Anda di halaman 1dari 35

KERTAS KERJA PERORANGAN

TINJAUAN YURIDIS ANALISIS PUTUSAN KURUNGAN PENGGANTI

DENDA DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI WILAYAH ZEE

INDONESIA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

TANJUNGPINANG NOMOR 22/PID.SUS-PRK/2020/ PN.TPG

Oleh:
Nama : INTAN LARASATI
Nomor Peserta: 15
Kelas : II

PPPJ ANGKATAN LXXIX TAHUN 2022


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Paradigma penegakan hukum khususnya dalam rangka pemidanaan

di Indonesia sampai saat ini masih bertitik tolak terhadap penegakan

hukum represif yang belum secara optimal menempatkan hukum pidana

sebagai ultimum remidium. Sistem hukum pidana sebagai satu kesatuan

tujuan dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk menerapkan

ketentuan pidana sebagaimana diatur di dalam KUHP dan diluar KUHP

tidak mengatur mengenai tujuan pemidanaan. (WvS) yang diberlakukan

sekarang ini tidak memuat tujuan pemidanaan serta pedoman pemberian

pidana (Straftoemetingsleiddraad) bagi Hakim yang secara eksplisit

mengatur mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Hakim dalam

menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana

(Straftoemetingsregels).

Indonesia sebagai negara kepulauan, memilki sumber daya kelautan

perikanan yang melimpah yang dapat menjadi sumber Kedaulatan

kelautan Indonesia Wilayah perairan Indonesia yang luas dengan sumber

daya kelautan yang besar memiliki arti penting bagi Indonesia karena di

dalamnya terkandung, antara lain, sumber daya perikanan yang memiliki

potensi besar sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru serta menjadi

1
salah satu penghela (prime mover) pembangunan nasional. Sebagai

negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki

perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (75 persen dari total wilayah Indonesia)

yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut teritorial; 2,8 juta km2 perairan

laut nusantara; dan 2,7 juta km2 laut Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

(ZEEI). Kondisi geografis tersebut memberikan tantangan tersendiri

kepada Indonesia dalam rangka menegakkan kedaulatan laut Indonesia.

Luas laut Indonesia tersebut menimbulkan konsekuensi logis

terhadap upaya pihak lain untuk melakukan tindak pidana perikanan di

wilayah Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari Data Tangkapan Tindak

Pidana Kelautan dan Perikanan yang dilakukan oleh Kapal Ikan Asing

sepanjang Tahun 2021 yaitu sebanyak 53 kasus, masing-masing

dilakukan dari negara asal Malaysia sebanyak 22, Vietnam sebanyak 25

dan 6 asal Filipina. Hal tersebut tentu saja menjadi problem yang serius

karena berkaitan dengan kedaulatan laut Indonesia dan upaya penegakan

hukum yang menyangkut warga negara asing.

Pengaturan mengenai penerapan hukum menjadi penting terlebih lagi

apabila tindak pidana perikanan tersebut dilakukan di wilayah ZEE

Indonesia, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan (Undang-Undang Perikanan) menyebutkan bahwa Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan

dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan

2
Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi

dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200

(dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial indonesia.

Jadi luas wilayah laut Indonesia adalah 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta

km2 perairan teritorial dan 2,7 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif

Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan (Undang-Undang Perikanan) menyebutkan bahwa Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan

dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan

Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi

dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200

(dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial indonesia.

Jadi luas wilayah laut Indonesia adalah 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta

km2 perairan teritorial dan 2,7 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif,

secara mutatis mutandis ZEE tersebut memberikan kewenangan tersendiri

bagi negara terkait terhadap penerapan hukum sesuai dengan yurisdiksi

masing-masing.

Politik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana perikanan

telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan (UU Perikanan) serta beberapa peraturan pelaksanaannya

seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Penegakan hukum

3
tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI diatur dalam Pasal 97 ayat (2),

102 UU Perikanan, dan Pasal 104 ayat (1). Pasal-pasal ini merupakan

adopsi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam UNCLOS. Pasal 97 ayat

(2) mengatur mengenai Nakhoda kapal yang mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan

ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu di bagian

tertentu di ZEEI yang membawa penangkapan ikan lainnya dapat dipidana

dengan pidana denda. Pasal 102 UU Perikanan mengatur mengenai tidak

berlakunya pidana penjara di wilayah ZEEI kecuali telah ada perjanjian

antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara yang

bersangkutan.

Konsekuensi Indonesia meratifikasi UNCLOS sebagai payung hukum

pelaksanaan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di

dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan

pengelolaan sumber daya alam laut khususnya mengadopsi peniadaan

pidana penjara di wilayah ZEEI dari Pasal 73 ayat (3) UNCLOS

berdampak pada upaya penegakan hukum pada bidang perikanan,

ketentuan ini mendorong pelaku tidak memenuhi kewajibannya membayar

denda dimaksud, dan dapat meninggalkan tanggungjawabnya begitu saja

terlebih lagi sejak awal penanganan perkara hingga berkekuatan hukum

tetap, terhadap pelaku tidak dapat dilakukan upaya paksa berupa

penahanan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 10 KUHP huruf a

4
Angka 2 mengenai kurungan pengganti denda terhadap diri Terdakwa

apabila pidana denda tidak dibayar. Hal tersebut menjadi problematik

dikarenakan keberhasilan penuntut umum membuktikan dakwaannya tidak

diikuti dengan kemampuan untuk “memaksa” pelaku melaksanakan pidana

denda yang telah dikenai kepadanya namun disatu sisi ketentuan terdapat

ketentuan UNCLOS yang melarang pidana tambahan tersebut.

Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan, dihadapkan pada situasi di

lapangan yang membutuhkan tindakan strategis untuk mengawal dan

memastikan penanganan perkara perikananan mampu memberikan efek

jera terhadap pelaku tindak pidana perikanan namun tetap harus sejalan

dengan ketentuan Internasional, lebih luas lagi tindakan tersebut

diharapkan merupakan sebuah perbuatan nyata yang secara integral

mendukung kedaulatan laut Indonesia yang dapat bermanfaat kepada

masyarakat itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis tertarik

untuk menulis mengenai “TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN KURUNGAN

PENGGANTI DENDA DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI

WILAYAH ZEE INDONESIA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

Tanjungpinang Nomor 22/Pid.Sus-Prk/2020/ PN.Tpg.

B. Rumusan Masalah

5
1. Bagaimanakah pengaturan pemidanaan pelaku WNA yang melakukan

tindak pidana perikanan di ZEEI dalam perspektif hukum nasional dan

internasional ?

2. Bagaimanakan penerapan pemidanaan terhadap pelaku WNA yang

melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI oleh penuntut umum

maupun majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri

Tanjungpinang Nomor 22/Pid.Sus-Prk/2020/ PN.Tpg ?

C. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

a. Untuk meneliti aturan hukum pemidanaan pelaku WNA yang

melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI dalam perspektif hukum

nasional dan internasional

b. Untuk meneliti sejauh mana kewenangan Penuntut Hukum dalam

melakukan dan Hakim dalam menetapkan subsider kurungan

pengganti denda terhadap Terdakwa WNA TP Perikanan di Wilayah

ZEEI dari sisi kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum

2. Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan Kertas Kerja Perorangan

ini adalah:

a. Untuk meningkatkan pemahaman Penulis terkait proses pemeriksaan

perkara agar tidak terjadi putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

6
b. Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk dinyatakan lulus

sebagai Jaksa pada Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa

(PPPJ) Tahun 2022 di Badan Diklat Kejaksaan RI sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) UU RI Nomor 11 Tahun 2021

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINDAK PIDANA PERIKANAN DI WILAYAH ZEEI

1. Tindak Pidana Perikanan

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak

pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.

Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus

dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi

larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh

setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun

peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah 1.

Menurut E. Utrecht menyatakan tindak pidana ialah dengan istilah

peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu

merupakan suatu perbuatan atau sesuatu yang melalaikan maupun

akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan itu) 2.

1
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adityta Bakti,
Bandung. 1996. hlm. 7
2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2005, hlm.20.
20

8
Menurut Vos, tindak pidana adalah salah kelakuan yang diancam oleh

peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya

dilarang dengan ancaman pidana3.

Menurut Chairul Chuda tindak pidana adalah perbuatan atau

serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Selanjutnya,

menurut Chairul Chuda bahwa dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari

perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat

orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan

lain yaitu pertanggungjawaban pidana4.

Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang

diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan

dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab5.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)

bagian, yaitu:

a. Tindak pidana materiil. Pengertian tindak pidana materil adalah

apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai

3
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, 2007, Bandar Lampung, hlm. 81
4
Rahman Syamsuddin Dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, Mitra Wacana
Media, Jakarta, 2014, Hlm. 193
5
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung,2007, hlm. 81.

9
perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa

merumuskan wujud dari perbuatan itu.

b. Tindak pidana formil. Pengertian tindak pidana formil yaitu apabila

tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan

tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu 6.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat

dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif

dan objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri

si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan terma\suk

kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu

harus dilakukan7.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau ketidakengajaan (culpa/dolus).

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

6
Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:
Erosco, hlm. 55-57.
7
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990,
hlm. 184.

10
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan

pemalsuan dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal

340 KUHP.

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Sedangkan

Unsur-unsur objektif suatu tindak pidana adalah:

a. Sifat melanggar hukum.

b. Kualitas si pelaku.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat8.

Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana

adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-

perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang menampakkan daya

berpikir sebagai syarat bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud

hukuman/pidana yang termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman

penjara, kurungan, dan denda9.

8
Ibid., hlm. 184
9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Tresco, Jakarta, 1981,
hlm. 50.

11
Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya ikan10. Tindak pidana di bidang perikanan menurut

UU RI No. 45 tahun 2009 perubahan UU No. 31 tahun 2004 tentang

perikanan (selanjutnya disingkat UU RI tentang perikanan) yang termasuk

delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal

91, Pasal 92, dan Pasal 94, serta Pasal 100A dan Pasal 100B, sedangkan

yang termasuk delik pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90,

Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 100C.

Dalam Undang-Undang Perikanan terdapat dua kategori yang termasuk

dalam tindak pidana perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 103

Undang-Undang Perikanan. Yaitu tindak pidana perikanan yang merupakan

“kejahatan”, serta tindak pidana perikanan yang merupakan “pelanggaran”.

a. Tindak pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat

membahayakan kelestarian sumber daya ikan/lingkungannya.

b. Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkap ikan yang

mengganggu dan merusak sumber daya ikan dikapal perikanan.

c. Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran/kerusakan sumber

daya ikan/lingkungan

d. Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan.

e. Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah.


10
4 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm. 1

12
f. Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang

merugikan masyarakat.

g. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengolahan ikan yang

kurang/tidak memenuhi syarat.

h. Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan/pengeluaran

hasil dari perikanan dari/ ke wilayah negara RI tanpa dilengkapi

sertifikat kesehatan.

i. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/ alat yang

membahayakan manusia dalam melaksanakan pengolahan ikan.

j. Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan

tanpa SIUP

k. Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI

l. Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, SIKPI.

m. Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal

perikanan tanpa izin.

n. Tindak pidana melakukan pendaftaran kapal perikanan.

o. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan

asing.

p. Tindak pidana tanpa memiliki surat persetujuan berlayar.

q. Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah

r. Tindak pidana melakukan usaha perikanan yang tidak memenuhi

ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan.

13
Kejahatan pencurian ikan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: (1)

Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan

wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;

(2) Unregulated fishingyaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau

ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara

tersebut; dan (3) Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di

perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik

operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Praktek terbesar

dalam IUU fishing menurut Kevin Bray pada dasarnya adalah poaching atau

penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan,

atau dengan kata lain, pencurian ikan oleh pihak asing alias illegal fishing

3. Wilayah Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia

Secara umum Zona Ekonomi Eksklusif dapat didefinisikan dengan

“Bagian perairan laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut

teritorial selebar 200(dua ratus mill) laut diukur dari garis pangkal darimana

lebar laut teritorial diukur.”6 Dan definisi umum ini dapat ditarik beberapa

prinsip dasar dari Zona Ekonomi Eksklusif ini, yaitu:

a. Letak zona ekonomi eksklusif ini secara geografis adalah di luar laut

teritorial. Dengan demikian, zona ekonomi eksklusif bukanlah bagian

dari laut teritorialkarena letaknya yang diluar laut teritorial;

b. Letaknya yang secara geografis di luar laut teritorial bukanlah

14
berjauhan dengan laut teritorial, melainkan berdampingan dengan

laut teritorial, ini berarti keduanya dibedakan oleh suatu garis batas.

Garis batas ini ditinjau dari laut teritorial yang merupakan garis atau

batas luar (outer limit) dari laut teritorial itu sendiri.7

c. Lebar dari zona ekonomi eksklusif tersebut adalah 200 mill laut.

Sesuai dengan yang telah disepakati dari negara-negara peserta

dalam Konferensi. Hukum Laut PBB (1973-1982) yang berhasil

diccapai melalui perundingan yang cukup lama.

d. Pengukuran mengenai lebar 200 mill laut tersebut dilakukan dari


garis pangkal. Garis pangkal yang dimaksudkan adalah Garis
pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Garis pangkal itu bisa
berupa. Garis pangkal normal, garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung, ataupun garis pangkal kepulauan (bagi negara kepulauan)

e. Oleh karena itu baik laut teritorial maupun zona ekonomi eksklusif
samasama diukur dari garis pangkal, maka praktis lebar dari zona
ekonomi eksklusif adalah (200-12) mil laut, yakni sebesar 118 mill
laut hal ini disebabkan karena laut sebesar 12 mill laut dari garis
pangkal sudah merupakan laut teritorial yang merupakan wilayah
negara pantai dan tunduk pada kedaulatan negara pantai itu sendiri.
f. Zona Ekonomi Eksklusif dengan demikian bukanlah merupakan
bagian wilayah negara pantai dan, oleh karena itu, tidak tunduk pada
kedaulatan negara pantai. Negara pantai hanya memiliki hak-hak
berdaulat dan yuridiksi yang sifatnya eksklusif pada zona ekonomi
eksklusifnya.
Pasal 55 konvensi menegaskan bahwa zona ekonomi eksklusif
sebagai daerah perairan laut yang terletak di luar dan berdampingan

15
dengan laut teritorial, tunduk pada rezim hukum khusus. Yang
ditetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi
negara pantai. Hak – hak, serta kebebasan-kebebasan negara lain,
diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dari konvensi ini. Rezim
hukum khusus ini tampak dalam kekhususan dari hukum yang berlaku
di pada zona ekonomi eksklusif tersebut sebagai suatu keterpaduan
yang meliputi

1. Hak-hak berdaulat, yuridiksi, dan kewajiban negara pantai;


2. Hak-hak serta kebebasan daru negara-negara lain;
3. Kebebasan-kebebasan laut lepas; dan
4. Kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana ditentukan
dalam konvensi.
Indonesia merupakan negara yang cukup awal dalam meratifikasi

UNCLOS 1982 dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun

1985 pada tanggal 31 Desember 1985. UNCLOS 1982 sangat penting

karena telah memberikan landasan hukum internasional bagi kedudukan

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan. Wawasan Nusantara yang

dideklarasikan pada tahun 1957 pada akhirnya diakui oleh masyarakat

internasional, dan dimasukkan ke dalam Bab IV UNCLOS 1982. Sebagai

negara yang telah meratifikasinya, Indonesia berkewajiban untuk segera

melakukan tindak lanjut dengan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan

hukum internasional tersebut ke dalam peraturan perundang-undangan

nasional.

16
Dua hal yang penting yang berkaitan dengan wilayah kedaulatan dan

yurisdiksi negara di laut adalah Penetapan Batas-Batas Terluar dari Berbagai

Zona Maritim yang Berada di Bawah Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara

Untuk itu pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-

undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk

menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1960. Melalui Pasal 2 undang-undang tersebut untuk pertama kalinya

Indonesia menetapkan dirinya sebagai suatu negara kepulauan.

Lebih jauh Undang-undang tersebut juga telah menempatkan bagian

penting dari Deklarasi Djuanda 1957 dalam Pasal yang sama, yang berbunyi:

“Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau

atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Indonesia, dengan tidak

memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah

daratan Negara Republik Indonesia, sehingga merupakan bagian dari

perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Indonesia”.

