. Analisis DPSIR ekoregion Perbukitan Struktural Ujungkulon-Cikepuh-Sancang
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk pertanian di Kab. dukung air di Kab.
Tasikmalaya dan Kab. Tasikmalaya dan Kab.
Pangandaran Pangandaran
Aktivitas pertanian di Kab.
Pelepasan pupuk kimia
Tasikmalaya (3.347,99 Penurunan kualitas air
berlebih dan pestisida ke
Ha) dan Kab. di Kab. Tasikamalaya
badan air dan tanah di
Pangandaran (1.109,5 dan Kab.
Kab. Tasikmalaya dan
Ha) untuk kota Pangandaran
Kab. Pangandaran
Tasikmalaya
Proyeksi Pelepasan gas methana Penurunan kualitas
ke udara di Kab. udara di Kab.
pertumbuhan
Tasikmalaya dan Kab. Tasikamalaya dan
penduduk di kota Pangandaran Kab. Pangandaran
Tasikmalaya (2025) Pelepasan emisi dan gas Penurunan kualitas
rumah kaca ke udara di udara di Kota
Kota Tasikmalaya Tasikmalaya
Pelepasan pencemar ke Penurunan kualitas air
Pertumbuhan Kota badan air di Kota di Kota Tasikmalaya
Tasikmalaya Tasikmalaya
Timbulan sampah pada Penurunan kualitas air
2045 di Kota Tasikmalaya di Kota Tasikmalaya
diprediksi mencapai
63.817.513 liter/tahun
Pengambilan pasir Peningkatan resiko
Penambangan pasir di bencana longsor dan
Aktivitas ekonomi di
Kab. Pangandaran dan erosi tanah di Kab.
wilayah ekoregion Kab. Tasikamalaya Pangandaran dan Ka.
Tasikmalaya
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem yan berfungsi Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
sebagai pengatur tata air akibat aktivitas pertanian Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
dan penambangan pasir di Kab. Tasikmalaya dan pertanian terhadap lingkungan.
Kab. Pangandaran.
Penegakkan ijin lingkungan (KLHS dan AMDAL)
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Tasikmalaya untuk kegiatan pertambangan di wilayah Karst.
dan Kab. Pangandaran
l. Laut Jawa
Ekoregion laut jawa memperoleh tekanan yang tinggi sebagai dampak
dari pertumbuhan penduduk yang tinggi di Dataran Fluvial Cilegon
Indramayu Pekalongan dan Dataran Vulkanik Serang-Tangerang-Depok.
Aktivitas perkotaan melepaskan emisi dan sampah ke badan air yang akan
mengalir ke Laut Jawa, serta kegiatan wisata di pesisir pantai utara yang
juga berdampak pada peningkatan limbah yang dilepas ke Laut Jawa.
Dampak dari limbah ini adalah kerusakan ekosistem terumbu karang dan
laut dangkal, serta biomagnifikasi pencemar di dalam tubuh ikan tangkap,
yang dapat berdampak ke kesehatan masyarakat. Aktivitas pertanian dan
pembukaan lahan di hulu sungai Cimanuk meningkatkan laju sedimentasi di
daerah muara (pesisir pantai Indramayu dan Cirebon). Sedimentasi ini,
apabila dimanfaatkan sebagai kawasan perikanan budidaya (tambak), dapat
meningkatkan tingkat pencemaran di ekosistem laut Jawa. Intervensi
pemerintah terutama dapat dilakukan melalui pembatasan penggunaan air
untuk industri, penetapan kawasan lindung hutan mangrove di pesisir pantai
utara, serta proteksi terhadap lahan-lahan baru akibat akresi dan sedimentasi
dari pemanfaatan oleh masyarakat. Analisis DPSIR ekoregion Laut Jawa
dapat dilihat pada Tabel 2.20.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Emisi limbah dan sampah Kerusakan ekosistem
Pertumbuhan penduduk ke badan air dan pesisir laut dangkal dan
Proyeksi di Dataran Fluvial pesisir di Kab. Bekasi,
pertumbuhan Cilegon Indramayu- Kab. Karawang, Kab.
penduduk di Dataran Pekalongan (Kab. Bekasi, Subang, Kab.
Fluvial Cilegon Kab. Karawang, Kab. Indramayu, Kab.
Subang, Kab. Indramayu, Cirebon dan Kota
Indramayu
serta Kab. dan Kota Cirebon
Pekalongan (2025)
Cirebon)
tanaman), Kab.
Karawang (1.000 ha),
dan Kab. Bekasi (64%
dari total hutan bakau
wilayahnya)
Abrasi dan sedimentasi Abrasi terjadi pada
Kab. Indramayu (400-
500m/tahun), Kab.
Subang (5km/tahun),
dan Kab. Karawang
(2mil/tahun).
Sementara itu,
sedimentasi terjadi di
Kab. Indramayu (5-
7km sepanjang garis
pantai), Kab. Subang
(5km), dan Kab.
Karawang (300m)
Pencemaran pantai Penurunan kualitas air
dan lingkungan hidup,
degradasi habitat
mangrove (61% rusak)
dan ekosistem
terumbu karang (44%
ekosistem terumbu
karang rusak)
Impacts Responses
Penurunan daya dukung air, penurunan kualitas Kebijakan izin pengambilan air tanah.
lingkungan hidup.
Penetapan dan implementasi proteksi kawasan
Peningkatan resiko bencana pesisir (banjir rob di lindung hutan mangrove;
wilayah pesisir utara Jawa Barat).
Pembatasan aktivitas perikanan tambak; proteksi
terhadap lahan-lahan baru dari sedimentasi dan
akresi.
m. Samudera Hindia
Berbeda dengan Laut Jawa, tekanan terhadap ecoregion Samudera
Hindia terutama diakibatkan oleh aktivitas perekonomian di pesisir pantai
selatan, termasuk penambangan pasir laut di Kabupaten Cianjut, Garut,
Tasikmalaya dan Pangandaran, serta aktivitas wisata yang meningkatkan
emisi dan kerusakan ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan
mangrove. Hal ini dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana
tsunami di pantai selatan. Upaya perlindungan ekoregion ini dapat dilakukan
melalui pembatasan izin penambangan pasir dan penetapan kawasan-
kawasan lindung dan konservasi laut di beberapa titik ekosistem terumbu
karang/padang lamun yang masih tersisa. Analisis DPSIR ekoregion
Samudera Hindia dapat dilihat pada Tabel 2.21.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pencemaran pantai Penurunan
kualitas air dan
lingkungan hidup,
Pariwisata berbasis kerusakan
Aktivitas ekonomi laut di Kab. terumbu karang
Pangandaran dan padang lamun
(35% padang
lamun rusak),
sedimentasi
Impacts Responses
Penurunan daya dukung air, penurunan Penetapan dan implementasi proteksi
kualitas lingkungan hidup. kawasan lindung untuk padang lamun dan
terumbu karang; proteksi terhadap lahan-lahan
baru dari sedimentasi dan akresi.
Tabel 2.21. Analisis DPSIR ekoregion Samudera Hindia
b. Skenario 10 tahun kedua: ditujukan untuk peningkatan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup melalui perbaikan lingkungan dan pengembangan
teknologi.
Fokus Program prioritas:
1) Peningkatan kualitas tutupan lahan pada kawasan yang memiliki indeks jasa
ekosistem pengatur tata air tinggi.
2) Perbaikan pemanfaatan ruang melalui penegakan hukum dan pengawasan.
29
A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Kebijakan, Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46, Jakarta, 1992, hlm.3
30
Disarikan dari Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 74-75. Pendapat yang dikutip adalah penjelasan de Commissie
Wetgevings-Vraagstukken dan pendapat J.B.J.M. Ten Berge serta Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,
1996, hlm. 83-84
31
Disarikan dari Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi
Negara, Alumni, Bandung, Cet. Ketiga, 1981, hlm. 48-51; SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif
di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 132-135; E. Utrecht, Pengantar Hukum …, Op. Cit, hlm. 79
1) Hak menguji secara materiil, yaitu menguji materi atau isi peraturan
perundang-undangan, apakah sesuai atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
2) Hak menguji secara formal, yaitu menguji apakah semua formalitas
atau tata cara pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
sudah dipenuhi.
3) Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-
undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
4) Undang-undang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif).
5) Undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang
lama (lex posterior derogat lex priori).
32
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional dalam Mieke Komar dkk, 1999, hlm. 226-228 dan Bagir Manan, Politik
Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Daerah, dalam Martin H. Hutabarat dkk,
1996, serta Bagir Manan, Hukum dan Politik Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 140-154
33
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
189
34
Dikutip dari Ridwan HR, hlm. 97-98
10
J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties Grandbegrippen uit de Rechtstheori (Refleksi tentang
Hukum), terj. B. Arief Sidharta, 1996, hlm. 100
36
Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Mendukung Pembangunan Nasional,
Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas Tahun 2005 hlm 19-20.
37
Sjahran Basah, “Tiga Tulisan Tentang Hukum”, Armico, Bandung, 1986, hlm.29.
38 Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta, 2009,
hlm. 151
39 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta 1982 hlm. 9.
40 Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit Bina Aksara,
hlm. 92,
41 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta, 1992.hlm 15.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
pembenahan terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistem agar dapat
termanfaatkan dengan pengelolaan yang lestari.
Menurut Pasal 2 UU KSDAHE, Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan
pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi
dan seimbang. Pada Pasal 3 UU KSDAHE menyebutkan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya
dalam Pasal 5 UU KSDAHE menyebutkan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Dalam Pasal 38 UU KSDAHE menyebutkan bahwa konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban
pemerintah yang dapat diserahkan kepada pemerintah daerah serta
masyarakat melalui kegiatan yaitu perlindungan sistem penyangga
kehidupan dan pemanfaatan secara lestari. Sedangkan perlindungan sistem
penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan.
hidup bagi nelayan, pembudi daya ikan dan/atau pihak-pihak yang terkait
dengan kegiatan perikanan serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan
dan lingkungannya.
Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa wilayah perairan yang terdapat
sumber daya ikan. Oleh karena itu, upaya perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan di kawasan perairan termasuk ekosistem, jenis dan genetik
untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman
sumber daya ikan.
b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang
digunakan sebagai totak ukur utama pengendalianpencemaran dan/atau
perusakan laut;
c. Pemantauan kuatitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut yang
diikuti dengan pengumpulan hasil pemantauan yang dilakukan oleh
instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh serta
pembuatan laporan;
d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah;
e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk
mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu laut
yang telah tercemar atau rusak;
f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran
dan/atau perusakan laut termasuk penaatan mutu limbah yang dibuang
ke laut dan/atau penaatan terhadap kriteria baku kerusakan laut serta
penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (selanjutnya disebut “PP PPPL”) ini
mengatur secara rinci terkait upaya perlindungan laut, seperti status mutu air
laut, baku mutu kerusakan ekosistem laut, dan baku mutu air laut. Menurut
Pasal 4, baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukkannya, antara
lain: baku mutu air laut untuk pariwisata dan rekreasi (mandi, renang, dan
selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan
berdasarkan pada kondisi fisik ekosistem laut yaitu antara lain: terumbu
karang, mangrove dan padang lamun.
Dalam PP PPPL kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
provinsi adalah menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis
penetapan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan
inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan
laut yang mempengaruhi mutu laut.
44
Naskah akademik Rancangan Peraturan Presiden Tentang RPPLH Tahun 2014.
a. politik;
b. teknokratik;
c. partisipatif;
d. atas-bawah (top-down); dan
e. bawah-atas (bottom-up).
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala
Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih
menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang
ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu,
rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda
pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat
kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.
Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan
menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau
satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan
dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan.
Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa
memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan, bawah-atas dalam
perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil
proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
dan desa.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat (4) tahapan yakni:
a. penyusunan rencana;
b. penetapan rencana;
c. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga
secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahap
penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap
suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat)
langkah.
45
Ibid.
b. Potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan
keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai satu kesatuan; dan
c. Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
Kemudian menurut Pasal 6 ayat (2) UU Penataan Ruang, maka penataan
ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/ kota dilakukan secara berjenjang dan
komplementer.
Pada Pasal 10 UU Penataan Ruang, diatur wewenang Pemerintah Daerah
Provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang, yang meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan
kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama
penataan ruang antarkabupaten/kota.
