Anda di halaman 1dari 28

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM INKOMPATIBILITAS ABO

Disusun Oleh :
Muh Radjadhilah S
Muhammd Kemal Mahendra

Residen Pembimbing:
dr. Astri Yul Fitriana

Supervisor:
dr. Raehana Samad, M.Kes, Sp.PK(K)

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI


KLINIK FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

1. Nama: Muhammad Kemal Mahendra

NIM: C014221017

2. Nama: Muh Radjadhilah S

NIM: C014221018

Judul Referat: Aspek Laboratorium Inkompatibilitas ABO

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Departemen Ilmu Patologi Klinik Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 20 Juni 2023

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing


dr, Raehana Samad, M.Kes, Sp.PK(K) dr. Astri Yul Fitriana

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada abad ini kemajuan teknologi dan ilmu biologi molekuler sangat membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupannya, khususnya pada bidang kesehatan. Dampak yang bisa diihat dari kemajuan
tersebut adalah munculnya berbagai sistem pemeriksaan yang menunjang para klinisi untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan fisiologi tubuh maupun menentukan diagnosis yang tepat terhadap suatu kelainan patologis pada
tubuh manusia. Salah satu sistem pemeriksaan yang bernilai vital bagi keberlagsungan hidup pasien adalah sistem
penggolongan darah ABO. Sistem ABO adalah sistem penggolongan darah yang didasarkan pada keberadaan
antigen dan antibodi pada tubuh manusia. Secara singkat antigen adalah suatu substansi yang ada di permukaan
sel darah merah atau eritrosit yang menjadi penentu golongan darah. Pada sistem ABO dikenal ada dua antigen
yang dapat menentukan golongan darah, yaitu antigen A dan antigen B. Sementara itu antibodi dapat ditemukan
pada serum darah manausia yang mana pada penggolongan darah secara ABO tidak mungkin pada suatu tubuh
seseorang terdapat antigen dan antibodi yang sejenis karena dapat berakibat fatal. Dengan adanya sistem
penggolongan darah ABO ini diharapkan dapat memudahkan para klinisi untuk mentukan darah yang cocok pada
pasien jika terjadi suatu keadaan yang mengharuskan pasien mendapat donor darah dari orang lain.
Namun pada kenyataannya sistem penggolongan darah ABO tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan.
Masalah yang kerap timbul dalam sisem ABO adalah inkompatiliti sistem ABO atau ketidakcocokan sistem ABO.
Inkompatibiliti dapat terjadi karena kesalahan indidual yaitu oleh petugas kesehatan seperti : perawat, plebotomis,
atau analis laboratorium. Disamping itu, inkompatibiliti juga dapat terjadi karena adanya reaksi antigen terhadap
antibodi yang sejenis. Jika terjadi inkompatibiliti akan terjadi hal yang signifikan secara klinis dan perlu
diwaspadai khususnya pada praktisi klinis, mengingat darah merupakan bagian vital pada tubuh manusia.
Mengetahui pentingnya penguasaan mengenai sistem penggolongan darah ABO dan masalah yang dapat timbul,
penulis akan membahas secara lebih rinci pada bab selanjutnya.

25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sistem ABO

Sistem golongan darah ABO merupakan sistem golongan darah yang terpenting dalam transfusi. Sistem
penggolongan darah ini adalah yang paling imunogenik dari semua antigen golongan darah. Hal ini dikarenakan
penyebab paling umum kematian akibat transfusi darah adalah kesalahan administrasi di mana jenis yang tidak
kompatibel darah ABO yang ditransfusikan. Antigen golongan darah ABO berbeda bervariasi antara populasi
yang berbeda. Antigen golongan darah ABO dikodekan oleh satu lokus genetik, lokus ABO, yang memiliki tiga
bentuk alternatif (alel) -A, B, dan O. Seorang anak menerima salah satu dari tiga alel dari setiap orangtua,
sehingga menimbulkan enam genotipe yang mungkin dan empat tipe darah yang memungkin (fenotipe). 1
International Society of Blood Transfusion baru-baru ini mengakui 33 sistem golongan darah. Terlepas dari ABO
dan sistem Rhesus, banyak jenis antigen yang terlihat pada membran sel darah merah. Penggolongan darah dan
pencocokan silang adalah salah satu tes yang penting selama periode perioperatif Rhesus-sistem (Rh) adalah
sistem golongan darah yang paling penting kedua setelah ABO. Saat ini, Rh-sistem terdiri dari 50 antigen
golongan darah yang mana terdapat hanya lima yang penting.1

2.2 Definisi Inkompatibilitas Golongan Darah

Secara umum, ketidak sesuian atau inkompatibilitas dalam konteks golongan darah ini disebabkan oleh
pengikatan antibodi plasma dengan antigen sel darah merah, sehingga menyebabkan reaksi. Dalam tes
laboratorium reaksi ini adalah yang paling umumnya divisualisasikan dengan aglutinasi dari sel-sel merah. Di
tubuh, reaksi antigen-antibodi dapat terjadi sebagai konsekuensi yang merugikan dari transfusi darah atau
kehamilan, mengakibatkan kerusakan sel darah merah dipercepat. Oleh karena itu penting untuk mendeteksi
ketidaksesuaian antara plasma pasien dan sel darah merah dari donor darah potensial sebelum transfusi, untuk
menghindari reaksi transfusi. Ketidakcocokan terjadi pada kehamilan saat ibu diimunisasi oleh sel-sel janin yang
melewati plasenta.
Inkompatibilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu inkompatibilitas ABO dan inkompatibilitas Rhesus.
Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi berbeda sewaktu masa
kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB dan O. Golongan darah ditentukan melalui tipe
molekul (antigen) pada permukaan sel darah merah. Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A memiliki
antigen A, dan golongan darah B memilki antigen B, golongan darah AB memiliki baik antigen A dan B
sedangkan golongan darah O tidak memiliki antigen.
Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibodi yang berbeda-beda. Ketika golongan darah yang
berbeda tercampur, suatu respon kekebalan tubuh terjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di
dalam darah. Inkompatibilitas ABO seringkali terjadi pada ibu dengan golongan darah O dan bayi dengan
golongan darah baik A atau B. Ibu dengan golongan darah O menghasilkan antibodi anti-A dan anti-B yang cukup
kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel darah merah janin. 1

Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi bilirubin, yang merupakan produk sisa.
Apabila terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan, akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan ikterus akan
memerlukan fototerapi atau transfusi ganti untuk kasus berat. Apabila bayi tidak ditangani, bayi akan menderita
cerebral palsy. Sampai saat ini, tidak ada pencegahan yang dapat memperkirakan inkompatibilitas ABO. Tidak
seperti inkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan pertama dan gejalanya tidak
memburuk pada kehamilan berikutnya. 2

25
Sedangkan, inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika seorang wanita hamil
memilikidarah Rh-negatif dan bayi dalam rahimnya memiliki darah Rh-positif. Selama kehamilan, sel darah
merah dari bayi yang belum lahir dapat menyeberang ke aliran darah ibu melalui plasenta. Jika ibu memiliki Rh-
negatif, sistem kekebalan tubuhnya memperlakukan sel-sel Rhpositif janin seolah-olah mereka adalah substansi
asing dan membuat antibodi terhadap sel-sel darah janin. Antibodi anti-Rh ini dapat menyeberang kembali melalui
plasenta ke bayi yang sedang berkembang dan menghancurkan sel-sel darah merah bayi.
Sel-sel darah merah yang dipecah menghasilkan bilirubin. Hal ini menyebabkan bayi menjadi kuning
(ikterus). Tingkat bilirubin dalam aliran darah bayi bisa berkisar dari ringan sampai sangat tinggi. Karena butuh
waktu bagi ibu untuk mengembangkan antibodi, bayi sulung jarang yang mengalami kondisi ini, kecuali ibu
mengalami keguguran di masa lalu atau aborsi yang membuat peka sistem kekebalan tubuhnya. Namun, semua
anak-anaknya telah setelah itu yang memiliki Rh-positif dapat terpengaruh.3

2.3 Etiologi

2.3.1 Secara Umum


Penyebab Reaksi Hemolitik Fatal karena ABO Transfusi Darah yang
Tidak Kompatibel
1. Adanya kesalahan identifikasi (nursing error)
Pada kasus ini pasien mendapatkan darah yang keliru oleh karena perawat tidak mencocokkan label
pada darah dengan identitas pasien pada gelang yang digunakan oleh pasien, selain itu menanyakan ke
pasien apakah nama pasien benar atau tidak, dimana seharusnya tidak boleh dilakukan, jadi seharusnya
biarkan pasien yang menyebutkan namanya sendiri. 4

2. Label sample darah tertukar (phlebotomist error)


Terjadi akibat banyaknya pasien yang memerlukan komponen darah sehingga tidak menutup
kemungkinan label sample darah tertukar. Akibatnya adalah pasien mendapatkan sample darah keliru
dan dampak yang ditimbulkan juga sangat fatal. 4
3. Adanya kesalahan saat mengambil sample (phlebotomist error) Darah yang diambil oleh petugas
kesehatan adalah darah orang lain sehingga akan menimbulkan dampak yang fatal. Contoh kasus di
klinik adalah petugas kesehatan mengambil darah penunggu pasien akibat penunggu pasien tidur di
bangsal dan petugas kesehatan tidak menanyakan siapa nama seseorang yang tidur di bangsal tersebut
untuk memastikan apakah dia pasien atau penunggu pasien. 4

4. Adanya kekeliruan saat uji pretransfusi (lab error)


Contoh kasus di klinik adalah seharusnya pasien A yang diujikan dengan golongan darah tertentu tetapi
pasien B yang diujikan. Semua kesalahan diatas akan memberikan dampak yang sangat fatal dimana
pada akhirnya pasien akan mendapatkan komponen darah yang tidak pas sehingga akan menimbulkan
reaksi transfusi hemolitik yang sangat
berat.4

2.3.2 Reaksi Hemolisis Transfusi

Transfusi merupakan suatau proses pemindahan darah dari donor ke resipien yang paling sederhana
yang biasa dilakukan saat urgensi dan apat menimbulkan berbagai akibat fatal salah satunya adalah reaksi
hemolitik.5 Reaksi hemolitik akibat transfusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu reaksi hemolitik yang
disebabkan proses imun(immune mediated hemolysis) yang terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute
hemolytic transfusion reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction,
DHTR) dan non-imun (non-immunemediated hemolysis).6
Reaksi hemolitik akut atau AHTR umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel
darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmaatch).7
Proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi
hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major
25
incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-
A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Pada reaksi hemolitik lambat atau DHTR diawali dengan reaksi antigen
berupa eritrosit donor dan respons antibodi yang terjadi di intravaskuler dan berlanjut ke ekstravaskuler.
Plasma donor yang mengandung eritrosit berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya
eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat
oleh antibodi (IgG1atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan
dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.8