Pasal 6 undang-undang tersebut menetapkan bahwa garis-garis

pangkal lurus kepulauan Indonesia dicantumkan dalam peta dengan skala

atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat

pula dibuat daftar titik- titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci

datum geodetiknya. Peta atau daftar koordinat geografis tersebut lebih lanjut

diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar

Koordinat Geografis Titik- Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Kurang

17
lebih satu dekade sebelum UNCLOS 1982 mulai berlaku, Indonesia telah

mengumumkan juga Undang- undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak

berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Pelaksanaan lebih lanjut Undang-undang ini diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pengaturan tentang perikanan

secara umum kemudian dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 9

Tahun 1985 tentang Perikanan beserta peraturan pelaksanaannya, yang

sejak berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengalami

beberapa kali perubahan, khususnya dalam pengaturan tentang usaha

perikanan termasuk di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. DPR mencoba

untuk mengubah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tersebut melalui

mekanisme hak inisiatif dan telah berhasil menyusun Undang-undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-

undang Nomor 45 Tahun 2009.

Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat

untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai

suatu negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan 11:

11
Etty.R.Agoes,”Beberapa ketentuan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut 1982 yang
berkaitan dengan Hukum Maritim,” Fakultas Hukum UNPAD, hlm 9-11

18
1. Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal

kepulauannya;

2. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.

Adapun beberapa peraturan perundang-undangan lain yang memuat

tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan

Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

2. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 60/Men/2001

Tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia.

3. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

Kep.60/MEN/2001 Tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan

di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

4. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang

menyatakan bahwa wilayah perikanan Indonesia termasuk dalam

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2002 tentang Hak dan

Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui

Perairan Indonesia yang menyatakan tentang hak dan kewajiban

kapal asing untuk melaksanakan Hak Lintas Damai di wilayah zona

ekonomi eksklusif Indonesia.

19
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.04/ 2007 tentang

Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Hasil Laut Yang Ditangkap

Dengan Sarana Penangkap Yang Telah Mendapat Izin dinyatakan

bahwa impor hasil laut yang ditangkap dan diambil dengan sarana

penangkap dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diberikan

pembebasan bea masuk.

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05/MEN/2008

tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Presiden RI Nomor

109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat

Tumpahan Minyak di Laut yang menyatakan bahwa prosedur

penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut

termasuk di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

B. SISTEM HUKUM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WNA

Penegakan hukum dalam bahasa belanda disebut dengan

rechtstoepassing atau rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law

enforcement, meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro. Bersifat

makro mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan

bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses

pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan,

20
penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap12.

Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan

secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang

dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun

non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.

Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti

akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang 13.

Pengertian penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto penegakan

hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup 14.

Permasalahan terpenting dari adanya wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia (ZEEI) adalah aspek “law enforcement” atau penegakan

hukumnya. Penegakan hukum (law enforcement) disini diartikan sebagai


12
Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,
Refika Editama, Bandung, 2008, hlm. 87.
13
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm. 109
14
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Press, Jakarta, 2004, hlm. 3

21
bagian dari jurisdiksi negara. Jurisdiksi dimaksud meliputi dan mempunyai

pengertian yang antara lain adalah15:

1. Jurisdiksi of legislation atau jurisdiction to prescribe (wewenang

membuat aturan-aturan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan,

2. Jurisdiction to enforce the law (wewenang menegakkan aturan hukum

yang berlaku

Penegakan Hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan

melalui proses peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dimana setiap bentuk tindak

pidana yang terjadi ditangani melalui tahapan Pre Adjukasi: pada tahapan ini

Lembaga atau Instansi Penegak Hukum yang terlibat secara langsung yaitu

penyidik (Polisi, Angkatan Laut, dan Penyidik PNS) serta Jaksa (Kejaksaan).

Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakan hukum

terhadap tindak pidana illegal fishing antara lain sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

2. UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil serta aturan pelaksanaan lainnya seperti: peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan.

15
M.John, dkk., Perlindungan Terhadap Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin Tuna) Dari
Illegal Fishing Dalam ZEEI di Samudera Hindia, Jurnal Mahkamah Vol. 19 No. 1, April 2007,
hlm. 86.

22
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi

Sumberdaya Ikan

4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan penelitian dan Pengembangan Perikanan

5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 13/MEN/2005

tentang forum koordinasi penanganan tindak pidana di bidang

perikanan

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005

tentang komisi nasional pengkajian Sumber Daya Ikan

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005

tentang penagkapan ikan di Wilayah pengelolahan perikanan Republik

Indonesia yang bukan untuk Tujuan Komersial

Berdasarkan Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang

sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajian teori ini pada perlindungan

hukum yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang didasarkan

pada teori ini, yaitu masyarakat yang berada pada posisi yang lemah, baik

secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis. Pada dasarnya, teori

perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan pemberian pelayanan

kepada masyarakat. Roscou Pound mengemukakan hukum merupakan alat

rekayasa sosial (law as tool of sosial engginering) bahwa kepentingan

23
manusia, adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam

bidang hukum16.

Soetjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah

adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam

kepentingannya tersebut. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu

sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan

perlindungan atau pengayoman kepada masyarakat. Oleh karena itu,

perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam

bentuk adanya kepastian hukum17.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, hal ini secara eksplisit tertuang

dalam Pasal 2 KUHP, “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia

berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam

Indonesia. Berdasarkan asas berlakunya hukum pidana suatu negara, pada

umumnya yang dianut oleh semua negara didunia adalah asas territorial.

Menurut Moeljatno, asas ini di artikan perundang-undangan hukum pidana

suatu negara berlaku bagi semua orang yang melakukan perbuatan pidana
18
di negara tersebut, baik oleh warga negaranya sendiri maupun warga

negara asing.

16
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Depok : RajaGrafindo, 2013), hlm. 259
17
Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 121.
18
Moeljatno, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2009, Hal. 38

24
Dalam penerapannya, asas teritorial tidak berlaku mutlak karena masih

ada pengecualian-pengecualian yang ada dalam hukum internasional dan

diakui oleh hukum internasional dan hukum nasional 19. Pengecualian-

pengecualian tersebut meliputi kepala negara atau kepala pemerintahan

negara asing beserta keluarganya yang berada di daerah yang

dikunjunginya, duta atau duta besar, konsuler, anggota angkatan perang

negara asing yang keberadaannya memiliki izin dari pemerintah Indonesia,

perwakilan organisasi internasional, Gedung atau kantor kedutaan atau

perwakilan, kendaraan kedutaan, dan kapal perang atau pesawat tempur

yang memiliki izin dari pemerintah Indonesia 20.

Tindak pidana dibidang perikanan oleh warga negara asing telah diatur di

dalam Undang-Undang Perikanan dengan sanksi yang bersifat kumulatif,

yaitu pidana penjara dan pidana denda. Akan tetapi ketentuan mengenai

pidana penjara terhadap warga negara asing tidak dapat diberlakukan

apabila tempat terjadinya tindak pidana merupakan wilayah Zona ekonomi

Ekslusif Indonesia (ZEEI), hal ini di atur dalam Pasal 102 Undang-Undang

Perikanan yang menyatakan:

“Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak

berlaku bagi tindak pidana dibidang perikanan yang terjadi di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud


19
Nunung Mahmuudah, 2015, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Wilayah Perairan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm 19.
20
Nunung Mahmuudah, 2015, Illegal Fishing Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Wilayah Perairan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm 19-20

25
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara

Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Negara yang

bersangkutan”.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perikanan: (1) Wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan meliputi:

a. Perairan Indonesia;

b. ZEEI; dan

c. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat

diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah

Republik Indonesia.

UNCLOS 1982 pada Pasal 62 juga telah diatur ketentuan sebagai berikut:

Warga Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus

mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan

perundang-undangan ini harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan

dapat meliputi, antara lain hal-hal berikut :

a. pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya,

termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal

Negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di

bidang pembiayaan, peralatan dan teknologi yang bertalian dengan

industri perikanan;

26
b. penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kuota

penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau

kelompok persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah

yang dapat ditangkap oleh warganegara suatu Negara selama jangka

waktu tertentu;

c. pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah

alat penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal

penangkap ikan yang boleh digunakan;

d. penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn boleh ditangkap;

e. perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan,

termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan

tentang posisi kapal;

f. persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan Negara pantai,

dilakukannya program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan

pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan,

disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan;

g. penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh Negara

pantai;

h. penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di

pelabuhan Negara pantai;

i. ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau

pengaturan kerjasama lainnya;

27
j. persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan,

termasuk peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset

perikanan;

k. prosedur penegakan hukum

BAB III

PEMBAHASAN

A. KASUS POSISI

Pada hari Senin tanggal 20 April 2020 sekira pukul 06.43 Wibterdakwa

selaku Nahkoda Kapal KM. BD 30919 TS melakukan kegiatan

penangkapan ikan pada posisi koordinat 03°45.730’ LU - 104° 46.629’ BT

28
di Wilayah Perairan WPP NRI ZEEI Laut Natuna Utara yang merupakan

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dengan

menggunakan alat tangkap bouke ami atau jarring cumi yang

dioperasikan dengan menggunakan 1 (satu) kapal. Pada prinsipnya

jarring membentuk lingkaran /kantong dibawah permukaan air, yang

digunakan untuk menangkap gerombolan ikan jenis cumi-cumi dan sotong

dipermukaan perairan. Adapun cara pengoperasian alat tangkap ini

pertama-tama yang dijatuhkan adalah badan jaring, lampu seluruhnya

dalam kondisi hidup semua. Sambil membuang jaring (Setting) kapal

secara perlahan-lahan bergerak membentuk lingkaran. Setelah jarring

membentuk lingkaran maka segera ditarik tali kerut untuk menutup bagian

bawah atau kantong jaring. Pada saat itu hanya satu lampu saja yang

hidup mengarah kearah jaring. Jaring dibawah air hanya sekitar 10

(Sepuluh) menit. Kemudian jaring diangkat (Hauling) ke atas kapal.

Selanjutnya hasil tangkapan dipisahkan diatas dek kapal dan selama

kegiatan pengoperasian alat tangkap bouke ami atau jarring cumi tersebut

semua dibawah kendali terdakwa selaku nakhoda. Bahwa ketika terdakwa

sedang melakukan kegiatan penangkapan ikan, kapal terdakwa

dihentikan oleh KP. ORCA 03 yang sedang berpatroli kemudian saksi LA

YUNAN dan saksi IDIL ARDIANSYAH, A.Md. Pi masing-masing

merupakan Anggota Tim Pemeriksa pada KP. ORCA 03 naik ke atas KM.

BD 30919 TS yang di Nahkodai oleh terdakwa dan dari hasil pemeriksaan

29
diatas kapal diketahui bahwa kapal tersebut telah melakukan kegiatan

penangkapan ikan secara illegal dan tanpa dilengkapi dokumen -

dokumen yang sah dari Pemerintah Indonesia yaitu terdakwa tidak

memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), selain itu ditemukan alat

tangkap ikan jenis jaring cumi dan cumi – cumi didalam palka KM. BD

30919 TS yang jumlahnya lebih kurang lebih 20 Kg dan ikan campur

kurang lebih 5 (lima) kg.

B. FAKTA DAN ANALISA YURIDIS

1. ANALISA FAKTA

Terdakwa NGUYEN VAN PHUNG selaku Nahkoda Kapal KM. BD 30919

TS merupakan kapal penangkap ikan asing, pada hari Senin tanggal 20 April

2020 sekira pukul 06.57 Wib atau setidak-tidaknya dalam bulan April tahun

2020, bertempat di Wilayah Perairan WPP NRI ZEEI Laut Natuna Utara pada

koordinat 03°45.730’ LU-104° 46.629’ BT melakukan Tindak Pidana

Perikanan di wilayah ZEE Indonesia.

Penuntut umum mendakwa dengan dakwaan alternatif yaitu:

a. Dakwaan pertama Pasal 92 Jo Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang RI No.

45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun

2004 Tentang Perikanan Jo Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo Pasal 102

Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No.45 Tahun 2009 tentang

30
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan.

b. Dakwaan kedua Pasal 93 ayat (2) jo Pasal 27 ayat (2Undang-

Undang RI No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Jo Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo

Pasal 102 Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.45 Tahun 2009

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan.

Penuntut umum membuktikan dan menuntut dengan dakwaan

alternative kedua Pasal 93 ayat (2) jo Pasal 27 ayat (2Undang-Undang RI

No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31

Tahun 2004 Tentang Perikanan Jo Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo Pasal 102

Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No.45 Tahun 2009 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan, Diputus majelis hakim sesuai dengan pasal yang dituntut oleh

penuntut umum dan menjatuhkan pidana denda sejumlah

Rp.150.000.000,- (Seratus lima puluh juta rupiah) namun terdapat

perbedaan tuntutan subside pidana denda dalam putusan a quo yang

dalam hal ini apabila pidana denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti

dengan denda pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

31
2. ANALISA YURIDIS

Pengaturan mengenai ZEEI secara yuridis telah diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia (UU ZEEI), pembentukan UU ZEEI secara yuridis merupakan

perwujudan perluasan atas wilayah laut khususnya tentang keadaan ekonomi

dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestarian wilayah ZEEI, sehingga

upaya meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan

sumber daya alam laut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982

dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan

Konvensi Hukum Laut 1982. Hal yang menarik yaitu adanya perbedaan

putusan mengenai pidana denda di wilayah ZEEI. Ada putusan yang hanya

menjatuhkan pidana denda dan ada putusan yang menjatuhkan pidana

kurungan pengganti denda. Hal ini tentunya terkait dengan pasal 102 UU

Perikanan yang mengatur mengenai tidak berlakunya pidana penjara di

wilayah ZEEI kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Indonesia

dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Pasal ini kemudian diperkuat

dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 2015 yang menyatakan tidak

berlakunya pidana kurungan pengganti denda dalam perkara Illegal FishiNG

Masih menjadi perdebatan tentang penerapan pidana pengganti denda dapat

diterapkan terhadap para warga negara asing sebagai pelaku illegal fishing di

38 wilayah ZEE Indonesia, Pasal 73 ayat (3) dalam UNCLOS dan Pasal 102

32
UU Perikanan tidak akan bertentangan dengan penerapan pidana kurungan

pengganti denda berdasarkan penafsiran kata imprisontment dan corporal

punishment apabila dihubungkan dengan kata “pidana penjara” pada

undang-undang perikanan. Arti kata “Imprisontment” sendiri tidak dijelaskan

dalam Pasal-pasal UNCLOS dan mengatur ketentuan alternatif dalam

hukuman berbeda apabila Terpidana tidak dapat atau tidak mampu

membayar denda tersebut. Imprisonment dapat dikategorikan sebagai

“pidana penjara” sebagaimana dalam konsep imprisonment dalam beberapa

aturan pidana di berbagai negara, seperti dalam Pasal 38 dan 39 KUHP

Jerman, Pasal, 13 angka1 KUHP Perancis dan Pasal 9 Ayat (1) huruf a

angka 1 KUHP Belanda. Sedangkan corporal punishment adalah hukuman

yang berbentuk fisik langsung ataupun dapat dikatakan dengan hukuman

kontak fisik langsung. Berdasarkan Black’s Laws Dictionary dan Merriem

Webster sama halnya menafsirkan pidana badan dan pidana penjara

berbeda, demikian juga dengan pidana alternatif kurungan pengganti denda.

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia tidak mengadopsi tentang pidana

badan. Namun, dalam Hukum Islam pidana badan tersebut diterapkan.

Sebagai contoh dalam perkara pembunuhan yang kemudian akan dihukum

pancung dan potong tangan dalam perkara pencurian. Mengingat wilayah

Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah laut yang diberikan kepada Negara

Pantai dengan hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada didalamnya

untuk kepentingan ekonomi secara eksklusif dan berhak menggunakan

33
kebijakan hukumnya namun tidak secara penuh karena merupakan laut

internasional yang bukan milik negara pantai secara penuh dan harus tetap

tunduk kepada UNCLOS sebagai Hukum Internasional.

34

Anda mungkin juga menyukai