Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN


KEBUTUHAN RASA AMAN NYAMAN

I. KONSEP PENYAKIT
A. Definisi Dx medik
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran sehingga dapat menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2010). Yang termasuk Cedera
Kepala Ringan (CKR) yaitu dengan nilai GCS 13-15. Dapat terjadi kehilangan
kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusia serebral dan hematoma. Cedera ini terjadi ketika
seseorang mengalami benturan langsung dan tiba-tiba di kepala. Pada sebagian besar
kasus, cedera kepala ringan terjadi akibat terjatuh (Alodokter, 2022).

B. Etiologi Dx medik
1. Cedera Akselerasi: terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala)
2. Cedera Deselerasi: terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan
3. Cedera akselerasi-deselerasi: sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan fisik
4. Cedera coup-countre coup: terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh
pasien dipukuli di bagian belakang kepala.
5. Cedera rotasional: terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.
C. Patofisiologi/pathway
Patofisiologis dari cedera kepala dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relatif baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah
otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama
pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-
tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
1. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah
kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala,
derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan
serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
2. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer.
D. Manifestasi Klinik/ Tanda dan Gejala
1. Skull fracture
1) CSF (Cerebrospinal Fluid) 3) Perubahan penglihatan
atau cairan lain keluar dari 4) Hilang pendengaran
telinga & hidung (othorrea, 5) Hilang indra penciuman
rinhorhea) 6) Pupil dilatasi
2) Memar di daerah mastoid 7) Berkurangnya gerakan mata
(battle sign) 8) Vertigo
2. Concussion
1) Menurunnya tingkat 4) Mual dan muntah
kesadaran <5 menit 5) Hilang keseimbangan secara
2) Amnesia retrogade perlahan atau cepat
3) Pusing, nyeri kepala 6) Pupil biasanya mengecil

E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging): untuk mengevaluasi cedera vascular
serebral dengan cara noninvasive.
7. EEG (elektro ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal.

F. Penatalaksanaan Medis
1. Oksigenasi dan IVFD
2. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)
Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:
a. 5 mg/6 jam untuk hari I dan II
b. 5 mg/8 jam untuk hari III
c. 5 mg/12 jam untuk hari IV
d. 5 mg/24 jam untuk hari V
3. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam
4. Terapi anti perdarahan, bila perlu
5. Terapi antibiotik untuk profilaksis
6. Terapi antipeuretik bila demam
7. Terapi anti konvulsi bila klien kejang
8. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah
9. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari

G. Referensi
1) Kosat, P. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ny. J.R Cedera Kepala
Ringan (CKR) di Ruang Asoka RSUD Prof. W. Z. Johanes Kupang. Kupang:
Prodi DIII Keperawatan Poltekkes Kupang.
2) Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2. Yogyakarta: Salemba
Medika.
3) Pittara. (2022). Cedera Kepala Ringan. Alodokter. Diakses pada 18 Juli 2023 dari
https://www.alodokter.com/trauma-kepala-ringan.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian Fokus (Mengacu pada data Mayor dan Minor diagnose keperawatan
SDKI)
1. Nyeri Akut (D.0077)
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
a. mengeluh nyeri  nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari dan aktivitas tidur. Nyeri diukur dengan
NRS (Numeric Rating Scale) dan dengan pengkajian PQRST.

P = provokes, palliative (penyebab)


Apa yang menyebabkan rasa sakit/nyeri; hal yang menyebabkan kondisi
memburuk/membaik; apa yg dilakukan jika sakit/nyeri timbul; apakah nyeri
ini sampai mengganggu tidur.
Q = quality (kualitas)
Apakah rasanya tajam, sakit, seperti diremas, menekan, membakar, nyeri
berat, kolik, kaku atau seperti ditusuk.
R = Radiates (penyebaran)
Apakah rasa sakitnya menyebar atau berfokus pada satu titik.
S = severety (keparahan)
Nilai nyeri dalam skala 1-10 dengan NRS. Cara lain adalah menggunakan
skala FACES untuk pasien dengan kesulitan bicara
T = time (waktu)
Kapan sakit mulai muncul; apakah munculnya perlahan atau tiba-tiba; apakah
nyeri muncul secara terus-menerus atau kadang-kadang

Objektif
b.Frekuensi nadi meningkat  Normalnya pada orang dewasa 60-100x/menit.
Peningkatan frekuensi nadi merupakan respon jantung terhadap nyeri yang terjadi
pada tubuh. Diukur dengan memeriksa denyut nadi di tangan.
c. Tampak meringis  sebagai respon nonverbal terhadap nyeri, diukur dengan
menggunakan Wong & Braker Rating Scale.

d.Bersikap Protektif  seseorang yang mengalami nyeri cenderung melindungi


bagian yang terasa nyeri.
e. Gelisah  sebagai respon seseorang yang mengalami nyeri.
f. Sulit tidur  rasa nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan yang dapat
mengganggu tidur.
Gejala dan tanda minor
Subjektif: Tidak tersedia
Objektif
a. Tekanan darah meningkat  Tekanan darah normal: Dewasa 19-40 tahun
95-135 mmHg 60-80 mmHg Dewasa 41-60 tahun 110-145 mmHg 70-90
mmHg Lansia (>60 tahun) 95-145 mmHg 70-90 mmHg. Diukur dengan
menggunakan tensimeter.
b. Pola napas berubah  pola napas pada orang yang mengalami nyeri
cenderung cepat.
c. Berfokus pada diri sendiri  seseorang yang merasakan sakit/nyeri
cenderung hanya memedulikan rasa sakitnya dan tidak memedulikan
lingkungan sekitarnya.
d. Diaphoresis  kondisi yang terjadi ketika seseorang merasakan kedinginan
pada tubuh saat berkeringat secara tidak normal atau disebut dengan keringat
berlebih.

2. Risiko Jatuh (D.0143)


Faktor risiko:
a. Usia >65 tahun (pada dewasa) atau <2 tahun (pada anak).
b. Riwayat jatuh.
c. Anggota gerak bawah prostesis (buatan).
d. Penggunaan alat bantu berjalan.
e. Penurunan tingkat kesadaran.
f. Perubahan fungsi kognitif.
g. Lingkungan tidak aman (mis. licin, gelap, lingkungan asing).
h. Anemia.
i. Kekuatan otot menurun.
j. Gangguan pendengaran/keseimbang/penglihatan

Penilaian Risiko Jatuh dengan Morse Fall Scale (MFS)


No Morse Fall Scale Skala Skor
1 Riwayat jatuh yang baru atau dalam bulan Tidak 0 Ya 25
2 Diagnosa medis sekunder >1 Tidak 0 Ya 15
Menggunakan alat bantu:
a. Bedrest/dibantu perawat 0
3
b. Penopang/tongkat/walker 15
c. Furniture 30
4 Menggunakan infuse Tidak 0 Ya 20
Cara berjalan/berpindah
a. Normal/bedrest/imobilisasi 0
5
b. Lemah 15
c. Terganggu 30
Status mental:
6 a. Orientasi sesuai kemampuan diri 0
b. Lupa keterbatasan diri 15
Total skor:
0-24 = Risiko Rendah
24-44 = Risiko Sedang
> 45 = Risiko Tinggi
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN
(SDKI)
1. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (trauma)
2. Risiko jatuh

C. PERENCANAAN
Dx.1
Tujuan (SMART, SLKI)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tingkat nyeri menurun dengan
kriteria hasil:
- Kemampuan menuntaskan aktivitas menurun
- Keluhan nyeri menurun
- Meringis menurun
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Kesulitan tidur menurun
- Frekuensi nadi membaik

Rencana Intervensi (SIKI)


Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Idenfitikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis,
akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Dx.2
Tujuan (SMART, SLKI)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tingkat jatuh menurun dengan
kriteria hasil:
- Jatuh dari tempat tidur menurun

Rencana Intervensi (SIKI)


Observasi
- Identifikasi faktor jatuh (mis: usia > 65 tahun, penurunan tingkat kesadaran,
defisit kognitif, hipotensi ortostatik, gangguan keseimbangan, gangguan
penglihatan, neuropati)
- Identifikasi risiko jatuh setidaknya sekali setiap shift atau sesuai dengan kebijakan
institusi
- Hitung risiko jatuh dengan menggunakan skala (mis: fall morse scale, humpty
dumpty scale), jika perlu
Terapeutik
- Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu dalam kondisi terkunci
- Pasang handrail tempat tidur
- Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah
Edukasi
- Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk berpindah

Daftar Pustaka
1) Tim Pokja PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
2) Tim Pokja PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
3) Tim Pokja PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
SPO TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM (INTERVENSI NYERI AKUT)

A. Pengertian
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan kepaerawatan yang
dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaiama cara melakukan nafas dalam,
nafas lambat dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan.
B. Tujuan
Untuk mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan sehingga mencegah
menghebatnya stimulasi nyeri.
C. Indikasi
1) Pasien yang mengalami stres
2) Pasien yang mengalami nyeri yaitu nyeri akut pada tingkat ringan sampai tingkat
sedang akibat penyakit yang kooperatif
3) Pasien yang mengalami kecemasan
4) Pasien mengalami gangguan pada kualitas tidur
D. Pelaksanaan
1. PRA INTERAKSI
1) Membaca status klien kemudian mencuci tangan
2. INTERAKSI
Orientasi
1) Salam : Memberi salam sesuai waktu
2) Memperkenalkan diri.
3) Validasi kondisi klien saat ini. Menanyakan kondisi klien dan kesiapan klien
untuk melakukan kegiatan sesuai kontrak sebelumnya
4) Menjaga privasi klien
Kontrak: Menyampaiakan tujuan & menyepakati waktu & tempat kegiatan
3. KERJA
1) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya bila ada sesuatu yang
kurang dipahami/ jelas
2) Atur posisi agar klien rileks tanpa adanya beban fisik, baik duduk maupun berdiri.
Apabila pasien memilih duduk, maka bantu pasien duduk di tepi tempat tidur atau
posisi duduk tegak di kursi. Posisi juga bisa semifowler, berbaring di tempat tidur
dengan punggung tersangga bantal.
3) Instruksikan pasien untuk melakukan tarik nafas dalam melalui hidung.
4) Instruksikan pasien dengan cara perlahan dan hembuskan udara melalui mulut.

Anda mungkin juga menyukai