Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di Indonesia dianggap

sebagai salah satu industri yang menarik dengan nilai penjualan sebesar lebih dari

10 milyar dollar AS seiring dengan pertumbuhan golongan menengah di negara

Indonesia. FMCG telah lama dianggap sebagai salah satu faktor pendorong

pergerakan ekonomi, dan angka – angkanya menunjukkan potensi yang

menjanjikan. Dengan lebih dari 255 juta penduduk dan lebih dari setengahnya

berada di usia produktif, trend positif ini diharapkan akan terus berlanjut seiring

bertumbuhnya angka pertumbuhan belanja yang mencapai 11.8% pada kurun

waktu 2010 – 2015 dan rata – rata pertumbuhan industri retail FMCG yang

mencapai 10.8% pada tahun 2015 (Djatmiko, 2017).

Seperti dikutip dari swa.co.id (2018), dalam pertumbuhan industri retail

FMCG terindikasi bahwa brand Asia terus berkembang mengungguli mayoritas

pasar dalam beberapa tahun terakhir. Kesuksesan berbagai brand Asia diperoleh

dengan banyak menghadapi tantangan, namun dengan kemitraan yang kuat

dengan para pemain utama ritel lokal kesukesan dapat diraih, serta mampu

memperkokoh eksistensi brand lokal untuk tetap bertahan di pasar. Edisi kedua

publikasi tahunan dari Kantar Worldpanel, Asia Brand Power, memfokuskan pada

kekuatan peritel Asia, bagaimana respons dan penyesuaian pelaku bisnis dengan

1
2

perubahan kebutuhan konsumen yang mampu mendorong dan membentuk

kembali pasar fast moving consumer goods (FMCG) di Asia.

Selain promosi, keberhasilan brand FMCG lokal didukung oleh kapasitas

untuk menyesuaikan diri dengan model ritel yang cepat berubah, dengan cara

mengembangkan produk yang sejalan dengan visi peritel dari konsumen.

Terutama untuk memenuhi kebiasaan konsumen Indonesia yang berubah dengan

cepat, pemahaman mengenai dinamika pelanggan memegang peranan penting

dalam pertumbuhan yang berkesinambungan, karena dapat menginformasikan

aspek bisnis ritel secara luas dari portofolio produk, rantai pasokan, hingga

promosi yang dikembangkan (Rahayu, 2018).

Seyed, Morteza dan Javad (2017) menyatakan bahwa citra awal dari sebuah

brand memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap brand image dan sikap

penerimaan konsumen terhadap brand extension. Sebuah brand yang memiliki

reputasi yang baik akan mendapat penerimaan brand extension yang lebih baik.

Konsumen yang tidak terpaku terhadap suatu brand atau produk disinyalir lebih

dapat menerima atau memiliki keinginan untuk mencoba sebuah produk baru hasil

dari brand extension (Soomro, dkk, 2013). Senada dengan dua pernyataan di atas,

bahwasanya kualitas image dari sebuah brand setelah melakukan perluasan turut

dipengaruhi oleh brand image sebelum melakukan brand extension, namun

konsumen belum dapat percaya begitu saja terhadap produk baru hasil brand

extension tersebut (Kazeemi, Mohammadi dan Seifi, 2013).

Abdavi dan Shiralizadeh (2015) turut menemukan bahwa brand extension

berpengaruh terhadap brand image. Selain itu, integritas komunikasi antara brand
3

induk, produk yang baru dan brand image dapat mempengaruhi dan

meningkatkan sikap konsumen untuk memilih brand maupun produk tersebut.

Sikap konsumen dalam bentuk brand awareness dan brand familiarity turut

membangun image sebuah brand setelah melakukan brand extension. Hal ini

disebabkan sebuah brand adalah sesuatu yang merekat dengan pemikiran

(kognitif) dan emosi dari konsumen, karena konsumen senantiasa

membandingkan sebuah brand dengan brand lain dan memberikan prioritas

kepada brand yang dianggap lebih baik (Saleem, Rashid dan Aslam, 2014).

Beberapa kelebihan utama brand extension adalah transfer brand

associations ke produk baru, meningkatkan brand awareness, mengurangi

anggaran pemasaran, skala ekonomisasi, meningkatkan visibilitas brand,

peningkatan penerimaan konsumen, perpanjangan siklus hidup brand dan

meningkatkan ekuitas brand. Di sisi lain, perusahaan harus berhati – hati terhadap

pelemahan brand image induk, peningkatan brand associations negatif,

kanibalisasi, meningkatnya harapan konsumen dan kemungkinan peningkatan

biaya (Lozanova, 2016).

Sedangkan Husain dan Rashid (2016) mengidentifikasikan beberapa

elemen yang menentukan kesuksesan brand extension seperti, brand image induk,

proporsi brand induk, kekuatan brand induk, dukungan pemasaran, kualitas brand

induk dan pengalaman konsumen terhadap brand induk. Sementara itu Lozanova

(2016) mengidentifikasikan faktor karakteristik brand extension, karakteristik

brand induk, faktor yang berhubungan dengan perusahaan, faktor yang


4

berhubungan dengan konsumen, serta lingkungan pemasaran sebagai beberapa

faktor yang menentukan penerimaan konsumen terhadap sebuah brand extension.

Dibalik kelebihan dari brand extension, terdapat beberapa risiko dalam

pelaksanaan strategi tersebut. Untuk mengurangi resiko tersebut, maka perlu

adanya identifikasi terhadap faktor keberhasilan dari brand extension. Beberapa

faktor tersebut meliputi penambahan nilai melalui orisinalitas brand dan produk,

serta tetap berada pada positioning dari brand tersebut, terkait harga, kualitas,

tampilan dan citra. Selain itu relevansi terhadap brand dan produk utama, tetap

berpegang teguh pada visi pendiri, serta konsistensi terhadap brand identity dan

brand image juga merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan

dari brand extension (Som dan Pape, 2015). Bagi brand yang memiliki reputasi

lemah, brand extension yang berhasil akan berperan untuk memaksimalkan

reputasi brand tersebut dan menimbulkan kepercayaan konsumen terhadap brand

tersebut. Sedangkan bagi brand yang telah memiliki reputasi yang kuat, kegagalan

brand extension dapat menurunkan reputasi dari brand induk (Chun, dkk, 2015).

Mirabi, Akbariyeh dan Tahmasebifard (2015) mendefinisikan Purchase

intention sebagai pengambilan keputusan yang mempelajari alasan untuk membeli

brand tertentu yang dilakukan oleh konsumen. Purchase intention juga dapat

didefinisikan sebagai suatu situasi dimana konsumen cenderung membeli produk

tertentu dalam kondisi tertentu. Purchase intention oleh konsumen merupakan

proses yang rumit. Purchase intention biasanya terkait dengan perilaku, persepsi

dan sikap konsumen. Purchase behavior adalah titik kunci bagi konsumen untuk

mengakses dan mengevaluasi produk tertentu. Vahdati dan Nejad (2016)


5

menemukan bahwa brand personality dan brand equity memiliki pengaruh positif

dan signifikan terhadap purchase intention dari konsumen. Brand personality dan

brand equity tersebut timbul dari peran word of mouth secara elektronik melalui

media sosial.

Soodan dan Pandey (2016) menemukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara sikap konsumen dengan purchase intention. Hal ini disebabkan

karena sikap konsumen yang berkembang sebagai hasil dari norma sosial.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara sikap

konsumen dan norma subyektif. Dalam hal purchase intention FMCG, dapat

dikatakan tentang norma subyektif yang membantu untuk membentuk sikap

konsumen. Sikap konsumen adalah hasil dari sejumlah faktor dan norma subyektif

juga berkontribusi signifikan terhadap perkembangan sikap.

