Anda di halaman 1dari 169

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan


umat manusia, bahwa dalam memenuhi kebutuhan maupun melakukan kegiatan
untuk memenuhi kepentingan pokok hingga tersier, manusia sebagai salah satu
makhluk hidup memanfaatkan sebesar-besarnya lingkungan hidup.
Pemanfaatan tersebut tentunya berpengaruh terhadap kondisi dan kualitas
lingkungan hidup, potret terhadap kualitas lingkungan baik secara kasat mata
maupun terpapar disinyalir berada pada kondisi yang kurang baik sehingga
Indonesia berupaya untuk memastikan bagaimana kondisi dan kualitas
lingkungan hidup dengan maksud untuk melindungi lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup1.
Dalam memperoleh gambaran pasti atas kualitas lingkungan hidup, sejak
2009 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan suatu
indeks lingkungan berbasis provinsi sejak 2009 yang memberikan kesimpulan
cepat dari suatu kondisi lingkungan hidup pada periode tertentu. Indeks ini
diterjemahkan dalam angka yang menerangkan apakah kualitas lingkungan
berada pada kondisi baik, atau sebaliknya 2. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup,
(IKLH) merupakan indikator pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia
merupakan perpaduan antara konsep Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) dan
konsep Environmental Performance Index (EPI). IKLH dapat digunakan untuk
menilai kinerja program perbaikan kualitas lingkungan hidup. IKLH juga dapat

1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Bagian Mengingat huruf a – f menyebutkan dasar
pertimbangan melakukan perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup, bahwa lingkungan
hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi bagi warga negara wajib dipenuhi dan bahwa adanya
kondisi dimana kualitas lingkungan hidup semakin menurun.
2
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia
Tahun 2014, hlm.1.
2

digunakan sebagai bahan informasi dalam mendukung proses pengambilan


kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup3. Berdasarkan hasil IKLH tahun 2014 dan IKLH Tahun 2016 diperoleh
hasil IKLH Nasional sebagai berikut pada tabel.

IKLH NASIONAL NEGARA INDONESIA


TAHUN 2011 - 2016
2011 65, 76
2012 63, 96
2013 63, 20
2014 63, 42
2015 68, 23
2016 65, 73

Tabel 1.1. IKLH Nasional Negara Indonesia Tahun 2011 - 2016

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009


tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun
2009 tentang PPLH), maka perangkat IKLH yang diselenggarakan sejak tahun
2009 semakin disempurnakan hingga tahun 2016 untuk memperoleh hasil yang
akurat. IKLH merupakan angka yang memperlihatkan prediksi lingkungan hidup
ke depan, angka yang memperlihatkan penurunan kualitas lingkungan hidup
harus menjadi dasar pemicu kegentingan dalam melindungi lingkungan hidup.
Sejak Tahun 1972 ketika dilangsungkannya Pertemuan Lingkungan Hidup di
Stockholm4 telah dihasilkan instrument, rencana aksi dan program untuk
melindungi keberadaan dan kualitas lingkungan hidup, sementara Indonesia
kemudian menetapkan instrument perencanaan lingkungan hidup dalam konsep
menyeluruh berupa Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) melalui Pasal 9 UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH. Rencana

3
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia
Tahun 2016, hlm.5.
4
Siti Sundari / Koesnadi, Buku Tata Lingkungan, hlm.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat


RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan
hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu
tertentu5.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan yang diuraikan pada latar belakang di atas dan berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa perlu dirumuskan permasalahan terkait
penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat yang dilihat berdasarkan 4 (empat)
pokok masalah6, yaitu:
1. Merumuskan permasalahan lingkungan hidup dalam ruang lingkup Provinsi
Jawa Barat yang dihadapi sebagai bagian dalam kehidupan berbangsa
bernegara, dan bermasyarakat serta cara mengatasi permasalah tersebut;
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jawa Barat
tentang RPPLH sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Raperda Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH; dan
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup perngaturan,
jangkauan dan arah pengaturan dalam Raperda Provinsi Jawa Barat tentang
RPPLH.
Mengacu pada empat pokok permasalahan tersebut di atas, maka
dirumuskanlah identifikasi masalah dalam penyusunan naskah akademik
Raperda Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH sebagai berikut:
1. Bagaimana menyusun dan mengimplementasi RPPLH di wilayah Provinsi
Jawa Barat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RPPLH Nasional?

5
UU No.32 Tahun 2009, Pasal 1 angka 4.
6
UU No.12Tahun 2011, Lampiran 1 Teknik Penyusunan Naskah Akademik.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4

2. Bagaimana menyusun dan mengimplementasi RPPLH di tingkat


Kabupaten/Kota sebagai bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat untuk
mencapai rencana perlindungan dan pengelolaan yang utuh dan
menyeluruh?

C. Tujuan dan Kegunaan

Menyusun naskah akademik merupakan persyaratan yang harus dipenuhi


dalam membentuk rancangan peraturan perundang-undangan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, naskah akademik merupakan kajian ilmiah atau naskah
hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap
suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat.
Naskah akademik penyusunan peraturan daerah Provinsi Jawa Barat
memuat hasil kajian yang diperoleh secara hirarkis dengan cara top down
maupun bottom up, yakni sebagai peraturan daerah tingkat Provinsi harus
mengacu pada kajian peraturan yang lebih tinggi sehingga tercapainya
harmonisasi dan sinkronisasi peraturan, selain itu juga mengkaji peraturan
perundang-undangan lain yang telah diberlakukan untuk memastikan
keseluruhan materi muatan yang terkait dengan Raperda Provinsi Jawa Barat
tentang RPPLH tidak tumpang tindih dan merupakan sistem peraturan yang
lengkap menyeluruh. Tujuan penyusunan naskah akademik Raperda Provinsi
Jawa Barat tentang RPPLH mengacu pada teknis penyusunan naskah akademik
adalah sebagai berikut:
1. Dapat merumuskan permasalahan terkait materi penyusunan rancangan
peraturan daerah, yakni dapat merumuskan permasalahan terkait
penyusunan RPLLH Provinsi Jawa Barat dan menemukan solusi
permasalahan tersebut;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
5

2. Dapat merumuskan permasalahan hukum terkait materi penyusunan


Raperda, yakni dapat merumuskan permasalahan hukum terkait
penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat yang digunakan sebagai dasar
alasan pembentukan Raperda;
3. Dapat merumuskan pertimbangan filosifis, sosiologis dan yuridis sebagai
dasar pembentukan peraturan daerah; dan
4. Dapat merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam pembentukan peraturan
daerah.
Berdasarkan kajian teknis yang telah diselenggarakan, penyusunan
Raperda Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH bertujuan untuk:
1. Memberikan indikasi arahan kebijakan rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat didasarkan pada
tantangan utama dan isu strategis lingkungan hidup di setiap ekoregion di
wilayah Provinsi Jawa Barat; dan
2. Indikasi arahan kebijakan tersebut meliputi indikasi arahan bagi
pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam; pemeliharaan dan
perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; pengendalian,
pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Seluruh indikasi arahan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sekaligus pengendali
pembangunan wilayah dan sektor di Provinsi Jawa Barat, serta menjadi
pedoman dalam penyusunan dokumen perencanaan daerah seperti Rencana
Pembungunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembungunan
Menengah (RPJMD), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Srategis
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), dan Rencana Kerja SKPD.
Naskah Akademik yang disusun akan menjadi acuan atau referensi
penyusunan dan pembahasan Raperda Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH
yang mana acuan tersebut meliputi:
1. dasar teori tentang RPPLH;
2. asas-asas terkait penyelenggaraan RPPLH;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
6

3. prinsip penyelenggaraan RPPLH yang termuat dalam klausul pasal per


pasal dalam Raperda; dan
4. konsep muatan materi yang termuat dalam klausul pasal per pasal dalam
Raperda.

D. Metode Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah diuraikan,


maka penelitian difokuskan pada pengkajian atas konsepsi dan bahan-bahan
hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan, terutama mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat di bidang perencanaan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun
2009 tentang PPLH dan Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk itu, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian yuridis normatif, yaitu meneliti hukum sebagai norma positif
dengan menggunakan cara berpikir deduktif dan berdasarkan pada kebenaran
koheren dimana kebenaran dalam penelitian sudah dinyatakan kredibel tanpa
harus melalui proses pengujian atau verifikasi. Penelitian yang dilakukan adalah
penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan
hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti. Disamping itu, dilakukan pula penelitian sosiologis
dan historis agar penelitian bernilai komprehensif, karena penelitian yang
dilakukan memerlukan dukungan data.
Dipilihnya metode penelitian hukum normatif berdasarkan pertimbangan
bahwa tujuan penelitian adalah menggambarkan objek yang diteliti. Sebagai
pendukung, digunakan pendekatan perbandingan hukum. Disamping itu,
penelitian ini tidak bisa terlepas dari sudut pandang analisis hukum, artinya
dielaborasi apa yang seharusnya diatur dalam Raperda; serta ruang lingkup
kebebasan bertindak secara mandiri oleh Pemerintah Daerah Kota Sukabumi.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
7

Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian


yang menggambarkan secara menyeluruh dan sistimatis objek dari pokok
permasalahan.7 Dengan penulisan ini, dapat dilakukan analisa dan penyusunan
data yang telah terkumpul yang diharapkan dapat memberikan gambaran atau
realita mengenai tata kelola pemerintahan berbasis sistem pemerintahan
berbasis elektronik di Kota Sukabumi dan pembentukan Peraturan Daerah.
Dengan dilakukannya analisis hukum, diperoleh kepastian terkandungnya
elemen positivitas, koherensi dan keadilan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, sehingga tetap berada dalam koridor kewenangan
Pemerintah Daerah Kota Sukabumi. Sedangkan sejarah hukum penting dalam
penelitian ini karena dalam sejarah hukum dapat diketahui perkembangan
sistem hukum sebagai keseluruhan serta perkembangan institusi hukum dan
kaidah hukum individual tertentu dalam sistem hukum, sehingga diperoleh
pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku pada masa sekarang dan
yang dibutuhkan di masa depan.
Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis
sehingga dapat ditemukan alasan yang rasional mengenai aspek hukum tata
kelola sistem pemerintahan berbasis elektronik. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu antara lain: (1) UUD 1945; (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berikut perubahannya;
(3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018
tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berbagai bahan kepustakaan antara lain
mengenai : (1) harmonisasi peraturan perundang-undangan, baik harmonisasi
horisontal maupun vertikal; (2) kewenangan pembentukan Peraturan Daerah;
(3) penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan (4) proses pembentukan
Peraturan Daerah.

7
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 122.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
8

Selain itu, digunakan 3 (tiga) penafsiran hukum, yaitu:


1. Metode penafsiran gramatikal.
Metode ini juga disebut metode penafsiran objektif yang merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan
kata atau bunyinya. Penafsiran menurut bahasa ini selangkah lebih jauh dari
sekedar "membaca undang-undang". Dari sini makna atau arti ketentuan
undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Namun,
tidak berarti penafsiran yang dilakukan terikat erat pada bunyi kata-kata
dalam undang-undang melainkan juga harus logis.
2. Metode penafsiran historis.
Penafsiran ini dilakukan dengan meneliti sejarah pembentukan UU untuk
mencari maksud dari ketentuan UU seperti yang dikehendaki oleh
pembentuknya. Metode penafsiran ini melihat bahwa UU adalah kehendak
pembentuknya yang kemudian tercantum dalam teks UU.7 Penafsiran ini
dilakukan dengan menelusuri naskah akademik, risalah rapat pembahasan
(memorie van toelichting), wawancara pembentuk atau perumus, dan naskah
lain yang relevan. Dengan demikian penafsiran ini diharapkan dapat
memberikan konteks yang lebih utuh dalam memahami suatu ketentuan.
3. Metode penafsiran sistematis atau logis.
Penafsiran ini dilakukan dengan menganalisa suatu ketentuan dengan
ketentuan lainnya atau menghubungkan suatu UU dengan keseluruhan
sistem perundangundangan.
Data yang terkumpul, selanjutnya diolah melalui tahap pemeriksaan
(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing) dan sistematisasi
berdasarkan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang diidentifikasi dari
rumusan masalah. Dari hasil pengolahan data tersebut, dianalisis secara
kualitatif dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan,
kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang
diteliti.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
9

BAB II
KAJIAN TEORETIK DAN
PRAKTIK EMPIRIK

A. Dasar Pembentukan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup

Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang rencana


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) merupakan tahapan
perencanaan yang perlu dilaksanakan untuk mencapai perlindungan dan
pengelolaan terhadap lingkungan hidup secara utuh menyeluruh, amanat yang
termuat di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH) untuk
menyusun RPPLH secara hirarkis mulai tingkat nasional hingga kabupaten/kota
merupakan bagian untuk mencapai perlindungan dan pengelolaan hidup secara
menyeluruh.
Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH tidak
bisa lepas dari muatan materi yang terdapat di tingkat nasional, sesuai amanat
UUPPLH maka Peraturan Pemerintah tentang RPPLH menjadi acuan bagi
Peraturan di daerah tentang RPPLH. Namun, kondisi dan permasalahan yang
terdapat pada tingkat nasional akan berbeda dengan kondisi dan permasalahan
yang terdapat pada tingkat daerah, sehingga perlu dilakukan kajian
menggunakan naskah akademik untuk mengidentifikasi aspek – aspek yang
berada di tingkat daerah.
Bab 2 naskah akademik berisi tentang aspek-aspek dan materi secara
teoritis dan praktik empiris yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, acuan materi
pada bab ini bersumber dari bahan literature, peraturan perundan-undangan
terkait, kajian teknis Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH Tahun 2017 dan
naskah akademik pembentukan Raperda Provinsi Jawa Barat Tahun 2014.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
10

1. Pengertian RPPLH
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH Pasal 1 angka 4,
diatur bahwa:
“Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.”
Mengacu pada pengertian tersebut maka yang menjadi pokok bahasan
dalam RPPLH antara lain:
a. Merupakan perencanaan tertulis.
Sebagai rencana yang tertulis, tentunya harus menggunakan metodelogi
ilmiah sehingga dapat menghasilkan perencanaan yang berasal dari
kajian ilmiah;
b. Memuat potensi lingkungan hidup dalam sebuah wilayah.
Wilayah yang dimaksud terkait penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat,
maka potensi lingkungan hidup yang harus dimuat adalah potensi
lingkungan hidup yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Barat;
c. Memuat masalah lingkungan hidup dalam sebuah wilayah.
Terkait penyusunan RPPLH Provinsi Jawa Barat, maka masalah
lingkungan hidup yang harus terpotret dan teridentifikasi adalah
permasalahan di wilayah Provinsi Jawa Barat;
d. Memuat upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Rencana yang disusun dalam RPPLH merupakan rencana yang
mengandung aspek maupun bertujuan sebagai upaya perlindungan dan
pengelolaan bagi lingkungan hidup.
RPPLH disusun untuk menjadi dasar dan dimuat dalam RPJMP/RPJMD);
serta menjadi arahan pemanfaatan sumber daya alam yang berdasarkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. RPPLH disusun atas
dasar8:
a. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

8
Kajian Teknis RPPLH Jawa Barat 2017, hlm.19

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
11

b. Tujuan pembangunan berkelanjutan.


c. Tujuan pengendalian perubahan iklim.
d. Tujuan perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati.

Gambar 2.1. Posisi RPPLH dalam Sistem Perencanaan Nasional

Secara umum muatan RPPLH yang menjadi dasar penyusunan RPJM,


serta keterkaitannya dengan KLHS dapat digambarkan pada Gambar 2.1.
Sedangkan penyusunan RPPLH untuk masing-masing hirarki perencanaan
didasarkan pada hal berikut9:
a. RPPLH Nasional disusun berdasarkan inventarisasi lingkungan hidup
tingkat nasional.
b. RPPLH Provinsi disusun berdasarkan:
1) RPPLH Nasional
2) Inventarisasi lingkungan hidup tingkat pulau kepulauan
3) Inventarisasi lingkungan hidup tingkat ekoregion

9
Ibid, hlm.20.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
12

4) Dalam hal ketentuan angka b dan c belum terpenuhi, Gubernur


menggunakan hasil inventarisasi dalam lingkup provinsi dan
penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi.

c. RPPLH Kabupaten/Kota disusun berdasarkan:


1) RPPLH Provinsi
2) Inventarisasi lingkungan hidup tingkat pulau kepulauan
3) Inventarisasi lingkungan hidup tingkat ekoregion
4) Dalam hal ketentuan angka b dan c belum terpenuhi, Bupati/Walikota
menggunakan RPPLH Nasional, hasil inventarisasi di dalam
lingkungan kabupaten/kota dan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup kabupaten/kota.

Gambar 2.2. Keterkaitan RPPLH, RPJM dan KLHS

2. Kedudukan RPPLH
Pasal 10 ayat (3) UU No.32 Tahun 2009 menyatakan bahwa RPPLH
diatur dan berbentuk Peraturan Perundang-undangan, secara hirarkis:
a. Peraturan Pemerintah untuk RPPLH Nasional;
b. Peraturan Daerah Provinsi untuk RPPLH Provinsi; dan
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota untuk RPPLH Kabupaten/Kota.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
13

Perangkat RPPLH terbentuk berdasarkan hasil inventarisasi lingkungan dan


penetapan wilayah ekoregion, namun hanya perangkat RPPLH yang
berbentuk peraturan tertulis dan merupakan bagian dari peraturan nasional,
sehingga RPPLH dapat disebut sebagai perangkat utama yang seharusnya
digunakan sebagai dasar dan pedoman utama bagi perangkat maupun
instrument lingkungan hidup lainnya. RPPLH memuat data dan informasi
tentang inventarisasi lingkungan, wilayah-wilayah ekoregion, kemampuan
daya dukung dan daya tampung hingga cadangan sumber daya alam yang
terdapat di Negara Indonesia.
3. Tujuan dan Sasaran Penyusunan RPPLH
Penyusunan Raperda RPPLHD Provinsi Jawa Barat ini ditujukan untuk
menyediakan arahan, acuan dan dasar bagi pembangunan di Provinsi Jawa
Barat berdasarkan potensi, ketersediaan, keterbatasan jasa ekosistem serta
sumber daya alam di Provinsi Jawa Barat yang terwujud dalam ambang batas
dan status daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Berdasarkan
status tersebut, intervensi kebijakan dan arahan program untuk pengelolaan
dan perlindungan lingkungan hidup dapat dirumuskan lebih lanjut sebagai
pengendali pembangunan di provinsi Jawa Barat 10.
Penyusunan dokumen draft RPPLHD Provinsi Jawa Barat ini bertujuan untuk
memberikan indikasi arahan kebijakan rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat didasarkan pada tantangan utama
dan isu strategis lingkungan hidup di setiap ekoregion di wilayah Provinsi
Jawa Barat11.
Indikasi arahan kebijakan tersebut meliputi12:
a. indikasi arahan bagi pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya
alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan
hidup; pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan;

10
Ibid, hlm. 14.
11
Ibid, hlm.16.
12
Ibid.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
14

c. pelestarian sumber daya alam; serta adaptasi dan mitigasi perubahan


iklim.
Seluruh indikasi arahan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sekaligus pengendali
pembangunan wilayah dan sektor di Provinsi Jawa Barat; serta dapat diacu
dalam penyusunan RPJMD, RTRW, Renstra SKPD, dan Renja SKPD.
Adapun sasaran dari penyusunan dokumen RPPLHD Provinsi Jawa Barat ini
antara lain adalah13:
a. Tersedianya informasi mengenai inventarisasi lingkungan hidup yang
meliputi karakteristik ekoregion dan daya dukung lingkungan hidup;
interaksi antar ekoregion dan antar sumber daya alam di setiap
ekoregion; serta tantangan utama dan isu strategis pengendalian &
pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat.
b. Tersedianya draft RPPLHD Provinsi Jawa Barat yang memuat arahan
dan strategi kebijakan yang meliputi draft dari rencana berikut:
1) Rencana pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam.
2) Rencana pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi
lingkungan hidup.
3) Rencana pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam.
4) Rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

B. Inventarisasi Lingkungan Hidup dan Ekoregion Dalam Penyusunan RPPLH


Provinsi Jawa Barat
1. Pengertian dan Kedudukan Inventarisasi Lingkungan Hidup
UUPPLH memiliki tahapan dalam mengelola dan melindungi lingkungan
hidup, tahapan tersebut yaitu14:
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.

13
Ibid, hlm.18.
14
UUPPLH Pasal 5.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
15

PENETAPAN
INVENTARISASI
LINGKUNGAN HIDUP
WILAYAH PENYUSUNAN RPPLH
EKOREGION

Gambar 2.3. Tahapan Perencanaan RPPLH

Tahapan dalam proses penyusunan RPPLH merupakan satu kesatuan


tahapan yang diselenggarakan secara sistematis hirarkis, sehingga dalam
hal penyusunan RPPLH, kegiatan inventarisasi lingkungan hidup dan
ditentukannya wilayah ekoregian merupakan tahap – tahap yang harus lebih
dahulu diselenggarakan.
Inventarisasi adalah kegiatan atau proses melakukan pendataan
(inventory, inventarium), yang pada mulanya digunakan untuk benda atau
properti. Karena itu, bisa dimengerti apabila dalam perencanaan kehutanan
digunakan istilah inventarisasi. Hasil inventarisasi adalah data yang
menunjukkan keadaan apa adanya atau disitematisasi menjadi informasi
yang lebih berrnakna. Dalam perencanaan tata ruang, istilah yang
digunakan pada tahap sebelum perencanaan disebut pengumpulan data
dan analisis15.
Proses inventarisasi lingkungan hidup bukan hanya proses
pengumpulan data dan kompilasi data untuk memperoleh data dan informasi
mengenai sumber daya alam. Tetapi, proses inventarisasi harus dipandang
sebagai proses yang sistematik mulai dari persiapan, pengambilan,
pengumpulan, pengolahan pengelolaan, hingga diseminasi informasi dalam
sistem informasi (amanat UU Nomor 32 Tahun 2009 pasal 62). Untuk
menyiapkan proses inventarisasi tersebut perlu langkah yang tepat, guna
menyiapkan langkah tersebut aspek-aspek dalam inventarisasi lingkungan
hidup akan didekati dengan komponen infrastruktur data spasial 16.

15
Draft Naskah Akademik RPPLH Provinsi Jawa Barat 2014, Bab 2 Hlm.3.

16
Draft Naskah Akademik RPP RPPLH 2014, Hlm.34.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
16

Ekoregion dihasilkan dari konsep geografis dan spasial, oleh karena itu
data yang muncul adalah berupa peta, dalam melakukan proses
inventarisasi data dan informasi lingkungan hidup, terutama tahap
inventarisasi akan menjadi tahap selanjutnya dalam menentukan wilayah
ekoregion maka pertimbangan terkait infrastruktur data spasial merupakan
aspek yang berpengaruh dalam tahap inventarisasi lingkungan hidup.
Data Spasial adalah rekaman yang memperlihatkan distribsusi secara
spasial suatu fakta atau fenomena; data hasil pengukuran, pencatatan, dan
pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada,
atau diatas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada
sistem koordinat nasional17. (Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2007).
Infrastruktur Data Spasial (IDS) merupakan suatu inisiatif untuk
membuat suatu kondisi yang memungkinkan berbagai macam pengguna
dapat mengakses dan memperoleh data dalam cakupan IDS tertentu,
secara lengkap, konsisten, mudah dan aman. Agar IDS dapat terwujud dan
memberikan manfaat yang maksimal, ada lima komponen yang harus diatur,
yaitu: Data spasial, Kebijakan, Standar, Teknologi, dan SDM. Kelima
komponen di atas, akan diuraikan untuk melihat aspek-aspek inventarisasi
lingkungan hidup18.
UUPPLH Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa kegiatan
inventarisasi lingkungan hidup bermaksud untuk memperoleh data dan
informasi mengenai sumber daya alam berupa:
1) potensi dan ketersediaan;
2) Jenis yang dimanfaatkan;
3) Bentuk penguasaan;
4) Pengetahuan pengelolaan;
5) Bentuk kerusakan; dan
6) Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.

17
Ibid, Hlm. 35.
18
Ibid.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
17

Berdasarkan UUPPLH Pasal 6 ayat 1, inventarisasi lingkungan hidup terdiri


dari:
7) inventarisasi lingkungan hidup tingkat nasional;
8) inventarisasi lingkungan hidup tingkat pulau/kepulauan; dan
9) inventarisasi lingkungan hidup tingkat wilayah ekoregion.

2. Inventarisasi Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Barat


Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat nasional akan menghasilkan
RPPLH Nasional, dalam hal penyusunan RPPLH Provinsi, maka penyusunan
harus mengacu pada RPPLH Nasional tersebut, hasil inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan dan hasil inventarisasi tingkat ekoregion.
Sebelum melakukan inventarisasi tingkat ekoregion perlu diketahui
terlebih dahulu wilayah ekoregion dimana wilayah ekoregion dapat diketahui
sebagai hasil dari dilakukannya inventarisasi tingkat nasional dan
inventarisasi tingkat pulau/kepulauan.
Sebagai suatu perencanaan yang bertahap secara sistematis, maka
inventarisasi lingkungan hidup Provinsi Jawa Barat harus mengacu pada
RPPLH Tingkat Nasional.

3. Pengertian dan Kedudukan Ekoregion


a. Pengertian
Subbab ini berisi tentang ekoregion di Provinsi Jawa Barat, materi
ekoregion bersumber dari kajian teknis yang telah diselenggarakan
sebelumnya oleh tim pengkaji RPPLH 2017.
Pasal 1 angka 29 UU No.32 Tahun 2009 mengatur bahwa : “Ekoregion
adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.”
Untuk mendukung keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup serta
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, maka proses pembangunan
di Provinsi Jawa Barat perlu memperhatikan dan didasarkan pada kondisi
dan karakteristik bentang alam serta potensi, ketersediaan dan keterbatasan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
18

dari jasa ekosistem. Singkat kata proses pembangunan perlu


memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
sebagaimana dimandatkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup guna menjamin
ketersediaan sumber daya alam bagi generasi mendatang19.
Ekoregion merupakan wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim,
tanah, air, flora dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Sesuai
dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa
penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kesamaan: a). karakteristik bentang alam; b). daerah aliran sungai; c). iklim;
d). flora dan fauna; e). sosial-budaya; f). ekonomi; g). kelembagaan
masyarakat; dan h). hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Ekoregion dipahami sebagai karakter lahan yang berperan sebagai penciri
sifat dan faktor pembatas (constraints) potensi lahan yang sesuai dengan
daya dukung dan daya tampungnya. Dalam rangka mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan, Indonesia telah menetapkan ekoregion
sebagai acuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup.
b. Kedudukan
Penetapan ekoregion menjadi dasar dan memiliki peran yang sangat
penting dalam melihat keterkaitan, interaksi, interdependensi, dan dinamika
pemanfaatan berbagai sumber daya alam antar ekosistem dalam satu
wilayah ekoregion. Suatu ekoregion dapat terletak di dalam beberapa
wilayah administrasi, sehingga salah satu tujuan pendekatan ekoregion
adalah untuk memperkuat dan memastikan terjadinya koordinasi antar
wilayah administrasi yang saling bergantung dalam pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup yang mencakup persoalan pemanfaatan,
pencadangan sumber daya alam maupun permasalahan lingkungan hidup.

19
Supra catatan no.1 pada 16.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
19

Selain itu, tujuan lainnya dari penetapan ekoregion adalah agar secara
fungsional dapat menghasilkan perencanaan perlindungan-pengelolaan
lingkungan hidup, pemantauan, dan evaluasinya secara bersama antar
daerah yang saling bergantung, meskipun dalam kegiatan operasional
pembangunan tetap dijalankan masing-masing oleh dinas wilayah
administrasi sesuai kewenangannya masing-masing. Penentuan wilayah
dan pemetaan ekoregion dimaksudkan untuk dapat digunakan dalam
berbagai tujuan, yaitu :
1) Sebagai unit analisis dalam penetapan daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
2) Sebagai dasar dalam memberikan arahan untuk penetapan rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan untuk
perencanaan pembangunan yang disesuaikan dengan karakter wilayah.
3) Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup yang mengandung persoalan pemanfaatan,
pencadangan sumber daya alam maupun persoalan lingkungan hidup.
4) Sebagai acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa
ekosistem/lingkungan yang mempertimbangkan keterkaitan antar
ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain dalam satu ekoregion,
sehingga dapat dicapai produktivitas optimal untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Penetapan Wilayah Ekoregion dihasilkan dari hasil inventarisasi lingkungan
hidup tingkat nasional dan inventarisasi lingkungan hidup tingkat
pulau/kepulauan, setelah ditetapkan wilayah ekoregion tersebut dilakukan
inventarisasi wilayah tingkat ekoregion. Tahap tersebut memperlihatkan
kedudukan penetapan wilayah ekoregion sangat penting untuk dapat
melanjutkan tahapan berikutnya. Selain itu penetapan wilayah ekoregion
akan digunakan dalam membentuk RPPLH sejak tingkat nasional hingga
daerah karena dalam tahap inventarisasi ekoregion selalu dilakukan pada
setiap tahapnya.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
20

c. Wilayah Ekoregion Di Provinsi Jawa Barat (Berdasarkan Materi Teknis


RPPLH 2017)
Secara umum bentang alam Provinsi Jawa Barat terbagi atas enam
jenis ekoregion darat serta terdiri atas 11 kelas ekoregion darat dan dua
ekoregion laut yang masing-masing memiliki karakteristik jasa ekosistem
yang berbeda serta sumber daya alam yang khas.

Gambar 2.4. Ekoregion Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan hasil pemetaan (Gambar 2.4), secara umum Provinsi Jawa


Barat memiliki enam jenis ekoregion darat, yaitu:
1) dataran organik;
2) dataran fluvial;
3) dataran vulkanik;
4) pegunungan vulkanik;
5) perbukitan karst; dan
6) perbukitan struktural.
Keenam jenis ekoregion tersebut dibagi kedalam 11 kelas ekoregion darat
dan dua ekoregion laut. Kelas-kelas ekoregion tersebut yaitu:
1) dataran organik/koral Jawa;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
21

2) dataran fluvial Cilacap;


3) dataran fluvial Cilegon-Indramayu-Pekalongan;
4) dataran vulkanik Serang-Tanggerang-Depok;
5) dataran vulkanik Bantar Waru;
6) pegunungan vulkanik Gunung Ciremai;
7) pegunungan vulkanik G. Halimun-G. Salak-G. Sawal;
8) perbukitan struktural Ciamis;
9) perbukitan struktural Jonggol-Sumedang-Cilacap;
10) perbukitan struktural Ujung Kulon-Cikepuh-Leuweung Sancang; dan
11) perbukitan karst Tasikmalaya; serta
12) ekoregion Laut Jawa; dan
13) ekoregion Samudera Hindia.
Penetapan ekoregion dilakukan dengan pendekatan konsep bentang lahan.
Dengan konsep tersebut, ekoregion dapat dipetakan berdasarkan kesamaan
ciri morfologi dan morfogenesa bentuk lahan yang ada pada sistem lahan.
Aspek morfologi mencirikan bentuk permukaan lahan yang dicerminkan oleh
ketinggian relief lokal dan kelerengan. Sedangkan aspek morfogenesa
mencirikan proses asal usul terbentuknya bentuk lahan. Klasifikasi lahan
dengan konsep sistem lahan dilakukan berdasarkan prinsip ekologi yang
mengasumsikan adanya hubungan erat yang saling mempengaruhi antara
agroklimat, tipe batuan, bentuk lahan, tanah, kondisi hidrologi, dan
organisme.
Morfologi bentuk lahan diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu:
1) Dataran;
2) Perbukitan; dan
3) pegunungan.
Sedangkan morfogenesa bentuk lahan diklasifikasikan menjadi delapan
kelas, yaitu:
1) marin/pantai;
2) fluvial yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses sedimentasi karena
aliran air sungai;
3) fluviovulkanik;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
22

4) karst yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil pelarutan batu gamping;
5) organik/koral;
6) struktural yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses tektonik;
7) vulkanik yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil letusan gunung
berapi; dan
8) denudasional yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses gradasi dan
degradasi yang umumnya pada lahan berbatuan sedimen.
d. Dataran organik/koral Jawa (1)
Ekoregion dataran organik/koral Jawa terdapat di Kabupaten Cianjur
bagian selatan. Asal proses pembentukan dataran organik/koral Jawa
adalah aktivitas organik pada zona laut dangkal (litoral) yang kemudian
mengalami pengangkatan daratan atau penurunan muka air laut sehingga
terumbu karang muncul ke permukaan dan mengalami metamorfosis
membentuk batu gamping terumbu. Kondisi iklim pada dataran organik
cenderung kering dengan curah hujan tahunan 1.000-2.500 mm dan suhu
udara rata-rata 26-28oC. Topografi ekoregion dataran organik berupa
dataran dengan morfologi atau relief datar hingga landai dengan kemiringan
lereng secara umum 0-3% hingga berombak (3-8%). Material penyusun
ekoregion ini adalah batuan sedimen organik atau non klastik berupa batu
gamping terumbu atau koral sebagai hasil proses pengangkatan dan
metamorphosis terumbu karang. Sifat material batu gamping terumbu yang
banyak diaklas (retakan) dan lubang-lubang pelarutan menyebabkan
material ini tidak mampu menyimpan air dengan baik. Air tanah dijumpai
berupa air tanah dangkal atau air tanah bebas dengan potensi sangat
terbatas dan input utama air hujan. Di ekoregion ini mata air relatif sulit
ditemukan dan sistem hidrologi permukaan tidak berkembang.
Kondisi batu gamping terumbu yang relatif masih segar belum
memungkinkan proses pembentukan tanah secara baik. Kemungkinan
masih berupa bahan induk tanah yang berupa material pasir terumbu
berwarna putih dan bersifat granuler (terlepas-lepas). Pemanfaatan lahan di
ekoregion ini secara umum adalah untuk pariwisata alam. Ekoregion dataran
organik/koral berfungsi sebagai habitat bagi fauna perairan laut dangkal.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
23

Fauna asli pada ekoregion ini berupa terumbu karang. Sedangkan pada
dataran organik yang sudah berkembang sebagai kawasan wisata dan
permukiman, ditemukan flora berupa tanaman semusim dan tanaman
pekarangan dengan fauna domestik. Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion ini adalah jasa pengaturan tata air.

e. Dataran fluvial (2-3)


Ekoregion dataran fluvial secara umum dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu ekoregion dataran fluvial Cilacap (terletak di sisi timur Kabupaten
Ciamis, Kabupaten Pangandaran, dan Kota Banjar) dan dataran fluvial
Cilegon-Indramayu-Pekalongan yang terdapat di sepanjang sisi utara
Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kaupaten.
Subang, Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, dan Kabupaten Cirebon).
Kondisi iklim pada ekoregion dataran fluvial secara umum relatif basah
dengan variasi curah hujan rendah hingga tinggi dan suhu udara rata-rata
26-28oC. Pada umumnya dataran fluvial yang terletak di bagian utara Pulau
Jawa memliki curah hujan tahunan yang tinggi (1.000 – 2.500 mm).
Sedangkan dataran fluvial yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa
memiliki curah hujan tahunan yang bervariasi (2.000 – 3.500 mm) dengan
penurunan nilai curah hujan dari wilayah barat ke arah timur.
Geomorfologi ekoregion dataran fluvial dicirikan oleh topografi yang
berupa dataran dengan morfologi datar, kemiringan lereng secara umum 0-
3%, namun pada beberapa lokasi berombak hingga bergelombang (3-8%).
Ekoregion dataran fluvial merupakan bentuk lahan yang terbentuk dari
proses sedimentasi karena aliran air sungai, yang membentuk struktur
berlapis horizontal dan tersortir baik (lapisan dengan material kasar di
bagian bawah, semakin ke atas semakin halus). Material penyusun
ekoregion dataran fluvial umumnya berupa aluvium dengan komposisi pasir,
debu, dan lempung yang relatif seimbang. Kondisi hidrologi pada ekoregion
ini dibangun oleh material aluvium yang membentuk akuifer yang potensial
dengan dukungan morfologi yang datar. Hal ini menyebabkan cadangan
atau ketersediaan air tanah dangkal pada ekoregion ini sangat potensial

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
24

sehingga membentuk reservoir air tanah atau cekungan hidrogeologi. Aliran


sungai pada ekoregion dataran fluvial bersifat mengalir sepanjang tahun
dengan debit aliran relatif besar karena mendapat input dari air hujan dan
aliran air tanah yang masuk ke dalam badan sungai. Material alluvium akan
berkembang menjadi tanah dengan tekstur geluhan, struktur remah, dan
solum sangat tebal, sehingga dengan tersedianya air yang melimpah
menjadikan tanah ini sangat subur yang disebut sebagai tanah alluvial.
Tanah alluvial berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian
tanaman semusim dengan irigasi intensif. Pemanfaatan lahan di ekoregion
dataran fluvial secara umum berupa permukiman dan lahan pertanian,
terutama pertanian tanaman semusim dan sawah, mengingat ekoregion ini
memiliki jenis tanah dan ketersediaan air yang cukup untuk pertanian. Jasa
ekosistem maksimal pada ekoregion Dataran Fluvial Cilacap adalah jasa
pencegahan dan perlindungan dari bencana, sementara jasa ekosistem
maksimal pada ekoregion Dataran Fluvial Cilegon-Indramayu-Pekalongan
adalah jasa pengendalian hama dan penyakit.
Ekosistem alami di dataran fluvial Cilegon-Indramayu-Pekalongan
adalah ekosistem muara sungai/estuari dan terdapat sedikit ekosistem
mangrove yang membentang di pesisir utara Jawa Barat. Ekosistem
mangrove tersusun oleh berbagai tipe tumbuhan dengan karakteristik
khusus sehingga dapat bertahan hidup di daerah pasang surut dengan
salinitas tinggi dan persediaan oksigen yang terbatas. Tumbuhan mangrove
biasanya memiliki bentuk akar yang terspesialisasi untuk mengambil oksigen
dari udara karena tumbuhan mangrove hidup terendam oleh air. Selain itu,
tumbuhan mangrove memiliki daun yang terspesialisasi untuk dapat
mentoleransi kadar garam yang tinggi. Akar mangrove berperan dalam
mengikat sedimen sehingga dapat mengurangi sedimentasi di pesisir.
Seacara umum ekosistem mangrove berperan dalam melindungi daratan
dari gelombang air laut. Ekosistem mangrove berperan sebagai habitat dan
tempat mencari makan burung air, berbagai jenis ikan, kepiting, bahkan
mamalia darat, sehingga ekosistem ini berperan dalam mendukung

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
25

perikanan laut sekaligus ekosistem sekitarnya yang ada di darat (Whitten,


Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
Tumbuhan mangrove yang paling banyak ditemukan berasal dari
famili Rhizophoraceae (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996). Spesies-
spesies tumbuhan yang biasa dijumpai pada ekosistem mangrove di Jawa
Barat diantaranya Rhizophora mucronata, Bruguiera spp., Ceriops tagal,
Xylocarpus granatum, Avicennia marina, Aegiceras corniculata, Rhizophora
apiculata, dan Soneratia alba. Sebagian besar kondisi ekosistem mangrove
di ekoregion dataran pantai Jawa Barat berada pada kondisi sedang, dan
sebagian kecil berada pada kondisi rusak (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008). Setiap jenis tumbuhan
mangrove memiliki preferensi kondisi lingkungan yang berbeda-beda untuk
tumbuh secara optimal. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh gradien kondisi
lingkungan, seperti salinitas dan jenis substrat. Kondisi tersebut membuat
ekosistem mangrove membentuk zonasi yang dicirikan dengan bergantinya
jenis/spesies mangrove mengikuti kondisi gradien lingkungan (Whitten,
Soeriaatmadja, & Afiff, 1996). Luas ekosistem mangrove di sisi utara Jawa
Barat sekitar 39.918 hektar yang tersebar di Kab. Bekasi, Kab. Karawang,
Kab. Subang, dan Kab. Indramayu. (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan
Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).
Fauna yang ditemui di ekosistem mangrove dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu fauna terestrial yang sering mengunjungi mangrove dan
fauna akuatik. Fauna terestrial yang mengunjungi ekosistem ini seperti
biawak (Varanus salvator), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
berang-berang (Aonyx cinereus), berbagai jenis burung, berbagai jenis
kelelawar, dan berbagai jenis ular. Sedangkan fauna akuatik yang ditemui di
ekosistem mangrove adalah berbagai jenis ikan, kepiting, dan kerang
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
Ekosistem muara sungai / estuari merupakan tempat bertemunya air
tawar dan air asin atau disebut juga daerah transisi, sehingga memiliki
salinitas air dan substrat yang bervariasi serta cenderung payau. Ekosistem
estuari ditempati oleh flora dan fauna yang dapat beradaptasi terhadap

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
26

berbagai tipe substrat dari mulai tanah, lumpur, hingga pasir pantai, dan juga
flora dan fauna yang dapat beradaptasi pada kondisi salinitas yang
bervariasi. Fauna pada ekosistem estuari juga merupakan kombinasi antara
fauna daratan, fauna air tawar, dan fauna air asin (Office of Environment &
Heritage). Ekosistem ini ditempati oleh vegetasi daratan dan vegetasi
mangrove, walaupun sebagian merupakan bukan mangrove sejati seperti
Nipah (Nypa fruticans), Bintaro (Cerbera manghas), dan Pandan Hutan
(Pandanus odoratissima).
Ekosistem alami yang menempati dataran fluvial Cilacap adalah
hutan riparian. Hutan riparian merupakan hutan yang menjadi peralihan
antara daratan dan ekosistem akuatik seperti sungai dan danau. Ekosistem
ini ditempati oleh vegetasi yang teradaptasi terhadap variasi muka air
sungai, sehingga terkadang hidup dalam kondisi daratan dan terkadang
hidup dalam kondisi terendam air. Ekosistem ini memiliki peran yang penting
terhadap aliran sungai, yaitu sebagai peneduh sehingga menjaga suhu
perairan tetap stabil. Hutan riparian juga menjadi sumber energi bagi
ekosistem perairan di sekitarnya karena jatuhan daun dari hutan ini akan
masuk ke perairan sebagai sumber material organik dan terdekomposisi
sehingga menjadi sumber nutrisi yang dapat digunakan dalam rantai
makanan. Hutan riparian berfungsi sebagai habitat berbagai jenis satwa dan
sebagai koridor pergerakan satwa sepanjang aliran sungai. Sistem
perakaran vegetasi riparian membantu untuk mengikat tanah sehingga
meminimalisir terjadinya erosi pada bantaran sungai. Vegetasi riparian juga
berperan dalam menyaring polutan dan kelebihan nutrisi dari daratan
sehingga tidak memasuki dan mengganggu kualitas perairan (Water &
Rivers Commision, 2000).
f. Dataran vulkanik (4-5)
Ekoregion dataran vulkanik di Jawa Barat tergolong menjadi dataran
vulkanik Bantar Waru (kode pada peta: 4) dan dataran vulkanik Serang-
Tanggerang-Depok (kode pada peta: 5). Dataran vulkanik Bantar Waru
terdapat di Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Subang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Majalengka. Sedangkan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
27

dataran vulkanik Serang-Tanggerang-Depok terdapat di Kabupaten Bogor,


Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi.
Kondisi iklim di ekoregion dataran vulkanik secara umum relatif basah
dengan curah hujan tahunan sedang hingga tinggi (2.000-4.000 mm)
dengan suhu berkisar antara 22-26oC. Topografi berupa dataran dengan
morfologi datar hingga landai, dan kemiringan lereng secara umum 0-3%,
berombak (3-8%), hingga bergelombang (8-15%). Material penyusun
ekoregion ini umumnya berasal dari hasil erupsi gunung berapi berupa
bahan-bahan piroklastik berukuran halus (pasir halus), sedang (kerikil),
hingga kasar (kerakal) dengan sortasi yang baik (lapisan tebal dengan
material kasar di bagian bawah, semakin ke atas semakin halus). Proses
penyebaran dan pengendapan material dibantu oleh aktivitas aliran sungai
(fluvial) dan angin serta gravitasi berupa material jatuhan (airborne
deposite).
Material piroklastik dengan komposisi pasir, kerikil, dan kerakal
merupakan komposisi material yang mampu melewatkan/melalukan air
dengan baik sehingga membentuk akuifer yang sangat potensial. Dukungan
morfologi datar hingga cekung menjadikan ekoregion ini sebagai daerah
cadangan ketersediaan air tanah yang sangat potensial sehingga
membentuk reservoir air tanah atau cekungan hidrogeologi. Selain itu, pada
tekuk-tekuk lereng vulkanik di atasnya merupakan lokasi munculnya mata air
yang disebut sabuk mata air (spring belt) sehingga menambah potensi
sebagai sumber air bersih. Karena lokasinya yang terletak di sekitar kaki
gunung berapi, maka sungai-sungai pada ekoregion ini mengalir searah
dengan kemiringan lereng dan relatif saling sejajar sehingga membentuk
pola aliran semi paralel hingga paralel dengan debit bervariasi tergantung
pada pada kondisi aliran mata air di bagian hulu. Aliran sungai bersifat
mengalir sepanjang tahun dengan debit secara umum relatif besar dengan
fluktuasi tahunan kecil karena mendapat input dari air hujan dan aliran mata
air.
Proses perkembangan tanah pada ekoregion dataran vulkanik sangat
intensif yang dapat membentuk jenis tanah grumusol berwarna kehitaman

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
28

dan tanah alluvial yang berwarna lebih muda. Kedua jenis tanah tersebut
merupakan tanah yang subur dengan kandungan hara tinggi, solum tebal,
dengan tekstur pasir bergeluh hingga geluh berpasir, struktur remah hingga
pejal, dan mampu meresapkan air hujan sebgai input air tanah dengan baik.
Tanah alluvial dan grumusol potensial untuk pengembangan lahan pertanian
tanaman semusim dengan irigasi intensif. Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion Dataran Vulkanik Bantar Waru adalah jasa pengendalian hama
dan penyakit, sementara jasa ekosistem maksimal pada Dataran Vulkanik
Serang-Tangerang-Depok adalah produksi primer.
Ekosistem alami pada dataran vulkanik adalah ekosistem hutan hujan
dataran rendah yang mengisi seluruh jenis dataran vulkanik di Jawa Barat
(dataran vulkanik Bantar Waru dan dataran vulkanik Serang – Tanggerang –
Depok). Ekosistem hutan hujan dataran rendah terdapat pada ketinggian
kurang dari 1.000 m di atas permukaan laut. Hutan dataran rendah
merupakan ekosistem yang paling kaya akan keanekaragaman hayati.
Berdasarkan dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa
Barat (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008,
2008), pada saat ini ekosistem hutan hujan dataran rendah hanya tersisa
sedikit dan terfragmentasi dengan masing-masing luasan kecil.
Ekosistem ini tersusun oleh berbagai macam vegetasi khas dataran
rendah dengan keanekaragaman jenis yang sangat tinggi dibandingkan
dengan hutan pegunungan. Hutan dataran rendah memiliki karakteristik
kerapatan vegetasi yang rendah dengan pepohonan yang menjulang tinggi
dengan diameter batang yang besar, didominasi oleh pepohonan dengan
akar papan/banir, dan terdiri dari beberapa lapisan tajuk vegetasi (van
Steenis, 2006). Tumbuhan cauliflora (tumbuhan yang berbunga pada
batang) terdapat banyak pada ekosistem ini seperti jenis-jenis dari famili
Moraceae (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun
2008, 2008). Tidak seperti hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan
yang didominasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, hutan dataran
rendah Jawa pada umumnya tidak memiliki famili atau jenis tumbuhan yang
dominan. Namun biasanya terdapat beberapa spesies pohon yang selalu

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
29

ditemukan di hutan dataran rendah Jawa seperti Artocarpus elasticus,


Dysoxylum caulostachyum, Langsat (Lansium domesticum), dan Planchonia
valida (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).

g. Pegunungan vulkanik (6-7)


Ekoregion pegunungan vulkanik terbagi menjadi dua blok, yaitu
pegunungan vulkanik Gunung Ceremai (kode pada peta: 6) dan
pegunungan vulkanik Gunung Halimun-Gunung Salak-Gunung Sawal (kode
pada peta: 7). Ekoregion pegunungan vulkanik G. Ceremai terdapat di
sekitar G. Ceremai yaitu di Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon,
Kota Cirebon, dan Kabupaten Kuningan. Sedangkan ekoregion pegunungan
vulkanik G. Halimun - G. Salak - G. Sawal terdapat secara membentang di
bagian tengah Provinsi Jawa Barat. Daerah daerah yang dilalui oleh
ekoregion ini yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi,
Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung
Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten
Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar.
Pegunungan vulkanik merupakan daerah yang berupa kerucut
vulkanik. Ekoregion ini tersusun dari produk letusan gunung berapi berupa
perselingan batuan beku ekstrusif dan material piroklastik. Hasil letusan
gunung berapi membentuk bentuk lahan bertopografi bergunung, berlereng
terjal, kemiringan lereng rata-rata 45% dan amplitudo relief > 300 m.
Ekoregion ini dapat ditemukan di bagian tengah dan selatan Jawa Barat.
Ekoregion ini umumnya beriklim tropika basah dengan suhu rata-rata
16-20oC. Curah hujan tahunan berkisar antara 3.000-4.500 mm. Ekoregion
ini memiliki sumber daya air permukaan dan air tanah yang melimpah
sepanjang tahun, sehingga pegunungan vulkanik berperan sebagai sumber
cadangan air yang sangat besar. Aliran sungai dengan pola radial atau
semiradial mengalir sepanjang tahun. Pada tekuk lereng bawah atau lereng
kaki banyak dijumpai mata air artesis dan air terjun. Jenis tanah yang

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
30

dominan adalah andosol, latosol, dan litosol. Jenis tanah andosol dan latosol
tergolong subur.
Sebagian besar kawasan ekoregion ini masih berhutan lebat.
Meskipun begitu, karena kondisi tanah yang tergolong subur, sebagian kecil
wilayah pada beberapa daerah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Kondisi iklim yang sejuk dan tanah yang subur menjadikan pemanfaatan
lahan di ekoregion ini berupa pertanian yang didominasi tanaman sayuran
dan buah-buahan. Selain itu, kondisi ekoregion ini yang sejuk, berhutan
lebat, dan memiliki banyak kawah vulkanik dapat dimanfaatkan sebagai
daerah wisata, seperti contohnya di kawasan Puncak di Bogor, Gunung
Tangkuban Perahu di Bandung Utara dan Kawasan Kawah Putih Gunung
Patuha di Bandung Selatan, serta Gunung Papandayan di Garut.
Ekoregion ini berasosiasi dengan jajaran pegunungan vulkanik di
Jawa Barat. Sebagian besar kawasan ekoregion ini masih berhutan lebat
dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena sebagian besar
wilayah ekoregion ini berstatus sebagai kawasan konservasi, yaitu Cagar
Alam (CA), Taman Wisata Alam (TWA), Suaka Margasatwa (SM), dan
Taman Nasional (TN). Ekoregion ini dapat ditemukan di wilayah TN Halimun
Salak di Bogor; TN Gunung Gede-Pangrango di Kabupaten Bogor dan
Sukabumi; CA Burangrang, CA Junghuhn, CA/TWA Tangkuban Perahu di
Bandung Utara; CA Gunung Tilu, CA Gunung Malabar, CA/TWA Telaga
Patengang, TWA Cimanggu di Bandung Selatan; CA/TWA Gunung
Papandayan, CA/TWA Kamojang di Garut; CA Gunung Jagat di Kabupaten
Sumedang; CA/TWA Telaga Bodas di Kabupaten Garut dan Tasikamalaya;
TN Gunung Ciremai di Kabupaten Majalengka dan Kuningan; CA Panjalu
dan SM Gunung Sawal di Kabupaten Ciamis (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008). Jasa ekosistem maksimal
pada ekoregion Pegunungan Vulkanik Gunung Ciremai adalah jasa
pengendalian hama dan penyakit, sementara jasa ekosistem maksimal di
Pegunungan Vulkanik G. Halimun-G. Salak-G. Sawal adalah produksi
primer.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
31

Sebagian besar ekosistem alami pada dua kelompok ekoregion


pegunungan vulkanik Jawa Barat adalah hutan hujan dataran rendah.
Namun terdapat pula hutan pegunungan pada tempat tinggi di Kabupaten
Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut,
Kabupaten Bandung, dan bagian utara Kota Bandung. Ekosistem tersebut
dapat dikelompokkan berdasarkan ketinggian tempatnya, mulai dari yang
paling rendah hingga yang paling tinggi secara berurutan adalah hutan hujan
dataran rendah (kurang dari 1.000 m), hutan sub-pegunungan (1.000-1.500
m), hutan pegunungan (1.500-2.400 m), dan hutan sub-alpin (lebih dari 2400
m).
Kondisi ekosistem hutan tersebut memiliki pola yang menarik seiring
dengan bertambahnya ketinggian. Dari segi struktur hutannya, secara umum
tinggi pepohonan yang menyusun hutan akan semakin pendek seiring
dengan bertambahnya ketinggian, sementara jumlah individu pohon atau
kerapatan hutan akan meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian.
Ukuran diameter batang pohon cenderung semakin kecil seiring dengan
bertambahnya ketinggian tempat. Sementara itu, dari segi keanekaragaman
jenis vegetasi, jumlah jenis/spesies tumbuhan akan semakin sedikit seiring
dengan bertambahnya ketinggian tempat dan seiring dengan bertambahnya
ketinggian terjadi perubahan komposisi jenis tumbuhan (van Steenis, 2006).
Jenis dan jumlah fauna yang dapat ditemukan di ekosistem hutan
hujan dataran rendah menuju hutan pegunungan juga semakin sedikit
seiring dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini disebabkan oleh penurunan
suhu yang terjadi seiring dengan bertambahnya ketinggian sehingga
kehadiran fauna ditentukan oleh kemampuan adaptasi terhadap suhu.
Fauna dari kelompok herpetofauna (amfibi, reptil, dan ular) yang merupakan
hewan berdarah dingin banyak ditemukan pada hutan dataran rendah,
namun jarang ditemukan pada lokasi yang tinggi karena tidak dapat
beradaptasi terhadap suhu dingin. Berbagai jenis serangga, burung, dan
mamalia dapat ditemukan pada ekosistem hutan pegunungan. Jenis
mamalia arboreal seperti lutung jawa dan owa jawa serta karnivora langka
seperti macan tutul (Panthera pardus melas) serta spesies babi hutan hanya

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
32

dapat ditemukan hingga hutan subpegunungan, namun beberapa jenis tikus


dapat ditemukan hingga hutan subalpin (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff,
1996).
Hutan sub-pegunungan terdapat pada ketinggian 1.000-1.500 m,
memiliki kondisi vegetasi pepohonan yang tinggi dan terdiri atas beberapa
lapisan tajuk, banyak dijumpai jenis anggrek, liana/tumbuhan perambat, dan
paku-pakuan yang menempel pada batang pepophonan. Zona hutan
subpegunungan biasanya didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan dari
famili Fagaceae (Quercus, Lithocarpus, Castanopsis) Lauraceae, serta jenis
Puspa (Schima wallichii), Ki Hujan (Engelhardia spicata), dan Rasemala
(Altingia excelsa). Selain itu dapat ditemukan pula spesies-spesies lainnya
seperti berbagai jenis dari famili Myrtaceae (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).
Hutan pegunungan terdapat pada ketinggian 1.500-2.400 m, memliki
kondisi vegetasi pepohonan yang tinggi dan terdiri atas beberapa lapisan
tajuk namun lebih pendek dibandingkan pepohonan di hutan sub-
pegunungan. Pada zona ini struktur hutan lebih rapat dengan jumlah individu
pepohonan lebih banyak dibandingkan hutan subpegunungan, namun
batang pohon secara umum lebih kecil dan mulai ditutupi oleh lumut. Jumlah
total jenis tumbuhan yang ditemukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan
hutan sub-pegunungan. Sedangkan tumbuhan dominan yang ditemukan di
zona ini diantaranya adalah Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan beberapa
jenis dari famili Myrtaceae. Selain itu pada zona ini juga dapat mulai ditemui
jenis-jenis tumbuhan yang mengisi zona sub-alpin seperti Eurya obovata,
Rhododendron retusum, Segel (Myrsine affinis) (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008) sehingga zona ini dapat
dikatakan zona peralihan komposisi jenis vegetasi (van Steenis, 2006).
Formasi hutan yang terdapat pada zona paling tinggi adalah hutan
sub-alpin (> 2.400 m). Hutan sub-alpin tersusun atas pepohonan dengan
ukuran batang yang kecil, pendek, dan ditutupi oleh lumut yang tebal, serta
hanya terdiri dari satu lapisan tajuk. Keanekaragaman jenis pada zona ini
paling rendah dibandingkan dua zona hutan di bawahnya. Jenis yang

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
33

mendominasi hutan sub-alpin diantaranya Cantigi (Vaccinium spp), Segel


(Myrsine affinis), dan Jirak (Symplocos). Sedangkan jenis tumbuhan lain
yang dapat ditemukan di hutan sub-alpin hanya sedikit, diantaranya
Leptospermum flavescens, Myrica javanica, dan Eurya obovata. Tumbuhan-
tumbuhan tersebut biasanya teradaptasi untuk dapat bertahan hidup dengan
cekaman berupa gas sulfur yang berasal dari kawah. Selain itu pada zona
sub-alpin di beberapa gunung biasanya ditemukan padang rumput yang
berasosiasi tumbuhan perdu Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) yang
terkenal sebagai bunga abadi (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan
Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).

h. Perbukitan struktural (8-10)


Ekoregion perbukitan struktural di Jawa Barat terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu perbukitan struktural Ciamis (kode pada peta: 8), perbukitan
struktural Jonggol – Sumedang – Cilacap (kode pada peta: 9), dan
perbukitan struktural Ujung Kulon – Cikepuh – Luweung Sancang (kode
pada peta: 10) yang mendominasi bagian selatan Jawa Barat hingga daerah
pesisir. Perbukitan struktural Ciamis terletak di Kaupaten Ciamis, Kabupaten
Tasikamalaya, dan Kaupaten. Pangandaran. Perbukitan struktural Jonggol –
Sumedang – Cilacap membentang dari Kabupaten Bogor, Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka,
Kabupaten Kuningan, hingga Kabupaten Ciamis. Perbukitan struktural Ujung
Kulon – Cikepuh – Leueweung Sancang membentang dari Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan
Kabupaten Tasikmalaya.
Perbukitan struktural merupakan perbukitan yang tersusun oleh
batuan intrusif dan batuan sedimen (batugamping dan batupasir) yang
mengalami deformasi oleh tenaga tektonik, dengan membentuk struktur
lipatan atau patahan. Morfologi yang terbentuk berupa perbukitan pada
elevasi sedang (< 300 m) dengan kemiringan lereng yang curam (25-45%).

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
34

Kondisi iklim pada umumnya termasuk tropika basah, namun semakin ke


arah timur cenderung semakin kering. Suhu udara relatif sejuk (20-22oC).
Pola aliran air pada ekoregion ini terkontrol oleh jalur patahan yaitu
dalam bentuk rectangular atau trellis. Air sungainya umumnya mengalir
sepanjang tahun dan ketersediaan air permukaan dan air tanah relatif cukup
sepanjang tahun. Tanah yang dijumpai didominasi oleh tanah latosol
(alfisol), podosolik (ultiusol) dengan solum dalam dan memiliki tingkat
kesuburan rendah hingga sedang. Di beberapa tempat yang berlereng
curam juga ditemui tanah litosol bersolum dangkal (< 20 cm). Jasa
ekosistem maksimal pada ekoregion Perbukitan Struktural Ciamis adalah
jasa pencegahan dan perlindungan dari bencana. Jasa ekosistem maksimal
pada Perbukitan Struktural Jonggol-Sumedang-Cilacap dan Perbukitan
Struktural Ujung Kulon-Cikepuh-Leuweung Sancang adalah produksi primer.
Ekosistem alami yang mendominasi kelompok ekoregion perbukitan
struktural di Jawa Barat secara berurutan adalah ekosistem hutan hujan
dataran rendah, ekosistem hutan subpegunungan, ekosistem hutan dataran
rendah batu gamping, serta sedikit ekosistem hutan pantai dan hutan
mangrove. Ekosistem alami yang mendominasi ekoregion perbukitan
struktural Ciamis adalah hutan hujan dataran rendah. Ekosistem alami yang
menempati sebagian kecil perbukitan struktural Jonggol – Sumedang –
Cilacap adalah hutan dataran rendah batu gamping, sementara itu sebagian
besar wilayah satuan ekoregion ini didominasi oleh hutan hujan dataran
rendah.
Ekosistem yang menempati sebagian kecil satuan ekoregion
perbukitan struktural Ujung Kulon – Cikepuh – Leuweung Sancang adalah
hutan sub-pegunungan (di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan
Kabupaten Bandung), hutan dataran rendah batu gamping (di Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten
Bandung Barat). Kemudian terdapat sedikit ekosistem hutan pantai di
daerah Sancang Kabupaten Garut. Selain itu terdapat juga ekosistem
mangrove di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten
Garut dengan luas total sekitar 211 hektar (BPLHD Jawa Barat, Status

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
35

Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008). Sementara itu ekosistem


alami yang mendominasi satuan perbukitan struktural Ujung Kulon –
Cikepuh – Leuweung Sancang adalah hutan hujan dataran rendah.
Penjelasan mengenai ekosistem hutan hujan dataran rendah terdapat
pada deskripsi ekoregion dataran vulkanik. Sementara itu penjelasan
mengenai ekosistem mangrove terdapat pada deskripsi ekoregion dataran
fluvial. Penjelasan mengenai hutan sub-pegunungan terdapat pada deskripsi
ekoregion pegunungan vulkanik. Dua jenis ekosistem alami lainnya yang
terdapat di kelompok ekoregion perbukitan struktural Jawa Barat adalah
hutan dataran rendah batu gamping dan hutan pantai.
Ekosistem hutan pantai merupakan ekosistem dengan substrat
berupa pasir pantai yang terletak di batas pasang tertinggi. Ekosistem hutan
pantai tersusun atas dua formasi vegetasi. Mulai dari bibir pantai ke arah
daratan ekosistem ini tersusun oleh formasi Pes-caprae dan formasi
Barringtonia. Formasi Pes-caprae biasanya ditemukan di batas pasang
tertinggi. Formasi ini dinamai berdasarkan tumbuhan dominan berupa
tumbuhan bernama Ipomoea pes-caprae. Tumbuhan ini menjalar dan
memiliki perakaran yang dalam untuk mencapai sumber air tawar,
mencengkram substrat pasir, dan menangkap material organik. Tumbuhan
lain yang dapat ditemukan diantaranya Canavalia sp, Vigna sp, Spinifex
littoreus, Thuarea involuta, Ischaemum muticum, dan Euphorbia atoto
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
Formasi Barringtonia terletak lebih ke arah darat dibandingkan
formasi Pes-caprae. Formasi Barringtonia lebih didominasi oleh pepohonan.
Formasi Barringtonia dinamai berdasarkan nama pohon yang sering
ditemukan (namun tidak di setiap lokasi ditemukan) yaitu Barringtonia
asiatica. Tumbuhan lain yang sering ditemukan di formasi ini antara lain
Calophyllum inophyllum, Pandanus tectorius, Morinda citrifolia, Sterculia
foetida, Terminalia catappa, Cycas rumphii, Erythrina variegate, Hibiscus
tiliaceus, Thespesia populnea, dan Scaevola taccada. Formasi ini secara
alami membentang di dataran pantai selatan Jawa Barat (Whitten,
Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
36

Ekosistem hutan pantai merupakan ekosistem yang menjadi wilayah


jelajah dan atau habitat dan atau tempat mencari makan bagi berbagai jenis
burung serta hewan-hewan besar seperti biawak (Varanus salvator), babi
hutan (Sus scrofa), kalong (Pteropus vampyrus), lutung (Trachypithecus
auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), rusa (Rusa
timorensis), dan hewan langka seperti badak jawa (Rhinoceros sondaicus),
dan owa jawa (Hylobates moloch). Rusa memiliki kebutuhan akan garam
untuk fisiologi tubuhnya sehingga selain mengunjungi hutan pantai, rusa
juga sering teramati mengunjungi pantai sebagai sumber garam (Whitten,
Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
Belum banyak data mengenai flora dan fauna yang terdapat pada
ekosistem hutan dataran rendah batu gamping (Kartawinata, 2013).
Karakteristik utama ekosistem hutan dataran rendah batu gamping adalah
batuan induknya berupa batu gamping, ketebalan tanah yang minim dan
memiliki kandungan Ca yang tinggi. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan
vegetasi yang ada pada ekosistem tersebut, selain itu secara umum jumlah
spesies tumbuhan yang ditemukan pada ekosistem ini lebih rendah
dibandingkan jenis ekosistem hutan dataran rendah lain karena tidak banyak
jenis tumbuhan yang dapat mentoleransi kandungan Ca pada tanah yang
tinggi (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
i. Perbukitan karst (11)
Satuan ekoregion perbukitan karst di Jawa Barat bernama perbukitan
karst Tasikmalaya. Ekoregion ini terdapat di Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Pangandaran. Ekoregion perbukitan karst biasanya beriklim
basah dengan curah hujan tahunan tergolong tinggi sebagai media utama
proses pelarutan batuan (solusional) serta memiliki perbedaan yang tegas
antara musim kemarau dan musim penghujan.
Material dominan pada ekoregion perbukitan karst adalah batuan
sedimen organik atau non klastik berupa batu gamping terumbu (limestone,
CaCO3), batu gamping napal atau batu gamping dolomit, yang pada
beberapa tempat telah mengalami metamorfosis menjadi kalsit. Batuan ini
terbentuk sebagai hasil metamorfosis terumbu yang tumbuh pada

