FPI Al-Ghazali - Zarkasyi
FPI Al-Ghazali - Zarkasyi
A. Pendahuluan
Dalam catatan sejarah, eksisitensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam
pertama kali diturunkan. Ayat al-Qur’ān yang pertama kali diturunkan
behubungan langsung dengan pendidikan, yaitu perintah untuk membaca (iqra’).
Ayat ini jelas mengandung nilai filosofi yang menjadi dasar bagi kegiatan
pendidikan.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, selain al-Qur’ān hadis pun
mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan Islam. Dan dengan semakin
kompleksnya tuntutan kehidupan umat Islam, maka ruang lingkup pendidikan
Islam berkembang pesat, dengan tumbuhnya berbagai disiplin ilmu seputar kajian
ajaran Islam.
Berdasarkan hal tersebut, upaya membongkar dasar-dasar pemikiran
pendidikan Islam merupakan suatu hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut,
terutama sebagai bahan perbandingan dalam merekorontruksi sistem pendidikan
Islam yang lebih baik lagi di masa yang akan datang..
Berikut akan dipaparkan pemikiran pendidikan Islam dari dua tokoh,
Imam Al-Ghazali dan Imam Zarkasyi. Dimulai dari biografi singkat keduanya,
dan kemudian pemikiran mereka tentang pendidikan Islam.
1
2
kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya
memintal benang wol. Adapun kata al-Ghazali (satu huruf z) diambi dari kata
Ghazalah, yaitu nama perkampungan tempat al-Ghazali dilahirkan. 1 Dia adalah
pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam),
hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan
pembaharu agama.
Al-Ghazali memulai pendidikannya diwilayah kelahirannya, Tus dengan
mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Beliau belajr fiqh dari Abu Hamid Ahmad
Ibn Muhammad at-Tusi ar-Radzkani, lalu berangkat ke daerah Jurjan sebuah kota
di Persia yang terletak diantara kota Tabristan dan Nisabur dan berguru pada Abu
Al-Qasim Isma’il bin Mus’idah Al-Isma’ili (Imam Abu Nasr Al-Isma’ili).
Kemudian ia melakukan perjalanan ke Nisabur dan tinggal di Madrasah
Nidhamiyah, pimpinan al-Haramain al-Juwaini (Imam Abu Al-Ma’ali Al-Juwani)
dan belajar padanya dalam ilmu fiqih, ilmu debat, mantik, filsafat, dan ilmu
kalam.2
Selain itu, Al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu
Imam Yusuf an-Nassaj dan Imam Abu Ali Al-Fadl bin Muhammad bin Ali Al-
Farmazi at-Tusi. Ia juga belajar hadits kepada banyak ulama hadits, seperti Abu
Sahal Muhammad bin Ahmad Al-Hafsi al-Marwazi, Abu Al-Fath Nasr bin Ali
bin Ahmad Al-Hakimi at-Tusi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-
Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i az-Zauzani, Al-Hafiz
Abu Al-Fityan Umar bin Abi Al-Hasan ar-Ru’asi Ad-Dahistani, dan Nasr bin
Ibrahim Al-Maqsidi.
Setelah gurunya, al-Juwaini, meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan
Nisabur menuju Istana Nidzam al-Mulk yang menjadi perdana menteri Sultan
Bani Saljuk. Kediaman Nidzam al-Mulk merupakan sebuah majelis pengajian,
tempat ulama bertukar pikiran. Nidzam al-Mulk kagum terhadap pandangan-
1
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2009), 219.
2
Ibid.
3
3
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 2003), 83.
4
Kepergiannya ini, konon dikarenakan Al-Ghazali telah mulai terserang penyakit syak (keraguan).
Ia syak pada pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, karena panca indera terkadang
berdusta. Ia juga syak terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran akal, karena dalam
pemikiran itu akal mempergunakan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera sebagai
bahan. Dan bahan itu disyaki kebenarannya. Penyakit syak di dalam hati ini menimbulkan
penyakit jasmani dalam dirinya. Al-Ghazali tidak bisa berbicara lagi sebagaimana semula,
karenanya ia tidak sanggup lagi memberikan kuliah-kuliah. Kemudian ia pergi ke Damaskus, lalu
beri’tikaf di Masjid Umawi. Disini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin,
meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa. Jalan sufi yang ditempuh Al-Ghazali di
akhir masa hidupnya menghilangkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya.
Keyakinan yang dulu hilang, kini ia peroleh kembali. Tingkat ma’rifat yang terdapat dalam
tasawuf, menurutnya, adalah jalan yang membawa kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat
diyakini.
5
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 84.
6
Ibid, 85.
4
a. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia
memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan
menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi
terhadap pemikiran al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia
dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka
sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan
itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan
masalah duniawi.8
Dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali tampak
bahwa corak pendidikan yang dikehendaki oleh al-Ghazali adalah corak
pendidikan yang agamis. Namun demikian beliau juga tidak mengabaikan
masalah-masalah keduniaan. Hanya saja dalam pandangannya dunia
merupakan kebun untuk menuju kehidupan yang kekal abadi atau kehidupan
akhirat yang lebih utama.
Selain bercorak religi konsep pendidikan al-Ghazali juga cenderung
pada sisi keruhanian. Sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak
Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan
insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat
kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur
ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat manusia bahagia di dunia dan
7
Ibid, 86.
8
Ibid.
5
b. Kurikulum
Konsep kurikulum al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya tentang
ilmu pengetahuan. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di
dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan.
Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya
maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
2. Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu
agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang
suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
3. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karena
dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.10
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi
dua bagian dilihat dari kepentingannya, yaitu:
1. Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu
ilmu agama.
2. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu
dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung,
kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.11
9
Ibid, 87.
10
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
216.
11
Ibid, 217.
6
c. Metode
Mengenai metode pendidikan Al-Ghazali lebih menekankan pada
metode pengajaran agama pada anak-anak. Berdasarkan prinsipnya bahwa
pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara
guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan merupakan faktor
utama dalam metode pendidikannya.
12
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 93.
13
Ibid.
7
14
Ibid, 95-99.
8
15
Ibid, 99-101.
9
berkata: “seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan
mengajar dengan pena.”16
Di antara karya tulis Imam Zarkasyi adalah Senjata Penganjur dan
Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam. Ketiga
buku tersebut ditulis bersama K.H. Zainuddin Fannani. Selanjutnya ia menulis
Ushuluddin (pelajaran Aqo’id atau Keimanan), Pelajaran Fiqih I dan II,
Pelajaran Tajwid, Bimbingan Keimanan, Qowaidul imla’, Pelajaran Bahasa
Arab I dan II berikut kamusnya, Tamrinat I, II dan III, beserta kamusnya dan
buku-buku pelajaran lainnya.
Selain itu Imam Zarkasyi juga menulis beberapa petunjuk teknik bagi
para santri dan guru di Pondok Darussalam Gontor dalam berbagai masalah
yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode
mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangan beliau hingga kini
masih dipakai di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan pondok-
pondok pesantren alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.
16
Muhammad Arwani, Denyut Nadi Santri, sebuah upaya memaknai kegiatan santri Gontor,
(Tajidu Press, Yogyakarta, Cet. I, Desember 2001), 41. Lihat juga kenang-kenangan peringatan
delapan windu 1990, (Gontor: 1990), hal. 17.
17
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 205.
12
18
Dalam sistem “pondok pesantren”, sistem belajarnya adalah perseorangan, yaitu guru-mengajar
murid satu persatu, sedangkan sistem “madrasah” guru mengajar kelas dengan mata pelajaran yang
sudah ditentukan. Sistem klasikal disini bukan secara langsung diartikan sebagai sistem madrasah
ataupun sistem individu tadi. Tapi yang dimaksud disini adalah perpaduan antara model lama
(baca: individu dan halaqah) dan model baru (baca: madrasah) dan inilah yang dimaksud dengan
Pondok Modern (artinya: Pondok = sistem lama dan Modern = sistem baru).
19
Ini adalah salah satu dari perbedaan ta’limul al-muta’allim versi az-Zarnuji dan ta’limul al-
muta’allim versi Imam Zarkasyi. Jika kita mempelajari ta’limul al-muta’allim az-Zurnaji orang
mempunyai kesan bahwa az-Zurnaji adalah pengikut suatu tarekat tertentu hingga dengan
demikian banyak sekali amalan-amalan do’a yang harus dilakukan santri. Dan hal ini tidak
dilakukan Imam Zarkasyi. Juga az-Zurnaji menekankan pembelajaran ilmu agama, sedang Imam
Zarkasyi mencanangkan belajar ilmu agama 100% dan ilmu sekuler (baca: penegetahuan umum)
100%.
13
20
Hal yang keorganisasian yang di selenggarakan santri sendiri dan untuk santri ini dinamai
dengan zelp berdruiping systeem (sama-sama membayar dan sama-sama memakai), tetapi bukan
dalam artian komunis.
Perlu diketahui kegiatan pelajaran sore (tambahan) ini juga termasuk kegiatan ektra kurikuler
21
Pola dan irama kegiatan pesantren yang demikian padat itu terus
berlangsung di Pondok Modern Gontor hingga saat ini, dan hal itu
berlangsung secara alamiah dengan disiplin yang ketat, tanpa ada
peraturan tertulis. Dalam pandangan K.H. Imam Zarkasyi, peraturan harus
diproses menjadi bagian dari kualitas kesadaran, pikiran dan naluri atau
dlomir (baca: hati kecil) yang seharusnya dijadikan pedoman santri untuk
membangun kehidupan sosialnya di dalam pesantren. Perpaduan antara
day school system dengan sistem asrama yang diterapkan K.H. Imam
Zarkasyi secara sekilas memang kelihatan menghilangkan satu elemen
penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu pengkajian kitab-
kitab Islam klasik yang sering disebut Kitab Kuning. Namun dalam
kenyataan kesan dan asumsi ini tidak tepat. Karena yang dilakukan oleh
K.H. Imam Zarkasyi hanya menyangkut metode pengajaran di kelas-kelas.
Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu tetap
ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan
sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada
saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir,
mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan
kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama.
Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri
diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu
dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai
sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan
yang dilakukan pesantren tradisional. Program yang diterapkan oleh K.H.
Imam Zarkasyi itu diberi nama Program Fathul Kutub.
Di samping itu, K.H. Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para
santri memiliki, membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di
pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain Fatbul Qarib, Fatbul
Mu’in, I’anatul Thalibin dan sebagainya.22
22
K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat & Harapan Pendiri
Pondok Modern Gontor, (Gontor: tth), 15.
15
b. Pembaharuan Kurikulum
Konsep pendidikan Imam Zarkasyi selanjutnya adalah berkenaan
dengan pembaharuan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan K.H. Imam
Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% agama dan 100% umum.
Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan
di pesantren tradisional, K.H. Imam Zarkasyi juga menambahkan ke dalam
kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu pengetahuan umum,
seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu
ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan
sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan
harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran
bahasa Arab dan bahasa Inggris. Penekanan bahasa ini memakai metode
langsung (direct method).23 Pelajaran bahasa Arab lebih ditekankan pada
penguasaan kosakata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan
mengarang dalam bahasa Arab dengan perbendaharaan kosa kata yang
dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu nahwu dan sharf diberikan kepada
santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar
berbicara dan memahami struktur kalimat. Bahkan pelajaran seperti
Balaghah dan Adabullughah baru diajarkan pada saat santri menginjak
kelas IV. Demikian halnya dengan bahasa Inggris, Grammar barn
diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan materi
bahasanya sudah diajarkan dari sejak kelas I.24
Khusus pengajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode
langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa
secara aktif dengan ram memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun
tulisan. Dengan demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada
pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara
23
Lance Castles, Gontor: sebuah catatan lama (terjemahan), (Gontor: Trimurti, Cet. I, 1991), 8.
24
Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, Cet II 1979), 251
dalam Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 206.
16
sempuma, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa.
Dalam penguasaan bahasa ini, K.H. Imam Zarkasyi menetapkan semboyan
Al-kalimah al-wabidah fi alf jumlatin khairun min alfi kalimah fi jumlatin
wabidah (kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan
kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam
satu kalimat saja).25 Namun demikian kemampuan dalam penguasaan
bahasa Arab dan Inggris serta berbagai pengetahuan tersebut tetap harus
didasarkan pada asas, jiwa dan kepribadian moral yang tinggi dan baik,
seperti ikhlas, mandiri, sederhana dan sebagainya.
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut,
kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial
yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial
ekonominya. Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam
mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya
dalam hidupnya kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi
sedemikian rupa untuk membedakan gambaran realistik kepada siswa
tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk
mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama
daripada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan
demi kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.26
Sejalan dengan itu, maka di Pondok Modern Gontor diajarkan
pelajaran ekstra seperti etiket atau tata krama yang berupa kesopanan lahir
dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlak dan jiwa,
sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, bahkan
pakaian.27 Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam
25
I. Djumhur dan H. Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, cet. Ke IX 1976),
193 dalam Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 207.
26
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986) hal 159 dalam
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 207.
27
A. Mukti Ali, Ta’lim al-Muta’allim versi Imam Zarkasyi, (Gontor: Trimurti, Cet I 1991), 53.
17
28
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., 208.
18
29
Ibid, 208-209.
30
K.H. Imam Zarkasyi, Panca Jiwa Pondok Pesantren, (disampaikan pada Seminar Pesantren
Seluruh Indonesia, di Yogyakarta, 4-7 Juli 1965) dalam buku diktat pekan perkenalan, (Gontor:
tth) 11-14.
19
D. Penutup
Demikianlah pembahasan tentang pemikiran pendidikan Islam Imam al-
Ghazali dan KH. Imam Zarkasyi. Setelah menyimak pembahasan ini, dapat
disimpulkan beberapa hal, diantaranya:
1. Pemikiran pendidikan Islam al-Ghazali dapat dikategorikan dalam beberapa
aspek, yaitu: tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru, dan murid.
2. Pemikiran pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi dibagi ke dalam empat
bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan,
kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir
santri dan kebebasan pesantren.
31
Kenang-kenangan peringatan Delapan Windu 1990, (Gontor: 1990), 17.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Ta’lim al-Muta’allim versi Imam Zarkasyi, Gontor: Trimurti, Cet I
1991.
Arwani, Muhammad, Denyut Nadi Santri, sebuah upaya memaknai kegiatan
santri Gontor, Yogyakarta: Tajidu Press, Cet. I, Desember 2001.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet I November
2009.
Castles, Lance, Gontor: sebuah catatan lama (terjemahan), Gontor: Trimurti, Cet.
I, 1991.
Diktat pekan perkenalan, Gontor: tth.
Kenang-kenangan Peringatan Delapan Windu, 1990, Gontor: 1990
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 2003.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005.
Susanto, A, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Panitia, Dokumentasi peringatan delapan windu, Gontor: 1991.
Serba-serbi Singkat tentang Pondok Modern Darussalam Gontor, Gontor; tth.
Tim penyusun, Booklet Pondok Modern Gontor, Gontor, Edisi I: 2000.
Tim penyusun, K.H. Imam Zarkasyi, dari Gontor merintis Pesantren Modern,
Gontor Press, September 1996.
Zarkasyi, Imam dan Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat & Harapan Pendiri
Pondok Modern Gontor, Gontor: tth.
21
Pemikiran Pendidikan
Al-Ghazali dan Imam Zarkasyi
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Oleh :
Hakim As Shidqi
Dosen :
Prof. Dr. Abd. Haris, M.Ag.