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi tersebut meliputi:
a. Perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. Pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah
daerah kabupaten/ kota melalui tugas pembantuan. Lebih lanjut dalam
rangka penataan ruang kawasan strategis provinsi, maka pemerintah daerah
provinsi melaksanakan:
a. Penetapan kawasan strategis provinsi;
b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi;
atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Berdasarkan Pasal UU PPP bahwa pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan harus dilakukan beradasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS
DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Berdasarkan Pancasila
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termuat dalam sila ke-2
Pancasila yang mana makna sila perikemanusiaan yang adil dan beradab 46
tersebut:
46
Sunaryati Hartono, Artikel berjudul Mencari Makna Nilai-Nilai Falsafah Dl Dalam Pancasila Sebagai
Weltanschauung Bangsa Dan Negara Republik Indonesia dalam Majalah Hukum Nasional, hlm. 41.
limbah cair rumah tangga dan sanitasi lingkungan dan lain sebagainya.
Dalam Islam bahkan ditekankan, bahwa Allah tidak suka pada orang-
orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tetapi Allah senang
terhadap orang-orang yang selalu bertakwa dan selalu berbuat baik.
Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-
NYA yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar
tetap dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa
Indonesia serta makhluk hidup lainya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas Hidup itu sendiri.
Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab terkandung nilai-nilai
perikemanusiaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini antara lain sebagai berikut:
a. Pengakuan adanya harkat dan martabat manusia dengan sehala hak
dan kewajiban asasinya;
b. Perlakuan yang adil terhdap sesama manusia, terhadap diri sendiri,
alam sekitar dan terhadap Tuhan;
c. Manusia sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang memiliki daya
cipta, rasa, karsa dan keyakinan.
Penerapan, pengamalan/aplikasi sila ini dalam kehidupan sehari hari dapat
diwujudkan dalam bentuk kepedulian akan hak setiap orang untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak setiap orang untuk
mendapatkan informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran
dalam pengelolaan lingkungan hidup; hak setiap orang untuk berperan
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan
ketentuanketentuan hukum yang berlaku dan sebagainya (Koesnadi
Hardjasoemantri, 2000 : 558).
Dalam hal ini banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk
mengamalkan Sila ini, misalnya mengadakan pengendalian tingkat
pencemaran sumber air (air permukaan dan air tanah) oleh limbah cair
tumah tangga berupa grey water dan black water, pengendalian tingkat
polusi udara agar udara yang dihirup bisa tetap nyaman; menjaga
a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
b. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup.
d. Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
e. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam Sila Persatuan Indonesia terkandung nilai persatuan bangsa,
dalam arti dalam hal-hal yang menyangkut persatuan bangsa patut
diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia serta wajib membela dan menjunjung tinggi (patriotisme);
Penerapan sila ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara
lain (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000 : 560 ) :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya
pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Berdasarkan sila yang termuat pada Pancasila dan butir yang termuat pada
UUD 1945 terkait penyusunan rancangan peraturan daerah provinsi Jawa
Barat, maka pada dasarnya pemerintah berkewajiban untuk melindungi,
menjamin, menyediakan dan menyelenggarakan kebutuhan terkait
lingkungan bagi warga negaranya dan makhluk hidup yang berada di
wilayah Indonesia. Landasan filosofis untuk bagian pertimbangan yakni,
“bahwa untuk memenuhi keadilan lingkungan hidup dan menjamin
keberlangsungan hidup warga negara beserta alam itu sendiri perlu disusun
rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara utuh
menyeluruh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat”.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalaah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Kondisi dan kualitas lingkungan hidup saat ini merupakan aspek yang
sangat mempengaruhi perlunya dilakukan perencanaan terhadap perlindungan
Tabel 4.1 memperlihatkan IKLH Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2011
hingga tahun 2016. Angka IKLH tersebut menunjukkan bahwa Provinsi
Jawa Barat pada tahun 2016 mengalami peningkatan IKLH dari tahun
2011 sebesar 50,49 kemudian menurun dan kembali mengalami kenaikan
pada angka 51,87 di tahun 2016. Namun, meskipun IKLH Provinsi Jawa
Barat mengalami peningkatan, secara nasional, Provinsi Jawa Barat
menempati peringkat ketiga dari bawah atas IKLH.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang perlu
diatur.