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
37

lingkungan laut dangkal yang mengalami pengangkatan oleh aktivitas


tektonik dan gunung berapi purba. Berstruktur banyak retakan yang disebut
diaklast dan bersifat mudah larut.
Morfologi ekoregion ini berbukit-bukit dengan pola membentuk jajaran
kerucut karst dengan lembah-lembah yang unik (doline atau uvala) yang
didukung oleh relief pada permukaan batuan yang unik (karren), dan potensi
gua-gua karst dengan berbagai fenomena alam unik yang dimilikinya
(ornament gua dan sungai bawah tanah). Keunikan fenomena alam ini
terbentuk oleh proses pelarutan material sedimen organik berupa batu
gamping terumbu. Kemiringan lereng ekoregion ini bervariasi sesuai ukuran
kerucut karst, yang bervariasi antara berbukit rendah dengan lereng miring
(15-30%) hingga berbukit tinggi dengan lereng curam (30-40%).
Variasi topografi berupa kerucut dan lembah-lembah karst yang unik
dengan struktur batuan berupa laur-alur retakan (diaklast) dan zona
pelarutan yang rumit, menyebabkan hampir tidak dijumpai aliran permukaan
berupa sungai. Pola aliran sungai pada umumnya membentuk pola basinal
yaitu pola aliran berupa alur-alur sungai pendek yang menghilang atau
masuk pada suatu lubang pelarutan berupa ponor di dasar lembah karst
atau masuk ke dalam lubang (sinkhole) sebagai bagian dari sistem sungai
bawah tanah. Hidrologi yang berkembang pada ekoregion ini adalah
hidrologi permukaan berupa telaga-telaga karst (logva) dan sungai bawah
tanah dengan potensi aliran yang besar. Munculnya mata air dimungkinkan
berupa mata air topografik atau basinal pada lembah-lembah karst, atau
mata air struktur akibat retakan atau patahan lokal.
Material batu gamping dengan proses pelarutan dan pelapukan
intensif menyebabkan pembentukan tanah yang spesifik berupa tanah
merah (terrarosa atau mediteran). Tanah ini relatif bersifat marginal,
bertekstur lempungan, kurang subur, pH tinggi (basa), dan kandungan hara
rendah (kecuali kandungan Ca dan Mg yang tinggi), yang menempati pada
lembah-lembah karst dengan pemanfaatan untuk pertanian lahan kering
(ladang), dengan tanaman berupa padi gogo (beras merah), kacang tanah,
jagung, tebu, dan tanaman hutan rakyat berupa jati, mahoni, akasia, dan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
38

sengon. Sementara pada bukit-bukit karst sebagian besar didominasi oleh


batuan induk yang keras sehingga pembentukan tanah sangat lambat dan
mempunyai solum tipis yang disebut tanah litosol. Pemanfaatan lahan pada
lereng-lereng bukit karst secara umum berupa ladang tadah hujan dengan
teras-teras miring dan kebun campuran dengan tanaman dominan berupa
jati dan mahoni yang dapat tumbuh dengan baik pada ekoregion ini karena
mampu beradaptasi pada tanah marginal dengan pH tinggi dan perbedaan
musim kemarau dan penghujan yang sangat tegas. Fauna yang sering
dijumpai di wilayah karst adalah berbagai jenis kelelawar yang
memanfaatkan gua-gua sebagai tempat tinggalnya (BPLHD Jawa Barat,
Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008). Jasa ekosistem
maksimal pada ekoregion ini adalah jasa perlindungan dan pencegahan dari
bencana.
Ekosistem alami pada perbukitan karst di Jawa Barat adalah hutan
hujan dataran rendah dan hutan dataran rendah batu gamping. Penjelasan
mengenai ekosistem hutan hujan dataran rendah terdapat pada deskripsi
ekoregion dataran vulkanik. Penjelasan mengenai hutan dataran rendah
batu gamping terdapat pada deskripsi ekoregion perbukitan struktural.
j. Samudera Hindia
Ekoregion Samudera Hinda terdapat di sebelah selatan Jawa Barat.
Ekoregion ini memiliki sirkulasi arus dan massa air yang terbentuk oleh
kondisi batimetri yang kontras, yaknik oleh palung yang bernama Java
Trench yang terhubung dengan Samudera Hindia bagian tenggara.
Ekoregion Samudera Hindia terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall,
2001). Morfologi dasar laut ekoregion ini terdiri dari paparan benua
(continental shelf), lereng benua (continental slope), dan pematang
samudera (sub marine ridge), dengan kedalaman hingga 7.235 m.
Ekoregion ini merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan peta
kemiringan dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh kawasan
ekoregion Samudera Hindia memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas
lereng miring (1-3O), agak terjal (3-10O), terjal (10-20O), dan curam (>
20O). Berdasarkan aspek geologi wilayah ekoregion ini merupakan zona

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
39

subduksi lempeng tektonik sehingga rawan terhadap bencana gempa bumi


dan tsunami. Berdasarkan peta kerawanan tsunami (Sulistyo & Triyono,
2009), daerah rawan tsunami terdapat di perbatasan Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Kondisi ini terjadi pada daerah bermorfologi teluk seperti di Teluk
Pangandaran.
Ekosistem alami di ekoregion Samudera Hindia di Provinsi Jawa
Barat adalah ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Terumbu
karang merupakan bentukan tumpukan zat kapur di perairan laut dangkal
yang terbentuk oleh aktivitas simbiosis hewan karang dan alga
Zooxanthellae. Ekosistem terumbu karang dapat ditemukan pada perairan
laut hangat dengan suhu 20-30°C dengan air yang jernih sehingga dapat
ditembus cahaya matahari karena salah satu komponen terumbu karang
adalah alga (Zooxanthellae) yang membutuhkan cahaya matahari untuk
berfotosintesis. Ekosistem terumbu karang memiliki peran sebagai tempat
tinggal dan berkembang biak berbagai jenis ikan. Selain itu, ekosistem ini
juga berperan sebgai pemecah gelombang laut. Ekosistem terumbu karang
merupakan ekosistem yang rentan dan sensitif terhadap perubahan
lingkungan. Terumbu karang yang umum dijumpai pada pesisir selatan Jawa
Barat biasanya berbentuk hidup branching, encrusting, dan massive. Hal ini
mengindikasikan besarnya tekanan fisik perairan seperti arus dan
gelombang di pesisir selatan Jawa Barat (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2009, 2009) yang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia.
Luas ekosistem terumbu karang di selatan Jawa Barat sekitar
9479,98 hektar, dengan Kabupaten Garut sebagai daerah yang memiliki
ekosistem terumbu karang paling luas (sekitar 6200 hektar). Ekosistem
terumbu karang di bagian selatan Jawa Barat dapat ditemui di Sukabumi,
Garut, dan Ciamis. Kondisi ekosistem terumbu karang di Jawa Barat secara
umum tergolong telah rusak. Presentase tutupan karang hidup hanya
berkisar antara 11,49%-40,39% sehingga dikategorikan dalam kondisi rusak
(BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
40

Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem yang sudah sedikit


ditemukan di Jawa Barat. Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang
tersusun oleh kumpulan tumbuhan lamun, yaitu tumbuhan air tingkat tinggi
yang teradaptasi untuk dapat hidup di bawah permukaan air laut. Lamun
hanya dapat hidup di daerah yang dangkal, bersubstrat lumpur atau pasir
halus, berarus tenang, terlindung, dan banyak di antara dataran karang.
Ekosistem lamun merupakan tempat tinggal dan mencari makan bagi
berbagai jenis ikan, kepiting, udang, kerang, dan berbagai hewan lain,
bahkan ekosistem ini sangat penting bagi spesies langka seperti penyu hijau
dan duyung (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun
2009, 2009). Ekosistem padang lamun di bagian selatan Jawa Barat
ditemukan di Kabupaten Ciamis, wilayah Ujung Genteng Kabupaten
Sukabumi, dan Kabupaten Garut dengan luas sekitar 75 hektar. Jenis
dominan yang ditemukan di ekosistem padang lamun di Jawa Barat yaitu
Thallassia sp. dan Enhalus acoroides (BPLHD Jawa Barat, Status
Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).
k. Laut Jawa
Ekoregion Laut Jawa terletak di sebelah utara Provinsi Jawa Barat.
Secara geologi ekoregion ini terbentuk 54 juta tahun silam (Hall, 2001).
Morfologi dasar laut berupa paparan benua dengan kedalaman hingga 992
m. Ekoregion ini merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan peta
kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo & Triyono, 2009), ekoregion ini
memiliki dominansi kemiringan lereng kelas miring (1-3O) walaupun ada
sebagian pesisir yang memiliki kelas lereng agak terjal (3-10O). Suhu air laut
pada ekoregion ini berkisar antara 27-29OC, salinitas berkisar antara 31,75
hingga 33 PSU, oksigen terlarut antara 4,15-4,3 ml/liter, dan pH berkisar
antara 8-8,25.
Angin monsun yang bertiup pada Laut Jawa adalah angin yang
bergerak dari barat dan barat laut menuju ke timur dan angin dari timur dan
tenggara yang bertiup ke barat. Secara umum arus pada Laut Jawa pada
saat kondisi pasang surut perbani bergerak kearah timur dari saat menuju
surut hingga saat air tersurut dengan kecepatan maksimum 0,11 m/detik.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
41

Sebaliknya bergerak kearah barat dari saat air menuju pasang hingga saat
air tertinggi dengan kecepatan maksimum 0,16 m/detik. Pola arus pasang
surut pada saat purnama menunjukkan bahwa arus bergerak kea rah timur
dari saat air menuju surut hingga saat air tersurut dengan kecepatan
maksimum 0,63 m/detik. Sebaliknya bergerak kearah barat dari saat air
menuju pasang hingga air tertinggi dengan kecepatan maksimum 0,4
m/detik.
Ekosistem alami di ekoregion Laut Jawa di Provinsi Jawa Barat
adalah ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Secara umum luas
ekosistem terumbu karang sisi utara Jawa Barat lebih rendah dibandingkan
dataran pantai bagian selatan. Luas ekosistem terumbu karang di utara
Jawa Barat adalah sekitar 3326,47 hektar, sedangkan di dataran pantai
selatan Jawa Barat luas ekosistem terumbu karang sekitar 9479,98 hektar
(BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2008, 2008).
Ekosistem terumbu karang di Laut Jawa Provinsi Jawa Barat ditemui di
Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Terumbu karang di
ekoregion ini merupakan terumbu karang marjinal yang terbentuk sejak akhir
masa glasial dan merupakan terumbu karang unik yang teradaptasi
terhadap sedimen tinggi (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup
Daerah Tahun 2009, 2009). Sementara itu, ekosistem padang lamun di
utara Jawa Barat hanya terdapat di Kabupaten Karawang serta di Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan luas sekitar 52 hektar. Jenis dominan
yang ditemukan di ekosistem padang lamun di Jawa Barat yaitu Thallassia
sp. dan Enhalus acoroides (BPLHD Jawa Barat, Status Lingkungan Hidup
Daerah Tahun 2008, 2008).

4. Wilayah Ekoregion di Provinsi Jawa Barat (Berdasarkan Naskah


Akademik RPPLH 2014)

Untuk Jawa Barat dipertimbangkan agar pengendalian sumber daya


alam muatan RPLLH lainnya terfokus pada pengelolaan air permukaan.
Karena sumberdaya alam yang menentukan kehidupan seluruh masyarakat
Jawa Barat dan yang menghadapi masalah adalah air permukaan.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
42

Pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan maupun adaptasi


terhadap perubahan iklim berkaitan dengan air permukaan. Air juga sangat
dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Dengan mempertimbangkan air
sebagai fokus perlindungan dan pengelolaan lingkungan, daerah aliran
sungai dipilih sebagai deliniator ekoregion.
Secara garis besar aliran sungai di Jawa Barat dapat dibedakan dalam
dua kategori yaitu yang mengalir ke pantai utara dan yang mengalir ke
pantai selatan. Daerah aliran sungai tersebut meliputi kawasan fisiografi
yang memberikan ciri ketersediaan air, sifat aliran, sedimen yang diangkut
dan juga pemanfaatannya. Sehubungan dengan sifat sungai dalam
kaitannya dengan sifat kawasan fisiografinya, pertimbangkan untuk
menentukan daerah aliran sungai yang mengarah ke Utara dibedakan dalam
tiga kawasan ekologi yaitu kawasan ekologi Cidurian-Citarum, wilayah
ekologi Cilamaya- Cipanas dan wilayah ekologi Cimanuk-Cisanggarung.
Sedang aliran sungai yang mengarah ke Selatan disebut kawasan ekologi
Cimandiri-Citanduy. Nama sungai terus dibawa karena tujuannya adalah
untuk menyusun RPPLH terfokus pada air permukaan.

Gambar 2.4. Peta Ekoregion

Untuk ekodistrik dipilih bentang alam sebagai deliniator mengikuti


pemikiran tingkat nasional, bentang alam ini dideliniasaikan berdasarkan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
43

bentuk permukaan tanah yang diklasifikasikan dengan: pedataran,


perbukitan dan pegunungan. Sedang litologinya diklasifikasikan dengan:
sedimen, aluvial, batuan beku dan batuan malihan.
Pemikiran tentang klasifikasi ini ditinjau kembali selain untuk
menyesuaikan dengan tingkat nasional juga karena tujuan pengelolaan
sumberdaya alam difokuskan pada pengelolaan air. Dalam tautannya
dengan tujuan pengelolaan air tersebut diklasifikasikan adanya: perbukitan
dan pegunungan sedimen serta cekungan antar gunung.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diusulkan agar ekodistrik Jawa
Barat diklasifikasikan dalam 17 ekodistrik. Rinciannya adalah: 5 Ekodistrik
dari Wilayah Ekologi Cidurian - Citarum, 3 Ekodistrik dari Wilayah Ekologi
Cipanas - Cilamaya, 5 Ekodistrik dari Wilayah Ekologi Cimanuk -
Cisanggarung dan 4 Ekodistrik dari Wilayah Ekologi Citanduy – Cimandiri.

Tabel 2.1 Pembagian Kawasan Ekologi Menjadi Ekodistrik

Bentang Luas Kawasan Ekologi (km2)

Alam Cidurian - Cimanuk- Citanduy -


Cilamaya-Cipanas
Citarum Cisanggarung Cimandiri
Pedataran pantai 2.229,78 4.079,93 1.720,12 741,95
Rangkaian gunung
4.988,45 726,06 3.488,45 5.439,22
api
Perbukitan lipatan 1.794,64 407,54 111,97
Cekungan antar
664,12 108,58 10.63
gunung
Perbukitan patahan 850,45 1.102,89 8.496,33
Bendungan/
173,29 4,38
waduk

Tabel 2.2 Luas Kawasan Ekologi Berdasarkan Bentang Alam (Sumber : Hasil Olahan, 2014)

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
44

a. Kondisi Wilayah Ekoregion


Bentuk permukaan tanah Jawa Barat, yang juga disebut sebagai bentang
alam, fisiografi adalah produk proses tektonik pertemuan lempeng Samudera
Hindia Australia yang bertumbukan dan menunjam dibawah lempeng Eurasia.
Tumbukan yang juga disebut proses geologi makro inilah yang membuahkan
perbukitan patahan, perbukitan lipatan, gunung api dengan rangkaiannya.
Selanjutnya terjadi proses meso dan mikro seperti penggenangan,
pengeringan pengendapan, erosi, yang membentuk dataran yang cukup luas
juga. Bentuk permukan tanah terutama keberadaan gunung api inilah yang
secara alami mengatur aliran air permukaan dan tata air tanah. Jenis dan
karakter flora faunapun ditentukan oleh bentuk permukaan tanah tersebut.
Oleh karena itu dipertimbangkan untuk mendeliniasi ekoregion Jawa Barat
berdasarkan bentuk permukaan atau bentang alamnya yang secara garis
besar terdiri dari kawasan yang juga disebut sebagai unit fisiografi sebagai
berikut:
1) Unit fisiografi 1: pedataran pantai utara,
2) Unit fisiografi 2: perbukitan lipatan dan patahan utara,
3) Unit fisiografi 3: rangkaian gunung api,
4) Unit fisiografi 4: cekungan antar gunung,
5) Unit Fisiografi 5: perbukitan patahan utara dan selatan,
6) Unit Fisiografi 6: pedataran selatan.
Iklim, flora, fauna, sosial budaya yang terejawantahkan dalam satuan
permukiman adat, dapat menjadi deliniator ekoregion tetapi tidak pada sistem
meso yang disebut paras 1. Selain itu tidak bisa memberikan batas yang jelas
juga dinamikanya tinggiuntuk bisa memberi batas yang dapat dipertahankan
dalam jangka panjang.
Secara garis besar aliran sungai di Jawa Barat dapat dibedakan dalam dua
kategori yaitu yang mengalir ke pantai utara dan yang mengalir ke pantai
selatan. Daerah aliran sungai tersebut meliputi kawasan fisografi yang
memberikan ciri ketersediaan air, sifat aliran, sedimen yang diangkut dan juga
pemanfaatannya. Sehubungan dengan sifat sungai dalam kaitannya dengan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
45

sifat kawasan fisiografinya, pertimbangkan untuk menentukan daerah aliran


sungai yang mengarah ke Utara dibedakan dalam tiga kawasan ekologi yaitu
kawasan ekologi Cidurian-Citarum, wilayah ekologi Cilamaya-Cipanas dan
wilayah ekologi Cimanuk-Cisanggarung. Sedang aliran sungai yang
mengarah ke Selatan disebut kawasan ekologi Cimandiri-Citanduy.
Berikut ini pembagian ekoregion di Provinsi Jawa Barat yang berdasarkan
pada Daerah Aliran Sungai di Provinsi Jawa Barat, Ekoregion Provinsi Jawa
Barat terdiri atas ekodistrik – ekodistrik yang terdiri dari:
1) Ekoregion Cidurian – Citarum, yang terdiri atas:
 Ekodistrik Pedataran Alluvial Cidurian - Citarum;
 Ekodistrik Perbukitan Sedimen Cidurian - Citarum;
 Ekodistrik Rangkaian Gunungapi Cidurian - Citarum;
 Ekodistrik Cekungan Antar Gunung Cidurian - Citarum;dan
 Ekodistrik Pegunungan Sedimen Cidurian – Citarum.
2) Ekoregion Cilamaya – Cipanas, yang terdiri atas:
 Ekodistrik Pedataran Alluvial Cilamaya - Cipanas;
 Ekodistrik Perbukitan Sedimen Cilamaya - Cipanas;dan
 Ekodistrik Rangkaian Gunungapi Cilamaya - Cipanas.
3) Ekoregion Cimanuk – Cisanggarung, yang terdiri dari:
 Ekodistrik Pedataran Alluvial Cimanuk – Cisanggarung;
 Ekodistrik Perbukitan Sedimen Cimanuk – Cisanggarung;
 Ekodistrik Rangkaian Gunungapi Cimanuk – Cisanggarung;
 Ekodistrik Cekungan Antar Gunung Cimanuk – Cisanggarung;dan
 Ekodistrik Pegunungan Sedimen Cimanuk – Cisanggarung.
4) Ekoregion Citanduy – Cimandiri.
 Ekodistrik Rangkaian Gunungapi Citanduy - Cimandiri;
 Ekodistrik Cekungan Antar Gunung Citanduy - Cimandiri;
 Ekodistrik Pegunungan Sedimen Citanduy - Cimandiri;dan
 Ekodistrik Pedataran Alluvial Citanduy - Cimandiri.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
46

b. Ekologi Cidurian – Citarum

Gambar 2.5 Peta Tutupan Lahan Kawasan Ekoregion Cidurian Citarum

ZONA EKOREGION (Ha)


NO KAWASAN PERUNTUKKAN
Cidurian-Citarum
1 Hutan Konservasi 62.594,62
2 Konservasi Perairan
3 Hutan Lindung 66.354,55
4 LNH-Sesuai Utk Htn. Lindung 3.455,47
5 LNH-Resapan Air 135.893,63
6 LNH-Perlindungan Geologi 2.820,03
7 LNH-Rawan Letusan Gn. Api 10.567,39
8 LNH-Rawan Gerakan Tanah 142.070,28
9 LNH-Rawan Tsunami
10 KB-Hutan Produksi Terbatas 22.277,03
11 KB-Hutan Produksi 79.959,39
12 KB-Hutan Cadangan
13 KB-Enclave 8.163,98
14 Perkotaan 267.818,51

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
47

15 Sawah 79.000,24
16 Perdesaan 170.435,44
17 KB-Tubuh Air 20.954,52
Tabel 2.2 Pola Ruang Kawasan Ekoregion Cidurian Citarum
Ket : LNH = Lindung Non Hutan
KB = Kawasan Budidaya
Sumber : Hasil Olahan, 2014

Kawasan Ekologi Cidurian - Citarum, secara keseluruhan mempunyai luas


10.770,73 km2, terdiri :
1) Pedataran pantai utara (2.229,78 km2),
2) Rangkaian gunung api (4.988,45 km2),
3) Cekungan antar gunung (664,12 km2),
4) Perbukitan lipatan(1.794,64km2),
5) Perbukitan patahan (850,45 km2) dan
6) Bendungan/waduk (173,29 km2).
Kawasan ini merupakan daerah aliran sungai (DAS) dari 9 sungai. Curah
hujannya berkisar darikering di daerah pantai sampai kelewat basah di sebagian
puncak gunung api. Terdapat areal yang ditetapkan sebagai hutan konservasi
dan hutan lindung, terutama di puncak gunung dan daerah pantai.
Rangkaian gunung api pada Kawasan Ekologi Cidurian-Citarum terdiri dari
G.Salak (2.211 m), G.Gede (2.958 m) -Pangrango (3.019 m),
G.Tangkubanprahu (2.076 m), G. Malabar (2.221 m), G.Patuha (1.434 m) dan
beberapa gunung api kecil. Sebagian gunung api tersebut (G. Salak, G. Gede,
G.Pangrango, G.Tangkubanprahu dan G. Patuha) masih dikategorikan sebagai
gunung api aktif.
Kawasan Ekologi Cidurian -Citarum didominasi oleh lahan datar dengan
kemiringan 0-8% (6.099,31 km2) serta hanya sebagian kecil merupakan daerah
berkemeringan lereng> 25% (1.131,66 km2) dan berketinggian > 2.000 m
(54,576 km2).
Sekitar separuh kawasan (5.250,97 km2) tergolong mempunyai daya resap air
tinggi dan sekitar sepertiganya (3.183,50 km2) tergolong mempunyai daya resap
kecil sampai kedap air.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
48

Sedangkan sekitar seperempat luas kawasan (2.606,00 km2) tergolong rawan


longsor menengah sampai tinggi.Tata air Kawasan Ekologi Cidurian -Citarum,
menunjukkan sekitar seperlima kawasan (2.030,64 km2) tergolong daerah
kering dengan curah hujan rata-rata < 2.000mm/tahun dan sekitar sepersepuluh
bagian (1.470,76 km2) tergolong mempunyai curah hujan berlebihan dengan
curah hujan rata-rata > 4.000 mm/tahun.
Kawasan diatur oleh sembilan DAS, tetapi hanya dua DAS yang bagian hulu dan
hilirnya masuk wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu DAS Bekasi dan DAS Citarum.
Sedangkan tiga DAS (Ciliwung, Sunter dan Cakung) mengalir ke DKI Jakarta
dan keempat DAS lainnya (Ciberang, Cidurian, Cimanceuri dan Cisadane)
mengalir ke Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.
Kecuali DAS Sunter dan Cakung, ketujuh DAS tersebut mempunyai bagian hulu
yang lebih luas dibandingkan dengan daerah hilir sungainya.
Pada Kawasan Ekologi Cidurian -Citarum tercakup 14 Cekungan Air Tanah
(CAT) dengan luas daerah luahan dan imbuhan/resapan air tanah masing -
masing 4.099,708 km2 dan 2.533,357 km2, serta terdapat daerah yang tidak
termasuk kedalam CAT karena daerah ini tergolong sebagai daerah langka air
tanah, luas daerah bukan CAT ini(4.117,66 km2) hampir sama dengan luas
daerah luahan air tanah.
Pada Kawasan Ekologi Cidurian -Citarum telah ditetapkan untuk melindungi
kekayaan hayati, tata air dan tanah, yaitu:
1) kawasan hutan konservasi dengan luas 326,15 km2. Termasuk dalam
kawasan hutan konservasi antara lain adalah:
 Taman Nasional Halimun Salak (113.357 Ha),
 Taman Nasional Gede Pangrango (21.975 Ha),
 Cagar Alam Gunung Tilu (8.000 Ha),
 Cagar Alam dan Taman Wisata Tangkubanprahu (1.660 Ha),
 Kebun Raya Cibodas (125 Ha) dan
 Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (590 Ha).
2) kawasan hutan lindung dengan luas 1.747,89 km2, mencakup hutan bakau di
Muara Gembong, Kabupaten Bekasi (328,21 Ha), yang saat ini kondisinya
sudah rusak.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
49

c. Kawasan Ekologi Cilamaya - Cipanas

Gambar 2.6 Peta Tutupan Lahan Kawasan Ekoregion Cilamaya Cipanas

ZONA EKOREGION (Ha)


NO KAWASAN PERUNTUKKAN
Cilamaya-Cipanas
1 Hutan Konservasi 2.846,60
2 Konservasi Perairan
3 Hutan Lindung 17.471,70
4 LNH-Sesuai Utk Htn. Lindung 411,94
5 LNH-Resapan Air 106.217,15
6 LNH-Perlindungan Geologi
7 LNH-Rawan Letusan Gn. Api 15.346,81
8 LNH-Rawan Gerakan Tanah 22.123,91
9 LNH-Rawan Tsunami
10 KB-Hutan Produksi Terbatas 16.445,21
11 KB-Hutan Produksi 54.707,90
12 KB-Hutan Cadangan 319,12
13 KB-Enclave 1.922,60
14 Perkotaan 14.751,21
15 Sawah 171.237,37

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
50

ZONA EKOREGION (Ha)


NO KAWASAN PERUNTUKKAN
Cilamaya-Cipanas
16 Perdesaan 93.288,00
17 KB-Tubuh Air 2.936,40
Tabel 2.3 Pola Ruang Kawasan Ekoregion Cilamaya Cipanas
Ket : LNH = Lindung Non Hutan
KB = Kawasan Budidaya
Sumber : Hasil Olahan, 2014

Luas Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas adalah 5.213,53 km2. Fisiografinya


terdiri dari:
 pedataran pantai utara (4.079,93 km2),
 perbukitan lipatan (407,54 km2) dan
 rangkaian gunung api (726,06 km2).
Kawasan ini merupakan daerah aliran sungai (DAS) dari 6 sungai, yaitu DAS
Pagadungan, Cilamaya, Ciasem, Cipunegara, Kali Beji dan Cipanas. Keenam
DAS tersebut mempunyai bagian hilir (4.079,93 km2) yang luasnya hampir 4
xbagian hulunya (1.133,60 km2).
Curah hujannya berkisar dari kering di daerah pantai(2.521,53 km2) sampai
kelewat basah di G. Tampomas (403,68 km2).
Di Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas terdapat 5 (lima) areal hutan yang telah
ditetapkan sebagai hutan konservasi dan hutan lindung, dengan total luas
18.157,6 Ha. Pada kawasan ekologi ini terdapat 3 gunung api yaitu
G.Tampomas, Tangkubanprahu (2.078 m) dan Bukitunggul. G.Tangkubanprahu
masih tergolong sebagai gunung api aktif.
Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas didominasi oleh lahan datar dengan
kemiringan 0 -8% (4.384,79 km2) serta hanya sebagian kecil merupakan daerah
berkemeringan lereng> 25% (174,16 km2) dan berketinggian > 2.000 m (1,24
km2). Daerah hulu sungainya sempit dengan luas 1.133,66 km2 atau sekitar
seperempat daerah hilirnya.
Sekitar724,15 km2 daerah hulu tergolong mempunyai daya resap air tinggi
sampai sedang dansekitar 409,51 km2 sisanya tergolong mempunyai daya

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
51

resap kecil sampai kedap air.Sedangkan sekitar 593,47 km2 daerah hulu
tergolong rawan longsor menengah sampai tinggi.
Tata air Kawasan Ekologi Cidurian -Citarum, menunjukkan hampir separuh
kawasan(2.523,40 km2) tergolong daerah kering dengan curah hujan rata-rata <
2.000mm/tahun dan hanya sebagian kecil kawasan di puncak G.Tampomas
(401,10 km2) tergolong mempunyai curah hujan berlebihan dengan curah hujan
rata-rata > 4.000mm/tahun.
Kawasan diatur oleh enam DAS yaitu Pagadungan, Cilamaya, Ciasem,
Cipunagara, Kali Beji dan Cipanas. Keenam DAS tersebut mempunyai bagian
hulu yang lebih sempit dibandingkan dengan daerah hilir sungainya, serta tidak
semua lahan dibagian hulu tergolong mempunyai daya resap besar, bahkan
lebih dari seperti galahan di daerah hulu tergolong mempunyai daya resap kecil
sampai kedap air. Di Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas tercakup 7 Cekungan
Air Tanah (CAT) dengan luas daerah luahan dan imbuhan/ resapan air tanah
masing-masing 1.386,50 km2 dan 718,88 km2.
Pada Kawasan Ekologi Cilamaya -Cipanas telah ditetapkan kawasan hutan
konservasi dan kawasan hutan lindung untuk melindungi kekayaan hayati, tata
air dan tanah dengan total luas masing-masing adalah 27,92 km2 dan 392,89
km2. Termasuk dalam kawasan hutan konservasi antara lain adalah Cagar Alam
Burangrang (2.700 Ha), Cagar Alam dan Taman Wisata Gunung
Tangkubanprahu (1.660 Ha), dan Taman Wisata Alam G. Tampomas (1.250
Ha).
d. Kawasan Ekologi Cimanuk - Cisanggarung

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
52

Gambar 2.7 Peta Tutupan Lahan Kawasan Ekoregion Cimanuk


Cisanggarung

ZONA EKOREGION (Ha)


NO KAWASAN PERUNTUKKAN
Cimanuk-Cisanggarung
1 Hutan Konservasi 34.026,90
2 Konservasi Perairan
3 Hutan Lindung 32.601,77
4 LNH-Sesuai Utk Htn. Lindung 3.595,42
5 LNH-Resapan Air 81.034,50
6 LNH-Perlindungan Geologi 188,27
7 LNH-Rawan Letusan Gn. Api
8 LNH-Rawan Gerakan Tanah 70.045,87
9 LNH-Rawan Tsunami
10 KB-Hutan Produksi Terbatas 27.931,87
11 KB-Hutan Produksi 25.086,83
12 KB-Hutan Cadangan
13 KB-Enclave 1.792,97
14 Perkotaan 42.103,90
15 Sawah 103.588,64
16 Perdesaan 185.549,29
17 KB-Tubuh Air 5.022,11
Tabel 2.4. Pola Ruang Kawasan Ekoregion Cimanuk Cisanggarung
Ket : LNH = Lindung Non Hutan
KB = Kawasan Budidaya
Sumber : Hasil Olahan, 2014

Kawasan Ekologi Cimanuk -Cisanggarung, secara keseluruhan mempunyai luas


6.424,42 km2. Fisiografinya terdiri dari:
1) Rangkaian gunung api (3.488,45 km2),
2) Cekunganantar gunung (108,58 km2),
3) Perbukitan patahan (1.102,89 km2),
4) Pedataran pantai utara (1.720,12 km2) dan
5) Bendungan/waduk (4,38 km2).

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
53

Kawasan ini merupakan daerah aliran sungai (DAS) dari 6 sungai. Curah
hujannya berkisar dari kering di daerah pantai sampai kelewat basah di
sebagian puncak gunung api.
Terdapat areal yang ditetapkan sebagai hutan konservasi dan hutan lindung,
terutama di daerah pegunungan dan puncak gunung. Rangkaian gunung api
pada Kawasan Ekologi Cimanuk – Cisanggarung terdiri dari G.Ciremai (3.078
m), G. Cakrabuwana, G. Talagabodas (2.201 m), G.Cikuray (2.821 m), G.
Papandayan (2.622 m) dan G. Guntur (2.249 m). Kecuali G.Cakrabuwana dan
G. Cikuray, keempat gunung lainnya masih dikategorikan sebagai gunung api
aktif.
Kawasan Ekologi Cimanuk-Cisanggarung didominasi oleh lahan datar dengan
kemiringan 0-8% (3712,29 km2), hanya sebagian kecil merupakan daerah
berkemiringan lereng > 45% (180,24 km2) dan berketinggian > 2.000 m (57,01
km2). Sekitar separuh kawasan (3.488,45 km2) tergolong mempunyai daya
resap air tinggi sampai sedang dan sekitar seperenam luas kawasan (1.102,89
km2) tergolong mempunyai daya resap kecil sampai kedap air. Sekitar
seperempat luas kawasan (1.533,64 km2) tergolong rawan longsor menengah
sampai tinggi, lokasinya tersebar dipegunungan patahan dan rangkaian gunung
api.
Tata air Kawasan ekologi Cimanuk-Cisanggarung, menunjukkan sekitar
sepertujuh kawasan (991,70 km2) tergolong daerah kering dengan curah hujan
rata–rata <2.000mm/tahun dan hanya sebagian kecil (123,40 km2) daerah di
rangkaian gunung api tergolong mempunyai curah hujan berlebihan dengan
curah hujan rata -rata >4.000mm/tahun.
Kawasan diatur oleh enam DAS, yaitu Cimanuk, Cimanggis, Ciwatingin,
Kalibunder, Bangkaderes dan Cisanggarung. Kecuali Kalibunder dan S.
Bangkaderes,keempat sungai lainnya mempunyai bagian hulu yang lebih luas
dibandingkan dengan bagian hilir sungainya.
Pada Kawasan Ekologi Cimanuk -Cisanggarung tercakup 12 Cekungan Air
Tanah (CAT) dengan luas daerah luahan dan imbuhan/resapan air tanah
masing-masing 3.150,60 km2 dan 1.828,08 km2.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
54

Pada Kawasan Ekologi Cimanuk -Cisanggarung telah ditetapkan kawasan hutan


konservasi dan kawasan hutan lindung untuk melindungi kekayaan hayati, tata
air dan tanah, dengan total luas masing -masing adalah 150,11 km2 dan 902,51
km2. Termasuk dalam kawasan lindung tersebut antara lain adalah Taman
Nasional G. Ciremai, Suaka Margasatwa Gunung Masigit (23.000 Ha) dan
Cagar Alam/Taman Wisata Alam Gunung Papandayan (844 Ha).
e. Kawasan Ekologi Citanduy - Cimandiri

Gambar 2.8 Peta Tutupan Lahan Kawasan Ekoregion Citanduy Cimandiri


ZONA EKOREGION (Ha)
NO KAWASAN PERUNTUKKAN
Cimandiri-CItanduy
1 Hutan Konservasi 80.033,79
2 Konservasi Perairan 1.388,20
3 Hutan Lindung 107.489,79
4 LNH-Sesuai Utk Htn. Lindung 40.916,90
5 LNH-Resapan Air 101.348,41
6 LNH-Perlindungan Geologi 55.582,45
7 LNH-Rawan Letusan Gn. Api 13.446,88
8 LNH-Rawan Gerakan Tanah 416.380,62
9 LNH-Rawan Tsunami 38.975,40
10 KB-Hutan Produksi Terbatas 107.797,59
11 KB-Hutan Produksi 55.498,54
12 KB-Hutan Cadangan 876,80
13 KB-Enclave 11.336,79

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
55

14 Perkotaan 26.374,94
15 Sawah 30.869,48
16 Perdesaan 379.721,56
17 KB-Tubuh Air 8.275,19
Tabel 2.5 Pola Ruang Kawasan Ekoregion Citanduy Cimandiri
Ket : LNH = Lindung Non Hutan
KB = Kawasan Budidaya
Sumber : Hasil Olahan, 2014

Kawasan Ekologi Citanduy -Cimandiri, secara keseluruhan mempunyai


luas 14.800,10 km2. Fisiografinya terdiri dari:
1) perbukitan lipatan (111,97 km2),
2) Rangkaian gunung api (5.439,22 km2),
3) Cekungan antar gunung (10.63 km2),
4) Perbukitan patahan (8.496,33km2), dan
5) Pedataran pantai selatan (741,95 km2).
Kawasan ini merupakan gabungan daerah aliran sungai (DAS) kecil dari
22 sungai. Curah hujannya berkisar dari kering sampai kelewat basah.
Berbeda dengan ketiga Kawasan Ekologi lainnya di kawasan ini daerah
terlalu basah selain terdapat di daerah perbukitan juga terdapat di daerah
pantai.
Di Kawasan Ekologi Citanduy-Cimandiri terdapat areal yang ditetapkan
sebagai hutan konservasi dan hutan lindung, terutama di pegunungan
dan daerah pantai. Rangkaian gunung api pada ini terdiri dari G.
Talagabodas (2.201 m), G. Galunggung (2.168 m), G. Cikuray (2.821 m),
G. Papandayan (2.622 m) G. Kencana (2.182 m), G.Malabar (2.221 m),
G. Patuha (1.434 m), G. Gede (2.958 m), dan G. Salak (2.211 m).Kecuali
G. Kencana, G. Cikuray dan G. Malabar, kesemua gunung tersebut masih
dikatagorikan sebagai gunung api aktip. Hampir seluruh areal Kawasan
Ekologi Citanduy -Cimandiri didominasi oleh lahan perbukitan dan
pegunungan dengan kemiringan 15 -45% (14.047,52 km2) serta hanya
sebagian kecil merupakan daerah datar dengan kemiringan < 8% (752,58
km2), disamping juga hanya sebagian kecil berketinggian > 2.000 m
(66,28 km2).

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
56

Lebih dari separuh kawasan (8.608,30 km2) tergolong mempunyai daya


resap kecil sampai kedap air dan hampir seluruh kawasan (14.047,52
km2) tergolong rawan longsor dan peka erosi.
Tata air Kawasan ekologi Citanduy -Cimandiri, menunjukkan bahwa
kawasan tidak mempunyai daerah kering (daerah dengan curah hujan <
2.000 mm/tahun), hampir seperlima kawasan (2.539,02 km2) bahkan
tergolong tergolong mempunyai curah hujan berlebihan dengan curah
hujan rata-rata > 4.000 mm/tahun. Kawasan diatur oleh 20 DAS, tetapi
hanya dua DAS yang tergolong sebagai DAS besar yaitu DAS Citanduy
dan DAS Cimandiri. Semua DAS mempunyai daerah hulu lebih luas dari
daerah hilirnya. Kawasan Ekologi Citanduy -Cimandiri mempunyai 14
daerah luahan dan imbuhan/resapan air tanah masing-masing 2.699,09
km2 dan 2.071,68 km2.
Pada Kawasan Ekologi Citanduy-Cimandiri telah ditetapkan kawasan
hutan konservasi dan kawasan hutan lindung untuk melindungi kekayaan
hayati, tata air dan tanah. Termasuk dalam kawasan lindung tersebut
antara lain adalah Taman Nasional Halimun Salak (113.357 Ha), Taman
Nasional Gede Pangrango (21.975 Ha), Suaka Margasatwa G. Sawal
(5.400 Ha), Suaka Margasatwa Cikepuh (8.127 Ha), Cagar Alam Gunung
Simpang (15.000 Ha) serta Cagar Alam dan Cagar Alam Laut
Pangandaran (497 Ha dan470 Ha).

C. Jasa Ekosistem
Jasa ekosistem adalah barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem
alami yang bermanfaat untuk manusia20. Makna lainnya adalah kondisi dan
proses yang terdapat pada ekosistem alami dan spesies yang membuat mereka
dapat mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan hidup manusia 21. Hal ini
dapat juga dinyatakan sebagai manfaat yang dihasilkan untuk manusia atau

20
Price, 2008.
21
Daily, dkk, 1997.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
57

lingkungan alami, yang diakibatkan oleh fungsi ekosistem. Sementara Kremen 22,
mendefinisikan jasa ekosistem adalah sekumpulan fungsi ekosistem yang
berguna bagi manusia. Definisi lain dari jasa ekosistem adalah komponen alam
yang secara langsung dinikmati, dikonsumsi, atau digunakan untuk
kesejahteraan manusia. Contoh jasa ekosistem adalah pemurnian air,
biodiversitas, pengendali banjir, perlindungan angin dan penyediaan makanan.
Menurut Carroll23, barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem memiliki
hubungan langsung dengan kesehatan ekonomi lokal dan global.
Banyak dari jasa ekosistem merupakan faktor kritis untuk kemampuan
bertahan hidup manusia (misalnya regulasi iklim, pembersihan udara, dan
penyerbukan tanaman) sementara yang lainnya meningkatkan kualitas hidup
(aestetika) manusia. Namun dominasi manusia pada biosfer telah mendorong
perubahan cepat dalam komposisi struktur dan fungsi ekosistem 24, sehingga
dalam banyak kasus kapasitas mereka dalam menyediakan jasa yang
diperlukan menjadi berkurang atau terkikis. Pemahaman ekologis yang rinci dari
sebagian besar jasa ekosistem masih sedikit, sehingga merintangi kemajuan
dalam konservasi dan manajemen jasa ekosistem.
Susunan jasa ekosistem dihasilkan oleh interaksi kompleks yang saling
mempengaruhi dari kekuatan aliran energi matahari dan proses ini berjalan
lintas skala ruang waktu25. Sebagai contoh proses penguraian limbah melibatkan
siklus hidup bakteri seperti halnya siklus unsur-unsur kimia utama di planet ini
misalnya siklus karbon dan nitrogen. Proses seperti itu berharga trilyunan dolar
setiap tahun. Namun karena sebagian besar dari manfaat itu tidak dihargai di
pasar ekonomi, maka perhatian masyarakat terhadap persediaan atau
penurunan jasa ekosistem yang dihasilkannya kurang atau bahkan tidak ada
karena ancaman untuk sistem ini terus meningkat, ada suatu kebutuhan kritis
untuk identifikasi dan monitoring dari jasa ekosistem baik secara lokal dan

22
Kremen, 2005.
23
Caroll, 2009.
24
Vitousek dkk, 1997
25
Daily dkk, 1997

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
58

global, serta untuk menyatukan nilai mereka ke dalam proses pengambilan


keputusan.
Millennium Ecosystem Assessment (MA), dan Raymond dkk,
mengelompokkan jasa ekosistem menjadi empat kelompok yaitu jasa
penyediaan, pengaturan, pendukung,dan kultural.

D. Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung di Wilayah Ekoregion Provinsi


Jawa Barat

Daya dukung lingkungan hidup (DDLH) digambarkan melalui perbandingan


jumlah sumberdaya yang dapat dikelola terhadap jumlah konsumsi penduduk
(Cloud, (dalam Soerjani, dkk., 1987)). Perbandingan ini menunjukkan bahwa
daya dukung lingkungan berbanding lurus terhadap jumlah sumber daya
lingkungan dan berbanding terbalik dengan jumlah konsumsi penduduk. Status
DDLH diperoleh dari pendekatan kuantitatif melalui perhitungan selisih dan
perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan untuk masing-masing jasa
ekosistem (Norvyani, 2016).
Pada perencanaan ini, status DDLH yang dimodelkan adalah DDLH untuk
jasa ekosistem penyediaan bahan pangan dan penyediaan air bersih. Nilai
kebutuhan dihitung pangan didasarkan pada Angka Kecukupan Energi (AKE)
per kapita; sedangkan nilai kebutuhan air didasarkan pada kebutuhan air
domestik per kapita dan tutupan lahan untuk air bersih. Sementara itu,
ketersediaan jasa ekosistem untuk pangan dihitung dengan menggunakan
metode pembobotan berdasarkan Indeks Jasa Ekosistem Penyedia Bahan
Pangan (IJEPBP); dan Indeks Jasa Ekosistem Penyedia Air (IJEPA) untuk air
bersih. Metodologi perhitungan status daya dukung lingkungan dan ambang
batas serta peta-petanya disajikan pada Lampiran A.
Sedangkan ambang batas merupakan ukuran atau tingkatan yang masih
dapat diterima dan/atau ditoleransi. Dalam konteks jasa ekosistem, ambang
batas merupakan ukuran atau standar yang digunakan untuk menilai kondisi
ekosistem dan jasanya dapat berfungsi dengan baik atau tidak. Dalam
pengembangan wilayah, pendekatan konsep ambang batas pada daya dukung

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
59

lingkungan digunakan untuk mempelajari dampak yang terjadi pada lingkungan


akibat pengembangan wilayah dan pertumbuhan penduduk (Muta’ali, 2012).
Persebaran populasi merupakan parameter penting untuk analisis ambang
batas dan status DDLH. Populasi menentukan demand atau kebutuhan maupun
konsumsi atas jasa ekosistem yang diberikan oleh lingkungan. Persebaran
populasi di Provinsi Jawa Barat dimodelkan berdasarkan tutupan lahan dan jalan
yang ada. Gambar 2 13 menunjukkan hasil pemodelan persebaran populasi di
Provinsi Jawa Barat.
Peta status daya dukung lingkungan hidup provinsi disusun dengan
memanfaatkan sistem grid skala ragam beresolusi 30” x 30” (±0,9km x 0,9km).
Penggunaan sistem grid skala ragam ini menjadi suatu pendekatan yang
mampu merepresentasikan DDLH wilayah dalam bentuk informasi spasial, tanpa
harus menyamakan skala dari berbagai jenis data yang tersedia. Sistem grid
skala ragam yang digunakan mengacu pada sistem grid Indonesia berbentuk
dasar persegi dengan elemen utama, antara lain sistem koordinat geodetik dan
datum geodetik World Geodetic System 1984 (WGS84); titik asal sistem
koordinat grid, yaitu titik (90° BT, 15° LS); sistem penomoran; dan resolusi grid
(Riqqi, 2011).

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
60

Gambar 2.5/2.9. Persebaran penduduk di Provinsi Jawa Barat tahun 2015 dalam sistem grid 30”×30

Indikasi daya dukung dan daya tampung di Wilayah Ekoregion Provinsi Jawa Barat
dibagi berdasarkan analisis ambang batas, status daya dan kerentanan terhadap
bahaya, berdasarkan Kajian teknis pembentukan peraturan daerah Provinsi Jawa Barat
tentang RPPLH indikasi daya dukung dan daya tampung di Wilayah Ekoregion Provinsi
Jawa Barat terbagi menjadi:
1. Ambang batas dan status daya dukung penyedia bahan pangan;
2. Ambang batas dan status daya dukung penyedia air bersih;
3. analisis daya tampung sampah;
4. Analisis emisi udara; dan
5. kerentanan terhadap bahaya yang terkait dengan perubahan iklim.

E. Kajian Terhadap Asas Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat


tentang RPPLH
Pada dasarnya asas - asas yang termuat dalam Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH Provinsi Jawa Barat sebaiknya mengacu
pada asas- asas yang termuat pada RPPLH Nasional, sehingga terdapat
kesamaan dan keserasian dalam mencapai sasaran dan tujuan dari rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam merumuskan asas –
asas tersebut terdapat aspek – aspek yang menjadi bahan pertimbangan, yakni:
1. asas terkait pembentukan peraturan perundang – undangan;
2. asas terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
3. asas terkait penataan ruang; dan
4. asas terkait perencanaan.
Muatan materi asas yang tersebut diatas akan diuraikan menjadi subbab di
bawah ini:
1. Asas Terkait Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (algemene
beginselen van behoorlijk wetgeving) dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang – undangan diatur dalam Pasal 5
yang menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik meliputi:

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
61

a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selain harus berdasarkan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal
6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut juga harus memuat materi
muatan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan asas:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaam kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban, kepastian hukum, dan atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas
materi muatan peraturan perundang-undangan, Pasal 6 ayat (2) UU Nomor
12 Tahun 2011 menyatakan bahwa selain asas-asas materi muatan
peraturan perundang-undangan, Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan, dalam hal ini prinsip maupun asas yang
terkait dengan lingkungan hidup dapat menjadi muatan asas.

2. Asas Terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Mengacu pada Deklarasi Rio yang merupakan hasil dari dilaksanakannya
Pertemuan internasional lingkungan hidup di Rio De Janeiro, maka terdapat
beberapa prinsip-prinsip lingkungan hidup yang menjadi dasar dari

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
62

pembentukan asas-asas pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat


tentang RPPLH, diantaranya26:
a. prinsip kedaulatan negara;
b. prinsip pencegahan;
c. prinsip kehati – hatian;
d. prinsip pencemar membayar;
e. prinsip pembangunan berkelanjutan;
f. prinsip warisan bersama umat manusia;
g. prinsip hak generasi masa depan;
h. prinsip kewajiban sama tanggung jawab berbeda;
i. prinsip kerja sama;
j. prinsip pelestarian dan perlindungan lingkungan;
k. prinsip informasi dan bantuan dalam darurat lingkungan;
l. prinsip informasi dan konsultasi yang berhubungan dengan pencemaran
lintas batas;dan
m. prinsip hak individual atas informasi lingkungan, peran serta dan akses
keadilan.
Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan salah satu dasar pembentukan
asas-asas yang termuat pada UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, oleh karenanya asas-asas pada UU No.32
tahun 2009 harus termuat atau tercermin dalam penyusunan asas-asas
Peraturan daerah Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH. Asas-asas yang termuat
pada UU No.32 tahun 200927 yaitu:
a. Asas Tanggung Jawab Negara
Asas tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2
huruf a, diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf a bahwa
yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” adalah:

26
Suparto Wijoyo dan A’an Efendi. Hukum Lingkungan Internasional.,hlm. 86.

27
UU No.32 tahun 2009, Pasal 2.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
63

1) negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan


manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup
rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.
2) negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
3) negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
b. Asas kelestarian dan keberlanjutan
Asas kelestarian dan keberlanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
2 huruf b diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf b bahwa
yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa
setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan
melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup.
c. Asas keserasian dan keseimbangan
Asas keserasian dan keseimbangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
2 huruf c diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf c bahwa
yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa
pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian
ekosistem.
d. Asas keterpaduan
Asas keterpaduan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf d
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf d bahwa yang
dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur
atau menyinergikan berbagai komponen terkait.
e. Asas manfaat
Asas manfaat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf e diberikan
penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf e bahwa yang dimaksud

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
64

dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan


pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.
f. Asas kehati-hatian
Asas kehati-hatian sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf f
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf f bahwa yang
dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian
mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk
menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman
terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
g. Asas keadilan
Asas keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf g diberikan
penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf g bahwa yang dimaksud
dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas
gender.
h. Asas ekoregion
Asas ekoregion sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf h diberikan
penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf h bahwa yang dimaksud
dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam,
ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
i. Asas keanekaragaman hayati
Asas keanekaragaman hayati sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2
huruf i diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf i bahwa
yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya
terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
65

sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan
sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
j. Asas pencemar membayar
Asas pencemar membayar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf j
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf bahwa yang
dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap
penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya
pemulihan lingkungan.
k. Asas partisipatif
Asas partisipatif sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf k diberikan
penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf k bahwa yang dimaksud
dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong
untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Partisipasi masyarakat menurut rumusan UNDP, artinya semua warga
masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
l. Asas kearifan lokal
Asas kearifan lokal sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf l
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf l bahwa yang
dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
m. Asas tata kelola pemerintahan yang baik
Asas tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 2 huruf m diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf m

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
66

bahwa yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik”
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh
prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

3. Asas Terkait Penataan Ruang


Asas-asas dalam penataan ruang diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai dasar dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Pengaturan ruang menjadi salah satu aspek
yang akan mempengaruhi lingkungan hidup oleh karenanya asas-asas yang
terdapat dalam penataan ruang sebaiknya selaras dengan asas-asas
perlindungan lingkungan hidup. Adapun asas-asas tersebut meliputi:
a. Asas Keterpaduan
Asas keterpaduan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf a
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf a bahwa yang
dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang
bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
b. Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan
Asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 2 huruf b diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2
huruf b bahwa yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan
antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan.
c. Asas Keberlanjutan
Asas keberlanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf c
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf c bahwa yang
dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan ruang

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
67

diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya


dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan
generasi mendatang.
d. Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan
Asas keberdayagunaan dan keberhasilgunaan sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 2 huruf d diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2
huruf d bahwa yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di
dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
e. Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf e
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf e bahwa yang
dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan
ruang.
f. Asas Kebersamaan dan Kemitraan
Asas kebersamaan dan kemitraan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2
huruf f diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf f bahwa
yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan.
g. Asas perlindungan kepentingan umum
Asas perlindungan kepentingan umum sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 2 huruf g diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf g
bahwa yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat.
h. Asas Kepastian Hukum dan Keadilan
Asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
2 huruf h diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf h bahwa

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
68

yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah bahwa


penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan
peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan
dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak
dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
i. Asas Akuntabilitas
Asas akuntabilitas sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf i
diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 2 huruf i bahwa yang
dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan penataan
ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,
maupun hasilnya.

4. Asas Terkait Perencanaan


Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH memuat
tentang perencanaan di bidang lingkungan hidup, oleh karena itu diperlukan
adanya muatan asas- asas terkait perencanaan yang dapat diacu dari Undang –
undang No.25 tahun 2004. Asas-asas dalam perencanaan diamanatkan dalam
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (UU Nomor 25 Tahun 2004) yang
menyatakan: “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diselenggarakan
berdasarkan Asas Umum Penyelenggaraan Negara.” Penjelasan Pasal 2 ayat
(3) UU Nomor 25 Tahun 2004 menjelaskan mengenai Asas Umum
Penyelenggaraan Negara meliputi:
a. Asas "kepastian hukum" yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;
b. Asas "tertib penyelenggaraan negara" yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara;
c. Asas "kepentingan umum" yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
69

d. Asas "keterbukaan" yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
e. Asas "proporsionalitas" yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;
f. Asas "profesionalitas" yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
g. Asas "akuntabilitas" yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Perencanaan pada penyusunan peraturan daerah tentunya harus
memperhatikan asas- asas yang terdapat pada Undang – Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan
negara yang terdiri atas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggara negara;
c. kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efisiensi;
i. efektivitas; dan
j. keadilan.

5. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan dan Permasalahan yang Ada di


Masyarakat
Praktik penyelenggaraan dan permasalahan yang akan diangkat terkait
penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH dikaji

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
70

berdasarkan wilayah ekoregion. Wilayah ekoregion yang dimaksud merupakan


wilayah ekoregion berdasarkan hasil kajian teknis RPPLH Tahun 20017.

6. Indikasi Tumpang Tindih Atau Konflik Pemanfaatan Antar Sumber Daya


Alam
Konflik penggunaan lahan masih menjadi salah satu permasalahan utama
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tumpang tindih lokasi pemanfaatan antar
sumber daya alam dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, terutama
apabila pemanfaatan yang dilakukan tidak memerhatikan fungsi ekologi atau
jasa ekosistem di suatu kawasan. Tabel 2.1 merupakan indikasi tumpang tindih
pemanfaatan sumber daya alam di sektor pertanian, kehutanan, sumber daya
energi, dan air.
Kawasan Kehutanan Wila
Sumber Sumber Daya Energi
yah
Daya HK (ha) HL (ha) HPT (ha) HP (ha) berbasis Geologi (ha)
tump
Pertanian
ang
LBS 5.633 5.903 8.113 14.261 23.152,20
tindi
ALPS 2.408 - 658 1.115 259,00
Sumber h
Daya
Energi 4.029 2.813 6.028 24.587 - anta
berbasis ra
Geologi
Tabel.2.6. Indikasi Tumpang Tindih. izin
Sumber: Analisis KLH, 2012
pert
ambangan dan kehutanan diperlihatkan pada Tabel 2.6 Hasil ini diperoleh dari
pengolahan data menggunakan Peta Perizinan Kehutanan dan Peta Perizinan
Pertambangan.
Pertambangan Luas
Wilayah
Jenis Hutan Ekoregion
Kab/Kota Tumpang
KP Tindih (ha)
Pegunungan Vulkanik
IUP Bogor Penggunaan Kawasan 0,796 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
KP Bogor Penggunaan Kawasan 1,441 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
KP Bogor Penggunaan Kawasan 0,311 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
KP Bogor Penggunaan Kawasan 0,002 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
KP Bogor Penggunaan Kawasan 1,078 G.Halimun G.Salak G. Sawal

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
71

Perbukitan Struktural Ujung


Bandung Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Barat Penggunaan Kawasan 8,618 Sancang
Perbukitan Struktural Ujung
Bandung Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Barat Penggunaan Kawasan 0,006 Sancang
Perbukitan Struktural Ujung
Bandung Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Barat Penggunaan Kawasan 16,626 Sancang
Pegunungan Vulkanik
IUP Bogor Penggunaan Kawasan 0,353 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
IUP Bogor Penggunaan Kawasan 1,453 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
IUP Bogor Penggunaan Kawasan 0,095 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
IUP Bogor Penggunaan Kawasan 7,089 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Pegunungan Vulkanik
IUP Bogor Penggunaan Kawasan 0,669 G.Halimun G.Salak G. Sawal
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,026 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,033 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,010 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,026 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,015 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 11,959 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,047 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 7,837 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 20,287 Sumedang Cilacap
Perbukitan Struktural Ujung
Bandung Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Barat Penggunaan Kawasan 1,998 Sancang
Perbukitan Struktural Ujung
Bandung Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Barat Penggunaan Kawasan 3,230 Sancang
Perbukitan Struktural Ujung
Bandung Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Barat Penggunaan Kawasan 0,097 Sancang
Perbukitan Struktural Ujung
Kulon Cikepuh Leuweung
IUP Sukabumi Penggunaan Kawasan 399,004 Sancang
Perbukitan Struktural Jonggol
IUP Purwakarta Penggunaan Kawasan 0,016 Sumedang Cilacap
Total luas lahan tumpang tindih (ha) 483,122

Tabel 2.7. Wilayah Tumpang Tindih Izin Pertambangan Dan Kehutanan


Sumber: Hasil olah data, 2017

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
72

Gambar 2.6/2.10. Peta konflik antara lahan dengan perizinan kehutanan


dan lahan dengan perizinan BPN

7. Opsi-Opsi Resolusi Konflik Antar Sumber Daya Alam Dan Optimasi


Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Berdasarkan identifikasi konflik pemanfaatan ruang antar sumber daya
alam, maka beberapa opsi resolusi konflik yang dimungkinkan untuk
dilaksanakan disajikan pada Tabel 2.8 di bawah ini guna menjaga terjaganya
jasa dan fungsi ekosistem di wilayah ekoregion tersebut. Opsi-opsi resolusi
konflik tersebut dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan RPPLH ini.

Sumber Daya Kehutanan Sumber Daya


Sumber
Hutan Hutan Produksi Energi berbasis
Daya Hutan Lindung Hutan Produksi
Konservasi Terbatas Geologi
Sumber
Daya
Lahan
Pertania
n
Dimungkinkan Diijinkan dengan Diijinkan dengan
melalui Sawah irigasi mekanisme tukar mekanisme tukar
mekanisme relokasi menukar menukar Pada LP2B tidak
LBS
perubahan kawasan; kawasan; diijinkan
peruntukan dan
perubahan fungsi Dijinkan untuk Dijinkan untuk

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
73

kawasan hutan lahan baku sawah lahan baku sawah


(dari hutan tadah hujan tadah hujan
konservasi dengan mengikut dengan mengikut
menjadi kawasan sertakan dalam sertakan dalam
hutan lindung proses rehabilitasi proses rehabilitasi
dan/atau kawasan hutan produksi hutan produksi
hutan produksi) atau proses atau proses
produksi KPHP. produksi KPHP.

Pada LP2B tidak


diijinkan
Diijinkan dengan
Diijinkan dengan
syarat mekanisme
syarat mekanisme Penetapan LP2B
APLPS Tidak diijinkan Tidak diijinkan tukar menukar
tukar menukar harus
kawasan
kawasan mempertimbangk
an status APLPS
terlebih dahulu
Dijinkan untuk Dijinkan untuk
Sumber penutup lahan penutup lahan
Daya bukan hutan dan bukan hutan dan
Energi Tidak diijinkan Tidak diijinkan lahan tidak lahan tidak -
berbasis produktif untuk produktif untuk
Geologi pengusahaan pengusahaan
hutan hutan
Tabel 2.8. Opsi Resolusi Konflik

8. Tantangan Utama dan Isu Strategis di Provinsi Jawa Barat


Berdasarkan hasil analisis pada kajian teknis penyusunan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat, maka diperoleh hasil rumusan tantangan utama
dan isu strategis di Provinsi Jawa Barat sebagai berikut:
a. Daya dukung air di hampir seluruh ekoregion yang berada di Provinsi Jawa
Barat belum melewati ambang batas daya dukungnya, kecuali di sebagian
wilayah pada ekoregion Perbukitan Struktural Ciamis, khususnya beberapa
wilayah di Kabupaten Pangandaran; sebagian wilayah pada ekoregion
Pegunungan Vulkanik G Halimun, G. Salak, G. Sawal, khususnya beberapa
wilayah di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota
Sukabumi; dan sebagian kecil di Pegunungan Vulkanik Gunung Ciremai
khususnya beberapa wilayah di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan,
dan Kota Cirebon.
b. Daya dukung pangan yang sudah melewati ambang batasnya berada di
wilayah ekoregion Dataran Vulkanik Serang Tangerang Depok dan
Pegunungan Vulkanik G Halimun, G. Salak, G. Sawal,. Sedangkan wilayah
administrasi yang sudah melewati ambang batas daya dukung pangannya

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
74

meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten


Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota
Cimahi, Kota Cirebon, Kota Depok, Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya.
c. Persebaran timbulan sampah terpadat berada di Kota Bandung, Kota
Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, Kota
Sukabumi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon, dan
Kabupaten Bandung, yang berada pada ekoregion Pegunungan Vulkanik G
Halimun, G. Salak, G. Sawal; Dataran Vulkanik Serang Tangerang Depok;
Dataran Fluvial Cilegon Indramayu Pekalongan. Sementara itu, volume
sampah terbanyak terdapat pada Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung,
Kota Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok.
d. Beban emisi pencemar udara (HC, CO, SO2, NOx, PM10, CO2 di Kota
Bandung dan Kota Cimahi (yang berada pada ekoregion pegunungan
vulkanik G Halimun, G. Salak, G. Sawal) tersebar paling tinggi.
e. Pertumbuhan populasi yang diproyeksikan selama 30 tahun ke depan
berdampak pada meningkatnya kegiatan perekonomian yang berpotensi
untuk memberikan tekanan terhadap wilayah ekoregion. Adapun proyeksi
pertumbuhan populasi serta wilayah ekoregion yang terkena tekanan adalah
sebagai berikut:
1) Proyeksi pertumbuhan populasi 2015-2025, memberikan tekanan pada
Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung,
Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Cirebon yang berada di
wilayah ekoregion Pegunungan Vulkanik G. Halimun-G.Salak-G.Sawal;
Dataran Fluvial Cilegon-Indramayu-Pekalongan; dan Dataran Vulkanik
Serang-Tangerang-Depok.
2) Proyeksi pertumbuhan populasi 2015-2035, memberikan tekanan pada
Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung,
Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Cirebon, Kabupaten Bekasi,
sebagian besar Kabupaten Bogor, dan sebagian besar Kabupaten
Bandung di bagian Utara di wilayah ekoregion Pegunungan Vulkanik G.
Halimun-G.Salak-G.Sawal; Dataran Fluvial Cilegon-Indramayu-
Pekalongan; Dataran Vulkanik Serang-Tangerang-Depok; Perbukitan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
75

Struktural Jonggol-Sumedang-Cilacap; dan Perbukitan Karst


Tasikmalaya.
3) Proyeksi pertumbuhan populasi 2015-2045, memberikan tekanan pada
Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung,
Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Cirebon, Kabupaten Bekasi,
sebagian besar Kabupaten Bogor, dan sebagian besar Kabupaten
Bandung di bagian Utara, dan Kabupaten Cirebon di wilayah ekoregion
Pegunungan Vulkanik G. Halimun-G.Salak-G.Sawal; Dataran Fluvial
Cilegon-Indramayu-Pekalongan; Dataran Vulkanik Serang-Tangerang-
Depok; Perbukitan Struktural Jonggol-Sumedang-Cilacap; dan
Perbukitan Karst Tasikmalaya.
f. Terdapat ketergantungan antar wilayah dalam hal aliran pangan dan air,
khususnya bagi wilayah-wilayah yang memiliki status daya dukung pangan
dan air yang telah melewati ambang batas menjadi sangat tergantung pada
wilayah yang memiliki surplus pangan dan air.
g. Tingginya tingkat bahaya bencana banjir, kekeringan, longsor dan erosi di
beberapa ekoregion dan beberapa kab/kota sebagai berikut:
1) Bahaya banjir tinggi berada di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Kota
Bandung, dan Kabupaten Bandung; yang terletak di wilayah ekoregion:
Dataran Fluvial Cilacap dan Pegunungan Vulkanik G. Halimun-G.Salak-
G.Sawal.
2) Bahaya kekeringan tinggi berada di hampir seluruh kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat, di antaranya Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota
Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan
Kabupaten Kuningan yang berada di wilayah ekoregion: Dataran Fluvial
Cilegon-Indramayu-Pekalongan; Perbukitan Struktural Jonggol-
Sumedang-Cilacap; dan Perbukitan Struktural Ciamis.
3) Bahaya longsor tinggi berada di hampir seluruh kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat bagian selatan kecuali: Kota Tasikmalaya dan Kota
Banjar; sedangkan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Jawa Barat

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
76

bagian Utara relatif bebahaya rendah dan sedang terhadap longsor.


Bahaya longsor tinggi tersebar pada Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten
Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten
Garut. Adapun wilayah ekoregion yang memiliki bahaya longsor tinggi
adalah: Pegunungan Vulkanik G. Halimun-G.Salak-G.sawal; Perbukitan
Struktural Ujung Kulon-Cikepuh-Leuweung; Perbukitan Karst
Tasikmalaya; Perbukitan Struktural Ciamis; dan Perbukitan Struktural
Jonggol-Sumedang-Cilacap.

9. Tantangan Utama dan Isu Strategis di Setiap Ekoregion Propinsi Jawa


Barat
Pada sub bab ini, fokus analisis terletak pada tantangan utama dan isu
strategis di setiap ekoregion di wilayah Provinsi Jawa Barat 28, yang
dikelompokkan berdasarkan 13 wilayah ekoregion. Analisis ditujukan pada
berjalannya fungsi kawasan ekoregion tersebut dalam menyediakan jasa
ekosistem bagi masyarakat Jawa Barat dalam satu kesatuan lansekap
ekoregion, sehingga intervensi yang dilakukan terhadap isu dapat dilakukan
secara menyeluruh dan terintegrasi. Analisis dilakukan menggunakan metoda
DPSIR untuk mengetahui pemicu, tekanan, kondisi dampak serta indikasi
respon yang dapat dilakukan agar terjaganya fungsi ekosistem dan
keberlanjutan pemanfaatan jasa ekosistem bagi masyarakat di Provinsi Jawa
Barat. Berikut ini tantangan utama dan isu strategis di setiap ekoregion di
Wilayah Provinsi Jawa Barat:
a. Dataran Organik/Coral Jawa
Dataran organik/coral Jawa merupakan kawasan ekoregion kecil seluas
1,155 Ha yang berlokasi di wilayah pesisir selatan di Kabupaten Cianjur.
Distribusi penduduk di tahun 2015 di kawasan ini masih tergolong rendah,
namun berdasarkan hasil proyeksi tekanan penduduk di Tahun 2045,

28
Wilayah ekoregion yang dimaksud dalam subbab ini bersumber dari Kajian Teknis Pembentukan RPPLH
Provinsi Jawa Barat Tahun 2017.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
77

kawasan ini akan mengalami tekanan penduduk kategori sedang.


Berdasarkan hal tersebut daya dukung air dan daya dukung pangan di
wilayah ekoregion ini masih dibawah ambang batas, dan bahkan berpotensi
sebagai sumber pangan melalui pengelolaan hasil laut dari perikanan
tangkap yang berkelanjutan. Timbulan sampah di wilayah ini pun masih
dikategorikan rendah akibat tingkat aktivitas yang rendah, dan wilayah ini
tidak sesuai untuk dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah air karena
ekosistem di wilayah ini berfungsi sebagai pengatur tata air di wilayah
sekitarnya, sehingga perlu dijaga kelestariannya. Analisis DPSIR ekoregion
Dataran Organik/Coral Jawa dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.9. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Organik/Coral Jawa
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pertumbuhan Aktivitas ekonomi dan TIdak terdapat tekanan Jasa ekosistem
penduduk yang pembangunan yang signifikan maksimum di
rendah di Kab. infrastruktur yang terhadap wilayah wilayah sebagai
Cianjur bagian rendah. ekoregion ini penyedia dan
selatan pengatur tata air.

Kondisi ekosistem
coral yang relatif
masih baik dapat
mendukung
perkembangbiakan
ikan dan hasil laut
lainnya sebagai
sumber pangan.
Impacts Responses
Wilayah ini dapat berperan sebagai wilayah Pemeliharaan kondisi ekosistem di dalam
penyangga untuk penyedia dan tata air, serta wilayah ekoregion; kerjasama dengan daerah
sebagai sumber pangan khususnya dari sektor disekitarnya dalam hal penyediaan pangan.
perikanan tangkap, kedua hal tersebut
berpotensi untuk sebagai pemasukan
pendapatan daerah.

b. Dataran Fluvial Cilacap


Dataran Fluvial Cilacap mencakup wilayah Kabupaten Ciamis,
Kabupaten Pangandaran dan Kota Banjar. Secara umum tidak terdapat
aktivitas ekonomi ekstraktif yang mengancam ekosistem setempat, namun
tedapat tekanan proyeksi pertumbuhan penduduk di Tahun 2045 di
Kabupaten Banjar yang akan berpengaruh pada daya dukung pangan dan air
kabupaten tersebut. Jasa ekosistem maksimal di wilayah ekoregion ini

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
78

adalah pencegahan dan perlindungan dari bencana, produksi primer


(oksigen dan penyediaan habitat spesies), produksi serat dan penyediaan air
bersih. Namun demikian yang perlu diwaspadai adalah adanya peningkatan
timbulan sampah di Kota Banjar akibat pertumbuhan penduduk, dan timbulan
sampah serta alih fungsi lahan akibat kegiatan wisata di Kabupaten
Pangandaran yang dapat menjadi tekanan bagi kawasan cagar alam di Kab.
Pangandaran dan kerusakan ekosistem pesisir serta hutan hujan dataran
rendah di kawasan cagar alam Pangandaran. Di sisi lain daerah yang
memiliki lahan luas dengan tingkat kesesuaian lahan sebagai TPA hanya
Kabupaten Ciamis. Dampak yang mungkin terjadi dari hal tersebut adalah
terganggunya jasa ekosistem tata air dan meningkatnya risiko tsunami,
abrasi pantai dan rob akibat rusaknya hutan mangrove di wilayah pesisir.
Analisis DPSIR ekoregion Dataran Fluvial Cilacap dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2.10. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Fluvial Cilacap
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pertumbuhan penduduk Aktivitas ekonomi dan Tidak terdapat tekanan yang Jasa ekosistem
yang rendah di Kab. pembangunan signifikan terhadap ekoregion maksimum sebagai
Ciamis dan Kab. infrastruktur yang penghasil jasa air dan pangan penyedia air dan
Pangandaran rendah di Kab. Ciamis dan Kab. produksi serat.
Pangandaran

Pertumbuhan penduduk Aktivitas ekonomi dan Alih fungsi lahan dan tekanan Degradasi
cukup tinggi di Kota wisata di Kab. emisi sampah akibat aktivitas ekosistem hutan
Banjar Pangandaran wisata terhadap hutan pesisir pesisir dan hutan
dan hutan hujan dataran rendah hujan dataran
di Cagar Alam Pangandaran. rendah di CA
Pangandaran
Impacts Responses
Wilayah ini dapat berperan sebagai wilayah Pemeliharaan kondisi ekosistem di dalam wilayah
penyangga untuk penyedia tata air, serta sebagai ekoregion, serta koordinasi lintas wilayah untuk
sumber pangan dari produksi serat, kedua hal pengelolaan kawasan cagar alam dan taman wisata
tersebut berpotensi untuk sebagai pemasukan alam Pangandaran yang berkelanjutan.
pendapatan daerah.

Adanya peningkatan resiko bencana tsunami


dengan berkurangnya kawasan mangrove dan
hutan pesisir.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
79

c. Dataran Fluvial Cilegon-Indramayu-Pekalongan


Dataran Fluvial Cilegon, Indramayu, dan Pekalongan mencakup wilayah
administratif Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon dan
Kota Cirebon. Secara geografis wilayah ekoregion ini berada di Utara
Provinsi Jawa Barat. Secara demografis daerah yang akan mengalami
tekanan penduduk tinggi pada tahun 2045 adalah Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon, hal ini akan berpengaruh pada
ambang batas dan daya dukung air, pangan dan sampah. Hasil proyeksi
ambang batas pangan pada tahun 2045 menunjukkan bahwa daerah yang
telah melampaui daya dukung pangan di wilayah ekoregion ini adalah
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon; dan jumlah lahan
yang masih mendukung untuk produksi pangan di daerah tersebut pada
tahun 2045 relatif kecil yaitu: 8,54% dari luas kabupaten Bekasi, 15,23% dari
luas kabupaten Cirebon dan 0% dari luas Kota Cirebon. Sedangkan
berdasarkan proyeksi kebutuhan air di wilayah ini, maka daerah yang
memiliki kebutuhan air tinggi di tahun 2045 adalah Kabupaten Cirebon dan
Kota Bekasi. Jasa ekosistem maksimal di wilayah ekoregion ini adalah
pengendalian hama dan penyakit, pencegahan dan perlindungan bencana,
produksi primer (oksigen dan habitat spesies), serta pemurnian air.
Timbunan sampah bervolume tinggi terdapat di Kota Cirebon,
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cirebon sebagai
akibat dari kepadatan penduduk, namun hanya Kabupaten Subang dan
sebagian kecil wilayah Kabupaten Cirebon yang memiliki kesesuaian lahan
untuk TPA. Hal ini perlu menjadi perhatian dari pemerintah daerah yang
berada di wilayah ekoregion ini untuk mengembangkan teknik pengelolaan
dan pengolahan sampah dengan meningkatkan prinsip reduce, reuse dan
recycle. Wilayah ekoregion ini memiliki indeks tinggi untuk bahaya banjir,
terutama di bagian utara dari Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang,
Indramayu dan Kota Cirebon. Indeks bahaya kekeringan sedang berada di
Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang. Bahaya banjir dan kekeringan
tersebut dapat berdampak pada penurunan produktivitas padi akibat banjir
serta kenaikan suhu dan prevalansi serangan hama dan penyakit. Di sisi lain,

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
80

tekanan pemukiman, industri dan pertanian dalam bentuk pemanfaatan air


juga berdampak pada peningkatan intrusi air laut. Hal ini diperparah dengan
dibukanya lahan-lahan hutan lindung mangrove untuk aktivitas perikanan
budidaya tambak.
Teknologi intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification) di sektor
pertanian pangan, dikombinasikan dengan teknologi monitoring dan
peringatan dini untuk bencana banjir dan kekeringan, dapat menjadi solusi
untuk beberapa masalah tersebut. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Fluvial
Cilegon-Indramayu-Pekalongan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.11. Analisis DPSIR ekoregion dataran fluvial Cilegon Indramayu
Pekalongan
Driving Forces
Underlying Pressures State
Activities
Causes
Penurunan produksi padi
Alih fungsi lahan sawah di Kota Cirebon 7091,79
Perluasan pemukiman di
1.350,3 Ha untuk pemukiman Ton/tahun menyebabkan
Kota Cirebon
di Kota Cirebon menurunnya daya
dukung pangan
Penurunan daya dukung
air di Kab. Bekasi, Kab.
Pemanfaatan air berlebih di Indramayu, Kab.
Kab. Bekasi, Kab. Indramayu, Majalengka dan Kab.
Kab. Majalengka dan Kab. Cirebon.
Cirebon untuk aktivitas Intrusi air laut dan
pertanian. penurunan muka tanah
di Kab. Bekasi,
Indramayu, dan Cirebon
Aktivitas pertanian di Kab.
Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
Proyeksi Bekasi (61.220,11 Ha), Kab.
berlebih dan pestisida ke dan tanah Kab. Bekasi,
pertumbuhan Indramayu (115.484,3 Ha),
badan air dan tanah di Kab. Kab. Indramayu, Kab.
penduduk Kota Kab. Majalengka (15.232,49
Bekasi, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka dan Kab.
Cirebon, Ha) dan Kab. Cirebon
Majalengka dan Kab. Cirebon.
Kabupaten (43.748,2 Ha) untuk Kota
Cirebon.
Bekasi dan Cirebon, Kab. Cirebon dan
Penurunan kualitas
Kabupaten Kab. Bekasi Pelepasan gas methane ke
udara di Kab. Bekasi
Cirebon (2045) udara di Kab. Indramayu,
Kab. Indramayu, Kab.
Bekasi, Majalengka, dan Kab.
Majalengka dan Kab.
Cirebon
Cirebon.
Alih fungsi lahan hutan Kerusakan mangrove di
mangrove di Kab. Bekasi, ekoregion marin Kab.
Kab. Indramayu, Kab. Bekasi, Kab. Indramayu,
Majalengka dan Kab. Kab. Majalengka dan
Cirebon. Kab. Cirebon
Penurunan kualitas air di
Pelepasan nutrien pakan
pesisir Kab. Subang,
berlebih ke badan air
Aktivitas perikanan budidaya Indramayu, dan Cirebon
(tambak) di Kab. Subang, Alih fungsi lahan mangrove di Kerusakan ekosistem
Indramayu dan Cirebon ekoregion marin Kab. mangrove di Kab.
Subang, Indramayu, dan Subang, Indramayu, dan
Cirebon Cirebon

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
81

Pemanfaatan air di Kab. Pemanfaatan air berlebih di Penurunan daya dukung


Cirebon untuk kota Cirebon Kab. Cirebon air di Kab. Cirebon.

Penurunan kualitas
Polusi udara di Kota Cirebon
udara di Kota Cirebon
Penurunan kualitas air
Polusi air di Kota Cirebon
Pertumbuhan kota Cirebon bersih di Kota Cirebon.
Timbulan sampah diprediksi Penurunan kualitas
mencapai 362.528.950 tanah, udara, dan air di
liter/tahun di Kota Cirebon Kota Cirebon.
pada 2045

Pemanfaatan air berlebih


Penurunan daya dukung
untuk aktivitas industri di Kab.
air di Kab. Bekasi,
Bekasi, Karawang, dan
Karawang, dan Cirebon.
Cirebon
Aktivitas industri di Kab.
Aktivitas Bekasi (187 unit usaha/2803 Pelepasan emisi ke udara di Penurunan kualitas
ekonomi di tenaga kerja), Kab. Karawang Kab. Bekasi, Karawang, udara di Kab. Bekasi,
wilayah (104 unit usaha/1981 tenaga Cirebon Karawang, dan Cirebon.
ekoregion kerja), Kab. Cirebon (58 unit Pelepasan limbah ke badan Penurunan kualitas air di
usaha/3.848 tenaga kerja) air di Kab. Bekasi, Karawang, Kab. Bekasi, Karawang,
Cirebon dan Cirebon.
Pelepasan limbah ke tanah di Penurunan kualitas
Kab. Bekasi, Karawang, tanah di Kab. Bekasi,
Cirebon Karawang, dan Cirebon.
Impacts Responses
Peningkatan potensi terjadinya kerawanan Penetapan lahan sawah berkelanjutan.
pangan di Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
Cirebon dan Kota Cirebon. Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Bekasi, pertanian terhadap lingkungan.
Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, Kab. Penetapan dan implementasi proteksi kawasan lindung
Karawang dan Kab. Cirebon. hutan mangrove; Pembatasan aktivitas perikanan
Penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tambak; proteksi terhadap lahan-lahan baru dari
ekoregion Dataran Fluvial Cilegon Indramayu sedimentasi dan akresi.
Pekalongan. Penerapan tata kota yang tangguh dan berkelanjutan.
Penurunan kualitas kesehatan dan Kebijakan izin industri, AMDAL dan ambang batas emisi.
kesejahteraan masyarakat di wilayah ekoregion
Dataran Fluvial Cilegon Indramayu Pekalongan.
Koordinasi lintas wilayah (Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu,
Cirebon dan Kota Cirebon) dapat menjadi peluang untuk memitigasi bencana
banjir sekaligus mempertahankan penyediaan pangan dan tata kelola air untuk
irigasi pertanian pangan di dalam wilayah ini. Meskipun tidak ada potensi untuk
aktivitas ekonomi ekstraktif seperti penambangan di wilayah ini, dampak dari
pertumbuhan industri yang meluas dari arah barat perlu diperhatikan. Aktivitas
ekonomi utama berupa produksi padi di lahan sawah berkelanjutan di sepanjang
kawasan pantai utara yang didukung oleh sistem pengairan irigasi teknis
memiliki potensi konflik dengan pengembangan kawasan industri wilayah
Kabupaten Bekasi dan Karawang, yang juga disokong oleh ketersediaan air
bersih dan infrastruktur yang baik. Di luar itu, Kota Cirebon secara spesifik

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
82

berpeluang untuk dikembangkan sebagai kota yang berkelanjutan dengan


berbasiskan pada ekonomi kreatif dan budaya setempat.

d. Dataran Vulkanik Bantar-Waru


Dataran vulkanik Bantar Waru mencakup wilayah administratif Kabupaten
Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu dan Majalengka. Jasa ekosistem
maksimal di wilayah ini adalah pengendalian hama dan penyakit, pencegahan
dan perlindungan bencana, produksi primer (oksigen dan habitat spesies) serta
pemurnian air. Dari sisi demografi, hingga tahun 2045 pertumbuhan penduduk
wilayah ekoregion ini tergolong sedang; sehingga daya dukung pangan dan air
di wilayah ini masih belum melampaui ambang batasnya. Namun berdasarkan
berdasarkan skema aliran pangan, Kabupaten Majalengka merupakan daerah
sumber pangan bagi Kota Cirebon yang memiliki pertumbuhan penduduk tinggi
pada tahun 2045, sehingga akan mendorong peningkatan aktivitas pertanian,
khususnya di Kabupaten Majalengka yang berdampak pada peningkatan
penggunaan air dan efek pencemar dari pertanian. Response terhadap hal ini
adalah mengaplikasikan kebijakan pertanian yang baik (Good Agricultural
Practices) untuk meminimalisasi dampak negatif pertanian terhadap lingkungan.
Di sisi lain, Kabupaten Karawang memiliki timbulan sampah dengan volume
tinggi namun luas lahan di Kabupaten Karawang yang sesuai untuk TPA sangat
kecil, dan hanya Kabupaten Subang yang memiliki lahan yang sesuai dan cukup
untuk TPA. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah dalam
pengelolaan dan pengolahan sampah terpadu, karena jika tidak dikelola dengan
baik maka akan menjadi tekanan bagi ekoregion yang menghasilkan produksi
primer dan pemurnian air. Dari sisi bencana, di sebagian wilayah di Kabupaten
Majalengka memiliki indeks bahaya banjir tinggi, sedangkan sebagian kecil
wilayah di Kabupaten Subang memiliki indeks bahaya longsor tinggi. Kedua hal
ini perlu menjadi perhatian khusus dari Pemerintah Daerah agar resiko bencana
dapat diminimasi dan dikelola. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Vulkanik
Bantar Waru dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
83

Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk aktivitas pertanian di dukung air di Kab.
Kab. Majalengka Majalengka
Aktivitas pertanian di
Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
Proyeksi pertumbuhan Kab. Majalengka
berlebih dan pestisida ke di Kab. Majalengka
penduduk Kota Cirebon (6.822,6 Ha) untuk
badan air di Kab. Majalengka
kota Cirebon
Pelepasan gas methana ke Penurunan kualitas
udara di Kab. Majalengka udara di Kab.
Majalengka
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem untuk Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
penghasil air dan pangan serta pemurnian air Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
akibat meningkatnya aktivitas pertanian yang pertanian terhadap lingkungan.
dapat mempengaruhi penurunan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Kerjasama antar Kabupaten Majalengka dan Kota
Kabupaten Majalengka. Cirebon dalam hal penyediaan sumber pangan
berkelanjutan.
Tabel 2.12. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Vulkanik Bantar Waru

e. Dataran Vulkanik Serang-Tangerang-Depok


Dataran vulkanik Serang, Tangerang Depok mencakup wilayah administrasi
Kabupaten Bogor, kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Jasa
ekosistem maksimal di wilayah ini adalah: produksi primer (oksigen dan habitat
spesies), pengendalian hama penyakit, pemeliharaan kualitas udara, dan
penyedia air bersih. Namun hal tersebut dapat terancam keberadaan dan
keberlangsungannya dengan adanya tekanan proyeksi penduduk pada tahun
2045 di Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
Tekanan pertumbuhan penduduk juga berpengaruh pada daya dukung dan
status ambang batas air dan pangan serta timbulan sampah di daerah-daerah
tersebut, akibat adanya peningkatan pemanfaatan air, pencemaran air dan alih
fungsi lahan pertanian untuk kegiatan permukiman dan industri.
Berdasarkan hasil analisis data tahun 2015, status ambang batas pangan di
wilayah ekoregion ini telah melewati ambang batas, sehingga kebutuhannya
diperoleh dari daerah sekitarnya yang menjadi sumber pangan, seperti
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. Lebih
lanjut berdasarkan hasil perhitungan proyeksi tahun 2045, luasan lahan yang
dapat mendukung produksi pangan di wilayah ekoregion ini sudah melampaui
ambang batasnya. Sedangkan hasil analisis status daya dukung air pada tahun
2015 di wilayah ini masih berada dibawah ambang batas, namun terdapat

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
84

daerah yang memiliki peningkatan prosentase kebutuhan air tinggi di Tahun


2045 yaitu: Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Sedangkan
timbulan sampah dengan volume tinggi berada di Kota Depok dan Kota Bekasi
dan tidak terdapat satu daerah pun yang memiliki kesesuaian lahan untuk TPA
di wilayah ekoregion ini. Dari sisi bencana indeks bahaya kekeringan tinggi
dimiliki oleh Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi,
hal ini dapat berpengaruh pada ekosistem penyedia air bersih di wilayah
ekoregion ini, serta keberlangsungan aktivitas pertanian di Kabupaten Bogor
yang dampaknya berpengaruh pada ketahanan pangan.
Berbagai tantangan dan isu tersebut, dapat direspon dengan penerapan
kebijakan tata ruang yang membatasi pembangunan pada zona-zona
perlindungan, penegakkan ijin lingkungan untuk aktivitas industry, pengendalian
dan pengawasan baku mutu lingkungan serta penerapan sistem pertanian yang
berkelanjutan. Selain itu perlindungan terhadap hak dan budaya masyarakat
adat di Kampung Urug, Bogor, secara spesifik dapat mendukung pengelolaan
lingkungan hidup di dalam wilayah ekoregion ini. Analisis DPSIR ekoregion
Dataran Vulkanik Serang Tangerang Depok dapat dilihat pada Tabel 2.13
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk aktivitas pertanian di dukung air di Kab.
Kab. Majalengka Majalengka
Aktivitas pertanian di
Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
Proyeksi pertumbuhan Kab. Majalengka
berlebih dan pestisida ke di Kab. Majalengka
penduduk Kota Cirebon (6.822,6 Ha) untuk
badan air di Kab. Majalengka
kota Cirebon
Pelepasan gas methana ke Penurunan kualitas
udara di Kab. Majalengka udara di Kab.
Majalengka
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem untuk Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
penghasil air dan pangan serta pemurnian air Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
akibat meningkatnya aktivitas pertanian yang pertanian terhadap lingkungan.
dapat mempengaruhi penurunan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Kerjasama antar Kabupaten Majalengka dan Kota
Kabupaten Majalengka. Cirebon dalam hal penyediaan sumber pangan
berkelanjutan.
Tabel 2.13. Analisis DPSIR ekoregion Dataran Vulkanik Serang Tangerang Depok

f. Pegunungan Vulkanik Ciremai


Pegunungan vulkanik Ciremai mencakup wilayah administratif Kabupaten
Majalengka, Kuningan, Cirebon dan Kota Cirebon. Jasa ekosistem maksimal di

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
85

wilayah ini adalah pengendalian hama penyakit, produksi primer (oksigen dan
habitat spesies), tata air, pencegahan dan perlindungan bencana dan
pemeliharaan kualitas udara. Namun hal tersebut dapat terancam keberadaan
dan keberlangsungannya akibat tekanan proyeksi penduduk yang tinggi di tahun
2045 di Kabupaten Cirebon yang berpengaruh pada penyediaan jasa ekosistem
tata air dari Gunung Ciremai dan degradasi ekosistem dan berkurangnya
keanekaragaman hayati. Proyeksi tekanan penduduk tinggi ini juga berpotensi
meningkatkan resiko bencana longsor, khususnya di kawasan perbatasan
Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, serta peningkatan aktivitas
pertanian di Kabupaten Cirebon, Majalengka dan Kuningan. Koordinasi dan
kerjasama antara Kabupaten Majalengka dan Kuningan untuk menjaga
keberlangsungan ekosistem di Taman Nasional Gunung Ciremai agar dapat
mengurangi bahaya longsor di perbatasan kedua kabupaten tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan data tahun 2015 dan proyeksi 2045, status daya
dukung pangan dan air, sebagian wilayah di Kabupaten Cirebon dan Kota
Cirebon telah melampaui ambang batasnya. Untuk timbulan sampah Kabupaten
dan Kota Cirebon memiliki volume timbulan yang tinggi, namun kedua daerah
tersebut tidak memiliki lahan yang sesuai untuk TPA. Analisis DPSIR ekoregion
Dataran Vulkanik Ciremai dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk aktivitas pertanian di dukung air di Kab.
Kab. Majalengka Majalengka
Aktivitas pertanian di
Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
Proyeksi pertumbuhan Kab. Majalengka
berlebih dan pestisida ke di Kab. Majalengka
penduduk Kota Cirebon (6.822,6 Ha) untuk
badan air di Kab. Majalengka
kota Cirebon
Pelepasan gas methana ke Penurunan kualitas
udara di Kab. Majalengka udara di Kab.
Majalengka
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem untuk Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
penghasil air dan pangan serta pemurnian air Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
akibat meningkatnya aktivitas pertanian yang pertanian terhadap lingkungan.
dapat mempengaruhi penurunan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Kerjasama antar Kabupaten Majalengka dan Kota
Kabupaten Majalengka. Cirebon dalam hal penyediaan sumber pangan
berkelanjutan.
Tabel 2.14. Analisis DPSIR ekoregion DataranVulkanik Ciremai

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
86

g. Pegunungan Vulkanik Gunung Halimun-Gunung Salak-Gunung Sawal


Wilayah ekoregion pegunungan vulkanik Gunung Halimun, Gunung Salak
dan Gunung Sawal mencakup wilayah administratif yang sangat luas, dari mulai
dataran menengah/tinggi Kota Bogor di sisi barat hingga Kota Banjar di sisi
timur. Secara keseluruhan, terdapat 17 wilayah administratif setingkat
kabupaten/kota yang di dalamnya meliputi wilayah ekoregion ini, yang
implikasinya menuntut koordinasi yang tinggi di antara pemerintah
kabupaten/kota tersebut dan prioritas pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup di tingkat provinsi Jawa Barat. Jasa ekosistem maksimal di wilayah ini
adalah: produksi primer (oksigen dan habitat spesies), pemeliharaan kualitas
udara, penyediaan air bersih, pengolahan dan penguraian limbah.
Tekanan pertumbuhan penduduk yang tinggi di daerah-daerah yang berada di
wilayah ini dapat mengancam keberadaan dan keberlangsungan jasa ekosistem
di ekoregion ini, terlebih lagi dengan adanya kegiatan ekonomi seperti: pertanian
di sekitar kawasan lindung di dataran tinggi Kabupaten Bogor, Cianjur,
Sukabumi, Bandung dan Bandung Barat; industri manufaktur, dan aktivitas
pertambangan di hulu kawasan. Secara spesifik, tekanan penduduk terjadi di
wilayah kota Bogor, Sukabumi, Cimahi dan Bandung untuk tahun 2025, serta
Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung dan Kota Tasikmalaya untuk tahun
2035. Di wilayah kota Bogor dan Sukabumi (untuk tahun 2025) dan kabupaten
Bogor (tahun 2035), pertambahan penduduk yang tinggi berdampak pada
penyediaan jasa ekosistem berupa tata kelola air, bersumber dari wilayah
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak serta Taman Nasional Gede-
Pangrango yang mengatur tata air melalui Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cisadane dan Ciliwung untuk wilayah Bogor, Jakarta, Tangerang dan sekitarnya
(baik untuk penyediaan air bersih maupun pencegahan banjir). Analisis DPSIR
ekoregion Pegunungan Vulkanik Gunung Halimun Gunung Salak Gunung Sawal
dapat dilihat pada Tabel 2.15.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
87

Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Alih fungsi lahan Penurunan produksi
sawah untuk padi sebesar 499,86
pemukiman 3.989,67 Ton/tahun di Kota
Ha di Kota Bandung, Tasikmalaya,
Perluasan pemukiman di
510,29 Ha di kota 16.393,55 Ton/tahun
Kota Sukabumi, Kota Bogor,
Cimahi dan 84,11 Ha di Kota Bandung, dan
Kota Bandung, Kota Cimahi,
di kota Tasikmalaya 3.038,78 Ton/tahun di
Kota Tasikmalaya
Kota Cimahi
menyebabkan
penurunan daya
dukung pangan
Pelepasan emisi dan Penurunan kualitas
gas rumah kaca di udara di Kota
Kota Sukabumi, Kota Sukabumi, Kota
Bogor, Kota Bandung, Bogor, Kota Bandung,
Kota Depok, Kota Kota Depok, Kota
Cimahi, dan Kota Cimahi, dan Kota
Tasikmalaya Tasikmalaya
Pelepasan pencemar Penurunan kualitas air
ke badan air di Kota bersih di Kota
Sukabumi, Kota Sukabumi, Kota
Bogor, Kota Bandung, Bogor, Kota Bandung,
Kota Depok, Kota Kota Depok, Kota
Cimahi, dan Kota Cimahi, dan Kota
Tasikmalaya Tasikmalaya
Timbulan sampah Penurunan kualitas
pada 2045 mencapai air, kualitas tanah, dan
Proyeksi
411.650.650 kualitas udara di Kota
pertumbuhan liter/tahun di Kota Sukabumi, Kota
penduduk di kota Sukabumi, Bogor, Kota Bandung,
Depok, Bogor, 1.586.293.650 Kota Depok, Kota
Pertumbuhan kota Sukabumi,
Sukabumi, Bandung, kota Bogor, kota Bandung, liter/tahun di Kota Cimahi, dan Kota
Cimahi dan kota Depok, kota Cimahi dan Bogor, 3.756.399.325 Tasikmalaya
Tasikmalaya kota Tasikmalaya liter/tahun di Kota
Bandung,
887.949.188
liter/tahun di Kota
Cimahi, dan
901.576.463
liter/tahun di Kota
Tasikmalaya
Pemanfaatan air di
Kab. Bogor untuk kota
Bogor
Pemanfaatan air di
Kab. Bandung, Kab. Penurunan daya
Bandung Barat, dan dukung air di Kab.
Kab. Cianjur untuk Bandung, Kab.
kota Bandung Bandung Barat, dan
Pemanfaatan air di Kab. Cianjur.
Kab. Bandung Barat
dan Kab. Cianjur
untuk kota Cimahi
Aktivitas pertanian di Kab. Penurunan daya
Bogor (16.227,55 Ha) dan dukung air di Kab.
Kab. Sukabumi (4.990,32 Ha) Pemanfaatan air Bogor, Kab.
untuk kota Depok dan kota berlebih untuk Sukabumi, Kab.
Bogor; pertanian Bandung, Kab. Garut,
Kab. Tasikmalaya, dan
Aktivitas pertanian di Kab. Kab. Ciamis

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
88

Bandung (37.631,92 Ha) dan Penurunan kualitas air


Kab. Garut (25.708 Ha) untuk di Kab. Bogor, Kab.
Pelepasan pupuk
kota Bandung dan kota Sukabumi, Kab.
kimia berlebih dan
Cimahi; Bandung, Kab. Garut,
pestisida ke badan air
Kab. Tasikmalaya, dan
Aktivitas pertanian di Kab. Kab. Ciamis
Tasikmalaya (4.045,33 Ha) Penurunan kualitas
dan Kab. Ciamis (9.364,99 udara di Kab. Bogor,
Ha) untuk kota Tasikmalaya Pelepasan gas Kab. Sukabumi, Kab.
methana ke udara Bandung, Kab. Garut,
Kab. Tasikmalaya, dan
Kab. Ciamis
Degradasi ekosistem
di Kab. Bandung,
Penambangan Tanah Liat di
Bandung Barat, Kab.
Kab. Bandung, Kab. Bandung Pembukaan lahan
Bogor, Kab. Cianjur,
Barat, Kab. Bogor, Kab.
Kab. Sukabumi, dan
Cianjur, Kab. Sukabumi
Kab. Garut
Penurunan kualitas air
Penambangan Emas di Kab. di Kab. Bandung,
Pelepasan sedimen
Bogor, Kab. Cianjur, Kab. Bandung Barat, Kab.
dan pencemar ke
Garut, Kab. Sukabumi Bogor, Kab. Cianjur,
badan perairan
Penambangan Galena di Kab. Sukabumi, dan
Kab. Bogor dan Kab. Cianjur Kab. Garut
Pemanfaatan air Penurunan daya
berlebih untuk dukung air di Kab.
aktivitas industri, Bandung, Kab.
Aktivitas ekonomi di pelepasan emisi dan Bandung Barat, Kota
wilayah ecoregion limbah ke air, tanah Bogor, Kota
Aktivitas industri di Kab. dan udara Sukabumi, dan Kota
Bandung (58 unit usaha/4384 Cimahi
tenaga kerja), Kab. Bandung Pelepasan emisi ke Penurunan kualitas
Barat (77 unit usaha/4891 udara akbiat kegiatan udara di Kab.
tenaga kerja), Kota Bogor industri Bandung, Kab.
(101 unit usaha/3679 tenaga Bandung Barat, Kota
kerja), Kota Sukabumi (13 Bogor, Kota
unit usaha/958 tenaga kerja), Sukabumi, dan Kota
dan Kota Cimahi (17 unit Cimahi
usaha/1758 tenaga kerja) Pelepasan limbah ke Penurunan kualitas air
badan air di Kab. Bandung, Kab.
Bandung Barat, Kota
Bogor, Kota
Sukabumi, dan Kota
Cimahi
Impacts Responses
Terganggunya kesehatan masyarakat akibat Kebijakan tata ruang untuk mencegah alih
menurunnya kualitas udara di Kota Sukabumi, Kota fungsi lahan.
Bogor, Kota Bandung, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota
Tasikmalaya, Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Penerapan kebijakan pertanian Good
Bandung, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, dan Kab. Agricultural Practices (GAP) untuk mengurangi
Ciamis. dampak negatif pertanian terhadap lingkungan.

Berkurangnya kemampuan ekosistem penghasil air, tata Kebijakan izin pertambangan dan industri,
air dan pangan sebagai akibat dari pertumbuhan AMDAL dan ambang batas emisi.
penduduk, aktivitas ekonomi dan alih fungsi lahan Kota
Sukabumi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Depok, Penerapan tata kota yang tangguh dan
Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya. berkelanjutan.

Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Bandung, Kab. Tata kelola lingkungan hidup yang bersumber
Bandung Barat, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. pada kearifan lokal.
Bogor, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis,
Kota Bogor, Kota Sukabumi, dan Kota Cimahi.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
89

Termarginalkannya masyarakat adat di Kab. Bogor,


Kab. Sukabumi, Kota Cimahi, Kab. Bandung, Kab.
Garut, Kab. Tasikmalaya, dan Kab. Ciamis akibat
berbagai penurunan kualitas lingkungan hidup.

Tabel.2.15 Analisis DPSIR ekoregion Pegunungan Vulkanik Gunung Halimun Gunung


Salak Gunung Sawal

Di kota Bandung dan Cimahi, selain memberikan tekanan pada


penyediaan air bersih dan pangan, tekanan penduduk juga berpotensi
meningkatkan timbulan sampah di dalam kawasan. Hal ini akan diperparah
dengan meningkatnya penduduk di Kabupaten Bandung yang diproyeksikan
cukup tinggi di tahun 2035. Di satu sisi, peningkatan penduduk meningkatkan
permintaan atas pangan dari kawasan sekitar (termasuk Kabupaten
Bandung), meski di sisi lain, timbulan sampah dan pertambahan penduduk
juga mengurangi lahan produktif untuk pertanian seiring kebutuhan lahan
untuk permukiman.
Tekanan terhadap ekosistem di wilayah ekoregion ini juga diberikan oleh
aktivitas penambangan emas, khususnya di wilayah Kabupaten Bogor,
Sukabumi dan Cianjur, serta penambangan galena di Kabupaten Bogor.
Aktivitas penambangan ini dapat memberikan tekanan pada penyediaan air
bersih, keanekaragaman hayati dan tata kelola air. Aktivitas serupa juga
dapat meningkatkan resiko longsor, khususnya untuk kawasan perbatasan
Kabupaten Garut dan Tasikmalaya, serta di dalam wilayah Kabupaten Bogor.
Sementara itu, di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Subang, meskipun
tidak didapati adanya aktivitas penambangan, juga memiliki kerentanan
terhadap bencana gempa bumi, khususnya dengan proyeksi pertumbuhan
populasi menengah di tahun 2035.
Oleh karena itu, koordinasi antar wilayah menjadi hal yang penting.
Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Cianjur perlu berkoordinasi di dalam mempertahankan integritas
ekosistem di kawasan dataran tinggi Puncak dan dua wilayah Taman
Nasional yang berdekatan (TNGHS dan TNGGP). Pemerintah Kota
Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung perlu berkoordinasi di dalam

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
90

penanganan timbulan sampah, penyediaan air bersih dan penyediaan


pangan. Dalam kaitannya dengan kebencanaan, koordinasi pemerintah
kabupaten Garut dan Tasikmalaya dalam pengurangan resiko longsor, serta
pemerintah kabupaten Bandung-Barat dan Subang untuk penurunan resiko
bencana gempa bumi menjadi aspek penting.
Dalam memanfaatkan peluang, pertumbuhan kota-kota besar seperti kota
Bandung, Cimahi, dan Bogor, serta kota-kota yang lebih kecil seperti kota
Sukabumi, Tasikmalaya dan Banjar perlu diarahkan ke kota yang
berkelanjutan, khususnya dalam kaitannya dengan isu pertambahan
penduduk dan tata kelola wilayah. Wilayah pegunungan di Kabupaten Bogor-
Cianjur-Sukabumi dan Kabupaten Bandung-Bandung Barat-Subang dapat
dikembangkan ke arah ekowisata sesuai jasa nilai estetika alamnya.

h. Perbukitan Struktural Ciamis


Perbukitan struktural Ciamis mencakup wilayah administratif Kabupaten
Ciamis, Tasikmalaya dan Pangandaran. Jasa ekosistem maksimal di wilayah
ini adalah: pencegahan dan perlindungan bencana, produksi primer (oksigen
dan habitat spesies), penyedia serat dan pengolahan dan pengurai limbah.
Proyeksi pertumbuhan penduduk khususnya terjadi di Kota Tasikmalaya
akan mengalami peningkatan populasi yang tinggi di tahun 2045, sebagai
akibatnya, perlu diwaspadai dampak dari aktivitas pertanian di Kabupaten
Ciamis dan Kabupaten Pangandaran untuk memenuhi kebutuhan kota
Tasikmalaya, serta dampak timbulan sampah dan emisi dari aktivitas kota.
Pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap status daya dukung air
dan pangan, khususnya di Kota Tasikmalaya tahun 2015 daya dukung
pangannya sudah melewati ambang batas. Sedangkan daerah yang sudah
melewati status daya dukung airnya adalah Kabupaten Pangandaran.
Intervensi berupa perencanaan tata ruang dan pengelolaan kota yang
tangguh dan berkelanjutan untuk kota Tasikmalaya akan menjadi kunci
dalam melindungi jasa ekosistem di kawasan ecoregion Perbukitan
Struktural Ciamis. Analsis DPSIR ekoregion Perbukitan Struktural Ciamis
dapat dilihat pada Tabel 2.16.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
91

Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk pertanian di Kab. dukung air di Kab.
Aktivitas pertanian di Kab. Ciamis dan Kab. Ciamis dan Kab.
Ciamis (5.497,36 Ha) dan Pangandaran Pangandaran
Kab. Pangandaran Pelepasan pupuk kimia Penurunan kualitas air
(5.789,09 Ha) untuk kota berlebih dan pestisida ke dan kualitas tanah di
Tasikmalaya badan air dan tanah di Kab. Ciamis dan Kab.
Kab. Ciamis dan Kab. Pangandaran
Proyeksi Pangandaran
pertumbuhan Pelepasan emisi dan gas Penurunan kualitas
penduduk di kota rumah kaca ke udara di udara di Kota
Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Tasikmalaya
Pelepasan pencemar ke Penurunan kualitas air
Pertumbuhan Kota badan air di Kota di Kota Tasikmalaya
Tasikmalaya Tasikmalaya
Timbulan sampah pada Penurunana kualitas
2045 diprediksi mencapai air di Kota
29.919.050 liter/tahun Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya
Impacts Responses
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Ciamis dan Penerapan tata kota yang tangguh dan
Kab. Pangandaran. berkelanjutan.
Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
Penurunan kualitas lingkungan di Kota Tasikmalaya, Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
Kab. Ciamis, dan Kab. Pangandaran. pertanian terhadap lingkungan.

Kebijakan tata ruang untuk mencegah alih fungsi


lahan.
Tabel 2.16.Analisis ecoregion Perbukitan Struktural Ciamis

i. Perbukitan Struktural Jonggol-Sumedang-Cilacap


Perbukitan struktural Jonggol-Sumedang-Cilacap mencakup wilayah
administratif yang luas, meliputi Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang,
Cianjur, Purwakarta, Subang, Sumedang, Majalengka, Kuningan, dan
Ciamis. Jasa ekosistem maksimal dari wilayah ini adalah penyedia air dan
tata air, pengatur kualitas udara, penyedia sumberdaya genetik, dan
pengendalian hama dan penyakit.
Ancaman terhadap ekoregion ini terutama berasal dari proyeksi
pertambahan penduduk yang tinggi di Kabupaten Bogor (untuk tahun 2035),
yang berdampak pada jasa ekosistem berupa penyediaan air bersih, pangan,
kualitas udara, pemurnian air dan timbulan limbah. Sama halnya, aktivitas
ekonomi berupa izin penambangan galena di Kabupaten Cianjur dan
pengerukan tanah liat di Kabupaten Bogor juga dapat mempengaruhi
penyediaan air bersih dan tata kelola air di dalam kawasan. Di sisi lain,
perubahan iklim juga dapat meningkatkan resiko kekeringan di wilayah

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
92

Kabupaten Bekasi dan Karawang. Koordinasi antar wilayah, khususnya


pemerintah Kabupaten Bekasi dan Karawang, untuk mengantisipasi resiko
bencana dan ancaman terhadap jasa ekosistem menjadi hal yang penting.
Pemerintah dan sektor swasta juga perlu mengupayakan teknologi-teknologi
ekstraksi/penambangan baru yang lebih ramah lingkungan dan tepat guna
bagi industri rakyat kecil dan menengah. Analisis DPSIR ekoregion
Perbukitan Struktural Jonggol Sumedang Cilacap dapat dilihat pada Tabel
2.17.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air
Penurunan daya
berlebih untuk
dukung air di Kab.
pertanian di Kab.
Bogor dan Kab.
Bogor dan Kab.
Kuningan.
Kuningan.
Proyeksi Aktivitas pertanian di Kab. Pelepasan pupuk
pertumbuhan Bogor (14.023,33 Ha) untuk kimia berlebih dan
Penurunan kualitas air
kota Bekasi; serta aktivitas pestisida ke badan air
penduduk di kota di Kab. Bogor dan
pertanian di Kab. Kuningan dan tanah di Kab.
Bekasi dan kota Kab. Kuningan
(6.354,15 Ha) untuk kota Bogor dan Kab.
Cirebon Cirebon Kuningan.
Pelepasan gas
methana ke udara di Penurunan kualitas
Kab. Bogor dan Kab. udara di Kab. Bogor
Kuningan dan Kab. Kuningan

Penambangan Tanah Liat di Penurunan kualitas air


Kab. Bogor, Kab. Cianjur, Pelepasan sedimen dan degradasi
Kab. Kuningan, Kab. dan pencemar ke ekosistem di Kab.
Purwakarta, Kab. badan perairan, Bogor, Kab. Cianjur,
Sumedang pembukaan lahan Kab. Kuningan, Kab.
Penambangan Galena di ternaungi Purwakarta, Kab.
Kab. Cianjur Sumedang
Aktivitas ekonomi di Pemanfaatan air Penurunan daya
wilayah ecoregion berlebih untuk dukung air di Kab.
Aktivitas industri di Kab. aktivitas industry di Bogor dan Kab.
Bogor (101 unit usaha/3679 Kab. Bogor dan Kab. Purwakarta.
tenaga kerja) dan Kab. Purwakarta
Purwakarta (42 unit Pelepasan emisi dan Penurunan kualitas air
usaha/710 tenaga kerja) limbah ke tanah di di Kab. Bogor dan
Kab. Bogor dan Kab. Kab. Purwakarta.
Purwakarta
Impacts Responses
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Bogor, Kab. Penerapan tata kota yang tangguh dan
Purwakarta, dan Kab. Kuningan. berkelanjutan.

Peningkatan resiko bencana longsor di Kab. Bogor, Penerapan kebijakan pertanian Good
Kab. Cianjur, Kab. Kuningan, Kab. Purwakarta, Kab. Agricultural Practices (GAP) untuk mengurangi
Sumedang dampak negatif pertanian terhadap lingkungan.

Menurunnya kemampuan ekosistem penghasil air dan Kebijakan izin industri dan pertambangan,
tata air di Kab. Bogor, Kab. Purwakarta, Kab. Cianjur, AMDAL dan ambang batas emisi
Kab. Kuningan, Kab. Sumedang.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
93

Tabel 2.17 Analisis DPSIR ecoregion Perbukitan Struktural Jonggol Sumedang Cilacap

j. Perbukitan Struktural Ujungkulon-Cikepuh-Sancang


Perbukitan struktural Ujungkulon, Cikepuh dan Sancang meliputi wilayah
administratif Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang, Cianjur, Sukabumi,
Bandung, Garut dan Tasikmalaya. Terdapat beberapa masyarakat adat yang
menempati wilayah perbukitan structural ini, seperti Kampung Naga di
Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, dan Kasepuhan Ciptagelar di
Sukabumi. Perlindungan budaya masyarakat ini akan membantu pengelolaan
lingkungan hidup di dalam kawasan. Meskipun pertumbuhan populasi di
wilayah ini dapat dikatakan rendah, aktivitas ekonomi ekstraktif berupa
penambangan berbagai bahan galian merupakan ancaman tersendiri bagi
penyediaan jasa ekosistem berupa tata kelola siklus air dan hara tanah, tata
cuaca/iklim, penyediaan air bersih untuk wilayah sekitar, dan tingkat
keanekaragaman hayati.
Secara spesifik, Izin penambangan emas terkonsentrasi di Kabupaten
Sukabumi, Cianjur dan Garut (termasuk yang berada di dalam wilayah Taman
Nasional Gunung Halimun Salak dan bersentuhan dengan masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar), sementara penambangan besi terpusat di Kabupaten
Sukabumi dan Garut, penambangan tembaga dan batubara di Kabupaten
Garut, serta penambangan pasir di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut dan
Tasik.
Penambangan pasir dan besi berpotensi mengurangi ketersediaan air
bersih dan juga meningkatkan resiko bencana di pantai selatan Jawa Barat,
dari kabupaten Cianjur di sisi barat hingga Tasikmalaya di sisi timur. Selain
koordinasi antar wilayah, teknologi konservasi dan pemurnian air, dan
teknologi penambangan ramah lingkungan perlu didorong sebagai solusi-
solusi dari isu-isu strategis di wilayah ekoregion ini.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Proyeksi Aktivitas pertanian di Kab. Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya dukung
pertumbuhan Sukabumi (19.452,32 Ha) untuk pertanian di Kab. air di Kab. Sukabumi,
penduduk di kota untuk kota Sukabumi; Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bandung, Kab.
Bandung, Cimahi, Kab. Garut, dan Kab. Garut, dan Kab.
Sukabumi, dan Aktivitas pertanian di Kab. Tasikmalaya Tasikmalaya

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
94

Tasikmalaya (2025) Bandung (233,73 Ha) dan Pelepasan pupuk kimia


Penurunan kualitas
Kab. Garut (19.361,94 berlebih dan pestisida ke
tanah dan kualitas air di
Ha) untuk kota Bandung badan air dan tanah di
Kab. Sukabumi, Kab.
dan kota Cimahi; Kab. Sukabumi, Kab.
Bandung, Kab. Garut,
Bandung, Kab. Garut, dan
dan Kab. Tasikmalaya
Aktivitas pertanian di Kab. Kab. Tasikmalaya
Tasikmalaya (3.813,67 Pelepasan gas methana Penurunan kualitas
Ha) untuk kota ke udara di Kab. udara di Kab. Sukabumi,
Tasikmalaya Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bandung, Kab.
Kab. Garut, dan Kab. Garut, dan Kab.
Tasikmalaya Tasikmalaya
Pemanfaatan air di Kab. Penurunan daya dukung
Pertumbuhan kota
Bandung, Kab. Cianjur air di Kab. Bandung,
Bandung, Cimahi,
dan Kab. Bandung Barat Kab. Bandung Barat,
Sukabumi dan
untuk kota Bandung dan Kab. Cianjur
Tasikmalaya
kota Cimahi
Penambangan Tanah Liat
di Kab. Bandung Barat,
Kab. Garut, Kab. Peningkatan resiko
Sukabumi, Kab. bencana longsor dan
Tasikmalaya erosi tanah di Kab.
Penambangan emas di Sukabumi, Kab. Garut,
Kab. Cianjur, Kab. Garut, Kab. Bandung Barat,
Kab. Sukabumi Pelepasan sedimen dan Kab. Tasikmalaya, Kab.
Penambangan galena di pencemar ke badan Cianjur
Kab. Cianjur, Kab. Garut, perairan serta pembukaan
Kab. Sukabumi lahan ternaungi
Aktivitas ekonomi di Penambangan batubara Penurunan kualitas air di
wilayah ekoregion di Kab. Garut Kab. Sukabumi, Kab.
Penambangan tembaga Garut, Kab. Bandung
di Kab. Garut Barat, Kab.
Penambangan besi di Tasikmalaya, Kab.
Kab. Garut dan Kab. Cianjur
Sukabumi
Pengambilan pasir di Peningkatan resiko
Penambangan pasir di kawasan pesisir Kab. bencana longsor dan
Kab. Cianjur, Kab. Garut, Cianjur, Kab. Garut, Kab. erosi tanah di Kab.
Kab. Sukabumi, Kab. Sukabumi, Kab. Sukabumi, Kab. Garut,
Tasikmalaya Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya, Kab.
Cianjur

Impacts Responses

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
95

Menurunnya kemampuan ekosistem penghasil air, Pembatasan pembangunan di zona-zona


tata air akibat kegiatan pertanian pertambangan dan perlindungan dan pemanfaatan terbatas melalui
pertumbuhan penduduk di Kab. Sukabumi, Kab. kebijakan tata ruang dan perijinan lingkungan untuk
Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Bandung Barat, Kab. kegiatan industry.
Garut, Kab. Tasikmalaya.
Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
Peningkatan resiko bencana longsor Kab. Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
Sukabumi, Kab. Garut, Kab. Bandung Barat, Kab. pertanian terhadap lingkungan.
Tasikmalaya, Kab. Cianjur.
Penerapan konsep kota yang tangguh dan
Ancaman terhadap masyarakat adat Kasepuhan berkelanjutan.
Ciptagelar yang bersentuhan dengan kawasan
pertambangan emas di Kab. Sukabumi dan Penerapan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan
masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya lokal.
seiring pertumbuhan penduduk dan alih fungsi
lahan.
Tabel.2.18 merupakan analisis DPSIR untuk ekoregion Perbukitan
Struktural Ujungkulon-Cikepuh-Sancang.

Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya dukung
Aktivitas pertanian di Kab.
untuk pertanian di Kab. air di Kab. Sukabumi,
Sukabumi (19.452,32 Ha)
Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bandung, Kab.
untuk kota Sukabumi;
Kab. Garut, dan Kab. Garut, dan Kab.
Tasikmalaya Tasikmalaya
Aktivitas pertanian di Kab.
Bandung (233,73 Ha) dan Pelepasan pupuk kimia
Penurunan kualitas
Kab. Garut (19.361,94 berlebih dan pestisida ke
Proyeksi tanah dan kualitas air di
Ha) untuk kota Bandung badan air dan tanah di
Kab. Sukabumi, Kab.
pertumbuhan dan kota Cimahi; Kab. Sukabumi, Kab.
Bandung, Kab. Garut,
penduduk di kota Bandung, Kab. Garut, dan
dan Kab. Tasikmalaya
Bandung, Cimahi, Aktivitas pertanian di Kab. Kab. Tasikmalaya
Sukabumi, dan Tasikmalaya (3.813,67 Pelepasan gas methana Penurunan kualitas
Tasikmalaya (2025) Ha) untuk kota ke udara di Kab. udara di Kab. Sukabumi,
Tasikmalaya Sukabumi, Kab. Bandung, Kab. Bandung, Kab.
Kab. Garut, dan Kab. Garut, dan Kab.
Tasikmalaya Tasikmalaya
Pemanfaatan air di Kab. Penurunan daya dukung
Pertumbuhan kota
Bandung, Kab. Cianjur air di Kab. Bandung,
Bandung, Cimahi,
dan Kab. Bandung Barat Kab. Bandung Barat,
Sukabumi dan
untuk kota Bandung dan Kab. Cianjur
Tasikmalaya
kota Cimahi
Penambangan Tanah Liat
di Kab. Bandung Barat,
Kab. Garut, Kab. Peningkatan resiko
Sukabumi, Kab. bencana longsor dan
Tasikmalaya erosi tanah di Kab.
Penambangan emas di Pelepasan sedimen dan Sukabumi, Kab. Garut,
Aktivitas ekonomi di Kab. Cianjur, Kab. Garut, pencemar ke badan Kab. Bandung Barat,
wilayah ekoregion Kab. Sukabumi perairan serta pembukaan Kab. Tasikmalaya, Kab.
Penambangan galena di lahan ternaungi Cianjur
Kab. Cianjur, Kab. Garut,
Kab. Sukabumi
Penambangan batubara Penurunan kualitas air di
di Kab. Garut Kab. Sukabumi, Kab.
Penambangan tembaga Garut, Kab. Bandung

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
96

di Kab. Garut Barat, Kab.


Penambangan besi di Tasikmalaya, Kab.
Kab. Garut dan Kab. Cianjur
Sukabumi
Pengambilan pasir di Peningkatan resiko
Penambangan pasir di kawasan pesisir Kab. bencana longsor dan
Kab. Cianjur, Kab. Garut, Cianjur, Kab. Garut, Kab. erosi tanah di Kab.
Kab. Sukabumi, Kab. Sukabumi, Kab. Sukabumi, Kab. Garut,
Tasikmalaya Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya, Kab.
Cianjur

Impacts Responses
Menurunnya kemampuan ekosistem penghasil air, Pembatasan pembangunan di zona-zona
tata air akibat kegiatan pertanian pertambangan dan perlindungan dan pemanfaatan terbatas melalui
pertumbuhan penduduk di Kab. Sukabumi, Kab. kebijakan tata ruang dan perijinan lingkungan untuk
Bandung, Kab. Cianjur, Kab. Bandung Barat, Kab. kegiatan industry.
Garut, Kab. Tasikmalaya.
Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
Peningkatan resiko bencana longsor Kab. Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
Sukabumi, Kab. Garut, Kab. Bandung Barat, Kab. pertanian terhadap lingkungan.
Tasikmalaya, Kab. Cianjur.
Penerapan konsep kota yang tangguh dan
Ancaman terhadap masyarakat adat Kasepuhan berkelanjutan.
Ciptagelar yang bersentuhan dengan kawasan
pertambangan emas di Kab. Sukabumi dan Penerapan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan
masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya lokal.
seiring pertumbuhan penduduk dan alih fungsi
lahan.
Tabel 2.18. Analisis DPSIR ekoregion Perbukitan Struktural Ujungkulon-Cikepuh-Sancang

k. Perbukitan Karst Tasikmalaya


Perbukitan karst Tasikmalaya mencakup wilayah administratif yang
sempit, terbatas di dua kabupaten di bagian tenggara Jawa Barat, yaitu
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Pangandaran. Meskipun demikian,
peran penting ekosistem karst di dalam tata air dan penyediaan air bersih
perlu diperhatikan.
Terdapat dua bentuk ancaman terhadap ekoregion ini, yaitu proyeksi
pertumbuhan populasi yang tinggi di kota Tasikmalaya di tahun 2035 (serta
peningkatan aktivitas pertanian di sekitarnya sebagai dampak tekanan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
97

penduduk) dan penambangan pasir di Kabupaten Pangandaran yang dapat


meningkatkan resiko bencana longsor dan menurunkan jasa ekosistem
penyediaan air bersih. Di sisi lain, Kabupaten Tasikmalaya memiliki peluang
dalam pengembangan ekowisata dan ekonomi kreatif di wilayahnya. Tabel
2.19 merupakan analisis DPSIR untuk ekoregion Perbukitan Karst
Tasikmalaya.

Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pemanfaatan air berlebih Penurunan daya
untuk pertanian di Kab. dukung air di Kab.
Tasikmalaya dan Kab. Tasikmalaya dan Kab.
Pangandaran Pangandaran
Aktivitas pertanian di Kab.
Pelepasan pupuk kimia
Tasikmalaya (3.347,99 Penurunan kualitas air
berlebih dan pestisida ke
Ha) dan Kab. di Kab. Tasikamalaya
badan air dan tanah di
Pangandaran (1.109,5 dan Kab.
Kab. Tasikmalaya dan
Ha) untuk kota Pangandaran
Kab. Pangandaran
Tasikmalaya
Proyeksi Pelepasan gas methana Penurunan kualitas
ke udara di Kab. udara di Kab.
pertumbuhan
Tasikmalaya dan Kab. Tasikamalaya dan
penduduk di kota Pangandaran Kab. Pangandaran
Tasikmalaya (2025) Pelepasan emisi dan gas Penurunan kualitas
rumah kaca ke udara di udara di Kota
Kota Tasikmalaya Tasikmalaya
Pelepasan pencemar ke Penurunan kualitas air
Pertumbuhan Kota badan air di Kota di Kota Tasikmalaya
Tasikmalaya Tasikmalaya
Timbulan sampah pada Penurunan kualitas air
2045 di Kota Tasikmalaya di Kota Tasikmalaya
diprediksi mencapai
63.817.513 liter/tahun
Pengambilan pasir Peningkatan resiko
Penambangan pasir di bencana longsor dan
Aktivitas ekonomi di
Kab. Pangandaran dan erosi tanah di Kab.
wilayah ekoregion Kab. Tasikamalaya Pangandaran dan Ka.
Tasikmalaya
Impacts Responses
Berkurangnya kemampuan ekosistem yan berfungsi Penerapan kebijakan pertanian Good Agricultural
sebagai pengatur tata air akibat aktivitas pertanian Practices (GAP) untuk mengurangi dampak negatif
dan penambangan pasir di Kab. Tasikmalaya dan pertanian terhadap lingkungan.
Kab. Pangandaran.
Penegakkan ijin lingkungan (KLHS dan AMDAL)
Peningkatan resiko kekeringan di Kab. Tasikmalaya untuk kegiatan pertambangan di wilayah Karst.
dan Kab. Pangandaran

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
98

Penerapan tata kota yang tangguh dan


Peningkatan resiko bencana longsor dan erosi tanah berkelanjutan.
di Kab. Pangandaran dan Kab. Tasikmalaya.

Tabel 2.19. Analisis DPSIR ekoregion Perbukitan Karst Tasikmalaya

l. Laut Jawa
Ekoregion laut jawa memperoleh tekanan yang tinggi sebagai dampak
dari pertumbuhan penduduk yang tinggi di Dataran Fluvial Cilegon
Indramayu Pekalongan dan Dataran Vulkanik Serang-Tangerang-Depok.
Aktivitas perkotaan melepaskan emisi dan sampah ke badan air yang akan
mengalir ke Laut Jawa, serta kegiatan wisata di pesisir pantai utara yang
juga berdampak pada peningkatan limbah yang dilepas ke Laut Jawa.
Dampak dari limbah ini adalah kerusakan ekosistem terumbu karang dan
laut dangkal, serta biomagnifikasi pencemar di dalam tubuh ikan tangkap,
yang dapat berdampak ke kesehatan masyarakat. Aktivitas pertanian dan
pembukaan lahan di hulu sungai Cimanuk meningkatkan laju sedimentasi di
daerah muara (pesisir pantai Indramayu dan Cirebon). Sedimentasi ini,
apabila dimanfaatkan sebagai kawasan perikanan budidaya (tambak), dapat
meningkatkan tingkat pencemaran di ekosistem laut Jawa. Intervensi
pemerintah terutama dapat dilakukan melalui pembatasan penggunaan air
untuk industri, penetapan kawasan lindung hutan mangrove di pesisir pantai
utara, serta proteksi terhadap lahan-lahan baru akibat akresi dan sedimentasi
dari pemanfaatan oleh masyarakat. Analisis DPSIR ekoregion Laut Jawa
dapat dilihat pada Tabel 2.20.
Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Emisi limbah dan sampah Kerusakan ekosistem
Pertumbuhan penduduk ke badan air dan pesisir laut dangkal dan
Proyeksi di Dataran Fluvial pesisir di Kab. Bekasi,
pertumbuhan Cilegon Indramayu- Kab. Karawang, Kab.
penduduk di Dataran Pekalongan (Kab. Bekasi, Subang, Kab.
Fluvial Cilegon Kab. Karawang, Kab. Indramayu, Kab.
Subang, Kab. Indramayu, Cirebon dan Kota
Indramayu
serta Kab. dan Kota Cirebon
Pekalongan (2025)
Cirebon)

Pembukaan lahan baru Degradasi hutan


dan alih fungsi lahan bakau di Kab.
Aktivitas perikanan
Aktivitas ekonomi budidaya dan pariwisata
hutan mangrove Indramayu (1km
panjang pantai), Kab.
Subang (6.000

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
99

tanaman), Kab.
Karawang (1.000 ha),
dan Kab. Bekasi (64%
dari total hutan bakau
wilayahnya)
Abrasi dan sedimentasi Abrasi terjadi pada
Kab. Indramayu (400-
500m/tahun), Kab.
Subang (5km/tahun),
dan Kab. Karawang
(2mil/tahun).
Sementara itu,
sedimentasi terjadi di
Kab. Indramayu (5-
7km sepanjang garis
pantai), Kab. Subang
(5km), dan Kab.
Karawang (300m)
Pencemaran pantai Penurunan kualitas air
dan lingkungan hidup,
degradasi habitat
mangrove (61% rusak)
dan ekosistem
terumbu karang (44%
ekosistem terumbu
karang rusak)
Impacts Responses
Penurunan daya dukung air, penurunan kualitas Kebijakan izin pengambilan air tanah.
lingkungan hidup.
Penetapan dan implementasi proteksi kawasan
Peningkatan resiko bencana pesisir (banjir rob di lindung hutan mangrove;
wilayah pesisir utara Jawa Barat).
Pembatasan aktivitas perikanan tambak; proteksi
terhadap lahan-lahan baru dari sedimentasi dan
akresi.

Tabel 2.20. Analisis DPSIR ekoregion Laut Jawa

m. Samudera Hindia
Berbeda dengan Laut Jawa, tekanan terhadap ecoregion Samudera
Hindia terutama diakibatkan oleh aktivitas perekonomian di pesisir pantai
selatan, termasuk penambangan pasir laut di Kabupaten Cianjut, Garut,
Tasikmalaya dan Pangandaran, serta aktivitas wisata yang meningkatkan
emisi dan kerusakan ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan
mangrove. Hal ini dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana
tsunami di pantai selatan. Upaya perlindungan ekoregion ini dapat dilakukan
melalui pembatasan izin penambangan pasir dan penetapan kawasan-
kawasan lindung dan konservasi laut di beberapa titik ekosistem terumbu
karang/padang lamun yang masih tersisa. Analisis DPSIR ekoregion
Samudera Hindia dapat dilihat pada Tabel 2.21.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
100

Driving Forces
Pressures State
Underlying Causes Activities
Pencemaran pantai Penurunan
kualitas air dan
lingkungan hidup,
Pariwisata berbasis kerusakan
Aktivitas ekonomi laut di Kab. terumbu karang
Pangandaran dan padang lamun
(35% padang
lamun rusak),
sedimentasi

Impacts Responses
Penurunan daya dukung air, penurunan Penetapan dan implementasi proteksi
kualitas lingkungan hidup. kawasan lindung untuk padang lamun dan
terumbu karang; proteksi terhadap lahan-lahan
baru dari sedimentasi dan akresi.
Tabel 2.21. Analisis DPSIR ekoregion Samudera Hindia

10. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan RPPLH Provinsi Jawa Barat


Pertumbuhan dan pertambahan penduduk merupakan salah satu aspek
yang paling berpengaruh terhadap lingkungan hidup, secara otomatis,
kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan mengalami
penurunan apabila perumbuhan dan pertambahan penduduk tidak
memperhatikan kemampuan lingkungan hidup. Oleh karenanya diperlukan
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan
prediksi aspek – aspek yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
RPPLH menyusun perencanaan yang memuat program – program
berdasarkan prediksi yang akan terjadi di kemudian hari. Perencanaan tersebut
berupa skenario yang direncanakan dapat dilaksanakan secara bertahap,
apabila skenario tersebut dapat terlaksana melalui diberlakukannya Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH, maka skenario tersebut telah
diukur capaian keberhasilannya. Skenario yang termuat dalam Peraturan
Daerah provinsi Jawa Barat tentang RPPLH yakni:

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
101

a. Skenario 10 tahun pertama: ditujukan untuk sinkronisasi perencanaan


pembangunan dengan pelestarian dan perbaikan kualitas lingkungan pada
daerah-daerah dan DAS-DAS prioritas.
Fokus Program prioritas:
1) Penyelesaian RPPLH di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
2) Sinkronisasi RPPLH dengan RTRW di seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat.
3) Penyusunan kajian kerentanan iklim di seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat.
4) Penyusunan Rencana Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di
seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.
5) Integrasi kajian kerentanan iklim kedalam RTRW dan RPJMD di seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
6) Integrasi rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kedalam
RTRW dan RPJMD di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
7) Pembenahan sistem penganggaran lingkungan hidup.
8) Pembenahan tata kelola perijinan lingkungan hidup.
9) Pemulihan lahan kritis di kawasan dengan indeks jasa ekosistem
pengatur tata air tinggi.
10) Perbaikan alur dan fisik sungai pada DAS-DAS yang melalui dan
bermuara di perkotaan rawan banjir.
11) Perbaikan infrastruktur penampung air hujan dan/atau air permukaan.
12) Penerapan instrument ekonomi.
13) Perlindungan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi.

b. Skenario 10 tahun kedua: ditujukan untuk peningkatan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup melalui perbaikan lingkungan dan pengembangan
teknologi.
Fokus Program prioritas:
1) Peningkatan kualitas tutupan lahan pada kawasan yang memiliki indeks jasa
ekosistem pengatur tata air tinggi.
2) Perbaikan pemanfaatan ruang melalui penegakan hukum dan pengawasan.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
102

3) Reviitalisasi bantaran sungai di perkotaan dan daerah padat penduduk.


4) Peningkatan pengawasan dan perbaikan sistem pengelolaan limbah industry.
5) Penerapan konsep green city pada kota-kota metropolitan dan kota tangguh
pada kota-kota rawan bencana.
6) Pengembangan potensi ekonomi jasa lingkungan sebagai aspek utama
pemanfaatan lingkungan hidup.
7) Pengurangan konsumsi bahan bakar fosil pada alat transportasi umum.
8) Pengurangan penggunaan bahan tidak ramah lingkungan di rumah tangga
dan pertanian.
9) Pengembangan teknologi ramah lingkungan yang mampu mengurangi
konsumsi energy.
10) Perlindungan spesies flora dan fauna kunci yang berperan penting dalam
ekosistem.
c. Skenario 10 tahun ketiga: ditujukan untuk peningkatan ketahanan lingkungan
hidup dari tekanan pembangunan dan perubahan iklim.
Fokus Program prioritas:
1) Mempertahankan kondisi tutupan lahan pada kawasan yang memiliki indeks
jasa ekosistem pengatur tata air tinggi.
2) Pengembangan teknologi pengolahan air bersih dari air bekas pakai.
3) Melanjutkan penerapan konsep green city pada seluruh daerah permukiman.
4) Peningkatan pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan.
5) Pengembangan sumber-sumber pangan baru.

F. Teori Peraturan Perundang-undangan


Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar adalah bentuk peraturan
perundang-undangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi
semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
103

Berkaitan dengan istilah “peraturan perundang-undangan”, A. Hamid S.


Attamimi menyebutkan29:
“Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan
peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa
undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusi
ataupun delegasi undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan
perundang-undangan, maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di
negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah daripadanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang
berisi Peraturan/Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berisi peraturan, Keputusan
Direktur Jenderal Kementerian yang dibentuk dengan undang-undang yang
berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala
Daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah
Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II, dan Keputusan Bupati/Walikota Kepala
Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah
Tingkat II”.
Penyebutan istilah “keputusan yang berisi peraturan” harus dibaca sebagai
“peraturan” yang berlaku saat ini, mengingat pada saat A. Hamid S. Attamimi
menulis makalah (1992), dikenal bentuk produk hukum “keputusan yang berisi
penetapan” (beschikking) dan “keputusan yang berisi peraturan” (regeling). Oleh
karena itu, “keputusan yang berisi peraturan” tidak termasuk bagian dari
perbuatan keputusan (beschikkingdaad van de administratie), tetapi termasuk
perbuatan di bidang pembuatan peraturan (regelen daad van de administratie).
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa
peraturan perundang-undangan meliputi Undang-Undang Dasar 1945,
Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi

29
A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Kebijakan, Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46, Jakarta, 1992, hlm.3

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
104

dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Disini terlihat bahwa Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011 mengadopsi Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law)
atau Stufenbau Theory dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1)
Bersifat umum dan komprehensif; (2) Bersifat universal dan dibuat untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk
konkretnya; dan (3) Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki
dirinya sendiri. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak,
karena tidak hanya berlaku pada waktu tertentu, tempat tertentu, orang tertentu,
dan fakta hukum tertentu30.
Di dalam negara kesejahteraan, tugas pemerintah (daerah) tidak hanya
terbatas untuk melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga
legislatif. Dalam perspektif welfare state, pemerintah daerah dibebani kewajiban
untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau mengupayakan
kesejahteraan rakyat, dan dalam menyelenggarakan kewajiban itu pemerintah
daerah diberi kewenangan untuk melakukan campur tangan dalam kehidupan
masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Oleh karena
itu, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-
undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut,
terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu 31:
1. Syarat material, meliputi :
a. Harus dibuat oleh organ atau badan/pejabat yang berwenang
membuatnya (bevoegd);
b. Tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorming) seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang), suap
(omkoping) atau kesesatan (dwaling);

30
Disarikan dari Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 74-75. Pendapat yang dikutip adalah penjelasan de Commissie
Wetgevings-Vraagstukken dan pendapat J.B.J.M. Ten Berge serta Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,
1996, hlm. 83-84

31
Disarikan dari Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi
Negara, Alumni, Bandung, Cet. Ketiga, 1981, hlm. 48-51; SF. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif
di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 132-135; E. Utrecht, Pengantar Hukum …, Op. Cit, hlm. 79

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
105

c. Harus berdasarkan keadaan tertentu;


d. Isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya
(doelmatig);
e. Harus dapat dilaksanakan dan tidak melanggar peraturan-peraturan lain.
2. Syarat formal, meliputi :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan cara dibuatnya keputusan;
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan;
c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan;
d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuat dan diumumkannya keputusan.
Disamping itu terdapat asas-asas di dalam peraturan perundang-
undangan, yaitu :
a. Asas hierarkhi, yaitu suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi :
1) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
derajatnya (lex superior derogat lex inferior).
2) peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau
ditambah oleh atau dengan peraturan perundang-undangan yang
sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
3) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) materi muatan yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
b. Hak menguji peraturan perundang-undangan :

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
106

1) Hak menguji secara materiil, yaitu menguji materi atau isi peraturan
perundang-undangan, apakah sesuai atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
2) Hak menguji secara formal, yaitu menguji apakah semua formalitas
atau tata cara pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
sudah dipenuhi.
3) Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-
undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
4) Undang-undang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif).
5) Undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang
lama (lex posterior derogat lex priori).

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus merupakan


implementasi dari politik hukum dalam pembentukan sistem hukum dan
penegakannya, antara lain32: (1) Ada satu kesatuan sistem hukum nasional;
(2) Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945; (3) Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak
istimewa kepada warganegara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama;
(4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat; (5)
Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya, diakui sebagai subsistem
hukum nasional, sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam
pergaulan masyarakat; (6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan
pada partisipasi masyarakat; dan (7) Hukum dibentuk dan ditegakkan demi
kesejahteraan umum atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat, terwujudnya
masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri, serta terlaksananya
negara hukum yang berkonstitusi.

32
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional dalam Mieke Komar dkk, 1999, hlm. 226-228 dan Bagir Manan, Politik
Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Daerah, dalam Martin H. Hutabarat dkk,
1996, serta Bagir Manan, Hukum dan Politik Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 140-154

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
107

Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah


daerah sebagai sumber hukum formal adalah semua produk hukum yang
mengikat langsung seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Keseluruhan aturan hukum yang tercakup di dalam undang-undang dalam
arti materil disebut peraturan perundang-undangan atau regeling, yang
tersusun dalam satu hierarkhi atau tata urutan yang menunjukkan derajat
atau kedudukan peraturan perundang-undangan. Montesquieu menganggap
bahwa peraturan perundang-undangan merupakan perwujudan akal sehat
manusia (’la raison humaine) dan sebagai alat pelaksanaan nalar manusia
(’als ein anordenungsfall dieser raison humain’), karena salah satu peran
penting dari peraturan perundang-undangan adalah menciptakan kebijakan
untuk membimbing perilaku masyarakat dan penyelenggara negara agar
sesuai dan sejalan dengan apa yang diharapkan. Dengan lahirnya suatu
peraturan perundang-undangan dalam tatanan kehidupan sosial, maka
peraturan perundang-undangan tersebut diasumsikan telah mengemban
fungsi ekspresif, yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya
dan keadilan. Disamping itu, mengemban pula fungsi instrumental, yaitu
sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan
prediktabilitas, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat, dan sarana
pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengarahkan
perubahan masyarakat)33.
Sementara itu, H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt mengemukakan
kualifikasi norma hukum, yaitu34:
a. Umum-abstrak : peraturan umum, contohnya peraturan perundang-
undangan lalulintas jalan 1990 (suatu Peraturan Pemerintah), peraturan
bangunan;
b. Umum-konkret : keputusan tentang larangan parkir pada jalan tertentu,
pernyataan tidak dapat didiaminya suatu rumah;

33
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
189
34
Dikutip dari Ridwan HR, hlm. 97-98

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
108

c. Individual-abstrak : izin yang disertai syarat-syarat yang bersifat mengatur


dan abstrak serta berlaku secara permanen, contohnya izin berdasarkan
undang-undang pengelolaan lingkungan;
d. Individual-konkret : surat ketetapan pajak, pemberian subsidi untuk suatu
kegiatan, keputusan mengenai pelaksanaan paksaan pemerintah.
Penggolongan sifat norma hukum yang paling umum menurut J.J.H.
Bruggink yaitu35: (1) Perintah (gebod), yaitu kewajiban umum untuk
melakukan sesuatu; (2) Larangan (verbod), yaitu kewajiban umum untuk
tidak melakukan sesuatu; (3) Pembebasan (vrijstelling), yaitu pembolehan
khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan; dan
(4) Izin (toestemming), yaitu pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu
yang secara umum dilarang.
Kendatipun peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai
instrumen untuk mengimplementasikan tugas dan wewenang pemerintah
daerah yang ditujukan pada pencapaian kesejahteraan rakyat, namun
seringkali peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai alat untuk
melakukan perbuatan atau tindakan penyalahgunaan wewenang.
Hal ini menjadi titik rawan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, disamping terjadinya permasalahan klasik yaitu disharmonisasi,
inkonsistensi dan disorientasi peraturan perundang-undangan.
Disharmonisasi biasanya terjadi antara peraturan perundang-undangan di
pusat, provinsi dan kabupaten/kota; sedangkan inkonsistensi biasanya terjadi
antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan pelaksanaannya.
Dalam beberapa kasus, inkonsistensi bahkan terjadi antar rumusan pasal
dalam satu peraturan perundang-undangan; disorientasi biasanya berupa
pembiasan dari maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pembentukan regulasi daerah.
Ada beberapa ukuran dasar agar peraturan perundang-undangan
dinyatakan baik. Baik disini dimaksudkan bahwa penaatan terhadap

10
J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties Grandbegrippen uit de Rechtstheori (Refleksi tentang
Hukum), terj. B. Arief Sidharta, 1996, hlm. 100

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
109

peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan secara spontan (sadar)


bukan karena ada paksaan. Paling tidak ada 4 (empat) dasar agar peraturan
perundang-undangan dinyatakan baik, yaitu menyangkut dasar filosofis,
dasar sosiologis, dasar yuridis, dan menyangkut teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Apabila perancang peraturan perundang-
undangan dalam menyusun peraturan perundang-undangan memperhatikan
dasar-dasar di atas, maka kaidah-kaidah yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan tersebut sah secara hukum dan berlaku secara efektif
karena dapat diterima secara wajar oleh masyarakat, dan kemungkinan
dapat berlaku untuk jangka waktu yang panjang. Dasar Filosofis terkait
dengan apa yang diharapkan dari peraturan perundang-undangan, misalnya
untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan sebagainya. Dasar
filosofis biasanya menyangkut masalah cita hukum (rechtsidee), yang
tumbuh dari sistem nilai dalam masyarakat mengenai baik dan buruk,
hubungan individual dan kemasyarakatan, kebendaan, kedudukan wanita,
dan sebagainya. Dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah
Pancasila, oleh karena itu setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan seharusnya memperhatikan secara sunguh-sungguh cita hukum
atau nilai yang terkandung dalam Pancasila. Selanjutnya, dasar Sosiologis
yang terkait dengan kondisi atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Kenyataan yang hidup dalam masyarakat dapat berupa kebutuhan, tuntutan
atau masalah yang dihadapi. Dengan memperhatikan dasar sosiologis
diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima dan
ditaati oleh masyarakat secara wajar, tanpa ada paksaan. Peraturan
perundang-undangan yang diterima dan ditaati secara wajar akan
mempunyai daya laku yang lebih efektif, karena tidak diperlukan daya paksa
dan alat pemaksa. Berikutnya adalah dasar Yuridis. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan terkait dengan dasar yuridis, yaitu Pertama, keharusan
adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Artinya,
setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat
yang berwenang. Apabila suatu peraturan perundang-undangan dibuat oleh
badan atau pejabat yang tidak berwenang, maka peraturan perundang-

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
110

undangan tersebut batal demi hukum. Sebagai konsekuensi hukumnya,


peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak pernah ada dan
segala akibatnya batal secara hukum. Kedua, keharusan adanya kesesuaian
antara bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang
diatur. Ketidaksesuaian antara jenis dan materi ini dapat menjadi alasan
untuk dibatalkannya peraturan perundang-undangan tersebut. Ketiga,
keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila tata cara atau
prosedur tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan tersebut
mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 36
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 disebutkan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan”.

Sedangkan definisi Perda, dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 dan 8


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, disebutkan bahwa Perda terdiri dari:
a. Perda Provinsi, yaitu Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur; dan
b. Perda Kabupaten/Kota, yaitu Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Kedudukan Perda Kabupaten/Kota dalam hierarki (tata urutan) peraturan
perundang-undangan, berada pada urutan terbawah. Hal tersebut tercantum
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,

36
Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Mendukung Pembangunan Nasional,
Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas Tahun 2005 hlm 19-20.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
111

yang mengatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan,


terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan (Tap) MPR;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Perda Provinsi; dan
g. Perda Kabupaten/Kota.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa :
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda
dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sementara itu Sjachran Basah37, mengemukakan, bahwa memerintah
negara berdasarkan sendi teritorial pada hakekatnya mengenai hak setiap
penguasa (Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah) terhadap suatu daerah
tertentu yang menyangkut kewenangan secara umum atas "regeling" dan
"bestuur". Kewenangan secara umum atas "regeling" dan "bestuur" untuk

37
Sjahran Basah, “Tiga Tulisan Tentang Hukum”, Armico, Bandung, 1986, hlm.29.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
112

dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kemudian Sjachran


Basah juga mengatakan bahwa setiap kebijakan pelayanan publik (termasuk
Perda) harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral dan secara
hukum. Pertanggungjawaban secara moral langsung kepada Tuhan YME
dan pertanggungjawaban secara hukum; batas atasnya adalah tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi dan batas bawahnya tidak boleh
melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pendapat ini dikenal dengan
teori “Pertanggung Jawaban Hukum Batas Atas dan Batas Bawah”.
Pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk Perda)
diawali dengan perencanaan, yang dalam hal ini diawali dengan penyusunan
naskah akademik. Sebelum menyusun suatu naskah akademik Perda, maka
sebelumnya sangat perlu dilakukan pengkajian atau penelitian hukum guna
memperoleh data dan informasi yang komprehensif dan relevan dengan
materi yang hendak diatur. Dalam kaitan ini keberadaan Naskah Akademik
memiliki nilai yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, karena penyusunan Naskah
Akademik diawali dengan riset nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga
besar kemungkinan peraturan perundang-undangan yang dibuat
berdasarkan Naskah Akademik akan diterima oleh masyarakat karena
peraturan yang dibuat bersifat responsif. Naskah akademik merupakan
media nyata bagi peran serta masyarakat dalam proses pembentukan atau
penyusunan peraturan perundang-undangan bahkan inisiatif penyusunan
atau pembentukan naskah akademik dapat berasal dari masyarakat. Naskah
akademik akan memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang
masalah atau urusan sehingga hal yang mendorong disusunnya suatu
masalah atau urusan sehingga sangat penting dan mendesak diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan
adalah aspek ideologis, politis, budaya, sosial, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan. Naskah Akademik merupakan media konkrit bagi peran serta
msyarakat secara aktif dalam pembentukan Perda. Dengan terlibatnya

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
113

masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan Perda, maka aspirasi-


aspirasi masyarakat akan lebih terakomodasi. 38
Efektivitas pemberlakuan hukum (peraturan perundang-undangan)
yang dalam hal ini Perda, sangat terkait dengan dasar filosofis, sosiologis,
dan dasar yuridis sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Menurut Soerjono Soekanto, berbicara mengenai negara hukum,
maka tidak terlepas dari kaidah hukum yang terkandung didalamnya. Agar
kaidah hukum dapat berlaku secara efektif maka harus memenuhi syarat
berlaku yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis.
Apabila hanya dilihat dari salah satu sudut saja maka akan menimbulkan
masalah-masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi berfungsinya kaidah
hukum dalam masyarakat ada empat, yaitu kaidah hukum (peraturan),
petugas/penegak hukum, fasilitas, dan masyarakat.39
Suatu perundang-undangan (termasuk Perda) dikatakan mempunyai
landasan sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar
perundang-undangan (Perda) yang dibuat di taati oleh masyarakat, tidak
menjadi huruf-huruf mati belaka40. Oleh karena itu, Perda yang dibuat harus
sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat atau hukum yang hidup (living
law) di tempat Perda diterapkan.

Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan


seketika (moment opname)41. Dinamika kehidupan masyarakat terus
berubah, nilai-nilai pun terus berubah, untuk itulah kecenderungan dan
harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan diakomodasikan dalam
Perda yang berorientasi pada masa depan.

38 Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta, 2009,
hlm. 151
39 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta 1982 hlm. 9.
40 Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit Bina Aksara,
hlm. 92,
41 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta, 1992.hlm 15.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
114

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang


menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek dan landasan sosiologis, sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk adalah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Adapun landasan yuridis adalah landasan hukum (juridische gelding)
yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembentukan
Perda. Selain menentukan dasar kewenangan pembentukannya, landasan
hukum juga merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis peraturan
perundang-undangan.42
Sementara itu, menurut Eni Rohyani, 43 kewenangan pemerintah yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan, diperoleh melalui atribusi,
delegasi dan mandat. HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, memberikan
batasan atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat
Undang-Undang kepada organ pemerintah. Atribusi menurut Algemene
Bepalingen van Administratief Recht adalah wewenang dikemukakan bila
undang-undang (dalam arti material) menyerahkan wewenang tertentu
kepada organ tertentu. Dalam pemberian wewenang secara atribusi
pertanggungjawaban mutlak berada pada organ pemerintah penerima
atribusi. Adapun mengenai delegasi, terdapat batasan bahwa delegasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah
kepada pemerintahan lainnya. Philipus M. Hadjon dalam Eni Rohyani
mengemukakan persyaratan pelimpahan wewenang pemerintahan melalui
delegasi, sebagai berikut:
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi

42 Bagir Manan, Ibid. hlm. 16-17


43 Eni Rohyani, “Implikasi Hukum dari Penyalahgunaan Wewenang oleh Pemerintah Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Desertasi) Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung, 2009, hlm. 73.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
115

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.


b. Delegasi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan.
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenakan adanya delegasi.
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut.
e. Peraturan kebijakasanaan (beleidsregel), artinya delegans memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Adapun mandat, HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt memberikan batasan
bahwa yang dimaksud dengan mandat yaitu ketika terjadi ketika organ
pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya. Berkaitan dengan soal tanggungjawab, dalam mandat yang
bertanggungjawab dan harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan
mandat adalah pemberi mandat, sedangkan penerima mandat
bertanggungjawab kepada pemberi mandat.
Saat ini teori-teori tersebut di atas telah dinormatifisasikan dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
116

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Bab evaluasi dan analisis peraturan perundang – undangan merupakan


bab yang mengkaji peraturan perundang – undangan yang telah ada terkait
perlindungan dan pengelolaan hidup, bab 3 mengidentifikasi keterkaitan dan
materi muatan yang telah ada dalam pembentukan rencana – rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal rencana
perlindungan dan pengelolaan telah diatur dalam peraturan perundang –
undangan, maka materi muatan tersebut dapat menjadi aspek pelengkap dan
dapat menghindari terjadinya tumpang tindih peraturan, dalam hal terdapat
materi muatan yang belum diatur, maka hal tersebut dapat menjadi materi
muatan dalam pembentukan peraturan daerah ini.
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya
berkaitan dengan bidang lingkungan hidup, sebagai sebuah ekosistem,
lingkungan hidup berpengaruh sekaligus dipengaruhi oleh beragam aspek
sebagai sebuah kesatuan siklus ekosistem, oleh karenanya membentuk sebuah

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
117

perencanaan perlindungan dan pengelolaan harus melibatkan seluruh aspek


dari berbagai bidang. Bab 3 melakukan kajian dan identifikasi terhadap bidang –
bidang terkait perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana termuat dibawah ini.
A. Peraturan Terkait Lingkungan Hidup
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan
manusia, dengan kata lain tidak terlepas dari kehidupan manusia. Manusia
mencari makan dan minum serta memenuhi kebutuhan lainnya dari
ketersediaan atau sumber-sumber yang diberikan oleh lingkungan hidup
dan kekayaan alam sebagai sumber pertama dan terpenting bagi
pemenuhan berbagai kebutuhannnya. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) telah
menetapkan beberapa ketentuan pokok, terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, serta
kewajiban negara terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu
jenis hak asasi manusia yang wajib mendapatkan perlindungan oleh
negara. Realisasi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk
mewujudkan pemenuhan hak-hak asasi lainnya, khususnya hak untuk
hidup, hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak, hak
kesehatan, dan hak-hak lainnya yang dalam pemenuhannya sangat terkait
dengan kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ketentuan lebih terperinci mengenai lingkungan hidup yang
dirumuskan dalam UUD 1945 terdapat dalam:
a. Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:
”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
b. Pasal 33 yang berbunyi:

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
118

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas


kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, lingkungan hidup yang
baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap
warga negara Indonesia. Lebih lanjut menurut Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945,
maka pembangunan ekonomi nasional yang dilaksanakan, khususnya
melalui upaya pemanfaatan sumber daya alam (selanjutnya disingkat
“SDA”) wajib berlandaskan prinsip pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
Indonesia memiliki kekayaan SDA dan lingkungan yang melimpah.
Pemanfaatan dan pengelolaan SDA menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
adalah modal dasar bagi pembangunan bangsa untuk kemakmuran rakyat,
tak hanya bagi generasi sekarang tetapi juga generasi secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, pemanfaatan SDA wajib dilaksanakan
secara efisien dan efektif sehingga dapat memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Berdasarkan hal tersebut, maka negara, pemerintah, dan seluruh
pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber
dan penunjang hidup bagi kemakmuran rakyat serta makhluk hidup lain.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (selanjutnya disebut “UU KSDAHE”) adalah bentuk proses

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
119

pembenahan terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistem agar dapat
termanfaatkan dengan pengelolaan yang lestari.
Menurut Pasal 2 UU KSDAHE, Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan
pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi
dan seimbang. Pada Pasal 3 UU KSDAHE menyebutkan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya
dalam Pasal 5 UU KSDAHE menyebutkan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Dalam Pasal 38 UU KSDAHE menyebutkan bahwa konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban
pemerintah yang dapat diserahkan kepada pemerintah daerah serta
masyarakat melalui kegiatan yaitu perlindungan sistem penyangga
kehidupan dan pemanfaatan secara lestari. Sedangkan perlindungan sistem
penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan.

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang

Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 41


Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU Kehutanan”)

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
120

adalah upaya dalam pengelolaan dan pemanfaatan. Hutan merupakan salah


satu penentu sistem penyangga kehidupan dan saling terkait dengan
berbagai ekosistem lainnya sehingga upaya pengelolaan dan pemanfaatan
hutan secara bijak dan lestari akan berdampak positif juga bagi ekosistem
lainnya. Keberadaan hutan berkontribusi terhadap keberadaan masyarakat
yang hidup di sekitar kawasan hutan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat.
Pengaturan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus sinergi
terhadap kebutuhan masyarakat dan lingkungan.

4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi


Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut “UU Migas”)
adalah mengenai wewenang pemerintah provinsi dalam mengelola minyak
dan gas bumi. Dalam UU Migas disebutkan pengelolaan minyak dan gas
bumi terdiri dari kegiatan usaha hulu dan hilir yang dapat dilaksanakan
melalui badan usaha milik daerah. Dalam pengelolaan diberikan ketentuan
agar memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah
pertambangan.
Selain itu, pemerintah provinsi bertanggung jawab untuk
mengembangkan lingkungan di wilayah pertambangan agar tidak merusak
lingkungan serta masyarakat setempat. Hal ini dilaksanakan dengan
pengawasan oleh pemerintah provinsi yang telah ditentukan dalam UU
Migas.

5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi


Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2003 tentang Panas Bumi (selanjutnya disebut “UU Panas Bumi”)
adalah dalam pemanfaatan panas bumi. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Panas
Bumi disebutkan bahwa panas bumi adalah sumber energi panas yang
terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan
dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu
sistem panas bumi. Panas bumi merupakan energi yang terbarukan dan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
121

merupakan kekayaan alam. Panas bumi adalah energi yang ramah


lingkungan dan bermanfaat untuk mengurangi ketergantungan terhadap
energi fosil. Energi ini sering ditemukan di kawasan hutan. Oleh karena itu,
dalam pengelolaan panas bumi agar tidak merusak kawasan dan ekosistem
hutan pemerintah provinsi perlu mengatur pengelolaan panas bumi yang
terdapat di wilayah Jawa Barat.
Penyelenggaraan panas bumi yang diamanatkan kepada pemerintah
provinsi sebagaimana dilakukan untuk pemanfaatan langsung yang berada
pada:
a. Lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi termasuk Kawasan
Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
b. Wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

Berdasarkan Pasal 7 UU Panas Bumi pemerintah provinsi diberi


wewenang untuk menyelenggarakan panas bumi yang meliputi:
a. Pembentukan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung;
b. Pemberian Izin Pemanfaatan Langsung pada wilayah yang menjadi
kewenangannya;
c. Pembinaan dan pengawasan;
d. Pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada
wilayah provinsi; dan
e. Inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas
Bumi pada wilayah provinsi.

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air (selanjutnya disebut “UU Sumber Daya Air”)
adalah dalam penguasaan sumber daya air dan wewenang serta tanggung

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
122

jawab pemerintah provinsi dalam pengelolaan sumber daya air. Berdasarkan


Pasal 6 UU Sumber Daya Air menyatakan bahwa penguasaan sumber daya
air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan
tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang
serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, dalam Pasal 6 UU Sumber Daya Air menyatakan bahwa
wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya air
dilakukan oleh pemerintah provinsi. Adapun wewenang dan tanggung jawab
yang diberikan diantaranya:
a. Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan
memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
b. Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota;
c. Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
d. Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas kabupaten/kota;
e. Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota;
g. Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan air tanah dan
pengusahaan air lintas kabupaten/kota;
h. Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
provinsi dan/atau pada wilayah sungai Iintas kabupaten/kota;
i. Memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam
pengelolaan sumber daya air;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
123

j. Membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi


kebutuhan pokok masyarakat atas air;
k. Menjaga efektivitas, efisiensi, kuaIitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
dan
l. Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
pemerintah kabupaten/kota.

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan


Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan (selanjutnya disebut “UU Perkebunan”)
adalah terkait lingkungan hidup baik dari sisi pengelolaan maupun
perlindungan yang diamanatkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dengan
memperhatikan kepentingan dalam analisis terkait Lingkungan Hidup.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jawa Barat
meningkatkan perekonomian yang berdaya saing dan berbasis potensi
daerah; mewujudkan lingkungan hidup yang asri dan lestari; serta
mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan, terhadap hal
tersebut ada kaitannya dengan UU Perkebunan terkait dengan wilayah Jawa
Barat yang terdapat perkebunan yang menjadi SDA yang menjadi andalan di
sektor ekonomi.
Dalam Pasal 3 huruf g UU Perkebunan disebutkan bahwa Perkebunan
diselenggarakan dengan tujuan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
alam secara berkelanjutan. Selain itu, perkebunan mempunyai fungsi
ekologi yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon,
penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung. Dalam rangka
pelaksanaan perkebunan memiliki pengaturan pengelolaan dan
perlindungan meliputi:
a. Perencanaan;
b. Penggunaan tanah;
c. Pemberdayaan dan pengelolaan usaha;
d. Pengolahan dan pemasaran hasil;
e. Penelitian dan pengembangan;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
124

f. Pengembangan Sumber Daya Manusia;


g. Pembiayaan; dan
h. Pembinaan dan pengawasan.
Dari peraturan yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa peraturan
memiliki keterkaitan dengan RPPLH yang membuat UU Perkebunan ini
sangat terkait dengan Raperda RPPLH.

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana
Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggungan Bencana (selanjutnya disebut “UU
Penanggulangan Bencana”) adalah pelaksanaan dalam penataan ruang dan
pemanfaatan sumber daya alam serta pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
langsor. Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan
gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/
lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah,
kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa. Bencana
nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana nonalam antara lain
kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan
transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan
nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Bencana sosial antara lain
berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering
terjadi.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
125

Pasal 8 UU Penanggulang Bencana, menetapkan tanggung jawab


pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi:
a. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. Pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan; dan
d. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran
pendapatan belanja daerah yang memadai.
Sedangkan wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:
a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya
selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana;
c. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan
sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya;
dan
f. Penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada
wilayahnya.
Selain itu, menurut Pasal 71 UU Penanggulang Bencana, maka
pemerintah dan pemerintah daerah diamanatkan untuk melaksanakan
pengawasan terhadap seluruh tahap penanggulangan bencana, yang
meliputi:
a. Sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. Kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana;
c. Kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
126

d. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan


rancang bangun dalam negeri;
e. Kegiatan konservasi lingkungan;
f. Perencanaan penataan ruang;
g. Pengelolaan lingkungan hidup;
h. Kegiatan reklamasi; dan
i. Pengelolaan keuangan.
UU Penanggulangan Bencana juga memberikan pengertian tentang
pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan
ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Pada
Pasal 38, pencegahan bencana meliputi:
Identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau
ancaman bencana;
a. Kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang
secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya
bencana;
b. Pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau
berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana;
c. Pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup; dan
d. Penguatan ketahanan sosial masyarakat.

9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana


telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan

Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun


2004 tentang Perikanan (selanjutnya disebut “UU Perikanan”) adalah upaya
dalam pengelolaan kawasan perairan. Setiap kawasan perairan mengandung
sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang potensial. Dalam hal
ini perhatian terhadap pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-
baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya
dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
127

hidup bagi nelayan, pembudi daya ikan dan/atau pihak-pihak yang terkait
dengan kegiatan perikanan serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan
dan lingkungannya.
Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa wilayah perairan yang terdapat
sumber daya ikan. Oleh karena itu, upaya perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan di kawasan perairan termasuk ekosistem, jenis dan genetik
untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman
sumber daya ikan.

10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batu Bara

Keterkaitan Raperda RPPLH dengan UU Pertambangan adalah dalam


penguasaan mineral dan batu bara yang diselenggarakan oleh pemerintah
provinsi. Setiap wilayah darat dan laut yang di dalamnya mengandung
mineral dan batu bara, pemerintah provinsi dapat menguasainya dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh UU Pertambangan. Hal ini juga
termasuk pengelolaan sumber daya mineral dengan memperhatikan
lingkungan hidup.
Dalam Pasal 7 UU Pertambangan kewenangan yang diberikan pemerintah
provinsi dalam pengelolaan mineral dan batu bara diantaranya:
a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. Pemberian Izin Usaha Tambang (IUP), Pembinaan, Penyelesaian Konflik
Masyarakat dan Pengawasan usaha pertambangan yang berdampak
lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4
(empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.

11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disebut “UU PPLH”) adalah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. UU PPLH adalah payung hukum terkait persoalan lingkungan hidup.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
128

Berdasarkan Pasal 2 UU PPLH perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Tanggung jawab negara;
b. Kelestarian dan keberlanjutan;
c. Keserasian dan keseimbangan;
d. Keterpaduan;
e. Manfaat;
f. Kehati-hatian;
g. Keadilan;
h. Ekoregion;
i. Keanekaragaman hayati
j. Pencemar membayar;
k. Partisipatif;
l. Kearifan lokal;
m. Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. Otonomi daerah.
Berdasarkan asas-asas yang telah disebutkan di atas, asas tata kelola
pemerintah yang baik dan Otonomi Daerah menjadi fokus utama.
Pelaksanaan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
berdasarkan Pasal 5 UU PPLH dilaksanakan melalui tahapan:
a. Inventarisasi lingkungan hidup;
b. Penetapan wilayah ekoregion; dan
c. Penyusunan RPPLH.
Inventarisasi lingkungan dilakukan untuk mendapatkan data dan
informasi secara tepat tentang SDA yang meliputi; potensi dan ketersediaan,
jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan, pengetahuan pengelolaan,
bentuk kerusakan dan konflik serta penyebab konflik yang timbul akibat
pengelolaan SDA. Penetapan wilayah ekoregion dilakukan oleh Menteri
setelah berkoordinasi dengan instansi terkait berdasarkan atas inventarisasi
lingkungan hidup yang diperoleh pada tingkat nasional dan tingkat pulau.
Penetapan wilayah ekoregion diperoleh dengan mempertimbangkan
adanya unsur persamaan tentang karakteristik bentang alam, daerah aliran

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
129

sungai, iklim, flora dan fauna, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan


masyarakat dan hasil inventarisasi sedangkan inventarisasi lingkungan di
tingkat wilayah ekoregion dilakukan untuk menentukan daya dukung dan
daya tampung serta cadangan sumber daya alam yang di atur Pasal 7 UU
PPLH. Menurut Pasal 5 UU PPLH, RPPLH terdiri atas RPPLH nasional,
RPPLH Provinsi, RPPLH Kabupaten/Kota. RPPLH nasional dibuat oleh
Menteri Lingkungan Hidup berdasarkan inventarisasi Nasional, RPPLH
provinsi dibuat berdasarkan RPPLH nasional, inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion. RPPLH menjadi dasar
penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan
rencana jangka menengah, hal ini membuktikan bahwa secara normatif UU
PPLH telah mengintegrasikan upaya pembangunan dengan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana ciri dari pembangunan berkelanjutan.

12. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka


Alam dan Pelestarian Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka


Alam dan Pelestarian Alam (selanjutnya disebut “PP KSAPA) mengatur
secara teknis tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan pelestarian
alam. Arah PP PP KSAPA adalah mewujudkan keseimbangan ekosistem
dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini mendukung
pemerintah provinsi dalam menjalankan wewenangnya di bidang lingkungan
hidup.

13. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian


Pencemaran dan/atau Perusakan Laut

Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya


atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pemulihan
pencemaran dan/atau perusakan laut. Kegiatannya antara lain:
a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/ atau perusakan
laut;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
130

b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang
digunakan sebagai totak ukur utama pengendalianpencemaran dan/atau
perusakan laut;
c. Pemantauan kuatitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut yang
diikuti dengan pengumpulan hasil pemantauan yang dilakukan oleh
instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh serta
pembuatan laporan;
d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah;
e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk
mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu laut
yang telah tercemar atau rusak;
f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran
dan/atau perusakan laut termasuk penaatan mutu limbah yang dibuang
ke laut dan/atau penaatan terhadap kriteria baku kerusakan laut serta
penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (selanjutnya disebut “PP PPPL”) ini
mengatur secara rinci terkait upaya perlindungan laut, seperti status mutu air
laut, baku mutu kerusakan ekosistem laut, dan baku mutu air laut. Menurut
Pasal 4, baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukkannya, antara
lain: baku mutu air laut untuk pariwisata dan rekreasi (mandi, renang, dan
selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan
berdasarkan pada kondisi fisik ekosistem laut yaitu antara lain: terumbu
karang, mangrove dan padang lamun.
Dalam PP PPPL kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
provinsi adalah menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis
penetapan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan
inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan
laut yang mempengaruhi mutu laut.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
131

14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999


tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (selanjutnya disebut “PPA
MDAL”) disebutkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (selanjutnya
disingkat “AMDAL”) merupakan kajian terhadap dampak besar dan penting
dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang dilaksanakan yang direncanakan
direncanakan pada lingkungan hidup. Kendali perencanaan sudah tercermin
dalam AMDAL yang mencerminkan kerangka acuan ruang lingkup Rencana
Kelola Lingkungan (RKL) dalam upaya pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan. Selain RKL, AMDAL juga merupakan isntrumen pengawasan
yang merupakan salah satu instrumen perlindungan lingkungan dalam
kerangka Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Ketentuan pada PP AMDAL mengatur setiap kegiatan yang berkaitan
dan/atau usaha senantiasa dilakukan berdasarkan kajian termasuk analisis
mengenai dampak lingkungan. Beberapa kegiatan yang menyangkut
lingkungan di Jawa Barat sepenuhnya perlu melakukan kajian analisis
dampak lingkungan sehingga cenderung berdampak pada keberadaan
kawasan-kawasan yang berpengaruh secara keseluruhan.

15. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (selanjutnya disebut “PP
PKAPPA”) merupakan dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota dalam
melakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai
dengan kewenangan kewilayahannya. Berdasarkan Pasal 5 PP PKAPPA
Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan
pengelolaan kualitas air, di mana kewenangan ini dapat dilakukan dengan
melakukan: Pendayagunaan air, Klasifikasi dan kriteria mutu air, dan Baku
Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air, dan Status Mutu Air.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
132

Sesuai Pasal 20 PP PKAPPA, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi,


Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing
dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang
untuk:
a. Menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. Melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c. Menetapkan persyaratan air Iimbah untuk aplikasi pada tanah;
d. Menetapkan persyaratan pembuangan air Iimbah ke air atau sumber air;
e. Memantau kwalitas air pada sumber air; dan
f. Memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.

16. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan


Sumber Daya Air

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun


2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (selanjutnya disebut “PP
PSDA”)yang dimaksud dengan air adalah semua air yang terdapat pada, di
atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini
adalah air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat.
Pengelolaan sumber daya air dilakukan pada tingkat nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya.
Dengan demikian PP PSDA memberikan kewenangan kepada
pemerintah provinsi untuk melakukan pengelolaan sumber daya air sesuai
dengan kondisi daerahnya. Terhadap kewenangan ini maka pemerintah
provinsi memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan sumber daya
air, khususnya air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang ada
dipermukaan tanah.

17. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara


Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara


Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis selanjutnya disebut

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
133

“PP KLHS”) merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 18 UU PPLH,


perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. PP KLHS ini
mempertegas ketentuan dari UU PPLH, di mana Pasal 2 PP KLHS ini
menetapkan, bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip Pembangunan
Berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan/atau Kebijakan, Rencana, dan/atau Program. Lebih lanjut,
KLHS tersebut wajib dilaksanakan ke dalam penyusunan atau evaluasi yang
meliputi:
a. Rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya, RPJP nasional,
RPJP daerah, RPJM nasional, dan RPJM daerah; dan
b. Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang berpotensi menimbulkan
dampak dan/atau risiko Lingkungan Hidup.

B. Peraturan Terkait Pembangunan

1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional44

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 ini mencakup landasan hukum


di bidang perencanaan, pembangunan baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditetapkan bahwa Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan
dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan
oleh unsur penyelenggara pernerintahan di pusat dan Daerah dengan
melibatkan masyarakat.
Sistem perencanaan pembangunan nasional dalam UU Nomor 25
Tahun 2004 ini mencakup lima pendekatan dalam seluruh rangkaian
perencanaan, yaitu:

44
Naskah akademik Rancangan Peraturan Presiden Tentang RPPLH Tahun 2014.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
134

a. politik;
b. teknokratik;
c. partisipatif;
d. atas-bawah (top-down); dan
e. bawah-atas (bottom-up).
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala
Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih
menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang
ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu,
rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda
pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat
kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.
Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan
menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau
satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan
dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan.
Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa
memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan, bawah-atas dalam
perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil
proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
dan desa.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat (4) tahapan yakni:
a. penyusunan rencana;
b. penetapan rencana;
c. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga
secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahap
penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
135

suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat)
langkah.

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Nasional45

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang


berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan
tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti,
dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi
generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi
kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang
akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
RPJP Nasional digunakan sebagai pedoman dalam menyusun RPJM
Nasional. Pentahapan rencana pembangunan nasional disusun dalam
masing-masing periode RPJM Nasional sesuai dengan visi, misi, dan
program Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. RPJM Nasional
memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program
kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dan
lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup
gambaran perekonomian secara menyeluruh.
RPJM sebagaimana tersebut di atas dijabarkan ke dalam Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan rencana pembangunan tahunan
nasional, yang memuat prioritas pembangunan nasional, rancangan
kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program
kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam
bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif.

45
Ibid.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
136

Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan


menghindarkan kekosongan rencana pembangunan nasional, Presiden
yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan
menyusun RKP dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) pada tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya,
yaitu pada tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025. Namun demikian, Presiden
terpilih periode berikutnya tetap mempunyai ruang gerak yang luas untuk
menyempurnakan RKP dan APBN pada tahun pertama pemerintahannya
yaitu tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025, melalui mekanisme perubahan
APBN (APBN-P) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan adanya kewenangan untuk
menyusun RKP dan RAPBN sebagaimana dimaksud di atas, maka jangka
waktu keseluruhan RPJPN adalah 2005-2025.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Keterkaitan Raperda RPPLH dengan UU Kepariwisataan adalah dalam
penyelenggaraan kepariwisataan khususnya yang menyangkut lingkungan
hidup yaitu wisata alam. Provinsi Jawa Barat memiliki potensi wisata alam
yang banyak yang sebagian sudah dikomersilkan. Pariwisata merupakan
wewenang emerintah provinsi bagian dari urusan pemerintah pilihan yang
diamanatkan dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b UU Pemda.
Dalam Pasal 5 UU Kepariwisataan ditekankan bahwa penyelenggaraan
kepariwisataan dilakukan dengan prinsip pariwisata yang memelihara
kelestarian alam dan lingkungan hidup. Artinya, setiap penyelenggaraan dan
pembangunan kepariwisataan harus memperhatikan keutuhan dan
mempertahankan bentuk lingkungannya.

C. Peraturan Terkait Penataan Ruang


1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Keterkaitan Raperda RPPLH Raperda dengan Undang- Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut “UU
Penataan Ruang”) adalah mengenai pemanfaatan ruang dengan tidak
merusak lingkungan alam dan lingkungan buatan.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
137

Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi


pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Tujuan penyelenggaraan penataan ruang yang diatur dalam Pasal 3 UU
Penataan Ruang, adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, maka wewenang


penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah dan pemerintah daerah,
yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan
batasan wilayah administratif. Hal tersebut terlihat pada Pasal 4 UU
Penataan Ruang yang berbunyi bahwa penataan ruang diklasifikasikan
berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan. Karena itulah, dengan adanya RPPLH
Provinsi Jawa Barat, diharapkan mampu mengintegrasikan pertimbangan
lingkungan ke dalam instrumen penataan ruang dengan lebih optimal.
Sehingga berbagai permasalahan seperti timbulnya alih fungsi lahan,
pelanggaran tata ruang, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya dan perebutan lahan antara berbagai pihak dalam
pemanfaatan ruang dan lahan bisa diatasi dengan baik.
Menurut Pasal 6 UU Penataan Ruang, Penataan ruang diselenggarakan
dengan memperhatikan:
a. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan
terhadap bencana;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
138

b. Potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan
keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai satu kesatuan; dan
c. Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
Kemudian menurut Pasal 6 ayat (2) UU Penataan Ruang, maka penataan
ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/ kota dilakukan secara berjenjang dan
komplementer.
Pada Pasal 10 UU Penataan Ruang, diatur wewenang Pemerintah Daerah
Provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang, yang meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan
kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama
penataan ruang antarkabupaten/kota.
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi tersebut meliputi:
a. Perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. Pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah
daerah kabupaten/ kota melalui tugas pembantuan. Lebih lanjut dalam
rangka penataan ruang kawasan strategis provinsi, maka pemerintah daerah
provinsi melaksanakan:
a. Penetapan kawasan strategis provinsi;
b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
139

d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.


Selain itu, dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi,
pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang
penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. UU Penataan
juga mengamanatkan agar pemerintah daerah provinsi untuk melaksanakan
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang serta menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan:
a. Rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan
penataan ruang
b. wilayah provinsi;
c. Arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam
rangka pengendalian;

d. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan


e. Petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;

D. Peraturan Terkait Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,


Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Keterkaitan Raperda RPPLH dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(selanjutnya disebut “UU PPP”) adalah dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Pembentukan suatu peraturan perundangan-
undangan tidaklah tanpa menggunakan suatu pedoman. Apabila menilik
pada UUD 1945, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, oleh sebab itu
semua produk hukum yang merupakan dasar dari pelaksanaan suatu
kewenangan pemerintah haruslah berdasarkan hukum. UU PPP merupakan
pedoman dalam membuat suatu produk hukum.
Hal demikian serupa dengan penjelasan umum dari UU PPP. Sebagai
negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
140

atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Berdasarkan Pasal UU PPP bahwa pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan harus dilakukan beradasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

Penjelasan Pasal 5 tersebut, asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap


pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat yang tepat
adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang. Asas kesesuain anatara jenis, hierarki, dan materi muatan
adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan. Asas dapat dilaksanakan adalah
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundangan-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta
Bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
141

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.


Selanjutnya, asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka.
Materi muatan suatu peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah
kabupaten atau kota berisi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih
tinggi. Apabila dihubungkan dengan Pasal 10 UU PPLH, bahwa
pembentukan kebijakan RPPLH merupakan penjabaran lebih lanjut
peraturan perundangundangan.
Pasal 56 UU PPP menyatakan bahwa rancangan peraturan daerah
provinsi disertai dengan Naskah Akademik. Naskah akademik adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitiannya
terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan
Undang-undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan
Peraturan Daerah Kabutpaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat.
Adapun sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
Judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
BAB VI PENUTUP

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
142

Berdasarkan pembahasan di atas, penyusunan kebijakan RPLLH Provinsi


Jawa Barat harus disusun berdasarkan ketentuan UU PPP. Sebagaimana
telah dijelaskan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang baik
harus mengikuti asas-asas dan ketentuan serta diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut “UU Pemda”)
menjelaskan:
(1) Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum.
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi
dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa ada Urusan Pemerintah yang di bagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten
yang dinamakan sebagai Urusan Pemerintahan Konkuren sebagai bentuk
pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan konkuren dibagi lagi
menjadi Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
Mengenai lingkungan termasuk kategori Urusan Pemerintahan Wajib yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia


Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Pedoman Perumusan Materi Muatan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
143

Pedoman penyusunan RPPLH diatur oleh Peraturan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Perumusan Materi Muatan Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Dalam Peraturan Perundang-Undangan. Adapun
pedoman ini memuat:
BAB I Umum
BAB II Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan
Hidup
a. Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Spesifik;
b. Instrumen Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Lingkungan
Hidup;
c. Kapasitas Sumber Daya Manusia untuk UUPPLH;
d. Kapasitas Kelembagaan Untuk Melaksanakan Tugas Dan Wewenang;
e. Data Dan Informasi Mengenai Materi Muatan Spesifik;
f. Peran Masyarakat;
g. Pilihan Bentuk Peraturan Perundang-undangan Mengenai Materi
Muatan Spesifik.

Selanjutnya untuk tahapan penyusunan RPPLH tingkat provinsi dan


kabupaten/kota Pedoman penyusunan RPPLH lebih lanjut diatur dalam
Surat Edaran Nomor: SE.5/Menlhk/PKIL/PLA.3/11/2016 tentang
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
144

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS
DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Berdasarkan Pancasila
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termuat dalam sila ke-2
Pancasila yang mana makna sila perikemanusiaan yang adil dan beradab 46
tersebut:

46
Sunaryati Hartono, Artikel berjudul Mencari Makna Nilai-Nilai Falsafah Dl Dalam Pancasila Sebagai
Weltanschauung Bangsa Dan Negara Republik Indonesia dalam Majalah Hukum Nasional, hlm. 41.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
145

a. Percaya, bahwa sesama ciptaan dan makhluk Tuhan, setiap manusia


sama martabatnya, dan berhak atas kesempatan yang sama untuk
hidup sehat, sejahtera dan bahagia; dan
b. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap orang untuk menghormati dan
memperlakukan orang lain/sesama man usia dengan cara yang baik,
sopan dan santun, sebagaimana setiap orang diperlakukan oleh orang
lain.
Muatan RPPLH tidak hanya terdapat pada sila kedua Pancasila, dalam
keseluruhan sila Pancasila terdapat keterkaitan dengan lingkungan hidup,
sebagaimana telah diuraikan dalam Rancangan Naskah Akademik
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RPPLH yang disusun tahun
2015, yakni Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dari Sila ke I
sampai Sila Sila ke V yang harus diaplikasikan atau dijabarkan dalam setiap
kegiatan pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut (Soejadi,
1999 : 88- 90):
Dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai religius,
antara lain :
a. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta
segala sesuatu dengan sifat-sifat yang sempurna dan suci seperti Maha
Kuasa, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijaksana dan sebagainya;
b. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalankan semua
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dalam
memanfaatkan semua potensi yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha
Pemurah manusia harus menyadari, bahwa setiap benda dan makhluk
yang ada di sekeliling manusia merupakan amanat Tuhan yang harus
dijaga dengan sebaik-baiknya; harus dirawat agar tidak rusak dan harus
memperhatikan kepentingan orang lain dan makhluk-makhluk Tuhan
yang lain.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengaplikasikan Sila ini dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya menyayangi binatang; menyayangi
tumbuh-tumbuhan dan merawatnya; selalu menjaga kebersihan salah
satunya pengendalian tingkat lingkungan rumah melalui pengelolaan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
146

limbah cair rumah tangga dan sanitasi lingkungan dan lain sebagainya.
Dalam Islam bahkan ditekankan, bahwa Allah tidak suka pada orang-
orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tetapi Allah senang
terhadap orang-orang yang selalu bertakwa dan selalu berbuat baik.
Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-
NYA yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar
tetap dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa
Indonesia serta makhluk hidup lainya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas Hidup itu sendiri.
Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab terkandung nilai-nilai
perikemanusiaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini antara lain sebagai berikut:
a. Pengakuan adanya harkat dan martabat manusia dengan sehala hak
dan kewajiban asasinya;
b. Perlakuan yang adil terhdap sesama manusia, terhadap diri sendiri,
alam sekitar dan terhadap Tuhan;
c. Manusia sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang memiliki daya
cipta, rasa, karsa dan keyakinan.
Penerapan, pengamalan/aplikasi sila ini dalam kehidupan sehari hari dapat
diwujudkan dalam bentuk kepedulian akan hak setiap orang untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak setiap orang untuk
mendapatkan informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran
dalam pengelolaan lingkungan hidup; hak setiap orang untuk berperan
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan
ketentuanketentuan hukum yang berlaku dan sebagainya (Koesnadi
Hardjasoemantri, 2000 : 558).
Dalam hal ini banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk
mengamalkan Sila ini, misalnya mengadakan pengendalian tingkat
pencemaran sumber air (air permukaan dan air tanah) oleh limbah cair
tumah tangga berupa grey water dan black water, pengendalian tingkat
polusi udara agar udara yang dihirup bisa tetap nyaman; menjaga

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
147

kelestarian tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan sekitar; mengadakan


gerakan penghijauan dan sebagainya. Nilai-nilai Sila Kemanusiaan Yang
Adil Dan Beradab ini ternyata mendapat perhatian dari Pemerintah yaitu
dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pembaruan terhadap UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan harapan agar
lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap
hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Nilai-nilai Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab ini ternyata mendapat
penjabaran dalam UU No. 32 Tahun 2009 di atas, antara lain dalam Pasal
65 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang menyatakan bahwa:

a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
b. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup.
d. Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
e. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam Sila Persatuan Indonesia terkandung nilai persatuan bangsa,
dalam arti dalam hal-hal yang menyangkut persatuan bangsa patut
diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia serta wajib membela dan menjunjung tinggi (patriotisme);

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
148

b. Pengakuan terhadap kebhinekatunggalikaan suku bangsa (etnis) dan


kebudayaan bangsa (berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan
arah dalam pembinaan kesatuan bangsa;
c. Cinta dan bangga akan bangsa dan Negara Indonesia (nasionalisme).
Aplikasi atau pengamalan sila ini bisa dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan melakukan inventarisasi tata nilai tradisional yang harus
selalu diperhitungkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pengendalian
pembangunan lingkungan di daerah dan mengembangkannya melalui
pendidikan dan latihan serta penerangan dan penyuluhan dalam
pengenalan tata nilai tradisional dan tata nilai agama yang mendorong
perilaku manusia untuk melindungi sumber daya dan lingkungan (Salladien
dalam Burhan Bungin dan Laely Widjajati , 1992 : 156-158). Di beberapa
daerah tidak sedikit yang mempunyai ajaran turun temurun mewarisi nilai-
nilai leluhur agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
ketentuan-ketentuan adat di daerah yang bersangkutan, misalnya ada
larangan untuk menebang pohon-pohon tertentu tanpa ijin sesepuh adat;
ada juga yang dilarang memakan binatang-bintang tertentu yang sangat
dihormati pada kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan sebagainya.
Secara tidak langsung sebenarnya ajaran-ajaran nenek leluhur ini ikut
secara aktif melindungi kelestarian alam dan kelestarian lingkungan di
daerah itu. Bukankah hal ini sudah mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sehari-hari.
Dalam Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan Perwakilan terkandung nilainilai kerakyatan.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dicermati, yakni:
a. Kedaulatan negara adalah di tangan rakyat;
b. Pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal
sehat;
c. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama;
d. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat oleh wakil-
wakil rakyat.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
149

Penerapan sila ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara
lain (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000 : 560 ) :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya
pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Dalam Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


terkandung nilai keadilan sosial. Dalam hal ini harus diperhatikan
beberapa aspek berikut, antara lain :
a. Perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan terutama di bidang
politik, ekonomi dan sosial budaya;
b. Perwujudan keadilan sosial itu meliputi seluruh rakyat Indonesia;
c. Keseimbangan antara hak dan kewajiban;
d. Menghormati hak milik orang lain;

2. Undang-Undang Negara R.I. Tahun 1945 (Amandemen)


Muatan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang termuat
dalam UUD 1945 antara lain pada:
a. Ayat 1 Pasal 18A,
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kebupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah”.
b. Ayat 2 Pasal 18A,

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
150

“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam


dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang – undang”.
c. Ayat 1 Pasal 28H,
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
d. Ayat 3 Pasal 33,
“Bumi dan air dn kekajaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan sila yang termuat pada Pancasila dan butir yang termuat pada
UUD 1945 terkait penyusunan rancangan peraturan daerah provinsi Jawa
Barat, maka pada dasarnya pemerintah berkewajiban untuk melindungi,
menjamin, menyediakan dan menyelenggarakan kebutuhan terkait
lingkungan bagi warga negaranya dan makhluk hidup yang berada di
wilayah Indonesia. Landasan filosofis untuk bagian pertimbangan yakni,
“bahwa untuk memenuhi keadilan lingkungan hidup dan menjamin
keberlangsungan hidup warga negara beserta alam itu sendiri perlu disusun
rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara utuh
menyeluruh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat”.

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalaah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Kondisi dan kualitas lingkungan hidup saat ini merupakan aspek yang
sangat mempengaruhi perlunya dilakukan perencanaan terhadap perlindungan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
151

dan pengelolaan lingkungan hidup, alasan perlunya dilakukan perlindungan dan


pengelolaan tersebut termuat pada bagian menimbang Undang – Undang No.32
Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
berikut:
1. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam
kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga
perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
2. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan
perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan
hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan
3. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan
ekosistem. Data memperlihatkan, degradasi lingkungan hidup secara kualitas
dan kuantitas merosot signifikan. Gambar dibawah ini menjadi salah satu
bukti.

Data memperlihatkan, degradasi lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas


merosot signifikan. Gambar dibawah ini menjadi salah satu bukti.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
152

Gambar 4.2. Foto Sebaran Hutan di Kalimantan

Dua gambar tersebut diatas memperlihatkan kemerosotan luas hutan baik


di dunia maupun di Kalimantan. Hal tersebut menunjukkan adanya
kegiatan yang dapat disebut kerusakan lingkungan ,hukum yang
berfungsi sebagai pengatur ketertiban dengan cara mengatur perilaku
manusia nampaknya belum efektif, sebagaimana disampaikan Prof.
Sunaryati bahwa tujuan akhir hukum adalah membentuk perilaku manusia
menjadi manusia yang berperilaku baik . Harapannya adalah hukum
dapat mencegah manusia untuk melakukan perbuatan yang merusak
lingkungan hidup.
Fakta atas kondisi dan kualitas lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat
menurut Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tahun 2014 dan 2016
menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat masuk kedalam kategori
waspada.
TAHUN ANGKA IKLH
2011 50,49
2012 48,37
2013 47,80
2014 45,06
2016 51,87
Tabel 4.1. IKLH Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 – 2016

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
153

Tabel 4.1 memperlihatkan IKLH Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2011
hingga tahun 2016. Angka IKLH tersebut menunjukkan bahwa Provinsi
Jawa Barat pada tahun 2016 mengalami peningkatan IKLH dari tahun
2011 sebesar 50,49 kemudian menurun dan kembali mengalami kenaikan
pada angka 51,87 di tahun 2016. Namun, meskipun IKLH Provinsi Jawa
Barat mengalami peningkatan, secara nasional, Provinsi Jawa Barat
menempati peringkat ketiga dari bawah atas IKLH.

Gambar 4.3. Ranking IKLH 2016

Peringkat Provinsi Jawa Barat sebagaimana terdapat pada gambar 4.3


merupakan salah satu alasan mendasar bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat harus dilaksanakan
secepat mungkin. Dalam hal kebutuhan masyarakat semakin bertambah,
jumlah penduduk meningkat sementara kualitas lingkungan hidup di
Provinsi Jawa Barat berada dalam keadaan yang buruk dimana daya

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
154

tampung dan daya dukung semakin terbatas. Landasan sosiologis untuk


bagian pertimbangan yakni,” bahwa kebutuhan dan pertumbuhan
penduduk semakin meningkat dimana kemampuan daya dukung dan
daya tampung merupakan aspek mendasar yang menjadi pertimbangan
utama.”

C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang perlu
diatur.
Pasal 11 UU Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan untuk disusun
Peraturan Pemerintah tentang Inventarisasi, Penetapan Ekoregion dan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Ketiga kegiatan
tersebut dipahami sebagai satu rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan, yang
akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 5 UU Nomor 32 Tahun 2009,
kegiatan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion dan penyusunan
RPPLH, termasuk ke dalam lingkup perencanaan dari rangkaian upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh UU Nomor 32
Tahun 2009.
Pasal 5 UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa inventarisasi
lingkungan hidup terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup tingkat nasional,
pulau dan ekoregion. Inventarisasi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:
1. potensi dan ketersediaan;
2. jenis yang dimanfaatkan;
3. bentuk penguasaan;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
155

4. pengetahuan pengelolaan;
5. bentuk kerusakan; dan
6. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Penetapan ekoregion sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 UU
Nomor 32 Tahun 2009, dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:
1. karakteristik bentang alam;
2. daerah aliran sungai;
3. iklim;
4. flora dan fauna;
5. sosial budaya;
6. ekonomi;
7. kelembagaan masyarakat; dan
8. hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Dengan demikian, inventarisasi lingkungan hidup dengan ekoregion
berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 mempunyai hubungan yang bersifat
timbal balik. Di satu sisi, ekoregion merupakan suatu satuan wilayah terkecil
setelah pulau dan kepulauan, yang menjadi dasar untuk melaksanakan
inventarisasi lingkungan hidup. Di sisi lain, hasil inventarisasi lingkungan menjadi
salah satu faktor yang dipertimbangkan untuk menetapkan ekoregion
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2009.
Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan oleh Menteri Lingkungan
Hidup setelah berkoordinasi dengan instansi lain sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 7 ayat (1). Penetapan ekoregion dan inventarisasi lingkungan hidup
yang dilakukan pada satuan wilayah ini merupakan langkah yang penting dan
strategis, karena sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 8 UU Nomor 32 Tahun
2009, inventarisasi dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, serta cadangan sumber daya alam. Landasan yuridis
untuk bagian pertimbangan, yakni,” bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
10 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan adanya pengaturan
mengenai perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perlu

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
156

menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN
DAN RUANG LINGKUP MUATAN MATERI PERATURAN
DAERAH PROVINSI47

A. Sasaran yang Akan Diwujudkan


Diundangkannya Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Oktober 2009, telah
menempatkan negara dan bangsa Indonesia pada babak baru dalam
penyelenggaraan lingkungan hidup. UU Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan
bahwa dalam penyelenggaraan lingkungan hidup diperkuat dan dilengkapi
dengan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH), yang
dilaksanakan melalui kegiatan inventarisasi, penetapan ekoregion dan
penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan.
RPPLH antara lain harus memuat rencana pengelolaan sumberdaya alam
yang meliputi pencadangan, pemanfaatan, pemeliharaan, pemantauan,
pendayagunaan, pelestarian, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam, dapat diartikan
bahwa RPPLH harus merangkum dan mengarahkan pengelolaan berbagai

47
Naskah Akademik Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2014.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
157

sumberdaya alam tersebut, yang secara kewenangan telah lama dikelola oleh
berbagai Kementerian/Lembaga.Oleh karena itu RPPLH harus lebih ditujukan
untuk mengelola keterkaitan, interaksi, interdependensi dan dinamika
pemanfaatan dan kondisi berbagai sumberdaya alam tersebut yang dipahami
sebagai wilayah ekoregion. Ekoregion adalah geografi ekosistem, artinya pola
susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang
terikat daam suatu satuan geografis. Dengan demikian ekosistem perlu
dipertimbangkan secara mendalam untuk digunakan sebagai inti dan dasar
penyusunan RPPLH.
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH), yang
dilaksanakan melalui kegiatan inventarisasi, penetapan ekoregion dan
penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan di tingkat
provinsi berdasarkan tata cara atau pedoman sebagaimana diamanatkan Pasal
11 UU Nomor 32 Tahun 2009 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion, serta RPPLH diatur dalam
Peraturan Daerah. Dengan kata lain ketentuan ini mengamanatkan adanya
pengaturan mengenai perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dengan menetapkan Peraturan Daerah tentang Perencanaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

B. Arah dan Jangkauan Pengaturan


Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
proses untuk menentukan status lingkungan hidup dan arah perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi tahapan inventarisasi lingkungan
hidup, penetapan ekoregion dan penyusunan rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Perencanaan PPLH ini dilaksanakan berdasarkan prinsip:
1. harmonisasi antar dokumen rencana pembangunan dan tata ruang;
2. keberlanjutan;
3. karateristik ekoregion;
4. kerjasama antar daerah;
5. kepastian hukum;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
158

6. keterlibatan pemangku kepentingan.

C. Ruang Lingkup Materi


1. Sistematika Penulisan Perda
Sistematika Peraturan Daerah RPPLH Provinsi Jawa Barat, sebagai berikut:
BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II KEDUDUKAN
BAB III JANGKA WAKTU
BAB IV RPPLH PROVINSI
BAB V PEMANTAUAN, PELAPORAN, DAN PENINJAUAN
BAB VI PERUBAHAN RPPLH PROVINSI
BAB VII PEMBIAYAAN
BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB IX KETENTUAN PENUTUP

D. Materi yang Akan Diatur


1. Ketentuan Umum
Materi yang akan diatur pada BAB I Ketentuan Umum memuat pengertian
istilah, dan frasa sebagai berikut:
a. Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.
b. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Gubernur sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
c. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Jawa Barat.
d. Daerah Kabupaten/Kota adalah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
e. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah.
f. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yangmempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
159

g. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya


sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

h. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah


Provinsi Jawa Barat yang selanjutnya disebut RPPLH Provinsi adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup
serta upaya perlindungan dan pengelolaan dalam kurun waktu tertentu.
i. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nasional
yang selanjutnya disebut RPPLHN adalah dokumen rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
j. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut RPPLH Kabupaten/Kota
adalah dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup pada tingkat kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan
daerah kabupaten/kota.
k. Data dan Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan
tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta
maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang
disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik
ataupun nonelektronik yang berkenaan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, yang sifat dan tujuannya terbuka untuk
diketahui masyarakat.
l. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau
organisasi masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memiliki
keahlian/keilmuan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, memiliki pengalaman di bidang Perlindungan dan Pengelolaan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
160

Lingkungan Hidup, dan/atau kegiatan pokoknya di bidang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Kedudukan
Pada BAB II diatur mengenai kedudukan RPPL Provinsi yang menjadi dasar
bagi:
a. penyusunan dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Provinsi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Provinsi, yang materi muatannya berkenaan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup; dan

b. penyusunan RPPLH Kabupaten/Kota.

3. Jangka Waktu
Pada BAB III, jangka waktu berlakunya RPPLH Provinsi yaitu 30 (tiga puluh)
tahun.
4. RPPLH Provinsi
Pada BAB IV, diatur mengenai RPPLH Provinsi yang merupakan Lampiran
Perda dengan sistematika sebagai berikut:
a. BAB I: Pendahuluan, yang memuat subbab mengenai:

1. latar belakang;

2. tujuan RPPLHD Provinsi;

3. sasaran penyusunan RPPLHD Provinsi;

4. ruang lingkup dan jangka waktu pelaksanaan RPPLHD Provinsi;

5. pengertian RPPLH dan landasan hukum RPPLH;

6. metodologi penyusunan RPPLH; dan

7. sistematika dokumen.

b. BAB II: Kondisi dan Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi, yang memuat subbab mengenai:

1. deskripsi ekoregion di Daerah Provinsi;

2. potensi, sebaran dan pemanfaatan SDA prioritas di ekoregion Daerah


Provinsi;

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
161

3. masyarakat adat di Daerah Provinsi;

4. indikasi daya dukung dan daya tampung di wilayah ekoregion Daerah


Provinsi; dan

5. tekanan terhadap wilayah ekoregion di Daerah Provinsi.

c. BAB III: Permasalahan dan Target Lingkungan Hidup di Daerah Provinsi


yang memuat subbab mengenai:

1. tantangan utama dan isu strategis di Daerah Provinsi; dan

2. tantangan utama dan isu strategis di setiap ekoregion di Daerah


Provinsi.

d. BAB IV: Arahan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Daerah Provinsi yang memuat subbab mengenai:

1. tujuan dan sasaran rencana perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup Daerah Provinsi;

2. strategi dan skenario rencana perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup Daerah Provinsi;

3. arahan program prioritas RPPLH berdasarkan strategi umum; dan

4. arahan program prioritas RPPLH berdasarkan strategi implementasi.

e. BAB V: Arahan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lintas


Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi, yang memuat subbab mengenai:

1. interaksi antar ekoregion; dan

2. interaksi antar wilayah administrasi.

f. Lampiran.

5. RPPLH Provinsi
Pada BAB V, diatur mengenai Pemantauan, Pelaporan, dan Peninjauan
sebagai berikut:
a. Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang
Lingkungan Hidup melaksanakan pemantauan, pelaporan, dan
peninjauan RPPLH Provinsi.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
162

b. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk


mengetahui capaian indeks kualitas Lingkungan Hidup di Daerah
Provinsi.
c. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan
kepada Gubernur.
d. Gubernur menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Lingkungan Hidup.
e. Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap 5
(lima) tahun sekali.
f. Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan untuk
menyesuaikan data dan informasi dalam RPPLH Provinsi.
g. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan, pelaporan, dan peninjauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur
dalam Peraturan Gubernur.
6. Perubahan RPPLH Provinsi
Pada BAB VI, diatur mengenai perubahan RPPLH Provinsi dapat dilakukan
dalam hal hasil peninjauan menunjukkan ketidaksesuaian dengan
perkembangan data dan informasi Lingkungan Hidup.
7. Pembiayaan
Pada BAB VII, diatur mengenai pembiayaan pelaksanaan RPPLH Provinsi
bersumber dari anggaran pendapatan belanja Daerah Provinsi dan sumber
lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Peran Serta Masyarakat
Pada BAB VIII, diatur mengenai peran serta masyarakat sebagai berikut:
a. Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta
secara aktif dalam pelaksanaan RPPLH Provinsi.
b. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud berbentuk:
1) pengawasan;
2) pemberian pendapat, saran dan usul;
3) bantuan teknis; dan

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
163

4) penyampaian informasi dan/atau pelaporan.


c. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dalam
tahapan pemantauan dan peninjauan.

9. Peran Serta Masyarakat


Pada BAB X, mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah
yang harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan
Daerah ini diundangkan.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
164

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil kajian hukum dalam rangka
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Perencanaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut:
1. Hasil kajian teknis dan kajian yang telah ada memperlihatkan data dan
informasi sumber daya alam di Provinsi Jawa Barat yang mengalami
degradasi lingkungan hidup;
2. Kebutuhan dan pertumbuhan masyarakat di Provinsi Jawa Barat meningkat
pesat yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dan kuantitas
sumber daya alam;
3. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus direncanakan
secara utuh menyeluruh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sehingga
Kabupaten dan Kota yang berada dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa
Barat dapat menyelenggarakan rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara sistematis, menyeluruh dan komplementer;
4. Informasi dan data terkait sumber daya alam Provinsi Jawa Barat harus
teridentifikasi sehingga kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dapat disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung; dan
5. RPPLH Tingkat Provinsi Jawa Barat merupakan acuan dan pedoman bagi
Kota dan Kabupaten di bawah Provinsi Jawa Barat dalam membentuk
RPPLH Kota/Kabupaten.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
165

B. Saran
Berdasarkan hasil kajian hukum dalam rangka pembentukan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Perencanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka beberapa hal yang dapat
direkomendasikan yaitu:
1. Perlu menyusun Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat yang memberikan
pedoman untuk menyusun RPPLH Kabupaten dan RPPLH Kota; dan
2. Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didahului dengan
pembuatan Naskah Akademik, agar Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
tentang Perencanaan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang dimaksud akan lebih bersifat operasional.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
166

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Budihardjo, Eko (2003), “Pengantar: Menuju Kota Yang Manusiawi dan
Berwawasan Lingkungan” . Kota dan Lingkungan, Pendekatan
Baru Terhadap Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta. LP3ES.
Hasni (2008). “Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Jilid
1”. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasni (2008). “Hukum Penataan Ruang dan Penatahunaan Tanah Jlid 2”.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Inoguchi, Takashi, Edward Newman, dan Glen Paoletto (2003).
“Pendahuluan : Kota dan Lingkungan – Menuju Kemitraan
Berwawasan Ekologi". Kota dan Lingkungan, Pendekatan Baru
Terhadap Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta. LP3ES.
Ridwan, Juniarso & Achmad Sodik (2013). “Hukum Tata Ruang”.
Bandung: NUANSA.
Siahaan, Marihot Pahala (2008). “Hukum Bangunan Gedung di
Indonesia”. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerdjono dan Sri Mamudji (1994). “Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahid, A.M. Yunus (2014). “Hukum Tata Ruang”. Jakarta: Kencana.

Makalah:
Djamal Irwan, Zoe’raini (2004), “Tantangan Lingkungan dan Lansekap
Kota”.CIDES. Jakarta

Jurnal:

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
167

Alfriani (2012),”Ideologi Welfare State Dalam Dasar Negara Indonesia:


Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan
Sosial Nasional”. Jurnal Konstitusi Volume 9 No. 3 September
2012. Jakarta.
Barliana, M. Syaom, BetanParamita, Dodit Ardian Pancapana, Dian
Cahyani (2015), “Belajar Dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas
Objektif Untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota”. Jurnal
Lingkungan Binaan Indonesia Volume 2 No. 1 Januari 2015.
Yusuf, Asep Warlan (2015), “Hukum dan Keadilan”. Padjajaran Jurnal
Ilmu Hukum Volume 2 No.1.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang – Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksana
Undang – Undang No. 26 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum No. 24/PRT/M/2007 Tentang
Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 12 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan , Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dan
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 18 Tahun 2011 Tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung 2011 – 2031.

Internet:
Andy Simarmata, Hendrius. “Peran Perencanaan Dalam Proses
Perencanaan Tata Ruang Yang Partisipatif”.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
168

http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart
=190. Buletin Tata Ruang Online. Edisi Juli – Agustus 2009.
Diakses 2 Juni 2014.
Bayu Arie Wibawa, RTBL Sebagai Alat Perancangan Kota “IDEAL” Untuk
Pengaturan Bangunan dan Lingkungannya, http://www.inkindo-
jateng.web.id/?p=792 diakses 26 Desember 2014.
Galih-Rentek, Dokumen RTBL Untuk Mendukung Perwujudan
Permukiman Layak Huni dan Berkelanjutan,
http://ciptakarya.pu.go.id/water/post.php?q=3905-Dokumen-RTBL-
Untuk-Mendukung.html diakses 14 Februari 2015.
Lubis, Joessair. Mewujudkan Pembangunan Kota Pesisir di Indonesia.
http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart
=311. Buletin Tata Ruang Online. Edisi Juli – Agustus 2011.
Diakses 16 Februari 2015.

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
169

LAMPIRAN

RAPERDA PROVINSI JAWA BARAT


TENTANG RENCANA PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Rencana Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Anda mungkin juga menyukai