2.3.3 Reaksi Imunitas Antigen dan Antibodi

Sistem penggolongan darah secara ABO merupakan sistem penggolongan terpenting karena
menyebabkan beberapa reaksi hemolytic saat transfusi darah serta dapat menyebabkan hemolytic disease of
the newborn. Sistem penggolongan ABO merupakan satu-satunya yang memiliki antigen dan antibodi
sekaligus. Setiap individu mempunyai antibodi (isohemagglutinins) dalam plasma darahnya dan antigen
pada sel darah merahnya (RBCs).9
Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi anti-B, golongan darah B memiliki antigen B dan
antibodi anti-A. Golongan darah AB memiliki antigen A dan antigen B tetapi tidak memiliki antibodi pada
serumnya. Golongan darah O tidah memiliki antigen pada permukaan eritrositnya tapi memiliki antibodies
anti-A dan anyibodi anti-B.10 Pengecekan golongan darah berfungsi untuk mencegah reaksi transfusion yang
dapat menyebabkan inkompabilitas ABO antara pasien dan pendonor. Inkompabilitas ABO dapet
disebabkan karena interaksi antara antigen dan antibodi yang menimbulkan aglutinasi. Aglutinasi berapa
perlekatan antara antigen yang terdapat pada permukaan RBCs dan antibodi pada plasma sehingga
menyebabkan suatu anyaman yang menyebabkan sel-sel darah terjerat dan mengelompok. Aglutinasi ini
terjadi melalui 2 tahap yaitu perlekatan antigen dan antibodi saat pertama bertemu. Pada tahap ini aglutinasi
belum terjadi, tetapi hanya menyelubungi sel. Tahap kedua berupa terbentuknya anyaman menimbulkan
gumpalan (aglutinasi). Antibodi yang berperan dalam reaksi antigen dan antibodi ini adalah IgM dan IgG.
IgM ukuranjya lebih besar dan dapat mengaglutinasi sel-sel secara langsung. Sedangkan IgG ukurannya
lebih kecil dan tidak dapat secara langsung mengaglutinasi sel-sel tetapi dapat menyelubungi atau
mensensitisasi sel-seldarah merah. Berdasarkan stadiumnya, aglutinasi yang merupakan reaksi imunitas
antigen antibodi:
1. Sensitasi. Perlekatan antibodi pada RBCs secara fisik. Sebelum terjadi aglutinasi antibodi akan
melakukan perlekatan dengan antigen sehingga terbentuk kompleks antigen antibodi. Hal ini akan tampak
seperti RBCs dielubungi oleh antibodi.
2. Aglutinasi. Pada stadium ini, setelah terjadi sensitasi, akan terbentuk jembatan-jembatan yang
antara sel-sel yang telah melekat sehingga terjadi aglutinasi.9

2.4 Diagnosis Inkompatibilitas ABO

Inkompatibilitas ABO dapat terdiagnosa apabila saat transfusi darah pasien mengindikasikan
adanya reaksi-reaksi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemeriksaan darah lengkap (DL) dan urin
lengkap (UL) sangat dianjurkan untuk memastikan adanya sel darah merah yang lisis atau hemoglobin pada
urin sebagai akibat hancurnya sel darah merah. 11

25
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkapdilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematocrit, sel darah merah, sel darah putih, dan platelet dalam darah. Hasil yang
abnormal menunjukkan kemungkinan hemolisis, kelainan darah, atau infeksi.Namun
perlu diperhatikan bahwa nilai normal dari komponen darah tersebut bervariasi
antara individu yang berbeda ras atau etnik. Pemeriksaan DL juga dilakukan untuk
melihat Mean Corpuscular Volume (MCV) atau rata-rata ukuran sel darah merah
sebagai data penunjang dalam menentukan kemungkinan penyebab anemia.12

2. Pemeriksaan Urin Lengkap


Pemeriksaan urin lengkap dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang dengan
menemukan hemoglobin pada sampel urin. Apabila terjadi lisis sel darah merah
intravaskular, hemoglobin yang berada di plasma darah akan diikat oleh haptoglobin,
hemopexin, dan albumin. Namun apabila kapasitas hemoglobin melebihi protein
pengikatnya, maka hemoglobin bebas akan diabsorbsi di tubulus renalis. Apabila
kapasitas hemoglobin bebas melebihi yang dapat diabsorbsi, maka hemoglobin
dapat ditemukan dalam urine. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi lisis sel
darah merah yang sangat banyak sebagai akibat dari inkompatibilitas ABO pada sel
darah merah.7

3. Pemeriksaan Golongan Darah ABO Rhesus Menggunakan ABD PAD

Berdasarkan sistem ABO, ada 4 jenis golongan darah sesuai dengan jenis
antigen dan antibodi yang dimiliki masing ‖ masing golongan. Individu dengan
golongan darah A memiliki antigen A pada sel darah merahnya dan antibodi B dalam
plasmanya. Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi A,
sedangkan individu golongan darah AB mempunyai antigen A maupun antigen B dan
tidak memiliki antibodi A dan B dalam plasmanya. Individu dengan golongan darah
O tidak memiliki antigen A maupun B tetapi mempunyai antibodi A dan B dalam
plasmanya (Gambar 2).8-14

Gambar 2. Golongan darah ABO9


(Sumber Cooling, L. ABO, H, and Lewis blood groups and structurally related antigens.
In: Fung, M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M., eds. Technical manual.
18th edition. Bethesda, MD: AABB. 2014)

25
Metode pemeriksaan golongan darah ada dua macam yaitu metode ABO
typing (forward grouping) dan ABO serum testing (reνerse grouping). Metode
forward grouping bertujuan mendeteksi antigen A, dan B menggunakan sampel
darah. Sedangkan metode reνerse grouping bertujuan mendeteksi antibodi A, B,
dan O menggunakan sampel serum atau plasma. Pemeriksaan ini dapat
menggunakan slide, tube, gel, microplate, dan otomatik. 8,13,14,15,16,17,19

II. TUJUAN
Tujuan pemeriksaan skrining golongan darah adalah mendeteksi antigen pada
permukaan eritrosit menggunakan ABD PAD.

III. METODE

A. Pra Analitik118
1. Persiapan Pasien: Tidak membutuhkan persiapan khusus
2. Persiapan Sampel: Sampel darah EDTA/Heparin, dan darah kapiler
3. Alat dan Bahan
Alat

• Kaset ABD PAD

• Mikropipet

Gambar 3. Kaset ABD PAD18


(Sumber : D-TQAW® Technology is also used on ABTest Fard® (page 31)

Bahan

a. Sampel darah EDTA/Heparin, darah kapiler


b. Buffer WAE

Gambar 4. Bahan Buffer PAD18


(Sumber : D-TQAW® Technology is also used on ABTest Fard® (page 31)

B. Analitik

1. Prinsip Tes19
25
Prinsip tes metode ABD PAD yaitu sampel darah diteteskan ke well
kaset ABD PAD. Sampel darah yang mengandung antigen A, B, dan D akan
berikatan dengan antibodi monoklonal A, B, dan D (antisera) yang diimobilisasi
pada dasar membran yang menghasilkan hemaglutinasi yang postif,
sebaliknya reaksi aglutinasi yang tidak

terjadi hasilnya negatif.

Gambar 5. Reaksi antigen antibody pada dasr membrane ABD PAD18


(Surber : D-TQAW® Technology is also used on ABTest Fard® (page 31)

2. Prosedur Kerja19
a. Teteskan 1 tetes buffer PAD ke well kaset ABD PAD untuk
menghidrasi antisera

b. Teteskan 1 tetes sampel darah ke well ABD PAD

c. Kemudian tambahkan lagi buffer PAD ke well yang telah terisi buffer
PAD dan sampel darah

d. Setelah 30 detik hasil dapat dibac

C. Pasca Analitik19

1. Interpretasi:
25
Hasil Positif : berwarna merah

Hasil Negatif : berwarna hijau

Tabel 1. Interpretasi Golongan Darah8,9,18

A B D Golongan Darah

Positif Negatif Positif A Rhesus D


positif

Negatif Positif Positif B Rhesus D


positif

Positif Positif Positif AB Rhesus D


positif

Negatif Negatif Positif O Rhesus D


positif

2. Kelebihan dan Kekurangan19


A. Kelebihan
a) Cepat
b) Aman
c) Terstandarisasi
d) Dapat dibawa dan digunakan di mana saja
e) Penyimpanan pada suhu 250C ‖ 40 0C
f) Tes dapat dilakukan sebanyak 150 sampel dalam waktu 1 jam

B. Kekurangan
a) Efektifitas hasil tes sangat dipengaruhi oleh kondisi
penyimpanan kit

b) Hasil error bisa terjadi karena kesalahan teknik dan prosedur


25
4. Skrining Antibodi dengan Metode Manual

Skrining antibodi adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk


mendeteksi antibodi donor yaitu antibodi ireguler atau unexpected
antibodies(antibodi donor yang tak terduga)selain antibodi dalam sistem ABO. .Pada
keadaan normal, dalam serum atau plasma hanya terdapat anti A dan anti B,
tergantung pada antigen yang dimiliki individu. Selain antibodi A, B merupakan
Unexpected Antibodies yang terdiri dari dua jenis, yaitu alloantibodi dan
autoantibodi. Alloantibodi adalah antibodi yang di produksi terhadap alloantigen
yang masuk ke dalam tubuh melalui transfusi atau kehamilan. Autoantibodi adalah
antibodi yang bekerja melawan antigen tubuh seseorang. Dengan kata lain,
autoantibodi merupakan antibodi yang menyerang antigennya sendiri. Oleh karena
itu, autoantibodi merupakan antibodi berbahaya yang tidak dapat membedakan
antigen dirinya sendiri dan antigen luar. Autoantibodi merupakan penyebab
penyakit autoimun.20-23
Skrining antibodi dapat dilakukan dengan metode manual atau dengan
menggunakan alat otomatis. Skrining antibodi secara otomatis memiliki keuntungan
hasil yang cepat, dan tidak membutuhkan alat dan bahan habis pakai yang banyak.
Untuk skrining metode manual juga memiliki keuntungan dan kekurangan. Salah
satu kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lebih lama daripada metode
automatis. Serta membutuhkan alat dan bahan habis pakai yang lebih banyak. 20-24
Skrining antibodi menggunakan metode manual, yaitu dengan metode
tabung. Skrining antibodi dilakukan dengan cara melakukan pengujian serum resipien
terhadap dua atau tiga set sel skrining. Sel skrining merupakan golongan darah O
yang sudah diketahui profil antigen atau fenotip sel darah merahnya. Golongan darah
O digunakan karena secara alami tidak mengandung anti-A dan anti-B yang dapat
mengganggu deteksi Unexpected Antibodies.20-24
Skrining antibodi umumnya dilakukan dalam tiga fase, yaitu fase medium
salin (Immediate Spin), fase enzim (pada suhu 37C) dan fase Anti Human
Globulin (AHG). Bila ditemukan hasil skrining antibodi Positif harus
dilanjutkan dengan identifikasi antibodi untuk memastikan antibodi yang
terdapat dalam serum/plasma pasien/donor.20-24

II. TUJUAN
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi sel darah merah selain
antibody anti-A atau anti-B atau“Unexpected Antibodies”

METODE
A. Pra analitik20,21
1. Persiapan pasien
Tidak perlu persiapan khusus
25
2. Persiapan sampel
Sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah sampel serum atau plasma.

3. Alat dan bahan


a. Tabung reaksi

b. Pipet

c. Sentrifus

d. Inkubator

e. Sampel serum/plasma

f. Reagen Anti Human Globulin(AHG), larutan salin,

g. Sel panel

19, 20
B. Analitik
1. Prinsip tes
Skrining antibodi akan mengetes serum atau plasma pasien dengan

2 atau 3 jenis sel panel yang sudah diketahui komposisi antigennya. Pemeriksaan
dilakukan pada beberapa fase, antara lain fase medium salin atau immediate spin, fase

enzim pada suhu 37 oC dan fase Anti Human Globulin (AHG). Apabila serum pasien
mengandung antibodi yang sesuai dengan antigen yang terdapat pada sel panel, maka
akan terjadi aglutinasi atau hemolisis yang mengindikasikan hasil tes positif. Reaksi
positif pada setiap fase menunjukkan adanya alloantibody atau autoantibody
dalam serum. Fase salin akan mengidentifikasi cold antibodies (anti-M, anti-N, anti-

Lea, anti-Leb, anti-P). Fase enzim akan mendeteksi anti-Rh, Lewis dan Kidd. Fase
AHG mengidentifikasi antibodi jenis IgG dan komplemen.

Gambar 1. Prinsip tes skrining metode capture


2. Cara kerja

Cara kerja atau prosedur pemeriksaan dibagi menjadi tiga fase, yaitu;
25
a. Fase salin atau Immediate Spin

1. Siapkan 12 tabung (untuk 11 sel panel, 1 tabung untuk


autokontrol), kemudian beri label pada masing-masing tabung

2. Teteskan 2 tetes serum pasien ke dalam tabung


3. Tambahkan masing-masing 1 tetes sel panel pada 11 tabung,
tambahkan 1 tetes suspense sel pasien ke dalam tabung nomor 12
4. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam

5. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit

6. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolysis atau aglutinasi

7. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan

b. Fase inkubasi pada suhu 37C

1. Tambahkan 1 tetes enzim papain pada masing-masing tabung fase salin

2. Campur dengan baik dan inkubasi pada suhu 37 selama 1 jam


3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
4. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolysis atau aglutinasi
5. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan
c. Fase Anti Human Globulin(AHG)
1. Lakukan pencucian 3x dengan normal salin pada kedua belas tabung yang
digunakan pada fase enzim.
2. Tambahkan 2 tetes reagen AHG, eritrosit yang tersentisasi akan diikat oleh
antibodi pada AHG
3. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit
4. Goyangkan tabung dan baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi
5. Catat hasil yang didapat pada kartu sel panel yang sudah disiapkan

25
Gambar 2.Prosedur pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi21

C. Pasca analitik20,21
1. Interpretasi Hasil
Aglutinasi atau hemolisis pada pemeriksaan skrining antibodi menyatakan hasil positif
(Gambar 4). Antibodi kelas IgM umumnya bereaksi pada suhu kamar atau suhu yang lebih
rendah dan mampu menyebabkan aglutinasi pada eritrosit yang disuspensi pada medium salin
(fase salin/ Immediate Spin). Antibodi kelas IgG bereaksi baik pada fase AHG dan
menyebabkan aglutinasi. Pada fase inkubasi, umumnya IgG dan IgM yang mengaktivasi
komplemen. (Tabel 1)

+4 +3 +2 +1 0

25
Gambar 3. Derajat positif pada pemeriksaan skrining antibody metode tabung21

Tabel 1. Jenis Antibodi yang bereaksi optimal pada masing-masing fase pemeriksaan skrining
antibodi.21

0. Pemeriksaan Cross Match Metode gel

Prinsip pemeriksaan cross match metode gel adalah penambahan suspensi sel dan
serum atau plasma dalam microtube yang berisi gel di dalam buffer berisi reagen (Anti-A,
Anti-B, Anti-D, enzim, Anti-Ig G, Anti komplement). Microtube selanjutnya diinkubasi
selama 15 menit pada suhu 37C dan disentrifus. Aglutinasi yang terbentuk akan terperangkap
di atas permukaan gel. Aglutinasi tidak terbentuk apabila eritrosit melewati pori-pori gel, dan
akan mengendap di dasar microtube.24

Keterangan gambar :

A. 4+: Aglutinasi sel darah merah membentuk garis di atas microtube gel.

B. 3+: Aglutinasi sel darah merah kebanyakan berada diatas setengah dari microtube gel.

C. 2+: Agutinasi sel darah merah terlihat di sepanjang microtube gel

D. 1+: Aglutinasi sel darah merah berada di bawah setengah dari microtubegel
E.-:Aglutinasi semua sel darah merah lolos dibagian bawah microtube gel.Metoda gel merupakan
metode untuk mendeteksi reaksi sel darah merah dengan antibodi. Metode gel akan lebih cepat dan
mempunyai akurasi tinggi dibandingkan dengan metode tabung. 26

NoMayor Minor AC / DCT Kesimpulan

Darah dapat
1. - - -
disalurkan
Periksa sekali lagi golongan darah
pasien, apakah sudah sama dengan
donor, apabila golongan darah sudah
sama, berarti terdapat antibodi ireguler
pada serum pasien  Ganti darah donor
25

Ganti Darah Donor


Apabila derajat positif pada minor ≤
2. + - -
derajat positif pada AC / DCT  Darah
boleh disalurkan  INFORMED
CONCENT

3. - + -

4. - + +

Periksa ulang golongan darah


pasien maupun donor,
bandingkan derajat positif AC dengan minor
5. + + +

Positif Mayor  Ganti darah donor

6. Pemeriksaan Coombs Test

Percobaan Coombs mencari adanya antiglobulin. Jika semacam antibodi melekat pada eritrosit
yang mengandung antigen, maka antibodi yang spesifik terhadap antigen itu mungkin
menyebabkan eritrosit-eritrosit bergumpal(aglutinasi). Globulin merupakan antibodi penghalang
(blocking antibodies) atau antibodi tak lengkap (incomplete antibodies). Pada konsentrasi tinggi
antibodi ini melapisi eritrosit tetapi tidak dapat mengaglutinasikannya dalam larutan salin.
Anti human globulin akan bereaksi dengan setiap globulin manusia. Karena itu penting bahwa
semua globulin bebas harus dibuang dari sel darah merah dengan pencucian yang bersih sebelum
penambahan anti human globulin. Sisa globulin serum dalam larutan akan bergabung dengan anti
human globulin mengakibatkan anti human globulin tidak mampu lagi mengaglutinasi sel yang telah
disensitisasi, dan menyebabkan suatu tes Coombs negatif yang salah (false negative).
Tes Coombs langsung (Direct Coombs Test / DCT) digunakan untuk mendeteksi antibodi atau
komplemen pada permukaan sel darah merah dimana sensitisasi telah terjadi secara invivo. Reagen anti
human globulin ditambahkan pada sel darah merah yang telah dicuci dan aglutinasi menunjukkan tes
positif.
Tes Coombs tidak langsung (Indirect Coombs Test / ICT) digunakan untuk mencari adanya
antibodi irregular (inkomplit) dalam serum. Terlebih dahulu dilakukan pelapisan eritrosit-eritrosit
normal bergolongan O (atau eritrosit- eritrosit yang golongannya sesuai dengan serum yang diperiksa)
dengan serum yang diketahui atau tersangka mengandung antibodi penghalang. Langkah berikutnya
ialah membuktikan adanya antibodi tersebut dengan menggunakan Serum Coombs.

A. TES COOMBS LANGSUNG

I. PRINSIP
Antigen + Antibodi Inkomplit (pada eritrosit pasien) + Serum Coombs
serum → Aglutinasi (+).

II. TUJUAN
Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada eritrosit pasien dan
terjadi secara invivo (di dalam tubuh).

25
III. METODE
A. PRA ANAHITIK
Alat dan Bahan =

a. Tabung Serologi
b. Pipet Tetes
c. Sentrifuge
d. Kaca Objek
e. Mikroskop
f. Medium Salin (NaCl 0,9 %)
g. Serum Coombs (Anti Human Globulin)
h. Contoh Darah Pasien

A. ANAHITIK
Cara Kerja :

a. Siapkan suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah pasien.


b. Sediakan 2 buah tabung, isi masing-masing tabung dengan 1 tetes suspensi eritrosit 5 %
(pasien).
c. Lakukan pencucian dengan salin sebanyak 3 kali.
d. Pada tabung I (tes) tambahkan 2 tetes Serum Coombs, pada tabung II (kontrol) tambahkan 2 tetes
salin. Kemudian sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 detik.
e. Baca secara makroskopis dan mikroskopis.

C. PAVCA ANAHITIK
Interpretasi :

Direct Coombs Test (DCT) positif (+), artinya terdapat sel coated secara invivo pada
eritrosit pasien. Biasanya terjadi pada penderita AIHA (Auto-
Immune Haemolytic Anemia), HDN (Haemolytic Disease of Newborn), dan orang yang
mendapat transfusi darah dengan Rhesus yang berbeda.
Direct Coombs Test (DCT) negatif (-), artinya tidak terdapat sel coated secara invivo.

A. TES COMBS TIDAK LANGSUNG

I. PRINSIP

Antigen + Antibodi Inkomplit (pada serum donor / pasien) + Serum


Coombs → Aglutinasi (+).

II. TUJUAN
Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada eritrosit dan terjadi
secara invitro (di luar tubuh).
III. METODE
A. PRA ANALITIK

Alat dan Bahan :

25
a. Tabung Serologi
b. Pipet Tetes
c. Sentrifuge
d. Kaca Objek
e. Mikroskop
f. Larutan Salin (NaCl 0,85 % - 0,9 %)
g. Serum Coombs (Anti Human Globulin)
h. Contoh Darah

A. ANALITIK
Cara Kerja :

a. Siapkan serum dari contoh darah yang akan di periksa.


b. Siapkan pula suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah dan suspensi sel darah O. —
Siapkan 2 tabung, isi masing masing ta bung 2 tetes plasma/serum.
c. Tabung I teteskan 1 tetes susp sel O, tabung II suspensi sampel. — Putar 3000
rpm selama 15 detik baca reaksi.

d. Apabila negatif lanjutkan, tambahkan bovine albumin 22% sebanyak 2 tetes ke masing-masing
tabung.
e. Inkubasi pada suhu 37⁷C selama 15 menit.
f. Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi.
g. Bila negative lakuakan pencucian dengan saline 3x.
h. Tambahkan ke masing-masing tabung 2 tetes AHG.
i. Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi secara makroskpis dan mikroskopis.
j. Bila negatif, validasi dengan CCC.

25
C. PASCA ANALITIK
Interprestasi hasil :
• Apabila hasil ICT positif : adanya antibody yang coated
pada sel darah

merah secara invitro.


• Apabila hasil ICT negatif : tidak adanya antibody yang
coated pada sel
darah merah secara invitro.27

2.5 Penatalaksanaan dari Inkompatibilitas

2.5.1 Penatalaksanaan Umum

Secara umum, penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada kasus


inkompatibilitas ABO adalah pemberian obat yang bersifat meredakan
reaksi alergi, seperti antihistamin; obat yang menurunkn reaksi inflamasi
seperti steroid; pemberian cairan fisiologis secara intravena; serta pemberan
obat yang menaikkan tekanan darah seperti epinefrin apabila penurunan
tekanan darah terjadi secara drastis.13,14

2.5.2 Penatalaksanaan Inkompatibilitas ABO pada Transfusi

Pada kasus inkompatibilitas ABO yang terjadi pada transfusi darah,


hal pertama yang perlu dilakukan tenaga kesehatan adalah mengehntikan
transfusi secepatnya, lalu memberikan infus cairan salin yang bertujuan
menghindarkan penderita mengalami kegagalan ginjal, pembekuan darah
berkepanjangan, dan penurunan tekanan darah yang drastic. Selain itu, perlu
juga dilakukan pemberian oksigen yang cukup untuk penderita dan juga
obat yang dapat menstimulasi pengeluaran urine. Apabila penderita
memiliki kecenderungan untuk mengalami pembekuan darah yang
menyebar, sebaiknya mendapatkan transfusi plasma atau trombosit.15

1
2.5.3 Penatalaksanaan Inkompatibilitas ABO pada Neonatus

Penatalaksanaan kasus inkompatibilitas ABO pada neonatus umunya


lebih berfokus pada penanganan hiperbilirubinemia. Pada beberapa
penelitian, IVIG (Intravenous Immunoglobulin) dinyatakan sangat efektif
ketika diberikan di awal terapi.16,17 Namun, ada pula beberapa penelitian lain
yang menyatakan bahwa terapi dengan IVIG tidak memberikan dampak
yang signifikan, akan tetapi cocok dilakukan apabila kadar bilirubin serum
sudah mencapai ambang transfusi tukar terlepas dari fototerapi.18 Selain itu,
porfirin tin (Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah
dinyatakan dapat menurunkan produksi dari bilirubin dan mengurangi
kebutuhan untuk melakukan transfusi tukar. Fokus utamaditekankan pada
manajemen dari hiperbilirubinemia.19
Pada inkompatibilitas ABO yang terjadi pada neonates,
penatalaksanaan secara umum dibagi menjadi 2 yakni penatalaksanaan
secara farmakologi dan non farmakologi.
1. Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi pertama adalah pemberian obat pengikat
bilirubin. Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna
kadar bilirubin rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat,
tetapi potensi terapeutik modalitas ini belum diteliti secara ekstensif.
Penatalaksanaan farmakologis yang kedua yaitu blokade perubahan heme
menjadi bilirubin. Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan
bilirubin dengan menghambat heme oksigenase yang akan menghambat
penguraian heme menjadi bilirubin. Umumnya, metaloporfirin sintetik
seperti protoporfirin timah sering digunakan karena yang terbukti dapat
menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum, dan
meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisme melalui empedu.
Karena potensi toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara
pasti, maka jenis obat ini belumditerapkan secara klinis pada anak. Selain
protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin seng atau mesoporfirin. 19
2. Non Farmakologi

2
Penatalaksanaan non farmakologi yang paling lazim dilakukan adalah
fototerapi. Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas
terapeutik pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neon
atus dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi. Bilirubin yang bersifat
fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar
dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang420
nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin.
Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu
akan larut dalam air danakan lebih mudah `diekskresikan melalui urine.
Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen
yang sangat reaktif secara irreversible yang diaktifkan oleh sinar. Produk
foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine danempedu.
Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik,
tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen
setelah melakukan transfusi tukar. 19
Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas
bagian kulit bayi yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi
terbanyak terjadi pada bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan
subkutan, jumlah energi cahaya yang menyinari kulit bayi, pengubahan
posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan bayi diatur
agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak boleh melebihi 50
cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa didapatkan
dari lampu neon 20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang
sinar antara 350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula
pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru untuk
memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:
a. Diusahakan seluruh permukaan tubuh bayi terpapar sinar, jad pakaian
bayi dilepas.
b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan
cahayauntuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan
maturasi seksual.

3
c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak
terbaik untuk mendapat energi cahaya yang optimal.
d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar.
e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali.
f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali
dalam 24 jam.
g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi.
h. Lama terapi sinar dicatat.
Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum
yang berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya
komplikasi pada bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan
metabolisme yang harus diperbaiki. Beberapa efek samping yang dapat terjadi
pada bayi dengan terapi sinar, antara lain peningkatan insensible water loss pada
bayi sehingga perlu diberikan pemberian cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi
defekasi bayi meningkat akibat peningkatan peristatltik usus, dapat terjadi
diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin
yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina yang dilaporkan pada hewan
percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada bayi oleh
karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting, hipokalsemia yang lebih
umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang berlebihan. Walau
begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat aman dan tidak
memiliki efek samping serius yang berkelanjutan, efek samping akan hilang ketika
terapi dihentikan segera.20

Selain fototerapi, ada pula penatalaksanaan non farmakologi lainnya, yaitu


transfusi tukar. Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%.
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs
direk positif.

4
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas
bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi.
Sebagai tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi
eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika
tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi. Transfusi tukar terutama
direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan ketika bayi mengalami
ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO sehingga jenis
ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko
neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini
dilakukan dengan mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga
menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi
serta melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat
invasif dan bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko
mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi necrotizing
enterocolitis (NEC), infeksi, gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia
sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hati-hati. 20
Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk
mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin
yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu
kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh
antibodi.16
Berdasarkan pemaparan di atas, penatalaksanaan inkompatibilitas ABO pada
neonatus secara singkat disajikan dalam tabel berikut.

5
Tabel 1. Pedoman pengelolaan Ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Sistem golongan darah ABO merupakan sistem golongan darah yang


terpenting dalam transfusi. Sistem penggolongan darah ini adalah yang paling
imunogenik dari semua antigen golongan darah. Ketidakcocokan atau
inkompatibilitas dalam konteks golongan darah ini disebabkan oleh pengikatan
antibodi plasma dengan antigen sel darah merah, sehingga menyebabkan reaksi.
Dalam tes laboratorium reaksi ini adalah yang paling umumnya divisualisasikan

6
dengan aglutinasi dari sel-sel darah merah. Di tubuh, reaksi antigen-antibodi dapat
terjadi sebagai konsekuensi yang merugikan dari transfusi darah atau kehamilan,
mengakibatkan kerusakan sel darah merah dipercepat. Oleh karena itu penting
untuk mendeteksi ketidaksesuaian antara plasma pasien dan sel darah merah dari
donor darah potensial sebelum transfusi, untuk menghindari reaksi transfusi.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya inkompatibilitas pada
sistem ABO. Yang pertama karena adanya reaksi hemolitik fatal karena ABO
transfus darah yang tidak kompatibel yang disebabkan karena adanya kesalahan
identifikasi (nursing error), Label sample darah tertukar (phlebotomist error),
Adanya kesalahan saat mengambil sample (phlebotomist error), Adanya
kekeliruan saat uji pretransfusi (lab error). Selain itu juga dapat terjadi karena
adanya reaksi hemolitik akibat transfusi dan adanya reaksi imunitas antigen
antiodi.
Inkompatibilitas ABO dapat terdiagnosa apabila saat transfusi darah pasien
mengindikasikan adanya reaksi-reaksi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pemeriksaan darah lengkap (DL) dan urin lengkap (UL) sangat dianjurkan untuk
memastikan adanya sel darah merah yang lisis atau hemoglobin pada urin sebagai
akibat hancurnya sel darah merah. Inkompatibilitas ABO yang terjadi pada
seseorang atau janin dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau bahkan
kematian. Pengukuran titer antibody dengan tes Coombs sangat di perlukan.
Namun secara umum ada penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada kasus
Inkompatibilitas ABO adalah pemberian obat yang bersifat meredakan reaksi
alergi, seperti antihistamin; obat yang menurunkn reaksi inflamasi seperti steroid;
pemberian cairan fisiologis secara intravena; serta pemberan obat yang menaikkan
tekanan darah seperti epinefrin apabila penurunan tekanan darah terjadi secara
drastic. Selain penatalaksanaan secara umum juga ada penatalaksanaan
Inkompatibilitas ABO pada Transfusi yaitu menghentikan transfusi secepatnya
dan memberi cairan normal salin, dan penatalaksanaan yang kedua yaitu pada
Neonatus yang lebih mengutamakan penanganan pada hyperbilirubinemia.

7
DAFTAR PUSTAKA
1. de Haas M, Thurik FF, Koelewijn JM, van der Schoot CE. Haemolytic
disease of the fetus and newborn. Vox Sang. 2015 Aug;109(2):99-113.
2. Harmening DM, Forneris G, Tubby BJ. Modern Blood Banking and
Transfusion Practise. FA Davis. 2012;6: 119-120.
3. Mitra R, Mishra N, Rath GR. Blood Groups System. 2014 Sep. [diakses
tanggal 10 Maret 2017]. Tersedia
:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4260296/
4. Joyce Poole, International Blood, and Group Reference, ‘Blood Group
Incompatibility’, 2010.

8
5. Hamening D. Modern blood banking & transfusion practices. 1st ed.
Philadelphia: F.A Davis; 2012. H. 120 [ Diakses dari http://goo.gl/StxZYU
tanggal 10 maret 2017]
6. Fasano R, Luban NL. Blood component therapy. Pediatr Clin N Am.
2008;55:421-55.
7. Strobel E. Hemolytic transfusion reaction. Transfus Med Hemother.
2008;35:346-53.
8. Adriansyah, Rizky dkk. Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi. Maj Kedokt
Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009.
9. Sandler SG, Johnson VV. Transfusion reaction. 2009 [cited 10 March 2017]
Available from:http://www.emedicine.com/article/206885
10. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, berada dalam konsistensi cair,
beredar dalam suatu sistem tertutupIndradjaja, Hendra [Internet].
Docplayer.2017 [cited 10 March 2017]. Available from:
http://docplayer.info/35912407-Bab-ii-tinjauan-pustaka-lainnya-
beradadalam-konsistensi-cair-beredar-dalam-suatu-sistem-tertutup.html
11. ABO Grouping – Gonsorcik, Victoria [Internet]. Medscape.com.2013 [cited
10 March 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1731198-overview
12. How Is Hemolytic Anemia Diagnosed? - NHLBI, NIH [Internet].
Nhlbi.nih.gov. 2014 [cited 7 March 2017]. Available from:
https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/ha/diagnosis#
13. Strobel E. Hemolytic Transfusion Reactions. Transfusion Medicine and
Hemotherapy. 2008;35(5):346-353.
14. Todd G. ABO incompatibility. 2015. [diakses pada 11 Maret 2017] Tersedia
di https://medlineplus.gov/ency/article/001306.htm
15. David C. Times health guide: ABO incompatibility. 2012. [diakses pada 11
Maret 2017] Tersedia di http://www.nytimes.com/health/guides/
disease/abo-incompatibility/overview.html
16. Steven K. ABO incompatibility reaction. 2015. [diakses pada 11 Maret
2017] Tersedia di
http://www.healthline.com/health/aboincompatibility#Treatment5

9
17. Mathyas T. Penyakit hemolitik et causa inkompatibilitas ABO. 2014.
[diakses pada 11 Maret 2017] Tersedia di
https://www.scribd.com/doc/226318521/inkompatibilitas-ABO-
padaneonatus
18. Guslihan DT. Hiperbilirubinemia. 2015 [diakses pada 11 Maret 2017]
Tersedia di http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-
NEONATOLOGIATAU-PERINATOLOGI/
ka_.172_slide_hiperbilirubinemia_pada_neonat us.pdf
19. Beken S, Hirfanoglu I, Turkyilmaz C, Altuntas N, Unal S, Turan O et al.
Intravenous Immunoglobulin G Treatment in ABO Hemolytic Disease of the
Newborn, is it Myth or Real?. Indian Journal of Hematology and Blood
Transfusion. 2012;30(1):12-15.
20. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of
pediatrics.19th ed.Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.619.
21. Hassan R, Alatas H, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak.
Jakarta:Indomedika;2007.h.1101-14.
22. Aniesah, Sulastri, Utami Y W. Hubungan Inkompatibilitas ABO Dengan
Angka Kejadian Hiperbilirubin Pada Bayi Baru Lahir Di RS Nirmala Suri
Sukoharjo. 2011: Vol 1. [diakses pada tanggal 6 maret 2017]. Tersedia di
http://eprints.ums.ac.id/14748/

10

Anda mungkin juga menyukai