Anda di halaman 1dari 132

PELAKSANAAN ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA

DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 1970-1982

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

NAMA : AGUNG MATIUS SIMANJUNTAK

NIM : 160706038

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang selalu

melimpahkan berkat dan kasih karunia-Nya terutama kesempatan dan kesehatan

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pelaksanaan Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 1970-1982”.

Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang dibuat oleh penulis untuk

memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Sejarah

pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan skripsi ini

berlangsung setelah selesai seminar proposal pada tanggal 5 Februari 2020.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena

keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Maka dari itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi terciptanya

kesempurnaan penulisan ini. Akhirnya, dengan kerendahan hati penulis berharap

semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kiranya Tuhan Yang Maha

Pengasih memberkati kita semua. Terima kasih.

Medan, Juli 2020


Penulis

Agung Matius Simanjuntak


NIM 160706038

i Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UCAPAN TERIMA KASIH

Sungguh besar kebaikan Tuhan Yang Maha Pengasih kepada penulis dan

penulis selalu mengucapkan rasa syukur atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bisa terselesaikan

karena motivasi, bantuan, kritik, saran dan doa kepada penulis. Pada kesempatan

yang baik ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini terutama kepada kedua orang

tua penulis yang sangat berjasa dan penulis sayangi yaitu Papa Benget T Simanjuntak

dan Mama St. Dormawati Br. Purba, S.Pd yang telah merawat, membesarkan,

mendidik, membiayai dan memberi nasehat kepada penulis dari kecil sampai dewasa.

Semoga papa dan mama selalu diberkati kesehatan dan umur yang panjang oleh

Tuhan Yang Maha Pengasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada

kakak, abang yang penulis hormati yaitu Else Pratiwi Simanjuntak, A.Md, S.Kom.,

dan Alexander Ronald Roberto Unas Samosir, S.E., Cory Magdalena Simanjuntak,

S.Sos., Simon Simanjuntak, S.Kom., Angelia Simanjuntak, S.Ak., Febryan Alex

Samosir, S.Kom dan adik penulis yang sangat baik yaitu Junita Untung Simanjuntak.

Terima kasih atas bantuan materil maupun moril dari kalian kepada penulis untuk

tetap semangat dan selalu berpengharapan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga kepada keluarga

besar dekat penulis dari pihak papa dan mama.

ii Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam kesempatan yang baik ini penulis juga mengungkapkan ucapan rasa

terima kasih penulis kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi

pengaruh besar kepada penulis baik dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan

skripsi ini sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah

dan Ibu Dra. Nina Karina, M.SP., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan dorongan,

nasihat dan motivasi kepada penulis baik selama kuliah maupun pada saat

mengerjakan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Peninna Simanjuntak, M.S., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang

selalu sabar dan memberi nasehat, arahan, bimbingan serta bantuan yang

sangat penting dalam menuntun penulis untuk penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si., sebagai dosen Penasehat Akademik penulis yang

telah memberikan nasehat serta motivasi kepada penulis.

5. Seluruh staff pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

USU yang telah banyak memberi ilmu pengetahuan, bimbingan, nasehat dan

dorongan selama penulis menjadi mahasiswa. Semoga ilmu yang telah penulis

terima bisa diterapkan dalam kehidupan sehari- hari.

iii Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6. Bapak Ampera Wira yang telah membantu penulis dalam perihal administrasi

di Program Studi Ilmu Sejarah.

7. Seluruh narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu dan

kesempatannya kepada penulis demi memberikan respon dan informasi

penting yang berhubungan dengan data yang penulis teliti untuk mendukung

penulisan skripsi ini. Terima kasih banyak kepada masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area Kota Medan.

8. Teman-teman seperjuangan di program studi Ilmu Sejarah 2016 yaitu

Mohammad Soultan Raliby, Dendy Reza Siregar, Muhammad Agam Adikara,

Miftah Nugraha Nasution, terima kasih untuk pertemanan yang terjalin selama

ini, untuk motivasi, saran, kegilaan dan juga bantuan sehingga kita bisa sama-

sama berjuang. Juga untuk teman-teman satu angkatan yaitu Roli Tua Malau,

Andri Christian Ginting, Pardomuan Pandiangan, (mbak) Titi Fariza Ivanka,

(mbak) Widya Umairoh, Marselina Mega Dewi (Musperin Squad), Lia Agus

Pratiwi, para penghuni kos mantok dan teman-teman lainnya yang sudah

menyempatkan untuk datang dan memberikan ucapan selamat pada waktu

sidang skripsi kepada penulis. Terima kasih untuk kebersamaannya selama ini

di stambuk 016 Ilmu Sejarah USU.

9. Teman-teman yang tergabung di dalam kepanitiaan Natal Ilmu Sejarah USU

tahun 2018 dan kepanitiaan Praktek Kuliah Lapangan Hubungan Antar Etnis

dan Metode Penelitian Sejarah tahun 2019 yang telah membantu penulis

sebagai ketua panitia dalam event tersebut sekaligus menambah pengalaman

kepemimpinan penulis.

iv Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10. Seluruh pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah (HIMIS) FIB USU

masa bakti tahun 2018/2019 yang telah memberikan wadah kepada penulis

untuk berpikir, berpendapat dan bereaksi di dalam kepengurusan organisasi

dan di tengah khalayak umum.

11. Teman-teman semasa sekolah di SMA Negeri 5 Medan, Maytry Raj,

A.Md,Ak., Cindy Gracya, S.H., Christine Uli, A.Md.K. dan teman-teman

yang lainnya terima kasih atas pertemanan dan kedekatan yang cukup dekat

dari masa SMA sampai sekarang.

12. Kak Hannah Usmalina Lubis, S.S., dan seluruh pihak yang turut membantu

penulis dalam penelitian skripsi ini. Terima kasih karena kalian semua dengan

sikap baik mau memberikan informasi dan dukungan kepada penulis.

Demikianlah ucapan terima kasih yang bisa penulis sampaikan, apabila ada

kekurangan ataupun kesalahan kiranya dapat dimaklumi dan dimaafkan. Penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan kedepannya.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya, di akhir ini

penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2020


Penulis

Agung Matius Simanjuntak


NIM 160706038

v Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................ vi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... ix

ABSTRAK ............................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................... 7
1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................ 8
1.6 Metode Penelitian ........................................................... 11

BAB II GAMBARAN UMUM

2.1 Letak Geografis Kecamatan Medan Area ...................... 14


2.2 Kondisi Masyarakat dan Mata Pencaharian ................... 15
2.3 Keberadaan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Medan Area .................................................................... 16
2.3.1 Adat pada Masyarakat Batak Toba .................... 19
2.3.2 Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba ........ 24
2.3.3 Perkawinan pada Masyarakat Batak Toba ......... 28

vi Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III PELAKSANAAN ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT
BATAK TOBA DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA
MEDAN SEBELUM TAHUN 1970

3.1 Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan


Medan Area Kota Medan sebelum Tahun 1970 ............. 34
3.1.1 Mangebati Boru ni Tulang ................................... 36
3.1.2 Martandang .......................................................... 41
3.1.3 Domu-domu .......................................................... 44
3.1.4 Penetapan Pertunangan ........................................ 47
3.1.5 Marhata Sinamot .................................................. 49
3.1.6 Ulaon Unjuk ......................................................... 52
3.1.7 Paulak Une ........................................................... 54
3.1.8 Manjae dan Maningkir Tangga ............................ 55

BAB IV PELAKSANAAN ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT


BATAK TOBA DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA
MEDAN DARI TAHUN 1970-1982

4.1 Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan


Medan Area Kota Medan dari Tahun 1970-1982 ........... 57
4.1.1 Mangaririt ............................................................ 60
4.1.2 Menyampaikan Lamaran ...................................... 62
4.1.3 Marhusip .............................................................. 64
4.1.4 Marhata Sinamot................................................... 65
4.1.5 Martonggo Raja ................................................... 69
4.1.6 Acara Pemberkatan .............................................. 70
4.1.7 Ulaon Sadari ........................................................ 72

vii Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2 Perubahan Umum dalam Adat Perkawinan Masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan ..... 78
4.2.1 Waktu ................................................................... 80
4.2.2 Tempat dan Hidangan ........................................... 81
4.2.3 Maskawin ............................................................. 83
4.2.4 Pakaian Adat ......................................................... 84

BAB V FAKTOR YANG MENDUKUNG PELAKSANAAN ADAT


PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI
KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN

5.1 Ruang dan Masyarakat Batak Toba ................................ 86


5.2 Latar Belakang dan Perkembangan Wisma di Kecamatan
Medan Area Kota Medan .............................................. 88
5.3 Kaitan Wisma dengan Pelaksanaan Adat Perkawinan
Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota
Medan ……….................................................................. 94

BAB VI KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan ..................................................................... 98


6.2 Saran ............................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 103

DAFTAR INFORMAN ........................................................................... 106

LAMPIRAN ......................................................................................... 108

viii Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 2 Keberadaan Wisma Umum

Lampiran 3 Keberadaan Wisma Bakti

Lampiran 4 Bentuk Data Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Lampiran 5 Gambaran Adat Perkawinan Batak Toba

Lampiran 6 Lokasi Keberadaan Awal Suku Batak Toba

ix Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Penelitian ini berjudul pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba


di Kecamatan Medan Area Kota Medan tahun 1970-1982. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui beberapa hal yang terkait di dalam proses dan pelaksanaan pada
adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan
yang pada sebelum tahun 1970 seperti adat di daerah asal (bona pasogit) kemudian
mengalami perkembangan pada proses dan pelaksanaannya pada tahun 1970 dan
setelahnya. Pokok permasalahan dari penelitian ini yaitu pelaksanaan adat
perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan sebelum
tahun 1970, selanjutnya pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Medan Area Kota Medan pada tahun 1970 dan setelahnya, serta peran,
kaitan dan pengaruh dari ruang wisma pada proses dan pelaksanaan ritual adat
perkawinan masyarakat Batak Toba yang berada di Kecamatan Medan Area Kota
Medan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang menekankan pada
aspek manusia, ruang dan waktu. Metode itu diawali dengan tahap heuristik atau
pengumpulan data dari sumber-sumber yang terkait dengan tema penelitian seperti
dari wawancara narasumber, jurnal ataupun buku, referensi website, dan pengamatan
di pesta adat perkawinan Batak Toba. Kemudian tahap verifikasi, dilanjutkan sampai
ke tahap interpretasi dan historiografi yaitu penulisan karya ilmiah berdasarkan data
objektif yang sudah diperoleh sesuai kaidah ilmu sejarah. Lokasi penelitian ini berada
di Kecamatan Medan Area, Kota Medan.
Hasil penelitian mengemukakan dengan singkat bahwa pelaksanaan adat
perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan
berdasarkan tahun penelitian yaitu pada tahun 1970 dan setelahnya tetap sesuai
dengan tradisi dan adat yang sudah ada sejak lama, namun seiring kemajuan waktu
pelaksanaan adat itu berdasarkan proses dan pelaksanaannya mengalami kelegaan dan
fleksibilitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada di sekeliling masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan dengan menyesuaikan situasi dan
kondisi pada kelompok masyarakatnya.

Kata Kunci : Batak Toba, Perkawinan Batak Toba, Wisma, Sejarah


Kebudayaan.

x Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat adat dengan sederet keunikannya merupakan salah satu kekayaan

yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Sejak dahulu

kekayaan itu sudah ada yang bisa dilihat melalui tradisi dan adat istiadat yang

dilestarikan sampai sekarang. Tradisi maupun adat istiadat yang pada dasarnya dibuat

oleh manusia akan selalu eksis mengikuti perkembangan waktu dan tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan manusia karena sudah menjadi bagian dari kebiasaan yang

telah dilakukan sejak lama. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai pikiran serta

kemauan untuk hidup berdampingan dalam lingkungannya yang membuatnya

berbeda dengan makhluk hidup lainnya.

Hidup berdampingan dalam ikatan suami dan istri yang dipersatukan dalam

perkawinan yang sah sudah menjadi hal yang biasa dan dilakukan turun-temurun dari

nenek moyang melalui adat dan tradisi yang melekat. Di dalam masyarakat,

perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan hukum antar pribadi yang membentuk

hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata di tengah masing-masing budaya

yang ada. Perkawinan yang seutuhnya dilakukan melalui berbagai proses untuk

menjadi satu ikatan hubungan dalam rumah tangga. Salah satu proses yang dilalui

ditentukan oleh adat istiadat yang berlaku dan tentunya sudah menjadi bagian dari

individu maupun kelompok masyarakat di tiap-tiap daerah.

1 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Suku Batak Toba merupakan salah satu suku yang mempunyai budaya dan

tradisi yang besar di Indonesia. Menurut legenda yang dipercayai sebagian orang

Batak Toba, suku ini pada awalnya mendiami wilayah sekitar Danau Toba tepatnya di

Gunung Pusuk Buhit yang diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon (Dewa tertinggi

mitologi Batak Toba).1 Sedangkan menurut salah satu literatur sejarah, dahulunya ada

seorang raja yang disebut Raja Batak beserta rombongannya yang berasal dari

Thailand melakukan perjalanan menyeberang ke Sumatera Utara melalui

semenanjung Malaysia dan akhirnya sampai ke daerah Pusuk Buhit kemudian

menetap disana.2

Suku Batak Toba sangat menghormati leluhur dan tradisinya. Pada sistem

kekerabatan suku Batak Toba, ada dikenal istilah Dalihan Na Tolu (Tungku Nan

Tiga) yang berfungsi untuk mengatur tata kelakuan dan memberikan arah dalam

pengendalian perbuatan orang Batak Toba.3 Dengan demikian, suku Batak Toba

sangat menjunjung tinggi dan melestarikan nilai-nilai tradisi dan budayanya sebab

sebaliknya jika tidak melaksanakan adat istiadat yang sudah turun-temurun dalam

tradisi yang ada maka akan disebut sebagai orang yang tidak maradat (tidak beradat).

1
Wawancara, dengan Oppung Marhehe, tanggal 30 Oktober 2019, pukul 15.35 WIB.
2
N. Siahaan, Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: C.V. Napitupulu, 1964, hlm. 17.
3
Ibid, hlm. 35.

2 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ada beberapan kebiasaan yang

wajib dilakukan setelah memasuki usia dewasa, kebiasaan itu salah satunya ialah

seperti membangun suatu keluarga dalam ikatan perkawinan. Perkawinan bagi

masyarakat Batak Toba tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan perempuan saja,

tetapi juga mengikat keluarga diantara keduanya dan sangat berpegang pada sistem

Dalihan Na Tolu4 supaya dapat meneruskan keturunan dan mempertahankan silsilah

yang sudah ada sejak lama. Pada proses adat perkawinan Batak Toba, ketiga unsur

Dalihan Na Tolu harus hadir dan berdiskusi untuk menjalankan hak dan kewajiban

sesuai adat. Pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba dari dahulu sampai

sekarang tetap mengikuti tradisi dan adat yang sudah ada sejak lama namun dalam

proses dan pelaksanaannya bisa saja mengalami perubahan walaupun tidak signifikan

dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.5

Orang Batak Toba mengenal tiga pandangan hidup dalam adat dan tradisi

yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakatnya, yaitu kekayaan, keturunan, dan

kehormatan (hamoraon, hagabeon, hasangapon).6 Orang Batak Toba dikenal dapat

hidup berkelompok dengan membentuk komunitas yang kuat. Seiring berjalannya

waktu untuk meneruskan keturunan (hagabeon) pelaksanaan adat perkawinan Batak

Toba tidak dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakatnya dan sudah mulai

4
Dalihan Na Tolu, adalah filosofis kehidupan dan kekerabatan masyarakat dan budaya Batak
Toba yang meliputi hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mengikat satu kelompok.
5
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm. 105.
6
Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak,
Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987, hlm. 98.

3 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dilaksanakan di berbagai tempat seperti di Kecamatan Medan Area yang terletak di

Kota Medan dan merupakan lokasi penelitian penulis.

Pada awalnya sebelum tahun 1970 di Kecamatan Medan Area, salah satu ciri

khas masyarakat Batak Toba dalam proses dan pelaksanaan adat perkawinannya ialah

masih dilaksanakan di sekitar halaman rumah mengikuti adat dan tradisi dari daerah

asalnya (bona pasogit). Kemudian karena perkembangan waktu yang selalu ada dan

tidak dapat dihentikan, semakin lama keberadaan pemukiman di sekitar Kecamatan

Medan Area semakin padat dengan infrastuktur dan dihuni oleh berbagai kalangan

etnis dan agama yang membuat proses dan pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba

tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan di halaman rumah.

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area memikirkan dan

mendapatkan solusi untuk menggunakan ruangan sebagai tempat proses dan

pelaksanaan adat perkawinannya, maka dari hasil pikiran dan solusi itu dibangunlah

wisma yang digunakan untuk tempat proses dan pelaksanaan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba tersebut supaya menjadi lebih baik. Tentu keadaan tersebut

juga menyebabkan beberapa perubahan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya

yang terjadi pada proses dan pelaksanaan adat perkawinan itu sendiri. Berdirinya

suatu wisma yaitu Wisma Umum tahun 1970 yang menjadi dasar munculnya wisma

di Kecamatan Medan Area sampai sekarang7 tidak lain adalah untuk mendukung

tempat proses dan pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di dalam

7
Wawancara, dengan Oppung Napitupulu, tanggal 14 Januari 2020, pukul 16.00 WIB.

4 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ruangan supaya bisa tetap terlaksana. Kemudian dalam waktu selanjutnya keberadaan

wisma di Kecamatan Medan Area mengalami pertambahan diikuti wisma lainnya.

Berdasarkan ulasan diatas, penulis tertarik dan beralasan mengambil judul

penelitian Pelaksanaan Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 1970-1982. Penulis memilih waktu antara tahun

1970-1982 karena pada tahun 1970 masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan

Area mulai melakukan proses dan pelaksanaan adat perkawinan untuk pertama

kalinya di dalam ruangan yaitu di Wisma Umum yang merupakan ruangan adat

pertama di Kecamatan Medan Area serta mengalami kelegaan dan fleksibilitas dalam

beberapa kebiasaan lama pada proses dan pelaksanaan adat perkawinannya.

Sedangkan pada batasan tahun penulisan yakni tahun 1982 dimana pada tahun ini

keberadaan wisma di Kecamatan Medan Area mulai bertambah yaitu dengan adanya

keberadaan Wisma Bakti yang membuktikan bahwa semakin berkembangnya

pemikiran dan mempengaruhi perubahan pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Medan Area dan tentunya mereka membutuhkan lebih dari satu tempat yang layak

untuk pelaksanaan adat perkawinannya.8 Alasan lain dari pemilihan judul dan

penulisan skripsi ini yaitu pada dasarnya penulis yang merupakan suku Batak Toba

kurang memahami dan ingin lebih memahami seluk beluk adat istiadat, tradisi dan

budaya Batak Toba yang terutama yaitu adat perkawinannya dan juga penulis

mengikuti arahan dan saran dari tim penguji beserta dosen pembimbing pada saat

seminar proposal skripsi.

8
Wawancara, dengan Viktor Simanjuntak, tanggal 25 Februari 2020, pukul 17.40 WIB.

5 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang sangat

penting karena akan memudahkan penulis dalam proses penelitian dengan melakukan

pengumpulan dan analisis data. Dari latar belakang masalah dan batasan judul diatas,

maka penulis mencoba merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, masalah

yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area Kota Medan sebelum tahun 1970 ?

2. Bagaimana pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba

di Kecamatan Medan Area Kota Medan dari tahun 1970-1982 ?

3. Apa faktor yang mendukung pelaksanaan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan ?

6 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah

diuraikan, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu :

1. Menjelaskan pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak

Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan sebelum tahun 1970.

2. Menjelaskan pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak

Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan dari tahun 1970-

1982.

3. Menjelaskan faktor yang mendukung pelaksanaan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentu tidak hanya mempunyai manfaat untuk penulis sendiri,

namun juga untuk masyarakat umum. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Secara akademisi diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya bagi masyarakat yang terkait

pada pengetahuan budaya, adat istiadat dan etnis.

7 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan

pengetahuan tentang sejarah adat perkawinan suku Batak Toba beserta

hal-hal yang terkait didalamnya sehingga dapat memperkaya referensi

ilmu sejarah mengenai sejarah budaya, adat istiadat dan etnis.

3. Hasil dari penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran dalam

pemahaman kebudayaan, adat istiadat dan etnis khususnya etnis

Batak Toba untuk para pembaca yang difokuskan kepada generasi

muda.

4. Menambah kajian umum untuk mengetahui awal keberadaan dan

perkembangan wisma di Kecamatan Medan Area Kota Medan dalam

rentang waktu yang ditentukan serta fungsinya pada pelaksanaan adat

perkawinan masyarakat Batak Toba.

1.5 Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan sebuah kegiatan penelitian perlu dibutuhkan tinjauan

pustaka untuk memperoleh gambaran umum tentang topik yang dibahas dengan

menggunakan sumber yang relevan dan membantu keterbatasan penulis dalam

pengetahuan dan pemahaman dari topik yang ditulis. Beberapa buku yang

mendukung penulisan ini diantaranya :

8 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tengku Luckman Sinar dalam Sejarah Medan Tempo Doeloe (2009)

menjelaskan keadaan Kota Medan yang sejak dulu mengenai keberadaan ekonomi,

sosial, politik hingga budaya dan etnis. Kota Medan sejak dahulu sudah terdapat

jejak-jejak perjalanan budayanya yang diketahui melalui sumber tertulis dan ragam

tradisi yang sudah melekat dalam aspek kehidupan. Selain itu interaksi antar orang di

wilayah Kota Medan membentuk keragaman budayanya. Buku ini membantu penulis

menjelaskan sejarah Kota Medan dengan melihat keberadaan Kota Medan pada masa

lalu.

Bisuk Siahaan dalam Batak Toba “Kehidupan di Balik Tembok Bambu”

(2005) menjelaskan tentang aspek kehidupan seperti tradisi dan budaya serta

kepercayaan orang Batak Toba yang di analisis dan di uraikan melalui asal-usul

leluhur orang Batak Toba yang tiba di kaki Gunung Pusuk Buhit di Pulau Samosir.

Buku ini membantu penulis dalam menjelaskan asal usul keberadaan budaya dan

tradisi Batak Toba.

Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan dalam Orientasi Nilai-Nilai

Budaya Batak Toba (1987) menjelaskan informasi tentang suku bangsa Batak Toba

dari sudut orientasi nilai-nilai budaya dan juga memberikan gambaran perilaku yang

didasarkan pada nilai-nilai budaya orang Toba. Buku ini membantu penulis dalam

menjelaskan nilai-nilai dalam suku Batak Toba, baik nilai tradisi, budaya dan perilaku

suku Batak Toba.

9 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kencana Sembiring Pelawi dalam Pandangan Generasi Muda Terhadap

Upacara Perkawinan Adat di Kota Medan (1998) menjelaskan aspek-aspek

kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dan salah satunya ialah dalam adat dan

tradisi suku Batak Toba. Buku ini membantu penulis dalam mencari sumber

infromasi mengenai perkembangan dalam proses adat perkawinan di sekitar Kota

Medan sejak tahun 1970an.

Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Konflik Status dan Kekuasaan Orang

Batak Toba (2011) menjelaskan atas konflik-konflik yang terjadi dalam struktur

masyarakat Batak Toba baik konflik khusus yang terjadi dalam lingkup keagamaan

dan konflik umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini membantu

penulis dalam menjelaskan konflik yang terkait kedudukan sistem tradisi dalam

budaya Batak Toba yang tentunya menyangkut hal umum yaitu seperti pernikahan

yang tidak terlepas dari pelaksanaan adat perkawinan suku Batak Toba.

JC. Vergouwen dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (1986)

menjelaskan mengenai sisi kehidupan masyarakat Batak Toba yang termasuk di

dalamnya yaitu seperti sturuktur silsilah, konsep religius, persekutuan masyarakat,

konsep hukum, dan pemecahan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat

Batak Toba. Buku ini membantu penulis dalam memahami dan menjelaskan tentang

keberadaan tradisi perkawinan suku Batak Toba dan bagaimana proses serta

pengertian dari adat istiadat dan tradisi di tengah masyarakat Batak Toba yang wajib

dipatuhi dan dilaksanakan.

10 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian dan penulisan sejarah, untuk menganalisis berbagai

peristiwa masa lalu diperlukan juga konsep-konsep dari berbagai cabang ilmu lainnya

yang relevan dengan topik yang dikaji atau yang dikenal dengan istilah pendekatan

multidimensional. Penulis mencoba mengkaji dari beberapa cabang ilmu lain seperti

ilmu sosiologi, antropologi, keruangan dan ekonomi.9 Tujuan diperlukannya konsep

dari cabang-cabang ilmu ini ialah untuk memungkinkan suatu masalah dapat dikaji

dari berbagai dimensi ilmu lainnya sehingga pemahaman terhadap masalah yang

diteliti semakin jelas dan nyata.

Dalam penelitian ini juga dilakukan dengan metode agar mempermudah

dalam penelitian dan penulisan. Dalam penelitian ini penulis menekankan pada aspek

manusia, ruang dan waktu maka dari itu penulis menggunakan metode sejarah. Ilmu

sejarah memiliki beberapa metode dasar dan umum yang digunakan dalam penelitian.

Metode tersebut berguna untuk aturan dan rujukan agar penelitian sesuai dengan

tulisan sejarah. Aturan dalam penulisan yang ada di dalam metode sejarah membantu

setiap penelitian untuk memahami kejadian pada masa lalu. Metode sejarah adalah

proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa

lampau.10 Metode sejarah berisi tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan

sebuah tulisan sejarah. Tahapan tersebut berguna untuk mendapatkan tulisan sejarah

yang bersifat analitis dan deskriptif.


9
Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group,
2007, hlm. 53.
10
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm. 32.

11 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Metode sejarah memiliki 4 tahapan: pertama Heuristik, adalah pengumpulan

sumber dan data yang sesuai dan mendukung objek yang diteliti. Penulis akan

mengumpulkan data dengan melakukan studi lapangan dan studi pustaka. Studi

lapangan dilakukan dengan teknik wawancara dan penelitian di tempat. Wawancara

akan dilakukan kepada beberapa narasumber yang dipilih dari pasangan suami istri

dari keluarga suku Batak Toba, tokoh adat Batak Toba (raja adat), masyarakat umum

dan masyarakat Batak Toba yang berada di Kecamatan Medan Area. Penelitian di

tempat yaitu dengan datang langsung ke wisma yang berada di Kecamatan Medan

Area untuk mengamati adat perkawinan Batak Toba. Dalam studi pustaka penulis

akan menggunakan referensi literatur dari sumber yang terpercaya dan berkaitan

dengan topik penelitian yang sedang diteliti. Penulis juga akan mengunjungi

Perpustakaan Tengku Luckman Sinar Medan, Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara, dan Perpustakaan Kota Medan.

Tahap kedua adalah Verifikasi. Verifikasi sumber sangat dibutuhkan dalam

penulisan sejarah karena semakin kritis dalam menilai suatu sumber sejarah maka

semakin autentik penelitian sejarah yang dilakukan.11 Verifikasi dilakukan pada

sumber yang telah terkumpul. Penulis akan menyeleksi semua sumber yang telah

terkumpul sesuai data yang dibutuhkan. Dengan sistem verifikasi sumber ini penulis

akan menggunakan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern penulis akan

mencari tau isi kebenaran data melalui sumber lisan dan yang tertulis untuk melihat

dan mendapatkan kebenarannya. Untuk kritik ekstern penulis akan membandingkan

11
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999, hlm. 99.

12 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


informasi yang telah terkumpul dengan memperhatikan keabsahan, palsu atau

tidaknya informasi dari data yang terkumpul.

Tahap yang ketiga yaitu Interpretasi, maksudnya adalah penafsiran. Pada

tahap interpretasi dilakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang sudah di kritik

internal dan kritik eksternal terhadap data-data yang diperoleh. Setelah fakta untuk

mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian penulis

melakukan penafsiran tentang makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan

fakta yang lain. Fakta kemudian dipilih berdasarkan keperluan penulis dengan

memperhatikan data yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dikerjakan

penulis.

Tahap keempat adalah Historiografi, yaitu proses menuliskan kembali fakta-

fakta sejarah yang telah diperoleh menjadi sebuah karya ilmiah sejarah yang bersifat

analitis dan deskriptif. Data dan fakta yang ada akan dianalisis dengan tujuan untuk

memperoleh tulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi juga merupakan

kegiatan akhir dari metode sejarah.12 Dalam hal ini hasil penelitian akan dijadikan

skripsi dengan data yang sudah diperoleh. Tulisan tersebut akan menjelaskan tentang

Pelaksanaan Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 1970-1982.

12
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1982, hlm. 58.

13 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1 Letak Geografis Kecamatan Medan Area

Kecamatan Medan Area merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota

Medan, terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota Medan sendiri

mempunyai 21 kecamatan dan Kecamatan Medan Area adalah kecamatan yang cukup

dikenal oleh penduduk Kota Medan karena jaraknya yang dekat dengan pusat Kota

Medan. Pada masa dahulu, wilayah Kecamatan Medan Area merupakan daerah rawa-

rawa yang banyak terdapat perkebunan, begitu juga dengan keadaan gografis

wilayahnya yang masih sepi dari tempat tinggal penduduk. Namun dalam keadaan

sekarang wilayah Kecamatan Medan Area sudah ramai oleh berbagai infrastruktur

dan rumah penduduk yang jaraknya cukup rapat. Kecamatan Medan Area berada

pada posisi 20°-30° Lintang Utara dan 98°-44° Bujur Timur dan terletak 30 meter

diatas permukaan laut. Kecamatan Medan Area berbatasan dengan Kecamatan Medan

Kota di sebelah selatan dan barat, Kecamatan Medan Perjuangan di sebelah utara dan

Kecamatan Medan Denai di sebelah timur. Kecamatan Medan Area mempunyai luas

sekitar 4,22 km². Kecamatan Medan Area mempunyai 12 kelurahan, yaitu :

1. Pasar Merah Timur 5. Suka Ramai I 9. Sei Rengas Permata

2. Tegal Sari II 6. Kota Matsum II 10. Suka Ramai II

3. Tegal Sari III 7. Kota Matsum IV 11. Sei Rengas II

4. Tegal Sari I 8. Kota Matsum I 12. Pandau Hulu II

14 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kecamatan Medan Area termasuk daerah yang beriklim tropis dan seperti

pada umumnya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dari 12

kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Area, Kelurahan Pasar Merah Timur

menjadi kelurahan terluas yaitu mempunyai luas wilayah sebesar 0,75 km² dan

Kelurahan Tegal Sari I dan Tegal Sari II mempunyai luas terkecil yaitu dengan luas

wilayah sebesar 0,24 km².13 Kecamatan Medan Area merupakan pintu utama Kota

Medan di sebelah timur yang menjadikan pintu masuk dari daerah lainnya di

Sumatera Utara.

2.2 Kondisi Masyarakat dan Mata Pencaharian

Keberadaan penduduk di Kecamatan Medan Area paling dominan berada di

wilayah Kelurahan Kota Matsum I. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Medan

Area adalah suku Melayu Deli dengan populasi sebanyak 50% hal ini dikarenakan

kecamatan ini berada di Kota Medan yang dikenal dahulu sebagai pusat kesultanan

Melayu Deli. Kemudian suku yang lainnya disusul oleh suku Batak Toba, Karo,

Minang, Simalungun, Tionghoa, Jawa, Nias dan Mandailing. Masyarakat di

Kecamatan Medan Area merupakan masyarakat multi-etnis yang terdiri dari beraneka

ragam kebudayaan yang khas dan unik.

13
Badan Pusat Stastik, Kecamatan Medan Area Dalam Angka, Medan: Badan Pusat Stastik
Kota Medan, 2016, hlm. 8.

15 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kehidupan beragama di Kecamatan Medan Area juga sangat harmonis karena

adanya rasa toleransi diantara agama yang berbeda, yang bisa dibuktikan dengan

sikap tolong menolong dan menghormati saat acara besar keagamaan. Ditinjau dari

kepercayaannya, kebanyakan masyarakat di Kecamatan Medan Area memeluk agama

Islam oleh suku Melayu, Minang, Jawa dan Mandailing, kemudian sisanya beragama

Kristen oleh suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Nias dan Buddha oleh etnis

Tionghoa. Berdasarkan kelompok umur, persebaran masyarakat di Kecamatan Medan

Area separuh lebih merupakan masyarakat yang memiliki usia produktif. Dalam

kegiatan sehari-harinya sebagian besar orang dewasa di Kecamatan Medan Area

bermata pencaharian sebagai pedagang dan pegawai swasta, sisanya bekerja seperti

supir kendaraan umum, wirausaha, dan pegawai negeri.

2.3 Keberadaan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area

Keberadaan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area diikuti dengan

keberadaan awal orang Batak Toba di Kota Medan yang sudah ada sekitar abad ke 18

yang dijadikan sebagai buruh perkebunan dikarenakan akibat invasi besar-besaran

perkebunan di Sumatera Timur. Orang Batak Toba tersebut didatangkan dari daerah

pedalaman Tapanuli yang merupakan tempat asal mulanya suku Batak Toba. Mereka

bekerja membantu tuan kebun dalam areal perkebunan seperti menebang pohon dan

membersihkan lahan.14

14
A. Banjarnahor, Pengaruh Ritual Adat Batak Toba Dalam Penataan Ruang (Skripsi),
Medan, Digital Library UNIMED, 2016, hlm. 2.

16 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada saat itu tidak terlalu banyak orang Batak Toba yang datang dari daerah

asalnya ke Sumatera Timur karena adanya peraturan pemerintah yang diwakilkan

oleh Sultan Deli dan pihak kolonial dimana peraturan itu ialah pembatasan buruh

yang bekerja di Tanah Deli (Kota Medan) dan salah satu sumber mengatakan bahwa

orang Batak Toba yang pertama datang ke Kota Medan dari daerah asalnya pada

masa itu yaitu seorang pria bermarga Hutabarat. Pada saat yang sama, komunitas

Melayu menjadi lebih dominan di Kecamatan Medan Area dan berhubungan

langsung dengan orang Batak Toba sebagai buruh perkebunan. Namun dalam waktu

selanjutnya, karena adanya pengaruh perkembangan suku-suku lain yang datang dan

mendiami wilayah Kecamatan Medan Area, semakin lama komunitas Melayu itu

mulai mengalami kelunturan dalam identitas dan kebudayaannya dan menjadikan

Kecamatan Medan Area sebagai kecamatan yang beranekaragam dimana lebih mudah

bagi kelompok-kelompok lain untuk menonjolkan jati dirinya. Pada tahun 1970 dan

setelahnya populasi suku Batak Toba di Kecamatan Medan Area mengisi persentase

sebanyak 14,11% dari jumlah keseluruhan suku yang ada dan terjadi penambahan

dari persentase sebelum tahun 1970 yaitu suku Batak Toba berjumlah sekitar

2,93%.15 Penambahan ini terjadi karena adanya perkawinan yang menghasilkan

keturunan dan adanya arus kedatangan para perantau dari daerah asal (bona pasogit)

yang diakibatkan pola pemikiran mereka yang sudah cukup maju dan memilih

merantau untuk bekerja demi kehidupan yang lebih baik. Salah satu pilihan tempat

perantauannya ialah Kecamatan Medan Area.

15
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan, 12 Maret 2020, 10.30 WIB.

17 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam pergaulan sehari-harinya hubungan masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area sangat erat karena mereka merasa mempunyai kesamaaan

yaitu berasal dari satu suku (kebudayaan) dan daerah yang sama. Di Kecamatan

Medan Area, orang Batak Toba kebanyakan berada di Kelurahan Pasar Merah Timur

dan Tegal Sari.16 Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area selalu berusaha

untuk dapat bertahan hidup dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang mereka

lakukan seiring perkembangan waktu yaitu seperti berdagang, berwirausaha,

wiraswasta, supir kendaraan umum, pegawai negeri, dan ibu rumah tangga.

Keberadaan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area merupakan suatu

kekayaan yang dimiliki, karena dengan adanya suku Batak Toba menambah bukti ciri

khas di kecamatan ini.

Sangat mudah dijumpai keluarga suku Batak Toba di Kecamatan Medan Area

dan mereka hidup rukun dan akur dengan berbagai etnis yang berada di sekitarnya.

Untuk menjaga agar hubungan kekerabatan diantara sesama masyarakat Batak Toba

di Kecamatan Medan Area menjadi kuat dalam tujuan dan pola pikir yang sama,

mereka membentuk suatu perkumpulan marga, keturunan dan lingkungan. Dalam

waktu tertentu, mereka juga sering mengadakan perkumpulan tersebut untuk

mempererat kekeluargaan. Perkumpulan ini juga sangat berpengaruh pada

pelaksanaan adat seperti adat perkawinan Batak Toba yang tidak terlepas dari

hubungan masyarakat yang berada disekitar supaya adat tersebut bisa terlaksana

dengan baik. Sistem adat, kekerabatan dan perkawinan pada masyarakat Batak Toba

16
Badan Pusat Stastik, op.cit., hlm. 10.

18 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang berada di Kecamatan Medan Area tetap mengikuti tradisi leluhurnya yang

melekat dan mempengaruhi perilaku pada masyarakatnya dalam pelaksanaan adatnya

di kehidupan sehari-hari.

2.3.1 Adat pada Masyarakat Batak Toba

Adat merupakan salah satu cabang dari kebudayaan yang terdiri dari nilai

budaya, kebiasaan, dan kelembagaan yang lazim dilakukan dalam suatu kelompok

masyarakat. Apabila adat ini tidak dilaksanakan, akan terjadi kehancuran yang

menimbulkan sanksi yang tidak tertulis oleh masyarakat adat itu sendiri terhadap

pelaku yang dianggap menyimpang. Menurut salah satu ahli yaitu Jalaluddin Tunsam

(1660) adat berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari (adah) yang mempunyai arti

yaitu “cara”,“kebiasaan”. Di Indonesia sendiri kata adat mulai digunakan sekitar

akhir abad 19.17

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adat (aturan,cara) yaitu aturan

yang lazim ditiru atau dilakukan sejak dahulu kala dan sudah menjadi kebiasaan.

Adat yang diketahui sebelum masa penjajahan mencakup segala praktik sehari-hari

masyarakat, termasuk praktik seperti ziarah kubur, berkunjung ke tempat sakral,

perkawinan, kelahiran dan sebagainya. Pada kenyataannya bahkan sampai hari ini

dalam beberapa hal masyarakat dalam adatnya masih cenderung tidak membedakan

agama dan adat dalam batasan pengertian yang tegas.

17
M. Junus Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral
Kebudayaan, 1995, hlm. 231.

19 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada suku Batak Toba, masyarakatnya sangat patuh terhadap adat istiadatnya.

Sejak lahir sampai meninggal, masyarakat Batak Toba berpaut pada adat dalam

kehidupannya seperti adat kelahiran, adat perkawinan, adat ulang tahun, adat

memasuki rumah baru, adat pesta tugu, sampai adat kematian. Perlu diketahui, adat

perkawinan Batak Toba dikenal cukup rumit dalam pelaksanaannya karena adat

perkawinan Batak Toba bukan hanya sekedar adat, melainkan didalamnya ada harga

diri diantara dua keluarga yaitu dari pihak pria dan wanita. Adat pada dasarnya

berasal dari nenek moyang suatu suku dan diturunkan sampai sekarang. Ada yang

tetap seperti pada awalnya di tempat adat itu berasal dan ada yang mengalami

perubahan mengikuti perkembangan waktu dalam suatu lingkungan luar. Adat sangat

mempengaruhi kehidupan dan pergaulan masyarakat Batak Toba.18 Pada masyarakat

Batak Toba, adat mempunyai nilai magis terhadap kekuatan semesta dan Mula Jadi

Na Bolon.19

Dengan adat, hubungan antara sesama masyarakat Batak Toba bisa terjalin

dengan baik, akan tetapi adat harus juga dipahami sebagai keberagaman totaliter dari

manusia yang diliputi oleh tradisi. Sifat khas keberagaman ini terdapat dalam

dijaminnya keselamatan melalui kesetiaan kepada apa yang dianut. Dalam adat pada

masyarakat Batak Toba, keberadaan orang hidup dan yang mati terikat satu sama lain

dan tentu mempunyai kewajiban tersendiri.20 Semua adat pada akhirnya berhubungan

18
Bungaran Antonius Simanjuntak, Parandjak Dalam Lintasan Zaman, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2002, hlm. 61.
19
Dewa tertinggi dalam mitologi (kepercayaan tradisional) Batak Toba.
20
Masyarakat Batak Toba dalam pepatahnya disebutkan sirang pe bandanna, uhumna ndang
sirang yang berarti walaupun ia terpisah secara jasmani tetapi secara hukum adat yang ada ia tidak
terpisahkan.

20 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan pemujaan nenek moyang, oleh karena adat yang berada dalam kehidupan

disebut layak jika dipenuhi keseimbangan dan ketertiban. Dalam masyarakat Batak

Toba ada dikenal adat kecil dan adat besar yang didalamnya terdapat tiga unsur

Dalihan Na Tolu yaitu hula-hula, boru, dongan tubu21 ketiga unsur ini tidak dapat

dipisahkan dan harus saling melengkapi dalam setiap upacara adat termasuk adat

perkawinan karena upacara adat tidak bisa berjalan bila ketiga unsur itu hilang (tidak

lengkap). Adat Batak Toba sendiri terbagi menjadi beberapa bagian dan yang berlaku

secara umum diantaranya yaitu :

1. Partuturan

Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba sehari-harinya partuturan adalah

kunci dari falsafah hidupnya dengan menanyakan marga dari setiap orang Batak Toba

yang bertemu, hal ini biasanya dapat digambarkan dengan ukiran 2 ekor cicak yang

saling berhadapan dan menempel pada bagian sisi kiri dan kanan pada rumah adat

Batak Toba.

2. Mangulosi

Dalam setiap adat Batak Toba, mangulosi selalu ada dalam bagiannya karena

pada dasarnya memberikan ulos sebagai lambang kehangatan dan berkat bagi yang

menerimanya. Mangulosi hanya dapat dilakukan oleh orang tua (yang dituakan) atau

orang yang sudah berkeluarga. Mangulosi ini sering dijumpai pada adat Batak Toba,

21
Unsur Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula-hula atau hormat kepada keluarga pihak istri,
elek marboru atau mengayomi saudara dan keluarga perempuan, manat mardongan tubu atau hormat
dan bersikap sopan santun kepada teman semarga.

21 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ketika adat kelahiran anak diberikan ulos parompa oleh oppung dari pihak perempuan

kepada anak perempuannya setelah melahirkan anak pertama.

Pada adat perkawinan ada beberapa ulos yang wajib diberikan seperti ulos

hela yang diberikan oleh orang tua pengantin wanita kepada kedua pengantin, ulos

pansamot yang diberikan oleh orang tua pengantin wanita kepada orang tua pengantin

pria, ulos pamarai yang diberikan oleh orang tua pengantin wanita kepada saudara

laki-laki yang telah menikah, ulos sijalobara yang diberikan oleh pihak keluarga

pengantin wanita kepada abang atau adik dari orang tua pengantin pria, ulos holong

yang diberikan oleh semua pihak keluarga pengantin wanita sebagai simbol kasih

sayang mereka kepada kedua pengantin.

Pada adat dukacita ada beberapa ulos yang wajib diberikan yaitu ulos saput

yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada seseorang yang meninggal tetapi sudah

berkeluarga, ulos tujung yang diberikan oleh pihak tulang kepada istri atau suami dari

seseorang yang meninggal dunia, dan ulos panggabei yang diberikan oleh pihak

tulang kepada seluruh keturunan (anak,cucu,cicit) dari seseorang yang meninggal

apabila sudah mempunyai banyak keturunan. Mangulosi memiliki aturan dan

keunikan sendiri, dalam pelaksanaan mangulosi terdapat sarat dan makna yang

dipertahankan dari dulu sampai sekarang.

22 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Manortor dan Margondang

Manortor salah satu dari adat Batak Toba sendiri yang disajikan dengan

musik gondang. Tortor yaitu seni tari dari Batak Toba yang sudah ada sejak zaman

nenek moyang bangsa Batak Toba dan merupakan sarana utama dalam melakukan

ritual keagamaan yang bersifat mistis. Namun pada saat sekarang ini manortor dapat

dilakukan di acara seremonial seperti dijumpai pada acara adat suku Batak Toba yaitu

adat perkawinan dengan diiringi gondang sabangunan. Tortor dan gondang tidak

dapat dipisahkan.

Pada masyarakat Batak Toba baik yang ada di daerah asal (bona pasogit)

maupun yang berada di Kecamatan Medan Area pastilah selalu melestarikan dan

melaksanakan adat istiadat dalam kehidupannya karena orang Batak Toba

mempercayai adat bagi mereka adalah kehidupan mutlak dan alamiah. 22 Apalagi tipe

orang Batak Toba yang ada di daerah seperti Kecamatan Medan Area sangatlah

beragam karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan, ekonomi dan

gaya hidup ditambah karena disekelilingnya juga banyak terdapat beragam suku yang

mungkin terjadi pembauran dengan suku lainnya akan tetapi hal itu membuat tradisi

dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area

tidak mudah luntur dan tetap ada dalam bagian hidupnya.

22
Parbato, Rumusan Seminar Adat Batak Toba Dalam Pedoman Umum Pelaksanaan Adat
Batak Toba, Medan: CV. Bintang Inc., 1998, hlm. 27.

23 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3.2 Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba

Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba juga berpengaruh dalam

proses adat perkawinan Batak Toba karena sistem kekerabatan orang Batak Toba

adalah patrilineal (melalui garis keturunan laki-laki). Masyarakat Batak Toba

menyebut anggota marganya dengan sebutan dongan-sabutuha. Garis keturunan laki-

laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi punah bila tidak ada lagi anak laki-

laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan patrilineal menjadi tumpuan masyarakat

Batak Toba yang terdiri dari turunan marga dan kelompok suku. Laki-lakilah yang

membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan

besan karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain dan

menghasilkan keturunan. Hubungan kekerabatan melalui pertalian darah atau

perkawinan telah dijadikan alasan oleh masyarakat Batak Toba untuk saling bersikap

ramah, hal ini kadang bisa mendatangkan keuntungan. Untuk mengetahui asal usul

nenek moyangnya, masyarakat Batak Toba menerimanya melalui ungkapan umpasa :

Jolo Tinitip sanggar laho bahen huru-huruan

Jolo sinungkun marga asa binoto partuturan

Untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah

Untuk tahu hubungan kekerabatannya, orang harus menanyakan marga

24 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Menurut pengetahuan turun temurun dari masing-masing silsilah leluhurnya

pada masyarakat Batak Toba, mereka semua berasal dari Si Raja Batak yang pada

awalnya berasal dari daerah Sianjurmulamula yang terletak di lereng Gunung Pusuk

Buhit wilayah sekitar Danau Toba untuk bermukim dan menjadikannya sebagai

tempat tinggal dan membuat kehidupan baru yang menghasilkan keturunan-keturunan

pada masyarakat Batak Toba. Hal ini dipercaya masyarakat Batak Toba sebagai

tempat dimana suku Batak Toba berasal.23

Masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari marga yang melekat di namanya

karena marga tersebut juga berlaku sebagai dasar sistem sosial bagi masyarakat Batak

Toba. Marga ialah salah satu warisan dari leluhur suku Batak Toba yang diperoleh

masyarakat Batak Toba sebagai suatu tanda kehormatan dalam adat istiadat Batak

Toba, artinya hal ini menjadi penentu dalam melaksanakan berbagai macam adat

seperti adat perkawinan. Masyarakat Batak Toba menggunakan marga untuk

menunjukkan satuan yang lebih kecil maupun yang besar sehingga kelompok marga

Batak Toba dikenal sebagai sebuah organisasi keluarga yang luas. Cabang-cabang

marga memberikan batas-batas yang jelas dari dua atau tiga puak (bagian) atau lebih.

Puak-puak itulah yang membentuk marga. Hubungan kekerabatan yang timbul

sebagai akibat dari galur keturunan diperhatikan dengan seksama dan mempunyai

nilai yang penting karena dalam urutan generasi, setiap ayah yang memilik lebih dari

satu anak lelaki maka hal itu menjadi bukti nyata di dalam silsilah.

23
M. Junus Melalatoa, op.cit., hlm. 153

25 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari adat Batak

Toba karena adat bagi masyarakat Batak Toba merupakan hukum yang harus

dipelihara sepanjang hidupnya dan diajarkan kepada keturunannya. Adat Batak Toba

mencakup aturan-aturan dan tata tertib untuk kehidupan bermasyarakatnya dimana

semuanya itu dicakup dalam satu struktur yang disebut Dalihan Na Tolu. Struktur

tersebut muncul karena adanya perkawinan yang menghubungkan dua keluarga besar

dan melalui perkawinan ini terbentuk suatu sistem kekerabatan yang baru karena

telah disatukannya dua buah Dalihan Na Tolu melalui perkawinan.

Dalihan Na Tolu menjadi pengatur segala sendi kehidupan sistem

kekerabatan masyarakat Batak Toba seperti memberi aturan dalam jalannya

ketertiban tutur, menentukan kedudukan, hak juga kewajiban, dan menjadi titik

penentu dalam musyawarah mufakat. Dalam suatu keberadaan orang Batak Toba,

pastilah disitu selalu berlaku fungsi Dalihan Na Tolu, dan keberadaan hula-hula

dalam dalihan na tolu menjadi suatu hal yang penting karena hula-hula dianggap

sebagai penyalur kebaikan dan berkat bagi suatu kekerabatan. Kekerabatan pada

masyarakat Batak Toba sendiri memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang

berdasarkan garis keturunan (geneologis) dan berdasarkan pada sosiologis. Semua

suku Batak Toba memiliki marga hal inilah yang disebut dengan kekerabatan

berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk

melalui perkawinan.

26 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Untuk menentukan garis keturunannya, orang Batak Toba menggunakan

tarombo24, setiap marga Batak Toba mempunyai tarombo masing-masing yang

diwariskan dari leluhur turun temurun. Jika sesama orang Batak Toba bertemu di

suatu tempat biasanya mereka sering kali martarombo.25 Sistem kekerabatan

masyarakat Batak Toba selalu melekat dalam diri masyarakat Batak Toba itu sendiri

sehingga setiap individunya yang sifatnya suka merantau tetaplah mudah untuk

mengetahui silsilahnya masing-masing untuk membentuk suatu hubungan

kekerabatan yang menjadi ciri khas dari masyarakat Batak Toba, hal ini paling

didominasi oleh kelompok pria yang berada di daerah seperti Kecamatan Medan

Area. Seiiring perkembangan waktu, kekerabatan pada masyarakat Batak Toba

semakin erat baik yang ada di daerah asal maupun yang di Kecamatan Medan Area.

Kedekatan emosional sesama orang Batak Toba selalu tercermin dalam dirinya,

sehingga kekerabatan melalui marga dapat menentukan bagaimana bersikap kepada

sesama orang Batak Toba yang baru dikenal.

24
Tarombo (Tarombo Batak Toba) adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam
suku Batak Toba. Dalam tarombo bisa dilihat asal usul orang Batak Toba dari marga tertentu mulai
dari Raja Batak yang digariskan sampai keturunan yang lebih muda sejak munculnya marga yang
bersangkutan. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Batak Toba untuk mengetahui silsilahnya
agar mengetahui letak hubungan kekerabatan khususnya dalam falsafah Dalihan Na Tolu.
25
Martarombo yaitu pembicaraan diantara sesama orang Batak Toba untuk saling
menejelaskan atau menghubungkan kedudukan marga masing-masing.

27 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3.3 Perkawinan pada Masyarakat Batak Toba

Perkawinan merupakan suatu ikatan sosial atau perjanjian hukum antar

pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan didalamnya ada suatu pranata

budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan

seksual.26 Pada umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk

suatu keluarga. Secara etimologis, perkawinan yaitu kata benda turunan dari kata

kerja dasar kawin (kata Jawa Kuno ka-awin atau ka-ahwin) yang berarti dibawa,

dipukul, diboyong. Tujuan perkawinan pada umumnya yaitu untuk mendapatkan

keturunan, untuk meningkatkan derajat atau status sosial dan sebagainya.

Menurut hukumnya di Indonesia, yaitu dari ketentuan UU Pasal 1 tahun 1974

tentang perkawinan, perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini juga menjadi 5 unsur dasar

perkawinan.

26
https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, 19 Maret 2020, 10.15 WIB.

28 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan berasal dari kata

“kawin” yang menurut artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis.27

Perencanaan perkawinan harus melalui proses. Proses yang harus dilalui oleh

pasangan yang akan menikah merupakan awal bagi kedua pasangan untuk saling

mengikat ke dalam suatu ikatan yang sah dan diakui oleh agamanya serta tradisi dan

adat istiadat dari masyarakat di sekitarnya.

Pada masyarakat Batak Toba, fungsi perkawinan yaitu sebagai penentu hak

dan kewajiban dalam lingkungan masyarakat dalam rangka meneruskan garis

keturunan. Perkawinan juga berfungsi sebagai penghubung dalam pelaksanaan adat

Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba. Perkawinan pada masyarakat Batak

Toba adalah perkawinan dengan orang yang di luar marganya sendiri (eksogami) dan

hanya mengizinkan satu kali pelaksanaan adat perkawinan dalam seumur hidup

sampai maut memisahkan hubungan perkawinan tersebut (monogami). Dalam sistem

perkawinan Batak Toba ada larangan kawin dengan marga yang sama karena

dianggap saudara sendiri, apabila terjadi pernikahan tersebut maka pasangan itu akan

dibuang.

27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2001, Cet., Ke-3, hlm. 518.

29 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Contoh perkawinan yang dilarang bagi masyarakat adat Batak Toba28 :

1. Namarito atau bersaudara laki-laki dan perempuan khususnya oleh marga yang

sama sangat dilarang untuk saling menikahi.

2. Pariban Na Soi Boi Olion atau pariban kandung yang hanya dibenarkan

menikah dengan satu pariban saja. Misalnya dua orang laki-laki saudara kandung

yang punya lima orang pariban kandung, yang diizinkan untuk dinikahi adalah

hanya salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi pariban-paribannya.

Namun pernikahan pariban kandung ini sudah tidak dilakukan lagi seiiring

perkembangan waktu dan pemikiran pada masyarakat Batak Toba.

3. Dua Punggu Saparitohan yaitu tidak diperkenankan melangsungkan

perkawinan antara dua orang kakak beradik kandung yang memiliki mertua sama.

Pada hakikatnya, perkawinan Batak Toba bersifat patrilineal tujuannya ialah

melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Para leluhur masyarakat Batak Toba

menyarankan kepada seluruh keturunannya untuk mencari jodoh dengan sesama

orang Batak Toba (endogami) dengan tujuan supaya keturunannya baik laki-laki

maupun perempuan tidak menghilangkan identitas (marganya) sampai keturunan

selanjutnya. Menurut peraturan hukum keluarga, perkawinan tetap masuk ke dalam

kelompok kerabat.

28
Togadebataraja.blogspot.com/2012/05/perkawinan-yang-dilarang-dalam-adat.html?m=1,
19 Maret 2020, 11.33 WIB.

30 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Syarat dalam perkawinan resmi bagi masyarakat Batak Toba yaitu :

1. Anak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia dewasa, biasanya

diatas 18 tahun

2. Sudah melaksanakan malua (bagi agama Kristen)

3. Pihak laki-laki sudah mempunyai calon istri

4. Orang tua laki-laki bersedia memenuhi ketentuan-ketentuan adat seperti

maskawin dan pelaksanaan pesta adat

5. Orang tua laki-laki dan perempuan sudah memberi persetujuan kepada

masing-masing anaknya.

Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis lelaki

dan pada masyarakat Batak Toba tidak ada pengecualian dalam peraturan ini.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba merupakan “harga mempelai perempuan”,

perempuan dilepaskan dari keluarganya dengan pembayaran sejumlah uang yang

disetujui bersama atau dengan penyerahan benda berharga (sinamot). Perempuan itu

dikeluarkan dari kekuasaan lelaki terdekatnya dan yang bertanggungjawab atas hal ini

ialah bapaknya atau jika bapaknya sudah meninggal, kakek lelakinya dan seterusnya

menurut keturunan laki-laki melalui bapaknya. 29 Pada masyarakat Batak Toba

pelaksanaan upacara perkawinan dianggap sebagai suatu yang sakral dimana

perkawinan tidak dapat dilaksanakan dengan sembarangan melainkan harus

mengikuti adat dan tradisi yang berlaku, juga dapat dipahami sebagai pengorbanan

29
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 1986, hlm. 198.

31 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dimana parboru30 mengorbankan anak perempuannya untuk menjadi istri pengantin

pria sedangkan paranak31 mengorbankan seekor hewan untuk menjadi santapan adat

dalam perkawinan itu. Di dalam perkawinan masyarakat Batak Toba terdapat

perpaduan hakikat kehidupan antara laki-laki dan perempuan yang menjadi satu

ikatan bukan hanya membentuk rumah tangga dan keluarga saja. Dengan

terlaksananya perkawinan diharapkan mendapatkan keturunan yang akan menjadi

penerus silsilah orang tua dan kerabat menurut garis ayah. 32

Secara garis besar tujuan perkawinan menurut adat Batak Toba ialah33 :

1. Untuk mendapatkan kelanjutan turunan dan diutamakan keturunan anak

lelaki untuk mewarisi harta benda di masa depan

2. Membangun hubungan kekeluargaan antara satu pihak dengan pihak lain

3. Merupakan syarat untuk memperoleh kebahagiaan

4. Melaksanakan ajaran agama

5. Merupakan keharusan menurut adat.

30
Parboru menurut adat istiadat Batak Toba ialah seluruh keluarga dari pihak perempuan.
31
Paranak ialah seluruh keluarga dari pihak pria yang ikut berperan dalam adat.
32
Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hlm.
70.
33
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama, 2012, hlm.32.

32 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada masyarakat Batak Toba khususnya yang ada di Kecamatan Medan

Area, masyarakat Batak Toba disini masih tetap memegang teguh adat istiadat

perkawinan seperti di daerah asalnya (bona pasogit) dalam proses pelaksanaannya

walaupun terdapat beberapa perubahan yang dibuat berdasarkan keputusan tiap

kelompok keluarga atau masyarakat karena beberapa faktor seperti perkembangan

pemikiran, perkembangan zaman, dan efisensi waktu, akan tetapi makna dan

fungsinya tetap sama.

33 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

PELAKSANAAN ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA

DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN SEBELUM TAHUN 1970

3.1 Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area

Kota Medan sebelum Tahun 1970

Pada adat perkawinan Batak Toba, umumnya laki-laki dan perempuan yang

sudah memasuki usia dewasa dan disatukan dari kedua belah pihak keluarga melalui

perkawinan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan suatu kelompok masyarakat. Dari

keseluruhan rangkaian perkawinan adat Batak Toba tentulah membutuhkan dan

menganggap penting peran masyarakat sekitar dan tidak dapat dipisahkan dari

peranan keluarga ataupun kerabat, hal itulah yang terjadi di Kecamatan Medan Area

sebelum tahun 1970. Namun, dahulu kala atau sebelum tahun 1970 di daerah asalnya

(bona pasogit), masyarakat Batak Toba dianjurkan kawin dengan pariban atau boruni

tulang (anak perempuan tulang) yaitu antara anak lelaki dari seorang ibu dengan anak

perempuan dari saudara kandung laki-laki ibu dikarenakan hal itu merupakan

perkawinan yang ideal bagi adat masyarakat Batak Toba34, hal ini juga masih banyak

terjadi pada pasangan di Kecamatan Medan Area pada saat itu.

34
Erika Revida, “Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak Toba Sumatera Utara”, USU e-
Journals, Vol. 5 No. 2 (Mei-Agustus, 2006), 214.

34 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam adat Batak Toba sebelum sampai pada pesta adat perkawinan ada

syarat-syarat yang harus dilalui sebagai rangkaian proses untuk dilaksanakan menuju

tujuan yang utama yaitu adat perkawinan yang sesungguhnya. Adapun tata cara adat

Batak Toba dalam pelaksanaan adat perkawinan haruslah berdasarkan ketentuan-

ketentuan adat yang berlaku terlebih dahulu. Pada daerah di Kecamatan Medan Area

sebelum tahun 1970, orang Batak Toba tetap melaksanakan adat istiadat dan tradisi

yang sudah ada sejak lama dari leluhurnya dalam proses perkawinannya.

Walaupun pada saat itu jumlahnya relatif masih sedikit, orang Batak Toba

yang ada di Kecamatan Medan Area masih bisa melaksanakan adat perkawinan untuk

memperbanyak jumlahnya dan meneruskan keturunannya, hal ini didukung karena

adanya rasa perdamaian dan kerukunan dalam perbedaan yang ada pada warga di

Kecamatan Medan Area pada saat itu, maka dalam perkembangan waktunya populasi

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area semakin bertambah tetapi tidak

melebihi etnis Tionghoa dan Jawa.35 Keadaan yang membuat mereka bersaing dengan

suku pribumi Melayu di Kecamatan Medan Area juga membuat mereka berusaha

keras untuk bisa bertahan dengan berbagai cara. Mereka yang kebanyakan bekerja

sebagai buruh melaksanakan adat perkawinan cukup sederhana namun membutuhkan

waktu yang cukup lama karena pelaksanaan adat itu sendiri lebih dominan mengikuti

adat yang asli dari daerah asal (bona pasogit) tanpa ada perubahan dari luar

dikarenakan pada sebelum tahun 1970 belum semua masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area ”mementingkan” keyakinan (hukum agama) dan undang-

35
http://article.melayuonline.com/?a=SG9QL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=, 20 Maret
2020, 12.00 WIB.

35 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


undang perkawinan dalam pelaksanaan adat istiadat perkawinannya karena pemikiran

yang masih bersifat kedaerahan dan keberadaan hukum adat menjadi tuntunan yang

paling utama diterapkan dan melekat di dalam kehidupannya.

Rangkaian pelaksanaan adat itu sendiri dimulai dari mangebati boru ni

tulang dan diakhiri dengan maningkir tangga.36

3.1.1 Mangebati Boru ni Tulang

Karena pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Medan Area sebelum tahun 1970 mempunyai kesamaan dalam proses adatnya dengan

adat dari daerah asal (bona pasogit), maka hal pertama yang dilakukan adalah pihak

pria datang mengunjungi pariban37nya ke rumah tulang38nya si pria (mangebati boru

ni tulang). Kegiatan kunjungan ini tidak lain adalah untuk memenuhi keinginan dari

orang tua si pria, juga dimana orang tua si pria menginginkan anak perempuan (boru)

tulangnya menjadi calon pasangan istri anaknya. Keinginan ini pada masa itu masih

dituruti seorang pria sebagai tanda penghormatan kepada orang tua yang berada di

sekitarnya.

36
Wawancara, dengan Oppung Marhehe, tanggal 20 Maret 2020, pukul 11.40 WIB.
37
Pariban ialah anak perempuan dari saudara laki-laki ibu.
38
Tulang ialah saudara laki-laki dari ibu.

36 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kemudian jika terjadi suatu kesepakatan diantara pria tadi dengan orang tua

dan keluarganya maka pria yang sudah dewasa itu akan mengunjungi paribannya,

namun terlebih dahulu sebelum mengunjungi paribannya pria tersebut harus

mengirim surat sebagai awal pemberitahuan untuk kedatangannya. Dalam surat

tersebut juga sudah ada waktu yang telah ditentukan untuk kedatangan si pria dengan

keluarganya termasuk orang tuanya.

Sesampainya di rumah tulangnya, ibu dari pria tersebut memberitahukan

maksud dan tujuan kedatangan mereka dengan inti dari pemberitahuan tersebut ialah

bahwa si ibu menyampaikan bere dari tulang tersebut untuk menjadi anaknya atas

ketentuan sosial dan adat, dimana seorang laki-laki dan perempuan yang sudah

memasuki usia dewasa harus dikawinkan. Setelah ibu dari pria tersebut sudah

menyampaikan awal maksud dari kedatangannya, dilanjutkan dengan mengatakan

keluarga si pria tidak mempunyai banyak harta untuk sinamot39 bagi anak perempuan

ito40nya itu, hal ini dikarenakan pada waktu itu di Kecamatan Medan Area

penduduknya yang sebagian merupakan suku Batak Toba belum memiliki banyak

harta atau uang karena pekerjaan dan penghasilan mereka yang masih cukup hanya

untuk kebutuhan mereka sehari-hari ditambah keberadaan pemerintahan yang masih

berhubungan dengan kekuasaan kolonial yang membuat batasan dalam hal

39
Sinamot ialah mahar/maskawin yang diberikan pihak pria kepada pihak wanita dalam
tradisi dan adat Batak Toba melalui perkawinan. Biasanya sinamot ini dianggap sebagai harga diri dari
perempuan yang akan dinikahi dan bentuknya berbagai macam mulai dari sawah,hewan,barang
berharga dan uang yang diberikan pada acara marhata sinamot yaitu pembicaraan mahar/maskawin
yang akan diberikan pihak pria untuk adat perkawinannya.
40
Panggilan dari ibu (perempuan) untuk saudara laki-lakinya dan panggilan dari ayah (laki-
laki) untuk saudara perempuannya.

37 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perekonomian termasuk pekerjaan dan gaji yang diberikan kepada pekerja pada saat

itu.41

Kemudian orang tua dari perempuan menjawab perkataan dari ibu pria

tersebut dengan intinya bahwa bukan harta yang membuat kesepakatan pernikahan

terjadi melainkan karena kedua belah pihak mempunyai harapan dan keinginan yang

sama untuk membuat anak-anak mereka menjadi pasangan suami dan istri. Setelah

ada kesepakatan diantara kedua pihak ini, si pria akan berbicara secara khusus kepada

calon perempuan yang akan menjadi istrinya itu pada malam hari dan dalam

pembicaraan tersebut si perempuan didampingi salah satu kerabatnya dengan maksud

untuk menjadi saksi dari pembicaraan kedua muda mudi itu.

Dari pembicaraan khusus tersebut pastilah kedua muda mudi ini sudah

mempunyai pikiran dan maksud yang sama untuk kedepannya yang menandakan

perempuan tersebut bersedia menjadi pasangan si pria. Kedua calon pasangan ini

bersama-sama mengajak teman sebaya mereka untuk hadir menjadi saksi sebagai

awal dari proses adat perkawinan mereka.

