Anda di halaman 1dari 108
DJOKO SARYONO eye) EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN Testimoni “Setiap orang merindukan guru. Prof. Dr. Djoko Saryono, dengan bukunya Literasi: Episentrum Ke- majuan Kebudayaan dan Peradaban, adalah guru yang kehadirannya telah lama kita nantikan. Saya teringat film serial Terminator, robot yang mele- sat masuk ke bola bumi dari masa depan. Fiksi ilmiah ini terasa pas untuk menyambut kehadir- an buku Literasi ini, yang seolah hadir dari masa depan, karena bobot dan cakrawala pemikiran yang ditawarkan. Dengan buku kecil ini, Djoko Saryono sebagai penulis menyapa kita dengan trilogi yang padu: pemikiran, tindakan, dan kete- ladanan. Lewat pemikiran yang tajam dan kritis, sebagai hasil telaah yang luas dan mendalam, kita diajak berdialog dan sekaligus ditunjuk-hidung —involusi literasi. Sementara kita dimanjakan oleh pesatnya kemajuan teknologi digital, keba- nyakan kita terlempar mundur ke ranah kelisan- an: ngrumpi! Dengan tindakan dan gebrakan inte- lektual, Djoko Saryono menggugah kesadaran kita. Bacalah sejarah, simaklah riak-ombak pera- daban dan kebudayaan, dan lihatlah bagaimana bangsa-bangsa yang maju membangun diri! Me- reka yang tegak memimpin di depan adalah pe- metik buah literasi. Dan dari sang penulis, yang paling membanggakan dan sekaligus menyejuk- kanadalah keteladanannya. Djoko Saryonobukan hanya memaparkan gagasan yang segar tentang literasi, tetapi juga hadir sebagai contoh. Luasnya bacaan mutakhir pada Daftar Pustaka menun- jukkan betapa “literasi” telah menjadi semangat yang mendarah-daging dalam dirinya sebagai il- muwan sejati. Lebih dari itu, pada “Sekapur Si- rih”, sang penulis seperti menggugat dirinya sen- diri: jangan-jangan pada karya yang dihasilkan lima tahun lalu (2013) itu telah terjadi rampang dan timpang. Sementara kita khalayak pembaca masih terlongok-longok oleh “pemikiran dari masa depan”, gagasan ini diragukan oleh penu- lisnya sendiri. Saya berharap trilogi pemikiran, tindakan, dan keteladanan intelektual ini hadir sebagai guru dan sekaligus terminator, yang akan memusnahkan budaya malas-baca dan meng- hidupkan budaya beraksara.” Effendi Kadarisman Guru Besar Linguistik Universitas Negeri Malang LITERASI EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN Djoko Saryono Literasi: Episentrum Kemajuan Kebudayaan dan Peradaban Djoko Saryono Tata Letak oleh Alra Ramadhan Gambar Sampul oleh Yudha Cetakan Pertama, April 2019 11x17 cm; xvi + 92 hal. Penerbit Pelangi Sastra Surel : penerbitpelangisastra@gmail.com Instagram : @pelangisastrabooks ‘Twitter : @pelangisastra Facebook : Penerbit Pelangi Sastra http://www.pelangisastramalang.org ISBN: 978-602-54101-3-0 Sekapur Sirih aya terdiam, agak lama. Pasalnya, Denny ‘Mizhar dari Penerbit Pelangi Sastra menya- takan niat menerbitkan naskah risalah ringkas bertajuk Literasi: Episentrum Kemajuan Kebudaya- an dan Peradaban ini. Bagi saya, penerbitan risa- lah ringkas ini lebih seperti selayang pukulan be- rat daripada selambai tangan saat (di/ter)-publi- kasikan, apalagi dibaca khalayak ramai. Apa pa- sal? Seorang penulis seperti saya lazim terpe- rangkap paradoks atau kontradiksi karyanya sendiri. Benar, akibat jarak waktu dan horison pemikiran yang berubah, sebuah karya tulis se- lalu menyodorkan paradoks atau kontradiksi di dasar batin penulisnya. Ketika menulis, dia me- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN vii viii rasa sudah menulis karya dengan sebaik, secer- mat, bahkan secanggih mungkin sehingga tulis- annya terkesan sempurna atau patut dibaca kha- layak ramai. Sesaat kemudian, setelah tulisan se- lesai, lebih-lebih setelah berjarak waktu sekian lama, dia merasakan tulisan itu penuh kekurang- an di sana-sini, compang-camping, belepotan bercak ‘kenaifan’ pikiran-gagasan di berbagai bagian, bahkan kesumiran-kesempitan penalaran-pemi- kiran. Tak ayal, sesudah saya baca ulang dan ber- ulang-ulang, tulisan-tulisan saya—termasuk risa- lah ringkas ini—terasa penuh retakan, lubang, bahkan patahan gagasan dan pemikiran, yang sa- ngat mungkin “menjerumuskan” pembaca. Namun, di ceruk batin tebersit pertanyaan. Apakah sebuah tulisan tak perlu di-publikasi/ terbit-kan dengan risiko tetap bisa diakses dan dibaca khalayak ramai mengingat pada zaman digital sekarang segala sesuatu “jebol dan tan- pa batas” —termasuk naskah risalah ringkas ini? Meski tak diterbitkan, sangat mungkin suatu sa- at risalah ringkas ini tersedia secara digital dan diakses oleh siapa saja. Daripada demikian, lalu saya putuskan menerbitkan risalah Literasi: Epi- DJOKO SARYONO. sentrum Kemajuan Kebudayaan dan Peradaban ini meski tak sempat merevisi secara berarti. Selain alasan klasik tak bisa menyediakan waktu cukup untuk menulis ulang naskah, penerbitan risalah ini diniatkan sebagai dokumentasi perkembang- an gagasan dan pemikiran saya tentang literasi. Di samping itu, juga sebagai pertanggungjawab- an akademis-intelektual saya. Tiap penulis khu- susnya pengamat dan pegiat literasi diminta tanggung jawab akademis-intelektual atas apa yang dipikirkan, digagas, dan direnungkan pe- rihal dunia literasi. Risalah ringkas ini pengeja- wantahan pokok-pokok pikiran, gagasan, dan renungan saya perihal literasi, yang di sana-sani mengandung retakan, bahkan patahan gagasan, pikiran, dan renungan. Pokok-pokok pikiran, gagasan, dan renung- an tentang literasi sudah saya tuliskan di dalam risalah ringkas ini lebih sewindu lalu, saat ma- sih berlangsung Dasawarsa PBB tentang Literasi 2003-2013 yang menggusung tema: literasi seba- gai kebebasan, hak untuk literasi, dan prakarsa literasi bagi pemberdayaan. Pada saat itu per- bendaharaan kata atau istilah Jiterasi, multi-lite- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN ix x rasi, literasi baru, komunitas literasi, gerakan lite- rasi, teori literasi, pendekatan literasi, dan sejenis- nya masih belum banyak digunakan dan sepo- puler sekarang. Selain istilah buta huruf, buta ak- sara, dan keniraksaraan, saat itu yang lebih popu- ler dan banyak digunakan ialah kosakata atau is- tilah melek aksara, keberaksaraan, kemahirwacanaan, keaksaraan fungsional dan pemberantasan buta ak- sara. Istilah-istilah tersebut pada dasarnya ber- padanan dan berkemiripan makna karena ketiga istilah pertama merupakan usaha mengindone- siakan istilah literacy. Seriring dengan perkem- bangan waktu dan kemajuan teoretis-konseptual pun kajian empiris, sekarang istilah literacy di- adaptasi menjadi /iterasi dalam bahasa Indonesia dengan bentangan makna yang terus meluas. Di Indonesia bahkan sekarang istilah literasi lebih populer dan jauh lebih tinggi frekuensi penggu- naannya dibandingkan dengan—bahkan sudah menggeser (menggantikan?)—istilah melek ak- sara, keberaksaraan, dan kemahirwacanaan. Sa- lah satu rekomendasi pertemuan nasional Forum Taman Bacaan Masyarat (TBM) tahun 2018 ma- lah mengusulkan kepada pemerintah (baca: Kem- DJOKO SARYONO. dikbud) untuk mengubah istilah Hari Aksara In- ternasional (HAI) menjadi Hari Literasi Interna- sional. Tak syak, sejak beberapa tahun belakang- an istilah literasi, gerakan literasi, komunitas litera- si, pegiat literasi, dan sejenisnya semakin melejit di masyarakat Indonesia. Demikianjuga program dan kegiatan literasi makin merambah pelbagai kalangan masyarakat dan sektor pemerintahan. Berbagai lembaga pemerintah pusat—antara lain Kemdikbud, Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Keuangan—inten- sif dan masif mengembangkan dan melaksana- kan gerakan atau kegiatan literasi. Makin populer dan meluasnya (istilah, kegi- atan, program, dan gerakan) literasi di Indone- sia paling tidak didorong oleh empat hal utama. Pertama, makin tumbuhnya kesadaran betapa fundemental, strategis, dan pentingnya literasi bagi kemajuan dan masa depan masyarakat dan bangsa Indonesia. Baik secara historis maupun sosiologis terbukti bahwa masyarakat dan bang- sa yang maju dan unggul selalu disokong oleh adanya literasi, hidupnya tradisi literasi. Kedua, makindisadarinya oleh sebagian besar kalangan LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN xi xii masyarakat Indonesia termasuk pemerintah In- donesia bahwa kemajuan dan keunggulan indi- vidu, masyarakat, dan bangsa Indonesia juga di- tentukan oleh hidupnya tradisi dan budaya lite- rasi yang mantap. Ketiga, makin kuatnya kepe- dulian dan keterlibatan berbagai kalangan ma- syarakat dan pemerintah dalam usaha-usaha me- numbuhkan, memantapkan, dan bahkan menye- barluaskan kegiatan, program, tradisi, dan bu- daya literasi di lingkungan masyarakat, ling- kungan keluarga, dan lingkungan lembaga pen- didikan. Keempat, makin banyaknya gerakan-ge- rakan literasi yang berkembang di masyarakat dan sekolah yang dilakukan oleh berbagai ka- langan. Ringkasnya, literasi sekarang mulai (te- ngah?) berkibar di mana-mana dan kemana-ma- na. Meminjam gaya bahasa Titi Kamal dalam se- buah filmnya: ada mendadak literasi di bumi In- donesia. Kendati mengandung retakan, bahkan pa- tahan gagasan, pikiran, dan renungan, risalah ringkas ini saya harap dapat mengintensifkan