Anda di halaman 1dari 3

Nama : Hubbul Furqani

NIM : 2032019014
MK : Tafsir

1. Ruang Lingkup :
a. Tafsir
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya dan luas
cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan
materi yang dipelajarinya, sedangkan ruang lingkup pembahasan ilmu tafsir
berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq
dan bathil. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas
berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak.
Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-
Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.
b. Terjemah
Jika dalam insya’ (mengarang) terdapat dua pilar; ta’bir (ekspresi) penulis
dan tafkir (upaya berpikir secara kreatif dan kritis), maka dalam terjemah juga
terdapat dua unsure mendasar yakni memahami dan menyusun ide-ide sehingga
mengerti maksud pengarang. Intinya, bukan hanya mengalihbahasakan semata,
namun kemampuan dan ketrampilan mengikat makna, sehingga merupakan
kemenyeluruhan dan keutuhan ide penulis.
Di sinilah, penerjemah perlu lebih jeli menangkap pemikiran dan maksud-maksud
dari penulis. Dibandingkan dengan mengarang (insya’), maka proses penerjemahan
sebenarnya lebih sulit dan memerlukan usaha lebih teliti dari penulis itu sendiri. Hal
itu dikarenakan penerjemah terbatas pada upaya memahami pemikiran penulis,
sedangkan penulis lebih bebas mengemas, memilih dan mengekspresikan
pikirannya ke dalam tulisan baik dari diksi kata maupun struktur kalimat
(uslub)nya.
Berdasar pada kondisi di atas, maka penerjemahan selalu rawan terjadi kesalahan,
terlebih lebih, jika penerjemah kurang memahami alur pikir penulis, dan tidak
membekali diri dengan ilmu bantu yang mencukupi, serta tidak memahami disiplin
ilmu yang sedang diterjemahkan.
c. Ta’wil
Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl halaman 176, menjelaskan bahwa ada
2 (dua) ruang lingkup takwil (majâl al-ta’wîl):
1) Dalam kebanyakan masalah-masalah furu’ (cabang), yakni dalam nash-nash
yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Ta’wil
dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi bolehnya di kalangan ulama.
2) Dalam masalah-masalah ushul (pokok), yakni nash-nash yang berkaitan dengan
akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah Swt. Bahwa Allah itu
mempunyai yad (tangan), wajh (wajah), dan sebagainya.
2. Penafsiran Q.S. Al-Baqarah Ayat 148

ٍّ‫علَ ٰى ُك ِل ش َْيء‬ ِ ْ ‫ت ۚ أَيْنَ َما ت َ ُكونُوا يَأ‬


ُ َ ‫ت بِ ُك ُم‬
َ َ ‫ّللا َج ِميعًا ۚ ِإ َن‬
َ ‫ّللا‬ ِ ‫َو ِل ُك ٍّل ِوجْ َهةٌ ه َُو ُم َو ِلي َها ۖ فَا ْستَبِقُوا ْال َخي َْرا‬
ٌ ‫قَد‬
‫ِير‬
Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” ( Qs. Al – Baqarah : 148 )

Dari surat diatas, dapat ditarik isi kandungannya, antara lain :

1. Setiap orang memiliki arah / kiblat masing – masing dalam beribadah, diamana
umat islam memiliki arah kiblat berupa kakbah. Namun dalam arti pada penggalan
ini juga bermakna bahwa setiap orang memiliki majikan atau pimpinan masing –
masing

2. Setiap orang diminta untuk berlomba – lomba dalam hal kebaikan, baik antar
agama, berlomba kebaikan kepada keluarga, majikan, dan terutama berlomba –
lomba kebaikan dalam konteks perintah Allah SWT.

3. Bagaimanapun kondisi seseorang ketika meninggal baik dalam keadaan terbunuh,


kecelakaan, karena bencana alam, meninggal dilaut, maupun dimanapun
kuburannya, Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu sangat mudah
mengumpulkan semua makhluknya pada hari kiamat di Padang Mahsyar untuk
menjalani kehidupan selanjutnya.

3. Allah Swt menyuruh manusia untuk memakan makanan yang halal dan baik. Yang
dimaksud makanan yang halal adalah makanan yang dibolehkan secara agama dari segi
hukumnya baik halal dari segi zatnya maupun hakikatnya. Sebagai lawannya adalah
makanan yang haram dari segi hukum agama, baik haram secara zat maupun hakikat.
Makanan yang halal dari segi dzatnya seperti telor, buah-buahan, sayursayuran, daging
sapi, kambing dan lain-lain. Sedang makanan yang halal dari segi hakikatnya adalah
makanan yang didapat ataupun diolah dengan cara yang benar menurut agama.
Sebaliknya makanan yang haram adalah makanan yang secara zatnya dilarang oleh
agama untuk dimakan, misalnya: daging babi, daging anjing, darah, dan bangkai.
Sedang yang haram karena hakikatnya yaitu haram untuk dimakan karena cara
memperoleh atau mengolahnya. Misalnya telor hasil mencuri, daging ayam hasil
mencuri, uang dari hasil korupsi dan lain-lain. Telor, daging ayamitu dalal zatnya,
namun karena cara mendapatkannya dilarang agama, maka menjadi haram untuk
dimakan. Demikian juga untuk makanan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai