Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

LANGKAH – LANGKAH PEMBINAAN AKHLAK

DOSEN PENGAMPU: DJUNAIDI, M.Pd.I.

DISUSUN OLEH:

A. Ahmad Farid Romadhon .A. ( 20220118002 )


B. Azza Nur Laila ( 20220118004 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH IBNU SINA

KEPANJEN - MALANG

TAHUN 2022/2023

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga bisa menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata
Kuliah Akhlak Tasawuf. Shalawat serta salam selalu senatiasa kita curahkan pada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman
jahiliyah ke jaman yang terang benderang.
Pada kesempatan ini kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Djunaidi, M.Pd selaku dosen pengampu pada Mata Kuliah Akhlak
Tasawuf yang telah memberikan nasehat-nasehat yang membangun bagi kami,
sehingga makalah ini bisa terselesaikan tepat waktu.
Namun, kami selaku penyusun dan penulis makalah ini menyadari bila
dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
yang harus dibenahi.Sehingga kami memohon kepada pembaca untuk senatiasa
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami agar ke depannya
kami bisa menjadi lebih baik.

Kepanjen, 2 Maret 2023

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................... 2
BAB I ........................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
C. Tujuan ............................................................................................................... 3
BAB II .......................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4
A. Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf ............................................................. 4
B. Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak ........................................................... 4
1. Musyarathah (Penetapan Syarat)................................................................. 5
2. Muraqabah (Pengawasan)............................................................................ 6
3. Muhasabah (Intropeksi) ............................................................................... 6
4. Mu’aqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan) .......................... 7
5. Mujahadah (Bersungguh-Sungguh) ............................................................ 8
6. Mu’atabah (Mencela Diri) ........................................................................... 8
BAB III ...................................................................................................................... 10
PENUTUP ................................................................................................................. 10
A. Kesimpulan..................................................................................................... 10
B. Saran ............................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembinaan akhlak sangat penting ditanamkan sejak dini, baik di
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, agar menjadi manusia yang
berbudi pekerti luhur. Sekolah sebagai salah satu tempat pembinaan siswa,
didorong untuk mempersiapkan siswa menjadi orang-orang yang berakhlak
baik. Pembinaan akhlak di sekolah dapat dilakukan dengan cara
mempersiapkan tempat bergaul anak dengan teman sebaya yang steril dari
perbuatan-perbuatan tercela. Selain itu, pembinaan akhlak dapat juga dilakukan
melalui pembelajaran akidah akhlak yang memuat materi-materi untuk
mengarahkan siswa pada sikap terpuji,dan menjauhi sikap tercela.
Guru harus bisa menjadi teladan bagi para siswanya, tidak saja
memberikan materi pelajaran, tapi juga menunjukkan perilaku yang baik
sehingga dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
sekolah. Akhlak yang baik adalah kekuatan untuk membangun karakteristik
sumber daya manusia dalam membangun bangsa dan negara menjadi tangguh
dan kokoh.
Upaya guru pendidikan agama Islam mendidik siswa agar menjadi
manusia berakhlakul karimah, adalah tidak terlepas dari kepribadian yang
dimiliki oleh guru. Yaitu sifat teladan seorang pendidik untuk dapat menjadi
panutan dan contoh bagi siswa dalam banyak segi. Hal ini telah sering
ditekankan dalam Islam, dan Rasulullah saw. Menjadi contoh teladan pertama.
Pendidik adalah spiritual bagi siswanya yang memberikan contoh bagi
siswanya, memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan
perilakunya yang buruk. Oleh karena itu, pendidik memiliki kedudukan yang
tinggi.

B. Rumusan Masalah

A. Apakah hakikat pembinaan akhlak tasawuf itu ?


B. Bagaimanakah langkah-langkah dari pembinaan akhlak tasawuf ?

C. Tujuan

1. Mampu memahami hakikat akhlak tasawuf


2. Mampu memahami langkah – langkah pembinaan akhlak tasawuf

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf


Pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang
harus dikukan terus menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain
maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada
hakikatnya pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak
yang dilakukan seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan jiwanya bersih
dan perilakunya terkontrol. 1Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri
sendiri dapat dikenal dengan istilahTazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah,
dan Halaqah Tarbawiyah.

B. Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak


Beribadah merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya
(Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk
senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri
manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang
ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang
dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui
Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah.
Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah
pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah,
musyarathah, mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah
satu sarana tazkiyatun nafs.

Manusia yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa


Allah mengawasi mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan
dituntut dengan berbagai tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada
sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul

1
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB259410289.pdf

4
muhasabah (muhasabah secara terus menerus), shidul muraqabah
(muraqabah secara benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua
nafas dan gerak dan muhasabah terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan.
Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya
di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan
tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya
maka akan menyesal selamanya, akan lama penantiannya di pelataran kiamat,
dan berbagai keburukan akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka.
Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan mengetahui bahwa tidak ada
sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali ketaatan kepada Allah. 2

Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan
bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga…”
Mereka mempersiapsiagakan diri mereka terlebih dahulu dengan
musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah,
muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian
sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan
atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.

Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam


bertazkiyah yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun
sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut
penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman)
yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia
serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam
maqam (tingkatan), yaitu:

1. Musyarathah (Penetapan Syarat)


Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu
kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi

2
https://www.academia.edu/33422255/MAKALAH_PEMBINAAN_AKHLAK_DALAM_ISLAM_BAB_I
_III

5
perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan
keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu
dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan
kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan
pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan
tidak lain adalah tazkiyatun nafs karena dengan hal itulah
keberuntungannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Karena
keberuntungan tidak lain adalah amal shalih 3
2. Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan
kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah ini
diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran
dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi
dirinya sendiri dengan cermat.4 Dengan kata lain muraqabah adalah upaya
diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi
upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan
mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.

3. Muhasabah (Intropeksi)
Muhasabah adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut
keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang
Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa
yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa
gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab
dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan. Jadi
muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran

3
Said Hawa, Al-Mustakhlas fi Tazkiyah al- Anfus, Cetakan ke 8 , Terj.Annur Rafiq Shaleh Tahmid,
(Jakarta: Rabani Press, 2004), h. 134
4
Amatullah Amstrong, Khasanah Istilah Sufi( Kunci memasuki dunioa tasawuf) (Bandung :
Miuzan, 1996), h. 197

6
bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh
Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab
dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri. 5

4. Mu’aqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)


Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk
mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-
shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri
mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu
sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan
ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”.
Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia
merasa ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari
bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan
kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu
pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah
rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera
menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas
sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan
dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia
mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan,
jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk
memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga
harus diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu
syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia
melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata dihukum
dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya
dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya. Sekiranya manusia

5
Khoiri Alwan. Akhlak Tasawuf. Op.Cit. h. 170

7
berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang
sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat
kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. 6

5. Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah
dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat
Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat
perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui
dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya
turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam
mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah).
Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan
sungguh-sungguh.7

6. Mu’atabah (Mencela Diri)


Terakhir dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah.
Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol dan
mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mujahadah dan
seterusnya berjalan dengan baik. Dalam melakukan mu’atabah adalah
mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri
manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan
karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada
kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar
mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk
beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya
6
Ibid, h. 173
7
Ibid, h. 175

8
dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya
maka ia pasti merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat
mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa mencela dan
menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah
(yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk
bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah
(yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-
hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak
lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang
hamba sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk terlebih dahulu
menasehati dirinya sendiri.
Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”
(QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan yang harus manusia tempuh adalah
berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan
kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan
“petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada
manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada
dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada
mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan
mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main
(lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
Demikian cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada
Sang Penolong mereka yaitu Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah
mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan
dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah (celaan
terhadap diri) dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi
tidak mendapatkan ridha Allah. 8

8
http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6392307629229068837#_ftn11

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada hakikatnya pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan
pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya sendiri
dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol.
2. Langkah-langkah pembinaan akhlak, antara lain:
a) Musyarathah
b) Muraqabah
c) Muhasabah
d) Mu’aqabah
e) Mujahadah
f) Mu’atabah.

B. Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan
dikarenakan keterbatasan ilmu yang penulis miliki dan penulis sangat
mengharapakan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dengan
demikian penulis ucapkan terimakasih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Amatullah. "Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf."


Bandung: Mizan (1996).
Hawa, Said. "Al-Mustakhlas fi Tazkiyah al-Anfus, Cetakan ke 8, Terj." (2004).
http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6392307629229068837#_ftn11

https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB259410289.pdf

https://www.academia.edu/33422255/MAKALAH_PEMBINAAN_AKHLAK_D
ALAM_ISLAM_BAB_I_III

Ibid, h. 173
Khoiri Alwan. Akhlak Tasawuf. Op.Cit. h. 170

11

Anda mungkin juga menyukai