kibaran sehingga ‘bendera’ literasi (di) Indonesia makin semarak, rancak, danmenggelegak. Dalam DJOKO SARYONO. segala keterbatasan dan kekurangannya, paling tidak risalah ringkas ini bisa menjadi seperti ‘em- busan angin semilir’ yang menjadikan literasi berkibar-lambai lebih kuat di Indonesia. Dengan pandangan klasik dan konvensional tentang li- terasi yang dikandung risalah ringkas ini, namun dalam bingkai budaya dan sejarah yang berane- ka ragam, saya harapkan risalah ringkas ini bisa menjadi umpan bagi pemikir, pegiat, dan peng- gerak literasi untuk berbagi pemikiran dan peng- alaman. Di samping itu, bisa menjadi lentera ke- cil untuk melihat perkembangan konsep dan bu- daya literasi yang dapat digunakan sebagai ‘salah satu pegangan berbincang perkara literasi’. Kalau hal tersebut dapat terwujud tentulah saya bahagia. Dalam kebahagiaan itu pertama- tama niscaya saya bersyukur kepada Allah tiada berhingga. Hanya Allah-lah yang memampukan saya menulis risalah ringkas literasi ini; hanya Allah-lah yang menjadikan saya berani mener- bitkan risalah ringkas ini. Kemudian saya harus berterima kasih kepada pelbagai pihak yang me- mungkinkan risalah ringkas ini dapat ditulis dan diterbitkan. Pertama, terima kasih kepada jajaran LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN xiii xiv pemimpin Universitas Negeri Malang yang mem- berikan berbagai kemudahan dan kesempatan yang menjadikan saya bisa mengekspresikan pi- kiran dan gagasan tentang literasi. Kedua, kepa- da anak-anak kultural saya di komunitas Pelangi Sastra Malang dan Kafe Pustaka Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang. Demikian juga kepada sedemikian banyak sahabat dan pengge- rak literasi di kota Malang, saya layangkan terima kasih setulus-tulusnya. Terakhir, terima kasihsaya alamatkan kepada istri dan keempat anak saya: Bunda Yani, Nanda, Wibi, Ayu, dan Lala. Mereka adalah permata yang selalu memancarkan ge- merlap ke dalam jiwa sehingga jiwa saya serasa terang benderang. Kepada mereka, risalah ring- kas ini saya jadikan tanda mata, tanda cinta yang paling nyata. Semoga aksara-aksara yang ber- baris rapi di dalam risalah ringkas ini mampu mengantarkannya kepada mereka. Malang, 1 November 2018 Djoko Saryono DJOKO SARYONO. Daftar Isi Testimoni Sekapur Sirih Dattar [Si ....ccscsssessssssessssssssnsesssssessssssssnsessssseenserseee xv Literasi sebagai Episentrum Kemajuan Pentingnya Penguasaan Literasi Taksonomi Literasi Involusi Tradisi Baca-Tullis .. Doa Literasi ......... Berlari di Abad Digitalisasi Biodata Penulis .....ce cesses sess eeseeneesessee 87 LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN xv alam tulisan ini dikemukakan fenomena li- De sebagai episentrum kemajuan kebu- dayaan dan peradaban masyarakat dan bangsa- bangsa di dunia. Di dalamnya dikupas jatuh-ba- ngunnya berbagai masyarakat dan bangsa akibat kondisi literasi yang berubah-ubah dalam ma- syarakat dan bangsa yang bersangkutan. Di sam- ping itu, secara khusus juga dikupas kondisi lite- rasi masyarakat dan bangsa Indonesia. Untuk itu, secara berturut-turut tulisan ini mengemukakan ihwal (1) literasi sebagai episentrum kemajuan, (2) pentingnya penguasaan literasi, (3) taksonomi atau kategori literasi, dan (4) involusi tradisi ba- ca-tulis yang menjadi tiang literasi. LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN LITERASI SEBAGAI EPISENTRUM KEMAJUAN Marilah bersama-sama kita merenungkan tempat kita sebagai manusia, masyarakat dan/ atau bangsa Indonesia di tengah-tengah konfi- gurasi kebudayaan dan peradaban terkini. Di te- ngah perkembangan kebudayaan dan peradaban yang disorong oleh Revolusi Galaksi Guttenberg, kemudian Revolusi Galaksi McLuhan dan Revo- lusi Galaksi Microsoft serta revolusi teknologi ko- munikasi dan informasi [baca: revolusi digital berupa internet dan lain-lain], di manakah kita sekarang berada?; pada zaman apakah kita se- karang berada? Dalam konteks pemikiran Wal- ter J. Ong dalam Literacy and Orality (1982; 2012), apakah sekarang kita sedang berada pada zaman kelisanan primer/murni (orality), naskah atau k khirografis (manuscript, chirographic), literasi atau tipografis (literacy, typographic), dan atau malah kelisanan sekunder (secondary orality)? Meng- ingat sedemikian beraneka ragam dan majemuk- nya keadaan Indonesia—kenyataan geogratis, geohistoris, geokultural, histokultural, sosiokul- tural dan religiokultural Indonesia, dapat dikata- DJOKO SARYONO. kan bahwa tidak ada gambaran tunggal-utuh tentang tempat manusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia dalam peta kebudayaan dan peradaban literasi menurut Ong. Menurut peng- amatan saya, manusia, masyarakat dan/atau bang- sa Indonesia sekarang sedang terayun-ayun ken- cang di antara rentangan [kontinum] zaman ke- lisanan, literasi, naskah, dan kelisanan sekunder secara serempak [simultan]. Maksudnya, ada se- bagian manusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia yang sepenuhnya masih berada di da- lam zaman kelisanan primer; ada sebagian yang masih berada di dalam zaman naskah [manu- skrip]; ada sebagian pula yang sudah sepenuh- nya berada di dalam zaman literasi; bahkan se- karang juga ada sebagian yang sudah berada di ambang zaman kelisanan sekunder; memasuki zaman kelisanan sekunder yang disangga oleh era digital (simak Teeuw, 1994:39-43). Ringkas- nya, dewasa ini zaman kelisanan, naskah, litera- si, dan kelisanan sekunder secara bersamaan, bahkan bertumpukan dapat ditemukan dan di- saksikan dalam gugusan tertentu. masyarakat dan atau bangsa Indonesia. Jadi, lapisan-lapisan LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 3 4 literasi dapat dijumpai dalam berbagai masya- rakat dan/atau bangsa Indonesia. Jika diperhatikan secara cermat, secara em- empiris keempat zaman tersebut berbanding lu- rus dengan perkembangan, bahkan kemajuan di berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban. Kenyataan menunjukkan bahwa sekarang berba- gai gugusan [nebula] kebudayaan dan peradab- an yang bertumpu pada kelisanan primer dan ju- ga naskah tampak sulit berkembang, tidak sang- gup atau kikuk memberikan respons setimpal terhadap pelbagai perubahan yang terjadi, malah terkesan mengalami ketertinggalan kebudayaan [dalam pengertian W. F. Ogburn] dibanding de- ngan gugusan kebudayaan dan peradaban yang bertumpu pada literasi dan atau kelisanan se- kunder. Dalam hubungan ini, menurut Ong, ke- lisanan sekunder beralaskan literasi [sehingga literasi menjadi conditio sine qua non bagi keli- sanan sekunder] sekalipun dalam berbagai hal berbeda secara signifikan (bandingkan Carr, 2011). Berbagai fakta dan berita telah memper- lihatkan bahwa kebudayaan, peradaban, dan ba- hasa-bahasa lokal di Indonesia yang bermasa DJOKO SARYONO. depan suram, bahkan terancam punah selama Abad XX adalah kebudayaan, peradaban dan ba- hasa lokal yang pada umumnya tidak memiliki literasi dan tradisi baca-tulis (bandingkan Sim- bolon, 1999). Kalaupun memiliki literasi dan tra- disi baca-tulis, sifatnya terbatas karena hanya dikuasai oleh kalangan amat terbatas dan tidak terwariskan dengan baik. Hal tersebut bermakna bahwa semakin mantap dan kuat literasi suatu gugusan kebudayaan dan peradaban, semakin berkembang pula, bahkan maju gugusan kebu- dayaan dan peradaban tersebut; sebaliknya, se- makin dominan dan kuat kelisanan primer suatu kebudayaan dan peradaban, semakin sulit ber- kembang kebudayaan dan peradaban tersebut (bandingkan dengan Lombard, 1996; Sweeny, 1987; Teeuw, 1994). Pola tersebut tidak hanya berlaku bagi ke- budayaan dan peradaban di Indonesia, tetapi ju- ga kebudayaan dan peradaban di berbagai be- lahan dunia. Sejarah kebudayaan dan peradab- an, sejarah intelektual atau gagasan, dan juga sejarah bahasa [beserta sejarah alfabet, sejarah ejaan dan tanda baca, sejarah membaca dan me- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 5 6 nulis] telah menunjukkan bahwa manusia, ma- syarakat dan atau bangsa-bangsa yang tidak me- miliki tradisi literasi yang kokoh juga tidak me- miliki tradisi intelektual atau pemikiran yang kuat dan sehat sehingga berada dalam keadaan rentan, malah mudah runtuh. Sebaliknya, manu- sia, masyarakat dan atau bangsa-bangsa yang unggul di berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban selalu memiliki tradisi literasi [seka- ligus tradisi pemikiran] yang sangat mantap dan kuat. Pada masa lalu, manusia, masyarakat, dan/ atau bangsa Mesir Kuno, Macedonia Kuno, Me- sopotamia, Persia Kuno, Cina Kuno, India Kuno dan Yunani Kuno menjadi unggul dan masyhur di berbagai lapangan kebudayaan dan peradab- an berkat kondisi literasi yang demikian man- tap dan kuat (Bauer, 2010; Cook, 2008; Chandra, 2008; Dodson, 2001; Fischer, 1999; 2001; 2003; Finkelberg dan Stroumsa, 2003; Hurford, 2008; Kilgur Llyoid, 2010; Yunis, 2003; Thomas, 1999; Worthington, 2010). Warisan literasi—dalam hal ini warisan ba- caan atau tulisan mutatis mutandis pikiran dan gagasan atau informasi—masyarakat dan atau DJOKO SARYONO. bangsa-bangsa tersebut dapat kita saksikan dan nikmati hingga kini. Betapa tidak, sekarang kita masih bisa menikmati epik naratif indah berta- juk Odyssey dan Iliad [yang ditulis oleh Homer pada kisaran Abad 8 SM], membaca puitika sa- rat makna bertajuk J Ching [yang ditulis atau di- perkenalkan oleh Fu Xi pada Abad 29/28 SM], Dao De Jing [yang ditulis Lao Zi pada kisaran Abad 6/3 SM] dan Tao Te Ching [ditulis oleh Lao Tse pada Abad 6 SM], dan epik wiracarita meng- gentarkan berjudul Ramayana [yang ditulis oleh Valmiki pada kisaran Abad 6 SM] dan Mahabha- rata serta Bhagavadgita [yang ditulis oleh Vyasa pada kisaran Abad 6 SM] (Foley, 2005; Hollar, 2012; Linderberger, 2003; Lloyd, 2004). Demikian juga pelbagai lapangan kebudayaan dan pera- daban Islam—terutama kesusastraan, pemikiran dan ilmu pengetahuan—berkembang sangat pe- sat dan bahkan mengalami kemajuan menga- gumkan berkat mantapnya literasi yang disangga oleh tradisi baca-tulis yang bermutu dan keter- bukaan pikiran yang konstruktif (Madjid, 1984; 2008; McNeely dan Wolverton, 2010). Zaman ke- emasan kebudayaan dan peradaban Islam yang LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 7 8 berpusat di Baghdad pada masa Abbasiyah di- tandai oleh tradisi literasi yang luar biasa di sam- ping didukung oleh perguruan tinggi dan per- pustakaan Nizamiyah yang mampu menciptakan atmosfer baca-tulis yang inklusif dan kokoh. Pa- da zaman modern kemajuan berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban di Eropa disangga oleh mantapnya literasi dan kuatnya tradisi mem- baca dan menulis, kemudian sekarang disangga oleh kelisanan sekunder. Tentu saja pada masa sekarang kita dapat menyaksikan kemajuan me- ngagumkan berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban di Jepang, Korea, China dan India mo- dern berkat tumbuh-kokohnya literasi yang di- alasi oleh tradisi baca-tulis yang baik (Adler dan Pouwels, 2010; Engardio, 2007; Jacques, 2011: 215-259). Semua itu menandakan bahwa literasi menjadi episentrum perkembangan, bahkan ke- majuan berbagai lapangan kehidupan kebuda- yaan dan peradaban baik pada masa kuno, masa lalu maupun masa kini. Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa kehendak mengembangkan dan memajukan ber- bagai lapangan kebudayaan dan peradaban In- DJOKO SARYONO. donesia pada Abad XXI sekarang perlu [juga] di- maknai sebagai kehendak mengembangkan, me- mantapkan dan atau mengokohkan literasi di (dalam kebudayaan dan peradaban) Indonesia. Maksudnya, pengembangan, pemantapan, dan atau pengokohan literasi di kalangan manusia, masyarakat dan/atau bangsa Indonesia menjadi prasyarat (yang harus ada bagi) berkembang, ma- ju dan unggulnya pelbagai lapangan kebudayaan dan peradaban di Indonesia. Proyek keindonesi- aan kita sekarang dan nanti adalah proyek pem- bentukan dan pemantapan literasi. Untuk itu, ki- ta sebagai manusia, masyarakat dan/atau bang- sa Indonesia harus terfokus menuju sekaligus mampu mencapai zaman literasi secara nyata dan merata, yang menempatkan literasi sebagai episentrum peri kehidupan manusia, masyara- kat dan atau bangsa Indonesia; literasi perlu da- pat ditempatkan sebagai palang pintu pertama dan utama bagi kemajuan (kebudayaan dan per- adaban) manusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia. Berbagai patahan sejarah lokal dan nasional Indonesia menginformasikan bahwa dalam ba- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 9 10 tas-batas tertentu literasi dijadikan palang pintu kebebasan dan kemajuan. Sebagai contoh, peng- alaman perjuangan kemerdekaan Indonesia te- lah menunjukkan bahwa para pejuang dan pe- rintis kemerdekaan Indonesia mampu membe- baskan, memerdekakan, dan/atau menegakkan Indonesia [baca: berarti memajukan Indonesia] dengan beralaskan literasi juga; tidak semata- mata gerakan politik dan bersenjata (Anderson, 2001; Foulcher, 2008; Shiraishi, 1997). Bukankah Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Moham- mad Yamin, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain pejuang kemerdekaan Indonesia juga berjuang di jalur literasi di samping jalur gerakan politik? Bukankah mereka membaca buku-buku/baca- an bacaan terpilih-cemerlang yang menggugah —menggerakkan mereka, misalnya Apakah Bang- sa? karya Renan, pada satu sisi dan pada sisi la- in juga melahirkan tulisan-tulisan bernas, cemer- lang dan inspiratif yang notabene merupakan re- presentasi keberaksaraan? Siapakah tidak terge- tar ketika membaca Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi (Soekarno), Demokrasi Ki- ta (Hatta), Renungan Indonesia (Sjahrir), Madilog DJOKO SARYONO. (Tan Malaka), dan Andai Aku Orang Belanda (Ki Hadjar Dewantara) yang indah, mengilhami, dan menggerakkan? Bukankah yang mereka lakukan dan lahirkan adalah puitika politik kemerdeka- an yang memesona; dan bukan prosa politik yang bergemuruh penuh ingar-bingar seperti seka- rang? (simak Babba, 1990; Kleden, 2001:160-177). Hal ini merupakan bukti bahwa literasi telah membebaskan dan memerdekan Indonesia pada masa lampau—yang belum jauh dari kehidup- an kita sekarang. Secara umum berbagai pihak, misalnya Sen (2003; 2010), D. Archer (2003) dan UNESCO (2004), telah menunjukkan bahwa literasi telah terbukti menjadi palang pintu masuk bagi kebebasan dan kemajuan hidup manusia, masyarakat dan atau bangsa di berbagai belahan dunia dalam berba- gai lintasan zaman; sejak zaman dahulu hing- ga sekarang. Tidak mengherankan, Vision Paper UNESCO (2004) menegaskan bahwa literasi te- lah menjadi prasyarat partisipasi bagi pelbagai kegiatan sosial, kultural, politis, dan ekonomis pada zaman modern. Bahkan diketahui, pada zaman sekarang terciptanya pembangunan dan LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN n 12 demokrasi yang bermutu pun berlandaskan lite- rasi (Sen, 2003:32; Singh dan Castro Mussot, 2008; Latif, 2008:14). Menurut Sen (2003:32), tanpa li- terasi yang mantap dan kokoh, yang tercipta ha- nya pembangunan dan demokrasi semu atau se- olah-olah belaka; tidak substansial, hanya prose- dural dan kosmetikal. Lebih lanjut, Adama Quane (2002:2) menyatakan bahwa literasi merupakan kunci utama bagi kotak-alat (toolbox) yang berisi pemberdayaan, kehidupan yang lebih baik, ke- luarga sehat, dan peranserta dalam kehidupan demokrasi. Di samping itu, literasi juga menja- di perangkat fundamental bagi segenap bentuk pembelajaran sosial. Tidak mengherankan, ke- mudian Global Monitoring Report Education for All (EFA) 2007: Literacy for All menyimpulkan bah- wa literasi berfungsi sangat mendasar bagi ke- hidupan modern karena—seperti diungkap- kan oleh Koichiro Matsuura, Direktur Umum UNESCO — literasi adalah langkah pertama yang sangat berarti untuk membangun kehidupan yang lebih baik (2006). DJOKO SARYONO. PENTINGNYA PENGUASAAN LITERASI Uraian di atas mengimplikasikan bahwa penguasaan literasi bagi manusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia sangat penting dan harus memperoleh perhatian sungguh-sungguh —menjadi conditio sine qua non bagi kehidupan manusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia modern—supaya kehidupan mereka menjadi le- bih berkembang, bermakna, dan maju baik seca- ra pribadi, sosial maupun kultural dan spiritual. Hal ini bukan imperatif nasional semata, melain- kan imperatif global; berbagai lembaga global yang memiliki otoritas telah mencanangkannya. Dalam kenteks inilah, tahun 2003-2013 telah di- canangkan oleh UNESCO sebagai Dasawarsa Literasi PBB (United Nations Literacy Decade). Di samping itu, tahun 2005-2015 juga dicanangkan oleh UNESCO menjadi Prakarsa Literasi bagi Pemberdayaan (Literacy Initiative for Entpower- ment, LIFE). Dengan mengangkat tema keber- aksaran sebagai kebebasan, kedua kebijakan ter- sebut telah berusaha mempromosikan penting- nya penguasaan literasi ke seluruh pelosok di LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 13 4 dunia dan kepada siapa saja, baik di Utara mau- pun di Selatan, baik di wilayah kota maupun wi- layah desa, baik mereka yang ada di sekolah ma- upun di luar sekolah, baik kepada orang dewa- sa maupun anak-anak, baik anak laki-laki dan perempuan maupun orang laki-laki dan perem- puan (2003:2). Ringkasnya, dua kegiatan terse- but secara luas hendak mempromosikan /iterasi bagi senma (literacy for all) yang memungkinkan semua pihak memperoleh akses informasi apa pun. Literasi bagi semua kemudian bahkan dite- tapkan oleh Australia menjadi visi pendidikan dasar dan menengahnya; artinya, visi pendidik- an dasar dan menengah Australia adalah literasi bagi semua. Dalam pada itu, Paskistan (2004) ju- ga mencanangkan gerakan nasional untuk lite- rasi bagi semua dalam rangka mewujudkan tu- juan Dasawarsa Literasi PBB. Uni Eropa juga te- lah mengembangkan sebuah peta-jalan (roadmap) literasi bagi Eropa. Setahu saya, secara formal Indonesia belum menjadikan literasi bagi semua sebagai visi pendidikan nasional dan juga seba- gai gerakan nasional meskipun literasi tumbuh- DJOKO SARYONO. berkembang berkat berbagai faktor edukatif, so- sial, dan kultural serta politis. Dengan amplitudo yang berubah-ubah dalam rentangan waktu ter- tentu, gerakan nasional di Indonesia masih ter- batas pada gerakan pemberantasan buta aksara di samping gerakan gemar membaca. Hal ini menggambarkan bahwa imperatif literasi bagi semua belum menjadi kesadaran dan gerakan nasional di Indonesia. Mengapa sekarang penguasaan literasi telah diyakini sebagai episentrum perkembangan dan kemajuan berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban, yang selanjumya mampu membuat kehidupan kita sebagai manusia, bangsa, dan masyarakat menjadi lebih baik? Sebagaimana diketahui, sekarang sedang tumbuh-berkembang masyarakat jaringan informasi [network society] (Manuel Castell) atau masyarakat berpengeta- huan [knowledge society] (Drucker, 1992; World Bank, 2005; UNESCO, 2006) atau masyarakat kreatif-inovatif [creative society] (OECD, 2002) se- hingga sekarang kita tengah memasuki atau ber- ada pada abad yang sering disebut Abad Jaring- an Informasi, Abad Pengetahuan atau Abad Kre- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 5 16 atif (Florida dan Tenagil, 2005). Dalam masyara- kat jaringan informasi, masyarakat berpengeta- huan atau masyarakat kreatif, menurut Drucker (1992), World Bank (2005), UNESCO (2006) dan UNCTAD (2008), segala kegiatan kehidupan ser- ba beracuan, berporos, beralaskan dan atau ber- tumpu pengetahuan dan kreativitas [termasuk inovasi]; misalnya kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan [disebut ekonomi kreatif], industri berbasis pengetahuan [disebut industri kreatif], wirausaha berbasis pengetahuan [disebut wira- usaha kreatif], politik berbasis pengetahuan, dan pendidikan berbasis pengetahuan sehingga pe- kerja, pebisnis, politikus dan pendidik berpe- ngetahuan atau kreatif-lah yang diperlukan pada masa depan atau memberikan kecerahan masa depan. Malah Florida (2005) menyebut mereka sebagai kelas kreatif (pengetahuan) dan akan me- mainkan peran sangat penting pada masa de- pan. Tidak mengherankan, banyak kalangan me- nyatakan bahwa aset atau modal terpenting pa- da masa kini, lebih-lebih modal pada masa de- pan adalah modal pengetahuan [knowledge capi- DJOKO SARYONO. tal] atau modal intelektual [intellectual capital] atau modal kultural/kreatif [culiural/creative cap- ital] (Steward, 1998; Carr, 2009). Hal tersebut te- lah menuntut setiap manusia—termasuk masya- rakat dan atau bangsa Indonesia—untuk memi- liki atau menguasai pengetahuan dan kreativitas yang bermutu dan produktif. Pengetahuan dan kreativitas itu akan mudah/dapat dikuasai atau dimiliki dengan baik oleh setiap manusia—juga masyarakat dan atau bangsa Indonesia—bilama- na manusia yang bersangkutan menguasai lite- rasi yang mantap dan kuat (Singh, 2007:15). Di- katakan demikian karena kelisanan primer me- nuntut mimesis dan bahasa formulaik—inten- sional, yang tentu saja tidak memungkinkan pe- mikiran kritis-kreatif berkembang (simak Teeuw, 1994:40). Literasi-lah yang memungkinkan ma- nusia, masyarakat dan atau bangsa tertentu me- ngembangkan-memantapkan tradisi pemikiran secara ketat, cermat dan kokoh yang disangga oleh tradisi baca-tulis sehingga—dapat dikata- kan—literasi mengandung substansi kemampu- an berpikir kritis-kreatif yang ditopang atau di- sangga oleh kemampuan membaca dan menulis LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 17 18 yang mantap dan kuat (simak Ong, 1982; Carr, 2011). Kemampuan membaca dan menulis yang "disukmai” kemampuan berpikir kritis-kreatif ini dianggap niscaya menjadi sarana manjur me- raih atau menguasai pengetahuan dan kreativi- tas yang pada masa sekarang sebagian besar ter- kemas dalam rupa tulisan/bacaan dan tersimpan dalam keping cakram elektronis yang notabene sebagian banyak besar berupa tulisan juga (Carr, 2011). Carr (2011) membuktikan bahwa buku atau bacaan/tulisan telah mengubah sekaligus me- ngembangkan sistem neurologis atau sinapsis manusia sehingga kita menjadi manusia modern yang dicirikan oleh kompleksitas sistem neuro- logis. Jauh sebelumnya, Ong (1982; 2012) telah menyatakan bahwa tulisan atau bacaan meng- ubah kesadaran manusia, dari kesadaran pasif menjadi kesadaran kritis-kreatif. Kesadaran kri- tis-kreatif yang dimungkinkan oleh tulisan/ba- caan inilah yang menjadikan kemampuan berpi- kir kritis-kreatif dapat berkembang seperti seka- rang. Ong (1982; 2012) menegaskan: “Tanpa ada- nya tulisan, pikiran dari orang-orang yang me- DJOKO SARYONO. nguasai aksara tidak akan mampu berpikir se- bagaimana yang terjadi sekarang, tidak hanya ketika dia menulis, tetapi juga ketika dia menyu- sun pikirannya dalam bentuk lisan. Dari semua ciptaan manusia, tulisan atau bacaan merupa- kan ciptaan manusia yang paling besar penga- ruhnya bagi kesadaran manusia”. Di samping itu, lanjut Ong, tulisan/bacaan dalam arti seba- gai teknologi telah membentuk dan memberda- yakan kegiatan pemikiran atau intelektual ma- nusia modern. Pendek kata, kegiatan pemikiran atau intelektual dapat berkembang berkat ke- mampuan berpikir kritis-kreatif yang disangga atau ditopang oleh kemampuan membaca dan menulis yang mantap—yang memprasyaratkan dan membuka hadir dan berfungsinya tulisan/ bacaan. Inilah hakikat literasi yang dapat mem- buat manusia mampu meraih-memiliki penge- tahuan pada satu sisi dan pada sisi lain mampu memproduksi kreativitas-inovasi yang cemer- lang (simak Johansson, 2004). Lebih jauh, hal ter- sebut menunjukkan bahwa literasi bukan tahu aksara semata; pada hakikatnya literasi adalah kemampuan berpikir kritis-kreatif tentang sesu- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 19 20 atu yang dilandasi/disangga oleh tradisi baca- tulis yang mantap. TAKSONOMILITERASI Sejalan dengan fenomena literasi yang te- rus berkembang pesat, dewasa ini taksonomi atau kategorisasi literasi juga terus berkembang di samping terus berkembang hakikat, konsep, dan modelnya. Sampai sekarang telah terdapat berbagai taksonomi atau kategori literasi yang ditawarkan atau dikembangkan oleh berbagai pihak. Sebagai contoh, PISA (Programme for Inter- national Student Assesment) yang dikoordinasikan oleh OECD telah mengategorikan literasi men- jadi (a) literasi keilmu-alaman (scientific literacy), (b) literasi matematis (mathematical literacy), dan (c) literasi membaca (reading literacy) (2006:9). Dalam berbagai terbitannya tentang masyarakat informasi, UNESCO juga menyatakan adanya li- terasi informasi (information literacy) dan literasi media (media literacy). Berbagai tulisan, perte- muan ilmiah, dan forum lain juga akrab meng- gunakan istilah literasi informasi dan literasi media. Selanjutnya, Buchori (2004) menyebut- DJOKO SARYONO. kan adanya literasi budayawi (cultural literacy) dan literasi sosial (social literacy). Sekarang ber- bagai pihak di dunia akademik juga menggu- nakan istilah literasi akademik. Akhir-akhir ini juga berkembang literasi ekonomi (econontics literacy), literasi keuangan (financial literacy), dan literasi kesehatan (health literacy). Bahkan di bi- dang keagamaan pun sekarang sudah mulai bi- asa digunakan istilah literasi religius (religious literacy) (lihat Dinham dan Francis, 2015). Seiring dengan proses digitalisasi masyarakat, kebuda- yaan, dan peradaban, sekarang juga telah ber- kembang istilah literasi digital. Pada masa-masa akan datang niscaya akan terus berkembang ka- tegori literasi lain. Semua ini menunjukkan ada- nya kemajemukan dan keanekaragaman literasi. Di samping itu, usaha-usaha menata taksonomi atau kategori literasi diperlukan agar mudah di- pahami atau dicerna oleh berbagai pihak selain duduk perkara literasi semakin mantap. Sekalipun demikian, akar semua taksonomi atau kategori literasi adalah kemampuan berpi- kir kritis-kreatif yang disangga oleh kemampuan membaca dan menulis. Oleh karena itu, literasi LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 21 22 informasi merupakan kemampuan berpikir kri- tis-kreatif perkara informasi yang disangga oleh kebiasaan membaca dan menulis yang bagus sehingga orang mampu memilah dan memilih mana informasi sampah dan mana informasi bergizi; mana informasi yang tak diperlukan dan mana informasi yang dibutuhkan untuk kepen- tingan tertentu. Literasi media berarti kemam- puan berpikir kritis-kreatif terhadap media yang disangga oleh kemampuan membaca dan menu- lis. Demikian literasi matematis berarti kemam- puan berpikir kritis-kreatif tentang matematika yang ditopang oleh kemampuan membaca dan menulis tentang matematika; literasi ekonomi berarti kemampuan berpikir kritis-kreatis ten- tang ekonomi yang disangga oleh kemampuan membaca dan menulis tentang ekonomi; literasi sosial berarti kemampuan berpikir kritis-kreatif tentang kemasyarakatan yang disangga oleh ke- mampuan membaca dan menulis tentang ma- syarakat; literasi kesehatan berarti kemampuan berpikir kritis-kreatif tentang kesehatan yang di- sangga kemampuan membaca dan menulis; lite- rasi religius berarti kemampuan berpikir kritis- DJOKO SARYONO. kreatif tentang religiositas yang disangga oleh kemampuan membaca dan menulis bidang reli- giositas; demikian seterusnya. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa ke- mampuan membaca dan menulis secara serem- pak menjadi tiang utama literasi untuk menegak- kan kebiasaan berpikir kritis-kreatif, dan mening- galkan kebiasaan berpikir mistis (van Peursen) atau berpikir naif dan semi-transitif (Paulo Freire). Tanpa kemampuan menulis yang mantap dan kuat yang kemudian menghasilkan tulisan/ba- caan [baik berupa buku maupun artikel/maka- lah] yang dibaca oleh banyak orang, tidak mung- kin kemampuan berpikir kritis-kreatif dapat ter- bentuk; demikian pula tanpa kemampuan mem- baca suatu tulisan/bacaan secara kritis-kreatif ti- dak mungkin kemampuan berpikir kritis-kreatif terbentuk. Tanpa kemampuan berpikir kritis-kre- atif mustahillah terbentuk literasi dalam diri ma- nusia, masyarakat, dan atau bangsa tertentu. Su- paya kemampuan berpikir kritis-kreatif dan ke- mudian literasi tumbuh dan berkembang dalam diri manusia, masyarakat dan atau bangsa ter- tentu, mau tidak mau, tradisi baca-tulis secara LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 23 24 serempak harus dibentuk, diperkuat, dan kemu- dian dipelihara sebaik-baiknya dalam diri ma- nusia, masyarakat dan atau bangsa tertentu. Ikh- tiar ini dapat diwujudkan melalui pelbagai jalur, antara lain jalur pendidikan, pengajaran, pem- belajaran, pemasyarakatan, penerbitan dan pen- dampingan. Unsur-unsur masyarakat, bangsa dan atau negara perlu dikerahkan dan diberda- yakan secara maksimal dan konstruktif dalam mewujudkan tradisi baca-tulis tersebut. Berbeda dengan negara-negara Barat dan juga Mesir, China, India dan Jepang yang telah lama memiliki sejarah tradisi baca-tulis, harus diakui dengan ju-jur bahwa manusia, masyara- kat dan atau bangsa Indonesia belum lama me- mulai usaha membentuk dan memantapkan tra- disi baca-tulis. Dengan kata lain, dalam perspek- tif sejarah sejarah kebudayaan dan sejarah ba- hasa [sejarah aksara, membaca dan menulis], se- jarah tradisi baca-tulis di Indonesia relatif masih baru meskipun tradisi aksara/tradisi tulis di In- donesia konon sudah ada 2000 tahun lebih; ber- titimangsa sekitar tahun 400 M (Simbolon, 1999: 68). Sebelum terbentuk bangsa dan negara Indo- DJOKO SARYONO. nesia, berbagai gugusan kebudayaan dan pera- daban di Indonesia—antara lain budaya Jawa, bu- daya Bali, budaya Batak, dan budaya Minang serta budaya Melayu—memang telah memiliki aksara dan memiliki tradisi baca-tulis beserta ak- tivitas membaca dan menulis [sekalipun terbatas pada kelompok sosial tertentu, tidak massal dan terbuka] (simak Chambert-Loir, 2009). Akan te- tapi, pustaka/tulisan/bacaan yang ada kurang cocok digolongkan sebagai manifestasi literasi dalam pengertian Ong, lebih cocok diperlakukan sebagai manifestasi naskah atau khirografi ka- rena masih harus disuarakan, bahkan dipentas- kan (simak Sweeny, 1987). Oleh karena itu, kesa- daran akan literasi pada satu sisi dan pada sisi lain tradisi baca-tulis di Indonesia masih tergo- long [sangat] muda dibandingkan dengan di ne- gara, bangsa dan atau masyarakat lain di dunia. Tidak mengherankan, hak atas literasi (right of literacy) [istilah UNESCO] sudah lama dimiliki dan dinikmati oleh manusia, masyarakat, dan/ atau bangsa-bangsa Barat, Mesir, China, India dan Jepang sehingga tradisi baca-tulis mereka relatif mantap dan terpiara dengan baik. Pusta- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 25 26 ka/tulisan/bacaan dalam perspektif Ong yang demikian beraneka ragam telah banyak ditulis oleh berbagai kalangan masyarakat yang sudah sadar-aksara (literate) dan kemudian dibaca oleh banyak warga masyarakat atau bangsa yang su- dah sadar-aksara (simak Kilgour, 1998). Akan te- tapi, [kesadaran akan] hak atas literasi di Indo- nesia—baik sebelum maupun sesudah terben- tuknya bangsa dan negara Indonesia—barulah muncul sekitar Abad XVI-XVII. Dikatakan demi- kian karena, pertama, pada masa-masa tersebut mulai berkembang media massa cetak dan pe- nerbitan umum yang dikelola oleh orang-orang Belanda atau orang-orang Tionghoa. Pada masa- masa tersebut memang sudah ada orang menu- lis dalam kerangka literasi, misalnya Thomas Stamford Raffles yang menulis buku cemerlang monumental hingga sekarang bertajuk The His- tory of Java pada Abad XVII, namun membaca dan menulis belum menjadi kebiasaan masyara- kat; sebagian besar orang Indonesia justru belum memiliki kemampuan membaca dan menulis. Sebelum itu memang sudah ada Kakawin Lubha- daka, Kakawin Negarakertagama, Sejarah Melayu, DJOKO SARYONO. Serat Chentini, | La Galigo, dan lain-lain, tetapi karya-karya tersebut harus dibacakan berlagu [dilagukan dengan ikonisitas yang tinggi] oleh seseorang untuk kemudian disimak dan dinik- mati oleh banyak orang secara perorangan/ber- sama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai karya zaman literasi, melainkan karya zaman naskah atau khirogafi (dalam perspektif Ong). Kedua, pada masa sebelum Abad XVI-XVII, ke- terbukaan mem-baca dan menulis belum dimi- liki oleh masyarakat pada umumnya sehingga kepiawaian [keprigelan] membaca dan menulis hanya dimiliki oleh kalangan tertentu (klerikal) yang memiliki kuasa intelektual, religius, dan politik. Oleh karena itu, bisa dikatakan, pada masa sebelum Abad XVII Indonesia masih ber- ada dalam zaman kelisanan primer dan atau za- man naskah/khirografi yang riuh rendah oleh suara [full hearing] (Ong, 1982; Sweeny, 1987). Persentuhan budaya-budaya lokal di Indo- nesia dengan budaya India, China, dan Islam me- mang telah menumbuhkan benih-benih literasi, dalam hal ini benih-benih membaca dan menu- lis, tetapi belum dapat “mekar” menjadi tradisi LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 27 28 baca-tulis di kalangan masyarakat luas; dengan kata lain, belum terbentuk tradisi baca-tulis se- hingga masyarakat umum tetap belum mampu membaca dan menulis. Dapat dikatakan, tradisi baca-tulis secara perlahan—bertahap terbentuk di Indonesia pada waktu masuk kolonialisme Belanda pada Abad XVI-XVII pada satu sisi dan pada sisi lain revolusi Guttenberg mulai mener- pa Indonesia. Berkat penerapan politik etis Be- landa dan terpaan revolusi Guttenberg, keran peluang dan kesempatan terbuka makin lebar bagi manusia atau masyarakat Indonesia untuk mengikuti berbagai aktivitas modern (Ricklefs, 2008). Disertai oleh letupan revolusi Cartesian, revolusi Galaksi Guttenberg pada Abad XVII di Eropa telah memungkinkan pustaka/tulisan/ba- caan dilipatgandakan dalam jumlah besar dalam waktu relatif sangat singkat dan disebarluaskan ke berbagai tempat di dunia termasuk di Hindia Belanda atau Indonesia meskipun belum dapat diakses oleh masyarakat luas, baru dapat diak- ses oleh kalangan tertentu (bandingkan Gillespie dan Hadfield, 2006; Kilgour, 1998). Kemudian penerapan politik etis Belanda telah memung- DJOKO SARYONO. kinkan masyarakat pribumi memperoleh, mema- suki, dan mengenyam pendidikan modern wa- laupun masih sangat terbatas dan selektif (Rick- lefs, 2008). Dalam proses pendidikan/pembelajar- an, mereka harus berhadapan dengan cetakan/ tulisan/bacaan kolonial yang memang harus di- baca secara seksama di samping mereka dibiasa- kan menulis. Dalam konteks politik etis pula, pe- merintah kolonial Belanda membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian hari menjelma menjadi Balai Pustaka—yang telah berjasa mem- berikan landasan dan sarana-prasarana memba- ca dan menulis bagi masyarakat atau orang In- donesia (simak Teeuw, 1984). Hal tersebut me- nunjukkan bahwa tradisi baca-tulis di Indonesia sesungguhnya dirintis oleh kalangan terdidik pribumi Indonesia ketika teknologi percetakan sudah berkembang dan keterbukaan politik ko- lonial makin lebar meskipun kolonial Belanda memainkan peranan pula. Ketika kalangan terdidik pribumi tersebut memasuki pelbagai kegiatan dan atau profesi, antara lain politisi-pejuang dan wartawan, tradi- si baca-tulis semakin berkembang. Orang-orang LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 29 30 seperti Soetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Natsir, Ki Hadjar Dewantara, dan seba- gainya merupakan pengembang para tradisi ba- ca-tulis yang luar biasa dalam konteks negara- bangsa Indonesia. Mereka mencintai dunia membaca dan menulis sedari muda; mereka ra- jin membaca sekaligus menulis; mereka mema- hami kekejaman kolonialisme lewat pustaka/ba- caan/tulisan pada satu sisi dan pada sisi lain me- reka berjuang melawan kolonialisme juga mela- lui pustaka/bacaan/tulisan. Literasi mereka gu- nakan sebagai jalur perjuangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan, mereka merupakan generasi politisi-pejuang kemerdekaan yang memiliki ke- sadaran akan literasi sekaligus kebiasaan mem- baca dan menulis yang tergolong mantap pada masanya. Bagi kaum kolonialis Belanda, tulisan- tulisan mereka menyengat syaraf para kolonialis sehingga membuat kolonialis murka—mengirim mereka ke pengasihan gara-gara tulisan. Bagi bangsa Indonesia, tulisan-tulisan mereka men- jelma teks yang menggugah, menginspirasi dan menggerakkan yang tidak lekang oleh zaman dan bacaan-bacaan mereka pun sungguh ber- DJOKO SARYONO. mutu (dan berat?). Demikian juga nama-nama seperti Abdul Rivai, R.M. Tirtoadhisoerjo, Marco Martodikromo, dan R.M. Toemenggoeng Koe- somo Oetojo merupakan wartawan-wartawan yang menulis dengan sangat sungguh-sungguh dan memiliki kebiasaan membaca yang sangat baik (Shiraishi, 1997). Penerbitan-penerbitan me- dia cetak yang dikelola oleh warga keturunan Tionghoa juga ikut menumbuh-kembangkan tra- disi menulis dan membaca di Indonesia. Penulis- penulis karya sastra (baca: sastrawan) baik pri- bumi maupun keturunan Tionghoa—yang sa- ngat produktif pada paruh kedua Abad XIX dan awal Abad XX—telah menghasilkan karya sastra yang secara langsung memperkuat perkembang- an tradisi menulis dan membaca di Indonesia. Mereka semua adalah para pembentuk Indone- sia sebagai komunitas terbayang (imagined com- munity) beralaskan literasi dalam perspektif An- deson (2001) Secara hipotetis-ringkas dapat dikatakan bahwa pada paruh pertama Abad XX tradisi ba- ca-tulis semakin kuat dan mantap dalam diri ma- nusia, masyarakat atau bangsa Indonesia meski- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 31 32 pun mayoritas masyarakat atau anak bangsa be- lum memiliki kebiasaan menulis dan membaca. Majalah-majalah serius yang mengusung dan menawarkan gagasan kemajuan dan kemodern- an yang berkembang silih berganti pada zaman kolonial Belanda dan Jepang telah membuat ke- biasaan membaca tumbuh positif. Kendati tiras- nya belum seberapa dibandingkan dengan jum- lah penduduk, tetapi majalah-majalah tersebut tetap masih bertiras lebih besar dibandingkan dengan tiras jurnal-jurnal ilmiah Indonesia se- karang; majalah-majalah yang dimaksud meru- pakan manifestasi keberaksaran, yang mengan- dung residu kelisanan tipis sekali residu, yang memiliki gaung luar biasa hingga melintasi ber- bagai zaman. Misalnya, majalah Medan Priyayi dan majalah Pujangga Baru memiliki gaung luar biasa sampai sekarang berkat tulisan-tulisan ber- nas-bermutu yang disajikannya dan dibaca ka- langan yang berpikiran kritis-maju atau “kalang- an bangsawan pikiran” (istilah Abdul Rivai). De- mikian juga majalah Siasat yang dikelola oleh cendekiawan-cendekiawan cemerlang Indone- sia, antara lain Soedjatmoko dan Sumitro Djojo- DJOKO SARYONO. hadikusumo, memiliki gaung luar biasa sampai sekarang dengan tiras lebih dua belas ribu ek- semplar per terbit; sebuah tiras yang jauh sekali melampai jurnal-jurnal ilmiah Indonesia seka- rang—yang umumnya bertiras di bawah 1000 eksemplar. Tidak dapat dilupakan, penulisan dan penerbitan novel-novel (serius) dan puisi- puisi Indonesia pada kurun paruh pertama Abad XX yang sungguh luar biasa, sebagaimana diter- bitkan oleh Balai Pustaka dan penerbitan-pener- bitan di luar Balai Pustaka, semakin menyubur- kan kebiasaan menulis dan membaca di Indone- sia. Penulis sastra berkembang pesat sekali, mi- salnya Roestam Effendi, Sutan Takdir Alisjahba- na, Sanusi Pane, Armijn Pane, Hamka, Chairil Anwar, dan Soetardji C. Bachri, yang menawar- kan gagasan komodernan, kemajuan dan iden- titas budaya pada satu sisi dan pada sisi lain tu- rut serta membentuk tradisi membaca dan me- nulis. Seiring dengan itu, para pembaca sastra terus berkembang dengan ditandai oleh laku- nya bacaan-bacaan secara signifikan. Semua itu membuktikan semakin menguat-mantapnya tra- disi baca-tulis dalam kebudayaan dan peradab- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 33 34 an Indonesia. Dalam dunia pendidikan/pembelajaran pa- da umumnya, tradisi baca-tulis dapat berkem- bang pesat. Perkembangan ini terjadi karena ke- sukaan, kegemaran dan kebiasaan membaca dan menulis ditumbuhkembangkan secara nyata di dalam proses pendidikan/pembelajaran. Meski- pun pada waktu itu belum “beredar” berbagai strategi pembelajaran semacam active learning, contextual teaching and learning, cooperative learn- ing, quantum learning, dan sebagainya, tetapi pa- ra guru dan dosen biasa menugasi subjek didik untuk membaca buku tertentu dan menulis to- pik tertentu dalam proses pendidikan/pembel- ajaran. Perpustakaan pun menyediakan pusta- ka-pustaka/bacaan-bacaan bergizi yang diperlu- kan subjek didik—termasuk pustaka-pustaka/ bacaan-bacaan sastra Indonesia, sastra daerah dan sastra dunia—sehingga kegemaran dan ke- biasaan membaca dan menulis terpupuk dengan baik di lembaga pendidikan. Orang-orang Indo- nesia yang berkesempatan memperoleh dan me- ngenyam pendidikan formal pada masa Belanda, Jepang, dan awal kemerdekaan niscaya merasa- DJOKO SARYONO. kan kebiasaan membaca buku-buku/bacaan-ba- caan yang ditumbuhkan oleh para guru sekali- gus kebiasaan menulis tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh guru. Implikasinya, pendidikan telah menjadi instrumen efektif untuk memben- tuk dan memantapkan tradisi baca-tulis di In- donesia secara berkelanjutan. INVOLUSI TRADISI BACA-TULIS Menurut penglihatan saya, sayang sekali, proses penguatan dan pemantapan tradisi baca- tulis—termasuk ke dalamnya kemampuan ber- pikir kritis-kreatif—tidak berlanjut pada masa- masa selanjutnya; tampak terjadi kemandekan, malah kemunduran. Secara hipotetis dapat di- katakan di sini bahwa setelah tahun 1960-an tra- disi baca-tulis di dalam diri manusia, masyara- kat dan atau bangsa Indonesia pelan-pelan mu- lai tergerus oleh berbagai faktor sosial, budaya, politis dan teknologis. Dalam hal ini Latif (2009) menyebutkan terjadinya pendangkalan tradisi membaca dan menulis. Meminjam istilah [antro- polog-indonesianis] Clifford Geertz dalam Agri- cultural Involution, semenjak akhir dasawarsa LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 35 36 1960-an mulai tampak involusi tradisi baca-tulis, yang secara tidak langsung juga involusi berpi- kir kritis-kreatif. Hal tersebut dapat diketahui melalui berbagai tanda. Misalnya, secara kasat mata jumlah orang Indonesia yang menulis tam- pak semakin banyak, jumlah orang Indonesia yang membaca juga tampak makin meningkat, dan jumlah tulisan/bacaan juga makin bertam- bah banyak, tetapi secara kualitatif tidak ber- kembang kemampuan berpikir kritis-kreatif, ke- biasaan membaca tulisan/bacaan bermutu, dan kebiasaan menulis tulisan bernas. Di sini terasa ada kemerosotan mutu literasi. Jumlah buku ba- ik buku pengetahuan umum, buku sastra, buku ilmiah maupun buku keterampilan seolah-olah memang bertambah, tetapi gagasan dan pikiran yang terkandung di dalamnya tidak mengalami perkembangan dan kemajuan secara berarti; ti- dak jarang gagasan berbagai buku atau bacaan mirip atau relatif sama dengan dibungkus oleh bombasme bahasa. Demikian juga kalangan ter- didik semakin jarang membaca dan menulis ka- rena selama menempuh pendidikan tidak dibia- sakan membaca dan menulis secara intensif dan DJOKO SARYONO. ekstensif. Apalagi kalangan politisi dan pemuka negara, semakin tidak memiliki kebiasaan dan minat menulis dan membaca [berbeda sekali de- ngan zaman kolonial Belanda dan pada awal ke- merdekaan!]. Kalangan wartawan memang ma- sih rutin menulis, tetapi pada umumnya tulisan mereka tidak mendalam dan tidak menggugah lagi karena pembaca media massa cetak memang tidak suka hal-hal yang mendalam dan “berat”; hal-hal ringan dan lugas semakin disukai oleh pembaca media massa cetak. Sekarang media massa cetak pun semakin mendangkalkan tulis- an-tulisan jurnalistiknya. Involusi tradisi baca-tulis tersebut menjauh- kan manusia, masyarakat dan atau bangsa Indo- nesia dari literasi, sebaliknya semakin mende- kan kembali pada kelisanan—baik kelisanan pri- mer, naskah/khirografi maupun kelisanan sekun- der. Kelisanan bukan hanya tampak pada komu- nikasi sosial, politik dan budaya, tetapi juga me- nyusup pada sebagian besar tulisan dan pustaka yang ditulis dan atau diterbitkan oleh berbagai pihak untuk pelbagai kepentingan. Sebagai con- toh, perdebatan sosial politik dan sosial budaya LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 37 38 tidak lagi dilakukan secara tertulis seperti pada masa lampau (yang demikian bermutu dan me- ngesankan sebagaimana terawetkan dalam Pole- nik Kebudayaan, Polemik Dasar Negara BPUPKI dan Polemik Ekonomi Pancasila), lebih banyak di- lakukan secara lisan tanpa persiapan di suatu ru- ang tertutup atau terbuka. Sekarang perbedaan pendapat dan perdebatan malah banyak diganti demonstrasi dan tindakan fisikal tertentu. Ko- munikasi edukatif-pedagogis juga lebih banyak dilakukan secara lisan dan kering karena pendi- dik jarang menggugah, mengilhami dan meng- gerakkan subjek didiknya untuk terbiasa mem- baca dan menulis. Tak mengherankan, sampai sekarang, kekerasan verbal [baca: bahasa yang menindas, mengancam, merendahkan, dan me- murukkan] masih banyak ditemukan dalam ber- bagai pelaksanaan pendidikan atau pembelajar- an sebagaimana ditemukan oleh Ribut Wahyu Erianti (2011). Dalam konteks pemikiran Ong (1982; 2012), tulisan-tulisan yang muncul juga sangat kental residu atau sisa kelisanannya, mi- salnya sambutan resmi kepemerintahan, buku- buku panduan, dan majalah-majalah populer. DJOKO SARYONO. Setelah menganalisis secara mendalam, bahkan Teeuw berkesimpulan bahwa naskah-naskah pi- dato kenegaraan Presiden Soeharto mengandung residu kelisanan yang sangat kuat meskipun tampak sebagai hasil kebudayaan cetakan (1994: 1-43). Dapat dikatakan, pidato kenegaraan pre- siden dan pidato resmi kepemerintahan “bagai tak putus dirundung kelisanan”. Buku-buku panduan hidup dan kehidupan yang bombastis [baca: buku atau bacaan know-how yang lazim di- beri nama Motivasi dan Pengembangan Diri) yang sekarang luar biasa banyak diterbitkan oleh pel- bagai penerbit jelas-jelas menampakkan residu kelisanan yang sangat kasat mata. Bahkan pelba- gai novel populer, novel remaja (yang dinamai teenlit dan chicklit), dan novel-novel berlabel “in- spirasi” spiritualitas menampakkan residu keli- sanan yang [uar biasa kental. Berdasarkan pers- pektif Ong, Soedjijono (2006) bahkan membuk- tikan bahwa beberapa novel Kuntowijoyo dan Umar Kayam terutama Pasar dan Para Priyayi masih menampilkan residu kelisanan sangat kental. Pada umumnya tiras buku-buku dan ma- jalah (terutama ilmiah) yang disinggung di atas LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 39 40 dapat dikatakan tidak banyak, berkisar 1000 sam- pai dengan 3000-5000 eksemplar saja di tengah negeri berpenduduk lebih 240 juta orang. Dapat dibayangkan betapa sedikitnya para pembaca buku, majalah dan karya sastra di Indonesia. Tak mengherankan, dengan nada sangat gemas Taufik Ismail [pujangga terkemuka kita] menye- but masyarakat kita terutama para pelajar telah “rabun membaca dan mengarang”; bangsa de- ngan nol buku. Bahkan jauh sebelumnya, pada Pertemuan Nasional (Pilnas) HISKI pada tahun 1991 di Batu, Fuad Hassan (ketika itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) mengatakan bah- wa manusia, masyarakat dan atau bangsa Indo- nesia juga buta sastra, bukan hanya buta aksara. Sudah barang tentu terdapat pelbagai faktor penyebab terjadinya involusi tradisi baca-tulis. Pertama, berkembangnya pragmatisme dan libe- ralisme dalam penyelenggaran dan pengelolaan negara “dijawab” dengan _tindakan-tindakan jangka pendek dan praktis [tidak strategis] oleh berbagai kalangan masyarakat atau bangsa In- donesia. Khusus dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan/pembelajaran semenjak DJOKO SARYONO. akhir dasawarsa 1960-an dan semakin menguat pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang. Ledakan partisipasi pendidikan semenjak awal tahun 1970-an dijawab oleh pemerintah dengan mendirikan lembaga pendidikan secara besar-be- saran dan memberikan izin pendirian lembaga pendidikan swasta secara royal tanpa menyedia- kan sarana pendidian/pembelajaran secara kom- prehensif khususnya buku pelajaran dan buku- buku lain untuk koleksi perpustakaan. Meski- pun setiap tahun selalu disediakan biaya untuk mengadakan bahan-bahan pustaka, namun da- lam konteks makro perpustakaan sangat diabai- kan oleh penyelenggara dan pengelola pendidik- an (pemerintah dan swasta) sampai sekarang. Tak heran, sangat banyak sekolah atau lembaga- lembaga pendidikan lain tidak memiliki perpus- takaan memadai dan kalaupun punya koleksi- nya sangat sedikit dan tidak terawat dengan ba- ik. Akibatnya, sarana dan suasana pengembang- an minat dan kebiasaan membaca bagi subjek di- dik pupus atau layu jauh sebelum berkembang. Kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak per- nah menghapuskan pajak kertas dan pajak bu- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 1 42 ku—sebagaimana dilakukan oleh negara-negara lain—juga telah mengakibatkan harga buku atau bacaan di Indonesia sangat mahal sehingga ti- dak terjangkau oleh masyarakat dan akibatnya masyarakat tidak membaca, sekarang malah le- bih memilih mendengarkan dan menonton. De- mikian juga kebijakan pemerintah tentang pe- nyelenggaraan ujian secara nasional—yang pada umumnya disebut Ujian Nasional meskipun is- tilah atau namanya sering berubah-ubah—di- tanggapi oleh umumnya guru-guru [baca: tidak semua!] di Indonesia dengan latihan soal-soal dan mengerjakan LKS terus-menerus sepanjang proses pendidikan/pembelajaran. Dalam kon- teks persiapan Ujian Nasional, lembaga-lembaga bimbingan belajar pun tumbuh menjamur dan “menghajar” anak-anak kita dengan latihan-la- tihan mengerjakan soal secara bertubi-tubi—se- kalipun soal-soal sastra juga ada. Subjek didik atau siswa jarang sekali diberi tugas atau kesem- patan atau anjuran membaca buku-buku pel- ajaan atau buku-buku lain—apalagi buku-buku sastra—di perpustakaan sehingga subjek didik semakin jauh dari tradisi baca-tulis sekaligus DJOKO SARYONO. berpikir kritis-kreatif. Begitu juga McDonald- isasi pendidikan [istilah Ritzer] yang semakin marak pada tingkat pendidikan tinggi juga te- lah mengakibatkan tradisi baca-tulis tidak dapat berkembang; malah menggerus atau menggero- goti fondasi literasi (simak Nugroho, 2002). Ken- datipun berbagai strategi pembelajaran diganti, diubah atau diperbaharui silih berganti, kemu- dian ditawarkan kepada para pendidik, tetapi kerutinan dan kebiasaan pembelajaran sulit ber- ubah: sebagian besar waktu habis untuk latihan soal, mengerjakan LKS, dan uji coba soal-soal UN/USBN. Pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia kurang banyak memberikan kesem- patan dan peluang membaca dan menulis; keba- nyakan terjebak ritus atau ritual latihan soal, me- ngerjakan LKS dan uji coba ujian-ujian—yang tidak memerlukan kemampuan berpikir kritis- kreatif pada satu pihak dan pada pihak lain ti- dak membutuhkan tradisi baca-tulis yang kuat. Berkenaan dengan semua itu, dengan masygul Sindhunata (2000:12) berucap bahwa ”... banyak organisasi dan lembaga dalam masyarakat, le- bih-lebih yang berkaitan dengan bisnis dan per- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 43 44 dagangan, dengan mudah berubah dan menya- darkan dirinya untuk menjadi lembaga atau or- ganisasi yang selalu mau belajar untuk berubah .. dibanding dengan lembaga-lembaga itu, seko- lah termasuk lembaga yang paling malas untuk berubah, atau malah cenderung tidak suka ber- ubah sehingga sekolah pada dasarnya sulit un- tuk mereformasikan dirinya”. Kedua, involusi tradisi baca-tulis di Indone- sia juga disebabkan oleh berkembangnya tekno- logi komunikasi dan informasi terutama inter- net dan jejaring sosial yang luar biasa masif di Indonesia, yang tidak diikuti oleh transformasi budaya dengan baik. Berkembangnya gawai [ba- ca: telepon dan telepon seluler] telah membuat manusia atau masyarakat Indonesia lebih ba- nyak berbicara dan mendengar setiap hari tanpa diikuti oleh pemantapan kemampuan berpikir kritis-kreatif. Gawai menjadi ajang “ngerumpi” bermacam-macam hal, yang sifatnya memang lisan. Demikian juga menjamurnya internet dan media sosial telah membuat sebagian besar ma- nusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia me- masuki era sibernetik dan budaya digital yang DJOKO SARYONO. didominasi oleh kelisanan sekunder tanpa bekal literasi yang mantap (bandingkan Gere, 2008:207- 224). Perlu diketahui di sini, menurut Ong (1982; 2012), kelisanan sekunder selalu bertumpu pada literasi. Oleh manusia atau masyarakat Indone- sia internet pun lebih banyak digunakan untuk mengobrol (chatting) dan bermain (game online) sehingga sepenuhnya lisan dan visual. Di sam- ping itu, makin berkembangnya televisi, baik mi- lik pemerintah maupun milik swasta, yang ber- isi acara-acara hiburan yang bisa dinikmati oleh manusia atau masyarakat Indonesia sepanjang hari kini telah membuat masyarakat lebih terbi- asa mendengar dan menonton; bukan lagi mem- baca dan atau menulis tulisan atau bacaan ber- mutu. Neil Postman meledek mereka telah meng- hibur diri sampai mati di depan layar televisi. Pelbagai fenomena tersebut menyebabkan pro- ses pembentukan dan pemantapan tradisi baca- tulis terkendala, malah kemudian semakin ter- gerus merosot tajam karena hal-hal tersebut di atas—menurut temuan Baron (2009:227-246) dan Carr (2011)—membuat orang atau masyarakat mengalami perubahan neurologis yang meng- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 45 46 haruskan orang atau masyarakat belajar kembali membaca-menulis sekaligus menemukan stra- tegi baru membaca-menulis. Ketiga, makin berkembangnya budaya visu- al dalam berbagai rupa, misalnya berupa komik dan animasi, yang dikomunikasikan melalui me- dia cetak dan atau media elektronis telah me- nyebabkan sebagian masyarakat Indonesia kini akrab dan terbiasa dengan hal-hal yang bersifat visual atau visual-digital (bandingkan Baron, 2009; Duncan dan Smith, 2009) . Manusia dan/ atau masyarakat Indonesia terbiasa mengguna- kan telinga dan mata untuk menatap gambar- gambar dan tulisan-tulisan penjelas gambar yang disertai oleh suara ketika menonton siaran tele- visi. Tak ayal, minat dan kebiasaan membaca dan/atau menulis pun luntur dan merosot. Da- lam menghadapi kecenderungan tersebut, pe- nerbit-penerbit media cetak terutama suratkabar dan majalah, pada umumnya melakukan strategi atau tindakan mengecilkan format/besar surat- kabar, membesarkanukuranhuruf-cetak, danme- mendekkan tulisan (berita dan artikel opini) serta memperbanyak ilustrasi visual di samping DJOKO SARYONO. mengembangkan edisi elektronis suratkabar dan majalah. Sementara itu, para penerbit buku me- lakukan tindakan dengan menerbitkan buku- buku komik (apapun dan dari manapun), buku bacaan dengan ilustrasi visual yang demikian banyak, dan bahkan menerbitkan novel grafis [graphic novel] (simak Duncan dan Smith, 2009; Goldsmith, 2010). Hal tersebut mengakibatkan, sebagian besar manusia atau masyarakat Indo- nesia lebih menyukai dan nyaman dengan hal- hal yang serba visual dan tidak tahan membaca tulisan/bacaan agak panjang dan mendalam ber- gizi sehingga terjadilah pendangkalan atau pe- nyempitan selera membaca dan menulis di sam- ping memerosotkan kemampuan membaca dan menulis dalam konteks keberaksaraan. Keempat, kekuasaan di manapun—termasuk di Indonesia—sering mengganggu, bahkan ber- usaha menghambat tumbuh dan berkembang- nya literasi khususnya tradisi baca-tulis sebab mudah dilanda kecemasan dan kekhawatiran, bahkan kepanikan akan kebebasan informasi yang dibuka oleh keberaksaran. Kekuasaan se- lalu khawatir terancam oleh kebebasan infor- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 47 48 masi sehingga melakukan tindakan pelarangan, pemberangusan, bahkan pembakaran tulisan/ba- caan—semenjak dahulu dan tak hilang juga sam- pai kini (simak Yusuf dkk, 2010). Secara panjang lebar Teeuw (1994:294-296) menjelaskan: “Maka penguasa selalu khawatir akan kebebasan infor- masi, kebebasan aktif (pihak orang yang mem- punyai dan menyebarluaskan informasi). Sudah tentu kekhawatiran itu ada alasannya: alasan agama, alasan politik, alasan tatasusila. Sejarah buku sekaligus merupakan sejarah pembung- kaman penulis dan pembaca. Sepanjang sejarah gereja Kristiani ada buku yang dilarang, diba- kar, karena dianggap mengancam kemantapan ajaran atau tatanan gereja; penulis dan pemba- canya dituntut, dihukum, bahkan dibunuh. Gus- tave Flaurbert, pembaharu roman Prancis ditun- tut di muka hakim sebab romannya dianggap merusakkan tata susila dan merusakkan akhlak kaum muda; buku Hamzah Fansuri di Aceh, abad ke-17, dilarang, dimusnahkan dan penga- nut ajarannya diancam mati; pemerintah kolo- nial Belanda memanfaatkan senjata persbreidel, pemberangusan pers, supaya rakyat Hindia Be- DJOKO SARYONO. landa tidak dapat membaca buku dan majalah yang dianggap berbahaya untuk kemantapan politik jajahan, misalnya pidato pembelaan Soe- karno “Indonesia Menggugat” dilarang dibaca oleh orang Indonesia; Margareth Thatcher me- larang penerbitan sebuah buku yang membong- kar cerita tentang BIN Inggris karena informasi itu dianggap membahayakan negara; ... Salman Rusdi diancam mati, dan penerbit dan penjual bukunya diteror karena bukunya dituduh meng- hina Tuhan dan agama; Pak Jassin, penerjemah al-Qur‘an yang takwa, diadu di muka hakim se- bagai penanggung-jawab terbitan sebuah cerita pendek Langit Makin Mendung dengan alasan yang sama. ... di Indonesia ada buku yang terla- rang karena dianggap membahayakan keaman- an negara dan kemantapan politik, dan orang yang membaca dan menyebarluaskan tulisan itu dapat dihukum penjara. ... Buku, lebih-lebih bu- ku sastra memang adalah pedang bermata dua: sastra ingin memperlonggar batas eksistensi ma- nusia ... memperlonggar ruang geraknya; sastra menjelajah dunia tak terkenal, menggali hal yang baru, mengejutkan, menantang, membongkar LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 49 50 tata susila yang beku, mengguncangkan iman yang puas diri, menggerogoti kemapanan keku- asaan”. Akan tetapi, pandangan Teeuw lebih ja- uh, nama penulis yang dilarang, diancam dan bahkan dibunuh akan hidup terus dalam sejar- ah kebudayaan, sedangkan nama penguasa yang melarangnya atau hakim yang menghukumnya biasanya dilupakan (1994:296). Tidak menghe- rankan, dalam sebuah aforismenya, Nassim Ni- cholas Thaleb (2011:61) menghibur penulis de- ngan menyatakan demikian: “Penulis dikenang karena karya terbaiknya, politikus dikenang ka- rena kesalahan terburuknya, sementara pebisnis hampir tak pernah dikenang”. Demikianlah, ke- kuasaan yang tertutup dan tak ramah dapat menghambat pembentukan dan pemantapan tradisi baca-tulis. Keempat penyebab involusi tradisi baca-tu- lis tersebut telah membuat manusia, masyarakat dan atau bangsa Indonesia dilanda kebimbang- an kultural; Lombard (1996) malah menyebut adanya kebimbangan estetis. Teeuw (1994) me- nyebutnya dilema kultural antara kelisanan dan literasi. Betapa tidak! Pada waktu tengah mem- DJOKO SARYONO. bentuk dan memantapkan tradisi baca-tulis pada satu sisi dan pada sisi lain sedang mengurangi tradisi bicara-dengar, tiba-tiba budaya visual dan audiovisual datang secara bertubi-tubi, seolah- olah tidak terhindarkan sehingga manusia atau masyarakat Indonesia tergoda dan tersihir oleh hal-hal yang serbavisual meskipun yang visual tidak selalu berarti negatif. Hal tersebut bermak- na bahwa pada waktu masyarakat sedang mem- bentuk literasi yang mantap dan kuat, tiba-tiba kelisanan sekunder dan residu-residu kelisanan primer “merompaknya”. Lebih lanjut, hal terse- but mengakibatkan ikhtiar-ikhtiar membentuk dan memantapkan masyarakat membaca dan menulis di Indonesiatidak kunjung berhasil. Alih- alih masyarakat membaca dan menulis yang mantap dan kuat, sekarang masyarakat mende- ngar dan masyarakat menonton yang sedang tumbuh-berkembang pesat dalam taman sari ke- budayaan dan peradaban Indonesia meskipun tetap harus disadari ada berbagai kelompok ma- nusia/masyarakat/bangsa Indonesia yang tetap menghikmati dunia membaca dan menulis se- kaligus menyebarluaskannya kepada masyara- LITERASI: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 51 52 kat luas. Kebimbangan atau dilema kultural atau estetis tersebut dapat menjadikan manusia/ma- syarakat/bangsa Indonesia mengalami dislokasi dan disorientasi di tengah ikhtiar membentuk dan memantapkan literasi [termasuk tradisi ba- ca-tulis] di Indonesia. TEMPAT SASTRA DALAM LITERASI Secara ringkas dapat dikatakan, berdasar- kan etimologi-historis atau evolusi semantisnya, istilah dan konsep sastra terutama sastra Indone- sia berarti tulisan/bacaan sehingga secara lang- sung [karya] sastra berkenaan dengan literasi, tradisi membaca dan menulis, dan kemampuan berpikir kritis-kreatif; meskipun demikian tetap harus disadari ada sastra lisan yang berkenaan dengan kelisanan dan sastra-pentas [performance literature] yang berkenaan dengan khirografi (ban- dingkan Teeuw, 1994:39-50). Mengapa demikian? Karena istilah dan konsep sastra dalam khaza- nah istilah sastra [berbahasa] Indonesia sepadan atau malah sama substansinya dengan istilah dan konsep literature (dalam bahasa Inggris), literatur (dalam bahasa Jerman), dan /ifterature (dalam ba- DJOKO SARYONO. hasa Prancis) yang semuanya berakar pada ba- hasa Latin literature yang bermakna pustaka/tu- lisan/bacaan—yang lebih jauh menyiratkan dan memprasyaratkan makna literasi, tradisi mem- baca dan menulis, dan kemampuan berpikir kri- tis-kreatif (simak Teeuw, 1984; Saryono, 2005). Dalam konteks inilah kiranya bisa dipahami dan diletakkan pikiran Naomi Segal dan Daniela Ko- leva (editor) yang menyurat buku bertajuk From Literature to Cultural Literacy (Palgrave-MacMil- lan, 2014) dan Christopher Cannon yang menulis buku berjudul From Literacy to Literature: England, 1300-1400 (Oxford University Press, 2016). Kedua buku tersebut memaparkan ketakterpisahan an- tara literasi dan sastra; bahwa literasi dan sas- tra saling mengada. Adapun istilah puisi, novel, prosa, fiksi, dan imajinasi mengacu pada bentuk dan sifat yang lazim dilekatkan (inheren) pada komponen semantis sastra. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa semua [karya] sastra mengedepankan otentisitas dan kebaruan karya atau teks yang hanya mungkin terwujud dengan fiksionalitas dan imajinasi li- terer pada satu sisi dan pada sisi lain kemampu- LITERAS!: EPISENTRUM KEMAJUAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN 53 54 an berpikir kritis-kreatif-inovatif tingkat tinggi yang menghasilkan angan bermakna (simak Kle- den, 2004:405-456). Fiksionalitas dan imajinasi literer serta kemampuan kritis-kreatif-inovatif tersebut dapat berkembang dengan membaca pada satu sisi dan pada sisi lain dapat terawet- kan dengan menulis sehingga tradisi baca-tulis menjadi conditio sine qua non (syarat yang harus ada) bagi kualitas dan produktivitas karya sas- tra—termasuk sastra Indonesia. Bukankah Illiad (Homer), Mahabharata (Vyasa), Gurindam Dua- belas (Hamzah Fansuri), Kitab Tawwasin (al-Hal- laj), Mastnawi (Rumi), I La Galigo/Sureq Galigo, Serat Chentini (Sastranagara-Ranggasutrasna-Sas- tradipura), Kalatidha (Ronggowarsita), Rindu Den- dam (Amir Hamzah), Belenggu (Armijn Pane), Aku (Chairil Anwar), tetralogi Bumi Manusia (Pramoe- dyaA.T.), O, Amuk dan Kapak (Soetardji C.B.), Su- pernova (Dee), Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan), dan Saman (Ayu Utami) diakui dunia sastra se- bagai sastra unggul dan bermutu karena ditulis dengan otentisitas dan kebaruan tinggi, fiksio- nalitas yang bermakna, imajinasi literer yang menjulang, dan kemampuan berpikir kritis-kre- DJOKO SARYONO.

Anda mungkin juga menyukai