Sedangkan Maoyan, Zunjunxuan dan Sangyang (2014) mengemukakan

bahwa pemasaran melalui sosial media dapat menstimulus faktor eksternal yang

dapat mempengaruhi purchase intention seorang konsumen, karena referensi

mengenai perusahaan tersebut dapat diberikan dengan baik melalui sosial media.

Purchase intention juga memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai yang

dirasakan oleh konsumen, pengetahuan konsumen, serta dukungan selebriti

(Younus, Rashid dan Zia, 2015).

Wong dan Mo (2013) menyatakan bahwa purchase intention turut

dipengaruhi oleh besarnya penghasilan dan kesamaan ras antara penjual dan

pembeli. Dachyar dan Lizka (2017) menemukan berbagai faktor signifikan yang

mempengaruhi purchase intention pelanggan pada setiap perusahaan.


6

Kepercayaan dan risiko ditemukan berpengaruh secara signifikan terhadap

purchase intention. Sementara itu, kegunaan dan manfaat yang dirasakan terbukti

signifikan mempengaruhi purchase intention konsumen pada perusahaan.

Manfaat ekonomi, manfaat hedonik dan pengeluaran sosial telah

mempengaruhi konsumen untuk membeli produk palsu. Selanjutnya, etika

memiliki hubungan negatif dengan purchase intention produk palsu sebagai

hipotesis (Zahari, dkk, 2016). Informasi yang berguna kepada para penjual

diperlukan untuk membantu mengembangkan strategi pemasaran yang efektif

dalam meyakinkan market yang telah tersegmentasi untuk meningkatkan

purchase intention, serta untuk meningkatkan purchase behavior (Chiew, dkk,

2014).

Terkait dengan strategi pemasaran, produk atau layanan baru tidak harus

termasuk dalam kategori yang sama, tetapi perusahaan harus dapat mengirimkan

esensi brand dari satu market ke market yang lain. Hasil dari penelitian ini juga

menyoroti pengaruh komitmen brand terhadap extension. Secara khusus,

konsumen dengan tingkat komitmen yang lebih tinggi dapat menilai purchase

intention yang sesuai untuk brand extension. Dalam kasus apa pun, perusahaan

yang menargetkan konsumen dengan tingkat komitmen yang lebih rendah tidak

dapat mengabaikan kesesuaian kategori, karena konsumen fokus pada kesesuaian

kategori dalam menilai brand extension dan kesesuaian kategori untuk

mengurangi tingkat risiko (Wang, dkk, 2017). Pimenta, dkk (2014) menyatakan

bahwa kualitas perluasan jasa atau layanan dari sebuah brand yang sudah dikenal

lebih relevan atau baik dibandingkan dengan brand yang belum dikenali oleh para
7

konsumen. Konsumen akan lebih memiliki purchase intention terhadap brand

extension dari brand induk yang sudah lebih dikenal.

Senada dengan pernyataan di atas, Chinedu, dkk (2014) mengemukakan

bahwa pengaruh gabungan dari kesamaan brand image seperti persepsi yang

sesuai dari konsumen memang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja

pemasaran keseluruhan perusahaan. Oleh karena itu disarankan agar brand induk

perusahaan terlindung dari penurunan image, perusahaan harus terus menanamkan

persepsi yang sesuai dari brand induk pada brand extension yang dilakukan,

terkait penyediaan solusi tambahan terhadap permintaan, untuk mengakomodasi

semua kategori konsumen, dan dengan demikian mempertahankan relevansi

perusahaan sambil menghasilkan laba melalui tingkat pertumbuhan penjualan

yang berkelanjutan. Pada akhirnya persepsi konsumen terhadap brand induk

dengan brand extension memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap

keberhasilan brand extension yang menuntun kepada purchase intention dari

konsumen (Taskin dan Ozturk, 2016).

Djatmiko (2017) memaparkan bahwa di Indonesia, pertumbuhan brand

yang mengadopsi tren halal dalam produk maupun layanannya berkembang

dengan sangat pesat. Hal ini dapat terjadi mengingat segmen muslim mulai

menunjukkan posisinya sebagai market yang unik, alias membutuhkan perlakuan

khusus. Satu per satu brand mulai menyasar pasar yang secara global nilainya

mencapai US$ 2,9 miliar. Salah satu perusahaan FMCG besar yang masuk ke

dalam tren produk halal adalah P&G, perusahaan multinasional asal Amerika

Serikat yang menjalankan bisnis di Indonesia sejak tahun 1975.


8

Penetrasi pasar tren produk halal dari P&G dapat dikatakan sedikit

terlambat bila dibandingkan dengan produsen sejenis, seperti Unilever, dalam

menawarkan produk hijab-friendly ke konsumen Indonesia. Unilever telah

membawa value itu sejak tahun 2004 lewat produk Sunsilk Clean & Fresh. Ketika

itu, Sunsilk menampilkan model Inneke Koeserahwati yang tengah berhijab, yang

sengaja diciptakan untuk membidik pasar perempuan muslim berkerudung. Bisa

dibilang, iklan tersebut menandai iklan shampo pertama di media elektronik

televisi di Indonesia yang sama sekali tidak menampilkan kondisi rambut

penggunanya (Djatmiko, 2017).

Dalam kurun waktu 13 tahun sejak tahun 2004, pasar hijab care

menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2017, P&G mengeluarkan

produk shampo yang diformulasikan khusus untuk rambut perempuan yang

ditujukan untuk merangkul segmen perempuan muslim. Namun produk shampoo

ini bukanlah brand Rejoice pertama yang menargetkan kalangan hijabers. Sejak

tahun 2015, Rejoice telah membidik market hijabers. Perbedaannya adalah

dimana saat ini Rejoice lebih jelas dalam membidik market dengan menempelkan

stiker “Khusus Hijab” tepat di bawah tutup kemasannya. Hal ini menandakan

bahwa selain produk shampo ini dibuat khusus untuk perempuan berhijab, juga

mencerminkan kepercayaan brand mengenai pertumbuhan positif pasar hijab care

(Bachdar, 2017).

Menurut Martha (2018), terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi

kepercayaan brand terhadap pasar perempuan muslim.


9

1. Populasi muslim semakin meningkat di dunia, dimana menurut lembaga

Mintel, pertumbuhannya akan meningkat 73% antara kurun waktu 2010

hingga 2050.

2. Selain industri mode dan makanan yang memiliki sentimen positif terhadap

keberadaan market perempuan muslim, industri kosmetik dan perawatan

tubuh (personal care) juga mendapatkan sentimen positif tersebut.

3. Permintaan produk personal care untuk perempuan muslim semakin

spesifik. Hal ini terjadi pada produk perawatan rambut (hair care) yang

tidak hanya harus mengantongi sertifikasi halal dari Majelis Ulama

Indonesia, melainkan formulanya juga mesti dibuat khusus untuk rambut

yang tertutup hijab.

Di Indonesia terdapat sekitar 30 – 40% perempuan yang berhijab dari total

jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan di Indonesia, yakni sebanyak 128

juta jiwa (hasil proyeksi penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2016). Maka

terdapat sekitar 38 – 51 juta jiwa perempuan berhijab di Indonesia, pasar itu

menjadi captive market yang potensial bagi seluruh produsen shampo di

Indonesia.

Salah satu brand kosmetik dan kecantikan yang kini menjalankan bisnis di

lini personal care adalah Wardah. Wardah merupakan sebuah brand milik PT

Paragon Technology and Innovation dengan Nurhayati sebagai founder dan CEO.

Nurhayati memperkirakan bahwa segmen muslimah dan kecantikan di Indonesia

akan terus berkembang, seperti perkembangan brand Wardah sendiri yang dapat

tumbuh hingga 50 persen dalam setahun. Secara umum, bisnis kosmetika di


10

Indonesia tumbuh dengan rata – rata 10 – 15 persen per tahun. Potensi dari

segmen muslimah semakin berkembang karena bertumbuhnya fashion muslim

yang lifestyle, lebih modis tapi tetap bermartabat dengan anak – anak muda seperti

hijabers yang lebih agresif dalam mengkonsumsi produk Wardah (Widjaya,

2015).

Wardah sebagai sebuah brand yang mendominasi pasar produk personal

care wanita di Indonesia ini tidak gentar untuk mencoba mendobrak pasar produk

shampo di Indonesia yang masih didominasi oleh produk asing dari perusahaan

FMCG kelas dunia. Keberanian Wardah dalam melakukan brand extension

menarik untuk dikaji lebih dalam, terkait dengan apakah brand extension

menyebabkan purchase intention pada produk Sampo Wardah di kalangan

mahasiswi hijabers STIKOM Interstudi Jakarta Selatan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran pada latar belakang masalah penelitian, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah brand extension

menyebabkan purchase intention pada produk Sampo Wardah di kalangan

mahasiswi hijabers STIKOM Interstudi Jakarta Selatan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas adalah

untuk mengetahui apakah brand extension menyebabkan purchase intention pada


11

produk Sampo Wardah di kalangan mahasiswi hijabers STIKOM Interstudi

Jakarta Selatan.

1.4. Signifikansi Penelitian

Sedangkan signifikansi dari penelitian berdasarkan paparan perumusan

masalah adalah sebagai berikut :

1. Akademis

Memberikan pengetahuan kepada peneliti tentang penulisan karya ilmiah

dan meningkatkan wawasan terkait hubungan antara brand extension

terhadap purchase intention pada sebuah merk dagang.

2. Praktis

Memberikan informasi kepada perusahaan mengenai hubungan antara

brand extension terhadap purchase intention, sehingga pada nantinya

perusahaan dapat mengkaji lagi mengenai strategi marketing sesuai

dengan yang diinginkan dan dibutuhkan oleh para konsumen.

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci dan untuk

mempermudah pemahaman isi dari penelitian ini, maka sistematika penulisan

pada penelitian ini terbagi menjadi 5 bagian (BAB), dengan rincian sebagai

berikut :
12

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, menentukan

perumusan masalah, identifikasi masalah, tujuan dan signifikansi

dalam melakukan penelitian, ruang lingkup pembahasan, serta

sistematika penulisan yang akan menggambarkan garis besar

penulisan secara menyeluruh.

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam bab ini berisi uraian singkat yang menjadi dasar teori terkait

dengan Variabel X, yaitu brand extension yang berisi pengertian

brand extension, klasifikasi brand extension, dimensi brand

extension dan indikator brand extension. Setelah itu terdapat

Variabel Y, yaitu purchase intention yang berisi pengertian

purchase intention, tipe – tipe purchase intention, dimensi

purchase intention, indikator purchase intention, serta penelitian

terdahulu sebagai kajian pustaka.

BAB III METODOLOGI

Dalam bab ini berisi tentang objek penelitian, data penelitian

mengenai populasi dan sampel, karakterisik responden, teknik

pengambilan sampel, serta penjelasan mengenai konsep dasar

operasional dan perhitungan yang berisi kisi – kisi variabel, uji

instrumen penelitian, teknik analisa data, konsep dasar penelitian,

serta keterbatasan penelitian.


13

BAB IV HASIL PENELITIAN

Bab ini akan membahas mengenai tinjauan umum perusahaan yang

diawali dengan sejarah perusahaan, struktur perusahaan Wardah,

merk dagang dan produk Wardah, serta data hasil kuesioner

Variabel X, data hasil kuesioner variabel Y, tabel penolong, serta

analisa variabel X terhadap Y mengenai uji validitas dan

reliabilitas, uji koefisien korelasi, uji koefisien determinasi dan uji

koefisien regresi.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang merupakan

ringkasan akhir yang diperoleh dari hasil penelitian, serta saran –

saran.

Anda mungkin juga menyukai