Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH PENANGANAN KEGAWATDARURATAN

MATERNAL PADA KEHAMILAN LANJUT

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kegawat Daruratan


Maternal, Neonatal Dan Asuhan Pasca Keguguran

PEMBIMBING: NOVITA RINA ANTARSIH, SST., M. Biomed

Disusun oleh:

Alya Nurhamidah P3.73.24.1.18.005

Indi Yulia Safittri P3.73.24.1.18.025

Lila Animah Paneja Pane P3.73.24.1.18.026

Nabiihah Tungga Dewi P3.73.24.1.18.029

Venny Rafrianti Zain P3.73.24.1.18.039

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua. Alhamdulillah atas limpahan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Konsep Penanganan
Kegawat Daruratan Maternal Neonatal Pada Kehamilan Lanjut Berbagai Setting
Pelayanan Kebidanan” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Kegawat
Daruratan Maternal, Neonatal, Dan Asuhan Paska Keguguran dengan harapan
dapat membantu dalam proses pembelajaran mata kuliah ini.

Terima kasih kepada Novita Rina Antarsih, SST, M. Biomed selaku dosen
pembimbing dan selaku dosen pengajar mata kuliah Kegawat Daruratan Maternal,
Neonatal, Dan Asuhan Paska Keguguran. Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai referensi sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
menerima segala saran dan kritik dari pembaca dengan harapan kami bisa membuat
makalah dengan lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pembacanya.

Jakarta, 31 Januari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I ...................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 5

BAB II .................................................................................................................... 6

TINJAUN TEORI ................................................................................................. 6

2.1 Plasenta Previa ......................................................................................... 6

2.2 Solusio Plasenta ...................................................................................... 10

2.3 Rupture Uteri .......................................................................................... 18

2.4 Syok ........................................................................................................ 23

BAB III ................................................................................................................. 29

PENUTUP ............................................................................................................ 29

Kesimpulan ...................................................................................................... 29

Saran ................................................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kesehatan ibu selama kehamilan merupakan hal penting bagi ibu
hamil maupun bayi yang dikandungnya. Upaya pelayanan tersebut merupakan
salah satu upaya pencegahan terhadap kondisi buruk yang dapat terjadi pada
seorang ibu hamil yang mungkin sampai menyebabkan kematian pada ibu.
Di Indonesia permasalahan kegawat daruratan maternal dan neonatal pada
kehamilan terjadi karena mengalami empat hal keterlambatan yaitu terlambat
mengenali tanda bahaya dan risiko, terlambat mengambil keputusan untuk
mencari pertolongan, terlambat mendapatkan transportasi untuk mencapai
sarana pelayanan kesehatan yang lebih mampu, dan terlambat mendapatkan
pertolongan di fasilitas rujukan. Oleh karena itu asuhan kebidanan
kegawatdaruratan maternal neonatal memerlukan kontinuitas pelayanan serta
akses terhadap pelayanan obstetri emergensi ketika timbul komplikasi.
Sehingga setiap persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih,
peningkatan terhadap pelayanan obstetri emergensi ketika timbul komplikasi,
serta sistem rujukan yang efektif.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang konsep penanganan
kegawatdaruratan maternal neonatal pada kehamilan lanjut meliputi plasenta
previa, solusio plasenta, rupture uteri dan syok.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan plasenta previa?
2. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan solusio plasenta?
3. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan rupture uteri?
4. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan syok?

4
1.3 Tujuan
1. Mengetahui konsep penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan plasenta previa
2. Mengetahui konsep penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan solusio plasenta
3. Mengetahui konsep penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan rupture uteri
4. Mengetahui konsep penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal pada
kehamilan lanjut dengan syok

5
BAB II

TINJAUN TEORI

2.1 Plasenta Previa


Definisi
Plasenta previa merupakan keadaan implantasi plasenta yang terletak pada
atau di dekat serviks (Setyarini dan Suprapti, 2016). Implantasi plasenta di atas
atau mendekati ostium serviks interna disebut plasenta previa (Kemenkes RI,
2013). Menurut Widyasih et al. (2018), plasenta previa adalah keadaan dimana
plasenta berimplantasi rendah pada segmen bawah rahim, menutupi atau tidak
menutupi ostium uteri internum pada usia kehamilan > 20 minggu.

Klasifikasi

Berdasarkan lokasinya, plasenta previa dibagi menjadi empat macam, yaitu


(Widyasih et al., 2018) :

a) Plasenta Previa Totalis : Ostium internal diutupi seluruhnya


oleh plasenta
b) Plasenta Previa Parsialis : Ostium internal ditutupi sebagian
oleh plasenta.
c) Plasenta Previa Marginalis : Tepi plasenta terletak di tepi ostium
internal.
d) Plasenta Previa Letak Rendah : Plasenta berimplantasi di segmen
bawah uterus sehingga tepi plasenta
terletak dekat dengan ostium tetapi
belum sampai menutupi pembukaan
jalan lahir.

6
1. Letak Rendah 2. Marginalis 3. Parsialis 4. Totalis

Faktor Predisposisi (Kemenkes RI, 2013)

 Kehamilan pada ibu berusia lanjut


 Multiparitas
 Riwayat seksio sesarea sebelumnya

Diagnosis (Kemenkes RI, 2013)

 Perdarahan tanpa disertai rasa nyeri pada usia kehamilan > 22 minggu
 Keluarnya darah segar sesuai dengan beratnya anemia
 Syok
 Tidak ada kontraksi uterus
 Bagian terendah janin tidak masuk pintu atas panggul
 Kondisi janin normal atau terjadi gawat janin
 Penegakan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG

Penatalaksanaan Plasenta Previa (Kemenkes RI, 2013)

A. Penatalaksanaan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Lakukan rujukan ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya.

B. Penatalaksanaan di Rumah Sakit


a) Tatalaksana Umum :
1. Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan dalam sebelum tersedia
kesiapan untuk seksio sesarea (pemeriksaan boleh dilakukan di

7
ruang operasi). Pemeriksaan inspekulo secara hati-hati dapat
menentukan sumber perdarahan berasal dari kanalis servisis atau
sumber lain (servisitis, polip, keganasan, laserasi atau trauma).
Meskipun demikian, adanya kelainan di atas tidak menyingkirkan
diagnosis plasenta previa.
2. Perbaikan kekurangan cairan/darah dengan memberikan infus cairan
IV (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
3. Lakukan penilaian jumlah perdarahan. Penilaiannya adalah sabagai
berikut :
- Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio
sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan.
- Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi
prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif.
b) Tatalaksana Khusus
1. Terapi Ekspektatif
Bertujuan agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis
dilakukan secara non invasif. Syarat terapi ekspektatif adalah :
- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian
berhenti
- Belum ada tanda inpartu
- Keadaan umum ibu cukup baik (kadar haemoglobin dalam batas
normal)
- Janin masih hidup
- Rawat inap, tirah baring dan berikan pemberian antibiotika
profilaktif
- Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia
kehamilan, letak dan presentasi janin
- Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
 MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam
atau
 Nifedipin 3 x 20 mg/hari

8
- Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12
mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin
- Perbaiki anemia dengan pemberian Sulfas Ferosus atau Ferous
Fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan
- Pastikan tersedianya sarana untuk melakukan transfusi.
- Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu
masih lama, pasien dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di
luar kota atau diperlukan waktu > 2 jam untuk mencapai rumah
sakit) dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi
perdarahan.
- Jika perdarahan berulang pertimbangkan manfaat dan resiko ibu
dan janin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut
dibandingkan dengan terminasi kehamilan (Setyarini dan
Suprapti, 2016).
2. Terapi Aktif
- Rencanakan terminasi kehamilan dengan syarat janin matur,
janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang
mengurangi kelangsungan hidupnya (seperti anensefali) dan
pada perdarahan aktif dan banyak, maka terapi aktif segera
dilakukan tanpa memandang maturitas janin.
- Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit,
dan presentasi kepala, maka dapat dilakukan pemecahan selaput
ketuban dan persalinan pervaginam dimungkinkan. Jika tidak,
lahirkan dengan seksio sesarea.
- Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi
perdarahan dari tempat plasenta, maka jahit lokasi perdarahan
dengan benang, pasang infus oksitosin 10 IU 500 ml cairan IV
(NaCl 0,9% atau RL) 60 tpm, jika perdarahan terjadi pascasalin
segera lakukan penanganan yang sesuai (seperti ligasi arteri dan
histerektomi).

9
Penatalaksanaan Plasenta Previa di Tingkat Fasilitas Pelayanan
Kesehatan

A. Polindes : Rujuk terencana


B. Puskesmas : Stabilisasi penderita, Rujuk terencana gawat darurat
C. Rumah Sakit :
a) Terapi Eskpektatif
 Upayakan viabilitas janin membaik
 Observasi ketat
 Pematangan paru
 Profil biofisik
 Tentukan usia gestasi
b) Terapi Aktif
 Seksio sesarea (Saifuddin, 2009).

2.2 Solusio Plasenta


Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir (Prawirohardjo,
2016).

Etiologi

Hingga saat ini penyebab utama dari solusio plasenta tidak diketahui. Tetapi
terdapat beberapa keadaan patologik yang lebih sering bersama dengan atau
menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko. Usia ibu dan
paritas yang tinggi berisiko lebih tinggi. Perbedaan suku kelihatan berpengaruh
pada risiko (Prawirohardjo, 2016).

Faktor risiko Risiko relatif


Pernah solusio plasenta 10 – 25
Ketuban pecah 2,4 – 3,0
preterm/korioamnionitis

10
Sindroma pre-eklampsia 2,1 – 4,0
Hipertensi kronik 1,8 – 3,0
Merokok 1,4 – 1,9
Merokok + hipertensi kronik atau 5–8
pre-eklampsia
Pecandu kokain 13 %
Mioma di belakang plasenta 8 dari 14
Gangguan sistem pembekuan darah Meningkat s/d 7x
berupa single-gene
mutation/trombofilia
Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang

Klasifikasi

Menurut Prawirohardjo tahun 2016 Plasenta dapat terlepas hanya pada


pinggirnya saja (ruptura sinus marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solutio
plasenta parsialis), atau bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas
(solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan
merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di
bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan
keluar melalui vagina (revealed hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya,
walaupun jarang, perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina (concealed
hemmorhage) jika :

 Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim


 Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
 Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah
karenanya.
 Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen
bawah rahim.

11
Gambar 1. Solusio Plasenta. Terlepasnya permukaan maternal plasenta
sebelum waktunya setelah umur kehamilan 20 minggu

Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran


klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solutio
plasenta ringan, solusio, plasenta sedang, dan solusio plasenta berat. Yang
ringan biasanya baru diketahui setelah plasenta lahir dengan adanya hematoma
yang tidak luas pada permukaan maternal atau ada ruputura sinus marginalis.
Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena
solusio plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta
yang ringan bisa berkembang menjadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaan
umum penderita bisa menjadi buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada
kategori concealed hemorrhage (Prawirohardjo, 2016).

 Solusio plasenta ringan


Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
kurang dari 250 ml. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid
bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejala-gejala

12
perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang
kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
 Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari
250 ml tetapi belum mencapai 1.000 ml. Umumnya pertumpahan darah
terjadi ke luar dan ke dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda
sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung
janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
 Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah
yang keluar telah mencapai 1.000 ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa
terjadi ke luar dan ke dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda
klinis jelas, keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang
ditandai pada oliguri biasanya telah ada.

Patofisiologi

Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir suatu proses yang


bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta
dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan.
Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma
abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua (Sarma
N, 2017).

Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)


yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau
dalam vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai
hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali
selapis tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada
tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang

13
bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan hematom
yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan
pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan (Sarma N, 2017).

Gambaran Klinis

Menurut Sarma N. 2017 Gambaran klinik penderita solusio plasenta


bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau luas permukaan maternal plasenta
yang terlepas. Belum ada uji coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya.
Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya
perdarahan yang bewarna tua keluar melalui vagina (80% kasus), rasa nyeri
perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus.

 Solusio plasenta ringan


Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau
sedikit sekali melahirkan gejala. Pada keadaan yang sangat ringan tidak ada
gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada
permukaan maternal plasenta. Ini dapat diketahui secara retrospektif pada
inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan
darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui vagina.
Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta
previa kecuali darah yang keluar bewarna merah segar pada plasenta previa.
Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu maupun janin masih baik. Pada
inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit
terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan perut sedikit tegang
tapi bagian-bagian janin masih dapat dikenal. Kadar fibrinogen darah dalam
batas-batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan
intervensi segera, keadaan yang ringan ini perlu dimonitor terus sebagai
upaya mendeteksi keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi
berguna untuk menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi
luasnya solusio terutama pada solusio sedang atau bera.
 Solusio plasenta sedang
Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada
perut yang terus menerus, dan denyut jantung janin biasanya telah

14
menunjukkan gawat janin, perdarahan yang tampak keluar lebih banyak,
takikardia, hipotensi, kulit dingin, dan keringatan, oliguria mulai ada, kadar
fibrinogen berkurang antara 150 samapai 250 mg/100 ml, dan mungkin
kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada.
Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga palpasi bagian-bagian
anak sukar. Rasa nyeri datangnya akut kemudian menetap tidak bersifat
hilang timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas
dan bewarna kehitaman, penderita pucat karena mulai ada syok sehingga
keringat dingin. Keadaan janin biasanya sudah gawat. Pada stadium ini bisa
jadi telah timbul his dan persalinan telah mulai. Pada pemantauan keadaan
janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselarasi lambat. Perlu
dilakukan tes gangguan pembekuan darah. Bila terminasi persalinan
terlambat atau fasilitas perawatan intensif neonatus tidak memadai,
kematian perinatal dapat dipastikan terjadi.
 Solusio plasenta berat
Perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan (defans
musculaire) disertai perdarahan yang berwarna hitam. Oleh karena itu
palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri
lebih tinggi daripada yang seharusnya oleh karena telah terjadi penumpukan
darah di dalam rahim pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalam
masa observasi tinggi fundus bertambah lagi berarti perdarahan baru masih
berlangsung. Pada inspeksi rahim kelihatan membulat dan kulit diatasnya
kencang dan berkilat. Pada auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar
lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum
menjadi buruk disertai syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih
buruk dibandingkan perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina.
Hipofibrinogenemia dan oliguria boleh jadi telah ada sebagai akibat
komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated
intravascular coagulation), dan gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinogen
darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada trombositopenia.

15
Diagnosis

Diagnosis solusio plasenta bisa ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan


tanda klinis berupa perdarahan (≥20 minggu), nyeri pada uterus, dan adanya
kontraksi pada uterus. Namun adakalanya pasien datang dengan gejala mirip
persalinan prematur, ataupun datang dengan perdarahan tidak banyak dengan
perut tegang, tetapi janin telah meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa
ditegakkan secara retrospektif yaitu setelah partus dengan melihat adanya
hematoma retroplasenta (Prawirohardjo, 2016).

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang berguna untuk membedakan


dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG
tidak memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta
yang normal mirip dengan gamparan perdarahan retroplasenta pada solusio
plasenta. Kompleksitas gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vaskular
rahim, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Disamping itu, solusio plasenta
sulit dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan
baru sering bisa membantu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang
telah membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48
jam kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu
(Prawirohardjo, 2016).

Penggunaan Color Doppler bisa membantu diagnosis solusio plasenta di


mana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya, sedangkan pada
kompleksitas lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik maupun
yang hipoekok seperti mioma dan kontraksi uterus, terdapat sirkulasi darah
yang aktif padanya. Pada kontraksi uterus terdapat sirkulasi aktif didalamnya,
pada mioma sirkulasi aktif terdapat lebih banyak pada bagian perifer daripada
bagian tengahnya (Prawirohardjo, 2016).

16
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan solusio plasenta menurut tingkat fasilitas pelayanan


kesehatan (Prawirohardjo, 2009)

Fasilitas Penanganan
Polindes  Infus dan antibiotika
 Rujuk

Puskesmas  Stabilisasi penderita


 Tentukan derajat solusio
 Tentukan kondisi janin
 Amniotomi dan akselerasi
persalinan
 Rujuk

Rumah Sakit Terapi aktif bila janin hidup


 Seksio sesarea

Terapi konservatif bila janin


meninggal
 Amniotomi
 Infus pitosin
 Partus pervaginam

Menurut Didien dan Suprapti (2016), jika terjadi perdarahan hebat (nyata
atau tersembunyi) lakukan persalinan dengan segera jika :

 Pembukaan serviks lengkap, persalinan dengan ekstrasi vacuum


 Pembukaan belum lengkap, persalinan dengan sektio seksaria.

Pada setiap kasus solution plasenta, waspadai terhadap kemungkinan


terjadinya perdarahan pascapersalinan. Jika perdarahan ringan atau sedang

17
(dimana ibu tidak berada dalam bahaya) tindakan bergantung pada denyut
jantung janin (DJJ) :

DJJ normal atau tidak terdengar, pecahkan ketuban dengan kokher :

 Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin


 Jika serviks kenyal, tebal dan tertutup, persalinan dengan seksio seksaria

DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180 kali/menit :

 Lakukan persalinan dengan segera


 Jika persalinan pervaginam tidak memungkinkan, persalinan diakhiri
dengan seksio seksaria.

2.3 Rupture Uteri

Pengertian
Perdarahan masih merupakan salah satu penyebab kematian maternal
tertinggi, selain preeklampsi atau eklampsi dan infeksi. Angka kematian Ibu
akibat perdarahan yang disebabkan ruptur uteri berkisar antara 17,9% sampai
62,6%. Untuk itu diperlukan ketepatan dalam mendiagnosis terjadinya ruptur
uteri dan melakukan penatalaksanaan dengan tepat dan cepat sehingga angka
kematian akibat komplikasi persalinan dapat menurun (Sari, 2015).
Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat
melebihi batas daya regang miometrium. Ruptur uteri adalah robeknya dinding
uterus pada saat kehamilan/persalinan, pada saat umur kehamilan lebih dari 28
minggu. Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada

18
kehamilan lanjut dan persalinan selain plasenta previa dan solusio plasenta.
Janin umumnya meninggal pada ruptur uteri namun janin dapat ditolong dengan
tindakan laparotomi jika janin masih hidup saat terjadinya ruptur uteri.
Pada akhir kehamilan uterus dibagi menjadi dua (SAR dan SBR (ismus dan
serviks)). Saat persalinan kala I dan kala II maka batas antara SBR dan SAR
disebut lingkaran retraksi fisiologis. Saat persalinan kala II apabila bagian
terbawah tidak mengalami kemajuan sementara segmen atas rahim terus
berkontraksi dan makin menebal, maka segmen bawah rahim makin tertarik
keatas dan menjadi tipis sehingga batas antara SAR dan SBR akan naik ke atas.
Apabila batas tersebut sudah melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis
maka lingkaran retraksi fisiologis menjadi retraksi patologis atau (Bandl Ring).
Apabila persalinan tetap tidak ada kemajuan, SBR makin lama makin teregang
sehingga akhirnya regangan yang terus bertambah ini melampaui batas
kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.

Sumber : Google Image

Klasifikasi
Menurut keadaan robekan, ruptur uteri diklasifikasikan menjadi
(Prawirohardjo, 2016) :
1. Ruptur uteri inkomplit
Keadaan ruptur yang hanya terjadi pada dinding uterus yang robek
sedangkan lapisan serosa (peritoneum) tetap utuh.

19
2. Ruptur uteri komplit
Keadaan ruptur selain pada dinding uterus yang robek, lapisan serosa
(peritoneum) juga robek sehingga dapat berada di rongga perut.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya ruptur uteri

 Faktor uterus
a) Jaringan parut pada uterus
b) Kelainan kongenital pada uterus
 Faktor ibu
a) Grande/multiparitas
b) Usia
 Faktor janin
a) Hamil ganda
b) Makrosomia
c) Letak lintang
d) Presentasi bokong
 Faktor persalinan
a) Jarak yang terlalu dekat dengan persalinan sebelumnya
b) Induksi persalinan
c) Persalinan lama
d) Persalinan dengan ekstraksi forcep
e) Manual plasenta

Diagnosis

Menurut Lumbanraja (2017), pada penegakan diagnosis didapatkan :

1. Anamnesis
a) Adanya riwayat partus yang lama atau macet
b) Adanya riwayat partus dengan manipulasi oleh penolong
c) Adanya riwayat multiparitas
d) Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria,
enukleasi mioma atau miomektomi, dan histerektomi)

