Anda di halaman 1dari 11

BUS 1

ROMBONGAN WISATA RELIGI

PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH AL BURDAH


Pendamping :

1. Bapak Mohan
2. Ustadzah Zulaikha
3. Ustadzah Ria
4. Ustadzah Nurul
5. Ustadzah Qomariah
6. Ustadzah Nure

No Nama Kelas
1 Naila Umar A
2 Nabila Umar A
3 Fara nisa Umar A
4 Rania Umar A
5 Aurora Umar A
6 Hania Umar A
7 Siti najwa Umar A
8 Kayla Utsman A
9 Nawab Utsman B
10 Holif Utsman B
11 Fudhoil Utsman A
12 Hendra Utsman A
13 Bani Utsman A
14 Ammar Utsman A
15 Keandra Utsman A
16 Aqila Utsman B
17 Marwah Utsman B
18 Aretha Utsman B
19 Syakila Utsman A
20 Hishika Utsman A
21 Kiran Ustman B
22 Zahira Utsman B
23 Fashila Utsman B
24 Meewa Utsman B
BUS 2
ROMBONGAN WISATA RELIGI

PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH AL BURDAH


Pendamping :

1. Ustadz Hamim
2. Ustadzah Dhilah
3. Ustadzah Rahmah
4. Ustadzah Tasya
5. Ustadzah Sakinah
6. Ustadzah Qomariah

No Nama Kelas
1 Daffa Abu Bakar B
2 Keisya Abu Bakar B
3 Faren Abu Bakar B
4 Thalia Abu Bakar B
5 Calysta Abu Bakar B
6 Maura Abu Bakar A
7 Vanya Abu Bakar A
8 Juliana Abu Bakar A
9 Naila Abu Bakar B
10 Naya Abu Bakar B
11 Syahira Abu Bakar B
12 Fahmi Abu Bakar E
13 Rendra Abu Bakar E
14 Najwa Abu Bakar D
15 Bayu Abu Bakar E
16 Juna Abu Bakar D
17 Zihan Abu Bakar C
18 Syakila Abu Bakar C
19 Viona Abu Bakar C
20 Syafiq Abu Bakar C
21 Aqila Abu Bakar A
22 Yasmin Abu Bakar A
23 Hanazia Abu Bakar D
24 Nasya Abu Bakar F
25 Alfi Abu Bakar Umar
Daftar Isi Profil Habib Mundzir Bin Fuad al-Musawa

1. Kelahiran
2. Silsilah
3. Wafat
4. Pendidikan
5. Berjuang Melalui Dakwah
6. Bertemu Dengan Presiden Ke-4
7. Mengunjungi KH. Maimoen Zubair

KELAHIRAN

Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa atau lebih dikenal dengan Mundzir Al-
Musawa atau Munzir lahir pada 23 Februari 1973  di Cipanas, Cianjur, Jawa
Barat.

Habib Mundzir adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Fuad
bin Abdurrahman al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim al-Musawa. Masa
kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama-sama saudara-
saudaranya, Ramzy Fuad al-Musawa, Nabiel Al Musawa, Lulu Fuad al-Musawa
serta Aliyah Fuad al-Musawa.

Ayahnya lahir di Kota Palembang dan dibesarkan di Mekkah al-Mukarromah,


setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Serikat,
ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan luar negeri selama sekitar
40 tahun, berawal dari harian Berita Yudha dan selanjutnya harian Berita buana.
Pada tahun 1996 ayahnya wafat dan dimakamkan di Cipanas, Cianjur, Jawa
Barat.

Habib Mundzir berkata "Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah
saya. Ayah saya saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lainnya."

SILSILAH
Mundzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil
bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin
Yaasin bin Ahmad Al-Musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin
Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah
bin Ali bin Alwi Al-Ghayur bin Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumiy bin Muhammad
Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Hussein dari Fatimah az-Zahra Putri Rasulullah SAW.

WAFAT

Habib Mundzir memiliki penyakit asma kronis sejak kecil dan sering keluar-
masuk rumah sakit. Pada tahun 2012 ia pernah dirawat di RSCM Jakarta karena
penyakit radang otak. Habib Mundzir dinyatakan wafat secara medis saat berada
di RSCM pada taggal 15 September 2013 jam 15:30 WIB pada usia 40 tahun.
Sebelum meninggal, Habib Munzir juga pernah dioperasi karena ada cairan di
perutnya.

Penyakit tersebut sempat menganggu aktivitas Habib Mundzir dalam


berdakwah. Meskipun sedang dirundung rasa sakit, soal urusan dakwah, Habib
Mundzir, menurut kakaknya Nabil, tidak pernah memikirkan sakitnya. Habib
Mundzir pernah memakai kursi roda saat berdakwah, bahkan pernah memakai
tempat tidur khusus dari rumah sakit. Di tahun 2012 sempat dilakukan
penyedotan lemak pada tubuhnya.

Menurut penuturan yang ditulis di blog beliau, Habib Mundzir sempat bermimpi
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. "Saya sangat mencintai Rasulullah SAW,
menangis merindukan Rasulullah SAW, dan sering dikunjungi Rasululullah SAW
dalam mimpi, Rasul selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi
bersimpuh dan memeluk lutut beliau dan berkata wahai Rasulullah SAW aku rindu
padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu
ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini”.
Rasulullah SAW menepuk bahu saya dan berkata, "Mundzir, tenanglah, sebelum
usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa denganku maka saya terbangun”.

Saat sedang berkumpul bersama keluarga di rumahnya, Habib Mundzir masuk


kamar mandi sejak siang namun sampai sore hari tidak juga keluar. Keluarganya
mendobrak pintu kamar mandi dan menemukan Habib Mundzir sudah
tergeletak di lantai tidak sadar. Ia pun dilarikan ke rumah sakit Cipto
Mangunkusumo, namun satu jam kemudian para dokter menyatakan ia telah
tiada.

Menurut penuturan kerabatnya, habib Munzir meninggal karena serangan


jantung. Habib Mundzir dimakamkan di pemakaman umum Habib Kuncung di
Kalibata, Jakarta pada hari Senin 16 September 2013 sekitar jam 13:00 WIB,
setelah disholatkan di masjid Al-Munawwar Pancoran. Puluhan ribu umat
muslim mengantarkan jenazahnya dan menyaksikan prosesi pemakaman dengan
takzim

PENDIDIKAN

Seusai menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA), Habib Mundzir mulai


mendalami Ilmu Syariat Islam di Ma'had Assafaqah, yang ketika itu di
pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu
mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, lalu
memperdalam lagi Syari'ah Islamiyah di Ma'had al-Khairat, Bekasi Timur.

Keilmuan Syariahnya kemudian lebih didalami di Ma'had Dar-al Musthafa,


Tarim, Hadhramaut, Yaman, selama empat tahun, disana Habib Mundzir
mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir Al-Qur'an, Ilmu Hadits, Ilmu Sejarah, Ilmu
Tauhid, Ilmu Tasawuf, Mahabbaturrasul SAW, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu
Syari'ah lainnya.

Dimasa baligh, ia pernah putus sekolah, Mundzir muda lebih senang hadir
majelis maulid Almarhum Al Arif billah Al-habib Umar bin Hud al-Attas, dan
Majelis taklim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu membahas
kajian Fathul Baari olehAl-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin al-Attas.
Sementara pada masa yang hampir bersamaan saudara-saudara kandungnya
berhasil membanggakan orangtua mereka dalam meraih prestasi wisuda Hal ini
mengundang kekecewaan kedua orangtua Mundzir muda.

Ayahnya pernah berkata "kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah
dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka
tuntutlah sampai keluar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah
mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari
kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan
New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan,
saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu."

Menurut Habib Mundzir, itulah yang mendorong almarhum ayahnya lebih


memilih hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa barat.
Ayahnya (Al-Habib Fuad bin Abdurrahman al-Musawa) lebih senang
menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya
mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. Habib Mundzir merasa sangat
mengecewakan kedua orangtuanya karena belum memiliki cita-cita yang pasti,
dunia tidak akhiratpun tidak.

Beliau masuk pesantren Al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi
Timur, ia selalu menangis dan berdo'a kepada Allah swt dan rindu kepada
Rasulullah SAW dan meminta untuk dipertemukan dengan guru yang paling
dicintai Rasulullah SAW saat mahal qiyam maulid.

Dalam beberapa bulan kemudian datanglah Guru Mulia Al Musnid Al


Allamah Al-Habib Umar bin Hafidzke pondok itu, kunjungan pertama ia yaitu
pada 1994.

Habib Munzir berkata "selepas ia menyampaikan ceramah, ia melirik saya dengan


tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat ia sudah naik ke
mobil bersama almarhum Alhabib Umar maula khela, maka Guru Mulia memanggil
Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa ia ingin saya dikirim
ke Tarim Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid ia"
"Guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap,
belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin ia salah
pilih..?.Maka guru mulia menunjuk saya. Itu.. anak muda yang pakai peci hijau itu..!,
itu yang saya inginkan. Maka Guru saya Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa
ia, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : siapa
namamu?, dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak paham,
maka guru saya Habib Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya
jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum.."

Keesokan harinya Habib Mundzir berjumpa lagi dengan Al-Habib Umar bin
Hafidz di kediaman Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, saat itu banyak para
Habaib dan Ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi
murid Al-Habib Umar bin Hafidz. Berkata Habib Munzir "maka guru mulia
mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia
melihat saya dikejauhan, lalu ia berkata pada almarhum Habib Umar Maula Khela :
itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., ia yang pakai peci hijau itu..!, guru mulia kembali
ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar,
seraya berkata : wahai Munzir, kau harus siap-siap dan bersungguh sungguh, kau
sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.”

Dua bulan setelah pertemuan dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, datanglah
Almarhum Al-Habib Umar Mulakhela ke pesantren dan menanyakan Habib
Munzir, Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela berkata pada Al-Habib Nagib:

"Mana itu Mundzir, anaknya Al-Habib Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat
minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya."

Saat itu Habib Nagib berkata: "saya belum siap"

Namun Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela dengan tegas menjawab : "Saya
tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al-
Habib Umar bin Hafidz, ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama
rombongan pertama".
Kemudian Habib Mundzir bergegas mempersiapkan paspor dan lain-lainya.
Ayahnya sempat keberatan dan berkata: "Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah
ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada
kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang
menjaminmu ?".

Menanggapi hal ini Habib Mundzir mengadukannya kepada Almarhum Al-Arif


Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas, yang saat itu sudah sangat sepuh dan
kemudia berkata: "Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah".

Setelah mendengar nasihat Al Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Mundzir
menemui ayahnya, namun hanya diam, hatinya berat melepas keberangkatan
Habib Munzir.

Ketika berada di Tarim, Hadhramaut, Yaman, pernah terjadi perang Yaman


Utara dan Yaman Selatan, hal ini memicu kekurangan pasokan makanan,
matinya listrik, semua pelajar ketika itu menempuh perjalanan untuk taklim
dengan jarak sekitar 3-4 km.

Dua tahun kemudian setelah di Yaman, ketika menuntut ilmu di Dar-al


Musthafa, pesantren yang di asuh oleh Al-Habib Umar bin Hafidz, dikabarkan
bahwa ayahnya sakit dan menelepon dengan berkata: "Kapan kau pulang wahai
anakku..?Aku rindu..?"

Habib Mundzir menjawab: "Dua tahun lagi insya Allah ayah"

Ayahnya menjawab: "duh...masih lama sekali".

Tiga hari berselang ayahnya dikabarkan wafat.

BERJUANG MELALUI DAKWAH

Habib Mundzir kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah
sendiri di Cipanas. Namun karena kurang berkembang, ia memindahkan
dakwahnya ke Jakarta pada Majelis Malam Selasa, dengan mengunjungi rumah-
rumah murid sekaligus teman, murid-muridnya lebih tua dari ia, dan berasal
dari kalangan awam.

Ketika kemudian dimulai Maulid Dhiya'ullami jama'ah semakin banyak,


selanjutnya majelis mulai berpindah-pindah dari musholla ke musholla, semakin
terus bertambah banyak, maka mulailah majelis dari masjid ke masjid. Sehingga
Habib Munzir mulai membuka majelis di malam lainnya dan menetapkannya di
Masjid Al-Munawar. Majelis semakin berkembang hingga mulai membutuhkan
kop surat, undangan dan sebagainya.

Semenjak itu mulai muncul ide pemberian nama, para jamaahnya mengusulkan
memberikan nama Majelis Habib Mundzir, namun ia menolak lantas
menetapkan nama Majelis Rasulullah.

Dakwahnya Habib Mundzir semakin meluas hingga jutaan jamaah yang


menyentuh semua kalangan dan berbagai wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa
Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, kalimantan, Sulawesi,
Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke Jepang.

Dakwahnya yang menyentuh berbagai kalangan menjadikan ia banyak dicintai


oleh Ummat Islam terutama di wilayah Jabodetabek dan di Nusantara. Mundzir
adalah murid yang begitu disayangi oleh gurunya Umar bin Hafidz, sedangkan
kalangan pemuda muslim yang mengenalnya tidak jarang menjadikan ia sebagai
panutan ataupun idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

Dakwahnya di Indonesia juga tercatat sering di hadiri tokoh-tokoh nasional


seperti Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma
Ali , Fadel Muhammad, Fauzi Bowo dan lain-lain.

BERTEMU DENGAN PRESIDEN KE-4

Pada suatu ketika, Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa hendak dakwah ke
Papua. Sampai di bandara Soeta, ternyata ada Gus Dur juga di bandara. Gus
Dur ditemani Kang Maman Imanul Haq. Melihat Gus Dur duduk nyantai, Habib
Mundzir menghampiri dan menciumi tangan Gus Dur seraya bersimpuh di
hadapan Gus Dur.

Lalu Kiai Maman bertanya, “Ada apa Bib?”

“Kalau Gus Dur itu wali  ya Kang Maman.” Jawab Habib Mundzir al-Musawa.

Kang Maman kagum dan penuh takdzim kepada Habib Munzir. Sosok habib
muda yang menjadi panutan umat. Takdzimnya kepada para kiai luar biasa,
sehingga Habib Mundzir sangat dihormati dan ditakdzimi para kiai di
Nusantara.

Lalu Gus Dur bertanya kepada Kiai Maman, “Itu siapa?”

“Habib Mundzir, Pak,” jawab Kiai Maman.

“Kalau ingin tahu wali yang muda ya Habib Mundzir. Tapi usianya tidak
panjang,” kata Gus Dur kemudian.

Dan ternyata betul apa yang dikatakan Gus Dur waktu itu, Pimpinan Majelis
Rasulullah Saw. Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa itu kemudian meninggal
dalam usia yang masih muda.

MAIMOEN ZUBAIR">MENGUNJUNGI KH. MAIMOEN ZUBAIR

Pada suatu hari, almarhum Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa datang ke
ndalem KH. Maimoen Zubair Sarang Rembang. Kedatangan Habib Mundzir ini
dalam rangka mengundang Mbah Maimoen untuk hadir dalam acara Majlis
Rasulullah. Majlis Rasulullah rutin mempunyai acara besar setiap tahun dalam
rangka Maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Ketika Habib Mundzir menyampaikan undangan, Mbah Maimoen langsung


memegang dan mencium undangan tersebut.
“Hadzihi min Rasulillaah, hadzihi min Rasulillaah, Ini dari Rasulullah.. Ini dari
Rasulullah,” kata Mbah Maimoen dengan penuh takdzim.

Setelah dirasa cukup dalam pembicaraan, Habib Mundzir minta undur diri.
Kemudian Habib Mundzir pamit dengan Mbah Maimoen sembari kembali
berharap Mbah Maimoen bisa hadir dalam acara tersebut.

Subhanallah! Akhlaq Habib Mundzir luar biasa. Ketika keluar dari rumah Mbah
Maimoen, Habib Mundzir berjalan mundur dengan pelan, tak mau
membelakangi Mbah Maimeon, sebagai wujud ekspresi adab terhadap orang
alim.

Itulah Habib Mundzir, sosok keturunan Rasulullah SAW yang menjadi teladan
bagi umat manusia. Kini Habib Mundzir telah tiada, tapi jejak hidupnya
menjadi warisan bagi generasi saat ini untuk menjadi pribadi yang luhur dalam
kehidupan sehari-hari.

Mbah Maimoen Zubair dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan
menghormati para habaib. Setiap bertemu habaib, Mbah Maimoen selalu
mendahului cium tangan.

Anda mungkin juga menyukai