Anda di halaman 1dari 34

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Ratna Oelan Sari/ Sri Asriyani / Muhammad Ilyas


(Divisi Sistem Muskuloskletal Bagian Radiologi FK Unhas/ RS.Wahidin Sudirohusodo, Makassar)

I. PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan


nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan
peradangan granulomatosa yang bersifak kronik destruktif yang disebabkan oleh
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Spondilitis tuberkulosa merupakan 25%
- 50% dari seluruh kasus tuberkulosis pada tulang. Proses infeksi dapat melibatkan
korpus vertebra atau diskus intervertebra, dimana lokasi infeksi yang sering terjadi
pada vertebra bagian lower thoracic dan upper lumbal lalu diikuti oleh area cervical
dan sacral. (1,2,3)
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Pervical Pott pada tahun 1779
yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan
kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.(4,5)
Sejak meluasnya penggunaan obat-obatan antituberkulosis dan
meningkatnya penyuluhan kesehatan lingkungan, spondilitis tuberkulosis semakin
berkurang di negara-negara berkembang, Tuberkulosis pada tulang belakang sangat
potensial menyebabkan kematian, defisit neurologik permanen dan deformitas yang
berat.(6,7)

II. ETIOLOGI

Spondilitis tuberkulosis marupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di


tempat lain dalam tubuh, 90-95 % disebabkan oleh Micobacterium Tuberculosis type
tipik ( 2/3 dari type human dan 1/3 dari type bovin) dan 5-10 % oleh Micobacterium
Tuberculosis type atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil

1
Tahan Asam (BTA). Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama
selama beberapa tahun.(6,8)

Sarang primernya biasanya di dalam paru dimana Micobacterium Tuberculosis dapat


sampai di dalam tulang belakang melalui penyebaran hematogen dan sebagian kecil
secara limfogen.(8)

III. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Insiden spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya


berhubungan dengan kualitas pelayanan kesehatan yang tersedia serta kondisi sosial
di negara tersebut. Di Makassar insiden spondilitis tuberkulosis ditemukan sebanyak
70 % dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Kira-kira 1-2 % dari total kasus
tuberkulosis diakibatkan oleh penyakit ini. Spondilitis tuberkulosis ditemukan pada
hampir semua kelompok umur dengan perbandingan yang hampir sama antara pria
dan wanita yaitu 1,5-2,1. Di Amerika Utara, Eropa, Saudi Arabia, penyakit ini
terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara diAsia dan
Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20
tahun).(9,10)

IV. ANATOMI

Morfologi vertebra pada umumnya terdiri dari corpus, arcus, processus


spinosus dan processus transversus. Di tengah setiap vertebra terdapat lubang yang
disebut foramen vertebrale, yang berada di antara corpus vertebra dan arcus vertebra.
Di bagian cranial dan caudal dari arcus vertebra terdapat incissura vertebralis
superior dan incissura vertebralis inverior. Di sebelah cranial dari incissura
vertebralis superior dan incissura vertebralis inferior membentuk lubang yang
dinamakan foramen intervertebrale, dilalui oleh nervus spinalis. Foramen vertebrale
dari ruas-ruas tulang belekang bersama-sama membentuk suatu saluran yang disebut
canalis vertebralis yang berisikan medulla spinalis. Arcus vertebra di bagian kiri dan
kanan mempunyai taju yang menuju ke superior dan inferior untuk berhubungan
dengan vertebra di bagian cranial dan caudalnya. Taju tersebut adalah processus

2
articularis superior dan processus articularis inverior. Setiap processus articularis
mempunyai facies articularis untuk membentuk persendian dengan processus
articularis dari vertebra di cranial dan caudalnya.Di antara corpus vertebra dan
corpus vertebra lainnya terdapat discus intervertebralis. Antara vertebra lumbalis I
dan basis ossis sacri terdapat promontorium, yaitu discus intervertebralis yang
menonjol ke anterior. Pada vertebra cervicalis 1 dan 2, foramen intervertebralenya
terletak di sebelah dorsal processus artikularis, sedangkan pada vertebra
lainnyaterletak di bagian anterior processus artucularis.(7,11)

Gambar 1.Anatomi vertebra

3
Columna vertebralis terdiri atas :

1.vertebra cervicalis sebanyak 7 ruas

2. vertebra thoracalis sebanyak 12 ruas

3. vertebra lumbalis sebanyak 5 ruas

4. vertebra sacralis sebanyak 5 ruas, membentuk os. Sacrum

5. vertebra coccigeus sebanyak 4 ruas, membentuk os. Coccigeus

Ruas-ruans tulang belakang tersusun menjadi columna vertebralis. Bentuk columna


vertebralis tidak lurus, di beberapa tempat terdapat membentuk lengkungan yaitu:

1.Lordosis cervicalis, melengkung ke anterior di daerah cervical

2. Kiphosis thoracalis, melengkung ke dorsal di daerah thoracal

3. Lordosis lumbalis, melengkung ke anterior di daerah lumbal

4. Kyphosis sacralis, melengkung ke dorsal di daerah sacral

Lengkungan-lengkungan tersebut terbentuk oleh gaya berat badan yang harus dipikul
oleh columna vertebralis.(12)

4
Gambar 2 : Potongan melintang setinggi discus interverebralis

V. PATOFISIOLOGI

Infeksi Micobakterium tuberkulosis awalnya, dihirup dan menginfeksi paru,


kemudian menyebar secara hematogen melalui paru atau jalur pembuangan limfatik ke
tulang. Kuman dapat bersifat dorman dalam waktu yang lama sebelum dideteksi. Karena
keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi bakteremia. Basil TB dapat tersangkut di
paru, hati, limpa, ginjal dan tulang. 6 sampai 8 minggu kemudian, respon imunologik
timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif
atau mungkin sembuh sempurna.(4,13,14,15,16)

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran


hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur
limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang
sudah ada sebelumnya diluar tulang belakang. Penyebaran basil dapat terjadi melalui
arteri intercostal atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua vetebra diatasnya
dan bagian atas vetebra dibawahnya atau melalui plexus Baston’s yang mengelilingi
columna vetebalis yang menyebabkan banyak vetebra yang terkena.(10,13)

5
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian anterior atau bagian superior maupun
inferior corpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan
osteoporosis dan perlunakan corpus. Corpus vertebra yang rusak menyebabkan diskus
intervertebralis mengalami sekuesterisasi. Infeksi menyebar melibatkan ruang diskus
intervertebralis melalui :

a. Perluasan dibawah ligamentum longitudinal anterior atau posterior, atau


b. Penetrasi pada subchondral bone plate
Keterlibatan diskus intervertebralis ditunjukkan dengan adanya kolaps dari ruang
diskus intervertebralis. Demineralisasi end plate terjadi dengan resorbsi dan hilangnya
densitas dari end plate. Bersamaan dengan progresifitas penyakit, terjadi pula
progresifitas perkembangan dari kolaps vertebra dengan anterior wedging yang mengacu
pada bentuk karakteristik dari angulasi dan gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang
cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus
menghancurkan vertebra di dekatnya. Perluasan subligamentous dari abses tuberculosis
dapat memberikan gambaran erosi pada permukaan anterior corpus vertebra yang jauh
dari lesi awal tempat terjadinya. Perluasan tuberculosis dari vertebra dan diskus ke
ligamentum dan jaringan lunak didekatnya sering ditemukan dan biasanya terjadi
anterolateral.(4,13,14,17)

Gambar 3. Tahap proses infeksi yang melibatkan corpus vertebra dan diskus intervertebralis. Dikutip
dari kepustakaan 3

6
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada
daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering
pada vertebra torakalis 12. Bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan
nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedangkan yang non
paraplegia biasanya pada vertebra lumbalis.(13)

Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia.(14)

Abses dingin (cold abscess) pada daerah lumbal dapat turun ke psoas sampai
daerah trigonum femur dan pada akhirnya mengiritasi dan menembus ke belakang dan
berada di bawah kulit di sebelah belakang. Abses tersebut dapat menembus kulit dan
menyebabkan timbulnya fistel yang bertahun-tahun. (18,19,20)`

Berdasarkan lokasi permulaan infeksi tuberkulosis pada vertebra, spondilitis


corpus vertebra dibagi menjadi tiga tipe, yaitu : (2,5,21,22)

1. Tipe marginal atau peridiscal (33%), lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan
korpus vertebra dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau lebih
vertebra yang berdekatan dengan cara menyebar dibawah ligamentum longitudinal
anterior. Karena bagian depan korpus vertebra paling banyak mengalami destruksi
disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan berbentuk baji dan pada tempat
tersebut timbul gibbus.
2. Tipe sentral (11,6%), lesi timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus
lambat terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang, maka proses selanjutnya
adalah seperti pada tipe marginal.
3. Tipe anterior atau subperiosteal (2,1%), proses berlangsung dibawah periost dan
meluas dibawah ligamentum longitudinal anterior dan melibatkan beberapa level.
Kerusakan pada diskus terjadi lambat. Pada x-ray terlihat scalloping pada corpus
vertebra bagian anterior.

7
Gambar 4. Lokasi permulaan infeksi tuberkulosis pada vertebra. Dikutip dari kepustakaan 2

Kumar membagi perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa dalam 5 stadium,


(6)
yaitu :

1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskal dan pada anak-anak umumnya
pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal


Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi corpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut


Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abscess (abses dingin), yang terjadi 2-3 bulan
setelah destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan
(wedging anterior) akibat kerusakan corpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya
kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis


Tuberkulosa dapat pula memberikan komplikasi paraplegia, umumnya disebut Pott’s
Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi

8
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat
kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan

aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi

gangguan saraf sensoris.

Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih

dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak

atau aktivitas penderita serta hipoastesia/anesthesia.

Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi

dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara

dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural
dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang
oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III
disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

9
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen. Oleh karena kerusakan vertebra yang massif di
sebelah depan.

VI. DIAGNOSIS
Standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu :

a. Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap

b. Laboratorium terutama biakan sputum dan pus untuk menemukan basil

tuberkulosa dan tes-tes khusus ( PA dan punksi lumbal)

c. Foto toraks

d. Foto tulang belakang, CT scan dan MRI (1,3)

A. Gambaran Klinik

Secara klinik gambaran spondilitis tuberkulosis hampir sama dengan gejala


tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu badan sedikit meningkat (subfebril) dan berkeringat terutama
pada malam hari serta sakit pada punggung. Gejala ini sering tidak menonjol. Pada
anak-anak sering disertai dengan menagis pada malam hari ( night cries)(5,15)

Onset penyakit dapat gradual atau mendadak ( akibat kolaps vertebra dan
kifosis). Pada awalnya terjadi nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,
kemudian diikuti paraparesis yang lambat laun makin memberat hingga dapat terjadi
paraplegia. Dapat ditemukan deformitas dan nyeri ketok tulang vertebra. Penekanan
mulai bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan
motorik.(13,23)

10
B. Gambaran Radiologik

1. Foto Polos vetebra

Ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi corpus vertebra, osteolisis


dan ireguleritas pada end plate, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang
berada di antara corpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat
sehingga timbul kifosis. (18)

Gambar 5: Foto lumbosacral AP/lateral : tampak destruksi disertai fusi corpus vertebra L1 dan
L2 pada spondylitis TB . Dikutip dari kepustakaan 13

11
Gambar 6 : Foto lumbosacral AP : tampak abses paravertebral (cold abses) yang merupakan
gambaran klasik spondilitis tuberculosis. Dikutip dari kepustakaan 11

Perubahan-perubahan karakteristik yang terjadi pada spondilitis tuberkulosis, yaitu :


(6,22)

 Destruksi litik pada bagian anterior corpus vertebra


 Peningkatan anterior wedging (baji)
 Kolaps vertebra
 Sklerosis reaktif pada proses litik yang progresif
 Bayangan psoas yang membesar dengan atau tanpa kalsifikasi
Temuan lainnya :

 Osteoporosis vertebral end plates


 Kerusakan diskus intervertebralis
 Corpus vertebra menunjukkan derajat destruksi
 Paravertebral fusiform memberi kesan bentuk abses
 Lesi tulang mungkin terjadi lebih dari satu level.

12
Gambar 7. Penyebaran subligamentous dari spondylitisTB. Foto lateral memperlihatkan erosi
padatepi anterior corpus vetebra(tanda panah) akibat adanya suatu abses jaringan lunak
disekitarnya. Dikutip dari kepustakaan 17

2. CT Scan

- CT Scan menunjukkan gambaran tulang dengan lebih detail dimana terlihat lesi litik
yang irregular, sklerotik, kolaps disc dan gangguan sirkumferensi tulang
- Resolusi kontras yang rendah dapat memberi gambaran yang lebih baik dari jaringan
lunak serta epidural dan daerah paraspinal dengan lebih teliti.
- Mendeteksi lesi lebih awal serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak
- NECT : kalsifikasi pada abses paravertebra kronik. CECT : difus atau enhancement
perifer pada jaringan lunak paraspinal dan epidural.
- CT tulang : destruksi difus pada tulang dan adanya sequestrasi tulang. (12)

13
Gambar 8 : CT Scan vertebra posisi axial : Tampak destruksi corpus vertebra dengan penyempitan
canalis spinalis dan abses pada m.psoas kiri dan kanan. Dikutip dari kepustakaan 17

Gambar 9: CT Scan vertebra posisi axial : Tampak abses pada m.psoas kiri (tanda panah) sebagai
gambaran dari spondilitis TB. Dikutip dari kepustakaan 17

3. MRI

MRI merupakan kriteria standar untuk mengevaluasi infeksi ruang diskus dan
osteomyelitis vertebra serta sangat efektif untuk melihat penyebaran penyakit ke
jaringan lunak dan penyebaran debris tuberkulosa di bawah ligamentum longitudinal
anterior dan posterior. MRI juga efektif untuk melihat adanya kompresi saraf

14
Gambaran Spondilitis TB pada MRI berupa:

o T1WI:
- Lesi hypointens pada vertebra yang terkena
- Lesi hypointens intraosseus, extradural, paraspinal absses
o T1W1 dengan kontras :
- Lesi hypointens pada tulang, subligamentous, discus dan dura yang menyangat post
kontras
- Difuse atau perifer menyangat post kontras pada lesi jaringan lunak
o T2WI:
- Lesi hiperintens pada tulang, diskus dan jaringan lunak yang infeksi
o Pergeseran atau penekanan pada saraf dari abses epidural(5,12,22)

Gambar 10. A. T1WI potongan sagital menunjukkan lesi pada corpus vertebra L3 bagian
posteroinferior dengan batas yang tegas. B. Pada potongan axial, slight sklerotik, batas superior
tampak jelas (panah). Tepi yang sklerotik merupakan tanda proses inflamasi yang kronik misalnya
pada tuberculosis. C. Penyangatan post pemberian kontras menunjukkan infeksi telah
menyeberang ke corpus vertebra L4. Penyebaran secara subligamentous sangat klasik untuk
spondilitis tuberkulosa. Dikutip dari kepustakaan 12.

15
Gambar 11. MRI potongan sagital pada pasien TS . Kiri : T1WI menunjukkan lesi intraosseus
yang berbatas tegas pada CV L5, slightly hipointens dibandingkan dengan bone marrow, dengan
edema yang mengelilinginya. Tampak penyebaran ventral subligamentous (panah). Kanan : T2WI
mnunjukkan lesi intraosseus yang hiperintens. Bagian anterior CV L5 mengalami erosi. Dikutip
dari kepustakaan 12.

a. b.
a

Gambar 12. Gibbus pada spondilitis tuberkulosa. MRIpotongan sagital T1WI (a) dan T2WI (b)
menunjukkan kolaps vertebra disertai lesi hiperintens pada corpus vertebra didekatnya. Kolaps
vertebra menyebabkan gibbus dan penekanan pada saraf spinal. Dikutip dari kepustakaan 17

16
Gambar 13. Coronal dan sagittal MRI memperlihatkan adanya destruksi dari discus
intervertebralis dan adanya abses paravertebralis.Dikutip dari kepustakaan 18

C. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium rutin mungkin dapat ditemukan peningkatan laju


endap darah (LED), tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator aktivitas penyakit.
Dapat pula ditemukan penurunan jumlah hemoglobin sebagai akibat peradangan kronik.
Selain itu didapatkan rivalta positif dan terdapatnya limfosit pada hitung sel yang
menunjukkan adanya eksudat dengan peradangan kronik.

Sekitar 90-95 pasien memiliki reaksi positif terhadap tes tuberkulin yang
menggunakan derivat protein murni, dan pada pemeriksaan mikrobiologi
menggunakan apusan dari aspirasi paraspinal didapatkan hasil positif terhadap basil
tahan asam sekitar 60%. (5,10)

D. Patologi Anatomi

Gambaran mikroskopik terdapat nekrosis koagulasi sentral yang


dikelilingi oleh sel-sel epiteloid, Langhans Giant Cell, sel-sel lymfosit serta plasma

17
sel. Kadang-kadang terdapat lesi satelit infiltrasi pervaskuler.(24,25)

Gambar 14. Langhans giant cells (ditunjukkan dengan panah).Dikutip dari kepustakaan 24

VII . DIAGNOSIS BANDING

1. Spondylitis Pyogenic

Uraian Spondilitis TBC Spondilitis Piogenik

Respons Tulang Osteoblastik Kurang Osteoblastik Hebat

Paravertebral Abces Sering Jarang

Perlangsungan Lambat Cepat

Destruksi awal pada corpus pada end plate

Keterlibatan diskus + ++
intervertebralis

Lokasi (predileksi) Thoracolumbal Lumbosacral

Tabel 1 . Dikutip dari kepustakaan 4

18
Gambar 14: Foto thoracal posisi lateral : tampak detsruksi discus dan endplate vertebral

2. Fraktur Kompressi

Uraian Spondilitis Fraktur Kompressi

Jumlah vertebra yang Biasanya >1 Hanya 1


terlibat

Discusnya Ikut terkena Masih utuh

Aspek lateral Busur/ arcus Sudut (Angulasi)

Paravertebral abses Biasanya (+) (-)

Tabel 2. Dikutip dari kepustakaan 4

19
Gambar 15: tampak penipisan CV L1 terutama bagian anterior yang tidak melibatkan discus

intervertebralis

3. Tumor Metastase pada Vertebra

Uraian Spondilitis Metastasis Tumor

Jumlah vertebra yang Biasanya >1, berdekatan >1, Skip area


terlibat

Discusnya Biasanya ikut terkena Masih utuh

Aspek lateral Busur/ arcus Busur/ arcus

Paravertebral abses (+) (-)

Lesi awal Corpus vertebra Pedikel

Tabel 3. Dikutip dari kepustakaan 4

20
Gambar 16. Lesi-lesi metastasis pada tulang belakang. (a) Metastasis osteosklerotik dari carcinoma
payudara melibatkan corpus vertebra dan pedikel. (b) Matastasis osteolitik dari adenocarcinoma
ginjal dengan destruksi pedikel. (c) “ivory” vertebra pada metastasis carcinoma prostat, hanya
melibatkan corpus vertebra. Dikutip dari kepustakaan 20.

ambar 17. Spinal metastasis. T2WI potongan sagital (A) dan T1WI tanpa kontras (B) dan T2WI
dengan kontras (C). T1WI menunjukkan tumor pada CV T3 yang meluas ke ruang epidural.
Beberapa lesi kecil-kecil pada corpus vertebra lainnya. Dikutip dari kepustakaan 12

VIII. TERAPI

Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tulang belakang harus dilakukan


sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakitnya.Pengobatan
meliputi:(7,12,25)

21
1.Pemberian obat-obatan antituberkulosis jangka panjang

2.dekompressi medulla spinalis

3.Menghilangkan/menyingkirkan produk infeksi

4.Stabilisasi dengan graft tulang

1. Terapi konservatif

Berupa tirah baring ( bed rest) dilakukan untuk mencegah paraplegia, memperbaki
keadaan umum pasien disertai pemberian tuberkulostatik. Dilakukan pencegahan
untuk menghindari dekubitus, kesulitan untuk miksi dan defekasi

Panduan obat OAT menurut WHO ( 1993)

Panduan Klasifikasi & type Fase awal Fase lanjutan


OAT penderita
Kategori 1  BTA (+) baru 2HRZS(E) 4 RH
 Sakit
berat:BTA(-) 2RHZS(E) 4 R3H3
luar paru

Kategori 2 Pengobatan ulang: 2RHZES/IRHZE 5 RHE

 Kambuh BTA 2RHZES/IRHZE 5R3H3E3


(+)
 Gagal

Kategori 3  TB paru BTA 2RHZ 4RH


(-)
 TB luar paru 2RHZ/2R3H3Z3 4R3H3

Kriteria penghentian pengobatan :

- Keadaan umum penderita bertambah baik


- Laju endap darah menurun dan menetap
- Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
- Gambaran radiologic ditemukan adanya union pada vertebra

22
2.Terapi operatif

Tindakan operatif memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila
terdapat cold abses, paraplegia dan kifosis. Pada paraplegia tindakan ini dilakukan
untuk

IX. PROGNOSIS

Pengobatan akan lebih efektif bila belum ada komplikasi berupa deformitas
yang berat atau adanya defisit neurologis (9)

- Paraplegia akibat dari penyakit yang aktif sehingga menyebabkan kompressi cord
umumnya berespon terhadap kemoterapy
- Jika terapi dengan obat-obatan tidak berhasil maka perluh dilakukan tindakan operasi
- Paraplegia kadang menetap akibat kerusakan pada spinal cord yang permannen

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Martini F.H, Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of


Anatomy and Physiology. 5th Ed. New Jersey : Upper Saddle River; 2001. P. 132,151
2. Rasad Sjahrir. Infeksi pada Tulang. Dalam : Radiologi Diagnostik. Jakarta :FKUI;
1999. Hal. 120
3. Greenspan Adam. Osteomyelitis, infections arthritis and soft tissue infections. In :
Orthopaedic imaging. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2004. P .800-808
4. Adnan M. Diktat radiologi obstetri dan tulang. Dalam : Diktat radiologi IV.
Makassar: Bagian Radiologi FKUH; 1983. Hal. 21-4
5. Palmer PES. Foto tulang belakang. Dalam : Petunjuk membaca untuk dokter umum.
Jakarta: EGC; 1995. Hal. 148
6. Rasyad C. Infeksi dan Inflamasi. Dalam : Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi
Pertama Cetakan Ketiga. Bintang Lamumpatue. Makassar; 2000. Hal. 152
7. George J, Jaovisidha S, Siriwongpairat P. Disease of the Spine. In : The Acean
Oceanian Textbook of Radiology. Edited By Wilfred C.G.Peh, Yoshiro Hiramatsu.
Singapore; 2003. P.1019-1022
8. Salomo L, Warwick DJ, Nagayam S. Tubercolosis.In : The Back Apleys’s Concise
System of Orthopaedics and Fractures. 3rded. London; 2005. P.194-195
9. Juhl’s HJ.Infection and Inflamation of Bone. In : Essential of Roentgen Interpretation
.4 thed. Harper and Row Publishers Cambridge; 1817.P.185-18
10.Currier B.L, Eismont F.J. Infection of The Spine. In : The Spine. 3rd ed. Rothman
Simeone editor. Philadelphia: W.B. Sauders; 1992. P.1353-64.
11.Sutton D . Bone and Joint Infection. In: Textbook of Radiology and Imaging. 7 thed.
Philip Robinson, Churchill Livingstone. London; 2003.P. 1167-1168
12. Ross SJ, Moore RK. Granulomatous osteomyelitis. In : Diagnostic imaging
spine. 1st ed. Canada: Amirsys; 2004. P. 10-3
13. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical
Tuberculosis. 2nd ed.London; 1995.P.615-32

24
14.Babinchak TJ, Riley DK, Rotheram EB. Piogenik vertebral osteomylitis of posterior
elements. In : Spinal Infection. Philadelphi : W. B. Saunders company; 1997. P. 221-
4
15.Ombregt L, Bisschop P, Veer HJ, Van de Velde T. Non Mechanica disorders of the
lumbar spine. In : A system orthopaedic medicine. Philadelphia: W.B. Saunders;
1995. P. 615-32.
16.Graham JM, Kozak J. Spinal tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer
RD, editor. Rehabilitation of the spine. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc; 1993. P.
387-90.
17.Harisinghani, Mukesh G. Tuberculosis from head to toe. Updated : June 21, 1999.
Cited on : November, 2010. Available from : www.RSNA.com.
18.Hidalgo, Jose A. Pott disease (Tuberculous spondylitis). Updated : August 29, 2008.
Cited on : November, 2010. Available from : http://emedicine.medscape.com/article
19.Haaga RJ, Degra SV. Infections of the spine. In: CT and MRI of the whole body.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.P. 827-31.
20.Burgener FA, Kormano Martti, Pudas Tomi. Bone. In : Differential diagnosis in
conventional radiology. 3rd ed. New York: Thime; 2008. P. 281
21.Eisenberg RL, Johnson NM. Skeletal System. In : Comprehensive radiographic
pathology. 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007. P.114
22.Hadinoto S. Spondilitis tuberculosa. Dalam : Kapita selekta neurologi. Edisi kedua.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2005. Hal.195-7
23.Sjamjuhidajat R., Jong de Wim. Sistem muskuloskeletal. Dalam : Buku ajar ilmu
bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. Hal. 907- 9
24.Thamburaj VA. Spinal tuberculosis. Updated : January, 2007. Cited on : November,
2010. Available from : www.thamburaj.com.
25.Meschan I,Meschan Farrer. Radiografik Positioning, Projection, Pathologi and
nd
Defenition of Special Terms. In: Roentgen Sign and Diagnostic, 2 ed.
W.B.Saunders Company, Philadelphia; 1985. P.79-80

25
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA :
Nama : Ny. S

Umur : 35 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

II. ANAMNESA
Keluhan Utama : Kelemahan kedua tungkai

Anamnesa Terpimpin : Dialami sejak ± 1 bulan yang lalu, secara perlahan-lahan.


Demam (-), trauma (-). Sebelumnya pasien mengeluh nyeri punggung menjalar
kebawah dan rasa kram2 pada kedua tungkai. Pada awalnya OSI masih bisa berjalan
dengan menyeret kakinya, tapi setelah 1 minggu kemudian pasien tidak bisa jalan
dan duduk. Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat terapi OAT (-), penurunan BB
(+). BAB belum sejak 6 hari, BAK lancar.

III. PEMERIKSAAN FISIK (13 Januari 2010)


KU : Sakit sedang/gizi cukup/composmentis

Tanda-tanda vital : T : 120/80 mmHg N : 80x/mnt P : 20x/mnt S : 36,70 C

Status Generalis :

Mata : gerakan pupil isokor, anemis -/-, ikterus -/-, Refleks +/+

THT : Pembesaran Kelenjar -/-

Thorax : Paru : Suara nafas bronchovesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : H/L ttb, Ascites (-)

26
Ekstremitas : Superior : tak

Inferior : motorik (pergerakan dan kekuatan menurun)

Status lokalis :

 Inspeksi : dbn
 Palpasi : dbn

Status Neurologis :

 GCS : E4M6V5
 Motorik :

P N N K 5 5 T N N RF N N RP - -

↓ ↓ 3 3 ↑ ↑ ↑ ↑ + +

 Sensibilitas : Hipostesi dari akral sampai setinggi vetebra thorakal X


IV. PEMERIKSAAN LAIN
1. Laboratorium :

a. Darah ; Hb : 10,1 gr/dl, Leukosit : 12,36 x 103/µL, HCT : 31,4%, PLT : 465 x

103/µL, LED 40/65 mm/jam

b.Pemeriksaan anti TB IgG : Positif

27
2. Pemeriksaan Radiologi

A. Foto Thorax PA (23-9-2011) :

- Corakan bronchovasculer
dalam batas normal
- Tidak tampak proses
spesifik pada kedua paru
- Cor :membesar dengan
CTI :13,5/21 =0,6.
Pinggang jantung melurus,
apex terangkat, aorta
dilatasi.
- Kedua sinus dan
diafragma baik
- Tulang-tulang yang
tervisualisasi intak
Kesan : Cardiomegaly dengan
dilatatio aortae

B. Foto Thoracolumbal AP/Lat (22 september 2011)

28
Foto thoracolumbal AP/Lat :
- Alignmen columna vetebra thoracolumbal berubah
- Tampak pemipihan disertai destruksi pada CV Th 7-9 dengan penyempitan celah
sendi pada level tersebut
- Mineralisasi tulang baik
- Discus dan foramen intervetebralis lainnya baik
- Tampak paravetebral abses setinggi CV Th 5-10, jaringan lunak lainnya baik.
Kesan : Spondylitis TB

C. MRI (27 September 2011)


 Potongan sagital T1WI tanpa dan dengan kontras :

 Potongan sagital T2WI

29
 Potongan sagital T2WI dan Myelografi

 Potongan axial T1W1 tanpa dan dengan kontras :

30
 Potongan axial T2WI

MRI thoracal T1WI tanpa dan dengan kontras Gd-DOTA, T2WI, potongan axial dan
sagital, dilanjutkan dengan MR Myelografi dengan hasil sebagai berikut :
- Alignment vetebra thoracal berubah. Tampak lesi destruktif pada CV T6-T10, slight hipointens
T1WI, menyangat ringan post kontras, iso-hiperintens pada T2WI dengan angulasi ke posterior
pada level CV T8-T9 yang menyebabkan stenosis partial.
- Tampak massa isointens T1WI, tidak menyangat post kontras, slight hiperintens T2WI pada
paravetebral setinggi CV T6-T11
- Tampak destruksi discus intervetebralis setinggi CV T8-T9
- Myelografi : Tampak stenosis partial canalis spinalis pada lewvel CV T8-T9
Kesan : Lesi destruktif pada CV T6-T10 disertai abses paravetebral sesuai Spondylitis TB
thoracalis pada level CV T6-T10 dengan angulasi ke posterior menyebabkan stenosis
partial canalis spinalis.

V. DIAGNOSIS
Diagnosa akhir : Paraparese UMN ec Spondylitis TB

VI. TERAPI
Medikamentosa

- Meloxicam 7,5 g 2x1 tab


- Ranitidin tab 2x1
- Antasida syrup 3x1 sdm

31
- INH 1x300mg
- Rifampisin 1x450mg
- Pyrazinamid 1x1500mg
- Ethambutol 1x1000mg

VII. PROGNOSIS
Prognosis pasien ini ada perbaikan tonus dan kekuatan otot mulai membaik, setelah 3 hari
pemberian terapi OAT.

VIII. DISKUSI
Seorang perempuan , usia 35 tahun MRS dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai
yang dialami sejak ± 1 bulan yang lalu secara perlahan-lahan sebelum MRS. Riwayat demam,
riwayat terapi OAT disangkal, penurunan berat badan (+). Pada foto thorax posisi PA didapatkan
bahwa paru-paru normal, tidak terdapat proses spesifik lama maupun aktif. Infeksi tuberkulosis
ekstrapulmoner paling sering melibatkan tulang, dan tuberkulosis pada vertebra terdapat pada
50% kasus tuberkulosis tulang dan paling sering terjadi pada daerah torakolumbal. Fokus primer
dari infeksi berbeda-beda pada beberapa kelompok umur. Dari laporan kasus Donald E. tow,
M.D. dan Amitabha banerjee, M.D. dikatakan bahwa pada pengamatan serial terhadap 499
pasien, 31% menunjukkan secara radiologik fokus primer pada paru dan 78% ditemukan pada
anak-anak. Sedangkan 69% menunjukkan foto toraks normal dan sebagian besar ditemukan pada
orang dewasa. Pada orang dewasa, silent fokus seperti pada ginjal, usus dan tonsil merupakan
fokus primer infeksi. Pada pasien ini foto toraksnya normal, jadi fokus primer infeksi bukan di
paru.
Pada pasien ini dilakukan foto polos vertebra, posisi PA dan lateral didapatkan adanya massa
pada paravetebra setinggi CV Th 5-10 sebagai suatu paravetebral abses. Pada foto toraks, abses
paravertebral di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk
fusiform.
Dari hasil laboratorium didapatkan adanya tanda-tanda peradangan kronik berupa peningkatan
laju endap darah, penurunan jumlah hemoglobin serta leukosit yang meningkat. Pada pemeriksaan
anti TB Ig G menunjukan hasil positif.

32
Pada pemeriksaan fisik neurologik didapatkan kekuatan pada ekstremitas bawah berkurang
dan sensibilitas ditemukan hipostesi dari akral sampai dermatom setinggi thorakal X. Hasil
pemeriksaan MRI didapatkan spondilitis TB CV T6 – 10 dengan angulasi ke posterior
menyebabkan stenosis partial canalis spinalis disertai paravetebral abses. Perubahan-perubahan
karakteristik yang terjadi pada spondilitis tuberkulosis, yaitu destruksi litik pada bagian anterior
corpus vertebra, lesi tulang mungkin terjadi lebih dari satu level melalui penyebaran secara
subligamentous melalui ligamentum longitudinal anterior; peningkatan anterior wedging (baji)
dengan bentuk karakteristik berupa gibbus; kolaps vertebra; kerusakan diskus intervertebralis;
terbentuknya cold abses. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses dingin
(cold abscess) pada daerah lumbal dapat turun ke psoas sampai daerah trigonum femur dan pada
akhirnya mengiritasi dan menembus ke belakang dan berada di bawah kulit di bagian posterior.
Paraplegia akibat penyakit Pott pada pasien ini disebabkan oleh penyempitan kanalis spinalis akibat
angulasi corpus vertebra yang rusak. MRI merupakan pemeriksaan standar untuk mengevaluasi
infeksi ruang diskus dan osteomielitis vertebra serta sangat efektif untuk melihat penyebaran
penyakit ke jaringan lunak dan penyebaran debris tuberkulosa di bawah ligamentum longitudinal
anterior dan posterior, juga efektif untuk melihat adanya kompresi saraf. Gambaran radiologik
pada pasien ini tipikal dengan karakteristik spondilitis tuberkulosa (penyakit Poot).

Penanganan pada penyakit Pott adalah dengan terapi konservatif dan operatif bila cold abses,
paraplegia dan kifosis. Pada pasien ini untuk sementara dalam perawatan hanya diberikan terapi
konservatif dengan pemberian OAT belum dilakukan tindakan operatif.

Prognosis dari penderita spondilitis TB bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk
kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis
biasanya kurang baik.

33
34

Anda mungkin juga menyukai