Anda di halaman 1dari 16

PENERAPAN UNSUR SENGAJA DALAM TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SECARA


BERSAMA-SAMA
(Analisa Yuridis Putusan Bebas (Vrijspraak) Nomor
440/Pid.B/2020/Pn.Sky)

PENULISAN KERTAS KERJA PERORANGAN OLEH :

NAMA : GIO VALDO DIAMANTA


KELAS : PPPJ II
NO. PESERTA : 06

PPPJ ANGKATAN 79
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN R.I
JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

pada Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah

Negara Hukum yang artinya Indonesia sebagai negara hukum

idealnya dalam melakukan tindakan apapun harus berlandaskan dan

berdasarkan hukum serta harus dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum. Negara Republik Indonesia juga melindungi hak-hak asasi

manusia dalam bidang hukum bagi setiap warga Negara yang

menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat dihadapkan di Pengadilan

selain ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di masyarakat atau dalam suatu negara yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

perbuatan-perbuatan mana yang dilarang yang disertai ancaman

berupa nestapa atau penderitaan bagi barangsiapa yang melanggar

larangan tersebut.1 Aturan-aturan tersebut mengatur tentang

pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum.

Pelanggaran dan kejahatan tersebut disertai dengan ancaman berupa

pidana atau penderitaan bagi mereka yang melanggar aturan

tersebut.

1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bina Aksara , 1983), hlm. 1
Kejahatan yang berkembang di masyarakat terdiri dari berbagai

macam bentuk dan jenis. Di Indonesia kejahatan secara umum diatur

dalam buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

salah satu bentuknya adalah penganiayaan. Dalam KUHP

penganiayaan pengaturannya secara khusus diatur dalam Bab XX

KUHP yang terdiri dari 8 pasal yakni Pasal 351 sampai dengan Pasal

358.

Dalam KUHP, delik penganiayaan merupakan suatu bentuk

perbuatan yang dapat merugikan orang lain terhadap fisik bahkan

dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tidak hanya itu,

terdapatnya aturan pidana dari penganiyaan yang dapat

menyebabkan luka berat ataupun menyebabkan hilangnya nyawa

orang lain jelas harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang

sangat merugikan korbannya yang patut untuk mendapatkan keadilan.

Kesengajaan merupakan bagian dari kesalahan dan pelaku

mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu

tindakan dibanding dengan kelalaian (culpa). Karenanya ancaman

pidana pada suatu kesengajaan jauh lebih berat, apabila

dibandingkan dengan kelalaian. Sengaja berarti menghendaki dan

mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. Sekalipun

kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan itu bisa ditafsirkan

kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan tetapi penafsiran

tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai

2
kemungkinan terhadap akibat. Artinya kemungkinannya penafsiran

secara luas terhadap unsur kesengajaan itu, yaitu kesengajaan

sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, bahkan

kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap

akibatnya. Sementara terhadap perbuatannya sendiri haruslah

merupakan tujuan pelaku. Artinya perbuatan itu haruslah perbuatan

yang benar-benar ditujukan oleh pelakunya sebagai perbuatan yang

dikehendaki atau dimaksudkannya.

Pada umumnya delik-delik yang dimuat dalam KUHP ditujukan

pada subjek hukum “orang”, subjek delik dalam KUHP untuk

menjelaskan subjek hukum “orang” biasanya menggunakan kata

“barangsiapa”. Telah jelas yang dimaksud “barangsiapa” adalah orang

dan orang ini hanya satu. Pada kenyataannya kejahatan tidak selalu

dilakukan oleh satu orang.2 Terkadang, suatu kejahatan juga

dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk menyelesaikan suatu delik.

Dalam ajaran hukum pidana dimana suatu delik dilakukan oleh satu

orang pada kenyataannya kejahatan tidak selalu dilakukan oleh satu

orang. Terkadang suatu kejahatan juga dilakukan oleh dua orang atau

lebih untuk menyelesaikan suatu delik. Dalam ajaran hukum pidana

dimana suatu delik dilakukan oleh satu orang atau lebih yang setiap

orang melakukan wujud-wujud perbuatan tertentu, dan dari tingkah

2
Adami Cazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 : Percobaan dan Penyertaan,
(Jakarta : Rajawali pers, 2014) hlm 69-70

3
laku-tingkah laku itulah lahirlah suatu tindak pidana yang disebut

dengan penyertaan atau deelneming.3

Pada pasal 55 Bab V KUHP menjelaskan penyertaan terdapat

macam-macam bentuk yang diantaranya orang yang melakukan,

orang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, orang

yang menganjurkan, dan orang yang memberikan bantuan dalam

tindak pidana. Masing-masing bentuk dalam ajaran penyertaan

tersebut memiliki perbedaan satu sama lain, akan tetapi jelas dalam

ajaran tersebut bahwa suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu

orang baik orang yang terlibat secara fisik maupun secara psikis. 4

Hukum acara pidana dikenal tiga jenis putusan hakim, salah

satunya tercantum dalam pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yaitu putusan bebas Vrijspraak. Sesorang

terdakwa dapat diputus bebas dengan alasan tidak cukup terbukti

menurut hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat

bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Dalam Putusan Nomor

440/Pid.B/2020/Pn.Sky pada Pengadilan Negeri Sekayu Hakim

memutus bebas Terdakwa dengan pertimbangan bahwa Terdakwa

tidak dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka,

menurut Majelis Hakim perbuatan “Melakukan penganiayaan” tidak

terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Hakim harus jeli dan cermat

dalam melihat argumentasi Jaksa Penuntut Umum baik mengenai


3
Ibid. hlm. 71
4
Ibid. hlm. 73

4
kesalahan terdakwa, perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa,

dan alat bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sehingga

sebelum putusan dijatuhkan, pertimbangan hakim harus meyakinkan

menurut hukum. Putusan bebas juga bisa didasarkan atas penilaian

bahwa kesalahan yang belum memenuhi unsur tindak pidana dan

tidak diikuti oleh keyakinan hakim sehingga nilai pembuktian yang

cukup ini akan lumpuh dan terdakwa harus diputus bebas.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana tersebut di atas,

Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PENERAPAN

UNSUR SENGAJA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG

DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA (Analisa Yuridis Putusan

Bebas (Vrijspraak) Nomor 440/Pid.B/2020/Pn.Sky)

B. RUMUSAN MASALAH

Bahwa perumusan masalah merupakan penjabaran strategi

terhadap masalah yang timbul dalam penulisan Kertas Kerja

Perorangan ini, sekaligus agar penulisan yang sedang dilaksanakan

tidak menyimpang dari tujuan semula. Kemudian dirumuskanlah

permasalahan yang akan dibahas untuk mencapai tujuan dari

penulisan hukum ini yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana pemenuhan unsur sengaja dalam tindak pidana

penganiayaan?

5
2. Bagaimana penerapan unsur sengaja dalam tindak pidana

penganiayaan pada perkara Nomor 440/Pid.B/2020/Pn.Sky?

C. MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun Maksud dan Tujuan Penulis menyusun Kertas Kerja

Perorangan ini, adalah sebagai berikut :

Maksud:

1. Untuk lebih mendalami teori-teori dan kajian tentang penerapan

unsur sengaja dalam tindak pidana penganiayaan serta dapat

menjadi bahan ilmu pengetahuan khususnya didalam hukum

pidana yang telah diperoleh penulis selama Pendidikan dan

Pelatihan Pembentukan Jaksa di Badan Pendidikan dan

Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Memberikan sumbangan Pemikiran bagi aparat penegak hukum

khususnya Penuntut Umum di Indonesia mengenai Penerapan

unsur sengaja dalam tindak pidana penganiayaan.

Tujuan:

1. Untuk mengetahui dan memahami pemenuhan unsur sengaja

dalam tindak pidana penganiayaan.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana

Penerapan unsur sengaja dalam tindak pidana penganiayaan

pada perkara Nomor 440/Pid.B/2020/Pn.Sky.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah stratbaarfeit. Pembentuk Undang-

Undang dalam berbagai perundang-undangan menggunakan

perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaarfeit”

tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang

sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut.

Secara harfiah, perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan

sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Akan

tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah

manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun

tindakan.

Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang

dinamakan penganiayaan. Namun menurut Yurisprudensi pengadilan

maka yang dinamakan penganiayaan adalah:5

1) Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan);

2) Menyebabkan rasa sakit;

3) Menyebabkan luka-luka.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan Penganiayaan ini jelas

melakukan suatu perbuatan dengan tujuan menimbulkan rasa sakit

5
R.Soesilo ,KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
(Bogor:Politeia, 1995) hlm. 245

7
atau luka pada orang lain, unsur dengan sengaja disini harus meliputi

tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Dengan kata

lain pelaku menghendaki akibat terjadinya suatu perbuatan. Kehendak

atau tujuan disini harus disimpulkan dari sifat pada perbuatan yang

menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Dalam hal ini harus

ada sentuhan pada badan orang lain yang dengan sendirinya

menimbulkan akibat sakit atau luka pada orang lain. Misalnya

memukul, menendang, menusuk, mengaruk dan sebagainya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak pidana

penganiayaan adalah semua tindakan melawan hukum dan tindakan

seseorang kepada orang yang membahayakan atau mendatangkan

rasa sakit pada badan atau anggota badan manusia yang mana luka

yang diderita oleh korban sesuai dengan kategori luka pada Pasal 90

(KUHP) yang berisi :

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan


akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut;
2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencarian;
3) Kehilangan salah satu panca indra;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggu daya pikir selama empat minggu atau lebih;
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Tindak pidana penganiayaan ini ada kalanya disengaja dan

terkadang karena kesalahan. Tindak pidana penganiayaan sengaja

yaitu perbuatan yang disengaja oleh pelakunya dengan sikap

8
permusuhan. Dalam KUHP penganiayaan pengaturannya secara

khusus diatur dalam Bab XX KUHP yang terdiri dari 8 pasal yakni

Pasal 351 KUHP sampai dengan Pasal 358 KUHP.

B. UNSUR KESENGAJAAN DALAM HUKUM PIDANA

a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)

Penganiayaan biasa adalah suatu bentuk peristiwa yang

menyebabkan sakit atau terhambat melakukan rutinitas

pekerjaan atau pengangguan pikiran yang tidak lebih lama

dari empat minggu, sakit itu dapat diharapkan sembuh dan

tidak mendatangkan bahaya maut. Unsur-unsur penganiayaan

biasa, yaitu :

1). Unsur kesengajaan;


2). Unsur perbuatan;
3). Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu :
a) Rasa sakit;
b) Luka pada tubuh.

4). Unsur akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.


Pasal 351 ayat 2 yaitu penganiayaan biasa yang

mengakibatkan luka berat sejatinya sama saja dengan dengan

unsur pada Pasal 351 ayat 1, tetapi unsur akibatnyalah yang

berbeda dimana unsur akibatnya adalah luka berat

sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUHP sedangkan apabila

luka tersebut adalah luka ringan dan tidak berkaitan dengan

9
luka pada Pasal 90 KUHP maka luka tersebut adalah luka

ringan.

b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)

Penganiayaan ringan adalah suatu peristiwa yang tidak

menimbulkan penyakit atau berhalangan mengerjakan jabatan

atau pekerjaan. Unsur-unsur penganiayaan ringan adalah:

1) Bukan berupa penganiayaan berencana


2) Bukan penganiayaan yang dilakukan:
a) Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau
anaknya;
b) Pegawai negeri yang sedang dan/atau karena
menjalankan tugasnya yang sah;
c) Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk
dimakan atau diminum.
3). Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan, atau pencaharian

c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP)

Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan

akibat luka berat atau kematian, yaitu :

1). Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan luka


berat atau kematian;
2). Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat;
3). Penganiayaan berencana yang berakibat kematian;
d. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)

10
Penganiayaan berat sebagaimana dalam rumusan Pasal

354 KUHP terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu:

1). Penganiayaan berat biasa yaitu suatu perbuatan

penganiayaan yang dilakukan dengan disengaja dan

memang diinginkan oleh sipelaku agar menimbulkan luka

berat.

2). Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian adalah

suatu kematian bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku,

karena pelaku hanya ingin menimbulkan luka berat tanpa

menimbulkan kematian. Karena kematian disini bukan

karena akibat yang dikehendaki pelaku. Dalam

penganiayaan berat ini harus di buktikan bahwa sipelaku

memang tidak mempunyai kesengajaan untuk

menimbulkan kematian, akan tetapi apabila dalam

penganiayaan berat ini sipelaku memang berkeinginan

untuk menimbulkan kematian maka ini bukan lagi

termasuk dalam penganiayaan berat melainkan tindak

pidana pembunuhan.

e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP)

Berdasarkan rumusan pada Pasal 355 KUHP

penganiayaan berat berencana memiliki 2 (dua) macam,

yaitu :

11
1). Penganiayaan berat berencana biasa adalah suatu bentuk

penganiayaan yang tidak menyebabkan kematian, dimana

luka berat yang dialami oleh si korban harus benar –

benar terjadi yang juga harus dibuktikan, bahwa luka berat

itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh

pelaku sekaligus direncanakan.

2). Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan

kematian adalah penganiayaan berat berencana yang

diperberat, dimana yang memberatkan dalam

penganiayaan ini adalah timbulnya kematian tetapi

matinya korban memang tidak dikehendaki oleh sipelaku.

Kematian dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan

akibat yang tidak dituju dan direncanakan. Sebab apabila

kematian yang dituju maka itu ranahnya adalah

pembunuhan Pasal 338 KUHP sedangkan apabila

kematiannya direncanakan maka masuk kedalam

pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP.

Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus

diartikan sempit yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet

alsogmerk). Namun demikian patut menjadi perhatian bahwa

sekalipun kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan itu bisa

ditafsirkan kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan tetapi

penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai

12
kemungkinan terhadap akibat. Artinya kemungkinannya penafsiran

secara luas terhadap unsur kesengajaan itu, yaitu kesengajaan

sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, bahkan

kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap

akibatnya. Sementara terhadap perbuatannya sendiri haruslah

merupakan tujuan pelaku. Artinya perbuatan itu harusla perbuatan

yang benar-benar ditujukan oleh pelakunya sebagai perbuatan yang

dikehendaki atau dimaksudkannya.

C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Pertanggungjawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu

sistem hukum pidana. Pertanggung jawaban pidana mengandung

asas kesalahan (asas culpabilitas), bahwa asas kesalahan yang

didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan

dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.

Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana

berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup

kemungkinan adanya pertanggungjawaban pidana pengganti

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict

liability). Misalnya kesalahan (error) baik kesesatan mengenai

keadaanya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya

sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf

13
sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatan itu patut

dipersalahkan kepadanya.6

Pertanggung jawaban pidana mengandung makna bahwa

setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum,

sebagaimana dirumuskan undang-undang, maka orang tersebut

patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggung jawabkan perbuatanya tersebut dengan pidana

apabila ia terbukti mempunyai kesalahan, seseorang dikatakan

mempuanyai kesalahan apabila dilihat dari perbuatan yang dilakukan

menujukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah

dilakukan orang tersebut.

Ada 2 teori mengenai Pertanggungjawaban pidana, yakni:

a. Teori monistis, teori ini tidak memisahkan antara tindak

pidana dan kesalahan karena kesalahan merupakan unsur

dari tindak pidana, maka berdasarkan atas “tindak pidana

tanpa kesalahan merupakan unsur pertanggung jawaban

pidana.”

b. Teori Dualistis, teori ini memberikan pemisahan secara

tegas antara tindak pidana dan kesalahan, menurut teori

ini kesalahan bukan unsur tindak pidana tetapi kesalahan

merupakan unsur untuk menentukan pertanggung jawaban

6
Bardan Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23

14
pidana. Kesalahan sebagai mens rea harus dipisahkan

dengan tindak pidana, yang mana tindak pidana

merupakan Actus reus sedangkan pertanggungjawaban

hanya berkaitan dengan Mens rea karena pertanggung

jawaban pidana didasarkan atas adanya kesalahan. 7

Jadi secara umum pertanggungjawaban pidana menjurus

kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan

apakah seseorang terdakwa atau tersangka dapat

mempertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang telah ia buat

atau tidak.8

7
Agus Rusianto,Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Asas, Teori, dan Penerapanya, Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016,
hlm. 127.
8
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yokyakarta: Rangkang Education, 2012,
hlm. 45.

15

Anda mungkin juga menyukai