Anda di halaman 1dari 10

EFISIENSI ALOKASI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang


Distribusi pendapatan merupakan aspek terpenting karena berkaitan dengan
bagaimana individu dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien. Sumber daya
yang efisien akan tercipta manakalah individu dapat mencapai titik kepuasan maksimal,
dengan seadil-adilnya tanpa menzalimi individu yang lainnya. Dalam islam terdapat berbagai
nilai dan norma-norma yang harus diperhatikan dalam hal pengalokasian maupun
pendistribusian pendapatan. Nilai dan norma-norma inilah yang menjadikan berbeda dengan
konvensonal. Islam memang mengenal adanya kepemilikan individu yang mana dengan
kepemilikan tersebut individu bebas memanfaatkannya, namun harus digaris bawahi terkait
kebebasan kepemilikan, dimana dalam kekayaan yang menjadi milik individu bukan
merupakan suatu kepemilikan yang mutlak, karena dalam Al-Qur’an sendiri menjelaskan
bahwa setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain termasuk hak orang miskin.
Jadi pada intinya sebelum mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya yang
dimiliki terlebih dahulu mempertimbangkan dan memikirkan kemaslahatan umat dan bukan
self interest. Demikian halnya dalam pembahasan pada bab selanjutnya akan diuraikan
mengenai pengalokasian secara efisiensi dan pendistribusian pendapatan dari konsep
ekonomi umum (konvesional), kemudian perbandingannya dengan konsep efisiensi alokasi
dan distribusi pendapatan menurut islam.
B.      Rumusan Masalah
       Bagaimana alokasi yang efisien dan cara pendistribusian pendapatan menurut islam?
       Apa yang menjadi perbedaan antara konsep ekonomi umum (konvensional) dengan konsep
islam?
C.      Tujuan
       Mengetahui dan memahami bagamana terciptanya alokasi yang efisien dan pendistribusian
pendapatan menurut islam.
       Mengetahui dan memahami aspek-aspek yang menjadi perbedaan efisiensi alokasi dan
distribusi pendapatan antara konsep ekonomi umum dan konsep ekonomi islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Efisiensi Alokasi


Ekonomi islam mazhab mainstream menggunakan defenisi efisiensi yang sama
dengan defenisi ekonomi neoklasik, dimana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah
optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan
anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan
konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur :
penggunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau penggunaan input yang
meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.1[1]

1
Iman Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “ janganlah kesejahteraan salah
seorang diantara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain
menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of
goods yaitu alokaasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat
meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain.2[2]
Katakanlah jono dan kirun mempunyai 10 unit makanan dan 6 pakaian. Awalnya jono
memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian sedangkan kirun memiliki 3 unit makanan dan 5
pakaian. Bagi kirun, ia bersedia memberikan 3 unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit
makanan. Sedangkan bagi jono, ia bersedia memberikan ½ unit pakaian untuk mendapatkan 1
unit makanan. Nah karena jono lebih menyukai pakaian dari pada kirun, maka keduanya
dapat lebih tinggi utilitynya dengan melakukan pertukaran.
Selama MRS (marginal rate of subtitusion) dari jono dan kirun berbeda, maka mereka
akan terus melakukan pertukaran karena keduanya dapat terus meningkatkan utilitynya,
dengan kata lain, selama MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien
tercapai ketika MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien tercapai ketika
MRS setiap orang sama.

2
B.      Efisiensi dan keadilan
efesiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada
habis teralokaasi, maka alokasi yang efesien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun
perihal apakah alokasi tersebut adil. Para ekonom konvensional berbeda pendapat
tentang distribusi yang adil:
1.   Konsep Egalitarian : setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang
sejumlah yang sama
2.   Konsep rawlsian : maksimal utility orang yang paling miskin
3.   Konsep utilitarian :maksimalkan utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat
4.   Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang
paling adil.
Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah “ tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Bisa
jadi “ sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan islam karena tidak memberikan
insentif bagi orang yang bekerja keras. Lihat saja contoh jono dan kirun, alokasi terakhir yang
tidak efesien tidak “sama rata sama rasa”. Malah bila dipaksakan “ sama rata sama rasa”
alokasinya tidak efesien karena mengabaikan kenyataan bahwa manusia mempunyai selera
yang berbeda. Bisa jadi “you get what you deserve” tidak adil dalam pandangan islam karena
orang yang endowmentnya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat daripada yang
endowment nya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi yang lemah.
Misalnya umar ibn khattab r.a menetapkan tarif kharaj yang berbeda untuk lahan yang
ditanami tanaman yang berbda : untuk lahan yang ditanami gandum tarifnya satu dirham
ditambah satu qafiz, untuk buah-buahan tarifnya sepuluh dirham, untuk lada tarifnya lima
dirham.Bgitu pula dalam pembagian harta Baitul Maal, Umar r.a. mengatur tunjangan
pertahun Rasulullah SAW. Abbas ibn Abdul Mutablib mendapat 12.000 dirham, istri-istri
Rasulullah 12.000 dirham, safiyah ibn Abdul mytalib 6000 dirham, Ali, Hasan, Husein,
mujahid Badar masing –masing 5000 dirham, kaum Anshar mujahid uhud dan mujahirin ke
Abisina masing-msig 4000 dirham ,yatim ahli Badar 2000 dirham,dan seterusnya dan
seterusnya sampai seorang gembala di gurun Sinai pun mendapat bagianya. Dengan
2
perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, imam Ai r.a. adalah untuk keadilan. Dalam
konsep islam, bukan “sama rata sama rasa” yang penting, bukan pula “ you get what you
deserve” yag penting, tetapi yang penting adalah tidak ada yang di dzalimi dan tidak ada yang
mendzaimi.

3
Lebih dari sekedar efisiensi dan keadilan, konsep ekonomi islam juga mendorong
pada upaya membesarkan endowment ( meningkatkan production possibility frontier) atau
dalam konteks ini membesarkan Edgeworth Box. Berkutat pada distribusi yang berkeadilan
saja berarti suatu zero sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun turun 5, kenaikan
total utility nihil. Oleh karena itu , konsep islam adalah mendorong terjadinya Positive sum
game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun naik 5, kenaikan total utility 10. Jadi bukan
hanya mempersoalkan “kue” akan dibagi secara adil, namun juga bagaimana “kue” yang
akan di bagi bertambah besar.
C.      Distribusi Pendapatan
Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa,
upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang
dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-
biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Namun demikian, fikih
klasik nampaknya hanya memberi pengertian secara etimologi saja yaitu “tauzii” (distribusi),
belum ada pengertian tauzii secara terminologi yang cukup relevan dengan tema distribusi
dalam ekonomi teoritika modern.3[3]
Hingga kemudian, sebagian ekonom muslim juga menulis tentang ekonomi islami dan
melakukan "adaptasi" terhadap terminologi-terminologi ekonomi konvensional, seperti yang
dilakukan Abdul Hamid Ghazali (1989 : 79), Muhammad Afar (1996: 32), Umer Chapra
(2000: 99), dan lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom muslim pada
umumnya karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan
membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan terminologi
redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh sebagian ekonom muslim dengan berkaca
pada adanya mekanisme zakat, sedekah, kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan private
(pribadi). Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada
kepemilikan, pendapatan, dan harta. Milton H. spences menulis dalam bukunya
contemporary economics: “ Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang

4
dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi dan
pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif ”.
Sedangkan sosialis lebih melihat kepada kerja sebai basic dari distribusi pendapatan.
Setiap kepemilikan hanya bias dilahirkan dari buah kerja seseorang, oleh sebab itu, adanya
perbedaan dalam kepemilikan tidak disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada
adanya perbedaan pada kapabilitas dan bakat setiap orang. Briton menyebutkan bahwa “
sosiolisme dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang
bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan
menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis yang menyangkut hidup orang
banyak ”.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan
maksimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik (nisab) adalah hal
3
yang paling mendasari dalam system distribusi – redistribusi kekayaan, setelah itu baru
dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Harus dipahami bahwa islam tidak
menjadikan complete income equality untuk semua umat sebagai tujuan utama dan
paling akhir dari system distribusi dan pembangunan ekonomi. Namun demikian,
upaya untuk mengeliminasi kesenjangan antar pendapatan umat adalah sebuah
keharusan.
1. Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga
seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di
dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas,hak
kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek
hokum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan
proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan
terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam
konteks pengertian baghasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi
Al-Qur’an dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu
Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang
muslim) seperti:
1. Nafaqah 5. Musaadah
2. Zakat 6. Jiwar
3. Udhiyah 7. Diyafah
4.  Warisan
5
Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang
muslim) seperti:
1. Infaq 2. Aqiqah 3. Wakaf
Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman), seperti:
1.  Kafarat 2.  Dam/diyat 3.   Nudzur
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam
mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat.
Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah
persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang
dimiliki, pertama yang harus di distribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset
adalah kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar hutang.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus diprioritaskan adalah distribusi
melalui instrumen zakat. Namun harus dilihat terlebih dahulu karakter dari sisa asset
tersebut, ada 3 yaitu:
1. Apakah asset itu di atas nisab.
2.   Kepemilikan sempurna.
3.   sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi pruduktif.
2. Distribusi Pendapatan Dalam Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan
kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Para sarjana muslim banyak membicarakan
objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level Negara terkait dengan, diantaranya:
penjaminan level minimum kehidupan bangsa bagi mereka yang berpendapatan di bawah
kemampuan. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi ligkungan
sosial maupun individu dengan pemafaatan sebesar-besarnya atas sumber daya yang tersedia.
Karena itu negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi,
kesetaraan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan model ekonomi politik dalam pengambilan keputusan
dan kebikjakan pemerintah yang berdampak secara langsung dan tidak langsung kepada
distribusi pendapatan, seperti anggaran pendapatan dan belanja Negara, kebijakan fiskal dan
moneter dengan basis hipotesis kepda ketidaksempurnaan pasaran teori-teori, yang berkaitan
dengan moral hazard dan adverse selection.

6
a.      Pengelolaan Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia, pemerintah (Negara) harus mampu
mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan dan industri. Ajaran Islam
memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan
untuk kepentingan Negara dan publik (hak hima), distribusi tanah (hak iqta) kepada sector
swasta, penarikan pajak, subsidi, dan keistimewaan non monetary lainnya yang legalitasnya
dikembalikan kepada aturan syari’ah. Semua keistimewaan tersebut harus diarahkan untuk
memenuhi kepentingan public dan pembebasan kemiskinan.
Dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk
mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan
kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan
kepemilikan.Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya, kaum Muslimin cukup
berpengalaman  dalam menerapkan beberapa instrumen  sebagai kebijakan fiskal, yang
diselenggarakan pada lembaga baitul maal (national treasury).
Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan lain-lain
(ZISWA).  Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta
seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur
masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara Infaq, Sadaqah, Wakaf
merupakan pengeluaran ‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan
demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-
unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela
seperti sadaqah, infaq dan waqaf.
   Zakat
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat yang
melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima
zakat (mustahik), yaitu: fakir, miskin, fisabilillah, ibnussabil, amil, gharimin, hamba
sahaya, dan muallaf.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan
pihak surplus Muslim dengan pihak defisit Muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi
pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit Muslim atau bahkan menjadikan kelompok
yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzzaki). Dalam al-Qur’an diperkirakan terdapat  30

7
ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering
muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam.
Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat
penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal perbulan yang membuat seseorang
menjadi wajib zakat (muzakki).
Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi di berbagai segi
kehidupan, antara lain:
1) Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2) Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3) Menekan jumlah permasalahan sosial; kriminalitas, pelacuran, gelandangan,
pengemis, dan lain-lain;
4) Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha.
Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat yang minimal
sehingga perekonomian dapat terus berjalan; dan
5) Mendorong masyarakat untuk berinvestasi, dan tidak menumpuk hartanya
b.      Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori menyatakan bahwa pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa
dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem ekonomi yang terdiri atas:
produksi, konsumsi, dan distribusi. Keberatan terbesar terdapat mekanisme pasar adalah
bahwa pasar tak lebih sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (invector) untuk
mengukuhkan dominasinya terhadap kelas yang tertindas (labor).
Dari kacamata ekonomi pasar Islam, mekanisme pasar menekan seminimal mungkin
mungkin peranan pemerintah (command economics). Pembenaran atas diperbolehkan
pemerintah masuk sebagai pelaku pasar (intervensi) hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan
sempurna, dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi atau
distribusi yang tidak normal atau dengan kata lain mengupayakan tidak terjadinya market
failure. Sebagai contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: barang publik,
eksternalitas, (termasuk pencemaran dan kerusakan lingkungan), asymetrik information,
biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam  distribusi. Dalam masalah yang
lebih singkat, masuknya pemerintah adalah untuk menjamin fairness dan keadilan.

8
Dalam kajian ekonomi konvensional, teori keadilan perataan pendapatan berdiri diaas
empat hal, yaitu: prinsip-prinsip kebutuhan dasar, prinsip-prinsip efesiensi, prinsip-prinsip
eequity yang menghabiskan proposional dan tanggung jawab social dan prinsip-prinsip yang
yang menggantungkan permasalahan keadilan atas dasar hasil evaluasi keadaan dan situasi
yang berlaku. Sedang di pihak lain, ajaran islam menjelaskan bahwa selain mengupayakan
mekanisme pasar yang berada dalam frame hala-haram, ajaran islam juga menganut
keyakinan adanya tanggung jawab personal terhadap kesejahteraan orang lain serta batas
batas kesejahteraan yang seharusnya dinikmati pelaku pasar susuai dengan aturan syari’ah.
Untuk hal tersebut instrument dikedepankan adalah zakat yang didisrtibusikan secara
produktif.
D.      Moral dalam Distribusi Pendapatan
Menurut paham kapitalisme, setiap individu harus memiliki kebebasan sepenuhnya
agar ia dapat memproduksi kekayaan dalam jumlah yang sebanyak-bayaknya dengan
memanfaatkan kemampuan yang ia miliki sejak lahir. Paham kapitalisme juga mengakui tak
terbatasnya hak individu dalam pemilikan pribadi serta menghalalkan pendistribusian yang
tidak adil. Pandangan ekstrem lainnya yaitu paham komunisme menyetujui penghapusan
kebebasan individu dan pemilikan pribadi secara menyeluruh, dan pada saat yang sama
menginginkan pemerataan ekonomi di antara penduduk. Dengan kata lain, paham kapitalisme
menekankan pada produksi kekayaan, sedangkan paham komunisme pada distribusi
kekayaan, dengan tidak memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat.
Dalam konteks ini, Islam mengambil jalan tengah antara pola kapitalis dan sosialis
yaitu tidak memberikan kebebasan mutlak maupun hak yang tidak terbatas dalam pemilikan
kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan tidak pula mengikat individu
pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang di bawah sistem ini ia tidak dapat memperoleh
dan memiliki kekayaan secara bebas. Islam menganggap bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan yang paling sempurna, paling mulia dan bahkan manusia diberikan kepercayaan
sebagai sebagai khalifah yang bertugas untuk mengelols dunia guna mencapai kemakmuran.
Merujuk pada pesan Al-Quran dalam bidang ekonomi, dapat dipahami bahwa Islam
mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Maka karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, baik materi
maupun nonmateri dengan bekerja/berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan

9
berbagai cara, asalkan mengikuti aturan-aturan yang ada. Maka dengan keyakinan akan peran
dan kepemilikan absolut dari Allah, maka konsep produksi dalam ekonomi Islam tidak
semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk
maksimalisasi keuntungan akhirat. Urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh
kesejahteraan akhirat. Islam mengarahkan mekanisme berbasis spiritual dalam pemeliharaan
keadilan sosial pada setiap aktifitas ekonomi. Latar belakangnya karena ketidakseimbangan
distribusi kekayaan adalah hal yang mendasari hampir semua konflik individu maupun sosial.
Upaya pencapaian manusia akan kebahagiaan akan sulit dicapai tanpa adanya keyakinan pada
prinsip moral dan sekaligus kedisiplinan dalam mengimplementasikan konsep moral tersebut.
Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat
mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas
kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada
manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki
kekayaan tersebut. Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi menjelaskan
sebagai berikut :
1.       Nilai Kebebasan
a.      Asas Kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah
dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah lah yang
menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi
manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk lainnya. Tidak
boleh ada pemaksaan dan penindasan karena seluruh makhluk dihadapan Tuhan adalah sama.
Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiapan material dan spritiual yang
diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan
manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya. Seorang yang
terbelenggu tidak akan produktif. Islam memberikan
kebebasan kepada mausia untuk berusaha, memiliki, mengelola, dan membelanjakan
hartanya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga manusia pantas
dimuliakan dan menerima amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan di Hari
Kemudian.

10
b.     Bukti-Bukti Kebebasan
1)     Hak Milik Pribadi
Kepemilikan adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang yang memiliki suatu benda
dapat menguasai dan memanfaatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak miliknya dengan
cara-cara yang dibenarkan islam. islam melindngi hak milik pribadi dari perbuatan zalim
seseorang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya. Kebebasan
mengharuskan seseorang untuk menanggung risiko sesuai dengan apa yang dilakukan dan
memberikan hak orang lain yang terdapat di dalam hartanya.
2)     Warisan
Disyari’atkannya warisan adalah sebagai pencerminan kebebasan. Di mana seseorang
dapat melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan apa yang menjadi miliknya.
Perolehan hak milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi dalam duah
hal, yaitu: melalui warisan dan wasiat. Kedua hal ini diakui oleh syar’i dengan maksud untuk
memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat.
Kemaslahatan indvidu dapat diperoleh dengan memenuhi keinginannya serta menjaga
kepentingannya dari perampasan hak yang merupakan salah satu hikmah disyari’atkannya
wasiat dan waris. Selanjutnya Allah sangat menganjurkan agar kita memberi nafkah kepada
keluarga terdekat agar terciptanya kemaslahatan dalam keluarga, dan yang terakhir
memaslahatkan masyarakat yang kemudian akan berdampak pada sistem distribusi. Warisan
merupakan faktor yang sangat berperan dalam pemerataan kekayaan, perluasan dan
pemindahan dari seorang pemilik kepada beberapa orang yang ketentuan pembagiannya telah
ditentukan oleh Allah didalam Al-Qur’an.
2.       Nilai Keadilan
Kebebasan dalam islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang
diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam memperoleh,
mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikiya. Islam juga mewajibkan setiap
orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya.

11
Hal di atas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan
harta sehingga dalam pembelanjaan hartanya terkadang ia berlaku boros dan kikir. Oleh
karena itu islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan berbuat zalim. Ayat
yang ditegaskan didalam al-Qur’an yakni seorang muslim tidak diperbolehkan berbuat zalim
terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya dengan distribusi pendapatan jika
dalam pendistribusian pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan
keresahan dan protes dari pemilik faktor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan
harus diberikan dengan prinsip-prinsip keadilan.
E.      Pola Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam
Ada beberapa pola yang dapat digunakan dalam pendistribusian kekayaan diantaranya:
1. Mudharabah
Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan
seseorang yang pakar dalam berdagang (yang oleh ulama Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Dalam prakteknya mudharabah adalah dimana pemilik modal menyerahkan modalnya kepada
pekerja (padagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik
bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama. Dari aspek pendistribusian harta kekayaan
dapat dilihat dalam skema dimana terjadi bentuk kerja sama antara seorang yang mempunyai
surplus unit dengan mitra kerja yang hanya punya skill sekaligus sebagai pihak yang deficits
unit. Dengan terjadinnya kerja sama antara shahibul mal dengan mitranya dengan sendirinya
menjalankan pola distribusi yang adil dan berdasarkan hubungan kemitraan.
2. Musyarakah
Syirkah atau perseroan adalah suatu bentuk transaksi antara dua orang atau lebih,
yang kedua-duanya sepakat untuk melakiukan kerjasama yang bersifat finansial dengan
tujuan mencari keuntungan. Musyarakah merupakan juga salah satu bentuk kerja sama antara
dua orang atau lebih dalam sebuah usaha atau modal dalam bentuk coorporate dengan bagi
hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan. Musyarakah berbeda dari mudharabah, dalam
mudharabah pemilik modal tidak diberikan peran dalam menjalankan manajemen
perusahaan, sedangkan dalam musyrakah juga ada bagi hasil, tapi semua pihak berhak turut
serta dalam pengambilan keputusan manajerial.

12
3. Distribusi Pendapatan melalui Pola Mekanisme Pasar
     Penentuan Harga
Allah SWT telah memberikan hak tiap orang untuk membeli dengan harga yang
disenangi. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abi Sa’id: Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya jual
beli itu (sah karena) sama-sama suka”. Dalam artian sama sama suka adalah saling ridho dan
transaksi yang dilakukan merupakan transaksi yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
Dalam konsep ekonomi Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar,
yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam konsep Islam pula, pertemuan permintaan
dengan penawaran adalah terjadi secara seimbang dengan rela sama rela (an taradhin) atau
tidak ada pemaksaan terhadap harga tersebut pada saat transaksi. Islam mengatur agar
persaingan di pasar dilakukan secara adil.
         Larangan Penimbunan dan Spekulasi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu
waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dapat di jual dengan harga yang
tinggi. Syarat terjadinya penimbunan adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan
warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun, semata karena fakta penimbunan
tersebut tidak terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Orang-orang yang menyembunyikan
(menimbun) hartanya yang dikumpulkan sesungguhnya mereka telah menghambat arus
industri, serta menghalangi kemajuan dan pembangunan negara. Seharusnya harta mereka
digunakan untuk menghasilkan kekayaan lebih banyak keuntungan masyarakat dan kapitalis-
kapitalis itu sendiri. Semua bentuk perdagangan komersil yang memungkinkan adanya
penghilangan hak pihak-pihak yang terlibat (hoarding/penyembunyian barang maupun pasar
gelap), itu semua dilarang.

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam ekonomi konvensional, alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak
seorang pun dapat meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain. pada intinya
ketika sumber daya yang ada telah habis teralokasi maka itu dikatakan efisien tanpa
memperdulikan apakah itu adil atau tidak. Sedangkan dalam ekonomi islam, lebih
memperhatikan nilai keadilan. Selain itu juga konsep ekonomi islam juga mendorong pada
upaya peningkatan sumber daya, bukan hanya menghabiskan sumber daya untuk
dialokasikan secara efisien.
Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang
sangat mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini
didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah
memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai
kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman A. (2007) ,Ekonomi Mikro Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad, (2004), Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, yogyakarta : BPFE-Yogyakarta,
Anggota IKAPI

Sumber Referensi Lain :


http://kuliahobur.blogspot.com/2013/04/distribusi-menurut-ekonomi-islam_8.html

Anda mungkin juga menyukai