20
2. Gambaran klinis
Gambaran klinis ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur uteri
yang membakat, yaitu didahului his yang kuat dan terus menerus, rasa
nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah,
nadi dan pernapasan cepat, segmen bawah uterus tegang, nyeri pada
perabaan lingkaran retraksi (Van Bandle Ring) meninggi sampai
mendekati pusat. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita sangat
kesakitan dan seperti ada robek dalam perutnya. Keadaan umum
penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai syok.
3. Pemeriksaan luar
a) Nyeri tekan abdominal
b) Perdarahan pervaginam
c) Kontraksi uterus biasanya akan hilang
d) Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu
atau janin teraba di samping uterus
e) Perut bagian bawah teraba uterus kira kira sebesar kepala bayi
f) Denyut jantung janin (DJJ) bisanya negative (bayi sudah meninggal)
g) Terdapat tanda-tanda cairan bebas
4. Pemeriksaan Dalam
a) Pada ruptur uteri komplit :
- Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intraabdomen
sehingga didapatkan cairan bebas dalam abdomen.
- Pada pemeriksaan pervaginam bagian bawah janin tidak teraba
lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau
bagian terbawah janin dengan mudah dapat didorong ke atas hal
ini terjadi karena seringkali seluruh atau sebagian janin masuk
ke dalam rongga perut melalui robekan pada uterus.
- Dapat meraba robekan pada dinding rahim jika jari tangan dapat
melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus dan
bagian janin.

21
b) Pada ruptur uteri inkomplit :
- Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di
bawah peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina.
- Janin umunya tetap berada di uterus.

Pentalaksanaan

1. Perbaiki keadaan Umum


a) Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah
b) Berikan antibiotika
c) Oksigen
2. Laparatomi
a) Histerektomi, baik total maupun subtotal.
Histerektomi dilakukan, jika :
- Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
- Kondisi buruk yang membahayakan ibu
b) Repair uterus (histerorafi) yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit
sebaik-baiknya.
Histerorafi dilakukan jika :
- Masih mengharapkan fungsi reproduksinya
- Kondisi klinis ibu stabil
- Ruptur tidak berkomplikasi

Penatalaksanaan ruptur uteri menurut tingkat fasilitas pelayanan kesehatan


(Prawirohardjo, 2009)

Fasilitas Penanganan
Polindes  Infus dan antibiotika
 Rujuk

Puskesmas  Stabilisasi
 Rujuk

Rumah Sakit Terapi aktif


 Reparasi

22
 Histerektomi

2.4 Syok
Syok adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya gangguan
sirkulasi darah ke dalam jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
oksigen serta nutrisi jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil
metabolisme (Setyarini dan Suprapti, 2016). Secara patofisiologi syok
merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya
transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh gangguan
hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan
tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik,
penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung (Hardisman,
2013). Dengan demikian syok merupakan suatu keadaan serius yang terjadi jika
sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan
darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai (Setyarini dan Suprapti,
2016).
Pada kondisi hamil, syok dapat terjadi pada kehamilan muda maupun
kehamilan lanjut. Penyebabnya dapat disebabkan oleh nyeri atau perdarahan
yang berdampak pada keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah,
termasuk kelainan jantung (serangan jantung/gagal jantung), volume darah
yang rendah (akibat perdarahan hebat/dehidrasi), atau perubahan pada
pembuluh darah (reaksi alergi/infeksi). Syok merupakan suatu kondisi yang
mengancam jiwa dan membutuhkan tindakan segera dan intensif (Setyarini dan
Suprapti, 2016).
Gejala klinik syok pada umumnya sama pada semua jenis syok yaitu
tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah akibat perdarahan. Jika terjadi
vasokonstrisi pembuluh darah kulit menjadi pucat, keringat dingin, sianosis jari-
jari yang diikuti dengan sesak napas, penglihatan kabur, gelisah, oliguria/anuria,
dan akhirnya dapat menyebabkan kematian ibu (Prawirohardjo, 2012).
Sedangkan menurut Borke (2017) gejala yang ditunjukkan pada orang yang
menderita syok obstetri yaitu kebiruan pada bibir dan kuku, sakit di daerah dada,

23
kebingungan, pusing dan merasa ringan hingga ingin pingsan, pucat, dingin dan
tubuh yang berkeringat, tidak mengeluarkan urin, denyut nadi cepat tapi lemah,
pernapasan dangkal, serta tidak sadar.
Menurut Lumbanraja (2017), keadaan syok akan melalui 3 tahapan yaitu
tahap kompensasi (masih dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah
tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan tahap ireversibel (tubuh tidak dapat
pulih).

Klasifikasi Syok

 Syok Hemoragik
Syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada kehamilan muda seperti abortus, kehamilan ektopik dan
penyakit trofoblas (mola hidatidosa); perdarahan antepartum seperti
plasenta previa, solusio plasenta, rupture uteri, dan perdarahan pasca
persalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan lahir (Prawirohardjo, 2012).
 Syok Neurogenik
Syok yang terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh
kehamilan ektopik yang terganggu, solusio plasenta, persalinan dengan
forceps atau persalinan letak sungsang di mana pembukaan serviks belum
lengkap, ruptura uteri, inversio uteri yang akut, pengosongan uterus yang
terlalu cepat (pecah ketuban pada polihidramnion), dan penurunan tekanan
tiba-tiba daerah splanknik (splanchnic shock) seperti pengangkatan tiba-tiba
tumor ovarium yang sangat besar (Prawirohardjo, 2012).
 Syok Kardiogenik
Syok yang terjadi karena kontraksi otot jantungyang tidak efektif
yang disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering
dijumpai pada penyakit-penyakit katup jantung (Prawirohardjo, 2012).
 Syok Endotoksik/Septik
Suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah yang disebabkan oleh
lepasnya toksin. Penyebab utamanya yaitu infeksi bakteri gram negatif.
Biasanya sering dijumpai pada abortus septic, korioamnionitis, dan infeksi
pascapersalinan (Prawirohardjo, 2012).

24
 Syok Anafilaktik
Syok yang terjadi akibat alergi /hipersensitif terhadap obat-obatan
(Prawirohardjo, 2012).

Penatalaksanaan Syok

Prinsip pertama dalam penanganan kedaruratan medik kebidanan atau


setiap kedaruratan adalah ABC yang terdiri atas menjaga fungsi saluran nafas
(Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi darah (Circulation). Jika situasi
tersebut terjadi di luar rumah sakit, pasien harus dikirim ke rumah sakit dengan
segera dan aman (Prawirohardjo, 2012).

Tujuan utama pengobatan syok adalah melakukan penanganan awal dan


penanganan khusus untuk :

 Menstabilkan kondisi pasien,


 Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah,
 Mengefisiensikan sistem sirkulasi darah, dan
 Menentukan penyebab syok setelah kondisi pasien stabil (Setyarini dan
Suprapti, 2016).

Penanganan Awal

 Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat.
 Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu dan pastikan bahwa
jalan napas bebas.
 Pantau tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh).
 Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan resiko
terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memastikan jalan napasnya
terbuka.
 Jaga ibu agar tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini akan
menambah sirkulasi perifernya dan mengurangi aliran darah ke organ
vitalnya.

25
 Naikan kaki ibu untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung
(jika memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian kaki) (Setyarini
dan Suprapti, 2016).

Penanganan Khusus

Mulailah infus intra vena jika memungkinkan dengan menggunakan kanula


atau jarum terbesar no. 6 ukuran terbesar yang tersedia. Darah diambil sebelum
pemberian cairan infus untuk pemeriksaan golongan darah dan uji kecocokan
(cross match), pemeriksaan hemoglobin, dan hematokrit. Jika memungkinkan
pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit, ureum, kreatinin, pH darah dan
elektrolit, faal hemostasis, dan uji pembekuan.

 Segera berikan cairan infus (garam fisiologik atau Ringer Laktat) awalnya
dengan kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit.
Catatan : Hindari penggunaan pengganti plasma (seperti dekstran). Belum
terdapat bukti bahwa pengganti plasma lebih baik jika dibandingkan
dengan garam fisiologik pada resusitasi ib yag mengalami syok dan
dekstran dalam jumlah banyak dapat berbahaya.
 Berikan paling sedikit 2 liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini
melebihi cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang
sedang berjalan.
 Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infus dipertahankan
dengan kecepatan 1 liter per 6-8 jam.

Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan dalam


penatalaksanaan syok akibat perdarahan. Usahakan untuk mengganti 2-3 kali
lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang.

 Jika vena perifer tidak dapat dikanulasi, lakukan venous cut-down.


 Pantau terus tanda-tanda vital (setiap 15 menit) dan darah yang hilang.
Apabila kondisi pasien membaik, perhatikan dengan seksama agar tidak
berlebihan dalam memberikan cairan. Napas pendek dan pipi yang
bengkak merupakan kemungkinan tanda kelebihan pemberian cairan.

26
 Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan
jumlah urin yang keluar. Produksi urin harus diukur dan dicatat.
 Berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter per menit dengan sungkup atau
kanula hidung.

Setelah syok teratasi dan kondisi ibu telah stabil, langkah selanjutnya yang
dapat dilakukan adalah dengan menentukan penyebab syok dan cara
penanganannya. Apabila perdarahan hebat dicurigai sebagai penyebab syok,
maka hal-hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

 Lakukan langkah-langkah secara berurutan untuk menghentian perdarahan


seperti oksitosin, massase uterus, kompresi bimanual, kompresi aorta, dan
persiapan untuk tindakan pembedahan.
 Transfusi sesegera mungkin untuk mengganti kehilangan darah. Pada
kasus syok akibat perdarahan, transfusi dibutuhkan jika Hb <8 g% dan
darah yang diberikan biasanya adalah darah segar yang baru diambil dari
donor darah.
 Tentukan penyebab perdarahan dan tata laksana :
- Jika perdarahan terjadi pada 22 minggu pertama kehamilan, curigai
abortus, kehamilan ektopik atau mola.
- Jika perdarahan terjadi setelah 22 minggu atau pada saat persalinan
tetapi sebelum melahirkan, curigai plasenta previa, solusio plasenta
atau robekan dinding uterus (rupture uteri).
- Jika perdarahan terjadi setelah melahirkan, curigai robekan dinding
uterus, atonia uteri, robekan jalan lahir atau plasenta tertinggal.
 Nilai ulang keadaan ibu dalam waktu 20-30 menit setelah pemberian
cairan, nilai ulang keadaan ibu tersebut untuk melihat tanda-tanda
perbaikan.

Tanda-tanda bahwa kondisi ibu sudah stabil atau ada perbaikan yaitu :

 Tekanan darah mulai naik, sistolik mencapai 100 mmHg,


 Denyut jantung stabil,
 Kondisi mental ibu membaik, ekspresi ketakutan berkurang.

27
 Produksi urin bertambah paling sedikit 30 ml/jam.

Penilaian Ulang

 Apabila kondisi ibu sudah membaik


- Sesuaikan kecepatan infus menjadi 1 liter dalam 6 jam.
- Teruskan penatalaksanaan untuk penyebab syok.
 Apabila kondisi ibu tidak membaik, lakukan penanganan selanjutnya atau
rujuk (Setyarini dan Suprapti, 2016).

28
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, dan syok merupakan salah
satu kegawat daruratan maternal dan neonatal pada kehamilan lanjut.
Kegawatdaruratan tersebut dapat dideteksi dini dengan skrining saat antenatal care
ataupun mencegah jika terdapat faktor resiko terjadinya kegawat daruratan tersebut.
Kegawat daruratan ini juga memiliki gejala dan tanda yang dapat dilakukan Bidan
ataupun tenaga kesehatan yang lain untuk mendiagnosa kegawat daruratan tersebut
sehingga Bidan ataupun tenaga kesehatan yang lain dapat melakukan penanganan
dengan cepat dan tepat untuk meminimalisir terjadinya kematian maternal dan
neonatal.

Saran
Bidan ataupun tenaga kesehatan yang lain diharapkan dapat mendeteksi dini
kegawat daruratan yang mungkin dapat terjadi sehingga pasien mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat, dan diharapkan Bidan atau tenaga kesehatan yang
lain dapat melakukan penanganan dengan tepat sesuai SOP yang ada.

29
DAFTAR PUSTAKA

Borke, Jesse. (2017). U.S.National Library Medicine. Shock.

Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik :


Update dan Penyegar.

Kemenkes RI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan.

Lumbanraja, Sarma Nursani. 2017. Kegawatdaruratan Obstetri.

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.

Prawirohardjo, S. (2012). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Prawirohardjo, Sarwono. 2016. Ilmu Kebidanan.

Saifuddin, A. B. (2009). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sari, Ratna Dewi Puspita. 2015. Ruptur Uteri. JUKE Unila, 5(9), 110-114.

Sarma N. Lumbanraja. 2017. Kegawatdaruratan Dalam Kehamilan. Medan : USU

Setyarini, D. I. & Suprapti. (2016). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal Neonatal. Jakarta: Kemenkes RI.

Widyasih, H., Hernayanti, M. R., & Purnamaningrum, Y. E. (2018). MODUL


PRAKTIK KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL
NEONATAL. Yogyakarta: Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai