Anda di halaman 1dari 36

Case Report Session

PENYAKIT GINJAL KRONIK

Oleh:

Lihayati 2040312157

Putri Aisyah Mirza 2040312139

Preseptor:

dr. Hj. Desi Malinda, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case
Report Session Kepaniteraan Klinik senior Ilmu Penyakit Dalam RS Achmad
Mochtar Bukittinggi dengan judul “Penyakit Ginjal Kronik” ini dengan baik.
Adapun tujuan dari penyusunan Case Report Session ini adalah untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior di RSAM Bukittinggi. Selain itu,
penyusunan Case Report Session ini juga bertujuan agar penulis lebih memahami
tentang Penyakit Ginjal Kronik.
Dalam penulisan Case Report Session ini, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada dr. Hj. Desi Malinda, Sp.PD.
FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan
Case Report Session.
Kritik dan saran membangun tentu penulis harapkan untuk
penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Semoga Case Report Session
ini dapat bermanfaat.

Bukittinggi, 22 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Batasan Penulisan ..........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
1.4 Metode Penulisan ..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3
2.1 Definisi ..........................................................................................................3
2.2 Klasifikasi ......................................................................................................3
2.3 Epidemiologi .................................................................................................4
2.4 Etiologi ..........................................................................................................4
2.5 Faktor Risiko .................................................................................................7
2.6 Patofisiologi...................................................................................................8
2.7 Gambaran Klinik .........................................................................................10
2.8 Pendekatan Diagnosis..................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................13
2.10 Prognosis ...................................................................................................16
2.11 Pencegahan ................................................................................................17
BAB III LAPORAN KASUS ...............................................................................18
BAB IV DISKUSI .................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah
dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat
tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap
kuat.
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus
serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium
tertentu. Hasil systematic review dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al,
2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global
Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-
27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.
Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua
pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.
Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun
dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan
ditanggulangi dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih
besar jika diketahui lebih awal.
Sebagai penyakit yang sering ditemukan dan memiliki biaya perawatan
yang tinggi di rumah sakit, penulisan referat ini diharapkan berguna dalam segi
keilmuan bagi dokter muda dalam kepaniteraan klinik.

1
1.2 Batasan Penulisan
Case Report Session ini membahas mengenai Penyakit Ginjal Kronik
mencakup definisi hingga prognosis berserta laporan kasus.

1.3 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSAM Bukittinggi dan diharapkan agar dapat
menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan penulisan dari Case report session ini adalah untuk membahas
secara komprehensif mengenai penyakit ginjal kronis.

1.3 Metode Penulisan


Metode yang dipakai adalah tinjauan pustaka dengan merujuk kepada
beberapa literatur beruba buku teks, jurnal, dan makalah ilmiah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².
Batasan penyakit ginjal kronik:1,2
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik terbagi dalam lima stadium. Stadium 1
adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2
kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3
kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4
kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah
gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:1
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus. 1,3
Derajat Penjelasan LFG
(mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

3
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkitakan 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun.1
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
1
2000:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih. 2

2.4 Etiologi1,3,4
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal
di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan
glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal,
mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan
manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan
perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan

4
silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi,
edema, dan fungsi ginjal terganggu.2
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. 2
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10%
terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut
yaitu dapat terjadi hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi
hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul
ginjal.2

b. Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua duanya.2
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun.2
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan
hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di
ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin.
Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi
dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara
proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa

5
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf . 2,4

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal. 5,6

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta
terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6

Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi


Tekanan (mmHg) (mmHg) Gaya
Darah Hidup
Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya antihipertensi
Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
kombinasi
Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya thiazid tipe
diuretik dan ACEI atau
ARB atau BB atau
CCB)
Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adalah
<130/80 mmHg.

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di

6
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2

2.5 Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal
akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan
lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan
lingkungan tertentu.3

7
2.6 Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi penyakit ginjal kronik

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. 1,2
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-

8
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial.1
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.1
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons
terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam

9
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis. 1
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat
stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-
stadium tersebut.

2.7 Gambaran Klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.1,2,6

a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,6
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-

10
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. 2

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat

11
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

2.8 Pendekatan Diagnosis


Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan
histopatologis.1,6
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i. sesuai dengan penyakit yang mendasari;

12
ii. sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii. gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah
lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria,
hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing
tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.9 Penatalaksanaan1,2,3,6
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,

13
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan dan elektrolit
Pembatasan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500-800
ml ditambah jumlah produksi urin. Elektrolit harus diawasi asupannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
menyebabkan aritmia jantung yang fatal. Kadar kalium darah yang dianjurkan
adalah 3,3-5,5 meq/lt. Pembatasan naterium dimaksudkan untuk mengndalikan
hipertensi dan edema.

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial
50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi
dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg
dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu. 6
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian

14
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan
tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

15
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

2.10 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang
mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien
yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi
ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian

16
terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan
pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2

2.11 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan.3

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. DA
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru
No. RM : 557546
Tanggal Masuk : 3 Februari 2022
Tanggal Pemeriksaan : 18 Februari 2022
Alamat : Situjuah Gadang, Lima Puluh Kota

3.2 Anamnesis
Pasien dirawat di bangsal Penyakit Dalam RS Achmad Mochtar Bukittinggi pada
3 Februari 2022 dengan:
Keluhan Utama
Sembab seluruh tubuh meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
‒ Sembab seluruh tubuh meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sembab sudah dirasakan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, terjadi
secara perlahan. Awalnya sembab dirasakan pada kedua tungkai,
kemudian kedua lengan, perut, dan wajah.
‒ Badan lemah dan letih sejak ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
‒ Nafsu makan menurun sejak ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
‒ Pasien mengeluh sering merasa sesak napas sejak 2 bulan yang lalu. Sesak
tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca serta makanan. Karena sesaknya pasien
lebih nyaman tidur dengan bantal ditinggikan. Sesak yang menciut tidak
ada.
‒ Mual dan muntah ada sejak ± 1 minggu yang lalu, frekuensi 2-3 kali
sehari, volume 2 sendok tiap muntah, berisi apa yang dimakan.
‒ Batuk ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak berdahak.

18
‒ BAK ada, volume sedikit, warna biasa.
‒ BAB tidak ada keluhan.
‒ Demam tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
‒ Riwayat Diabetes Mellitus sejak tahun 2008 (14 tahun yang lalu). Pasien
berobat ke spesialis penyakit dalam, mendapat obat Metformin dan
Glimepiride, namun pasien tidak rutin minum obat. Sejak 1 tahun ini,
pasien mendapat injeksi insulin.
‒ Riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu. Pasien berobat ke spesialis
penyakit dalam dan mendapat obat Candesartan dan Amlodipin.
‒ Riwayat batu kandung empedu 1 tahun yang lalu.
‒ Riwayat penyakit jantung tidak ada.
‒ Riwayat penyakit paru tidak ada.
‒ Riwayat keganasan tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
‒ Riwayat DM pada keluarga ada yaitu ibu dan kelima saudara pasien.
‒ Riwayat hipertensi pada keluarga tidak ada.
‒ Riwayat penyakit ginjal pada keluarga tidak ada.
‒ Riwayat penyakit jantung pada keluarga tidak ada.
‒ Riwayat penyakit paru pada keluarga tidak ada.
‒ Riwayat keganasan pada keluarga tidak ada.

Pedigree Diabetes Mellitus

Keterangan:
: Wanita : Laki-laki : : Diabetes Mellitus

19
Riwayat Kebiasaan
‒ Pasien bekerja sebagai guru dengan aktivitas ringan sedang.
‒ Pasien tidak merokok.
‒ Pasien tidak mengonsumsi alkohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalisata
‒ Keadaan umum : Sedang
‒ Kesadaran : Komposmentis kooperatif
‒ Tekanan darah : 180/105 mmHg
‒ Nadi : 80 kali/menit
‒ Pernafasan : 20 kali/menit
‒ Suhu : 36,6°C
‒ Tinggi badan : 154 cm
‒ Berat Badan : 70 kg (BB sebelumnya 60 kg)
‒ IMT : 25,3 kg/m2 (overweight)

b. Status Lokalisata
‒ Kepala
Normochepal, simetris, rambut hitam dan tidak mudah rontok, deformitas
(-), sikatrik (-), udem wajah (+)

‒ Mata
Nyeri (-), diplopia (-), penglihatan normal, udem palpebra (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor Ɵ3mm/3mm,
refleks cahaya (+/+)

‒ Telinga
Nyeri tarik pinna (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri ketok mastoid (-/-)
cairan (-/-), bunyi mendenging (-/-), pendengaran dalam batas normal

20
‒ Hidung
Deformitas (-/-), penyumbatan (-/-), epistaksis (-/-), sekret (-/-), penciuman
dalam batas normal, nyeri (-)

‒ Mulut
Mukosa bibir lembab merah muda, sianosis (-), gigi (normal), palatum
dalam batas normal, lidah kotor (-), tonsil ukuran T1-T1, gangguan
mengecap tidak ada, lidah tidak ada deviasi, atrofi papil lidah (-), uvula di
tengah, gusi dalam batas normal.

‒ Leher
JVP : 5 - 2 cmH2O
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
Trakea : Tidak terdapat deviasi trakea
Kaku kuduk : Tidak ada
Tumor : Tidak ada

‒ Dada
Bentuk : Normochest
Buah dada : Simetris

‒ Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, dalam
pernafasan normal, kecepatan pernafasan normal, jenis
pernafasan thorakal abdominal
Palpasi : Taktil fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

21
‒ Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial linea midclavicula sinistra
RIC V
Perkusi : Batas atas RIC II kanan, batas kanan linea sternalis dextra,
batas kiri linea midclavicula sinistra RIC V
Auskultasi : Irama reguler, murmur (-), gallop (-), M1>M2, A2>P2

‒ Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), pelebaran vena kolateral (-),caput medusae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani

‒ Alat Kelamin : Tidak diperiksa


‒ Anus dan Rektum : Tidak diperiksa

‒ Saraf atau Otot


Atrofi otot (-), bengkak sendi (-), nyeri otot (-)

‒ Pembuluh Darah
Arteri carotis : Teraba, sama kiri kanan
Arteri brachialis : Teraba, sama kiri kanan
Arteri radialis : Teraba, sama kiri kanan
Arteri temporalis : Teraba, sama kiri kanan
Arteri femoralis : Teraba, sama kiri kanan
Arteri poplitea : Teraba, sama kiri kanan
Arteri tibialis posterior : Teraba, sama kiri kanan
Arteri dorsalis pedis : Teraba, sama kiri kanan

22
‒ Kulit
Warna kuning langsat, effloresensi (-), sikatrik (-), pigmentasi normal,
ikterus (-), sianosis (-), spider nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (-/-),
pertumbuhan rambut normal.

‒ Ekstremitas superior
Inspeksi : Deformitas (-/-), udem (+/+), hiperpigmentasi (-/-),
hipopigmentasi (-/-), ulkus (-/-), clubbing finger (-/-)
Palpasi : Akral hangat, pitting edem (+/+), kekuatan otot (555/555)
Sensibilitas : Halus (+), kasar (+)
Refleks : Fisiologis (++/++), patologis (-/-)

‒ Ekstremitas inferior
Inspeksi : Deformitas (-/-), udem (+/+), hiperpigmentasi (-/-),
hipopigmentasi (-/-), ulkus (-/-), clubbing finger(-/-)
Palpasi : Akral hangat, pitting edem (+/+), kekuatan otot (555/555)
Sensibilitas : Halus (+), kasar (+)
Refleks : Fisiologis (++/++), patologis (-/-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Darah rutin - 3 Februari 2022
Hb : 8,4 gr/dl
Leukosit : 6.690/mm3
Trombosit : 299.000/mm3
Hematokrit : 24,5%
Eritrosit : 2.900.000/uL
MCV : 84,5 fL
MCH : 29,0 pg
MCHC : 34,3 g/dl
Kesan : Anemia sedang normositik normokrom, hematokrit rendah

23
Elektrolit – 3 Februari 2022
Na : 138,5 mEq/l
K : 4,13 mEq/l
Cl : 105,1 mEq/l
Kesan : hasil dalam batas normal

Kimia klinik – 3 Februari 2022


Gula darah puasa : 226 mg/dl
Albumin : 2,2 gr/dl
SGOT : 17 u/l
SGPT : 15 u/l
Ureum : 96,1 mg/dl
Kreatinin : 4,7 mg/dl
Kesan : gula darah tinggi, albumin rendah, ureum dan kreatinin meningkat

Urinalisa – 3 Februari 2022


1. Fisis
Warna : Kuning muda
Kekeruhan : (+)
2. Sedimen
Eritrosit :-
Leukosit : 2/lpb
Epitel :-
3. Kimia Urin
Protein : +3
Glukosa : +4
Bilirubin : (-)
Urobilinogen : normal
Benda Keton : (-)
pH : 7.0
Darah samar/Hb : (-)
Leukosit : (+)

24
Hematologi – 7 Februari 2022
PT : 9.9 detik
APTT : 30,3 detik
INR : 0,94
Kesan : dalam batas normal

Darah rutin - 14 Februari 2022


Hb : 10,5 gr/dl
Leukosit : 7.260/mm3
Trombosit : 264.000/mm3
Hematokrit : 30,0%
Eritrosit : 3.640.000/uL
MCV : 82,4 fL
MCH : 28,8 pg
MCHC : 35,0 g/dl
Kesan : Anemia ringan normositik normokrom, hematokrit rendah

b. Foto Polos Thoraks - 4 Februari 2022

Kesan:
- Efusi pleura bilateral
- Hipertrofi atrium kiri

25
- Hepar, limpa, pankreas, ginjal saluran kemih, serta uterus adneksa tak
tampak kelainan

c. USG abdomen atas dan bawah – 8 Februari 2022

Kesan :
- Efusi pleura bilateral
- Hepar, limpa, pankreas, ginjal saluran kemih, serta uterus adneksa tak
tampak kelainan

3.5 Diagnosis
Diagnosis primer : Chronic Kidney Disease stage V
Diagnosis sekunder : DM tipe 2 tidak terkontrol, overweight
Hipertensi stage 2 esensial
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik

26
3.6 Rencana Terapi
3.6.1 Nonfarmakologis
- Istirahat
- Diet rendah garam rendah protein rendah gula 1700 kkal

3.6.2 Farmakologis
- IVFD Ringer Lactat 24 jam/kolf
- Lasix 2x 20 mg (iv)
- Novorapid 3x 8 unit (subkutan)
- Candesartan 1x 8 mg (po)
- Amlodipin 1x10 mg (po)
- Omeprazole 1x 40 mg (iv)
- Orbumin 3x 500 mg (po)
- Asam folat 3x 1 mg (po)
- Ondansetron inj 3x 4 mg (iv)
- Codein 2x 10 mg (po)
- Pro Hemodialisis

3.7 Pemeriksaan Anjuran


- Cek ureum kretinin post HD
- Cek gula darah puasa, gula darah 2 jam TTGO, dan HbA1c

3.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanam : Dubia ad Malam
Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

27
FOLLOW UP

Jum’at, 18 Februari 2022


S/ - Mual muntah (+)
- Pasien sulit tidur malam
- Sembab (+) seluruh tubuh berkurang
- Batuk (+), tidak berdahak
- BAK (+) sedikit, warna biasa
O/ KU : Sedang
Kesadaran : CMC
TD : 162/90 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Napas : 19 kali/menit
Suhu : 36,1oC
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung: BJ1 dan BJ2 reguler, bising (-), gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), supel, perkusi timpani, BU (+) normal
Ekstremitas: edema (+/+) pada ekstremitas atas dan bawah
A/ - Edema anasarka ec CKD stage V
- DM tipe II
- Hipertensi stage 2
P/ Pantau TTV, lanjutkan terapi
Pro HD

Senin, 21 Februari 2022


S/ - Mual muntah (+), berisi cairan
- Batuk (+), tidak berdahak
- Sembab (+) berkurang
- Pasien sulit tidur malam
- BAK (+) sedikit, warna biasa
O/ KU : Sedang

28
Kesadaran : CMC
TD : 162/80 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7oC
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung: BJ1 dan BJ2 reguler, bising (-), gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), supel, perkusi timpani, BU (+) normal
Ekstremitas: edema (+/+) pada ekstremitas atas dan bawah
A/ Edema anasarka ec CKD stage V
DM tipe II
Hipertensi stage 2
P/ Pantau TTV, lanjutkan terapi
Pro HD

Selasa, 22 Februari 2022


S/ - Mual (+), nyeri perut (+)
- Batuk (+), tidak berdahak
- Sembab (+) berkurang
- Pasien sulit tidur malam
- BAK (+) sedikit, warna biasa
O/ KU : Sedang
Kesadaran : CMC
TD : 170/100 mmHg
Nadi : 96 kali/menit
Napas : 22 kali/menit
Suhu : 36,7oC
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung: BJ1 dan BJ2 reguler, bising (-), gallop (-)
Paru : suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: distensi (-), supel, perkusi timpani, BU (+) normal

29
Ekstremitas: edema (+/+) pada ekstremitas atas dan bawah
A/ Edema anasarka ec CKD stage V
DM tipe II
Hipertensi stage 2
P/ Pantau TTV, lanjutkan terapi
Pro HD

30
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan usia 55 tahun dirawat di bangsal RS Achmad


Mochtar Bukittinggi dengan diagnosis edema anasarka ec Chronic Kidney
Disease stage V, DM Tipe II, dan Hipertensi stage 2.
Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease / CKD) ialah kerusakan
ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Penegakan diagnosis
penyakit ginjal kronik pada pasien ini, berdasarkan keluhan yang mengarah ke
sindroma uremia, dan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan ureum dan
kreatinin yang meningkat. Kadar ureum darah yang tinggi (uremia) akan
menyebabkan keluhan berbagai organ seperti saluran cerna (nafsu makan
menurun, mual, muntah), kulit (uremic frost dan gatal di kulit), kelainan
neuropsikiatri (emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi) dan kelainan
kardiovaskular (gagal jantung, hipertensi, edema). Pada pasien terdapat
peningkatan kadar ureum yaitu 96,1 mg/dl.
Kadar ureum 96,1 mg/dl dan kreatinin 4,7 mg/dl. Berdasarkan rumus
Kockroft-Gault, maka didapatkan nilai LFG sebagai berikut :1
( )

( )

Berdasarkan klasifikasi penyakit ginjal kronik, maka pasien ini


diklasikasikan penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) stage V (GFR <15
ml/menit/1,73 m2).
Pasien datang dengan keluhan edema anasarka. Edema terbentuk karena
adanya overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Pada penyakit ginjal
kronik terjadi penurunan kemampuan filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
hipoalbuminemia. Hipolbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma intravaskuler sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema.

31
Pada anamnesis perlu ditanyakan penyebab penyakit ginjal kronik pada
pasien seperti riwayat hipertensi, riwayat DM, atau sebab lain. Pada kasus ini
pasien telah dikenal menderita diabetes melitus sejak 14 tahun yang lalu.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah penatalaksanaan nonfarmakologis
(Istirahat, diet rendah gula, rendah protein) dan farmakologis (IVFD Ringer Lactat
24 jam/kolf, Lasix 2x 20 mg, Novorapid 3x 8 unit, Candesartan 1x 8 mg,
Amlodipin 1x10 mg, Omeprazole 1x 40 mg, Orbumin 3x 500 mg, Asam folat 3x
1 mg, Ondansetron inj 3x 4 mg, Codein 2x 10 mg). Pada pasien dengan CKD
grade V dengan GFR <15 ml/menit/1,73 m 2 diperlukan terapi pengganti ginjal.
Pada pasien ini dilakukan hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal.
Pembatasan asupan protein pada pasien penyakit ginjal kronik bertujuan
untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus. Pemberian diet tinggi protein
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan cairan dan elektrolit untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular lebih lanjut.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 25 Mei 2013.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
hlm 168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007.
294-97.
6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
7. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jil 1:ed V. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Hal:1597

33

Anda mungkin juga menyukai