Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori

1. Burnout syndrome

a. Definisi

Burnout syndrome adalah keadaan lelah atau frustasi yang

disebabkan oleh terhalangnya pencapaian harapan (Nursalam 2016).

Pines dan Aronson dalam Nursalam 2016 melihat bahwa

mengemukakan bahwa Burnout syndrome sebagai suatu perubahan

sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis

dari pekerjaan. Dengan kata lain Burnout syndrome merupakan

kelelahan secara fisik, emosi, dan mental karena berada dalam situasi

yang menuntut emosional.

Burnout syndrome adalah suatu kondisi psikologis pada

seseorang yang tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga

menyebabkan stres berkepanjangan dan mengakibatkan beberapa

gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mental,

dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (Nursalam,2015).

Menurut Poerwandari, 2010 ( dalam dian yunita sari 2016)

burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan

kehilangan energy psikis maupun fisik. Biasanya burnout dialami

dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terus

9
10

menerus. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah

ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat

berkonsentrasi, gampang sakit) dan biasanya bersifat kumulatif,

maka kadang persoalan tidak demikian mudah diselesaikan.

Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa

burnout merupakan suatu bentuk kelelahan fisik, mental maupun

emosi yang dialami oleh seseorang karena adanya tuntutan pekerjaan

secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama sehingga

menyebabkan penarikan diri dari lingkungan organisasi dan

menurunnya pencapaian prestasi kerja.

b. Etiologi

Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi

faktor personal dan alau faktor lingkungan. Faktor personal

diantaranya kepribadian, harapan, demografi, control fokus dan

tingkat efisiensi. Faktor lingkungan yang berperan di antaranya

adalah beban kerja, penghargaan, kontrol, kepemilikan, keadilan, dan

nilai (Cavus, 2010).

1) Faktor Individu

Faktor individu ini meliputi faktor demografik dan faktor

kepribadian.

a) Faktor Demografik

Hal pertama yang dapat mempengaruhi burnout yang

berkaitan dengan faktor individu adalah faktor demografik.


11

Faktor demografik terdiri dari beberapa baigan seperti jenis

kelamin, usia, status perkawinan, lama kerja dan tingkat

pendidikan.

b) Faktor kepribadian

Kepribadian atau personality pada dasarnya merupakan

sebuah karakteristik psikologi dan perilaku yang dimiliki

individu yang bersifat permanent yang dapat membedakan

antara individu yang satu dengan induvidu yang lainnya.

Adapun faktor kepribadian di bagi menjadi beberapa bagian

diantaranya :

1. Konsep diri rendah

Maslach (Dalam Nursalam 2016) menunjukkan

bahwa individu yang memiliki konsep diri rendah

rentan terhadap burnout. Individu dengan konsep diri

rendah mempunyai karakteristik tidak percaya diri

dan memiliki penghargaan diri yang rendah.

2. Perilaku tipe A

Individu yang memiliki perilaku tipe A

cenderung menunjukkan kerja keras, kompetitif dan

gaya hidup yang penuh dengan tekanan waktu.

Individu dengan perilaku tipe A lebih memungkinkan

untuk mengalami burnout dari pada individu yang

lainnya.
12

3. Individu yang introvert

Individu yang introvert akan mengalami

ketegangan emosional yang lebih besar saat

menghadapi konflik, mereka cenderung menarik diri

dari kerja dan hal ini akan menghambat efektivitas

penyelesaian konflik.

4. Locus of control eksternal

Individu dengan locus of control eksternal

meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang

dialami disebabkan oleh kekuatan dari luar diri.

Mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya

terhadap situasi menekan sehingga mudah

menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis

terhadap pekerjaan.

5. Individu yang fleksibel

Individu yang fleksibel rentan terhadap konflik

peran karena mereka kesulitan untuk mengatakan

tidak terhadap peran yang datang dengan tuntutan

ekstra yang dapat mempengaruhi munculnya

burnout.

2) Faktor Lingkungan

Maslach dan Leiter (2008) menjabarkan terdapat enam

domain utama dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan


13

individu burnout antara lain :

a) Beban Kerja (Workload)

Beban kerja dapat menjadikan individu burnout ketika

tuntutan pekerjaan melebihi batas kemampuan individu. Hal

yang paling berpengaruh adalah dimensi kelelahan.

Berdasarkan berbagai macam penelitian kuantitatif maupun

kualitatif membuktikan bahwa beban kerja yang melebihi

batas kemampuan individu dapat menyebabkan seseorang

merasa kelelahan dan apabila individu tidak bisa

menanggulanginya maka akan terjadi burnout.

b) Stress Kerja

Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan

bersifat menetap dalam jangka waktu yang lama, maka akan

menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak

mampu membangun kembali kemampuannya untuk

menghadapi pemicu stres.

c) Kontrol (Control)

Hal yang menjadi pokok utama kontrol dapat

memunculkan burnout ketika terjadi konflik peran antar

individu dan terjadi ambiguitas peran. Setiap individu

memiliki kenanpuan untuk berfikir dan memecahkan suatu

permasalahan dan menginginkan.


14

d) Penghargaan (Reward)

Burnout dapat terjadi ketika penghargaan atau

reward tidak diberikan dengan baik dan memadai baik dari

segi finansial, institusional maupun sosial. Reward dapat

membangkitkan semangat individu dalam bekerja. Terdapat

dua macam reward yaitu eksternal dan internal. Reward

dalam bentuk eksternal dapat diberikan dengan gaji dan

beberapa bonus, sedangkan reward secara internal dapat

berupa pujian yang diberikan ketika individu mampu

bekerja sesuai dengan target, dan memastikan bahwa

pekerjaannya selesai dengan baik.

e) Komunitas (Community)

Hal kelima yang dapat menjadi sumber burnout adalah

kurangnya dukungan sosial dari atasan, rekan kerja dan

keluarga sehingga dapat menyebabkan kurangnya rasa

pencapaian personal. Individu yang tergabung dalam suatu

komunitas akan merasa lebih dihargai, nyaman, bahagia dan

memiliki selera humor yang tinggi ketika orang lain

memperhatikannya. Berbeda dengan seorang yang suka

menyendiri dari lingkungan sosial dan tidak suka dengan

kontak sosial akan menyebabkan seseorang merasa kelelahan

dan burnout.
15

f) Keadilan (Fairness)

Ketidakadilan merupakan faktor terjadinya burnout.

Konsep adil dapat dimanifestasikan saling menghargai dan

menerima perbedaan antara satu individu dengan individu

lain. Adanya rasa saling menghargai akan menibulkan rasa

ketertarikan dengan suatu lingkungan kerja. Ketidakadilan

sering dialami oleh individu pada proses pengambilan

keputusan saat masa promosi jabatan atau ketika individu

itu disalahkan ketka mereka tidak melakukan kesalahan.

g) Nilai (Values)

Apabila terjadi konflik dalam pekerjaan, berarti

melibatkan kesenjangan antara nilai individu dengan

organisasi. Seperti pekerja harus melakukan sesuatu yang

tidak sesuai dengan nilai yang ada didalam dirinya untuk

memenuhi tujuan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh

Maslach dan Leiter (2005) meunjukan bahwa konflik nilai

terkait dengan dimensi-dimensi burnout dan dapat

memungkinkan tingginya tingkat burnout.

Terlepas dari beberapa faktor tersebut di atas, ada beberapa

faktor yang dianggap mempunyai hubungan yang signifikan yaitu

status perkawinan, lamanya pekerjaan, dukungan sosial, struktur


16

keluarga, tanggung jawab, kejelasan stabilitas emosional, dan

kelelahan.

c. Dimensi

Sudah dijelaskan di atas, bahwa Burnout syndrome tidak

hanya terkait dengan faktor tunggal, melainkan muncul sebagai hasil

dari interaksi antara beberapa faktor yang ada. Burnout syndrome

pada seseorang muncul sebagai akibat dari kelelahan emosional yang

meningkat, depersonalisasi dan penurunan prestasi diri (Pouncet,

2007).

1) Kelelahan emosional

Kelelahan emosional merupakan sisi yang

mengekspresikan kelelahan fisik dan emosional yang dialami

sebagai dasar dan dimulainya Burnout syndrome. Kelelahan

emosional, sebagian besar berhubungan dengan stres pekerjaan

(Nursalam 2016). Hasil dari kelelahan emosional yang dialami

oleh seseorang, orang tersebut tidak responsif terhadap orang-

orang yang mereka layani, dan juga merasa bahwa pekerjaannya

sebagai penyiksaan karena ia berpikir bahwa dirinya sendiri tidak

mampu menanggung hari-hari berikutnya dan selalu merasa

tegang ( Nursalam 2016).


17

2) Depersonalisasi

Depersonalisasi merupakan sikap yang menunjukan

perilaku keras/kasar, perilaku negatif dan acuh tak acuh terhadap

orang lain. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa beberapa

orang menunjukan perilaku seperti kehilangan tujuan bekerja dan

kehilangan antusiasme sebagai akibat dari semakin menjauh dari

dirinya sendiri dan pekerjaannya.

3) Rendahnya prestasi diri

Rendahnya prestasi diri menjadi dimensi evaluasi diri dari

Burnout syndrome, timbul fakta bahwa orang mulai melihat

dirinya sebagai seseorang yang tidak berhasil. Dengan kata lain,

seseorang cenderung mengevaluasi dirinya sendiri sebagai hal

yang negatif (Maslach, 2003). Orang yang mengalami

kecenderungan ini berpikir bahwa mereka tidak membuat

kemajuan dalam pekerjaan mereka, sebaliknya mereka berpikir

bahwa mereka jatuh ke belakang, pekerjaan mereka tidak berhasil

dan tidak memberikan kontribusi pada perubahan lingkungan

mereka (Nursalam 2016).

d. Ciri-ciri burnout syndrome

Menurut Pines & Aronson (1989) dalam Nursalam 2016 ciri-


ciri umum burnout, yaitu:

1) Kelelahan fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam,

sakit punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering

flu, susah tidur, rasa letih yang kronis.


18

2) Kelelahan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah

tersinggung, sinisme, suka marah, gelisah, putus asa,

sedih, tertekan, dan tidak berdaya.

3) Kelelahan mental dicirikan seperti acuh tak acuh pada

lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri

yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, merasa tidak

berharga.

Burnout syndrome adalah situasi yang sangat sulit dihindari.

Namun, tingkat keparahan Burnout syndrome dapat dikurangi dengan

aplikasi pribadi maupun perubahan aplikasi pada organisasi tempat

melaksanakan tugas. Pada tingkat organisasi dilakukan dengan

pernyataan tugas yang jelas, partisipasi pemula untuk program

orientasi dan on the job training perencanaan personal yang efisien

dalam hubungannya dengan departemen, pertemuan tim regular

dengan saran dan kritik, akses ke dukungan sosial dan lingkungan

partisipatif dapat membantu dalam mencegah Burnout syndrome

(Kacmaz et al dalam Nursalam 2016). Pada tingkat pribadi dengan

cara mendorong karyawan untuk mengambil tujuan yang lebih

realistis, sehingga membantu mereka untuk menurunkan ekspektasi

diri agar dapat membantu dalam menurunkan Burnout syndrome.

Burnout syndrome dibedakan menjadi bentuk lain dari stres

karena merupakan satu set respon ke tingkat tinggi tuntutan pekerjaan

yang kronis, meliputi kewajiban pribadi dan tanggung jawab yang


19

sangat penting. Oleh karena karakteristik dari profesi kesehatan

seperti kecenderungan untuk fokus pada masalah, kurangnya umpan

balik positif, tingkat stres emosional, dan kemungkinan merasakan

perubahan sikap terhadap beberapa orang tempat bekerja, profesi

kesehatan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami burnout

syndrume (Maslach Jackson, 1982 dalam Nursalam 2016).

Bukti empiris menunjukan bahwa Burnout syndrome dapat

menimbulkan dampak negatif di berbagai tingkatan termasuk tingkat

individu, organisasi, dan pelayanan. Pada tingkat individu, Burnout

syndrome dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan fisik dan

mental negatif. Konsekuensi emosional termasuk konflik dan

kerusakan perkawinan hubungan keluarga dan sosial. Pada tingkat

organisasi, dapat menyebabkan penurunan komitmen organisasi dan

kepuasan kerja. Pada perawat dapat terjadi tingginya angka turnover

dan ketidakhadiran, kecenderungan untuk menarik diri dari pasien

dan beristirahat panjang termasuk kinerja secara keseluruhan yang

menurun dalam kualitas dan kuantitas kinerja. Dengan demikian,

organisasi dapat mengalami pemborosan sumber daya dan penurunan

produktivitas. Pada tingkat pelayanan, penelitian menunjukan bahwa

Burnout syndrome dapat mengarah ke penurunan kualitas perawatan

atau pelayanan dari pasien (Maslach dan Jackson, 1981 dalam

Nursalam 2016). Pelayanan pelanggan yang buruk dapat


20

menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengakibatkan turunnya

kemampuan untuk mempertahankan pelanggan.

e. Alat Ukur Burnout Syndrome

MBI (Maslach Burnout Inventory) merupakan instrument

yang terdiri atas 22 item yang digunakan untuk mengukur frekuensi

dari tiga aspek Burnout syndrome, kelelahan emosional,

depersonalisasi dan yang terakhir adalah penurunan prestasi diri.

Dimensi kelelahan emosional menggambarkan perasaan kelelahan,

terkurasnya energinya, dan perasaan kosong yang berkepanjangan.

Dimensi depersonalisasi berhubungan dengan sikap sinis dan

menarik diri terhadap orang lain dalam bekerja. Sedangkan, dimensi

penurunan personal accomplishment menggambarkan perasaan tidak

berdaya dan tidak kompeten pada pekerjaannya (Nursalam 2016).

MBI-HSS terdiri atas 22 butir pernyataan dimana tiap butir

mengandung 7 pilihan jawaban yaitu 0 (tidak pernah), 1 (berapa kali

dalam setahun), 2 (satu bulan sekali atau kurang), 3 (beberapa kali

dalam sebulan), 4 (satu minggu sekali), 5 (beberapa kali dalam

seminggu), dan 6 (setiap hari). Kuesioner yang dibagikan berisi butir-

butir pernyataan positif dan negatif. Jumlah item pernyataan positif

adalah delapan buah yaitu pada pernyataan 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

dan 22. Sedangkan item pernyataan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

dan 14 merupakan pernyataan negatif. Skor untuk pernyataan positif

dibalik dengan pernyataan negatif yaitu 6 (tidak pernah), 5 (berapa


21

kali dalam setahun), 4 (satu bulan sekali atau kurang), 3 (beberapa

kali dalam sebulan), 2 (satu minggu sekali), 1 (beberapa kali dalam

seminggu), dan 0 (setiap hari).Pernyataan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,

dan 9 termasuk dalam pernyataan kelelahan fisik dan emosional.

Penyataan nomor 10, 11, 12, 13, dan 14 merupakan pernyataan

depersonalisasi. Sedangkan pernyataan nomor 15, 16, 17, 18, 19, 20,

21, dan 22 termasuk dalam pernyataan pencapaian prestasi diri.

Apabila responden menjawab 9 pernyataan kelelahan

emosional dengan poin 6 maka 9x6 = 54, apabila responden

menjawab 5 pernyataan depersonalisasi dengan poin 6 maka 5x6 =

30, apabila responden menjawab 8 peryataan pencapaian prestasi diri

dengan 6 poin maka 8x6 = 48.

Untuk skor burnout peneliti mengelompokan data dalam 3

kategori. Menurut Maslach, Jockson, & Leiter (1996) dalam Azwar

2009 kategorisasi burnout dikelompokkan dalam tiga kategori tinggi,

sedang, rendah dengan menggunakan skor Z. secara lebih rinci dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Kategorisasi Burnout Syndrome

Kategorisasi Rentang Skor


Tinggi Z ≥0
Rendah Z <0
22

Kategorisasi data ini menggunakan rumus skor Z dengan

bantuan perhitungan software SPSS. Adapun rumus untuk mencari

skor Z (Normal deviate) sebagai berikut :

( X −M )
Z=
S

Keterangan :

Z = Skor z (Normal deviate)

X = Skor mentah

M = Rata rata skor mentah

S = Standar deviasi

2. Karakteristik Perawat

a. Definisi

Nursalam (2015) mengungkapkan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi Burnout Syndrome pada perawat adalah

demografi atau karakteristik perawat yang meliputi usia, lama kerja,

dan tingkat pendidikan. Dari pendapat beberapa ahli di simpulkan

karakteristik perawat merupakan faktor yang berasal dari diri

individu yang berpengaruh terhadap burnout.


23

1) Usia

Usia adalah lama waktu hidup atau ada, sejak dilahirkan

atau diadakan (Hoetomo, 2005). Sumawidanta (2013) dalam Dian

Yunita Sari 2016 mengungkapkan perawat yang lebih tua

biasanya lebih menguasai pekerjaan yang mereka lakukan dan

keinginan agar mencapai kinerja lebih baik dari pada perawat

yang berusia lebih muda juga lebih tinggi. Tuntutan dalam diri

perawat yang berusia lebih tua cenderung membuat stres hingga

terjadinya kelelahan fisik, emosional dan psikologi.

Menurut Maslach, Schaufeli, Leither (2001) usia di bagi

menjadi 2 yaitu usia muda < 30 tahun dan usia tua > 30 tahun.

Namun sebaliknya dari pernyataan di atas Usia lebih muda dari

30 tahun akan mengalami burnout lebih tinggi dari pada usia

perawat yang lebih tua dari 30 tahun.

2) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang ilmu pengetahuan

yang di dapat dari lembaga pendidikan formal terakhir. Tingkat

pendidikan merupakan suatu proses jangka panjang yang

menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir

(Mangkunegara, 2003).

Seseorang dengan pendidikan sarjana paling berisiko

mengalami Burnout syndrome dibandingkan tingkat pendidikan

lainnya. Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan


24

atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika dihadapkan pada

kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncul

kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan Burnout

syndrome. Tingkat pendidikan perawat terdiri dari SPK, DIII, S1,

serta S2 keperawatan (Fatmawati 2012, dalam Dian YS 2016).

3) Masa Kerja

Masa bekerja adalah suatu kurun waktu atau masanya

tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat (Handoko, 2007). Masa

kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-

masing pekerjaan atau jabatan. Semakin lama masa kerja individu

maka pengalaman yang diperolehnya semakin bertambah

(Siagian, 2009, dalam Dian Yunita Sari 2016).

Masa kerja dalam penelitian Ana Damayanti (2017)

dikategorikan menjadi dua, meliputi :

(a) Masa kerja kategori baru <5 tahun

(b) Masa kerja kategori lama =/≥ 5 tahun

Walaupun dengan masa kerja yang lama seorang perawat

mendapatkan pengalaman kerja yang banyak, namun pola

pekerjaan perawat yang monoton dan bersifat human service

justru menimbulkan kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang

mengarah pada Burnout syndrome, sehingga semakin lama

seseorang bekerja maka semakin tinggi resiko Burnout syndrome

(Pangastiti, 2011).
25

3. Stres Kerja Perawat

a. Definisi

Menurut Sondang P.Siagian (2009), stres merupakan

kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan

pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak diatasi

dengan baik biasanya akan berakibat pada ketidak mampuan

seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik

dalam arti lingkungan pekerjaan maupun diluarnya. Artinya

karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala

negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.

Menurut Handoko (2008), stres kerja adalah suatu

ketegangan yang mempengaruhi proses berpikir, emosi, dan

kondisi seseorang, hasilnya stres yang terlalu berlebihan dapat

mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi

lingkungan dan pada akhirnya akan mengganggu pelaksanaan

tugas-tugasnya.

Perawat yang mengalami stres menjadi nervous dan

merasakan kekuatiran kronis sehingga mereka sering marah-

marah, agresif, tidak dapat relaks atau memperlihatkan sikap

yang tidak kooperatif (Hasibuan, 2012). Stres yang berlanjut dan

tidak teratasi nantinya dapat mengakibatkan burnout syndrome.


26

b. Jenis-jenis Stres

Quick dan Quick (1984) dalam Siti Nurhendar 2007

mengkategorikan jenis stres menjadi dua yaitu:

1) Eustress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat,

positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut

termasuk kesejahteran individu dan juga organisasi yang

diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan

adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.

2) Distress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak

sehat, negative, dan destruktif (bersifat merusak). Hal ini termasuk

konsekuensi individu dan juga organisasi, seperti penyakit

kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang

tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan

kematian.

c. Penyebab Stres Kerja

Menurut Hasibuan (2012) faktor-faktor penyebab stres

perawat antara lain sebagai berikut:

1) Beban kerja yang sulit atau berlebihan.

2) Tekanan dan sikap pemimpin yang kurang adil dan wajar.

3) Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.

4) Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja.

5) Balas jasa yang terlalu rendah

6) Masalah-masalah keluarga seperti anak, mertua, dan lain-lain.


27

Menurut Robbins (2008) ada tiga kategori potensi pemicu

stres kerja yaitu:

1) Penyebab Organisasi: kurangnya otonomi dan kreativitas, harapan,

tenggat waktu, kuota yang tidak logis, relokasi pekerjaan,

kurangnya pelatihan, karier yang melelahkan, (downsizing)

bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahannya gaji.

2) Penyebab Individual: pertentangan antara karier dan tanggung

jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan

dan pengakuan kerja, ketidakpuasan kerja, kebosanan,

perawatan anak yang tidak adekuat, konflik dengan rekan

kerja.

3) Penyebab Lingkungan: buruknya kondisi lingkungan kerja

(pencahayaan, kebisingan, ventilasi, suhu,dan lain-lain),

diskriminasi ras, kekerasan ditempat kerja, kemacetan saat

berangkat dan pulang kerja.

d. Dampak dan Akibat Stres Kerja

Menurut P.Anoraga (2009), ada 3 (tiga) kategori umum

akibat stres kerja antara lain:

1) Stres Biologis

Sakit kepala, nafsu makan menurun, mual muntah,

keringat dingin, gangguan pola tidur, jantung berdebar, dan

badan terasa capek.


28

2) Stres Psikologis

Pelupa mudah marah, cemas, was-was, khawatir,

mimpi buruk, mudah menangis, pandangan putus asa, dan

lain sebagainya.

3) Stres Sosial

Makin banyak merokok, menarik diri dari pergaulan

sosial, mudah bertengkar, dan lain sebagainya.

e. Alat Ukur Stres Kerja

Instrumen stres kerja menggunakan kuesioner yang sudah

baku, yang diambil dari Nursalam 2016. Terdiri dari 35 pernyataaan

dengan 3 dimensi stres yaitu stres biologis, stres psikologis, dan stres

sosial. Dimana tiap butir pernyataan berisi mengandung 4 pilihan

jawaban yaitu 1 (tidak pernah), 2 (kadang-kadang), 3 (sering), dan 4

(selalu).

Skor untuk pernyataan dalam instrumen ini 4 untuk pernyataan

(selalu), 3 untuk (sering), 2 untuk (kadang-kadang), dan 1 untuk

(tidak pernah). Jumlah skor tertinggi adalah 35x4= 140 (100%) dan

jumlah skor terendah adalah 35x1= 35 (25%).

Penentuan skoring menggunakan pendekatan skala Likert

untuk menentukan kategori stres kerja yang dialami responden. Range

skor ini adalah 100-25= 75% , dengan 3 kategori ringan, sedang, dan

berat. Interval skor ini adalah 75/3 = 25% maka penetapan skoring
29

dengan interval 25% sehingga didapatkan kriteria kategorisasi skor

yaitu:

Tabel 2.2 Kategorisasi Stres Kerja

Kategori Skor
Berat 76-100%
Sedang 51-75%
Ringan 25-50%

Dengan rumus sebagai berikut:

Skor mentah yang diperoleh


Skor = x 100%
Skor tertinggi
30

B. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah konsep yang dipakai sebagai landasan berpikir

dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2015).

Faktor Individu Faktor Lingkungan

Faktor Faktor 1. Beban kerja


Demografik Kepribadian 2. Stress kerja
1. Jenis kelamin 1. Konsep diri 3. Control (control)
2. Usia rendah 4. Penghargaan
3. Status 2. Perilaku tipe A 5. Komunitas
perkawinan 3. Individu yang 6. Keadilan
4. Lama kerja introvert 7. Nilai
5. Tingkat 4. Locus of
pendidikan control
eksternal
5. Individu yang
fleksibel

BURNOUT SYNDROME

Maslach Burnout Inventory (MBI)


1. Kelelahan emosional
2. Depersonalisai/sinisme
3. Rendahnya Prestasi pribadi

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Bunrout Syndrome. (Nursalam 2016).

Anda mungkin juga menyukai