Kelompok 3 Gadar
Kelompok 3 Gadar
Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kami panjatkan puji syukur
kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Askeb Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal dengan materi Konsep Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Pada Kehamilan Awal di Berbagai Setting Pelayanan Kebidanan. Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat melancarkan pembuatan makalah ini.
Dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
baik dari segi susunan, kalimat, tata bahasa maupun isi dari makalah ini. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik agar kami dapat
memperbaiki makalah untuk tugas-tugas selanjutnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba, atau tidak diduga,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya. Kegawatdaruratan dapat juga
didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-
tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan
jiwa/nyawa. Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang
mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang
mengancam keselamatan ibu dan bayinya.
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama
kematian ibu janin dan bayi baru lahir. Masalah kedaruratan selama kehamilan dapat
disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau penyakit medis atau bedah yang
timbul secara bersamaan. Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan
evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis (≤ usia 28 hari),
serta membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan
kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu.
Kejadian kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah kesehatan yang
sangat penting yang dihadapi di Negara-negara berkembang. Berdasarkan riset World
Health Organization (WHO) pada tahun 2017 Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia masih
tinggi dengan jumlah 289.000 jiwa. Beberapa Negara berkembang AKI yang cukup tinggi
seperti di Afrika Sub-Saharan sebanyak 179.000 jiwa, Asia Selatan sebanyak 69.000 jiwa,
dan di Asia Tenggara sebanyak 16.000 jiwa. AKI di Negara – Negara Asia Tenggara
salah satunya di Indonesia sebanyak 190 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam sebanyak
49 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand sebanyak 26 per 100.000 kelahiran hidup,
Brunei sebanyak 27 per 100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia sebanyak 29 per 100.000
kelahiran hidup.
1
Bidan mempunyai peranan penting dalam menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu melalui kemampuannya untuk melakukan pengawasan, pertolongan pada
ibu, pengawasan bayi baru lahir (neonatus) dan pada persalinan, ibu post partum serta
mampu mengidentifikasi penyimpangan dari kehamilan dan persalinan normal dan
melakukan penanganan yang tepat termasuk merujuk ke fasilitas pelayanan yang tepat.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 ABORTUS
Abortus merupakan ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu
hidup diluar kandungan , dikatakan abortus bila usia kehamilan masih dibawah 20
minggu atau berat janin masih kurang dari 500 gram (Sarwono, 2016).
Abortus dibagi menjadi dua , yaitu abortus yang disengajaatau provokatus dan abortus
spontan. Abortus spontan yaitu dilakukan tanpa Tindakan melainkan alamiah sendiri,
sedangkan abortus provokatus dibagi menjadi 2 yaitu abortus provokatus medisinalis dan
abortus provokatus kriminalis (Sarwono, 2016).
Kejadian abortus tidak hanya terjadi pada 1 faktor. Ada beberapa factor yang bisa
menjadi salah satu kemungkinan terjdinya abortus yaitu : factor genetic, kelainan
kongenital uterus, autoimun, defek fase luteal, infeksi, hematologic, dan lingkungan. Usia
kehamilan bisa menjadi gambaran factor terjadinya abortus. Sepereti contohnya
antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks terjadi pada kehamilan
trimester pertama (Sarwono, 2016).
Penanganan Umum :
1. Lakukan penilaian awal untuk menentukan kondisi pasien ( gawat darurat, komplikasi
berat, atau stabil ).
2. Pada kondisi gawat darurat, upayakan stabilisasi pasien sebelum melakukan
penanganan lanjutan.
3. Penilaian medik untuk menentukan penananan difasilitas Kesehatan
- bila syok atau kondisi memburuk akibat perdarahan hebat, segera atasi komplikasi
dengan penatalaksanaan syok.
3
- -gunakan jarus infus besar 16 g dan beri tetesan cepat 500 ml dalam 2 jam
pertama dengan larutan garam fisiologis atau ringer.
- periksa hb, golongan darah dan uji padanan silang.
- bila terdapat tanda sepsis lakukan terapi antobiotik
4. Temukan dan hentikan perarahan
5. 5. Lakukan pemantauaan kondisi pascatindakan dan perkembangan lanjut. ( Sarwono,
2016 )
Penilaian awal :
Pasien yang mengakami abortus iminen biasanya merasa mulas atau tidak sama
sekali, kecuali terlihata adanya darah yag keluar dari vagina. Bila dilakukan tes urin
masih terlihat positif dari hormone HCG, ostium uteri masih tertutup. Peanganan yang
sesuai untuk dapat mempertahankan kehamilan, dilakukan pemeriksaan USG untuk
melihat keadaan plasenta apakah masih utuh atau sudah terlepas, keadaan kantong gestasi
ukurannya apakah sesuai dengan usia gestasi berdasarkan HPHT, denyut jantung janin
dan gerakan janin, hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Dapat pula
dilakukan dengan USG transabdominal maupun transvaginal. ( Sarwono, 2016 )
4
bermakna bagi ibu melalui efek psikologisnya. Dan pasien diberi perintah untuk
menghindari hubungan seksual minimal 2 minggu. ( Sarwono, 2016 )
5
Kasus = ASUHAN KEBIDANAN PADA NY.’’ N” 𝐆2𝐏𝟏A𝟎 DENGAN ABORTUS
S=
Ibu mengatakan hamil 3 bulan anak kedua, jam08.00 wita keluar darah seperti flek-
flek hitam dari kemaluannya. Pada riwayat kesehatan sekarang didapatkan ibu mengatakan
pada tanggal 14 Maret 2019 jam 08.00 wita terjatuh di kamar mandi pada saat mau BAK dan
merasakan sedikit nyeri pada pinggang bawah,dan mengeluarkan darah sedikit-sedikit dari
kemaluannya, dan ibu tidak mempunyai riwayat keguguran.kemudian ibu langsung di bawa
ke RS di ruang poli kandungan dan dilakukan pemeriksaan TTV , TFU, Porsio utuh dan USG
oleh dr. SPOG. HPHT 16-12-2018 dan HPL 23- 09-2019.
O=
A = Ny.”N” G2P1A0 umur 36 tahun usia kehamilan 13 minggu dengan abortus imminens.
P=
6
,pemeriksaan USG saat ini. TFU : 2 jari diatas simfisis,VT : Tidak ada
pembukaan,USG : Terlihat janin utuh,DJJ 144x/mnt.
3. Melakukan pemasangan infus pada ibu seperti Infus RL 20 tpm.
4. Menjelaskan pada ibu untuk BAB dan BAK menggunakan pispot.
1. 5.Menjelaskan pada ibu untuk makan-makanan yang bergizi seperti tinggi kalori (
beras, gandum, kentang, ubi,dll) dan protein (ikan, daging, telur, kedelai, tempe, tahu,
kacang-kacangan, dll).
5. Memberikan penjelasan tentang personal hygine yaitu mengganti pembalut minimal
3x sehari dan pakaian bila basah/kotor.
6. Membantu dokter dalam pemberian terapi sesuai dengan saran dokter, hasil infus RL
20 tetes/mnt, Injeksi Asam tranexsamat 1 gr atau 10 mg/3 hari( Iv), Presmaton5 mg
2x1 (oral), Vit C 1x1 (oral), Amoxcilin 3x1 (oral), Asam mefenamat 3x1 (oral), Fe
1x1 (oral).
7. Melakukan pemantauan observasi perdarahan pervaginam.
Pasien akan merasa mulas yang hebat karena adanya kontraksi uterus yang kuat, serta
perdarahan yang semakin membanyak sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan usia
gestasi. Tes urin masih positif kadar HCG, detak jantung janin masih ada walau tidak
beraturan serta Gerakan janin juga sudah mulai tidak beraturan, terlihat penipisan serviks
dan terjadi tanda pelepasan plasenta. (Sarwono, 2016 )
Pengelolaan dengan melihat keadaan umum pasien dan perubahan hemodinamik yang
terjadi, segera lakukantindakan evakuasi hasil konsepsi selanjutnya kuretase bila
perdarahan banyak. Pada usia kehamilan diatas 12 minggu uterus sudah melebihi ukuran
telur angsa, kuretase harus dilakukan hati-hati. Lebih baik dilakukan kuretase dengan
pemantauan digital, selanjutnya sambal diberika uterotonika, dilakukan untuk mencegah
adanya perforasi atau terjadi lubang atau luka pada dinding uterus. Pascatindakan
dilakukan perbaikan keadaan umum, terapi uteroronika, dan antibiotika profilaksis. (
Sawrono, 2016 )
7
Sumber : Google “ abortus insipient “
Aspirasi vakum manual salah satu opsi pembedahan yang bisa digunakan pada usia
kehamilan 6 minggu, serta tingkat komplikasi yang lebih rendah daripada D&K. Saat
digunakan untuk evakuasi kehamilan, aspirasi vakum 98% efektif untuk menghilangkan
semua isi rahim. Hasil konsepsi yang tertinggal biasanya memerlukan prosedur aspirasi
kedua. Tingkat infeksinya 0,5%. Komplikasi lain terjadi pada tingkat kurang dari 1 per
100 prosedur dan termasuk kehilangan darah yang berlebihan, membuat lubang melalui
8
serviks atau uterus ( perforasi ) yang dapat menyebabkan cedera pada organ internal lain,
dan adhesi uterus ( Asherman sindrom ).
9
Infeksi dalam Rahim dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus tetapi
biasanya didapatkan pada abortus inkomplit yang berkaitan erat dengan suatu
abortus yang tidak aman
4. Diagnosa
a. Diagnosa secara umum
1. Adanya perdarahan pervaginam yang berasal dari kanalis servikalis pada
wanita yang terlambat haid dalam masa reproduksi :
a) Perdarahan merupakan tanda paling umum
b) Perdarahan yang terjadi bisa berupa bercak – bercak sampai dengan
perdarahan hebat
c) Kadang – kadang terdapat bagian jaringan yang robek dan ikut keluar
bersamaan dengan darah
2. Dibuktikan dengan adanya kehamilan secara fisik laboratorium
3. Sering disertai dengan adanya rasa mules/keram atau kejang pada perut
b. Tindakan klinik yang dapat dilakukan untuk mengetahui terjadinya abortus :
1. Terlambat haid
2. Pemeriksaan fisik yang terdiri dari :
a) KU tampak lemah
b) Tekanan darah normal atau menurun
c) Suhu badan normal atau meningkat
d) Jika keadaan memburuk, lakukan resusitasi dan stabilisasi
3. Anamnesa dan observasi
Adanya perdarahan pervaginam yang dapat disertai keluarnya jaringan janin,
mual dan nyeri pinggang atau pada bagian bawah perut akibat kontraksi
uterus, observasi usia kehamilan ibu
4. Pemeriksaan ginekologi
Inspeksi Vulva untuk menilai pedarahan pervaginam dengan atau tanpa
jaringan hasil konsepsi
a) Pemeriksaan pembukaan serviks
b) Inspekulo menilai ada tidaknya perdarahan dari kavum uteri, ostium
uteri terbuka atau tertutup, ada atau tidaknya jaringan di ostium, ada
atau tidaknya cairan atau jaringan busuk dari ostium
10
c) VT menilai portio masih terbuka atau tertutup, teraba atau tidak
jaringan dalam kavum uteri, tidak nyeri saat portio digoyang, kavum
deuglas tidak menonjol dan tidak nyeri
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan USG utuk menentukan janin masih hidup atau tidak
5. Penatalaksanaan
1. Lakukan penilaian secara tepat mengenai keadaan umum pasien, termasuk tanda –
tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan)
2. Jika perdarahan tidak terlalu banyakdan kehamilan kurang dari 16 minggu,
evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan forsep cincin utnuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan
berhenti, beri ergometrin 0,2 mg per IM atau misoprostol 400 mcg per oral.
3. Jika perdarahan banyak atau berlangsung dan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, evakuasi sisa hasil konsepsi dengan
a) Aspirasi Vakum Manual (AVM), kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan
jika aspirasi vakum tidak ada
b) Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrin 0,2 mg per
IM (diulang setelah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral
(dapat diulang setelah 4 jam jika perlu)
4. Jika kehamilan lebih dari 16 minggu :
a) Berikan infus oksitosin 20 IU dalam 500 ml cairan IV (Nacl atau RL)
dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi
b) Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg per vaginam setiap 4 jam sampai
terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg)
c) Evakuasi hasil konsepsi yang tertinggal di dalam uterus
5. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan
6. Tatalaksana penanganan abortus inkomplit
a. Pengeluaran sisa jaringan secara digital
Tindakan ini dilakukan untuk menolong penderita di tempat – tempat yang tidak
ada fasilitas kuratase, sekurang-kurangnya untuk menghentikan perdarahan. Hal
ini sering dilakukan pada keguguran yang sedang berlangsung (abortus insipiens)
dan abortus inkompletus.Pembersihan secara digital hanya dapat dilakukan bila
telah ada pembukaan serviks uteri yang dapat dilalui oleh satu jari longgar dan
vakum uteri cukup luas. Karena manipulasi ini, akan menimbulkan rasa nyeri
11
maka sebaiknya dilakukan dalam narkosa umum intravena atau anastesi blok pars
servikal.Caranya adalah dengan dua tangan (bimanual), jari telunjuk dengan jari
tengan dimasukan kedalam jalan lahir untuk mengeluarkan hasil konsepsi,
sedangkan tangan kiri menekan korpus uteri sebagai fiksasi. Dengan kedua jari
tangan kikislah hasil konsepsi sebanyak mungkin atau sebersihnya.
b. Pengeluaran sisa jaringan dengan kuratase atau kerokan
Prosedur kerja kuratase adalah suatu rangkaian proses pelepasan jaringan yang
melekat pada dinding cavum uteri dengan melakukan invasi dan memanipulasi
instrument (sendok kuret). Sendok kuret akan melepas jaringan tersebut dengan
tehnik pengerokan secara sistematis.
Abortus Komplit
12
B. Tanda dan Gejala
1. Perdarahan sedikit karena seluruh hasil konsepsi telah keluar
2. Perut terasa sedikit nyeri karena kontraksi uterus telah berkurang
3. Pada pemeriksaan luar, TFU lebih kecil daripada usia kehamilan
4. Pada pemeriksaan dalam serviks telah menutup
5. Pada pemeriksaan tes urine hasilnya masih menunjukkan positif hingga 7-10 hari
pasca abortus (Putri dan Siti, 2019)
Diagnosisnya ditemukan pendarahan yang kemudian berhenti spontan setelah
semua produk kehamilan keluar, ada kontraksi uterus yang terasa nyeri yang juga
akhirnya yang juga berhenti setelah produk konsepsi keluar. Pada pemeriksaan
ginekologi ostium uteri eksternum tertutup dengan pendarahan minimal dan tidak
ditemukan adanya jaringan yang keluar, serta uterus mengecil. (Suroso)
C. Penanganan Umum
1. Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien, termasuk tanda
– tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu).
2. Periksa tanda-tanda syok yaitu wajah pucat, berkeringat banyak, pingsan, tekanan
sistolik kurang dari 90 mmHg, nadi lebih cepat yaitu lebih dari 112x/menit.
3. Jika dicurigai terjadi syok, segera mulai penanganan syok
4. Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat
penolong melakukan evaluasi terhadap kondisi wanita karena kondisinya dapat
memburuk dengan cepat. Jika terjadi syok, sangat penting melakukan penanganan
syok dengan segera.
4. Jika pasien dengan keadaan syok pikirkan kemungkinan kehamilan ektopik
terganggu.
5. Pasang infus NaCl atau RL dengan jarum besar (16G atau lebih besar) dengan
tetesan 500 ml dalam dua jam pertama. Kemudian setelah diketahui abortus apa
yang terjadi lakukan penanganan secara spesifik. (Yulia Tan)
D. Penatalaksanaan
1. Ibu dengan diagnosa abortus completus tidak memerlukan penanganan khusus
karena hasil konsepsi telah sepenuhnya keluar sehingga tidak menimbulkan
gangguan atau ancaman yang membahayakan ibu. (Putri dan Siti, 2019)
13
pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan.
(Sarwono, 2016)
2. Tidak diperlukan evakuasi
3. Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan
kontrasepsi pasca keguguran (AKDR)
4. Observasi keadaan ibu
5. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus (Zat Besi/Fe) 600
mg/hari selama 2 minggu, disertai dengan anjuran mengonsumsi makanan bergizi
(susu, sayuran segar, ikan, daging, telur). Jika anemia berat, berikan transfusi
darah
6. Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu (Kemenkes dan HOGSI, 2013)
7. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah
memadai.
8. Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif 7-10 hari setelah abortus.
(Sarwono, 2016)
9. Biasanya diberikan roboransia (vitamin) atau hematenik (memperbaiki proses sel
darah merah) bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.
10. Apabila kondisi pasien cukup baik, cukup diberikan tablet Ergometrin 3x1 tablet/
hari untuk 3 hari. (Saifuddin, 2009)
11. Apabila tidak terdapat tanda-tanda infeksi tidak perlu diberi antibiotika, atau
apabila khawatir akan infeksi dapat diberi antibiotika profilaksis. (Saifuddin,
2009)
14
2.6 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan dengan pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi dan tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Bila kehamilan
tersebut mengalami proses pengakhiran (abortus) maka disebut dengan kehamilan ektopik
terganggu (KET). Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopi (90-95%)
dengan 70-80% di ampula. (Dewi dan Risilwa, 2017).
Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering karena sel telur yang sudah
dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga embrio sudah
berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar rongga
Rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan
besarnya buah kehamilan, akan terjaadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik
terganggu. (Prawirohardjo, 2016)
Penilaian Klinik
15
Pada keadaan ini, ditemui gejala kehamilan muda (terlambat haid, mual dan
muntah, pembesaran payudara, flek atau perdarahan yang ireguler, garis tengah perut,
peningkatan rasa ingin berkemih, porsio livide, perlunakan serviks) (Saifuddin, 2009)
Tanda – tanda tidak umum dari hasil pemeriksaan bimanual pada tahapan ini adalah :
o Adanya massa lunak di adneksa (hati-hati saat melakukan pemeriksaan karena
dapat terjadi rupture atau salah duga dengan ovarium atau kista kecil)
o Nyeri goyang porsio
Kehamilan Ektopik Terganggu
Sakit perut mendadak yang mula-mula terdapat pada satu sisi kemudian
menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut sehingga menekan diafragma
Nyeri bahu iritasi saraf frenikus
Pucat / anemis
Kesadaran menurun dan lemah
Syok hipovolemik
Darah intraperitoneal meningkat timbul nyeri dan terjadi defence muskuler
dan nyeri lepas.
Bila terjadi hematokel retrouterina dapat menimbulkan nyeri defekasi dan
selanjutnya diikuti dengan syok (Hipotensi dan hipovolemia)
Serviks tertutup
Perdarahan dari uterus tidak banyak dan berwarna merah tua
Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG.
(Setyarini dan Suprapti,2016)
Pemeriksaan Penunjang
16
mengakibatkan terjadinya perdarahan dalam rongga perut dan memperhatikan apakah
terjadi hematokel retrouterina. (Maharani,2018)
17
- Suhu > 38ºC
- Tampak kesakitan, pucat
- Tekanan darah menurun, nadi
meningkat.
(Setyarini dan Suprapti,2016)
18
a. Pastikan darah yang dihisap dari rongga abdomen telah melalui alat
penghisap dan wadah penampung yang steril.
b. Saring darah yang tertampung dengan kain steril dan masukan kedalam
kantung darah (blood bag) apabila kantung darah tidak tersedia masukan
dalam botol bekas cairan infus (yang baru terpakai dan bersih) dengan
diberikan larutan sodium sitrat 10 ml untuk setiap 90 ml darah.
c. Transfusikan darah melalui selang transfusi yang mempunyai saringan pada
bagian tabung tetesan.
e) Tindakan pada tuba dapat berupa :
a. Parsial salpingektomi yaitu melakukan eksisi bagian tuba yang mengandung
hasil konsepsi. pembedahan untuk menyingkirkan/membuang Tuba Fallopi
b. Salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya konservasi dimana tuba
tersebut merupakan salah satu yang masih ada) yaitu mengeluarkan hasil
konsepsi pada satu segmen tuba, metode membuka Tuba Fallopi, tetapi tanpa
menyingkirkan tuba. Resiko tindakan ini adalah control perdarahan yang
kurangg sempurna atau rekurensi (hamil ektopik ulangan).
f) Mengingat kehamilan ektopik berkaitan dengan gangguan fungsi transportasi tuba
yang disebabkan oleh proses infeksi maka sebaiknya pasien diberi antibiotik
kombinasi atau tunggal dengan spectrum yang luas.
g) Untuk kendali nyeri pascatindakan dapat diberikan :
a. Ketoprofen 100 mg supositoria
b. Tramadol 200 mg IV
c. Pethidin 50 mg IV (siapkan antidotum terhadap reaksi hipersensitivitas)
h) Atasi anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari.
i) Konseling pasca tindakan :
a. Resiko hamil ektopik ulangan
b. Kontrasepsi yang sesuai
c. Asuhan mandiri selama di rumah. (Saifuddin, 2009)
19
bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 atau 2 cm. Gambaran histopatologik yang
khas dari mola hidatidosa ialah edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada
vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas (Prawirohardjo, 2016).
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian atau
seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang
menyerupai anggur. Mola hidatidosa biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-
kadang mola hidatidosa terletak di tuba fallopi dan bahkan ovarium (Dewi, 2011).
I. Faktor Resiko
Menurut Dewi (2011), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mola
hidatidosa adalah:
a. Usia Ibu
Peningkatan resiko untuk mola hidatidosa karena kedua usia reproduksi
yang ekstrim (terlalu muda dan terlalu tua). Hal ini berhubungan dengan keadaan
patologis ovum premature dan postmature. Ovum dari wanita yang lebih tua lebih
rentan terhadap pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah penelitian, resiko
untuk mola hidatidosa meningkat 2,0 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 35
tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 40 tahun.
b. Status gizi
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin,
dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah makan untuk memenuhi zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan janinnya.
c. Riwayat obstetri
Resiko untuk mola hidatidosa meningkat pada wanita dengan riwayat
aborsi spontan sebelumnya. Sebuah mola hidatidosa sebelumnya juga merupakan
faktor resiko yang kuat. Ibu multipara cenderung beresiko terjadi kehamilan mola
hidatidosa karena trauma kelahiran atau penyimpangan tranmisi secara genetik.
d. Genetik
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil
penelitian sitogenik Kaji et al dan Lawler et al, menunjukkan bahwa pada kasus
mola hidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan Balance translocation
dibandingkan dengan populasi normal (4,6 % dan 0,6 %).
20
e. Kontrasepsi oral dan perdarahan irregular
Resiko untuk mola parsial dihubungkan dengan penggunaan kontrasepsi
oral dan riwayat perdarahan irregular. Kontrasepsi oral, peningkatan resiko mola
hidatidosa dengan lamanya penggunaan. Sepuluh tahun atau lebih meningkatkan
resiko lebih dari 2 kali lipat. Pada salah satu penilitian efek ini terbatas pada
pengguna estrogen dosis tinggi, meskipun pada penelitian yang lain menyebutkan
pil tidak berefek pada komplikasi pasca mola hidatidosa.
f. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relative wanita
yang merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada
wanita yang merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok
berhubungan dengan insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human Ppilloma
Virus), Adenoovirus, dan Tuberkulosis) juga telah dipertimbangkan.
Meskipun peran genetic di dalam perkembangan mola hidatidosa adalah
pasti, sedikit diketahui tentang genotip yang menjadi faktor predisposisi mola
hidatidosa atau faktor lingkungan yang meningkatkan resiko patologis ovum.
II. Klasifikasi
Menurut Dewi (2011), mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa
komplit dan mola hidatidosa parsial berdasarkan morfologi, histopatologi, dan
karyotip. Mola hidatidosa parsial harus dipisahkan dari mola hidatidosa komplit,
karena dari segi pathogenesis (sitogenetik), klinis, prognosis, maupaun gambaran
PA-nya.
a. Mola hidatidosa komplit
Mola hidatidosa komplit merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio
yang seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidrofik yang menyerupai
anggur. Mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai
hyperplasia dari kedua lapisan trofoblas. Pada waktu yang lalu mola hidatidosa
komplit rata-rata terjadi pada usia kehamilan 16 minggu, tetapi pada saat ini
dengan kemajuan teknologi ultrasonografi, mola hidatidosa komplit dapat di
deteksi pada usia kehamilan yang lebih muda. Secara klinis tampak pembesaran
uterus yang lebih besar dari usia kehamilan dan pasien melibatkan gejala toksik
kehamilan. Abortus terjadi dengan perdarahan abnormal dan disertai dengan
keluarnya jaringan mola. Secara makroskopik ditandai dengan gelembung-
21
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yang
bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1-2 centimeter. Massa tersebut dapat
tumbuh besar sehingga memenuhi uterus (Dewi, 2011).
Gambaran histologi mola hidatidosa komplit :
- Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan stroma vilus
- Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
- Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
- Tidak adanya janin dan amnion (Dewi, 2011)
Pada pemeriksaan ultrasonografi terlihat sebuah uterus yang terisi oleh kista
multipel dan area ekogenik yang bervariasi ukuran dan bentuknya (snow-storm
appearance) tanpa adanya embrio dan fetus. Dengan menggunakan pemeriksaan
ini, 79 % mola hidatidosa komplit dapat dideteksi (Dewi, 2011).
22
b. Mola hidatidosa parsial
Mola hidatidosa parsial merupakan keadaan dimana perubahan mola
bersifat lokal serta belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya
kantong amnion. Umunya janin mati pada bulan pertama. Secara makroskopis
tampak gelembung mola yang disertai janin atau bagian dari janin. Mola parsial
tampak gambaran vili yang normal dan udem. Pada mola parsial sering dijumpai
komponen janin. Penderita sering dijumpai pada usia kehamilan lebih tua, yaitu
18-20 minggu. Pada pemeriksaan laboratorium, peningkatan kadar serum β hCG
tidak terlalu tinggi. Gambaran mikroskopis yang tampak adalah sebagian vili
immature yang relative normal dan sebagian lagi vili yang membesar dengan
degenerasi hidrofik (Dewi, 2011).
Pada gambaran histologi tampak bagian vili yang avaskuler, terjadi
pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili yang vaskuler dari
sirkulasi darah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan.
Pada pemeriksaan ultrasonografi, mola hidatidosa parsial dicirikan dengan
pembesaran plasenta, lebih tebal 4 cm dari insersi corda pada trimester kedua dan
terdiri dari banyak area kista (swiss cheese appearance). Diagnosis mola
hidatidosa parsial lebih sulit daripada mola hidatidosa komplit, dengan
pemeriksaan ini hanya 29 % yang dapat dideteksi dalam penelitian skala besar
(Dewi, 2011).
23
Pemeriksaan Ultrasonografi MHP
(Sumber : Dewi, 2011)
24
menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umunya pasien mola
hidatidosa masuk dalam keadaan anemia (Prawirohardjo, 2016).
Perdarahan uterus hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari bercak
sampai perdarahan berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus atau
yang lebih sering terjadi secara intermitten selama beberapa minggu sampai bahkan
bulan (Dewi, 2011).
b. Ukuran uterus
Uterus sering membesar lebih cepat daripada biasanya. Ini adalah kelainan
yang tersering dijumpai dan pada sekitar separuh kasus, ukuran uterus jelas melebihi
yang diharapkan berdasarkan usia gestasi (Dewi, 2011). pada umumnya besar uterus
lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil
atau sama besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini
perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan
kemungkinan adanya jenis dying mole (Prawirohardjo, 2016).
c. Aktivitas janin
Walaupun uterus cukup membesar sehingga mencapai jauh di atas simfisis,
bunyi jantung biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang, mungkin terdapat plasenta
kembar dengan perkembangan kehamilan mola hidatidosa komplit pada salah
satunya, sementara plasenta lain dan janinnya tampak normal. Demikian juga,
walaupun sangat jarang, plasenta mungkin mengalami perubahan mola yang luas
tetapi disertai janin hidup (Dewi, 2011).
d. Hyperemesis gravidarum
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan
kehamilan biasa, yaitu mual, muntah, pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat
keluhannya sering lebih hebat (Prawirohardjo, 2016). Hyperemesis gravidarum yang
ditandai dengan mual dan muntah yang berat. Keluhan hyperemesis terdapat pada 14-
18 % kasus pada kehamilan kurang dari 24 minggu dan keluhan mual muntah terdapat
pada mola hidatidosa dengan tinggi fundus uteri lebih dari 24 minggu. Pada
kehamilan mola hidatidosa, jumlah hormone estrogen dan gonadotropin korionik
terlalu tinggi dan menyebabkan hyperemesis gravidarum (Dewi, 2011).
e. Tanda toksemua/pre-eklampsia pada kehamilan trimester I
Preeklampsia pada mola hidatidosa komplit tidak berbeda dengan kehamilan
biasa, bisa ringan, berat, bahkan sampai eklampsa. Hanya saja pada mola hidatidosa
komplit terjadinya lebih dini. Hal yang paling penting adalah keterkaitan mola
25
hidatidosa dengan preeclampsia yang menetap hingga ke trimester kedua. Memang,
karena preeclampsia jarang dijumpai sebelum 24 minggu, preeclampsia yang terjadi
sebelum ini mengisyaratkan mola hidatidosa (Dewi, 2011).
Seperti juga pada kehamilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan
preeclampsia (eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeclampsia pada mola
terjadinya lebih muda daripada kehamilan biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini
banyak di permasalahkan ialah tirotoksikosis (Prawirohardjo, 2016).
f. Kista lutein unilateral/bilateral
Pada banyak kasus mola hidatidosa, ovarium mengandung banyak kista teka
lutein yang diperkirakan terjadi akibat stimulasi berlebihan elemen-elemen lutein oleh
hormone gonadotropin korion (hCG) dalam jumlah besaar, dapat mengalami torsio
infark, dan perdarahan (Dewi, 2011).
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun
bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada
juga kasus-kasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Kasus
mola dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapat
degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista
(Prawirohardjo, 2016).
g. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin
h. Embolisai
i. Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang
didiiagnosis sebagai aborted inkomplit atau missed abortion.
j. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan obstetric,
seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis, perdarahan
intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.
k. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya
pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan
gejala apa-apa. Akan tetapi, pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini
sedemikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa
menyebabkan kematian (Prawirohardjo, 2016).
V. Penatalaksanaan
Menurut Dewi (2011) terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu:
27
- koreksi dehidrasi
- transfuse darah bila anemia berat
- bila ada gejala preeclampsia dan hyperemesis gravidarum diobati sesuai
dengan protokol
- penatalaksanaan hipertiroidisme
2. pengeluaran jaringan mola
bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan kavum
uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi dengan kuret hisap. Bila serviks
masih tertutup dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10. Setelah seluruh
jaringan dievakuasi dengan kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan hati-hati
untuk memastikan kavum uteri kosong. Penggunaan uterotonika tidak dianjurkan
selama proses evakuasi dengan kuret hisap atau kuret tajam. Untuk menghentikan
perdarahan, uterotonika diberikan setelah evakuasi. Induksi dengan
medikamentosa seperti prostaglandin dan oksitosin tidak dianjurkan karena
meningkatkan emboli trofoblas.
Teknik evakuasi mola hidatidosa ada 2 cara yaitu:
a. kuretase
1. dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah pemeriksaan –
persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hcg serta foto thoraks),
kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan.
2. Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian
3. Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dextrose 5 %.
4. Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu
5. Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium patologi anatomi
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :
- Usia ≥ 35 tahun
- Anak hidup ≥3 orang
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan
misalnya pada usia tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan
28
histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan.
Caranya:
- Methotrexate (MTX) 20 mg/hari i.m, asam folat 10 mg 3 dd 1 dan cursil 35
mg 2 dd 1, selama 5 hari berturut-turut.
Profilaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bermanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, cursil berfungsi sebagai hepatoprotektor
- Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu
antidote maupun hepatoprotektor.
Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca mola hidatidosa adalah
sebagai berikut:
a. Kadar hcg yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum > 20.000 IU/liter,
urine > 30.000 IU/24 jam).
b. Kadar hcg yang meningkat progresif pasca evakuasi
c. Kadar hcg berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pasca evakuasi.
d. Kadar hcg berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis otak, renal,
hepar, traktus gastrointestinal, atau paru-paru.
29
Pada umumnya para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung selama
satu tahun, tetapi ada juga yang sampai dua tahun. selama follow up, hal-hal yang
perlu di catat adalah :
Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun wanita sudah hamil normal lagi,
atau bila setelah setahun, tidak ada keluhan, uterus dan kadar β-hCG dalam batas
normal, serta fungsi haid sudah normal kembali. Selama follow up, kepada wanita
dianjurkan untuk tidak hamil dahulu, karena dapat menimbulkan salah
interpretasi. Salah satu ciri adanya keganasan adalah meningginya kembali kadar
β-hCG, sedangkan pada kehamilan, β-hCG yang tadinya normal akan meninggi
lagi (Dewi, 2011).
Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau kalau β-hCG sudah
normal, atau haid sudah normal kembali, dapat menggunakan pil kombinasi.
Setelah jaringan mola di evakuasi, kadar β-hCG akan menurun secara perlahan-
lahan, sampai akhirnya tidak terdeteksi lagi. Waktu rata-rata yang diperluakn
untuk mencapai kadar normal (<5 IU/ml) adalah 12 minggu (Dewi, 2011).
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Sebagai calon bidan harus benar-benar menguasai teori dan terampil dalam
memberikan asuhan kegawatdaruratan. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa dapat
menguasai materi yang terdapat dalam makalah ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, T. P. D., & Risilwa, M. (2017). Kehamilan Ektopik Terganggu: Sebuah Tinjauan
Kasus. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 17(1), 26-32
Dewi, Yuli Ratna. (2011). Hubungan Antara Usia Ibu Hamil Dengan Kejadian Mola
Hidatidosa Komplit Di RSUD Jombang Periode Januari 2009-Desember 2010 (Doctorsl
Dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Kemenkes dan HOGSI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan
Maharani, Ni Ketut Yessy (2018) Asuhan Kebidanan Kehamilan Patologis Pada Ny.M,
Giipoai, Umur 28 Tahun, Hamil 8 Minggu Dengan Kehamilan Ektopik Terganggu Di
Puskesmas Mejobo Kudus.
Prawirohardjo, S. (2016). Ilmu Kebidanan Cetakan Kelima. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono.
Purnamasari, Intan. (2017). Asuhan Kebidanan Pada Ibu Dengan Abortus Inkomplit Di
Ruang Bersalin RSUD Prof. DR.W.Z. Johannes Kupang
Putri, Lidia Aditama dan Siti Mudlikah. (2019). Buku Ajar Obstetri dan Ginekologi
Saifuddin , (2009). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta
Saifuddin. 2009. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta
Setyarini Didien Ika dan Suprapti. (2016). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal
Setyarini, Didien Ika dan Suprapti. (2016). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal
32