Anda di halaman 1dari 16

HOAX ANTARA KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN KEKUASAAN HUKUM

IBNU ARTADI

ABSTRAK

Hak asasi kebebasan berpendapat sebagai sesuatu yang bernilai asasi bagi
manusia dalam pelaksanaannya tetap dibatasi oleh kekuasaan hukum. Ini berarti
tidak ada kebebasan yang bersifat absolut. Pemberitaan, penyuaraan pendapat
bernuansa hoax sebagai sesuatu pelanggaran terhadap kemerdekaan/ kebebasan itu
sendiri dan sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dimintai
pertanggungjawaban secara moral dan hukum, karena sikap tindak atau perilakunya
tidak sejalan dengan aturan, standar atau ukuran sebagaimana yang telah ditetapkan
baik dalam norma moral maupun norma hukum.
Untuk meminimalisir tingginya penyebaran berita hoax, hal utama yang harus
menjadi skala prioritas adalah konsistensi penegakan hukum tanpa tebang pilih
(diskriminatif) sesuai dengan asas hukum bahwa semua orang sama di hadapan
hukum, dengan perkataan lain bahwa hukum memberlakukan semua orang tanpa
perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial dan
kekayaan. (Equality before the law). Hal ini penting dilakukan, mengingat sifat
melawan hukumnya dan sifat berbahayanya penyebaran hoax bernuansa provokatif
dan berpotensi terjadinya konflik yang sangat membahayakan bagi terwujudnya
ketertiban, keamanan dan kerukunan di masyarakat.

Keywords: Hoax, Kebebasan, Hukum.

I. Pendahuluan.

Pada dekade abad 20, perkembangan teknologi informasi dan arus globalisasi
berpengaruh besar bagi kehidupan manusia di jaman yang serba modern saat ini.
Dalam hal berkomunikasi pada awalnya dilakukan secara langsung, surat menyurat
diganti menggunakan handphone dengan pelbagai kecanggihan yang dimilikinya.
Perkembangan teknologi informasi bukan saja dapat menciptakan komunikasi
yang mengglobal, melainkan juga mampu mengembangkan ruang gerak kehidupan
baru melalui dunia maya. Dunia maya (cyberspace) adalah media elektronik dalam
jaringan komputer yang banyak dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah
maupun timbal balik secara online (terhubung langsung).
Dunia maya (cyberspace) atau disebut juga dunia internet dapat berperan
mengintegrasikan pelbagai peralatan komunikasi dan jaringan komputer yang dapat
menghubungkan peralatan komunikasi yang tersebar di seluruh npenjuru duinia
secara interaktif.

1
Internet adalah salah satu bagian tidak terpisahkan bagi perkembangan
teknologi informasi yang memiliki peranan penting bagi terbukanya cakrawala
informasi dan komunikasi, guna menunjang segala aktivitas yang dilakukan oleh
manusia.
Kehadiran internet telah mendominasi kegiatan manusia, karena dismping
fungsinya dapat digunakan sebagai sarana komunikasi virtual sebagai kekuatan
utama dalam perkembangan media sosial, sebagai media yang memediasi
komunikasi yang dilakukan secara virtual atau online, juga dapat digunakan sebagai
sarana di luar peruntukannya.
Inilah realitas yang terjadi dan tidak dapat dipungkiri, dimana internet yang pada
awal kehadirannya berfungsi memberikan kontribusi bagi peningkatan kemajuan,
kesejahteraan dan peradapan manusia, dapat mempercepat dan mempermudah
pertukaran informasi, pencarian informasi dan pemberitaan, sehingga dapat
memudahkan dalam melakukan pekerjaan atau segala aktivitas yang dilakukan oleh
manusia, ternyata dapat juga digunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab
sebagai sarana untuk melakukan perbuatan melawan hukum, seperti: hoax,
pornografi, perjudian, penipuan, kampanye hitam (black compaign) dan lain
sebagainya.
Kondisi yang demikian menggambarkan bahwa tidak semua aktifitas penggunaan
internet digunakan untuk kepentingan hal-hal yang positip, melainkan dapat juga
untuk kepentingan yang negatif.
Salah satu dampak negatif yang pada saat ini marak terjadi media sosial, seperti:
WhatsApp, Browser, telah digunakan sebagai wadah untuk menyebarkan berita-
berita yang tidak akurat, tidak jelas sumber kebenarannya (hoax), cenderung
provokatif dan bertujuan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, tanpa
memperdulikan tanggungjawab dan dampak yang ditimbulkannya.
Hoax adalah adalah informasi berbahaya dan sesat. Hoax adalah informasi palsu
yang disampaikan sebagai sumber kebenaran, sehingga menimbulkan persepsi yang
menyesatkan. Hoax dengan tingkat penyebarannya yang sangat tinggi saat ini
menjadi beban dan sekaligus kekhawatiran tersendiri bagi terciptanya kesatuan dan
persatuan bangsa.

2
Ironisnya, pemberitaan dan penyebaran hoax di media sosial merupakan konten
yang digemari oleh masyarakat, karena sifat hoax sendiri yang diciptakan sedemikian
rupa untuk menciptakan sensasi dan perhatian publik dan anehnya masyarakat
dengan mudah mempercayai berita tersebut dan menyebarkannya ke group- group
WhatApp, sehingga berakibat penyebarannya semakin luas.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Siaran Pers No.
217/HM/KOMINFO/12/2019, senin, 2 Desember 2019, telah berhasil
mengidentifikasi selama bulan Nopember 2019, seebanyak 260 hoax, kabar bohong,
berita palsu, sehingga jumlah hoax yang diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 3901
pada periode Agustus 2018 samapai dengan Nopember 2019. Dari total 3901 hoax
kategori politik mendominasi di angka 973 item hoax, 743 kategori pemerintahan,
401 hoax kategori kesehatan. 307 hoax kategori lain-lain, 271 hoax kategori
kejahatan, 242 hoax kategori fitnah, 216 hoax kategori internasionanl dan sisanya
hoax terkait bencana alam, agama, penipuan, mitos, perdagangan dan pendidikan1
Data hoax di atas menggambarkan tingginya perbuatan melawan hukum di dunia
maya, sekaligus merupakan fenomena yang sangat menghawatirkan, karena akan
berdampak pada timbulnya kepanikan, kebencian, keresahan, kegaduhan, rasa tidak
aman, ketakutan, rusaknya reputasi bahkan dapat menimbulkan terjadinya gerakan
sosial dan perpecahan di masyarakat.
Hoax bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini, membentuk
persepsi di masyarakat dan hoax merupakan ekses negatif dari kebebasan berbicara
dan berpendapat di media sosial. Pemberitaan hoax masih bertebaran dimana-mana
dan akan terus berlangsung dengan berdalih hak asasi kebebasan berpendapat.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa hak asasi kebebasan berpendapat telah
disalahgunakan dan sekaligus sebagai dalih pembenaran atas perbuatannya untuk
secara terus menerus menyebarkan informasi-informasi palsu yang tidak berdasar
dengan tujuan untuk menggiring opini publik.
Hal yang demikian membuat keberadaan hak asasi kebebasan berpendapat
(freedom of speech) yang telah dijamin melalui pelbagai perundang-undangan telah
disalahartikan sebagai kebebasan absolut, tanpa batas dan sekaligus dijadikan
landasan pembenaran untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

1
. https://kominfo.go.id, di akses, tgl 16 Agustus 2021

3
Permasalahannya kemudian, betulkah kebebasan berpendapat dapat dimaknai
sebagai kebebasan yang absolut dan dapatkah hal tersebut dijadikan landasan
legalitas pembenaran bagi sahnya perbuatan penyebaran pemberitaan bernuansa
hoax.

II. Hoax Antara Tanggung Jawab Moral Dan Hukum.

II.1. Hoax: Kebebasan Berpendapat Dan Kekuasaan Hukum.

Mempersoalkan tentang pentingnya kemerdekaan/ kebebasan bukan hal yang


baru dalam perjalanan peradaban manusia. Tuntutan akan kebebasan terjadi
bersamaan dengan berkembangnya ide untuk membangun suatu negara yang
demokratis.
Ide tersebut mencapai puncaknya pada saat lahirnya revolusi kemerdekaan
Amerika pada tahun 1776 dan revolusi Prancis pada tahun 1789. Kedua revolusi
ini merupakan revolusi yang paling terkenal dalam sejarah dunia. 2
Mengkritisi
perjalanan sejarah tersebut telah terungkap bahwa tuntutan akan perlakuan untuk
memperoleh kemerdekaan/ kebebasan tidak tercipta begitu saja, melainkan
merupakan ungkapan pengalaman sekelompok orang yang secara mendalam
mempengaruhi cara seluruh masyarakat dalam menilai kembali tatanan
kehidupannya dari segi martabat kemanusiaannya.
Dalam perjalanan sejarah itu pula terungkap bahwa pentingnya nilai-nilai
kebebasan akan muncul kepermukaan kesadaran individu, manakala secara nyata
ia mengalami pembatasan-pembatasan. Pengalaman secara demikian mendorong
individu untuk bereaksi atau menuntut orang lain agar menghargai hak-haknya
dan atau kebebasan dapat muncul kepermukaan kesadaran individu sebagai nilai
yang amat fundamental bagi manusia.
Permulaan proses sejarah itu sering berupa pengalaman negatif, misalnya
berwujud penderitaan, ketidakadilan, dan pemerkosaan atau perlakuan yang tidak
wajar lainnya. Kondisi ini pulalah yang memunculkan pentingnya kebebasan dan
menuntut orang lain agar menghargai haknya atas kemerdekaan/ kebebasannya.
Dalam keadaan alamiah manusia itu adalah bebas/ merdeka, dan otonom.
Kebebasan dalam arti yang luas berarti tidak adanya ikatan, tidak adanya

2
Sutandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah Lembaga Studi Dan
Advokasi Masayarakat, Jakarta, ( ELSAM ), 2002, hal.488 - 490.

4
pengekangan/ batasan. Tuntutan akan kebebasan ini otonom sifatnya dan
sekaligus menjadi dasar perasaan moral serta atas dasar perasaan moral ini pula
manusia berkehendak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Inti universal nilai kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok untuk
mengurus diri sendiri lepas dari paksaan. Pemaksaan itu memperkosa manusia
sebagai makhluk yang berakal budi dan bebas, bersikap dan bertindak sesuai
dengan suara hatinya sendiri merupakan salah satu hak setiap orang yang paling
asasi.
Dengan demikian kebebasan merupakan hak asasi manusia yang harus bebas
dari pemaksaan. Sebagai bagian dari hak asasi manusia dimaksudkan hak-hak
yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, bukan
berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. Hak ini sangat penting demi keutuhan manusia dan tuntutan agar
otonomi setiap manusia atas dirinya sendiri dihormati.
Namun demikian kebebasan dalam arti apakah yang sebenarnya menjadi
tuntutan asasi dan mana pula yang sebenarnya dibilang bukan asasi sepenuhnya
serta adakah standar atau batas-batas dari pelaksanaan asasinya. Hal ini menjadi
penting guna menghindari timbulnya kesalahpahaman dalam memaknai
kebebasan itu sendiri.
Mencermati fenomena pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi
kebebasan berpendapat berupa informasi-informasi yang tidak berdasar (hoax)
bertujuan untuk menggiring opini publik. di media sosial oleh oknum penyebar
hoax yang dilakukan secara terus menerus menyebarkannya, apakah dapat dinilai
bermakna hak kebebasan asasi manusia?
Berbicara masalah kebebasan ada dua hal yang harus diperhatikan dan
disepakati terlebih dahulu. Secara teoritik dalam mengkaji makna kebebasan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu Kebebasan eksistensial dan Kebebasan sosial. 3
Kebebasan eksistensial dalam konteks pembahasan ini dimaksudkan sebagai
kebebasan berpikir dan kebebasan mengikuti suara hati. 4
Kemerdekaan berpikir
dimaksudkan hak setiap orang untuk membentuk pendapatnya sendiri tentang
segala segi kehidupan manusia, untuk memberi penilaian terhadap pola kehidupan

3
Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Cet. Ke 3, Yogjakarta,
Kanisius, , 1991, hal. 22-32.
4
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia, 2003, hal. 148.

5
masyarakat dan tatanan hukum, untuk menyetujui atau tidak menyetujui
pandangan-pandangan, nilai-nilai, harapan-harapan dan norma–norma moral
masyarakat……… sesuai dengan dunia yang dikehendaki sendiri.5
Kebebasan sosial adalah kebebasan yang dibatasi oleh orang lain.
Pembatasannya dapat berupa pembatasan: Jasmani (fisik); rohani (psikhis), yaitu
tekanan batin yang diberikan oleh orang lain, serta perintah dan larangan yang
terwujud dalam undang-undang dan larangan menurut norma sosial.
Atas pemahaman tersebut tuntutan asasi manusia adalah tuntutan akan
kebebasan dalam arti kebebasan eksistensial dan bukan kekebebasan sosial yang
menemukan batasnya pada hak orang lain.
Persoalannya kemudian apakah penyuaraan, pemberitaan, penyebaran berita
bernuansa hoax merupakan wujud dari kebebasan eksistensial dalam arti
kebebasan berpikir dan kebebasan mengikuti suara hati dan sekaligus merupakan
hak otonom tanpa batas dan atau tidak memiliki standar atau batas-batas dalam
penggunaannya.
Kemerdekaan/ kebebasan kehendak dalam kesadaran individu merupakan
sudut pandang subjek dan keyakinannya dan merupakan kebebasan subjektif yang
otonom sifatnya dapat dibenarkan, dalam arti kemerdekaan suara hati tidak dapat
dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Suara hati ini merupakan ruang
kebebasan yang bermakna untuk menentukan dirinya secara otonom.
Namun demikian adanya hak kebebasan suara hati tersebut bukan untuk
mengenyampingkan fungsi hukum atau menempatkannya di bawah dominasi hati
nurani sebagai norma sosial. Hal ini berarti bahwa hati nurani tidak lagi berlaku
otonom tanpa batas, melainkan kebebasannya dibatasi dan tidak boleh sampai
mengurangi hak orang lain yang sama besarnya untuk memperoleh kebebasan
sesuai dengan suara hatinya. Dalam pemahaman demikian seseorang tidak bisa
tetap memiliki kemerdekaan kehendak dan selalu berada di bawah perintah Tuhan
dan hukum orang lain.
Dengan demikian kebebasan eksistensial bersifat otonom ketika bersemayam
di dalam hati dan atau kebebasan berpikir dan kebebasan mengikuti suara hati
merupakan hak otonom yang tanpa batas. Namun ketika akan diimplementasikan
dalam bentuk suatu tindakan untuk kemudian mengambil keputusan, kebebasan

5
Ibid. hal. 150.

6
eksistensial juga memiliki batasan dalam penggunaannya, inilah yang kemudian
dinamakan kebebasan sosial.
Kebebasan sosial adalah kebebasan eksistensial yang diwujudkan dalam
dimensi lahiriah sebagai ungkapan kehendaknya yang bebas yang secara hakiki
kebebasannya itu dibatasi oleh pihak yang berwenang dan bersifat normatif.
Disinilah kemudian muncul pembatasan hak dan atau memperoleh batasnya pada
hak orang lain dan hak-hak masyarakat yang dirumuskan dalam hukum dan
undang-undang.
Pembatasan atas kemerdekaan yang diberikan oleh undang-undang secara
prinsipil berupa kekuasaan, yaitu kekuasaan hukum. Kekuasaan hukum secara
legalitas merupakan perwujudan kehendak penguasa yang diakui dan diterima
oleh masyarakat.
Batasan-batasan yang diberikan oleh kekuasaan hukum seharusnya tidak
dipahami sebagai sesuatu pelanggaran terhadap kemerdekaan/ kebebasan itu
sendiri, melainkan batasan-batasan itu harus dapat dipahami sebagai tindakan
pengaturan. Pengaturan ini menjadi penting untuk melindungi dan
memaksimalkan pelaksanaan kebebasan yang sama bagi semua orang. Untuk itu
batasan-batasan itu harus dapat dipertanggungjawabkan sejauh diperlukan dan
penting bagi terwujudnya keadilan dan pengagungan terhadap martabat manusia
itu sendiri.
Oleh karena itu berdasar pada pertimbangan di atas memperlihatkan
betapapun mendasarnya kebebasan asasi sebagai sesuatu yang bernilai bagi
manusia, tetap saja ada kemungkinan untuk membatasi pelaksanaannya. Ini
berarti tidak ada kebebasan yang bersifat absolut.
Dengan demikian pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi
kebebasan berpendapat oleh oknum penyebar hoax tidak dapat dikategorikan
sebagai wujud makna Kebebasan eksistensial dan Kebebasan sosial. Hal ini juga
berarti tuntutan untuk mendapatkan kebebasan dasar yang lebih luas tidak dapat
diterima, kecuali apabila tuntutan itu tidak memperkosa kebebasan-kebebasan
dasar manusia lainnya.
Mengkritisi peran oknum penyebar hoax, dengan melihat latar belakang
pendidikan dan ketrampilan khusus yang dimilikinya dalam mengolah data yang
kemudian ditransmisikan kepada para pengguna internet, menunjukkan bahwa

7
sangat memahami bahwa dalam mengemukakan pendapat di media sosial ada
batasan-batasan yang diberikan oleh kekuasaan hukum, dan bahkan sangat
dipahami bahwa perbuatannya sebagai sesuatu pelanggaran terhadap
kemerdekaan/ kebebasan itu sendiri.
Hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan penyebar hoax tidak dilandasi oleh
kesadaran hukum dalam arti kesediaan untuk berperilaku sesuai dengan aturan
hukum yang telah ditetapkan, tetapi lebih berorientasi pada tujuan untuk membuat
opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi dengan berita bohong
(hoax), tanpa memperdulikan sifat melawan hukumnya dan sifat berbahayanya
perbuatan.
II.2. Hoax Antara Tanggung Jawab Moral Dan Hukum.

Hal ini dimaksudkan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi


kebebasan berpendapat oleh oknum penyebar hoax bergerak diantara moral dan
hukum. Hal ini lebih jauh dimaksudkan bahwa norma moral digunakan sebagai alat
kontrol, atas sikap dan perilakunya..

Moral disini mulai berperan ketika muncul pemberitaan, penyuaraan pendapat


atau hak asasi kebebasan berpendapat oleh oknum penyebar hoax artinya
diberikannya ruang kebebasan berkaitan dengan pertimbangan moral
dibelakangnya. Moral ini menentukan derajat kepribadian seseorang dan makna
moral yang tercermin dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya.

Sikap yang berkualitas moral oleh Kant disebut moralitas. 6 Moralitas adalah
pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu
sendiri tertulis dalam hati manusia. Sebuah hukum atau aturan akan mengikat kalau
diyakini dalam hati. Moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati
disadari sebagai kewajiban mutlak.7
Tidak dilaksanakannya kewajiban moral merupakan tanggungjawabnya.
Tanggung jawab (accountability) merupakan ungkapan bahwa ia
bertanggungjawab atas kontrol tindakannya sendiri atas dilakukannya baik secara
moral dan hukum. Hukum itu sendiri mencerminkan rasa moral (moral sentiments),

6
Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogjakarta, 1992, hal. 104.
7
Ibid.

8
maka setiap tindakan yang dilakukan bukan saja mencerminkan pada hukum tetapi
juga pada moralitas.
Oleh karena itu membahas pertanggungjawaban secara moral sejatinya tidak
dapat dilepaskan dari moral manusia itu sendiri. Secara naluriah menurut Rawls 8

manusia memiliki moral (person moral) yang ditandai dua kemampuan moral (high
order interests), yakni : pertama, kemampuan untuk mengerti dan bertindak
berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu
kerja sosial. kedua, kemampuan untuk membentuk, merivisi dan secara rasional
mengusahakan terwujudnya konsep yang baik, yang mendorong semua orang untuk
mengusahakan terpenuhinya nilai-nilai dan manfaat-manfaat primer bagi dirinya.
Selanjutnya menurut Sjachran Basah pertanggungjawaban secara moral itu
adalah tanggungjawab : 9
“… kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan,
demi kepentingan bersama “.
Mencermati hal diatas nampak bahwa pertanggungjawaban secara moral
bertitik tolak pada sudut pandang subyek dan keyakinannya yang dilengkapi oleh
rasa tanggungjawab, sehingga prinsip-prinsip moral yang telah dimilikinya dapat
diwujudkan dengan sebaik-baiknya.
Dengan mendasarkan diri pada kedua kemampuan moral manusia tersebut,
maka tindakan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi kebebasan
berpendapat bernuansa hoax, jelas perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip-
prinsip moral yang baik.
Konsekuensinya, mengingat perbuatan hoax sebagai perwujudan konsep
moral haruslah dipertanggungjawabkan sejalan dengan apa yang ada secara
fundamental (prinsip keadilan) dalam diri manusia, dimana secara mendasar
memperlakukan manusia sebagai manusia, dan bukan menjadikan manusia sebagai
alat demi kepentingan apapun diluar manusia itu sendiri.
Oleh karena itu setiap pertanggungjawaban untuk mengamankan dan
melindungi pelaksanaan kemampuan untuk memiliki rasa keadilan tidak boleh

8
John Rawls, Keadilan Dan Demokrasi, Kanisius, Yogjakarta, 2001, hal. 37.
9
Sjachran Basah, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung ,
1985, Hal. 151.

9
bertentangan dengan tuntutan untuk mengembangkan dan mewujudkan konsep
yang baik.
Akan tetapi pertanggungjawaban secara moral masih bersifat abstrak, dalam
arti menjadikan hati nurani sebagai basis dan tolak ukur bertindak tentu saja sangat
penting apabila dipandang dari sudut moral. Akan tetapi, mempercayakan
pengaturan hubungan sosial terbatas pada kemampuan hati nurani setiap orang
sesungguhnya terlalu lemah dan tidak cukup efektif untuk menggerakkan suatu
kerja sama sosial. Oleh karena itu disamping diperlukan pertanggungjawaban
secara moral, juga diperlukan pertanggungjawaban secara hukum 10

Dengan demikian Tanggungjawab secara moral dan hukum haruslah


dimaknakan bahwa sikap tindak atau perilakunya harus sejalan dengan aturan,
standar atau ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kebaikan atau
keburukan suatu perbuatan sebagaimana yang telah ditetapkan baik dalam norma
moral maupun norma hukum.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sjachran Basah yang
menyatakan bahwa kebebasan bertindak dapat dilakukan dalam batas-batas
tertentu, dalam arti keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, sikap
tindaknya haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun hukum. 11
Pertanggungjawaban secara hukum, menurut Muladi haruslah dimaknakan
sebagai tanggung jawab terhadap ukuran atau standar yang telah ditetapkan dalam
hukum itu sendiri. 12
Dengan demikian setiap tindakan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak
asasi kebebasan berpendapat yang dilakukan, idealnya disamping harus berpijak
pada prinsip-prinsip moral yang baik, juga berpijak pada prinsip-prinsip hukum
yang sesungguhnya merupakan gagasan moral.

Berdasar atas pemahaman di atas, maka perbuatan pelaku pemberitaan,


penyuaraan pendapat bernuansa hoax, sudah sepatutnya bertanggungjawab secara
moral dan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

(a) bahwa tindakan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak


asasi kebebasan berpendapat bergerak diantara hukum dan moral;
10
John Rawls, Op. Cit 113.
11
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi negara, Alumni, Bandung,
1986, hal.3.
12
Muladi,, Kapita, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana ,UNDIP, Semarang 1995

10
(b) bahwa peraturan hukum pada umumnya mempunyai kekuatan
memaksa sehingga mampu untuk memberikan hasil yang lebih dibandingkan
dengan apa yang dapat diperoleh melalui seruan yang bertumpu pada hati
nurani. Peraturan hukum yang dibentuk dinilai paling dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan, karena dipandang paling efektif untuk mengamankan
pelaksanaan hak dan kewajiban setiap orang.
(c) Hukum dan lembaganya termasuk bagian dari struktur sosial
komunitas. Karena itu tanggungjawab menciptakan dan menjalankan hukum
harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral, dalam arti norma-norma
hukum harus merupakan determinasi dan penerapan lebih konkrit dari prinsip-
prinsip moral, yakni menghasilkan manusia yang baik dan atau dengan
perkataan lain prinsip-prinsip hukum harus merupakan refleksi dari prinsip-
prinsip moral demi memelihara dan mendukung keadilan.
Dengan mengkritisi keseluruhan elemen-elemen esensial yang melekat secara
inherent dengan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi kebebasan
berpendapat itu sendiri, telah menjadi jelas bahwa kemerdekaan atau kebebasan
yang melekat dalam hal tersebut, bukan tanpa batas dan tidak bertindak sewenang-
wenang dalam arti suatu perbuatan tersebut yang nyata-nyata secara formal
melanggar hukum, menjadi keharusan untuk diminta pertanggungjawaban. secara
moral dan pertanggungjawaban secara hukum.
Permasalahannya kemudian, bagaimanakah upaya pencegahannya agar dapat
meredam semakin maraknya pemberitaan, penyuaraan bernuansa hoax di media
sosial.
Perbuatan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi kebebasan
berpendapat bernuansa hoax merupakan bentuk perbuatan yang dilakukan tanpa
lagi memperdulikan bahwa perbuatan tersebut secara nyata merupakan perbuatan
tercela secara moral atau mengabaikan nilai-nilai moral yang baik dan juga
melanggar hukum atau dilarang oleh hukum, namun tetap saja dilakukan. dengan
tanpa beban.
Dengan perkataan lain perbuatan penyebaran informasi hoax yang tidak
sesuai dengan fakta, melebih-lebihkan dan memutarbalikkan fakta yang
sebenarnya, jelas merupakan perbuatan tercela secara moral atau mengabaikan
nilai-nilai moral karena perbuatannya tidak dilakukan secara baik dan benar serta

11
bertentangan dengan hak dan kewajiban moral, informasi tidak dilakukan secara
jujur atau tidak obyektif atau bersifat memihak, dimana penyiaran dan pemberitaan
tidak dilakukan secara seimbang, sehingga bertentangan dengan kepatutan dan
kewajaran serta merugikan orang lain.
Demikian juga dengan memahami tujuan penyebaran hoax, disamping untuk
membuat opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi, juga
berorientasi bisnis, misalnya digunakan kepentingan politik tertentu untuk
menjatuhkan, mendiskreditkan pesaing (black compaign), digunakan untuk sarana
mengadu domba, sehingga terjadi perpecahan dan pergolakan di masyarakat,
digunakan untuk promosi dengan modus penipuan dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlunya pertanggungjawaban secara moral
dan hukum terhadap penyebar pemberitaan hoax menjadi keharusan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1). Perbuatan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi kebebasan
berpendapat oleh oknum penyebar hoax tidak dilandasi oleh kesadaran
hukum dalam arti kesediaan untuk berperilaku sesuai dengan aturan hukum
yang telah ditetapkan, tetapi lebih berorientasi pada tujuan untuk membuat
opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi dengan berita
bohong (hoax), tanpa memperdulikan sifat melawan hukumnya perbuatan
2). Perbuatannya telah secara nyata dilakukan dengan sengaja untuk mencari
perhatian publik dengan melakukan pemberitaan, penyuaraan pendapat palsu,
bohong dan provokatif.
3). Perbuatannya telah secara nyata dilakukan dengan sengaja sebagai lahan
bisnis untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi baik untuk
kepentingan pribadi maupun bekerjasama dengankelompok tertentu yang
memiliki tujuan demi kepentingan politik tertentu.
4). Perbuatannya telah secara nyata dilakukan dengan sengaja melakukan
kampanye hitam (black compaign) untuk kepentingan politik tertentu dengan
modus menjatuhkan, mendiskreditkan pesaing, digunakan untuk sarana
mengadu domba, sehingga terjadi perpecahan dan pergolakan di masyarakat,
digunakan untuk promosi dengan modus penipuan dan lain sebagainya.

12
5). Perbuatannya telah secara nyata dilakukan dengan sengaja melakukan
promosi palsu sebagai sarana melakukan kejahatan penipuan dan lain
sebagainya.
6). Perbuatannya telah secara nyata dilakukan dengan sengaja dengan tujuan
untuk membuat teror agar masyarakat menjadi resah dan cemas.
Berdasar atas penjelasan di atas, maka terhadap pelaku penyebar pemberitaan,
penyuaraan pendapat bernuansa hoax, sekali lagi sudah selayaknya dapat dimintai
pertanggungjawaban secara moral dan hukum, karena sikap tindak atau perilakunya
tidak sejalan dengan aturan, standar atau ukuran yang dapat digunakan untuk
mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan sebagaimana yang telah
ditetapkan baik dalam norma moral maupun norma hukum.
Namun demikian perlunya dimintai pertanggungjawaban secara moral dan
hukum tidaklah cukup untuk meredam atau menyelesaikan fenomena hoax. yang
lagi marak di media sosial. Oleh karena itu hal utama yang perlu dilakukan, yaitu
konsistensi dalam penegakan hukumnya.
Mengkritisi penegakan hukum terhadap pelaku penyebar pemberitaan,
penyuaraan pendapat bernuansa hoax dalam beberapa pemberitaan, baik di media
cetak maupun media online, masih terjadi ketimpangan dan atau belum sepenuhnya
dijalankan secara konsisten dan cenderung diskriminatif, dalam arti ada yang
diproses hukum ada yang dilakukan pembiaran dan ada pula yang penyelesaiannya
cukup dengan ucapan permintaan maaf kepada masyarakat sebagai korban.
Kondisi penegakan hukum yang demikian sudah barang tentu akan
berdampak semakin tingginya penyebaran berita hoax dan semakin tidak terkendali
penyebarannya. Keadaan yang demikian sudah barang tentu sangat membahayakan
bagi kondusivitas ketertiban dan keamanan di masyarakat.
Oleh karena itu sekali lagi diperlukan konsistensi penegakan hukum secara
total tanpa tebang pilih (diskriminatif) harus menjadi prioritas utama, mengingat
perbuatan penyebaran berita hoax memiliki dampak negatif luar biasa dan secara
khusus berpotensi terjadinya kegaduhan, keresahan dan berujung terjadinya
perpecahan di masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, penegakan hukum secara total haruslah
dimaknai sebagai wujud komitmen negara kita adalah negara hukum, maka
implementasi perwujudannya harus berpijak pada prinsip asas persamaan di depan

13
hukum, dalam arti bahwa semua orang sama di hadapan hukum, dengan perkataan
lain bahwa hukum memberlakukan semua orang tanpa perbedaan yang didasarkan
atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial dan kekayaan. (Equality before the
law).
III. Simpulan Dan Saran,
III.1. Simpulan.
1). Perbuatan pemberitaan, penyuaraan pendapat atau hak asasi kebebasan
berpendapat bernuansa hoax tidak dilandasi oleh kesadaran hukum dalam arti
kesediaan untuk berperilaku sesuai dengan aturan hukum yang telah
ditetapkan, tetapi lebih berorientasi pada tujuan untuk kepentingan sendiri,
dengan membuat opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi
dengan berita bohong (hoax), tanpa memperdulikan sifat melawan hukumnya
perbuatan.
2). Pelaku penyebar pemberitaan, penyuaraan pendapat bernuansa hoax dapat
dimintai pertanggungjawaban secara moral dan hukum, karena sikap tindak
atau perilakunya tidak sejalan dengan aturan, standar atau ukuran yang dapat
digunakan untuk mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan
sebagaimana yang telah ditetapkan baik dalam norma moral maupun norma
hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, yang harus menjadi skala prioritas adalah
konsistensi penegakan hukum tanpa tebang pilih (diskriminatif), sejalan
dengan asas persamaan di muka hukum, mengingat sifat melawan hukumnya
dan sifat berbahayanya perbuatan atas dampak yang ditimbulkan berupa
pemberitaan dan penyebaranya yang bernuansa provokatif dan berpotensi
terjadinya konflik yang sangat membahayakan bagi terwujudnya ketertiban,
keamanan dan kerukunan di masyarakat.
III. Saran.
1). Perlunya langkah konkrit dari pemerintah dibantu pemuka masyarakat dan
komunitas anti hoax untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam
beretika komunikasi di media sosial, juga mengedukasi masyarakat untuk
berperan serta aktif melaporkan, apabila menemukan pemberitaan dan
penyiaran bernuansa hoax.

14
2). Penegakan hukum harus lebih diintensifkan terhadap pelaku penyebar hoax,
disamping untuk kepentingan efek moral dari hukuman pidana, yaitu takut
penghukuman (general deterrence) dan takut dihukum, karena pernah
mengalami penghukuman (specific deterrence).

DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Basah Sjahran, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,


Alumni, Bandung, 1986
------------------, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di
Indonesia, Alumni, Bandung. 1985

Huijbers, Theo , Filsafat Hukum, Kanisius, Yogjakarta, 1990


Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana ,UNDIP, Semarang. 1995
Rawls John, Keadilan Dan Demokrasi, Kanisius, Yogjakarta, 2001

Suseno Magnis, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Cet. Ke 3,


Yogjakarta, Kanisius, , 1991
--------------------, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogjakarta, 1992
--------------------, Etika Politik, Jakarta, Gramedia, 2003

Warasih, Esmi, 2001, Potret Hukum Modern Dalam Transformasi Sosial :


Deskripsi Tentang Hukum Di Indonesia, Dalam Problema
Globalisasi Perspektif sosiologi Hukum, Ekonomi Dan Agama,
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Wignyosubroto, Sutandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah


Lembaga Studi Dan Advokasi Masayarakat, Jakarta, ( ELSAM ),
2002.

Artikel Jurnal:
Kuntoro, Rindha Widyaningsih, Motivasi Penyebaran Berita Hoax, Prosiding
Seminar dan Call for Papers, Purwokwerto, LPPM UNSOED, 6-7 Oktober 2020,
http:/jurnal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Prosiding/artcle/view/1353.

Zulfahmi, 1 Dr. Mahyuzar, Drs, M.Si , Respon Pembaca Berita Media Online
Terhadap Pemberitaan Hoax Pada Masyarakat Kecamatan Darussalam Aceh
Besar, Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 3, Nomor 3 Agusutus
2018 www.jim.unsyiah.ac.id/FISIP

15
Curriculum Vitae:

Nama : Prof. Dr. Ibnu Artadi, SH.MHum.


NIP : 19560906 198601 1003
Tempat Tanggal lahir : Bondowoso, 6 September 1956
Pekerjaan : Dosen LLDikti Wilayah IV Bandung,Dpk Fakultas
Hukum Unswagati (UGJ), Kota Cirebon.
Jabatan Akademik : Guru Besar hukum Pidana
Alamat Kantor : Jl. Terusan Pemuda No. 32 Kota Cirebon.
Alamat Rumah : Perum Puri Taman Sari, Blok F No. 65, Jl. Perjuangan,
Kota Cirebon.

16

Anda mungkin juga menyukai