41
Tengku Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu, 2009, hlm. 47.

38 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada malam keesokan harinya kedua keluarga beserta tamu undangan

(teman-temannya) mengadakan acara makan malam bersama di rumah si pria dan

disinilah tulangnya (ayah dari perempuan tersebut) mengatakan kalau putrinya

dengan berenya itu sudah bersepakat dalam membangun satu keluarga rumah

tangga.42 Pria yang akan melaksanakan adat perkawinan itu akan menerima umpasa43

dari pihak keluarga wanita (tulangnya) demi mengikuti dan mentaati adat istiadat dan

kebiasaan tradisional yang berlaku pada masyarakat Batak Toba pada saat itu,

seperti44 :

Andor hadukka, togutogu ni lombu

Sai sahat hamu saurmatua, togutoguan ni pahompu

artinya ialah semoga kamu beranak cucu,

dan panjang umur sehingga sempat dituntun oleh para cucu

Simbora gukguk, di julu ni tapian,

Horas jala gabe hita luhut, jala dapotan parsaulian

artinya ialah semoga kita sekalian hidup sejahtera,

dan mendapat rezeki dalam kehidupan

42
J.C Vergouwen, op.cit., hlm. 216.
43
Umpasa ialah karya sastra dalam bentuk syair/puisi dari nenek moyang bangsa Batak Toba
yang isinya biasanya berupa restu, nasehat dan doa bagi orang yang menerimanya. Umpasa ini
disampaikan dalam adat Batak Toba dan ditujukan bagi muda mudi dan calon pasangan pengantin.
Umpasa masa kini telah berkembang mengikuti zaman seiring kemajuan waktu dan tidak terpaut lagi
dengan umpasa yang sudah ada sejak dahulu.
44
https://www.hitabatak.com/kumpulan-umpasa-batak-untuk-acara-pesta-perkawinan/, 20
Maret 2020, 18.50 WIB.

39 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setelah pria mendapatkan umpasa kemudian dilanjutkan dengan si

perempuan akan memberikan tanda keyakinannya kepada si pria berupa ulos

sitoluntuho, ulos ini biasanya harus baru yang tidak pernah dipakai dan tentunya

mempunyai nilai keindahan.45 Dan yang terakhir si pria tersebut akan memberikan

benda berharga seperti perhiasaan yang indah dan tentu benda tersebut sesuai dengan

kemampuannya kepada calon pasangannya tersebut, mungkin nilainya lebih tinggi

dari pemberian si perempuan itu kepadanya. Selanjutnya acara pun ditutup dengan

ucapan syukur bersama yang maksudnya acara tersebut sudah selesai. Acara ini

menunjukkan bahwa si pria berkenan dan tertarik kepada anak perempuan tulangnya

tersebut. Akan tetapi jika si pria tidak berkenan atau tidak tertarik kepada anak

perempuan tulangnya maka pria tersebut bersama orang tuanya haruslah juga

mendatangi tulangnya secara langsung dengan mambawa hidangan makanan karena

dalam adat masyarakat Batak Toba, tulang memiliki kehormatan dan hal ini terdapat

dalam filosofi masyarakat Batak Toba yaitu dalihan na tolu. Dalam pertemuan

tersebut, pria dan ibunya menyampaikan maksud bahwa dia akan melamar putri

orang lain dan memohon persetujuan dari tulangnya itu.

45
Wawancara, dengan Murniaty Nababan, tanggal 20 Maret 2020, pukul 19.45 WIB.

40 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada umumnya jika memang hal itu dikarenakan rasa dan jodoh yang sudah

ada maka tulangnya tidak akan menolak izin tersebut dan menerimanya sambil

memberikan persetujuan berupa berkat kepada si pria dan akan menganggap putri

orang lain yang akan dinikahi bere46nya tersebut sebagai putrinya. Langkah awal ini

membutuhkan waktu yang cukup lama.

3.1.2 Martandang

Proses adat yang kedua yaitu martandang. Seorang pria yang melakukan

kegiatan ini pada masa itu karena ingin mencari pasangan diluar paribannya (tidak

berjodoh dengan anak perempuan tulangnya). Dalam proses pelaksanaan adat

perkawinan Batak Toba, yang berperan lebih dominan adalah pihak pria, dimana pria

dan keluarga sangat membutuhkan seorang perempuan untuk dijadikan sebagai

pendamping hidup si pria dan meneruskan keturunan dari kedua belah pihak

keluarga. Pihak pria tidak terlepas dari setiap proses adat yang berlaku dalam

masyarakat Batak Toba dari zaman ke zaman. Setelah mengunjungi boru ni tulang

(pariban), proses adat perkawinan Batak Toba sebelum tahun 1970 di Kecamatan

Medan Area yang tetap mengikuti adat asli dari daerah asal masyarakat Batak Toba

yaitu dilakukanlah martandang. Martandang ini merupakan lanjutan dari proses

perkawinan adat adat Batak Toba yaitu mangebati boru ni tulang (kunjungan

pariban), dimana jika seorang pria yang tidak tertarik dengan paribannya maka ia

akan melakukan martandang. Martandang secara harfiah berarti keluar kandang,

46
Bere ialah istilah panggilan keponakan dalam adat istiadat Batak Toba.

41 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


melawat atau berkunjung. Dalam adat Batak Toba martandang merupakan etika

pergaulan yang mempertemukan doli-doli (pria lajang) dengan boru-boru (anak

gadis).47 Kegiatan ini tidak lain adalah untuk mendapatkan perempuan pilihan pria

yang akan dijadikan calon istri.

Pemuda di Kecamatan Medan Area yang adalah perantau dan semulanya

berasal dari daerah asalnya (bona pasogit), biasanya saat malam hari tiba pemuda

tersebut tidak tidur di rumah orang tuanya akan tetapi ia memilih untuk tidur di suatu

tempat yang dinamakan sopo, karena sopo yang ada di daerah toba merupakan tempat

penyimpanan padi, beda halnya dengan sopo yang berada di Kecamatan Medan Area

pada zamannya sebelum tahun 1970 berbentuk seperti kedai yang diisi oleh beberapa

pemuda yang usianya sudah memasuki usia dewasa dalam perkawinan.48 Mereka

akan duduk berbicara bersama dan jika sudah mulai mengantuk akan tidur disitu juga.

Bukan hanya kegiatan pria saja yang dijadikan sebagai penelitian, akan tetapi juga

dengan perempuan, penelitian ini mendapatkan bahwa para perempuan Batak Toba

yang sudah memasuki usia dewasa di Kecamatan Medan Area ini tidak lagi juga

tinggal di rumah orang tuanya melainkan mereka juga akan tinggal bersama dengan

teman sebayanya yang sudah memasuki usia dewasa di sebuah rumah yang dimiliki

oleh seorang balu (seorang wanita yang hidup sendiri ditinggal suami/janda) karena

supaya balu tersebut bisa menjaga dan mengawasi para perempuan tersebut. Hal ini

merupakan suatu kebiasaan yang sudah ada sejak lama.

47
E.H Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya,
Bandung: Tarsito, 1982, hlm. 54.
48
Wawancara, dengan Viktor Simanjuntak, tanggal 23 Maret 2020, pukul 10.40 WIB.

42 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setelah para pria dan perempuan yang telah melakukan kebiasaan masing-

masing dari tradisi yang sudah ada sejak lama tadi, mereka akan melakukan

pertemuan disuatu tempat. Akan tetapi pertemuan itu tidak bisa dilakukan

sembarangan karena keterikatan mereka dengan adat yang berlaku tidak

memperkenankannya. Dengan adanya kegiatan martandang ini hal itu bisa teratasi

dan para pria tersebut bisa menjumpai perempuan idamannya untuk mengenal satu

sama lain dan saling memahami.

Kegiatan martandang ini bisa dilakukan dengan wilayah yang berbeda dan

waktunya juga fleksibel biasanya pada siang dan malam hari. Dalam adat Batak Toba

wajib seseorang mencari pasangannya yang berasal dari suku Batak Toba juga hal ini

merupakan sudah menjadi aturan ditengah-tengah lingkungan keluarga masyarakat

Batak Toba maupun dilingkungan masyarakat umum, akan tetapi jika hal itu tidak

bisa dilakukan, maka jika mendapat jodoh diluar dari suku Batak Toba, seseorang

yang berasal dari suku lain tersebut akan dibuat menjadi bagian dari masyarakat

Batak Toba berdasarkan aturan dan upacara adat yang berlaku. Dalam martandang

dengan berbisik-bisik sepasang muda mudi berbicara mengenai hal-hal biasa,

seringkali pria mengajukan teka teki atau pantun dan semakin dalam akan mengarah

ke hal-hal yang lebih khusus. Kalau martandang ini semakin sering dilakukan maka

para pria dan perempuan yang memasuki usia dewasa tersebut juga akan semakin

akrab dan mungkin tumbuh benih-benih cinta diantara mereka.

43 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kegiatan martandang ini juga seiring dengan perkembangan waktu sudah

tidak dilaksanakan lagi, hal ini dimulai ketika masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Medan Area sudah mengalami perkembangan dalam pemikirannya yaitu sekitar tahun

1970 dan setelahnya. Seperti pada anak muda mudi yang lebih suka menulis surat dan

media komunikasi lainnya.

3.1.3 Domu-domu

Domu-domu49 adalah kelanjutan dari martandang dan menjadi langkah yang

cukup serius untuk melangsungkan adat perkawinan. Setelah kedua muda mudi tadi

menyatakan dan memberi sikap saling menyukai melalui pertemuan dari martandang

maka domu-domu melalui pihak pria diminta untuk menyampaikan lamarannya.

Domu-domu ini mempunyai peranan penting dari pihak pria dalam menyampaikan

lamarannya dikarenakan pria tersebut tidak diizinkan menyampaikan sendiri

lamarannya kepada perempuan pilihannya. Biasanya domu-domu merupakan boru

(pihak penerima istri) baik dari keluarga laki-laki maupun perempuan dan hal ini

menjadi suatu keunikan dalam proses adat perkawinan Batak Toba. Domu-domu

mempunyai peranan penting sebagai perantara untuk menjodohkan pria dan wanita

dalam pelaksanaan adat.

49
Domu-domu yaitu perantara pihak keluarga pria dan keluarga wanita dalam persetujuan
untuk dilangsungkan langkah yang lebih serius.

44 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kedua domu-domu sering juga bertindak sebagai perantara orang tua kedua

pihak untuk mencapai persetujuan dalam hal maskawin. Sebagai jerih payah untuk

membantu pasangan yang akan melakukan adat perkawinan, domu-domu akan

menerima hadiah atas hal itu atau yang disebut upa domu-domu (pembayaran untuk

tercapainya persetujuan) dan mereka menerimanya ketika perkawinan sudah

dilangsungkan dan maskawin sudah diserahkan.50

Tugas domu-domu ini sangatlah berat dan haruslah dilakukan sebaik-baiknya

supaya tercapainya tujuan diantara kedua belah pihak dan tidak menimbulkan

kesalahpahaman. Jika perempuan tersebut menunjukkan sikap pedulinya kepada pria

dengan cara apa yang sudah dilakukan pria tersebut maka pria tersebut pun sebelum

mengambil keputusan dan mengajukan lamaran, akan mencari keterangan apakah

kehidupan mereka akan dilimpahi nasib baik atau tidak. Untuk keadaan seperti ini ada

suatu tujuan yang dilakukan si pria tersebut dengan memohon agar diberi petunjuk

dalam mimpinya. Di dalam mimpi tersebut, pria itu akan diberi petunjuk dalam

proses rencana perkawinannya dengan perempuan pilihannya itu akan diteruskan atau

tidak. Apabila dalam mimpinya dia melihat perempuan itu mengambil air dari sumber

mata air maka hal ini merupakan suatu pertanda baik. Namun jika dia melihat

perempuan itu bekerja keras seperti mengangkat barang berat maka hal ini pertanda

sebagai kejadian yang buruk.

50
J.C Vergouwen, op.cit., hlm. 213-214.

45 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mungkin saja hal itu membuktikan bahwa pilihannya terhadap seorang

perempuan pilihannya dipengaruhi oleh mimpi karena pada saat itu dimana

kehidupan masyarakat Batak Toba masih kuat terhadap kepercayaan tradisional

(mistis) dan mimpi merupakan sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupan nyata. Jika

perempuan belum mengenal pria yang akan menjadi jodohnya, ia akan berusaha

mencari informasi dari orang-orang sekitar yang bisa dipercaya sebelum bertindak

mengambil keputusan yang terbaik. Jika semua hal sudah dikerjakan dengan baik dan

mendapatkan hasil yang memuaskan diantara kedua pihak (pihak perempuan dan

pihak pria) maka terjadilah tanda pertunangan.

Lamaran diajukan pria kepada perempuan pilihannya dan setelah disetujui

maka dilanjutkan dengan acara pertukaran tanda (janji lisan dan tanda

kesungguhan).51 Pertukaran tanda ini sering dilakukan di depan teman-teman mereka

atau yang lebih tua. Pria tersebut akan memberikan benda berbentuk seperti kotak

tembakau atau sejumlah uang berdasarkan kemampuannya (biasanya jumlahnya kecil

atau sekitar lima puluh rupiah)52 sebagai tanda hata (nasihat) dari pihaknya. Namun

dari pihak perempuan biasanya akan memberikan sebuah ulos53 yang mempunyai

nilai lebih sedikit dari pemberian si pria. Pertukaran ini mempunyai makna bahwa

kedua pihak memiliki maniop yaitu tanda yang bisa dirasakan atau dipegang dari janji

51
Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu, Jakarta: Kempala
Foundation, 2005, hlm. 57.
52
J.C Vergouwen, op.cit., hlm. 215.
53
ulos yaitu salah satu kain khas Indonesia yang berasal dari daerah Batak Toba, warnanya
dominan merah, hitam, putih. Pada mulanya ulos ini digunakan sebagai selendang atau sarung dan
pelaksanaan adat Batak Toba. Banyak jenis ulos yang digunakan dalam berbagai acara adat Batak
Toba seperti ulos yang digunakan pada adat perkawinan yaitu Ulos Ragi Hotang dan Ulos Hela.

46 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang mereka lakukan untuk menjadi kesetiaan dalam menjalankan apa yang sudah

ditetapkan.

3.1.4 Penetapan Pertunangan

Setelah selesai dilakukan proses domu-domu yang cukup serius diantara

kedua belah pihak, maka didapati kesepakatan untuk melanjutkan ke proses adat

selanjutnya yaitu penetapan pertunangan menuju ikatan yang resmi, karena dalam

adat yang satu ini ketika memasuki langkah pertunangan selalu berjalan lancar

dikarenakan adanya janji dan tanda yang sudah diberikan tadi. Namun terkadang ada

juga yang tidak berjalan lancar hal ini dikarenakan seorang pria meninggalkan

tunangannya tanpa adanya suatu alasan, maka ikatan perjanjian yang telah dilakukan

sebelumnya akan batal dan tanda yang telah diberikan perempuan kepada si pria akan

dikembalikan kepadanya dan akibatnya pria tersebut akan mendapatkan teguran dari

para perantara (domu-domu) tadi (godang hata taononna).54 Barang-barang dan

ikatan perjanjian yang diberikan si pria kepada perempuan tidak akan diperhitungkan

jika pertunangan dibatalkan atau pasangan tersebut bercerai dikemudian hari. Barang

tersebut dianggap sebagai suatu benda kecil yang bertebaran dan tidak berharga yang

tidak dapat dituntut kembali oleh pria tersebut.

54
J.C Vergouwen, op.cit., hlm. 218.

47 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba sebelum tahun 1970 di

Kecamatan Medan Area, pertunangan dilakukan jika berbagai adat dan ketentuan

sebelumnya sudah berhasil dilakukan dan menghasilkan rencana yang baik, biasanya

pelaksanaannya dilakukan di dalam rumah atau di halaman rumah. Penetapan

pertunangan ini berbeda dengan pertunangan di masa pada tahun 1970 dan

setelahnya, disini hanya dilakukan pertemuan sederhana kedua belah pihak yang

membicarakan bahwa pasangan yang akan menikah ini benar-benar sudah yakin dan

mulai mengambil janji awal.

Dalam proses adat ini terdapat beberapa masyarakat yang dianggap penting

seperti kerabat, masyarakat dan raja adat. Penetapan pertunangan merupakan tahap

ditetapkannya suatu perjanjian yang pasti antara kedua mempelai dan untuk itu

dianggap sudah dipertunangkan sebagaimana biasanya dalam adat yang berlaku pada

saat itu ketika perempuan itu sudah menjadi tunangan si pria. Keluarga pihak parboru

akan menyediakan kepada pihak paranak beserta kerabatnya mangan pudun55 dan

disini akan dilakukan pembayaran patujolo sebagai uang muka untuk adat

perkawinan, akan tetapi hal itu belum menjadi suatu jaminan bahwa adat perkawinan

akan dilangsungkan nantinya. Jika diantara anggota keluarga dekat paranak salah

satunya tidak dapat hadir dalam acara jamuan yang diadakan oleh pihak parboru

dalam adat pertunangan, maka pihak paranak dapat mengirimkan ke keluarga

dekatnya itu yaitu bagian-bagian penting dari hewan yang disembelih pada saat adat

55
Makan bersama untuk memperkuat suatu keputusan yang dihasilkan dari suatu putusan
masalah dalam adat dan tradisi Batak Toba.

48 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pertunangan. Dengan tindakan tersebut, keluarga dekatnya akan tahu bahwa

pertunangan sudah selesai dilakukan dengan baik.

Untuk melaksanakan suatu adat perkawinan, pasangan muda mudi akan

memberi tahu orang tua masing-masing bahwa mereka telah mempunyai kesepakatan

untuk melangsungkan perkawinan, hal ini dapat disampaikan melalui perantara

mereka masing-masing. Pertemuan yang dilakukan antara si pria dengan calon

mertuanya tidak hanya sebatas kesepakatan untuk melangsungkan perkawinannya,

namun si pemuda akan dijamu makan yang menurut tradisinya terdiri dari nasi dan

ikan mas. Ketika ayah perempuan tersebut telah setuju dengan maksud dan tujuan

pria tersebut, maka ia akan diberikan ulos ni hela yaitu sebagai pertanda untuk calon

menantu dan biasanya ini diberikan pada saat adat perkawinan (ulaon unjuk).

3.1.5 Marhata Sinamot

Setelah kedua belah pihak sudah saling dekat dan mengenal, maka mereka

bersepakat untuk melangsungkan adat perkawinan akan tetapi terlebih dahulu

merundingkan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan yang lebih fokus kepada

maskawin (sinamot) dengan tujuan menentukan jumlah biaya adat perkawinan

(mamuhul sinamot). Ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh pasangan hidup

(istri) diperlukan biaya tertentu, dan karena tanggungjawab ini ada pada paranak

49 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


maka pihak paranak disebut parsinamot. Pada saat pembicaraan ini, dibicarakan juga

jumlah ulos ragi-ragi56 yang dibutuhkan.

Pada proses marhata sinamot, domu-domu juga ikut berperan yaitu

menyampaikan pesan dari orang tua si pria kepada ayah perempuan, bahwa anak

perempuannya telah berjanji dan bersepakat di dalam ikatan adat istiadat. Jika ayah

perempuan sudah setuju, maka dia akan memberitahu kepada domu-domu (perantara)

tersebut untuk disampaikan kepada orang tua pria tersebut. Pembicaraan tentang

keuangan yang berkaitan dengan maskawin dalam melangsungkan adat perkawinan

juga merupakan tanggungjawab dari domu-domu karena dia lah yang memulai

pembicaraan itu.

Dalam pembicaraan sinamot memungkinkan banyak hal-hal yang terjadi

seperti hadirnya unsur Dalihan Na Tolu, raja adat dan juga jika permintaan akan

sinamot terlalu besar dari jumlah yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak pria

maka domu-domu akan mengambil peranan untuk mencari jalan tengah yang bisa

membuat kedua pihak setuju dan sepakat untuk sinamot tersebut. Jika sinamot telah

disetujui kedua pihak, maka di waktu selanjutnya paranak bersama anggota keluarga

beserta kerabatnya pergi berkunjung ke rumah parboru.57

56
Yaitu ulos yang diberikan pada upacara adat perkawinan Batak Toba oleh orang tua
pengantin perempuan kepada menantu laki-laki (helanya). Maknanya adalah supaya ikatan perkawinan
kedua mempelai kuat seperti ikatan rotan.
57
Wawancara, dengan Poltak Simanjuntak, tanggal 25 Maret 2020, pukul 15.20 WIB.

50 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Disini akan dibicarakan alokasi dari maskawin tersebut yang tujuannya

untuk dibagikan kepada pihak-pihak keluarga atau masyarakat tertentu.58 Maskawin

yang berlaku pada saat itu ialah seperti benda berharga, hewan peliharaan

(kerbau,babi) dan harta (sawah,kebun). Dan pembicaraan terakhir yaitu membahas

tentang makanan pada adat dan jumlah pekerja yang akan melayani dan membantu

dalam berjalannya adat itu nantinya. Perlu diketahui, sebelum tahun 1970 ini sering

sekali dalam pelaksanaan marhata sinamot terjadi perdebatan yang cukup serius

diantara kedua belah pihak dikarenakan pengaruh adat yang cukup kental, saat pihak

perempuan meminta bayaran yang tinggi di sanggah oleh pihak laki-laki untuk

berusaha menekan “harga” supaya biaya pengeluaran tidak terlalu banyak maka

kemungkinan dari kejadian ini pelaksanaan adat perkawinan bisa gagal karena

pembicaraan tidak menemui titik terang.59

58
Biasanya dibagikan kepada:
1. abang atau adik orang tua dari perempuan
2. tulang atau saudara laki-laki dari ibu perempuan
3. pariban atau kakak dari perempuan yang sudah berkeluarga, jika tidak ada maka
digantikan oleh saudara perempuan ayah (namboru) dari ayah perempuan tersebut.
59
Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga
1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2016, hlm. 117.

51 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.1.6 Ulaon Unjuk

Setelah dilaksanakannya berbagai proses dalam tradisi dan adat istiadat

masyarakat Batak Toba untuk melangsungkan adat perkawinan pada masa itu yakni

mulai dari mangebati boru ni tulang dan sampai ke tahap yang menjadi tujuan utama

yaitu pesta adat (ulaon unjuk). Pesta adat ini rangkaian seremonial yang cukup rumit

diikuti oleh banyak orang dengan waktu yang cukup panjang tujuannya ialah supaya

setiap orang yang mengenal keluarga pasangan pengantin itu mengetahui bahwa

mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri, maka kedua belah pihak yang sudah

bersatu dalam kesepakatan di depan masyarakat dapat melangsungkan adat

perkawinan dengan melibatkan orang-orang yang berada disekitarnya.

Di Kecamatan Medan Area sebelum tahun 1970, pelaksanaan ulaon unjuk

dilakukan di halaman rumah paranak atau parboru sesuai dengan kesepakatan

masing-masing saat acara marhata sinamot dikarenakan kondisi lingkungan yang

cukup sepi dan belum banyak pemukiman. Dalam pelaksanaan pesta adat ini

berdasarkan penelitian yang di dapatkan cukup sederhana dari penyerahan sinamot

secara resmi dilakukan pada bagian acara parunjuhon dalam adat perkawinan Batak

Toba, di dalam parunjuhon ini terdapat daging dan nasi yang diberikan paranak

kepada parboru. Seorang dari kelompok parboru bertugas penting sebagai pembawa

sebuah bakul yang ditutupi dan berisi daging yang disiapkan. Dalam adat perkawinan

masyarakat Batak Toba paranak sebagai panjuhuti (yang menjamu dengan daging)

seperti menyediakan seekor hewan peliharaan (kerbau atau babi) untuk jamuan

bersama.

52 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hewan yang diberikan paranak kepada parboru disebut sulang. Makanan

yang disediakan dan diberikan parboru sebagai makanan untuk paranak yaitu sejenis

ikan mas (dengke).60 Jambar akan dibicarakan di dalam lingkungan rumah dan tentu

berbeda dengan sisa pembayaran perkawinan yang dibicarakan di depan umum atau

di halaman rumah (atas tikar), dalam hal ini dijelaskan hal-hal yang sudah

dilaksanakan dengan baik dan apa yang masih harus dibayar. Parboru

memerintahkan parsiuk (yang membawa beras) untuk mendapatkan pembayaran

secara individu dikarenakan sumbangan mereka pada saat acara jamuan makan.

Parboru juga mengarahkan kepada paranak untuk memberitahukan siapa saja dari

kerabatnya yang tidak berhak atas jambar na gok.

Dari proses ini ada beberapa yang tidak mempunyai kaitan dengan

kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Toba yaitu seperti pembayaran untuk

perantara yang membantu menentukan jumlah maskawin, pemberian penghormatan

kepada masing-masing raja adat dari kedua belah pihak, pemberian dalam bentuk

uang bagi undangan yang hadir (olop-olop). Hula-hula parboru yang akan

menyampaikan kata nasihat dan mengawasi segala sesuatunya supaya berjalan

tentram dan lancar juga yang akan terakhir menerima pemberian.

60
J.C Vergouwen, op.cit., hlm. 226-227.

53 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sesudah acara pesta adat berakhir, mempelai perempuan bersama suaminya

akan dihidangkan berbagai macam makanan dengan makanan pokoknya ialah nasi

yang diatasnya ada satu ekor ikan. Disini juga keluarga dan kerabat serta raja adat

diantara kedua mempelai ini akan menyampaikan nasihat dan kata berkat bagi

pasangan suami istri yang baru saja melangsungkan adat perkawinan tersebut

tentunya juga mempunyai harapan agar mereka sebagai suami istri untuk waktu yang

akan datang dan selamanya menjadi pasangan yang hidup rukun. Setelah

penyampaian itu, dilanjutkan dengan makan bersama dan ada bagian terakhir seperti

pemberian ulos, jambar, dan tumpak yang masih tersisa. Maka bisa dikatakan dari

seluruh rangkaian proses yang sudah berlalu adat perkawinan masyarakat Batak Toba

tidak terlepas dari pengaruh keluarga, kerabat dan masyarakat sekitar. Maka pesta

adat perkawinan (ulaon unjuk) ini dianggap sudah selesai dan pasangan tersebut

sudah menjadi satu keluarga. Kemudian perempuan tersebut meninggalkan

keluarganya dan tinggal bersama dengan suami dan keluarganya.

3.1.7 Paulak Une

Dalam beberapa hari setelah pesta adat, biasanya pada rentang waktu satu

minggu, di sisi lain pihak paranak bersama pengantin dan kerabat terdekat akan pergi

ke rumah pihak orang tua dari wanita (parboru) dan sebaliknya pihak parboru juga

mengunjungi pihak paranak yang tinggal bersama pengantin yang belum dipajae

yang disebut paulak une, maksudnya ialah mengadakan kunjungan resmi pertama

setelah pesta adat telah selesai. Sebelum melakukan kunjungan, pihak paranak akan

memberitahukan kepada keluarga parboru supaya bisa memberikan waktu yang tepat

54 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


untuk kunjungan itu, begitu juga dengan pihak parboru. Kedatangan pihak paranak

bersama pengantin dan tetua adat ke rumah pihak parboru dan sebaliknya kedatangan

pihak parboru ke rumah paranak yang disana juga ada pengantin yang belum dipajae

dengan membawa makanan sesuai tradisi dan adat yaitu berupa daging babi atau

kerbau yang sudah dimasak, nasi dan minuman kemudian dilanjut dengan makan

bersama serta memberikan ucapan terima kasih, nasehat dan doa. Setelah

melaksanakan paulak une, barulah di lain waktu selanjutnya pihak parboru maupun

paranak beserta kerabat dekat datang melakukan kunjungan ke tempat tinggal

pengantin yang sudah dipajae yang disebut maningkir tangga (melihat).

3.1.8 Manjae dan Maningkir Tangga

Secara umum dalam adat Batak Toba, manjae ialah hidup berpisah dari

orang tua ketika anaknya yang bukan anak bungsu sudah menikah dan maningkir

tangga ialah melihat anak yang sudah dipajae mandiri membangun rumah tangganya.

Kedatangan pihak parboru maupun paranak ke tempat tinggal pengantin ini

membawa makanan berupa dengke (ikan mas) beserta nasi. Setelah pihak parboru

maupun paranak datang mereka akan makan bersama dengan pengantin kemudian

pihak parboru maupun paranak akan menyampaikan nasihat dan doa supaya

pengantin baru ini rajin bekerja, menjadi orang tua yang baik dan bersikap sopan

santun kepada semua orang begitu juga dengan pengantin tersebut memberikan

ucapan terima kasih kepada orang tuanya. Dalam konteks kedudukan hak dan

kewajiban laki-laki yang sudah dewasa, pada masa ini jika seorang pria berstatus

sebagai anak bungsu maka dia akan menjadi pewaris dari apa yang dimiliki oleh

55 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


orang tuanya seperti rumah atau sawah dan ia beserta istrinya akan tinggal dengan

orang tuanya, begitu juga sebaliknya jika seorang pria berstatus bukan anak bungsu,

maka ia dan istrinya akan dipajae yaitu tidak lagi hidup bersama dengan orang tua

nya dan akan hidup terpisah dari orang tuanya begitu juga dengan pencahariannya

yang sebelumnya telah diberikan bekal pekerjaan dari orang tuanya berupa harta

warisan yang bisa dikembangkan atau dijalankan.

Pengantin yang baru itu telah diarahkan oleh masing-masing orang tua

mereka untuk membangun keluarga sendiri dengan tujuan supaya mereka mempunyai

pikiran sebagai calon orang tua dan dapat mengendalikan rumah tangganya. Dalam

pelaksanaan keseluruhan adat perkawinan ini memiliki makna dan fungsi masing-

masing. Proses yang cukup panjang dan berhari-hari ini tidak lain merupakan

cerminan dari apa yang ada di dalam pengetahuan kelompok masyarakat atau

individu pada masa itu dan menempatkan perkawinan sebagai suatu proses yang

penting dalam kehidupan. Secara keseluruhan proses adat ini sudah disimpulkan dari

berbagai informasi yang didapat.

56 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

PELAKSANAAN ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA

DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN DARI TAHUN 1970-1982

4.1 Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area

Kota Medan dari Tahun 1970-1982

Ritual adat Batak Toba yang tetap dilaksanakan di Kecamatan Medan Area

yaitu adat perkawinan, adat kelahiran, adat ulang tahun, adat dukacita, adat malua61

dan adat memasuki rumah baru. Dalam menjalani kehidupan masyarakat, suku Batak

Toba juga memegang tiga prinsip yaitu :

1. Hamoraon, yaitu dengan usaha dan kerja keras yang dilakukan

masyarakat Batak Toba, mereka meyakini hal itu bisa mendatangkan

rezeki yang berlimpah dan keturunan yang banyak.

2. Hagabeon, keturunan merupakan hal penting untuk meneruskan garis

keturunan dalam silsilah keluarga masyarakat Batak Toba. Biasanya anak

laki-laki lebih diharapkan supaya bisa meneruskan marga dan keturunan.

3. Hasangapon, nilai kesopanan dan kehormatan yang diharapkan setiap

orang tua kepada keturunannya (anak-anaknya).

61
Malua (Naik Sidi) istilah dalam masyarakat Kristen Batak Toba ketika seseorang yang
sudah dewasa dalam umur dan iman. Biasanya malua dilakukan ketika seseorang sudah berusia 17
tahun keatas dan hal ini menjadi syarat seseorang untuk melaksanakan perkawinan.

57 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tahun 1970 merupakan tahun dimana pelaksanaan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba mulai mengalami perubahan dalam arti kelegaan dan

fleksibel pada proses pelaksanaannya di Kecamatan Medan Area, hal ini dikarenakan

adanya pengaruh perkembangan waktu dan pemikiran pada masyarakat Batak Toba.

Orang Batak Toba disini mulai memunculkan jati diri mereka dengan kelebihan yang

mereka miliki melalui pekerjaan yang mempengaruhi kelas sosial mereka dan

sekaligus menunjukkan identitas mereka. Perubahan yang paling mendasar disini

ialah semakin sedikitnya perkawinan yang dilakukan dengan pariban kandung karena

sudah berbaurnya kepercayaan (agama) dengan perkembangan pemikiran dan aturan-

aturan yang ada dari persekutuan keyakinan masing-masing masyarakat Batak Toba

pada adat istiadatnya.62

Pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan

Area pada tahun 1970 dan setelahnya juga mengalami perubahan lain dari sudut

pandang agama karena mayoritas masyarakat sudah meyakini dan terpengaruh oleh

kepercayaan yang sudah ada dan adanya aturan-aturan yang berlaku sebagai bagian

dari perkembangan waktu, seperti jika suatu keluarga yang akan melaksanakan adat

perkawinan akan dianggap sah dan diakui secara adat dan agama maka haruslah

mendapatkan pemberkatan dari gereja. Secara tidak langsung hal itu membuat mereka

berpikir untuk menyatukan unsur agama dan adat dalam setiap proses pelaksanaan

adat perkawinan, tujuannya ialah supaya hubungan perkawinan dan keluarga yang

akan dibentuk ini bisa diterima masyarakat dan bertahan lama.

62
Wawancara, dengan Arkan Hutasoit, tanggal 28 Maret 2020, pukul 12.55 WIB.

58 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pemerintah sebagai bagian dalam pembuat perundang-undangan perkawinan

juga telah menjalankan aturan yang isinya memuat peraturan dalam adat istiadat

perkawinan, salah satunya ialah dengan membangun hubungan kedekatan dengan

masyarakat. Tentu hal ini dilakukan untuk mendukung keberadaan masyarakat Batak

Toba yang di dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai aspek seperti

pendidikan, lingkungan, agama, ekonomi, teknologi dan pastinya perkembangan

zaman ikut berperan dalam perubahan yang terjadi.

Pada rentang waktu mulai tahun 1970 dan setelahnya proses adat

perkawinan Batak Toba membutuhkan waktu yang cukup beragam, hal ini tidak

terlepas dari kebutuhan biaya yang besar, salah satunya dengan munculnya

keberadaan ruangan adat (wisma) di Kecamatan Medan Area demi membuat

kelangsungan suatu adat perkawinan Batak Toba bisa terlaksana dengan efisien dan

bagian dari sifat gengsi masyarakat Batak Toba. Pelaksanaan adat perkawinan Batak

Toba pada masa tahun 1970 dan setelahnya di Kecamatan Medan Area didasari oleh

hukum adat, perundang-undangan dan hukum agama. Suatu adat perkawinan Batak

Toba dikatakan sah dan sesuai dengan hukum adat apabila memenuhi syarat utama

dari beberapa syarat yang ada yaitu diwajibkan mempunyai persetujuan dari masing-

masing orang tua pasangan. Proses pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak

Toba di Kecamatan Medan Area pada tahun 1970 dan setelahnya berdasarkan

pengumpulan sumber informasi dimulai dari kegiatan kunjungan yang dilakukan

59 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


seorang pria ke rumah wanita pilihannya atau dalam adatnya disebut mangaririt dan

dilanjutkan dengan beberapa tahap berikutnya sampai ulaon sadari.63

4.1.1 Mangaririt

Seperti pada umumnya, pada tahun 1970 dan setelahnya di Kecamatan

Medan Area, kegiatan awal sebelum pesta adat perkawinan (ulaon sadari)

masyarakat Batak Toba ialah mangaririt. Karena adat mangebati boru ni tulang

(kunjungan pariban) seperti di daerah asal (bona pasogit) mulai tidak dilakukan lagi

pada tahun 1970 dan setelahnya di Kecamatan Medan Area, maka kegiatan

martandang juga tidak dilakukan karena keduanya itu merupakan acara adat yang

cukup sama dan diganti karena adanya faktor-faktor yang menyebabkan perubahan

seperti perkembangan pemikiran pada masyarakat Batak Toba juga supaya lebih

praktis dengan acara adat mangaririt yaitu kegiatan seorang pria yang mencari wanita

pilihannya sendiri. Kegiatan ini masih dilakukan sekitar tahun 1970 oleh para pria

yang memasuki usia dewasa yang akan melangsungkan adat perkawinan. Seorang

pria yang akan membentuk suatu rumah tangga haruslah mencari seorang wanita

yang sama-sama sudah memasuki usia dewasa (minimal berusia 18 tahun) supaya

mereka dibenarkan dalam melaksanakan adat perkawinan dalam hukum adat,

perundang-undangan dan hukum agama. Pada tahun 1970 dan setelahnya, mangaririt

ini tetap pada pengertian awalnya yaitu berkunjungnya seorang pria ke rumah seorang

wanita pilihannya biasanya pada waktu pacaran dan umumnya dilakukan pada malam

63
Wawancara, dengan Viktor Simanjuntak, tanggal 29 Maret 2020, pukul 17.30 WIB.

60 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hari. Dalam kunjungan ini, pasangan muda mudi ini bersenda gurau dan sering kali

pria akan memainkan alat musik atau bernyanyi bersama dengan pasangannya.

Dalam kegiatan mangaririt seorang pria berkunjung kerumah perempuan

pilihannya dan disini dia berhak memilih calon pasangannya. Setelah pria tersebut

dengan mantap mendapatkan calon istri yang dipilihnya tadi dan sudah matang untuk

tujuan utamanya yaitu perkawinan maka dilakukanlah acara selanjutnya yaitu

memberikan tanda (mangalehon tanda). Dalam acara pemberian tanda ini seorang

pria telah tepat menemukan perempuan pilihannya sebagai calon istrinya. Kemudian

keduanya saling memberikan tanda dan diadakan jamuan makan ala kadarnya.

Biasanya laki-laki akan memberikan uang atau perhiasan kepada pasangan calon

istrinya, dan kemudian perempuan akan membalasnya denga memberikan kain

sarung atau ulos yang baru biasa disebut dengan ulos situlontulo kepada pasangannya

itu.64

Acara mangalehon tanda ini biasanya diadakan di rumah keluarga

perempuan dan dilaksanakan pada malam hari.65 Setelah pemberian tanda ini, maka

terbentuklah ikatan yang terjalin antara dua orang muda mudi yang akan

melangsungkan pesta adat. Orang tua dari pasangan kedua muda mudi ini juga harus

tahu dengan acara mangalehon tanda ini karena mereka menjadi saksi dan ikut

berperan sebagai bentuk kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.

64
Wawancara, dengan Viktor Simanjuntak, tanggal 29 Maret 2020, pukul 17.30 WIB.
65
Kencana Sembiring Pelawi, Pandangan Generasi Muda Terhadap Upacara Perkawinan
Adat di Kota Medan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998, hlm. 23.

61 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.2 Menyampaikan Lamaran

Pada tahapan selanjutnya sebelum pesta adat perkawinan, dilakukan acara

penyampaian lamaran yang dilakukan oleh pihak pria kepada perempuan. Dalam

tahapan ini orang tua dari pria ikut berperan aktif dimana orang tuanya membutuhkan

seorang domu-domu (perantara) yang gunanya ialah untuk menyampaikan maksud

dan tujuan dari keluarga pihak pria kepada pihak wanita bahwa pria (anak laki-laki

mereka) tersebut sudah mempunyai ikatan janji dengan anak perempuan mereka

(keluarga dari pihak wanita). Persetujuan dari ayah dan keluarga pihak wanita

tersebut akan diberitahukan kepada domu-domu untuk selanjutnya disampaikan

kepada keluarga pria.

Kebiasaan-kebiasaan sebelumnya yaitu sebelum tahun 1970 dimana para

pria yang telah menemukan wanita pilihannya dan sudah sampai pada tahap domu-

domu ini biasanya mengalami mimpi baik atau buruk yang pasti dihubungkan dengan

proses adat tersebut. Akan tetapi pada tahun 1970 dan setelahnya, kebiasaan itu

walaupun dialami dalam mimpi salah satu mempelai akan dianggap hal belaka karena

keadaan dan pemikiran mereka yang sudah tidak percaya akan hal-hal mistis begitu

juga karena pengaruh lingkungan, pendidikan dan agama yang dianut.

Masih dalam tahapan ini, selanjutnya kedua keluarga tersebut beserta

masyarakat kembali mematangkan pembicaraan tentang adat perkawinan yang akan

dilaksanakan dengan tujuan supaya meningkatkan hubungan antara kedua calon

pasangan. Pada aturan adat Batak Toba, seorang pria yang akan menikah tidak

62 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diizinkan mengunjungi untuk melamar pasangannya dengan datang seorang diri saja,

melainkan haruslah bersama utusan keluarganya sebagai tanda kehormatan dan

keseriusan. Biasanya pria tersebut datang membawa utusan yang terdiri dari kakak

atau adik perempuan yang sudah berumah tangga dari ayah pria tersebut, adik atau

abang laki-laki yang sudah berumah tangga dari ayah pria tersebut dan orang tua si

pria. Setelah utusan tersebut sudah lengkap dan hari yang telah ditentukan sudah tepat

maka kedatangan mereka ke rumah calon mempelai wanita akan disambut oleh orang

tua, saudara laki-laki dan perempuan dari wanita tersebut.

Dari pertemuan kedua keluarga mempelai ini, mereka akan berbicara pada

hal-hal yang biasa namun dari pembicaraan biasa itu, akan ada salah satu saudara

laki-laki dari keluarga perempuan bertanya tentang maksud dan tujuan kedatangan

pihak pria tersebut. Kami menerima informasi dari “pemuda” ini ketika dia

mangaririt ke lingkungan ini dia melihat dan terpikat dengan seorang gadis, setelah

kami diskusi ternyata gadis yang disukainya itu salah satu anggota keluarga dari

rumah ini. Maka kedatangan kami ingin menyampaikan lamaran dan keseriusan

mewakili pihak pria sekaligus bertanya apakah lamaran ini disetujui atau tidak.

Kemudian pihak wanita menjawab untuk mengetahui jawaban tersebut

biarkan kami bertanya dulu kepada boru kami itu yang sedang berada dikamar. Salah

satu saudara perempuan dari gadis tersebut pun bertanya kepadanya dikamar. Setelah

pertanyaan khusus tadi, maka jawabannya ialah benar adanya bahwa pria yang datang

tersebut adalah calon pasangannya dan wanita tersebut menerima lamaran pria yang

sebelumnya sudah ditemuinya pada saat mangaririt. Dari masing-masing perwakilan

63 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kedua keluarga ini, yang menjadi domu-domunya ialah saudara perempuan (boru)

dari pihak pria dan pihak wanita yang akan membicarakan rencana dan hal-hal yang

berkaitan dengan persiapan pesta adat perkawinan.

4.1.3 Marhusip

Setelah menyampaikan dan menerima lamaran, dilaksanakanlah

pembicaraan singkat diantara kedua belah pihak yaitu marhusip. Marhusip ialah

berbisik-bisik ketika masing-masing utusan dari kedua belah pihak bertemu untuk

merundingkan rencana dalam pesta adat nantinya, biasanya pertemuan ini bersifat

tertutup antara kedua keluarga mempelai dan tokoh adat. Topik utama dari

pembicaraan ini ialah mengenai mahar/maskawin yang harus dipersiapkan oleh pihak

laki-laki kepada pihak perempuan, biasanya hewan yang akan disajikan pada saat

pesta adat perkawinan sudah merupakan bagian dari maskawin. Selain itu, kedua

keluarga ini juga membicarakan segala sesuatunya seperti ulos yang akan diberikan

parboru kepada paranak, tempat acara adat, dan tidak dilupakan saran dan arahan

dari hula-hula masing-masing keluarga.66 Umumnya di Kecamatan Medan Area,

masyarakat Batak Toba yang akan melangsungkan adat perkawinan, mengadakan

marhusip ini dirumah calon pengantin perempuan. Melihat pelaksanaannya yang

tertutup, tujuannya ialah untuk menghindari kegagalan dan menjaga kesepakatan

diantara kedua keluarga ini.

66
Ibid., hlm. 30.

64 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.4 Marhata Sinamot

Setelah selesai marhusip maka didapatkan kesimpulan dari pembicaraan

khusus diantara kedua keluarga tersebut. Di hari selanjutnya kedua keluarga calon

pasangan ini mengadakan tradisi marhata sinamot. Marhata Sinamot pada dasarnya

ialah pembicaraan tentang jumlah atau bentuk seperti apa maskawin yang akan

diberikan keluarga pria kepada keluarga wanita. Pada pelaksanaan marhata sinamot

ini kedua orang tua dari masing-masing calon pasangan mengadakan perkenalan

secara resmi. Untuk memenuhi persyaratan marhata sinamot dan filosofi Dalihan Na

Tolu dalam acara ini hadir pula kawan semarga, boru, tulang dari pihak pria dan

wanita. Dalam pelaksanaan marhata sinamot pihak laki-laki membuat perjanjian

kesepakatan kepada pihak perempuan mengenai aturan adat perkawinan yang akan

dilaksanakan. Karena pada tahapan ini merupakan tahap penentu dalam tujuan utama

yaitu pernikahan, maka wujud dari hak dan kewajiban masing-masing antara calon

kedua pasangan beserta keluarga haruslah diemban dengan baik supaya nantinya adat

itu berjalan dengan baik dan lancar.

Sinamot menjadi hal dasar yang penting dan harus dipatuhi dan tidak bisa

dihilangkan dalam urutan dan tata cara perkawinan masyarakat Batak Toba.

Pengertian dari pemberian sinamot pada prinsipnya iala proses memberi dan

menerima. Bagi masyarakat Batak Toba, sinamot merupakan harga diri keluarga

karena bagi pihak perempuan apa yang sudah diberikan orang tua kepada anak

perempuannya semasa hidupnya akan terlihat jumlahnya pada waktu anaknya akan

menikah melalui sinamot.

65 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Marhata Sinamot biasanya berjalan dengan lancar, karena telah ada

kesepakatan yang disetujui oleh kedua keluarga pada saat acara marhusip begitu juga

pada saat penyampaian lamaran, domu-domu (boru) menjadi penengah dalam

perbedaan yang ada sehingga tercapai kesepakatan.67 Proses pelaksanaan marhata

sinamot sendiri diawali dengan kedatangan si pria beserta keluarganya ke rumah

wanita dengan waktu yang telah disepakati dan membawa makanan sesuai tradisi dan

adat. Kemudian setelah diterima masuk, mereka akan makan bersama dari makanan

yang dibawa keluarga pria. Setelah menikmati makanan maka dilanjutkan dengan

marhata sinamot dengan pembicaraan yang isinya adalah mengenai maskawin yang

akan diberikan pihak pria kepada wanita. Namun dalam pembicaraan itu ada proses

tawar menawar yang membuat keadaan cukup rumit, akan tetapi setelah tawar

menawar itu nantinya keputusan jumlah yang diberikan akan jatuh pada jumlah yang

telah dibicarakan pada waktu marhusip walaupun jumlahnya tidak terlalu sama atau

tidak jauh beda.

Sinamot sebelum tahun 1970 tentulah berbeda dengan sinamot pada tahun

1970 dan setelahnya, hal itu bisa dilihat dari bentuknya dikarenakan keadaan

ekonomi dan sosial dari masing-masing masyarakat Batak Toba yang ada di

Kecamatan Medan Area berdasarkan waktu yang cukup jauh berbeda. Sebelum tahun

1970 sinamot yang dikenal ialah berbentuk seperti harta atau benda berharga, hal ini

merupakan suatu kebanggaan bagi pihak pria dan kehormatan bagi pihak wanita.

Namun pada waktu tahun 1970 dan setelahnya, pemikiran yang cukup maju dan

67
Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, op.cit., hlm. 104.

66 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keadaan lingkungan yang cukup berbeda membuat sinamot berubah menjadi uang,

apalagi keadaan lingkungan Kecamatan Medan Area yang tidak memungkinkan

untuk memelihara hewan seperti kerbau dan babi dan semakin berkembangnya

pemukiman yang tidak memungkinkan untuk membuat persawahan, dengan

demikian diberikannya uang sebagai sinamot menjadi pertanda tingginya derajat

seorang pria pada saat itu.68 Pada masa tahun penelitian yaitu dalam rentang waktu

tahun 1970 dan setelahnya, sinamot yang terdiri dari uang biasanya atau pada

umumnya berjumlah sekitar Rp. 150.000 sampai Rp. 200.000 yang sudah disetujui

oleh pihak wanita kemudian diserahkan oleh pihak pria kepada pihak wanita pada

saat marhata sinamot dan pihak wanita yang menerima maskawin (sinamot) dikenal

dengan istilah manjalo sinamot.

Hal-hal utama yang dibicarakan dan diputuskan dalam acara ini yaitu :

1. Tempat pesta adat perkawinan dengan pilihan taruhon jual69 atau di alap

jual.70

2. Kepastian jumlah maskawin (sinamot)

3. Pembayaran bohi ni sinamot (panjar maskawin)

4. Jenis hewan penjuhuti (lauk pesta)

5. Jumlah ulos yang akan diserahkan parboru ke paranak

6. Waktu dan tanggal pesta adat perkawinan dilaksanakan.

68
Wawancara, dengan Parningotan Simanjuntak, tanggal 30 Maret 2020, pukul 12.30 WIB.
69
Taruhon Jual ialah pesta adat perkawinan yang dilakukan di pihak laki-laki dan sinamot
yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan lebih sedikit jumlahnya.
70
Alap Jual ialah pesta adat perkawinan yang dilakukan di pihak perempuan dan sinamot
yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan lebih besar jumlahnya.

67 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Akhirnya pada penutupan acara marhata sinamot ini kedua belah pihak

menyerahkan uang ingot-ingot (uang ingat-ingat) dengan aturan dari pihak paranak

dua dan dari pihak parboru satu yang diserahkan kepada dongan sahuta (masyarakat

yang ikut berperan dalam tahapan proses adat perkawinan). Ketika munculnya

perkembangan dan pengetahuan pada masyarakat Batak Toba sekitar tahun 1970 dan

setelahnya, mereka menganggap marhata sinamot ini merupakan kesimpulan dari

marhusip yang telah dilakukan sebelumnya, dengan kata lain yaitu pelaksanaan

marhata sinamot hanya formalitas saja, sebab sebelum marhata sinamot sudah

dilakukan marhusip.

Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba, bukan hanya menjadi urusan

kedua orang tua dari pasangan pria dan wanita saja, melainkan juga menjadi urusan

semua keluarga dan jika lebih kompleks masyarakat sekitar juga ikut berperan,

seperti perwakilan perkumpulan marga atau perkumpulan lingkungan (serikat tolong

menolong). Oleh karena itu, orang tua dari pria akan mengumpulkan seluruh

keluarganya (terutama yang berasaskan unsur Dalihan Na Tolu) di rumah mereka

untuk membicarakan segala sesuatunya yang diperlukan dan berhubungan dengan

pelaksanaan pesta adat perkawinan.

68 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.5 Martonggo Raja

Martonggo Raja sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat Batak Toba

karena kegiatan ini salah satu adat yang cukup penting dilaksanakan sebelum

menggelar suatu acara baik adat perkawinan maupun adat kematian sehingga

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area pada rentang waktu tahun 1970

dan setelahnya juga tetap melaksanakan acara ini sebelum menggelar suatu acara

adat.

Pada adat perkawinan biasanya martonggo raja berbentuk pertemuan

keluarga (musyawarah adat) yang diselenggarakan dari pihak perempuan dan

didalamnya terdapat kerabatnya (dongan sabutuha), pariban, masyarakat (dongan

sahuta), boru/bere, raja adat dan hula-hula karena sudah menjadi aturan adat yang

berlaku. Pada intinya acara martonggo raja ini menjadi ruang untuk pembentukan

panitia (parhobas) yang ditugaskan pada saat acara adat dan membahas hal-hal yang

perlu dipersiapkan seperti penerima beras, penerima tamu dalam hal pembagian

posisi tempat duduk dari pihak hula-hula, petugas pembagian makanan, petugas yang

mempersiapkan olop-olop, dan sebagainya. Semua tugas itu diberikan kepada siapa

saja yang hadir pada saat acara martonggo raja. Dalam kegiatan martonggo raja ini

biasanya menjadi rapat yang bersifat serius dan khusus menggunakan bahasa Batak

Toba yang didalamnya sudah ada kesepakatan bagaimana bagian-bagian dari suatu

69 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


acara adat itu terlaksanana dengan baik berdasarkan masukan dari setiap keluarga

yang hadir.71

Pihak penyelenggara adat akan menjadi penentu bagaimana bentuk dalam

penerimaan ucapan selamat, apakah berbentuk uang atau ulos herbang.72 Pihak

paranak juga ada yang melaksanakan acara martonggo raja ini, namun persiapannya

tidak terlalu besar karena paranak hanya mempersiapkan penyambutan untuk

kehadiran keluarga baru (boru nauli) yang akan menjadi menantu dari keluarga

paranak (parumaen).

4.1.6 Acara Pemberkatan

Karena keberadaan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area pada

tahun 1970 dan setelahnya sudah dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada umumnya

Kristen, maka proses pelaksanaan adat perkawinan diisi dengan acara pemberkatan.

Pemberkatan ini diadakan dalam dua kali pelaksanaan. Pemberkatan pertama

dilaksanakan pada saat sebelum adat perkawinan yaitu pemberkatan pada saat acara

martumpol. Martumpol yaitu salah satu tahap acara yang wajib dilakukan dalam tata

cara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Dalam martumpol kedua pasangan

bertukar cinci di depan pendeta (dalam lingkup gereja Protestan masyarakat Batak

Toba) dan acara ini sudah dilakukan sejak lama termasuk pada tahun penelitian ini.

71
Wawancara, dengan Dormawati Purba, tanggal 3 April 2020, pukul 11.55 WIB.
72
Ulos yang disampaikan khusus dari tamu undangan kepada pihak penyelenggara adat,
biasanya setiap marga sudah mempunyai aturan sendiri dalam hal mengenai ulos herbang ini, seperti
aturan jumlah dan alokasinya.

70 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masyarakat atau tamu undangan yang hadir di dalam gereja untuk

menyaksikan acara ini biasa menamainya dengan pertunangan calon pengantin.

Dalam jangka waktu tahun 1970 dan sesudahnya kebanyakan acara ini dilakukan di

gereja dibandingkan dirumah agar terlihat lebih khusyuk dan bermakna. 73 Dalam

acara martumpol (pertunangan) dihadiri kedua orang tua mempelai, seluruh keluarga

dekat dan kerabat, raja adat, dan masyarakat.

Pelaksanaan acara ini biasanya dilakukan dua minggu sebelum pemberkatan

dan acara adat perkawinan. Setelah acara martumpol biasanya ada acara adat

pemberkatan pernikahan, acara ini dilakukan pada saat hari pernikahan, orang-orang

yang hadir dalam acara pemberkatan pernikahan ini sama seperti pada saat acara

martumpol, yang membedakan ialah dalam acara pemberkatan ini, pengantin

mengucap janji kesetiaan di hadapan Tuhan melalui pendeta dan disaksikan jemaat

yang hadir. Sebelum pemberkatan perkawinan di gereja, dilaksanakan acara

marsibuha-buhai pada pagi hari yang merupakan acara penjemputan oleh pengantin

pria ke rumah pengantin wanita dan mengadakan makan bersama (sarapan).74

Rombongan paranak datang menjemput parboru dengan membawa tanda makanan

berupa nasi dan daging dan pihak parboru menyediakan suatu sajian berupa ikan mas

(dengke) yang menjadi arti sebagai tanda mulainya ikatan besan. Kemudian seluruh

keluarga yang hadir akan makan bersama dan setelahnya akan berangkat menuju

gereja.

73
Wawancara, dengan Dormawati Purba, tanggal 3 April 2020, pukul 11.55 WIB.
74
Kencana Sembiring Pelawi, op.cit., hlm. 26.

71 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setelah acara pemberkatan selesai, maka pasangan yang telah diberkati tadi

sudah sah menjadi pasangan suami dan istri di dalam agama dan aturan yang berlaku

lainnya. Kehadiran agama Kristen dan denominasinya dalam kehidupan masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area membuat beragam pemikiran tentang

pelaksanaan pemberkatan pernikahan ini, ada sebagian denominasi yang tidak

melaksanakan acara martumpol seperti Pentekosta dan Karismatik dan juga beserta

perubahan dalam pelaksanaan adat istiadatnya.

4.1.7 Ulaon Sadari

Beberapa denominasi Kristen dan berdasarkan penelitian ini, yakni Huria

Kristen Batak Protestan menjadi denominasi (agama) yang dominan pada masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area. Setelah melaksanakan pemberkatan

perkawinan di gereja sampailah pada puncak dari proses adat perkawinan masyarakat

Batak Toba yaitu pesta adat (ulaon sadari). Kebiasaan masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area yang akan melaksanakan ulaon unjuk sebelum tahun 1970

ialah melaksanakannya di halaman rumah dikarenakan kondisi lingkungan yang

memungkinkan75 untuk digelar acara adat seperti mengikuti kebiasaan dari daerah

asal (bona pasogit) dan waktunya yang cukup panjang.

75
Karena pada tahun tersebut keadaan lingkungan di Kecamatan Medan Area belum padat
oleh pemukiman warga. Banyak terdapat tanah lapang yang bisa menjadi tempat pelaksanaan pesta
adat.

72 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Keadaan lingkungan di Kecamatan Medan Area khususnya Kelurahan Pasar

Merah Timur dan Tegal Sari yang keberadaan masyarakatnya lebih dominan

masyarakat Batak Toba menganggap hal ini sudah menjadi hal yang biasa dan cukup

baik dilakukan, dimana pada tahun 1970 dan setelahnya pelaksanaan adat perkawinan

(ulaon sadari) Batak Toba itu sendiri setelah dilakukan pemberkatan di gereja,

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area melaksanakan pesta adat itu di

dalam ruangan (wisma).

Seiring berkembangnya waktu, pelaksanaan adat perkawinan masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area sudah tidak memungkinkan lagi digelar di

halaman rumah karena masyarakat yang berada di kecamatan ini sudah mulai

bertambah banyak, baik dari jumlah orangnya maupun etnisnya dan mengakibatkan

perubahan lingkungan sekitarnya yang mulai banyak muncul infrastuktur. Maka

pelaksanaan adat itu lebih baik dilaksanakan di dalam ruangan. Hal ini menjadi

sesuatu yang positif bersifat membangun dan praktis. Dalam upacara adat di dalam

ruangan (wisma), pengantin dan keluarga akan menyambut para tamu di depan pintu

wisma dengan salaman dan iringan musik Batak Toba, setelah itu para tamu yang

sudah ada di dalam wisma akan menyambut pengantin dan keluarga memasuki wisma

dengan nyanyian dan musik Batak Toba. Dari segi religiusitas masyarakat Batak

Toba, upacara adat yang dilakukan ini merupakan bentuk dari penyampaian doa dan

harapan untuk pengantin dan keluarganya dan tidak lupa diawali dengan pemberian

ulos.

73 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Umumnya pelaksanaan ulaon sadari ini diadakan di tempat pihak parboru

(suhut parboru) atau sesuai dengan istilah adatnya yaitu alap jual.76 Namun sudah

tidak asing lagi jika pelaksanaan pesta adat diadakan oleh pihak pria (taruhon jual)

pandangan ini hanya terdapat pada soal penanggungjawab pesta adat tersebut. Dalam

pelaksanaan pesta adat ini, para protokol (raja adat) yang akan mengarahkannya.

Setelah memasuki ruangan, para tamu undangan diarahkan tempat duduknya sesuai

adat oleh protokol kecuali pihak hula-hula, karena ada penyambutan khusus dari

kedua keluarga kepada hula-hula hal ini dilakukan karena hula-hula mempunyai

peranan yang tinggi pada Dalihan Na Tolu. Biasanya pihak paranak bersama tamu

undangannya duduk berkelompok dan terpisah dengan pihak parboru beserta

undangannya. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dimana pada saat itu

parhobas (pekerja) membagikan makanan berupa nasi, daging dan minuman kepada

undangan. Dalam pesta adat ini bisa terlihat kekeluargaan yang harmonis dalam

masyarakat Batak Toba. Setelah acara makan selesai, dilanjutkan dengan acara

manjalo tumpak77 paranak yaitu menerima salam kasih berbentuk uang dari tamu

undangan ke pihak paranak, tumpak tersebut dimasukkan ke sebuah tempat yang

posisinya di depan pengantin dan pihak paranak dan diakhiri dengan berjabatan

tangan serta ucapan terima kasih.

76
Kencana Sembiring Pelawi, op.cit., hlm. 32.
77
Tumpak dalam adat Batak Toba ialah tanda kasih dari masyarakat untuk penyelenggara
acara adat. Biasanya berbentuk uang ataupun kado.

74 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Saat posisi duduk pihak paranak dan parboru yang berhadap-hadapan maka

disaat inilah dilakukan musyawarah pembagian jambar (bagian daging hewan yang

dipotong pada saat pesta adat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya

berdasarkan hasil dari musyawarah tersebut. Kemudian dilanjut dengan pembicaraan

tuhor/sinamot yang biasanya tersisa (belum terbayar sepenuhnya) dipimpin oleh

masing-masing raja adat (protokol) dari pihak paranak dan parboru dan tentunya

melibatkan kedua pihak keluarga. Pembicaraan ini berisi tentang pihak paranak yang

memberikan jambar (potongan daging) dan uang kepada parboru beserta kerabatnya.

Selesai pemberian ini, pihak parboru akan memberikan dengke dan ulos

kepada pihak paranak, dan pihak paranak melalui protokolnya akan memberitahu

siapa yang akan diulosi (menerima ulos), disini pihak parboru bertugas menguloskan

orang-orang78 yang telah disebut protokol tadi. Sesudah penyerahan ulos tadi,

parboru kembali memberikan ulos kepada kerabat dari pihak paranak yaitu kepada

nenek, saudara laki-laki dari ayah pengantin pria, saudara perempuan dari ayah

pengantin pria, teman semarga, pariban, dan hula-hula. Mangulosi ini merupakan

bagian ritual adat yang cukup penting karena acara ini menjadi bukti tingginya nilai

kehormatan di tengah-tengah masyarakat Batak Toba.

78
Ulos yang wajib diberikan kepada:
1. Pengantin yaitu ulos hela
2. Ayah dan Ibu pengantin dari laki-laki yaitu ulos pergonggom dan pansamot
3. Kerabat dari ayah pengantin laki-laki yaitu ulos paraman
4. Perwakilan boru dari paranak yang bertugas mengangkat bakul nasi pada saat
marsibuha-buha i yaitu ulos tutup ni ampang.

75 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setelah selesai mangulosi, dilanjutkan ke acara terakhir yaitu protokol (raja

adat) dan kedua keluarga pihak pengantin memberikan nasihat kepada pengantin dan

seluruhnya mengucapkan salam adat Batak Toba yaitu horas sebanyak tiga kali dan

ditutup dengan doa diiringi salaman berjabat tangan. Setelah itu, kebanyakan

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area masih melaksanakan adat dan

tradisi paulak une dan maningkir tangga di saat itu juga sebagai bentuk efisensi

waktu, hal ini merupakan salah satu perubahan dalam adat perkawinan Batak Toba,

maka acara adat yang efisien ini disebut dengan ulaon sadari.79

Masih di dalam wisma, bentuk dari paulak une dan maningkir tangga ini

yaitu pengantin yang posisi sebelumnya berada di tengah wisma pada saat acara adat

berlangsung akan diarahkan ke sebuah tempat duduk di pelaminan yang berada di

depan yang dianggap sebagai rumah dan mereka akan disajikan dengke (ikan mas),

nasi, dan minuman. Kemudian orang tua, kerabat dan raja adat akan memberikan

ucapan nasehat dan doa kepada pengantin secara bergantian pada saat itu juga.

Sebagai penutup dari acara paulak une dan maningkir tangga ini, pengantin pria juga

memberikan ucapan terima kasih kepada orang tua, kerabat dan masyarakat yang

terlibat dalam melangsungkan pesta adat itu dari proses awal hingga akhir dengan

lancar.

79
Wawancara, dengan Viktor Simanjuntak, tanggal 10 April 2020, pukul 15.30 WIB.

76 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pelaksanaan kedua tradisi ini berubah seiiring perkembangan waktu dan

kemajuan dari pemikiran setiap individunya, tentunya lebih mengutamakan

kepraktisan dalam hal waktu. Namun, ada juga sedikit masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area dalam rentang waktu tahun 1970 dan setelahnya masih

melaksanakan paulak une dan maningkir tangga dalam arti yang sebenarnya yaitu

dilakukan di hari selanjutnya setelah pesta adat, dikarenakan masih adanya waktu

yang cukup luang dan tidak adanya tugas yang mendesak dari kedua pengantin dan

pihak keluarga. Hal ini menjadi ketentuan dari masing-masing penyelenggara pesta

adat berdasarkan pertimbangan yang ada.

Pengantin dalam tahun penelitian ini (tahun 1970 dan setelahnya)

kebanyakan tidak menjalankan tradisi manjae lagi karena berdasarkan penelitian,

pengantin pria baik sulung maupun bungsu sudah diharuskan untuk hidup mandiri

membentuk rumah tangga bersama istrinya. Dari keseluruhan dalam proses

pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba yang cukup rumit, terdapat makna sakral

disetiap bagian-bagiannya seperti persiapan yang diperlukan, peran dan aspek dalam

ritual adat perkawinan.

77 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2 Perubahan Umum dalam Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba

di Kecamatan Medan Area Kota Medan

Upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba merupakan salah satu

upacara yang penting di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, karena dalam hal

ini generasi masyarakat Batak Toba bisa diteruskan dan tidak terlepas dari Dalihan

Na Tolu. Adat perkawinan menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang dilakukan

masyarakat Batak Toba di daerah asalnya (bona pasogit) maupun di luar daerah

asalnya. Pada masanya, banyak hal yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam

pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba karena beberapa faktor seperti

keberagaman agama, etnis, penyatuan etnis dalam hubungan perkawinan dan

pengaruh era globalisasi.

Seorang sastrawan sekaligus penulis buku Batak Toba, Raja Patik

Tampubolon membuat 2 bagian dalam implementasi pelaksanaan adat perkawinan

Batak Toba yaitu upacara inti dan adat na taradat. Upacara inti yaitu cakupan

kehidupan untuk mengerti hal yang baik dan buruk yang berasal dari nenek moyang

bangsa Batak Toba yang diyakini pada masanya yaitu Debata Mulajadi Nabolon.

Adat na taradat yaitu aturan yang mendapatkan pengaruh dari suatu perkumpulan

pada masyarakat Batak Toba dan agama yang disepakati sebelum pelaksanaan pesta

adat. Adat na taradat mempunyai ciri-ciri yaitu pembuktian sesuatu yang benar dan

mempunyai manfaat secara praktis, mampu beradaptasi dan bekerja efektif dalam

banyak situasi bersama kelompok ataupun secara individu.

78 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Perkembangan pemikiran yang mengikuti perkembangan waktu dan tempat

pada masyarakat Batak Toba mengubah pandangan masyarakat Batak Toba pada

aturan dan kewajiban yang ada dalam upacara adat perkawinan. Dalam perubahan

umum ini, perkawinan dengan pariban kandung tidak menjadi suatu keharusan lagi

bagi masyarakat Batak Toba yang sudah memasuki usia dewasa.80

Beberapa faktor yang membuat suatu adat (adat perkawinan Batak Toba)

dapat berubah yaitu81 :

1. Perubahan komponen masyarakat dari waktu ke waktu

2. Kesadaran pribadi atau kelompok

3. Perekonomian

4. Hubungan sosial

5. Teknologi.

Dalam masyarakat Batak Toba, pelaksanaan adat perkawinannya dapat saja

mengalami perubahan dalam bentuk proses, situasi dan kondisi. Pengaruh agama di

tengah-tengah masyarakat Batak Toba juga memungkinkan adanya terjadi perubahan

dalam proses pelaksanaan adat perkawinan. Namun hal itu dapat disikapi dengan baik

dari musyawarah masyarakat Batak Toba itu sendiri. Di Kecamatan Medan Area

seiring perkembangan waktu, pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba

dapat dikatakan hampir sama dengan di daerah asalnya (bona pasogit) hanya saja

80
Rismawati, “Perkawinan dan Pertukaran Batak Toba”, Jurnal Academica FISIP UNTAD,
Vol. 3 No. 2 (Oktober, 2011), 715.
81
Purnama Samosir, Kajian Yuridis Tentang Perkawinan Orang Batak Toba di Perantauan
Menurut Hukum Adat Batak (Skripsi), Jember, Digital Repository Universitas Jember, 2016, hlm. 67.

79 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengalami beberapa perubahan atau pergeseran dalam bagian-bagiannya karena

pengaruh dari berbagai aspek yang sudah disebutkan sebelumnya.

4.2.1 Waktu

Pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan

Area berdasarkan tahun penelitian ini yaitu sebelum tahun 1970 dengan tahun 1970

dan sesudahnya ada mengalami perubahan, yaitu dalam hal waktu. Orang Batak Toba

di Kecamatan Medan Area sebelum tahun 1970, dalam melaksanakan adat

perkawinan menghabiskan waktu berhari-hari lamanya seperti di daerah asalnya

(bona pasogit), hal ini mereka anggap sebagai sesuatu yang berharga dan menarik

dimana dengan berkumpulnya mereka dalam suatu adat yang terdiri dari beberapa

hari membuat mereka semakin akrab dan harmonis dalam kekeluargaan. Mulai dari

adat mangebati boru ni tulang (kunjungan pariban) sampai maningkir tangga bisa

menghabiskan waktu yang cukup lama.

Di Kecamatan Medan Area pada tahun 1970 dan setelahnya, masyarakat

Batak Toba menganggap bahwa pelaksanaan adat perkawinan itu (mangaririt sampai

maningkir tangga) tidak membutuhkan waktu yang lama, karena dalam waktu yang

sederhana saja bisa membuat suatu pelaksanaan adat itu lebih praktis dan teratur

(ulaon sadari) sedangkan masyarakat Batak Toba yang berada di bona pasogit

(daerah asal) dan di Kecamatan Medan Area sebelum tahun 1970 tidak

mementingkan tentang waktu karena tidak adanya tugas atau aktivitas yang

80 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mendesak.82 Selain itu, sebelum tahun 1970 kesibukan yang dimiliki masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area sangat berbeda dengan kesibukan pada tahun

1970 dan setelahnya, dimana kesibukan diantara perbedaan tahun yang cukup jauh itu

sangatlah beragam dari masing-masing aktivitas dan pekerjaan yang ada pada

masyarakat Batak Toba apalagi dalam perkembangan waktu dan kondisi lingkungan,

hal inilah yang membuat perbedaan dan perubahan waktu dalam proses pelaksanaan

adat perkawinan masyarakat Batak Toba sebelum tahun 1970 dengan tahun 1970 dan

setelahnya di Kecamatan Medan Area.

4.2.2 Tempat dan Hidangan

Pelaksanaan ulaon unjuk (ulaon sadari) dalam pesta adat perkawinan

masyarakat Batak Toba membutuhkan tempat yang cukup luas, karena dalam pesta

adat biasanya banyak dihadiri oleh tamu undangan. Masyarakat Batak Toba yang

tidak terlepas dari sistem kekerabatannya membuat setiap pesta adat selalu dihadiri

oleh orang banyak karena dengan kehadiran itu mereka bisa menjalin kembali

kekeluargaan yang sebelumnya terpisah oleh jarak dan waktu. Pelaksanaan adat

perkawinan masyarakat Batak Toba di daerah asal biasanya dibuat di halaman rumah

yang cukup luas dan bisa menampung banyak tamu, keberadaannya yang sederhana

dengan tikar sebagai alas tempat duduk dan terpal sebagai pelindung dari panas

matahari. Kebiasaan ini ternyata juga masih dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area yaitu sebelum tahun 1970.

82
Wawancara, dengan Oppung Marhehe, tanggal 10 April 2020, pukul 11.10 WIB.

81 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada tahun 1970 dan setelahnya, kebiasaan ini mulai menghilang

dikarenakan kondisi lingkungan di Kecamatan Medan Area yang sudah cukup padat

oleh penduduk yang semakin bertambah dan dibangunnya fasilitas umum seperti

jalan yang tidak memungkinkan pelaksanaan pesta adat itu di halaman rumah.

Bertambahnya jumlah masyarakat Batak Toba di di Kecamatan Medan Area

mengakibatkan berkembangnya pemikiran mereka, dimana mereka membutuhkan

tempat yang sesuai dalam pelaksanaan adat perkawinannya. Mereka membangun

ruangan adat (wisma) yang bisa menjadi pendukung dalam pelaksanaan ulaon

sadarinya. Sifat konsumerisme dari masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan

Area juga menjadi penyebab dibangunnya ruangan adat.83 Wisma Umum yang sudah

ada pada tahun 1970 menjadi ruangan adat pertama di Kecamatan Medan Area yang

membuktikan pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba di dalam ruangan dan mulai

mengalami fleksibilitas pada bagian prosesnya.

Pada bagian konsumsinya, hidangan yang disajikan pada adat perkawinan

masyarakat Batak Toba sebelum tahun 1970 di Kecamatan Medan Area ialah masih

mengikuti kebiasaan dari daerah asalnya (bona pasogit) dengan hidangan utama yaitu

nasi dan daging dari hewan (kerbau atau babi) yang telah diberikan oleh pihak pria

sebelumnya dan kemudian mereka makan bersama di halaman dikarenakan tempat

pelaksanaannya di halaman rumah. Pihak parboru dari pihak paranak yang bertugas

menyiapkan makanan. Seiiring berkembangnya waktu dan tersedianya ruangan adat

sebagai tempat pelaksanaan pesta adat di Kecamatan Medan Area supaya lebih baik

83
Wawancara, dengan Oppung Napitupulu, tanggal 11 April 2020, Pukul 14.40 WIB.

82 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lagi, pada tahun 1970 dan setelahnya kebiasaan makan di halaman itu sudah tidak ada

lagi dan digantikan dengan makan bersama di atas meja atau prasmanan dengan

hidangan makanan yang lebih beragam dan menu utamanya tetap nasi dan daging

dari hewan yang telah disepakati pada acara martonggo raja.

4.2.3 Maskawin

Maskawin selalu ada dan tidak bisa dihilangkan dari adat perkawinan

masyarakat Batak Toba. Maskawin atau yang biasa disebut dengan sinamot

merupakan harga diri dari seorang perempuan kepada seorang pria. Bagi masyarakat

Batak Toba, maskawin bisa diidentikkan dalam beberapa bentuk. Pada sebelum tahun

1970, maskawin pada adat perkawinan masyarakat Batak Toba ialah berbentuk

hewan peliharaan seperti kerbau dan babi, sawah atau kebun, dan benda berharga

lainnya.84

Seorang pria yang sudah memasuki usia dewasa akan mencari calon

pasangannya atau yang biasa disebut mangebati boru ni tulang (kunjungan pariban)

atau martandang pada masanya (sebelum tahun 1970) dan mangaririt pada tahun

1970 dan setelahnya. Peran orang tua dari pria tersebut ialah menyediakan maskawin

untuk calon pasangan anaknya itu. Setelah perkembangan waktu pada tahun 1970 dan

setelahnya di Kecamatan Medan Area, maskawin mengalami perubahan dan tidak

seperti di daerah asalnya lagi (bona pasogit). Karena kemajuan pemikiran dan

pendidikan membuat suatu maskawin mengalami perubahan dan lebih menarik untuk

dijadikan sebagai ganti dari seorang perempuan dan biasanya maskawin di


84
Bisuk Siahaan, op.cit., hlm. 64.

83 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kecamatan Medan Area berbentuk uang saja, supaya hal itu bisa lebih efisien dalam

penggunaannya dan pendukung pesta adat.

Berdasarkan pendidikan menjadi ketentuan dalam penentuan sinamot,

semakin tingginya pendidikan seseorang perempuan maka semakin tinggi pula

sinamotnya, begitu biasanya pihak perempuan menganggapnya. Akan tetapi dalam

perkembangan waktu, sinamot menjadi pertimbangan keluarga apakah wajib ada atau

tidak, ini dikarenakan oleh berbagai faktor seperti faktor ekonomi dan sosial. Pada

umumnya Sinamot merupakan hal yang penting dan wajib bagi masyarakat Batak

Toba. Penentuan harga sinamot sendiri biasa dibahas dalam musyawarah kedua belah

pihak keluarga sampai ditemukannya titik kepastian dan kesepakatan dari harga

sinamot itu.

4.2.4 Pakaian Adat

Perlengkapan pakaian dalam adat perkawinan masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area juga mengalami perubahan. Sebelum tahun 1970 pakaian

pasangan pengantinnya masih mengikuti adat dan tradisi di daerah asal (bona

pasogit), dimana pengantin wanita masih menggunakan pakaian adat Batak Toba

seperti sortali yang masih sederhana dipadukan dengan baju kurung.85 Sortali ini

pada saat itu dianggap sebagai lambang dari kemakmuran keluarga pengantin wanita.

Kemudian dalam perkembangan waktunya, pada tahun 1970 dan setelahnya pakaian

adat pengantin wanita mulai mengalami perubahan yaitu dengan menggunakan baju

kebaya yang didominasi baju kebaya bewarna putih. Untuk bagian bawahnya, pada
85
Wawancara, dengan Murniaty Nababan, tanggal 12 April 2020, pukul 11.30 WIB.

84 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


masa dahulu biasanya pengantin wanita memakai rok kain dari ragi hotang,

kemudian pada tahun 1970 dan setelahnya penggunaan rok kain ragi hotang sudah

tidak digunakan lagi dan digantikan dengan kain songket. Begitu juga pada pakaian

pria masih terdiri atas stelan jas yang diisi bunga pada saku kantungnya.86

Tidak hanya pengantin saja, begitu juga dengan tamu undangan dari kaum

perempuan. Sebelum tahun 1970 di Kecamatan Medan Area mereka menggunakan

kain sarung sebagai penutup kaki agar terlihat lebih sopan karena pelaksanaan adat

masih dilakukan dengan duduk diatas tikar di halaman. Akan tetapi pada tahun 1970

dan setelahnya penggunaan kain sarung itu tidak ada lagi karena tempat pelaksanaan

pesta adat sudah dilakukan di dalam wisma yang terdapat kursi dan meja, hal ini

terlihat lebih baik dan sopan. Walaupun mengalami perubahan, pakaian adat

perkawinan pada tahun 1970 dan setelahnya tetap menggabungkan unsur identitas

suku Batak Toba didalamnya dan hal itu menjadi keputusan dari keluarga yang

mengadakan pesta adat tanpa adanya saran dan masukan dari masyarakat.

86
Kencana Sembiring Pelawi, op.cit., hlm. 65.

85 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

FAKTOR YANG MENDUKUNG PELAKSANAAN

ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN

MEDAN AREA KOTA MEDAN

5.1 Ruang dan Masyarakat Batak Toba

Kemampuan suatu masyarakat untuk menyesuaikan dan membangun

kebudayaan yang sudah ada sejak lama dalam diri masing-masing tentulah berbeda,

seperti pada masyarakat yang berada di pedalaman yang lebih bersifat kedaerahan

maupun yang ada di kota besar yang bersifat cukup maju. Masyarakat Indonesia yang

kaya akan suku dan kebudayaannya semakin lama bisa saja semakin memudar karena

pengaruh modernisasi, hal ini menjadi keputusan setiap orang bagaimana bertindak

untuk mempertahankan kebudayaannya dalam arus modernisasi. Suatu kehidupan

selalu melalui berbagai proses yang biasanya dimulai dari kelahiran hingga kematian.

Dari setiap proses tersebut membutuhkan suatu perayaan atau upacara yang

merupakan sesuatu yang penting dan akan menjadi sejarah dalam perkembangan

kehidupan manusia karena manusia merupakan makhluk sosial.

Masyarakat di Kecamatan Medan Area adalah masyarakat multi-kultural.

Kecamatan Medan Area menjadi salah satu kecamatan sebagai tempat datangnya para

migran dari berbagai daerah salah satunya ialah suku Batak Toba yang datang ke

Kecamatan Medan Area. Kedatangan suku Batak Toba dari luar daerah ke

Kecamatan Medan Area membawa tradisi dan kebudayaanya, salah satunya ialah

86 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kebiasaan dalam pelaksanaan adat perkawinan. Kegiatan adat perkawinan masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area tahun 1970 dan setelahnya tidak terlepas dari

aspek keruangan karena dalam perkembangan waktu dan keadaan suatu ritual adat

perkawinan menjadi pertimbangan utama dalam pengaruh keruangan. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ruang adalah sebuah rongga yang tidak ada

batasannya atau suatu tempat yang mempunyai segala yang ada.

Ruang dan manusia merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi

kesatuan yang nyata, hal ini bisa dibuktikan dengan keberadaan masyarakat Batak

Toba di bona pasogit yang mendesain rumah adatnya menurut tradisi dan adat

istiadat dari leluhurnya yang menyerupai warna merah, hitam dan putih disertai

simbol cicak di sisinya. Masyarakat Batak Toba sendiri merupakan etnis yang

menghormati dan melestarikan tradisi ritual adat dalam peristiwa di kehidupannya.

Ritual pada setiap acara adat khususnya upacara adat perkawinan suku Batak Toba

yang ada di Kecamatan Medan Area pada tahun 1970 dan setelahnya membutuhkan

ruang dengan penataan khusus supaya bisa berlangsung dengan baik karena adanya

keberadaan ruang dan tidak memungkinan lagi dilaksanakan di luar ruangan.

Walaupun sudah banyak masyarakat Batak Toba yang berpindah ke kota besar hal itu

tidak menjadi penghambat mereka dalam mempertahankan tradisi dan adat

istiadatnya.

87 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan Medan Area membutuhkan

ruang dengan penataan yang baik pada setiap acara adatnya, dan setiap ritual adatnya

mempengaruhi penataan ruang adat itu sendiri. Penggunaan ruang wisma untuk

pelaksanaan adat perkawinan sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Batak Toba

di Kecamatan Medan Area sejak adanya wisma pada tahun 1970 dan setelahnya.

5.2 Latar Belakang dan Perkembangan Wisma di Kecamatan Medan Area

Kota Medan

Kehidupan masyarakat Batak Toba yang tidak terlepas dari adat istiadatnya

membuat pelaksanaan adat tersebut selalu ada dalam perjalanan kehidupan

masyarakat Batak Toba. Mulai dari kelahiran hingga kematian selalu terikat dalam

pesta adat supaya momentum-momentum tersebut selalu diingat dan dilestarikan

kepada keturunannya dan hubungan kekeluargaan mereka tetap terjalin dengan baik.

Dalam hal pelaksanaan adat perkawinan, dibutuhkan fasilitas pendukung, salah

satunya ialah tempat pelaksanaannya. Pada waktu sebelum tahun 1970, di Kecamatan

Medan Area pelaksanaan pesta adat perkawinan masih dilakukan di halaman rumah

pihak paranak ataupun parboru pelaksanaan ini tidak lain karena keadaan lingkungan

di Kecamatan Medan Area yang masih sepi dari fasilitas umum dan rumah

masyarakat, dan pelaksanaan pesta adat perkawinan Batak Toba juga membutuhkan

tempat yang luas.

88 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masyarakat Batak Toba juga selalu membutuhkan peran dari setiap kerabat

dan masyarakat sekitarnya dalam setiap proses dan pelaksanaan adat. Seiring

berkembangnya waktu dan pemikiran yang ditandai dengan adanya ruang wisma

pada tahun 1970 dan kepadatan penduduk di Kecamatan Medan Area, pelaksanaan

adat perkawinan tidak bisa lagi dilakukan di halaman rumah, hal inilah yang menjadi

pendorong pada masyarakat Batak Toba dalam pemikirannya tentang bagaimana

supaya pelaksanaan adat perkawinannya terlaksana dengan baik dan bagaimana cara

untuk melaksanakan pesta adatnya. Dari hasil pemikiran dan keharusan dalam hal

tempat pelaksanaan pesta adat, maka muncul pemikiran untuk dibangunnya suatu

tempat yang mendukung untuk hal itu dan mempengaruhi perubahan dalam

pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba. Kemudian tempat itulah yang dinamakan

wisma.

Penamaan wisma sendiri sudah ada sejak adanya bangunan ini ditengah-

tengah masyarakat Batak Toba untuk digunakan sebagai tempat pelaksanaan adat

yang menampung banyak tamu. Karena menampung banyak tamu, maka sebuah

wisma diidentikkan dengan rumah tamu (wisma) oleh masyarakat Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba merasa membutuhkan ruangan yang memadai seperti wisma

agar pelaksanaan adat (ulaon sadari) tersebut dapat berjalan dengan baik, praktis,

efisien dan tidak dilaksanakan di halaman.

89 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berdasarkan penelitian ini, dalam periode tahun 1970-1982 atau waktu

dimana awal pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba di dalam ruangan, Kecamatan

Medan Area mempunyai dua wisma untuk tempat pelaksanaan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba (ulaon sadari). Yang pertama ialah keberadaan Wisma

Umum. Dibangunnya Wisma Umum pada tahun 1970 menjadi titik awal tempat

pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba dalam ruang. Berdasarkan

wawancara, pada awalnya tujuan dan alasan dasar pembangunan wisma ini ialah

untuk mendukung pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba karena

keadaan lingkungan di sekitar Kecamatan Medan Area tidak memungkinkan lagi

sebagai tempat pelaksanaan pesta adat ditambah di kecamatan ini memang banyak

terdapat masyarakat suku Batak Toba.87 Selain itu alasan mendirikan wisma ini ialah

dikarenakan pemiliknya pada dahulu ingin mempunyai usaha untuk membantu

perekonomian keluarganya secara khusus dan kelak bisa menjadi warisan kepada

keturunannya. Dari dasar pemikiran yang utama tadi, banyak didukung oleh

masyarakat sekitar dan menjadi dorongan bagi pihak tertentu, maka dibangunlah

Wisma Umum ini. Pembangunannya tidak membutuhkan waktu yang lama dengan

membuat ornamen-ornamen sederhana suku Batak Toba sebagai identitas di dalam

ruangan wisma ini. Keberadaan wisma ini juga membantu perekonomian masyarakat

sekitar menjadi lebih baik, dikarenakan setiap ada pelaksanaan pesta adat, banyak

usaha atau dagangan masyarakat yang ada di sekitar wisma.

87
Wawancara, dengan Oppung Napitupulu, tanggal 12 April 2020, pukul 12.55 WIB.

90 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Wisma ini berada di jalan A.R Hakim, No. 181, Kelurahan Pasar Merah

Timur, Kecamatan Medan Area, Kota Medan yang dimiliki oleh Bapak (alm). Polin

Silitonga dan Ibu (alm). Marintan Br. Simanjuntak yang kemudian diwariskan kepada

anak-anaknya. Dengan kondisi fisiknya, wisma ini mempunyai dua lantai dimana

dalam hal adat perkawinan, lantai satu berfungsi tempat dilaksanakannya pesta adat

dan di lantai dua tempat dilaksanakannya acara umum. Keberadaan Wisma Umum ini

juga menjadi cukup dikenal oleh masyarakat Batak Toba diluar Kecamatan Medan

Area, dikarenakan wisma ini masih menjadi tempat yang utama untuk pelaksanaan

adat perkawinan Batak Toba di Kota Medan dan Kecamatan Medan Area pada tahun

1970. Penggunaan wisma ini pada saat itu cukup sering digunakan oleh masyarakat

Batak Toba untuk pelaksanaan adat perkawinan. Walaupun keadaan fisik wisma ini

masih sederhana dari awal pembangunan, akan tetapi setiap adat perkawinan masih

bisa berjalan dengan lancar.

Dengan perkembangan waktu dan bertambahnya masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Medan Area, membuat pelaksanaan adat Batak Toba semakin sering

diadakan sehingga mempengaruhi perkembangan wisma di Kecamatan Medan Area.

Keberadaan dan kepemilikan wisma juga menjadi salah satu faktor untuk

pembangunan ekonomi masyarakat di Kecamatan Medan Area sehingga dari waktu

tahun 1970 dan setelahnya keberadaan wisma di Kecamatan Medan Area sudah

bertambah yaitu dengan adanya keberadaan Wisma Bakti yang diketahui masyarakat

secara umum terletak di Jalan Bakti No. 149, Kelurahan Tegal Sari III, Kecamatan

Medan Area, Kota Medan yang menjadi wisma kedua di Kecamatan Medan Area

91 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang mulai berfungsi untuk tempat pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak

Toba.

Wisma ini sudah ada sejak tahun 1982 yang dimiliki oleh Bapak (alm).

Situmorang dan Ibu Br. Sitompul. Alasan dasar pemilik mendirikan wisma ini

dikarenakan mulai banyaknya pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba

di Kecamatan Medan Area dan Kota Medan yang membutuhkan tempat selain Wisma

Umum. Alasan lain ialah karena tersedianya lahan kosong yang dimiliki oleh pemilik

yang berpikir untuk mendirikan suatu usaha berbentuk wisma sebagai pendukung

ekonomi keluarga dan menjadi aset di masa depan. Selain itu karena adanya

pertimbangan dalam hal demografi di Kelurahan Tegal Sari yang banyak terdapat

masyarakat Batak Toba. Kondisi fisik dari wisma ini yang cukup sederhana dengan

hanya satu lantai antara ruangan khusus pelaksanaan adat dan ruangan untuk acara

umum yang bersebelahan.

Pembangunan wisma ini pun di dukung oleh masyarakat sekitar dan

keberadaan kedua wisma ini juga sudah mendapatkan izin dari pemerintah

kecamatan, karena wisma merupakan sebagai bentuk usaha perorangan membuat

pembangunannya harus memiliki izin dari pemerintah kecamatan. Berdasarkan

pengamatan, penggunaan kedua wisma yang ada di Kecamatan Medan Area ini sejak

mulai dibangun menunjukkan Wisma Umum yang sering digunakan, akan tetapi

semenjak adanya Wisma Bakti intensitas penggunaan keduanya sama saja.88

88
Wawancara, dengan Viktor Simanjuntak, tanggal 10 April 2020, pukul 14.40 WIB.

92 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Secara umum persaingan diantara kedua wisma bisa dikatakan sangat tipis

karena di Kecamatan Medan Area hanya ada dua wisma ini saja dan biaya

penyewaannya berbanding lurus dari segi fasilitas dan keadaan fisik yang masih

sederhana yang membuat pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba sering diadakan

dan terlaksana dengan baik di wisma ini. Dengan kehadiran wisma di Kecamatan

Medan Area, pelaksanaan pesta adat perkawinan Batak Toba mengalami perubahan

dari daerah asalnya, seperti perubahan waktu, tempat, hidangan makanan dan

penambahan maupun pengurangan acara yang ditentukan dari masing-masing pihak

yang menyelenggarakan acara adat. Biasanya masyarakat Batak Toba mempunyai

persepsi yang berbeda dalam hal sebuah wisma, ada yang menganggap wisma tetap

sebagai halaman karena mengikuti dan terpengaruh dari kebiasaan seperti di daerah

asalnya dan ada yang menganggap wisma itu tetap sebagai ruangan untuk tempat

pelaksanaan pesta adat seperti adat perkawinan.89

Penggunaan wisma sebagai sarana ruang pelaksanaan ritual adat perkawinan

masyarakat Batak Toba bisa berdampak bagi kebudayaan, dalam hal ini yang

dimaksud ialah perubahan dari unsur-unsur ritual adat perkawinan tersebut. Pada

masa selanjutnya setelah berdirinya Wisma Umum dan Wisma Bakti ini, penulis

menemukan semakin banyak perkembangan wisma diberbagai kecamatan di Kota

Medan. Terdapat lebih dari sepuluh ruang adat untuk pelaksanaan adat Batak Toba

seperti adat perkawinan dengan modernisasi yang cukup maju tanpa meninggalkan

identitas suku Batak Toba.

89
Yulia Sinaga, Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba (Skripsi), Depok,
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012, hlm. 34.

93 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam perkembangan waktu, masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan

Area semakin terbiasa dengan kehadiran wisma dan menganggap wisma bukan hanya

sebagai tempat pelaksanaan pesta adat perkawinan saja, melainkan mereka juga

menggunakan wisma yang difungsikan sebagai tempat beragam acara lainnya seperti

pelaksanaan adat martumpol, adat selamatan kelahiran anak (esek-esek) dan

sebagainya.

5.3 Kaitan Wisma dengan Pelaksanaan Adat Perkawinan Masyarakat Batak

Toba di Kecamatan Medan Area Kota Medan

Keberadaan wisma dan pelaksanaan adat seperti adat perkawinan pada

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area sejak tahun 1970 nyatanya

mempunyai kaitan satu sama lain, yaitu sebagai faktor pendukung dalam hal

kesesuaian dan kenyamanan tempat dalam pelaksanaan adat. Dengan adanya wisma

di tengah-tengah masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan Medan Area

membuat setiap proses dan pelaksanaan adat perkawinan lebih praktis dan efisien

atau yang biasa disebut ulaon sadari. Wisma Umum dan Wisma Bakti yang ada di

Kecamatan Medan Area menjadi tempat yang sering melaksanakan adat perkawinan

Batak Toba. Biasanya pelaksanaan adat perkawinan ini diadakan pada setiap hari

Jumat dan Sabtu, maka di hari-hari tersebut kedua wisma ini selalu beroperasi mulai

dari siang sampai malam hari karena dilaksanakan pesta adat ulaon sadari.

94 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masyarakat Batak Toba memiliki adat dalam kenyataan tingkah laku yang

diterapkan oleh masyarakatnya yang berlandaskan sistem kekeluargaan dengan nilai

dan norma yang saling berhubungan. Pelaksanaan setiap adat perkawinan di wisma

juga mempunyai batasan waktu dan itu sudah menjadi perjanjian dari kedua belah

pihak antara penyewa (penyelenggara adat) dan pemilik wisma. Dalam adat

perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area, penataan atau posisi

duduk di dalam wisma dibagi menjadi empat bagian yaitu yang terdiri dari tempat

duduk untuk keluarga dan undangan dari pihak laki-laki (paranak), keluarga dan

undangan dari pihak perempuan (parboru), ruang ritual yang biasanya berada di

tengah antara pihak paranak dan parboru serta pelaminan yang posisinya berada di

depan.

Wisma yang mempunyai fungsi sebagai sarana tempat untuk pelaksanaan

pesta adat perkawinan Batak Toba mempunyai penataan khusus pada bagian kursi

dan meja yang mengarahkan pandangan khusus ke posisi tengah yang merupakan

tempat pengantin dan keluarga pada ritual adat perkawinan dari masyarakat yang

terlibat dalam prosesi adat. Adanya iringan musik, gondang dan kata-kata yang

diucapkan dalam bahasa Batak Toba membuat suatu pelaksanaan adat dalam wisma

mempengaruhi suasana di dalam ruang wisma itu sendiri yang dirasakan oleh

manusia sebagai komponen di dalamnya. Selain adat perkawinan, penggunaan wisma

95 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


juga sebagai tempat pelaksanaan adat lainnya seperti adat malua, ulang tahun,

perayaan hari agama dan adat dukacita yang dilaksanakan di dalam wisma.90

Pelaksanaan adat-adat tersebut di dalam wisma tentu mempunyai alasan

tersendiri bagi penyelenggaranya, biasanya karena setiap adat dalam masyarakat

Batak Toba selalu mengharuskan peran keluarga (dalihan na tolu) dan masyarakat

Batak Toba supaya adat tersebut dapat berjalan dengan baik dengan lengkapnya

komponen masyarakat Batak Toba sesuai aturan adat dan tradisi yang berlaku, maka

dibutuhkan ruang yang cukup memadai dalam daya tampung tamu undangan yang

hadir juga karena adanya perkembangan waktu yang diikuti perubahan pemikiran

pada masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat umum, wisma juga mempunyai fungsi

dari segi kebutuhan ekonomi. Setiap adanya pelaksanaan adat, masyarakat umum ikut

mengambil bagian untuk memenuhi kebutuhan ekonominya seperti pengamatan yang

penulis lakukan, adanya keikutsertaan berbagai pihak seperti pengusaha catering,

pengusaha acara (event organizer) adat perkawinan, masyarakat yang berdagang di

sekitar area wisma dan tukang parkir.

Sejak adanya Wisma Umum dan Wisma Bakti di lingkungan masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area, pelaksanaan adat perkawinan Batak Toba

lebih teratur dan praktis, hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor pendorong dari

masyarakat seperti pemikiran praktis. Secara nyata, kehadiran wisma di tengah-

tengah masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area sejak tahun 1970

90
Wawancara, dengan Oppung Napitupulu dan Viktor Simanjuntak, tanggal 12 April 2020,
pukul 14.40 WIB.

96 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


merupakan suatu kemajuan dalam hal pengaruh modernisasi. Minimnya ruang

terbuka seperti di halaman rumah atau tanah lapang sejak Kecamatan Medan Area

dihuni oleh banyak penduduk membuat masyarakat Batak Toba menjadikan wisma

sebagai sarana untuk ruang ritual adatnya seperti adat perkawinan.

Seiring perkembangan waktu, perkembangan ekonomi membuat gencarnya

masyarakat untuk membangun usaha ruang adat (wisma) bagi masyarakat Batak Toba

yang sering menggunakannya untuk kepentingan acara adat seperti ulaon sadari di

Kecamatan Medan Area maupun di Kota Medan. Para pengusaha wisma berusaha

untuk membuat keadaan wisma yang mereka miliki menjadi lebih baik. Tentu setiap

wisma mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing, hal ini untuk menarik

perhatian masyarakat Batak Toba.

Akan tetapi masyarakat Batak Toba sudah mempunyai pandangan tersendiri

terhadap berbagai wisma yang akan disewakan untuk difungsikan sebagai tempat

pelaksanaan adat perkawinan terutama pada Wisma Umum dan Wisma Bakti yang

keadaan dan fasilitasnya sama saja sebagai tempat pelaksanaan adat perkawinan

Batak Toba. Secara tidak langsung, penggunaan ruangan wisma sebagai sarana untuk

mendukung pelaksanaan pesta adat perkawinan Batak Toba mempunyai dampak

terhadap pola adat itu sendiri bagi masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan

Medan Area.

97 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Dari uraian yang sudah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya, dalam

skripsi ini kesimpulannya dengan jelas membahas tentang bagaimana kehidupan

masyarakat Batak Toba dengan adat istiadat dan tradisi yang diwariskan leluhurnya

dari dahulu sampai sekarang dengan pengaruh-pengaruh yang ada di sekitarnya

dalam setiap pelaksanaan adatnya seperti adat perkawinan termasuk di tempat

penelitian yaitu Kecamatan Medan Area. Kecamatan Medan Area merupakan salah

satu kecamatan di Kota Medan yang cukup banyak terdapat masyarakat suku Batak

Toba. Masyarakat Batak Toba yang datang ke Kecamatan Medan Area pada awalnya

disebabkan karena adanya pembukaan besar-besaran perkebunan oleh pemerintah

kolonial Belanda di Sumatera Timur. Mereka yang datang pada waktu itu adalah

didominasi oleh pria dan dipekerjakan di perkebunan. Walaupun mereka pendatang di

Tanah Deli, mereka secara perlahan mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan

yang baru. Dengan keberadaan mereka di tempat yang baru, maka mereka juga harus

memenuhi kebutuhan dalam adat dan tradisinya, yaitu salah satunya dalam

pelaksanaan adat perkawinan.

98 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Adat dan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba sangat

berhubungan erat karena hal itu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan

agar suatu pelaksanaan adat dapat berjalan dengan lancar. Ritual adat mempunyai

peran sebagai penghubung sosialisasi untuk menerapkan konsep kekerabatan dalam

suatu pelaksanaan adat seperti adat perkawinan. Secara umum bagi masyarakat Batak

Toba perkawinan itu ialah suatu peristiwa penting dalam sejarah dan perjalanan hidup

mereka yang tidak terlepas dari keberadaan masyarakat sekitar.

Masyarakat Batak Toba berdasarkan tahun penulisan ini yaitu sebelum

tahun 1970 dengan tahun 1970 dan setelahnya mempunyai ciri khas masing-masing

dimana masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area sebelum tahun 1970 yang

lebih bersifat kedaerahan dan belum ada sama sekali terpengaruh oleh perkembangan

waktu dan lingkungan sekitar membuat mereka dengan baik melaksanakan tradisi dan

adat istiadatnya sama seperti di daerah asalnya (bona pasogit), hal ini berbeda dengan

masyarakat Batak Toba yang ada di Kecamatan Medan Area pada tahun 1970 dan

setelahnya, dimana mereka sudah bisa membuka pikiran dengan keberadaan mereka

yang sudah dipengaruhi oleh perkembangan waktu, pengaruh sosial dan keyakinan.

Perbedaan dari tahun ini juga membuat beberapa perubahan dalam pelaksanaan adat

perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area.

Bagi suku Batak Toba, perkawinan menjadi pendukung dalam meneruskan

keturunan dan marga yang dianggap penting sebagai syarat dalam falsafah Dalihan

Na Tolu. Perkawinan yang dianggap baik pada dahulu di tengah-tengah masyarakat

Batak Toba yaitu perkawinan dengan pariban (anak perempuan dari suadara kandung

99 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


laki-laki ibu), namun dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh dari luar seperti agama

dan lingkungan membuat perkawinan jenis itu semakin memudar dan tidak dianggap

baik karena dilakukan dengan saudara kandung.

Dari beberapa proses untuk melangsungkan adat perkawinan masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area selalu terhubung dengan peran masyarakat di

sekitarnya baik itu kerabat, teman dekat, maupun perkumpulan dari tiap marga atau

gereja dan lingkungan. Proses dalam melaksanakan pesta adat perkawinan Batak

Toba juga harus mengikuti tradisi dan adat istiadat dari leluhur yang berasal dari

daerah asal (bona pasogit), hal ini merupakan suatu kewajiban yang harus

dilaksanakan supaya tidak menghilangkan atau memudarkan nilai-nilai yang sudah

ada sejak lama kepada keturunan selanjutnya. Proses pelaksanaan adat perkawinan

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area memiliki tahapan, yaitu tahapan

mencari pasangan, tahap lamaran dan tahapan prosesi pada pesta adat. Pengaruh

seperti kemajuan waktu, modernisasi, perkembangan pemikiran masyarakat dan

sebagainya tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan adat perkawinan masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area, dan itu harus disikapi dengan baik tanpa ada

hal-hal yang membuat suatu tradisi dan adat istiadat menjadi terkikis atau hilang.

Perubahan yang ada dalam proses pelaksanaan adat perkawinan masyarakat

Batak Toba sebelum tahun 1970 dengan tahun 1970 dan setelahnya juga secara

ringkas bisa dilihat dari proses pencarian jodoh oleh laki-laki, yaitu kunjungan

pariban (mangebati boru ni tulang) dan martandang menjadi mangaririt, bentuk

sinamot (maskawin) yang berubah dari hewan atau harta berharga menjadi uang,

100 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pakaian adat yang berubah dari baju kurung menjadi kebaya, tempat pelaksanaan

pesta adat (ulaon sadari) yang berubah dari halaman rumah menjadi ruangan di

dalam wisma, dan pelaksanaan paulak une dan maningkir tangga yang berubah dan

disatukan dalam ulaon sadari pada pelaksanaan pesta adat pada tahun 1970 dan

setelahnya atau lebih tepatnya pelaksanaan di dalam ruangan wisma.

Pengaruh keberadaan ruang yaitu adanya wisma di tengah-tengah

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area sangat berdampak pada proses

pelaksanaan adat perkawinannya yang lebih teratur dan tidak rumit dalam ulaon

sadari. Yang sebelumnya ulaon unjuk dilakukan di halaman rumah cukup rumit dan

membutuhkan waktu yang lama, kemudian pelaksanaannya diubah menjadi ulaon

sadari di dalam wisma. Hal ini sangat baik bagi perkembangan pemikiran masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Medan Area. Ruang dan manusia ialah dua hal yang saling

mempengaruhi dan penggunaan ruang sebagai sarana pelaksanaan adat perkawinan

membentuk kualitas ruang tersebut dan kegiatannya.

Bagi masyarakat sekitar Kecamatan Medan Area bahkan etnis lain juga

mengambil kesempatan dalam pengaruh wisma ini, dan hal yang paling menonjol

dalam kesempatan itu ialah kemajuan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Penggunaan

wisma untuk tempat pelaksanaan berbagai acara adat masyarakat Batak Toba seperti

adat perkawinan merupakan hal biasa bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di

Kecamatan Medan Area sejak tahun 1970. Tradisi yang digabungkan dalam proses

pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Area

ditanamkan nilai moral, etika, dan sopan santun yang fungsinya ialah untuk

101 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memahami dan melaksanakan pesan moral yang dianut oleh masyarakat yang

memiliki tradisi tersebut.

6.2 Saran

Dari penulisan skripsi ini diharapkan kepada masyarakat Batak Toba

khususnya generasi muda agar mempunyai pengetahuan tentang beberapa hal dalam

tradisi kebudayaan dan adat istiadatnya seperti pada proses dan pelaksanaan adat

perkawinan masyarakat Batak Toba di luar bona pasogit, pengaruh tempat (ruang)

sebagai pendukung pelaksanaan adat perkawinan dan segala sesuatu hal yang terkait

didalamnya. Generasi muda pada umumnya yakin bahwa pelaksanaan adat

perkawinan dapat mendukung perkembangan kebudayaan dan menjadi sejarah yang

selalu melekat di dalam kehidupan, dimana pastinya di masa yang akan datang nanti

generasi muda mudi Batak Toba akan menjadi objek dan mengambil peran penting

dalam pelaksanaan adat perkawinan, karena itu sudah menjadi suatu kewajiban dan

keharusan. Maka, tradisi dan adat istiadat perlu dipelihara dan dilestarikan dimanapun

dan kapanpun melalui kepedulian dari sikap, kepercayaan dan perilaku.

102 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruz


Media Group.

Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Medan Area Dalam Angka, Medan: Badan
Pusat Statistik Kota Medan.

Banjarnahor, A. 2016. “Pengaruh Ritual Adat Batak Toba Dalam Penataan Ruang”
Skripsi. Medan: Digital Library UNIMED.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Harahap, Basyral Hamidy dan Hotman M. Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-Nilai


Budaya Batak, Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.

Hilman, Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,


Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta:


Direktorat Jendral Kebudayaan.

Parbato. 1998. Rumusan Seminar Adat Batak Toba Dalam Pedoman Umum
Pelaksanaan Adat Batak Toba, Medan: C.V Bintang, Inc.

Pelawi, Kencana Sembiring. 1998. Pandangan Generasi Muda Terhadap Upaara


Perkawinan Adat di Kota Medan, Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Revida, Erika. 2006. ”Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba Sumatera Utara”.
USU e-Journals, 5, II, hlm.214.

Rismawati. 2011. “Perkawinan dan Pertukaran Batak Toba”. Jurnal Academica


FISIP UNTAD, 3, II, hlm.715.

103 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Samosir, Purnama. 2016. “Kajian Yuridis Tentang Perkawinan Orang Batak Toba di
Perantauan Menurut Hukum Adat Batak”. Skripsi. Jember: Digital
Repository Universitas Jember.

Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: C.V Napitupulu.

Siahaan, Bisuk. 2005. Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu, Jakarta:
Kempala Foundation.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2002. Parandjak Dalam Lintasan Zaman, Jakarta:


Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

___________________________. 2011. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak


Toba, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

___________________________. 2016. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak


Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sinar, Tengku Luckman. 2009. Sejarah Medan Tempoe Doeloe, Medan: Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu.

Sinaga, Richard. 2012. Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama.

Sinaga, Yulia. 2012. “Ruang dan Ritual Adat Pernikahan Suku Batak Toba”. Skripsi.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan


Kebudayaannya, Bandung: Tarsito.

Vergouwen, J.C. 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta: LKis
Pelangi Aksara.

104 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


B. Website

https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
(Diakses tanggal 19 Maret 2020)

Togadebataraja.blogspot.com/2012/05/perkawinan-yang-dilarang-dalam
adat.html?m=1,
(Diakses tanggal 19 Maret 2020)

http://article.melayuonline.com/?a=SG9QL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D
(Diakses tanggal 20 Maret 2020)

https://www.hitabatak.com/kumpulan-umpasa-batak-untuk-acara-pesta-perkawinan/
(Diakses tanggal 20 Maret 2020)

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan
(Diakses tanggal 12 Maret 2020)

105 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Oppung Marhehe

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 77 Tahun

Pekerjaan : Penasehat Perkumpulan Marga dan Tokoh Adat

Alamat : Jalan Pendidikan, Lorong XI Medan

2. Nama : Oppung Napitupulu

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 72 Tahun

Pekerjaan : Pengurus Wisma Umum dan Pemilik Grosir

Alamat : Jalan A.R. Hakim, No. 181 Medan

3. Nama : Viktor Simanjuntak

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 68 Tahun

Pekerjaan : Tokoh Adat dan Kerabat Pemilik Wisma Bakti

Alamat : Jalan Bakti, No. 152 Medan

4. Nama : Murniaty Nababan

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Jalan Jati III, No. 57 Medan

106 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Nama : Poltak Simanjuntak

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : Pengusaha Musik dan Tokoh Adat

Alamat : Jalan Jati III, No. 47 Medan

6. Nama : Arkan Hutasoit

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 55 Tahun

Pekerjaan : Pendeta Gereja Protestan

Alamat : Jalan Pelajar, No. 130 Medan

7. Nama : Parningotan Simanjuntak

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 69 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan Setia Budi Perumahan Griya Safira Medan

8. Nama : Dormawati Purba

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 53 Tahun

Pekerjaan : PNS dan Tokoh Gereja

Alamat : Jalan Medan Tenggara 3, No. 37 Medan

107 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN

Lampiran 1

Peta Lokasi Penelitian

Sumber: Kecamatan Medan Area dalam Angka

108 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 2

Keberadaan Wisma Umum

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Sumber : Dokumentasi Umum

109 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber : Krisda Okt Local Guide

Lampiran 3

Keberadaan Wisma Bakti

Sumber : Dokumentasi Pribadi

110 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber : Dokumentasi Umum

Sumber : Desmand Galmed Local Guide

111 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 4

Bentuk Data Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Sumber : Dokumentasi Pribadi

112 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 5

Gambaran Adat Perkawinan Batak Toba

Sumber : Dokumentasi Umum

Pakaian adat perkawinan Batak Toba pada masa dahulu yang diperankan oleh model

Sumber : Netral News


Orang Batak Toba yang menari Tor-tor dalam adat perkawinan sebelum tahun 1970

113 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber : Dokumentasi Umum

Pelaksanaan ulaon unjuk di halaman

Sumber : Pardedejabijabi Wordpress

Masyarakat Batak Toba yang melaksanakan adat perkawinan pada tahun 1970

114 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pemberkatan janji perkawinan masyarakat Batak Toba tahun 1970 dan setelahnya

Sumber : Dokumentasi Pribadi

115 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber : Dokumentasi Umum
Pelaksanaan ulaon sadari di dalam wisma yang mulai dilaksanakan

pada tahun 1970 sampai sekarang

116 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 6

Lokasi Keberadaan Awal Suku Batak Toba

Sumber : Dokumentasi Umum

Sopo Guru Tatea Bulan merupakan tempat bermukim Raja Batak dan menjadi tempat
suku Batak Toba berasal dengan adat, tradisi dan kebiasaannya yang sudah
ada sejak lama dan masih dilakukan sampai sekarang.

117 Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai