Anda di halaman 1dari 22

Pemikiran Pendidikan Islam

Al-Ghazali dan Imam Zarkasyi

A. Pendahuluan
Dalam catatan sejarah, eksisitensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam
pertama kali diturunkan. Ayat al-Qur’ān yang pertama kali diturunkan
behubungan langsung dengan pendidikan, yaitu perintah untuk membaca (iqra’).
Ayat ini jelas mengandung nilai filosofi yang menjadi dasar bagi kegiatan
pendidikan.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, selain al-Qur’ān hadis pun
mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan Islam. Dan dengan semakin
kompleksnya tuntutan kehidupan umat Islam, maka ruang lingkup pendidikan
Islam berkembang pesat, dengan tumbuhnya berbagai disiplin ilmu seputar kajian
ajaran Islam.
Berdasarkan hal tersebut, upaya membongkar dasar-dasar pemikiran
pendidikan Islam merupakan suatu hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut,
terutama sebagai bahan perbandingan dalam merekorontruksi sistem pendidikan
Islam yang lebih baik lagi di masa yang akan datang..
Berikut akan dipaparkan pemikiran pendidikan Islam dari dua tokoh,
Imam Al-Ghazali dan Imam Zarkasyi. Dimulai dari biografi singkat keduanya,
dan kemudian pemikiran mereka tentang pendidikan Islam.

B. Pemikiran Pendidikan Imam Al-Ghazali


1. Biografi Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin At-Tusi Al-Ghazali. Lahir di desa Gazalah, di Tus, sebuah kota
di Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M dari keluarga yang religius.
Ayahnya, Muhammad, diluar kesibukannya sebagai seorang pemintal dan
pedagang kain wol, selalu meluangkan waktunya untuk menghadiri majelis-
majelis pengajian yang diselenggarakan ulama. Nama al-Ghazali terkadang
ditulis dan diucapkan dengan kata al-Ghazzali (dua huruf z), kata ini diambil dari

1
2

kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya
memintal benang wol. Adapun kata al-Ghazali (satu huruf z) diambi dari kata
Ghazalah, yaitu nama perkampungan tempat al-Ghazali dilahirkan. 1 Dia adalah
pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam),
hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan
pembaharu agama.
Al-Ghazali memulai pendidikannya diwilayah kelahirannya, Tus dengan
mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Beliau belajr fiqh dari Abu Hamid Ahmad
Ibn Muhammad at-Tusi ar-Radzkani, lalu berangkat ke daerah Jurjan sebuah kota
di Persia yang terletak diantara kota Tabristan dan Nisabur dan berguru pada Abu
Al-Qasim Isma’il bin Mus’idah Al-Isma’ili (Imam Abu Nasr Al-Isma’ili).
Kemudian ia melakukan perjalanan ke Nisabur dan tinggal di Madrasah
Nidhamiyah, pimpinan al-Haramain al-Juwaini (Imam Abu Al-Ma’ali Al-Juwani)
dan belajar padanya dalam ilmu fiqih, ilmu debat, mantik, filsafat, dan ilmu
kalam.2
Selain itu, Al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu
Imam Yusuf an-Nassaj dan Imam Abu Ali Al-Fadl bin Muhammad bin Ali Al-
Farmazi at-Tusi. Ia juga belajar hadits kepada banyak ulama hadits, seperti Abu
Sahal Muhammad bin Ahmad Al-Hafsi al-Marwazi, Abu Al-Fath Nasr bin Ali
bin Ahmad Al-Hakimi at-Tusi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-
Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i az-Zauzani, Al-Hafiz
Abu Al-Fityan Umar bin Abi Al-Hasan ar-Ru’asi Ad-Dahistani, dan Nasr bin
Ibrahim Al-Maqsidi.
Setelah gurunya, al-Juwaini, meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan
Nisabur menuju Istana Nidzam al-Mulk yang menjadi perdana menteri Sultan
Bani Saljuk. Kediaman Nidzam al-Mulk merupakan sebuah majelis pengajian,
tempat ulama bertukar pikiran. Nidzam al-Mulk kagum terhadap pandangan-

1
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2009), 219.
2
Ibid.
3

pandangan Al-Ghazali sehingga ia diminta untuk mengajar di Madrasah


Nizamiyyah Baghdad. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091.3
Empat tahun kemudian, ia meninggalkan Baghdad untuk menunaikan
ibadah haji.4 Kemudian beliau menuju Syam, hidup dalam Jami’ Umawy dengan
kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir
untuk melatih diri untuk menjauhi barang-barang terlarang, meninggalkan
kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan
penghayatan agama.5 Setelah itu, ia kembali lagi ke Baghdad untuk meneruskan
kegiatan mengajarnya. Selanjutnya, ia berangkat ke Nisabur dan ke kampung
halamannya, Tus. Ia wafat di kampung halamannya pada tahun 505 H atau 1111
M.6

2. Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali


Dalam memahami konsep pendidikan al-Ghazali kita perlu memahami
tentang berbagai aspek-aspek pendidikan yang telah dijelaskan oleh al-Ghazali
dalam berbagai karyanya. Dr. Abduddin Nata dalam bukunya Pemikiran Para

3
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 2003), 83.
4
Kepergiannya ini, konon dikarenakan Al-Ghazali telah mulai terserang penyakit syak (keraguan).
Ia syak pada pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, karena panca indera terkadang
berdusta. Ia juga syak terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran akal, karena dalam
pemikiran itu akal mempergunakan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera sebagai
bahan. Dan bahan itu disyaki kebenarannya. Penyakit syak di dalam hati ini menimbulkan
penyakit jasmani dalam dirinya. Al-Ghazali tidak bisa berbicara lagi sebagaimana semula,
karenanya ia tidak sanggup lagi memberikan kuliah-kuliah. Kemudian ia pergi ke Damaskus, lalu
beri’tikaf di Masjid Umawi. Disini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin,
meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa. Jalan sufi yang ditempuh Al-Ghazali di
akhir masa hidupnya menghilangkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya.
Keyakinan yang dulu hilang, kini ia peroleh kembali. Tingkat ma’rifat yang terdapat dalam
tasawuf, menurutnya, adalah jalan yang membawa kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat
diyakini.
5
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 84.
6
Ibid, 85.
4

Tokoh Pendidikan Islam membagi ke dalam lima aspek; tujuan pendidikan,


kurikulum, metode, etika guru, dan murid.7

a. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia
memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan
menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi
terhadap pemikiran al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia
dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka
sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan
itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan
masalah duniawi.8
Dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali tampak
bahwa corak pendidikan yang dikehendaki oleh al-Ghazali adalah corak
pendidikan yang agamis. Namun demikian beliau juga tidak mengabaikan
masalah-masalah keduniaan. Hanya saja dalam pandangannya dunia
merupakan kebun untuk menuju kehidupan yang kekal abadi atau kehidupan
akhirat yang lebih utama.
Selain bercorak religi konsep pendidikan al-Ghazali juga cenderung
pada sisi keruhanian. Sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak
Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan
insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat
kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur
ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat manusia bahagia di dunia dan

7
Ibid, 86.
8
Ibid.
5

mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat


kelak.9
Dari ungkapan diatas dapat kita fahami bahwa ilmu merupakan modal
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan ilmu adalah amal yang utama.

b. Kurikulum
Konsep kurikulum al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya tentang
ilmu pengetahuan. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di
dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan.
Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya
maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
2. Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu
agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang
suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
3. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karena
dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.10
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi
dua bagian dilihat dari kepentingannya, yaitu:
1. Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu
ilmu agama.
2. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu
dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung,
kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.11

9
Ibid, 87.
10
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
216.
11
Ibid, 217.
6

Dalam menyusun kurikulum pelajaran, al-Ghazali memberi perhatian


khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya
terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat.
Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai
berikut:
Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini
membuat al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan
memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya
dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka al-Ghazali
sangat mementingkan pendidikan wtika, karena menurutnya ilmu ini
berkaitan erat dengan ilmu agama.12
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam
karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu
berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun
untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat
bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu
harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.13

c. Metode
Mengenai metode pendidikan Al-Ghazali lebih menekankan pada
metode pengajaran agama pada anak-anak. Berdasarkan prinsipnya bahwa
pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara
guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan merupakan faktor
utama dalam metode pendidikannya.

d. Kriteria Guru Yang Baik


Menurut Al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang
guru yang baik juga harus baik akhlak dan kuatfisiknya. Dengan

12
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 93.
13
Ibid.
7

kesempurnaan akalia dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara


mendalam, dan dengan akhal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang guru menurut Al-Ghazali juga harus
memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak
menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi sebagai pengarah dan
penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh
membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia
menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus
menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan,
cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil sebagai teladan
atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga harus memiliki
prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara individual dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat erbedaan yang dimiliki muridnya.
Seorang guru juga harus mampu memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan
kejiwaan muridnya sesuai dengan perbedaan tingkat usianya. Dan yang
terakhir seorang guru yang baik harus berpegang teguh pada prinsip yang
diucapkannya, serta berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.14
Dari sifat-sifat diatas tampak bahwa sifat-sifat diatas masih relevan
dan sejalan dengan pendidikan saat ini.

e. Kriteria Murid Yang Baik


Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
sehingga bernilai ibadah. Untuk menurut Al-Ghazali seorang murid yang baik
harus memiliki sifat :
1. Berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat
tercela lainnya.

14
Ibid, 95-99.
8

2. Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi


keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu
lancarnya penguasaan ilmu.
3. Rendah hati dan tawadhu’.
4. Khusus bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang
berlawanan atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
5. Mendahulukan mempelajari yang wajib.
6. Mempelajari ilmu secara bertahap.
7. Tidak mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu
sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara
alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian yang lain.
8. Seorang murid juga harus mengenal nilai dari setiap ilmu yang
dipelajarinya.15

C. Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi


1. Biografi KH. Imam Zarkasyi
K.H. Imam Zarkasyi lahir di desa Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21
Maret 1910 M. Belum genap usia beliau 16 tahun, Imam Zarkasyi muda mula-
mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya,
seperti pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegal sari. Setelah
menyelesaikan studi di Sekolah Ongkoloro (1925), beliau melanjutkan
studinya di Pondok Pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama beliau
juga belajar di Sekolah Mamba’ul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama
ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin
oleh K.H. M. O. Al-Hisyami, sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-
sekolah tersebut (terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah) beliau sangat tertarik
dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab.
Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi dan
mengarahkan Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik

15
Ibid, 99-101.
9

dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah


Perancis di wilayah penjajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi
meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat,
sampai tahun 1935.
Setelah tamat belajar di Kweekschool, beliau diminta menjadi direktur
Perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi
hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu
tahun (tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi,
tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah
menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi yang dinilai oleh Mahmud Yunus
memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat
bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Di samping itu, kakaknya
Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di
Gontor tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada di luar
lingkungan pendidikan Gontor.
Setelah menyerahkan jabatannya sebagai direktur Pendidikan
Kweekschool kepada Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi kembali ke Gontor.
Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor
sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi segera
memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatu-l
Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Selanjutnya pada tahun 1943 beliau diminta untuk menjadi kepala
Kantor Agama Karesidenan Madiun. Pada masa pendudukan Jepang, beliau
pernah aktif membina dan menjadi dosen di barisan Hizbullah di Cibarusa,
Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka, Imam Zarkasyi juga aktif dalam
membina Departemen Agama R.I. khususnya Direktorat Pendidikan Agama
yang pada waktu itu menterinya adalah Prof.Dr.H.M.Rasyidi. Tenaga dan
pikirannya juga banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan ketika Ki Hajar Dewantoro menjabat sebagai menterinya.
10

Jabatan-jabatan penting lainnya yang diduduki Imam Zarkasyi di


tengah kesibukannya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Gontor adalah
sebagai Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dari anggota Komite
Penelitian Pendidikan pada tahun 1946. Selanjutnya selama 8 tahun (1948-
1955) ia dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Islam
Indonesia (PGII) yang sekretarisnya waktu itu dipegang oleh K.H.E.Z.
Muttaqin. dan selanjutnya beliau menjadi penasehat tetapnya.
Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian
Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama
(1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua
Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A)
Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan
Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Imam
Zarkasyi diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden
Soekarno.
Dalam percaturan internasional, Imam Zarkasyi pernah menjadi
anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet,
pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam
Mu’tamar Majma’ Al-Bunuth al-Islamiyah (Mu’tamar Akademisi Islam se-
Dunia), ke-7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, ia juga menjadi
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.
Pada tanggal 30 April 1985 pukul 21.00 WIB beliau meninggal dunia
di Rimah Sakit Umum madiun.beliau meninggalkan seorang istri dan 11 orang
putra-putri.
Selain dikenal sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan
politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga ternyata seorang ulama yang
produktif dalam bidang tulis-menulis. Dalam kaitan ini, beliau banyak sekali
meninggalkan karya ilmiah yang hingga saat ini masih dapat dinikmati. Ini
sesuai dengan niatan beliau pada awwal dibukanya KMI tahun 1936, beliau
11

berkata: “seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan
mengajar dengan pena.”16
Di antara karya tulis Imam Zarkasyi adalah Senjata Penganjur dan
Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam. Ketiga
buku tersebut ditulis bersama K.H. Zainuddin Fannani. Selanjutnya ia menulis
Ushuluddin (pelajaran Aqo’id atau Keimanan), Pelajaran Fiqih I dan II,
Pelajaran Tajwid, Bimbingan Keimanan, Qowaidul imla’, Pelajaran Bahasa
Arab I dan II berikut kamusnya, Tamrinat I, II dan III, beserta kamusnya dan
buku-buku pelajaran lainnya.
Selain itu Imam Zarkasyi juga menulis beberapa petunjuk teknik bagi
para santri dan guru di Pondok Darussalam Gontor dalam berbagai masalah
yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode
mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangan beliau hingga kini
masih dipakai di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan pondok-
pondok pesantren alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.

2. Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi


K.H. Imam Zarkasyi bersama dengan dua orang saudaranya merintis
suatu lembaga pesantren yang bercorak modern sehingga dapat dikategorikan
sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam. Dr. Abduddin Nata dalam
bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam membagi konsep
pembaharuan pemikiran K.H. Imam Zarkasyi ke dalam empat bidang, yaitu
pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum
pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan
kebebasan pesantren.17 Keempat konsep pembaharuan Pemikiran Imam
Zarkasyi ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:

16
Muhammad Arwani, Denyut Nadi Santri, sebuah upaya memaknai kegiatan santri Gontor,
(Tajidu Press, Yogyakarta, Cet. I, Desember 2001), 41. Lihat juga kenang-kenangan peringatan
delapan windu 1990, (Gontor: 1990), hal. 17.
17
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 205.
12

a. Pembaharuan Metode dan sistem Pendidikan


Walaupun Gontor dinilai sangat konsekwen memegang ajaran az-
Zarnuji tetapi sistem pengajaran dan pendidikan berbeda. Dalam hal ini az-
Zurjani mengenalkan sistem “individual” dan cara “halaqah”. Dan hal ini
bertentangan dengan metode dan sistem pendidikan yang diterapkan di
Gontor yaitu sistem pendidikan “klasikal” yang terpimpin secara
terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang
ditetapkan.18 Sistem “klasikal” ini dinilai sebagai bentuk pembaharuan
dikarenakan sistem pendidikan dan pengajaran berbeda dengan pesantren
model lama.19 Hal ini ditempuh oleh Imam Zarkasyi dalam rangka
menerapkan efisiensi dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan
biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat menghasilkan produk yang
besar dan bermutu. Keinginan untuk memperbaiki prosedur-prosedur
pengajaran agar menjadi lebih efektif, tidak dapat tidak menghendaki
adanya sejumlah perombakan terhadap sistem pengajaran yang selama ini
dianut oleh pesantren tradisional.
Di samping dengan menggunakan sistem “kasikal”, Imam Zarkasyi
juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kaitan ini para
santri memiliki kegiatan lain di luar jam pelajaran, seperti olahraga,
kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan
Inggris), pramuka dan organisasi pelajar. Semuanya ini dijadikan sebagai

18
Dalam sistem “pondok pesantren”, sistem belajarnya adalah perseorangan, yaitu guru-mengajar
murid satu persatu, sedangkan sistem “madrasah” guru mengajar kelas dengan mata pelajaran yang
sudah ditentukan. Sistem klasikal disini bukan secara langsung diartikan sebagai sistem madrasah
ataupun sistem individu tadi. Tapi yang dimaksud disini adalah perpaduan antara model lama
(baca: individu dan halaqah) dan model baru (baca: madrasah) dan inilah yang dimaksud dengan
Pondok Modern (artinya: Pondok = sistem lama dan Modern = sistem baru).
19
Ini adalah salah satu dari perbedaan ta’limul al-muta’allim versi az-Zarnuji dan ta’limul al-
muta’allim versi Imam Zarkasyi. Jika kita mempelajari ta’limul al-muta’allim az-Zurnaji orang
mempunyai kesan bahwa az-Zurnaji adalah pengikut suatu tarekat tertentu hingga dengan
demikian banyak sekali amalan-amalan do’a yang harus dilakukan santri. Dan hal ini tidak
dilakukan Imam Zarkasyi. Juga az-Zurnaji menekankan pembelajaran ilmu agama, sedang Imam
Zarkasyi mencanangkan belajar ilmu agama 100% dan ilmu sekuler (baca: penegetahuan umum)
100%.
13

kegiatan ekstra kurikuler dalam wadah sistem pesantren yang


diselenggarakan oleh santri sendiri (student government).20 Dalam
mengerjakan semua aktivitas itu, santri diharuskan tetap tinggal di pondok
pesantren (boarding school).
Sistem asrama (pesantren), tetap dipertahankan oleh K.H. Imam
Zarkasyi, karena selain untuk tidak meninggalkan ciri khas pesantren, juga
dimaksudkan agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina dan
dikembangkan secara lebih efisien dan efektif.
Sehubungan dengan pencapaian tujuan dan berjalannya sistem
pendidikan tersebut, maka di Gontor jam-jam belajar diatur secara ketat,
bahkan untuk ini para santri tidak diperkenankan memasak sendiri. Hal ini
dimaksudkan untuk menghemat waktu. Kegiatan para santri sehari-hari
diawali dengan bangun pagi, sembahyang subuh secara berjamaah dan
membaca al-Qur`an. Usai mengaji dilanjutkan dengan latihan berbahasa
lnggris yang dilakukan oleh para tutor (baca: pengurus), yaitu para santri
senior. Setelah itu para santri segera harus menyiapkan waktu untuk
belajar di kelas, mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.30 dengan
istirahat sebanyak dua kali. Keluar dari kelas semua santri harus shalat
Dzuhur berjamaah di Masjid, dilanjutkan dengan makan siang. Pukul
14.00 tepat bel berbunyi lagi untuk menandai kegiatan pelajaran kelas
yang kedua kalinya bagi santri kelas IV ke bawah yang dibimbing oleh
santri senior (baca: kelas V dan VI) selama satu jam.21 Setelah shalat
Ashar berjamaah santri baru diperbolehkan melakukan kegiatan
ekstrakurikuler seperti olahraga, kesenian, keterampilan dan sebagainya.
Untuk ini mereka bebas memilih kegiatan sesuai dengan minat dan bakat
yang dimilikinya masing-masing.

20
Hal yang keorganisasian yang di selenggarakan santri sendiri dan untuk santri ini dinamai
dengan zelp berdruiping systeem (sama-sama membayar dan sama-sama memakai), tetapi bukan
dalam artian komunis.

Perlu diketahui kegiatan pelajaran sore (tambahan) ini juga termasuk kegiatan ektra kurikuler
21

meskipun resmi dilakukan dalam kelas.


14

Pola dan irama kegiatan pesantren yang demikian padat itu terus
berlangsung di Pondok Modern Gontor hingga saat ini, dan hal itu
berlangsung secara alamiah dengan disiplin yang ketat, tanpa ada
peraturan tertulis. Dalam pandangan K.H. Imam Zarkasyi, peraturan harus
diproses menjadi bagian dari kualitas kesadaran, pikiran dan naluri atau
dlomir (baca: hati kecil) yang seharusnya dijadikan pedoman santri untuk
membangun kehidupan sosialnya di dalam pesantren. Perpaduan antara
day school system dengan sistem asrama yang diterapkan K.H. Imam
Zarkasyi secara sekilas memang kelihatan menghilangkan satu elemen
penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu pengkajian kitab-
kitab Islam klasik yang sering disebut Kitab Kuning. Namun dalam
kenyataan kesan dan asumsi ini tidak tepat. Karena yang dilakukan oleh
K.H. Imam Zarkasyi hanya menyangkut metode pengajaran di kelas-kelas.
Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu tetap
ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan
sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada
saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir,
mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan
kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama.
Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri
diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu
dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai
sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan
yang dilakukan pesantren tradisional. Program yang diterapkan oleh K.H.
Imam Zarkasyi itu diberi nama Program Fathul Kutub.
Di samping itu, K.H. Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para
santri memiliki, membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di
pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain Fatbul Qarib, Fatbul
Mu’in, I’anatul Thalibin dan sebagainya.22

22
K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat & Harapan Pendiri
Pondok Modern Gontor, (Gontor: tth), 15.
15

b. Pembaharuan Kurikulum
Konsep pendidikan Imam Zarkasyi selanjutnya adalah berkenaan
dengan pembaharuan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan K.H. Imam
Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% agama dan 100% umum.
Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan
di pesantren tradisional, K.H. Imam Zarkasyi juga menambahkan ke dalam
kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu pengetahuan umum,
seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu
ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan
sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan
harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran
bahasa Arab dan bahasa Inggris. Penekanan bahasa ini memakai metode
langsung (direct method).23 Pelajaran bahasa Arab lebih ditekankan pada
penguasaan kosakata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan
mengarang dalam bahasa Arab dengan perbendaharaan kosa kata yang
dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu nahwu dan sharf diberikan kepada
santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar
berbicara dan memahami struktur kalimat. Bahkan pelajaran seperti
Balaghah dan Adabullughah baru diajarkan pada saat santri menginjak
kelas IV. Demikian halnya dengan bahasa Inggris, Grammar barn
diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan materi
bahasanya sudah diajarkan dari sejak kelas I.24
Khusus pengajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode
langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa
secara aktif dengan ram memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun
tulisan. Dengan demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada
pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara
23
Lance Castles, Gontor: sebuah catatan lama (terjemahan), (Gontor: Trimurti, Cet. I, 1991), 8.
24
Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, Cet II 1979), 251
dalam Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 206.
16

sempuma, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa.
Dalam penguasaan bahasa ini, K.H. Imam Zarkasyi menetapkan semboyan
Al-kalimah al-wabidah fi alf jumlatin khairun min alfi kalimah fi jumlatin
wabidah (kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan
kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam
satu kalimat saja).25 Namun demikian kemampuan dalam penguasaan
bahasa Arab dan Inggris serta berbagai pengetahuan tersebut tetap harus
didasarkan pada asas, jiwa dan kepribadian moral yang tinggi dan baik,
seperti ikhlas, mandiri, sederhana dan sebagainya.
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut,
kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial
yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial
ekonominya. Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam
mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya
dalam hidupnya kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi
sedemikian rupa untuk membedakan gambaran realistik kepada siswa
tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk
mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama
daripada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan
demi kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.26
Sejalan dengan itu, maka di Pondok Modern Gontor diajarkan
pelajaran ekstra seperti etiket atau tata krama yang berupa kesopanan lahir
dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlak dan jiwa,
sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, bahkan
pakaian.27 Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam

25
I. Djumhur dan H. Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, cet. Ke IX 1976),
193 dalam Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 207.
26
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986) hal 159 dalam
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 207.
27
A. Mukti Ali, Ta’lim al-Muta’allim versi Imam Zarkasyi, (Gontor: Trimurti, Cet I 1991), 53.
17

bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan seperti menyablon,


mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.

c. Pembaharuan Struktur dan Manajemen Pesantren


Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, K.H. Imam
Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor
kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern
Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga
pendidikan pondok tersebut. Dengan ditandatanganinya Piagam
Penyerahan Wakaf itu, maka Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi
milik pribadi atau perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai
dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Dengan cara demikian,
secara kelembagaan Pondok Modern Gontor menjadi miliki ummat Islam,
dan semua ummat Islam bertanggung jawab atasnya.
Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di
Pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai
untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai
mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf, untuk ini Badan
Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan
dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan
dan sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan.28
Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan
keluarga tidak punya hak material apa pun dari Gontor. Kyai dan guru-
guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak
pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang
mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata
usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara
periodik bisa diganti. Dengan demikian, pengajaran jalannya organisasi
pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif.29

28
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 208.
18

d. Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren


Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor, bahwa setiap
santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja
berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurusi kepentingannya sendiri
serta bebas menemukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa
pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap
independent dan tidak bergantung pada pihak lain.30 Prinsip kemandirian
tersebut bertolak darn upaya menghindari dari kenyataan di mana
kebanyakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan pada waktu itu
didasarkan pada kepentingan golongan dan politik tertentu.
Gagasan independen Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan
menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan
politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor
di atas dan untuk semua golongan.
Selanjutnya untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian
tersebut, di Gontor para santri diberi kebebasan memilih pilihan-pilihan
mata pelajaran yang ada. Dalam pelajaran hukum Islam misalnya, kitab
yang diajarkan adalah Bidayah al-Mujtahid karya Ulama Besar Ibn Rusyd
yang hidup pada abad ke-12 M. Ulama yang dikenal sebagai komentator
Aristoteles ini menulis bukunya dengan pendekatan kompantif
(perbandingan mazhab). Hal ini merupakan salah satu cermin, di mana
paham keagamaan para santri berada di atas semua golongan mazhab Ahlu
Sunnah Waljama’ah. Dengan demikian, semua mazhab diajarkan kepada
para murid tinggal terserah mereka mau memilih mazhab mana yang lebih
cocok. Demikian pula dalam hal bacaan qunut yang sering diperdebatkan
misalnya, para santri bebas apakah akan membaca qunut atau tidak.

29
Ibid, 208-209.
30
K.H. Imam Zarkasyi, Panca Jiwa Pondok Pesantren, (disampaikan pada Seminar Pesantren
Seluruh Indonesia, di Yogyakarta, 4-7 Juli 1965) dalam buku diktat pekan perkenalan, (Gontor:
tth) 11-14.
19

Selanjutnya kemandirian pondok pesantren Gontor ini terlihat dari


adanya kebebasan para santri yang bebas menentukan jalan hidupnya
kelak. K.H. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak
mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri.31

D. Penutup
Demikianlah pembahasan tentang pemikiran pendidikan Islam Imam al-
Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. Setelah menyimak pembahasan ini, dapat
disimpulkan beberapa hal, diantaranya:
1. Pemikiran pendidikan Islam al-Ghazali dapat dikategorikan dalam beberapa
aspek, yaitu: tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru, dan murid.
2. Pemikiran pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi dibagi ke dalam empat
bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan,
kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir
santri dan kebebasan pesantren.

31
Kenang-kenangan peringatan Delapan Windu 1990, (Gontor: 1990), 17.
20

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti, Ta’lim al-Muta’allim versi Imam Zarkasyi, Gontor: Trimurti, Cet I
1991.
Arwani, Muhammad, Denyut Nadi Santri, sebuah upaya memaknai kegiatan
santri Gontor, Yogyakarta: Tajidu Press, Cet. I, Desember 2001.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet I November
2009.
Castles, Lance, Gontor: sebuah catatan lama (terjemahan), Gontor: Trimurti, Cet.
I, 1991.
Diktat pekan perkenalan, Gontor: tth.
Kenang-kenangan Peringatan Delapan Windu, 1990, Gontor: 1990
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 2003.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005.
Susanto, A, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Panitia, Dokumentasi peringatan delapan windu, Gontor: 1991.
Serba-serbi Singkat tentang Pondok Modern Darussalam Gontor, Gontor; tth.
Tim penyusun, Booklet Pondok Modern Gontor, Gontor, Edisi I: 2000.
Tim penyusun, K.H. Imam Zarkasyi, dari Gontor merintis Pesantren Modern,
Gontor Press, September 1996.
Zarkasyi, Imam dan Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat & Harapan Pendiri
Pondok Modern Gontor, Gontor: tth.
21

Pemikiran Pendidikan
Al-Ghazali dan Imam Zarkasyi

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Oleh :
Hakim As Shidqi

Dosen :
Prof. Dr. Abd. Haris, M.Ag.

PROGRAM PASCA SARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
22

Anda mungkin juga menyukai