Pasal 11 UU Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan untuk disusun
Peraturan Pemerintah tentang Inventarisasi, Penetapan Ekoregion dan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Ketiga kegiatan
tersebut dipahami sebagai satu rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan, yang
akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 5 UU Nomor 32 Tahun 2009,
kegiatan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion dan penyusunan
RPPLH, termasuk ke dalam lingkup perencanaan dari rangkaian upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh UU Nomor 32
Tahun 2009.
Pasal 5 UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa inventarisasi
lingkungan hidup terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup tingkat nasional,
pulau dan ekoregion. Inventarisasi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:
1. potensi dan ketersediaan;
2. jenis yang dimanfaatkan;
3. bentuk penguasaan;
4. pengetahuan pengelolaan;
5. bentuk kerusakan; dan
6. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Penetapan ekoregion sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 UU
Nomor 32 Tahun 2009, dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:
1. karakteristik bentang alam;
2. daerah aliran sungai;
3. iklim;
4. flora dan fauna;
5. sosial budaya;
6. ekonomi;
7. kelembagaan masyarakat; dan
8. hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Dengan demikian, inventarisasi lingkungan hidup dengan ekoregion
berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 mempunyai hubungan yang bersifat
timbal balik. Di satu sisi, ekoregion merupakan suatu satuan wilayah terkecil
setelah pulau dan kepulauan, yang menjadi dasar untuk melaksanakan
inventarisasi lingkungan hidup. Di sisi lain, hasil inventarisasi lingkungan menjadi
salah satu faktor yang dipertimbangkan untuk menetapkan ekoregion
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2009.
Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan oleh Menteri Lingkungan
Hidup setelah berkoordinasi dengan instansi lain sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 7 ayat (1). Penetapan ekoregion dan inventarisasi lingkungan hidup
yang dilakukan pada satuan wilayah ini merupakan langkah yang penting dan
strategis, karena sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 8 UU Nomor 32 Tahun
2009, inventarisasi dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, serta cadangan sumber daya alam. Landasan yuridis
untuk bagian pertimbangan, yakni,” bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
10 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan adanya pengaturan
mengenai perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perlu
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN
DAN RUANG LINGKUP MUATAN MATERI PERATURAN
DAERAH PROVINSI47
47
Naskah Akademik Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2014.
sumberdaya alam tersebut, yang secara kewenangan telah lama dikelola oleh
berbagai Kementerian/Lembaga.Oleh karena itu RPPLH harus lebih ditujukan
untuk mengelola keterkaitan, interaksi, interdependensi dan dinamika
pemanfaatan dan kondisi berbagai sumberdaya alam tersebut yang dipahami
sebagai wilayah ekoregion. Ekoregion adalah geografi ekosistem, artinya pola
susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang
terikat daam suatu satuan geografis. Dengan demikian ekosistem perlu
dipertimbangkan secara mendalam untuk digunakan sebagai inti dan dasar
penyusunan RPPLH.
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH), yang
dilaksanakan melalui kegiatan inventarisasi, penetapan ekoregion dan
penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan di tingkat
provinsi berdasarkan tata cara atau pedoman sebagaimana diamanatkan Pasal
11 UU Nomor 32 Tahun 2009 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion, serta RPPLH diatur dalam
Peraturan Daerah. Dengan kata lain ketentuan ini mengamanatkan adanya
pengaturan mengenai perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dengan menetapkan Peraturan Daerah tentang Perencanaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Jangka Waktu
Pada BAB III, jangka waktu berlakunya RPPLH Provinsi yaitu 30 (tiga puluh)
tahun.
4. RPPLH Provinsi
Pada BAB IV, diatur mengenai RPPLH Provinsi yang merupakan Lampiran
Perda dengan sistematika sebagai berikut:
a. BAB I: Pendahuluan, yang memuat subbab mengenai:
1. latar belakang;
7. sistematika dokumen.
b. BAB II: Kondisi dan Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi, yang memuat subbab mengenai:
f. Lampiran.
5. RPPLH Provinsi
Pada BAB V, diatur mengenai Pemantauan, Pelaporan, dan Peninjauan
sebagai berikut:
a. Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang
Lingkungan Hidup melaksanakan pemantauan, pelaporan, dan
peninjauan RPPLH Provinsi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil kajian hukum dalam rangka
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Perencanaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut:
1. Hasil kajian teknis dan kajian yang telah ada memperlihatkan data dan
informasi sumber daya alam di Provinsi Jawa Barat yang mengalami
degradasi lingkungan hidup;
2. Kebutuhan dan pertumbuhan masyarakat di Provinsi Jawa Barat meningkat
pesat yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dan kuantitas
sumber daya alam;
3. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus direncanakan
secara utuh menyeluruh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sehingga
Kabupaten dan Kota yang berada dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa
Barat dapat menyelenggarakan rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara sistematis, menyeluruh dan komplementer;
4. Informasi dan data terkait sumber daya alam Provinsi Jawa Barat harus
teridentifikasi sehingga kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dapat disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung; dan
5. RPPLH Tingkat Provinsi Jawa Barat merupakan acuan dan pedoman bagi
Kota dan Kabupaten di bawah Provinsi Jawa Barat dalam membentuk
RPPLH Kota/Kabupaten.
B. Saran
Berdasarkan hasil kajian hukum dalam rangka pembentukan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Perencanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka beberapa hal yang dapat
direkomendasikan yaitu:
1. Perlu menyusun Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat yang memberikan
pedoman untuk menyusun RPPLH Kabupaten dan RPPLH Kota; dan
2. Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didahului dengan
pembuatan Naskah Akademik, agar Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
tentang Perencanaan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang dimaksud akan lebih bersifat operasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budihardjo, Eko (2003), “Pengantar: Menuju Kota Yang Manusiawi dan
Berwawasan Lingkungan” . Kota dan Lingkungan, Pendekatan
Baru Terhadap Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta. LP3ES.
Hasni (2008). “Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Jilid
1”. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasni (2008). “Hukum Penataan Ruang dan Penatahunaan Tanah Jlid 2”.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Inoguchi, Takashi, Edward Newman, dan Glen Paoletto (2003).
“Pendahuluan : Kota dan Lingkungan – Menuju Kemitraan
Berwawasan Ekologi". Kota dan Lingkungan, Pendekatan Baru
Terhadap Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta. LP3ES.
Ridwan, Juniarso & Achmad Sodik (2013). “Hukum Tata Ruang”.
Bandung: NUANSA.
Siahaan, Marihot Pahala (2008). “Hukum Bangunan Gedung di
Indonesia”. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerdjono dan Sri Mamudji (1994). “Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahid, A.M. Yunus (2014). “Hukum Tata Ruang”. Jakarta: Kencana.
Makalah:
Djamal Irwan, Zoe’raini (2004), “Tantangan Lingkungan dan Lansekap
Kota”.CIDES. Jakarta
Jurnal:
Peraturan Perundang-undangan:
Undang – Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksana
Undang – Undang No. 26 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum No. 24/PRT/M/2007 Tentang
Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 12 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan , Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dan
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 18 Tahun 2011 Tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung 2011 – 2031.
Internet:
Andy Simarmata, Hendrius. “Peran Perencanaan Dalam Proses
Perencanaan Tata Ruang Yang Partisipatif”.
http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart
=190. Buletin Tata Ruang Online. Edisi Juli – Agustus 2009.
Diakses 2 Juni 2014.
Bayu Arie Wibawa, RTBL Sebagai Alat Perancangan Kota “IDEAL” Untuk
Pengaturan Bangunan dan Lingkungannya, http://www.inkindo-
jateng.web.id/?p=792 diakses 26 Desember 2014.
Galih-Rentek, Dokumen RTBL Untuk Mendukung Perwujudan
Permukiman Layak Huni dan Berkelanjutan,
http://ciptakarya.pu.go.id/water/post.php?q=3905-Dokumen-RTBL-
Untuk-Mendukung.html diakses 14 Februari 2015.
Lubis, Joessair. Mewujudkan Pembangunan Kota Pesisir di Indonesia.
http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart
=311. Buletin Tata Ruang Online. Edisi Juli – Agustus 2011.
Diakses 16 Februari 2015.
LAMPIRAN