Anda di halaman 1dari 159

Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan


Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Penulis:
Dedi Priyono, Desi Mery Kristina Marpaung,
Desi Riastuti, Four Dofi Sidabutar, Lastiur Bonita Sitorus,
Wildhan

Desain Cover:
Maman Triyono

Editor:
Nanda Linduarda, Renita Kusuma Wardani, Reza Ismullah,
Yuda Endri Hartati

Layout:
Dedi Priyono & Wildhan

Disclaimer:
Buku ini ditulis untuk memberikan informasi seputar Etika
Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Buku ini bertujuan untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Etika dan Sistem Nilai Kepercayaan II.
Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber
yang dianggap terpercaya serta diolah dengan usaha terbaik.
Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber
data Buku ini, sampai dengan dilaksanakan uji plagiasi.
Copyright © 2022 By PKTYYME
Edisi Pertama, 2022
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002


Tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksekutif bagi Pencipta aatau
Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelahsuatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakuykan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus jutarupiah).

Diterbitkan oleh:
Mahasiswa Pendidikan Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa Fakultas Bahasa dan
Budaya Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

Dibawah bimbingan:
Dr. Ir. Andri Hernandi, S.T., M.T.
Sri Sulihingtyas Drihartati, S. Hum., M. Hum.
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Daftar Isi

Daftar Isi......................................................................................iv
Kata pengantar ......................................................................... vii
Bab 1 Etika Politik ..................................................................... 2

A. Pengertian Etika ................................................................ 2


B. Pengertian Politik ............................................................. 5
C. Etika Politik ....................................................................... 7
1) Pengertian Etika Politik ............................................... 7
2) Hubungan Etika Politik ...............................................11
Bab 2 Perkembangan Politik Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa ...............................................................15

A. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945....15


B. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 .....25
1) Masa Orde Lama ..........................................................26
2) Masa Orde Baru ............................................................34
3) Masa Reformasi ............................................................43
Bab 3 Sistem Etika Politik .........................................................56

A. Pancasila sebagai Etika Politik ........................................56


1) Ketuhanan Yang Maha Esa. ........................................59
2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. .......................60
3) Persatuan Indonesia. ...................................................60

-iv-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
61

5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. ...... 62

B. Sistem Etika politik dalam perspektif Kepercayaan


Terhadap Tuhan Yang Maha Esa .................................... 64
Bab 4 Pancasila Sebagai sumber Etika .................................... 75

A. Nilai-nilai Pancasila ........................................................ 75


Nilai-Nilai Pancasila Menurut Jenjang : .......................... 76
1) Nilai Religius ............................................................... 76
2) Nilai Spiritual .............................................................. 76
3) Nilai Vitalitas ............................................................... 77
4) Nilai Moral ................................................................... 77
5) Nilai Materil ................................................................. 77
Nilai-Nilai Pancasila Menurut jenisnya ........................... 78
1) Nilai Ketuhanan .......................................................... 78
2) Nilai Etis ....................................................................... 78
3) Nilai Estetis .................................................................. 78
4) Nilai Intelek ................................................................. 78

B. Etika Kehidupan Berbangsa ............................................ 83


1) Pengertian, Maksud, dan Tujuan Etika Kehidupan
Berbangsa ..................................................................... 85

-v-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2) Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa ................86
3) Arah Kebijakan dan Kaidah Pelaksanaan Etika
Kehidupan Berbangsa ..................................................94
4) Mewujudkaan rasa persaudaraan antara sesama umat
atas dasar Cinta Kasih .................................................96
5) Memenuhi Kewajiban Kemanusiaan dalam Berbangsa
dan Bernegara ..............................................................98
6) Pancasila Sebagai Dasar Etika Kehidupan Berbangsa
Dan Bernegara............................................................ 100
7) Peran Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam Meningkatkan Karakter Bangsa ... 103
Bab 5 Manifestasi Etika Politik .............................................. 105

A. Manifestasi Etika Politik di Indonesia .......................... 105


B. Implementasi Sistem Etika Politik di Indonesia ......... 115
1) Gotong Royong .......................................................... 116
2) Musyawarah Mufakat (Rembuk/Sambung Rasa) ...... 119

C. Manisfestasi Etika Politik Dalam Organisasi


Kepercayaan.................................................................... 122
Daftar Pustaka ......................................................................... 123
Glosarium ................................................................................. 129
Indeks137
Riwayat Penulis ....................................................................... 139

-vi-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Kata pengantar
Rahayu...
Segala puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas segala kemuliaan dan welas asih-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan buku yang berjudul
Sistem Etika Politik Dalam Persefektip Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada para leluhur pendahulu
yang telah mewariskan tradisi yang luhur, karena berkat
pesan-pesan luhurnya penulis dapat mengarahkan
pemikirannya dalam penulisan buku ini. Tak lupa penulis
ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing Universitas
17 Agustus 1945. Semua Tokoh Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Serta semua pihak yang
turut berkontribusi dalam menyelesaikan buku ini.
Tujuan penulisan buku ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Etika dan Sistem Kepercayaan II, yang
ditugaskan kepada Mahasiswa semester 3 (Tiga) Program
Studi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, Fakultas Bahasa dan Budaya, Universitas 17 Agustus

-vii-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
1945 Semarang. Selain itu penulisan buku ini agar dapat
menjelaskan pemahaman tentang Sistem Etika Politik yang
berkembang di Indonesia khususnya pada kalangan
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam buku ini penulis menyajikan pandangan-pandangan
tentang Sistem Etika Politik yang sudah diterapkan oleh
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis sadar akan kekurangan dan kekeliruan yang
terdapat pada buku ini, oleh karena itu penulis mohon kritik
dan saran yang membangun dari pembaca, guna
meningkatkan kualitas buku ini. Harapan penulisan buku
agar pembaca dapat mendapatkan informasi dan
pemahaman tentang Sistem Etika Politik yang berkembang
di Indonesia khususnya pada kalangan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian
yang dapat penulis sampaikan, semoga buku ini dapat
membawa manfaat bagi pembaca, terimakasih.
Rahayu.

Penulis

-viii-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Etika Politik dalam Perspektif


Ajaran Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa

-1-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bab 1
Etika Politik
Dedi P & Desi R

A. Pengertian Etika

Etika dalam bahasa Yunani berasa dari kata “ethos" yang


berarti tempat tinggal, kebiasaan, padang rumput, adat,
kebiasaan, ahklak, perasaan, watak, sikap dan cara berfikir.
Menurut Suseno (dalam Alamsyah, 2012) Etika adalah
“filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran
dan pandangan moral dengan demikian, etika adalah sebuah
ilmu bukan sebuah ajaran”. Sedangkan pada Ensiklopedia
Indonesia (dalam Tim Direktorat Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, 2017) dikatakan bahwa
etika adalah “ilmu tentang kesusilaan yang menentukan
bagaimana patutnya hidup dalam masyarakat, apa yang baik
dan apa yang buruk, segala ucapan harus senantiasa

-2-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang peri keadaan


hidup dalam arti kata seluas-luasnya”. Berdasarkan
pengertian etika yang dimaksud, dapat didefenisikan bahwa
etika adalah suatu kebiasaan yang berasal dari tradisi yang
merujuk pada norma (perbuatan baik atau buruk manusia) di
masyarakat.
Berkembangnya pemahaman tentang pengertian etika di
Indonesia dapat dilihat dari filsafat Pancasila yang diakui
oleh rakyat Indonesia sebagai pedoman serta menjadi
Ideologi bangsa Indonesia. Pandangan lain tentang etika
berasal dari kearifan lokal (tradisi) bangsa Indonesia
khusunya pada kalangan Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang memandang etika sebagai
pedoman dalam berprilaku serta menjalin hubungan antar
sesama mahluk hidup.
Pandangan pengertian etika dalam Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dilihat
dari ajaran yang di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap ajaran pada masing-
masing Penghayat Kepercayaan mempunyai Ajaran yang
berbeda serta tidak lepas dari etika yang berbudi luhur.

-3-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Makna budi luhur dalam pemahaman Penghayat


Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, budi yang
mempunyai makna kesadaran tertinggi yang berisi keilahian
(cahaya Ketuhanan) yang mampu memberikan manusia
pepadhang (sinar terang) budi mempunyai arti kesadaran
tinggi berisikan cahaya ketuhanan (Keilahian) yang
memberikan sinar terang (pepadhang). Sedangkan luhur
mengandung makna tentang nilai kebaikan dan sikap mental
serta hal-hal yang terpuji (Tim Direktorat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, 2017).
Sistem etika bagi penghayat kepercayaan secara teori
memang tidak ada, akan tetapi dalam Ajaran Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa selalu mengedepankan
sikap budi luhur dalam menjalankan tindakan serta
pertimbangan yang mendasar dari hati nurani. Sistem etika
penghayat kepercayaan tercermin alam ungkapan “memayu
hayuning bawana” yang menjadi essensi dari sebuah konsep
Pendidikan karakter dalam sastra-sastra penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan tuntunan luhur serta menjadi pedoman
pendidikan karakter bagi penghayat dalam hidup sehari-hari.

-4-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(Endraswara, 2012). Konsep memayuhayuning bawana dikenal


dari semua kalangan pengehayat kepercayaan tentang
bagaimana cara menghormati dan menghargai alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

B. Pengertian Politik

Politik berasal dari kata “polis”, yaitu negara kota. Politik


dapat diartikan suatu disiplin ilmu pengetahuan dan seni.
Politik sebagai ilmu, karena politik atau ilmu politik memiliki
objek, subjek, terminologi, ciri, teori, filosofis dan
metodologis yang khas dan spesifik serta diterima secara
universal, disamping dapat diajarkan dan dipelajari oleh
banyak orang. Politik juga disebut sebagai seni, karena
banyak dijumpai politisi yang tanpa pendidikan ilmu politik,
tetapi mampu menjalankan roda politik praktis (Handoyo,
2016).
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain terwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Menurut (Anggriani Alamsyah, Sip., 2012) Politik juga dapat
dilihat dari sudut pandang yanng berbeda, antara lain:

-5-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

a. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara


untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik
Aristoteles).
b. Politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
c. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di
masyarakat.
d. Politik adalah segala sesuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang


berkaitan dengan manusia yang selalu hidup bermasyarakat.
Pada kodratnya ia adalah makhluk sosial yang selalu hidup
dinamis dan berkembang. Karena itu politik menjadi gejala
yang dapat mewujudkan diri manusia dalam rangka proses
perkembangannya. Manusia adalah pintu utama dari politik,
maka apapun alasannya tidak akan meninggalkan faktor
manusia. Oleh karena itu, politik yang berasal dari kata
“politic” (Inggis) menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan,
dalam bahasa latin dikenal dengan “politicus” dan bahasa
Yunani (Greek) “politicos” yang diartikan sebagai relating to a

-6-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

citizen. Istilah politik berkembang sedemikian rupa dan


kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan
mempunyai tiga arti, yaitu: “segala urusan dan tindakan atau
kebijaksanaan, siasat mengenai pemerintahan suatu negara
terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga
dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin
pengetahuan yaitu ilmu politik.
Menurut Frans Magnis Suseno (1987:20-21) dalam buku
(Anggriani Alamsyah, Sip., 2012) menguraikan kejelasan
bahwa “politis” bermakna bahwa pendekatan terjadi dalam
kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai
keseluruhan. Keputusan bersifat politis apabila diambil
dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
keseluruhan.

C. Etika Politik

1) Pengertian Etika Politik

Dalam ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang


Etika Kehidupan Berbangsa, Etika Politik dan Pemerintahan
diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar

-7-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar


kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-
besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan
golongan (Rizal & Zarkasi, 2019).
Menurut Suseno, 1987:8 yang dikutip dalam buku Etika
Politik (Anggriani Alamsyah, Sip., 2012) menyampaikan
bahwa etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi
politis kehidupan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang beragam, mereka memerlukan pengetahuan
yang tepat. Ilmu pengetahuan yang disusun secara
sistematik dan dengan mengembangkan metode-metode
untuk menambah, memperdalam dan membetulkannya.
Menurut Suseno 1987: 9-10, ilmu pengetahuan tersebut
berkembang menjadi “ilmu-ilmu pengetahuan khusus”.
Namun pengelompokan bidang keilmuan tersebut pada
akhirnya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat menyeluruh, yang harus dijawab dengan jawaban
yang sifatnya interdisipliner. Pertanyaan tersebut bisa
mengenai asal muasal manusia, bagaimana sebenarnya
manusia yang baik, tentang cita-cita manusia, tentang

-8-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

keadilan, pengorbanan dan lain-lain. Dalam hal ini,


pentingnya filsafat untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak dapat terjawab
oleh bidang keilmuan khusus. Filsafat umumnya dibagi atas
beberapa bidang, yakni:
a. Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam
bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan
(eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam
Onologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta
dibahas dalam Kosmologi.
b. Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah
pengetahuan (episteme yang secara harfiah berarti
“pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal
tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta
kebenaran suatu pengetahuan.
c. Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang
berlaku pada kehidupan manusia. Aksiologi
melahirkan dua cabang filsafat yang membahas aspek
kualitas hidup manusia, salah satunya tentang etika ;
Etika atau filsafat moral membahas mengenai
bagaimana seharusnya manusia bertindak dan

-9-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar


tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang
dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran,
tanggung jawab, suara hati dan sebagainya.

Etika masuk dalam kelompok filsafat praktis:

a. Etika umum, mempertayakan prinsip-prinsip dasar yang


berlaku bagi segenap tindakan manusia.

b. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip dalam


hubungan dengan kewajiban manusia di berbagai
lingkup kehidupannya.

Menurut Aristoteles, makhluk sosial adalah zoon


politicon, berarti sudah merupakan kodrat manusia untuk
hidup dalam masyarakat dan berinteraksi satu sama lain.
Etika politik membahas hukum dan kekuasaan (negara).
Hukum tanpa negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifatnya
normatif belaka; hukum tidak mempunyai suatu kemampuan
untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah
buta dan merosot ke tingkat sub-manusiawi karena tidak lagi
berdasar tatanan normatif.

-10-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Lebih lanjut dijelaskan dalam Ketetapan MPR Nomor


VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Etika
Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap
pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif,
siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik terbukti
melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya
bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata


krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-
pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak
melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan
berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

2) Hubungan Etika Politik

Sepanjang sejarah politik dan etika adalah tema yang tak


bisa terlepas atau selalu berkaitan sepanjang masa. Hal ini
penting karena sangat menyentuh kodrat (natura) hidup
bersama dari manusia. Hubungan antara etika dan politik
menjadi tema penting yang harus diperhatikan karena secara
langsung menyentuh kodrat hidup bersama dari manusia.

-11-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Hal ini menjadi komplek karena melihat realitas peradaban


hidup manusia. Tujuan etika bersifat praktis yang mana
mengantar orang untuk bertindak baik dan menjadi baik
(Bera, n.d.).
Menurut Aristoteles sebagai ilmu yang praktis, etika
lebih berhubunan dengan ilmu-ilmu filsafat lain yang
memiliki karakter praktis, seperti politik dan hukum.
Menurut Aristoteles mengembangkan teori politiknya
diawali dari prinsip etikanya (Nikomachen Ethics). Jadi bagi
Aristoteles politik dan etika bukan hanya berhubungan
antara satu dengan yang lain, melainkan terutama politik
mengandaikan etika dan etika mengandaikan pecetusan
sebuah kesempurnaannya. Menurut pandangan Aristoteles
hubungan etika dan politik dapat disimak dengan gamblang
dan tegas dari kalimat pertama (pembuka) buku etika,
Nicomachen Ethics, dan kalimat pembuka buku politiknya,
Politics (Pawestri, 2019).
Dimana hubungan etika dan politik dalam Aristoteles?
Persisnya hubungan etika dan politik menurut pandangan
Aristoteles dapat dilihat dalam Nicomachean Ethics, segala
sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas selalu menuju

-12-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

kepada suatu kebaikan tertentu (etika). Dalam Politics,


persekutuan aktivitas hidup bersama apapun lahir dan
dibangun dengan tujuan menggapai tujuan kesempurnaan
hidup bersama, dan tentunya tujuan itu mengejar kebaikan
tertinggi. Dengan demikian, politik adalah sistem tata hidup
bersama dalam polis tunduk pada etika dan mengandaikan
etika kebaikan sekaligus merupakan puncak kesempurnaan
cetusan etika.
Dari pandangan Aristoteles dapat disimpulkan bahwa
dalam kaitannya dengan etika dan politik adalah sangat
berhubungan. Dalam Aristoteles ada jembatan di antara
politik dan etika yaitu “Politik mengandaikan Etika” atau tak
terpisah (Bera, n.d.). Hubungannya dalam realitas bahwa
etika adalah pendasaran dari politik. Atau politik
menemukan dasar kodratinya pada etika (Pawestri, 2019).
Karena etika terdahulu yang harus dimiliki dan tentu
akhirnya mampu membangun kebaikan bersama.
Machiavelli adalah pendiri filsafat politik modern karena
Machivelli sendiri bertolak dari apa yang real. Realisme
Machiavelli adalah titik tolak paling jelas untuk suatu
revolusi etika politik. Bahwa antara politik (how one does live)

-13-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dan etika (how one should live) dalam kehidupan yang nyata
atau real. Politik bagi Machiavelli tidak masuk dalam ruang
lingkup etika keutamaan manusiawi seperti yang digagas
oleh para filosof tradisional atau klasik (Sokrates, Plato,
Aristoteles, Aquinas). Politik dengan demikian dilepas
dengan gandengan dengan etika. Politik memiliki jalur
keutamaannya sendiri yaitu berkaitan dengan keutuhan
negara. Politik harus dijalankan guna kestabilan tahta dan
keutuhan negara dari aneka ancaman. Realisme Machiavelli
merevolisi cara pandang tradisional mengenai politik (sistem
hidup bersama). Teori politik Machiavelli dengan demikian
akan meninjolkan politik seakan-akan menjadi semacam
kumbangan kotor tanpa etika.

-14-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bab 2
Perkembangan Politik
Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa
Fourdofi & Lastiur

A. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Sejarah Indonesia sebenarnya telah dimulai pada masa


kerajaan. Sebelum dan sesudah nusantara (Indonesia)
disatukan oleh Sumpah Palapa Gajah Mada, bangsa yang
mendiami Nusantara ini, sudah mempunyai kebudayaannya
masing-masing yaitu Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak merupakan agama yang

-15-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

didatangkan dari luar negeri melainkan penganut agama asli


Nusantara jauh sebelum agama-agama asing dari luar negeri
yaitu Hindu, Budha, Islam, Kristen, Khatolik, dan Khonghucu
masuk ke wilayah Indonesia. Oleh sebab itu Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah asli
Nusantara (Indonesia), yang sejak dahulu telah berakar di
dalam jiwa kebudayaan bangsa Indonesia.
Penghayat kepercayaan ini menjiwai hasrat sosial dan
budaya yang berkembang di dalam masyarakat dan menuju
kesempurnaan nilai-nilai dan sifat-sifat lokal. Kebudayaan
Indonesia asli, di jiwai oleh Penghayat Kepercayaan yang
didasari oleh pandangan hidup yang bersifat kosmis.
Masyarakat desa yang kecil jumlahnya merupakan kosmos
bagi anggota-anggotanya. Di situ kepercayaan merupakan
gejala yang mempengaruhi seluruh pola kebudayaan dan
yang lebih dominan dari unsur hidup kemasyarakatan lain.
Manusia didesak untuk mengatasi pengetahuan dan
pengalaman empiris yang terbatas dalam suatu sistem
kepercayaan terhadap Tuhan transenden, artinya mengatasi
semesta alam. Manusia yang merindukan Tuhan dan

-16-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

berserah kepada-Nya sebagai tujuan segala sesuatu yang


berubah (Kristiadi Dkk, 1983)
Di dalam pertemuannya dengan agama-agama yang
datang dari luar negeri seperti Hindu, Budha, Islam, dan
Kristen timbul bermacam-macam kemungkinan, seperti
koeksistensi heterogen dan sinkretisme dari keduanya,
pertobatan semua di mana kepercayaan asli menyusup ke
dalam agama asing lewat reinterpretasi lokal, kompromi dan
pemalsuan agama asing, serta asimilasi dan pempribumian.
Cerita mengenai wali-wali, seperti Sunan Bonang dan Sunan
Kudus, kisah Syech Siti Jenar penganut paham Kawulo Gusti
merupakan contoh-contoh terjadinya pergulatan antara
kepercayaan asli (kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa) dan agama Islam. Tetapi pada umumnya agama-agama
yang datang dari luar masuk kepulauan Nusantara
berkembang secara damai. Para Brahmana dan Budhis dapat
hidup rukun dan damai. Begitu pula dengan agama Islam.
Pandangan-pandangan hidup yang sangat dipengaruh
oleh alam sekitar, seperti agraris dan bahari, tidak luntur
oleh pengaruh dari agama-agama luar negeri, justru semakin
diperdalam dan diberi isi yang lebih luhur. Bahkan prinsip-

-17-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

prinsip lama, yang dipusakai turun-temurun oleh bangsa


Indonesia itu sekarang telah menjadi suatu pandangan hidup
yang up-to-date menjadi philosophische grondslag bagi
Negara Indonesia Merdeka (Nasrun, 1954).
Kepercayaan asli terus berlangsung, meskipun agama-
agama asing itu menjadi agama negara. Nilai-nilai maupun
tradisi-tradisi yang dihormati dan dilaksanakan di desa terus
berjalan, dan masyarakat pedesaan mampu mencapai
perwujudan atas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa secara otentik, meskipun dalam taraf yang sederhana.
Namun demikian, harus diakui bahwa pengaruh Hindu dan
Islam telah memperkaya kebudayaan Nusantara.
Sistem religi jelas sekali mengalami perkembangan-
perkembangan dari sistem religi yang lebih dekat dengan
yang dinamakan animisme ataupun dinamisme dengan
unsur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mulailah
terdapat gejala sistem dewa-dewa. Ada faktor yang
mempengaruhi perkembangan demikian itu. Pertama, para
raja waktu itu berusaha membuat silsilahnya sampai kepada
para dewa. Kedua, masuknya sastra Hindu, khususnya
Wiracarita, Ramayana, dan Mahabarata, di mana dewa-dewa

-18-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

ada di dalamnya. Pola perkembangan kultural bangsa


Indonesia pada jaman Islam pada dasarnya tidak banyak
berbeda dengan yang terjadi di dalam proses masuknya
pengaruh Hindu. Terjadilah perubahan-perubahan di dalam
sistem kemasyarakatan (khususnya sistem politik), bahasa,
kesenian, dan tentu saja di dalam sistem religi (Kristiadi Dkk,
1983).
Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 sampai sekitar abad ke-17, pada hakikatnya merupakan
suatu proses akulturasi. Masih tetap ada kontinuitas. Subyek
budaya masih tetap satu, yaitu masyarakat Nusantara, yang
berkembang dan diperkaya dengan unsur-unsur Hindu dan
Islam. Seperti halnya tidak terjadi proses Hinduisme maka di
dalam perkembangan masyarakat nusantara itu pun tidak
terjadi arabisasi. Tetapi harus diakui Hinduisme maupun
Islam ikut memperkaya perkembangan masyarakat dan
kebudayaan Nusantara, khususnya di bidang religi, bidang
kemasyarakatan, di dalam bahasa dan kesusastraan serta
dalam bidang kesenian.
Periode penjajahan Belanda, struktur kemasyarakatan di
Indonesia, yang sering dikenal dengan feodalisme, tidak

-19-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

banyak berubah, justru di sana-sini diperkuat oleh penjajah


Belanda, untuk kepentingan politiknya. Dipandang dari segi
sosio kultural, penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (istilah sekarang) ada dan tumbuh di masyarakat
Indonesia. Tetapi pemerintah penjajah Belanda secara tidak
langsung menolak eksistensinya. Mereka dikesampingkan
dan sering disebut sebagai kaum abangan. Bagi mereka
sebetulnya berlaku Hukum Adat, tetapi dalam prakteknya
tidak demikian. Hukum Islam dipaksakan berlaku kepada
penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi celakanya bagi kaum Kebatinan, yang dimaksudkan
dengan 'Hukum Adat' di dalam peraturan kolonial itu ialah
Hukum Islam' karena pemerintah Hindia Belanda berkuasa di
Indonesia (Jawa) pada 'Jaman Islam'. Penguasa Baru itu
bermaksud 'menghormati' Adat Rakyat (tentunya agar tidak
berontak), tetapi ternyata 'keliru hormat'. Janganlah
golongan Islam, karena adanya ketentuan yuridis formal itu
yang sekarang ini masih berlaku lalu bersitegang untuk tetap
berpegang kepada hukum positif kolonial yang tidak realistis
itu, untuk memaksakan Kaum Kebatinan agar memeluk
Islam. Golongan Islam dengan lapang dada sudi menyadari

-20-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

bahwa setiap orang Jawa bukan Kristen memang turun-


temurun melakukan akad nikah dan memasuki liang kubur
menurut Hukum Islam (Kristiadi Dkk, 1983).
Kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, muncul
suatu gerakan untuk menghargai kembali kebudayaan
Indonesia yang dipelopori oleh Budi Utomo, yang didirikan
oleh Dr. Sutomo, pada tahun 1908. Gerakan ini mendapat
dukungan dari keluarga Raja Mataram, baik dukungan moril
maupun materil. Dengan penghargaan kembali kebudayaan
Indonesia pada awal abad-20 itu, bangkit pula kepercayaan
yang merupakan jiwanya. Unsur terpenting dalam gerakan
ini adalah usaha untuk menyadari identitas diri pada tingkat
yang lebih dalam yang biasa disebut kebatinan. Oleh sebab
itu selama bangsa Indonesia tetap berwujud Indonesia,
kepribadian asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia,
baik dalam agama maupun luarnya (Muskens, 1973).
Gerakan Budi Utomo itu membangkitkan kembali
kebudayaan Indonesia, termasuk kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Kebangkitan itu jelas nampak dalam
sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang bersidang pada bulan Juni dan Juli

-21-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

1945, untuk membahas dasar Negara Indonesia Merdeka.


Dalam sidang-sidang yang membahas dasar negara,
terungkaplah adanya pertentangan antara kelas kelompok
penganut alam pikiran yakni:

1. Kelompok yang menganut alam pikiran Islam;


2. Kelompok yang menganut alam pikiran Barat yang
sifatnya sekular;
3. Kelompok yang menganut alam pikiran Kebangsaan.

Kelompok penganut alam pikiran Islam menghendaki


agar Islam menjadi dasar negara dan agam Islam menjadi
agama negara. Kelompok yang terpengaruh oleh alam
pikiran Barat yang bersifat sekular menekankan perlunya
sistem Parlementer Barat dan hak-hak asasi manusia (yang
lebih bersifat individualistis). Sedangkan kelompok
kebangsaan menghendaki agar Negara Indonesia Merdeka
nanti berdasarkan kebangsaan, yang tentunya bersumberkan
pada kebudayaan nasional Indonesia. Beberapa saran dan
usul diajukan dalam sidang ini, antara lain dari anggota
Supomo, anggota Wongsonagoro, anggota Latuharhary,
anggota Dahler dan anggota Sukardjo Wirjopranoto, yang

-22-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

nampaknya mewakili kelompok kebangsaan. Anggota


Supomo mengusulkan agar negara Indonesia yang akan
didirikan disesuaikan dengan keistimewaan sifat dan corak
masyarakat Indonesia. Di dalam pidatonya di BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945, anggota Supomo menjelaskan sebagai
berikut: “Tiap-tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri-
sendiri berhubung dengan riwayat dan corak masyarakatnya.
Oleh karena itu politik pembangunan Negara Indonesia
harus disesuaikan dengan "sociale structuur" masyarakat
Indonesia, yang nyata pada masa sekarang, serta harus
disesuaikan dengan panggilan jaman.
Struktur sosial Indonesia yang asli tidak lain ialah
ciptaan kebudayaan Indonesia, ialah buat aliran pikiran atau
semangat kebatinan bangsa Indonesia. Maka semangat
kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia
bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo
dan gusti yaitu, persatuan antara dunia luar dan dunia batin,
antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinya. Segala manusia sebagai seseorang,
golongan manusia dalam masyarakat dan golongan-
golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat

-23-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dalam pergaulan hidup didunia seluruhnya dianggap


mempunyai tempat dan kewajiban hidup sendiri-sendiri
menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada
keseimbangan lahir dan bathin.
Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang
lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia, segala
golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan
bersangkut paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari
bangsa Indonesia, yang berwujud dalam susunan
tatanegaranya yang asli. Sehubungan dengan ide
integralistik, anggota Supomo juga menjelaskan: “jika kita
hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan
keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka
negara kita harus berdasar pada aliran pikiran (Staatsidee)
negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-
golongannya dalam bentuk apapun” (Muh, 1971).

-24-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

B. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische


Compagnie (VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan
ekonomi dan politik di pulau Jawa setelah
runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda
ini telah menjadi kekuatan utama di perdagangan Asia sejak
awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai mengembangkan
minat untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau
Jawa demi meningkatkan kekuasaannya pada ekonomi lokal.
Akar Politik Agama adalah dampak dari rangkaian
kontestasi politik yang telah berlangsung sejak masa
penjajahan Belanda, kontestasi politik antara kelompok
masyarakat terjadi karena kebijakan pemerintah Belanda
yang membedakan dan mempolarisasi kelompok-kelompok
masyarakat jajahan, dan kontestasi sosial pada level
masyarakat sendiri. Berkaitan dengan isu agama leluhur, ada
dua “peristiwa” di masa kolonial Belanda yang dapat
ditemukan sebagai akar ketegangan yang kemudian
mendasari upaya politik menjadikan agama sebagai alat
(politik agama). Pertama adalah pertentangan Islam vs. adat,

-25-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dan kedua adalah kontestasi “santri” vs. “abangan.”


Pertentangan tersebut berlanjut hingga menjelang
kemerdekan Indonesia, termasuk pada masa di mana
konstitusi negara dirumuskan, hingga pada proses di mana
kata “agama” dan “kepercayaan” dimasukkan dalam
konstitusi UUD 1945 (Maarif, 2018).

1) Masa Orde Lama

Pada rapat Panitia Perancang UUD tanggal 13 juli 1945,


anggota Otto Iskandardinata mengusulkan agar kalimat
dalam rancangan Preambule yang berbunyi “Negara berdasar
atas Ketuhanan dengan wajib menjalankan shari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” di masukkan sebagai ayat 1 pasal
29 rancangan UUD, dan rancangan asli pasal 29 yang
berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama apapun dan bentuk beribadat
menurut agamanya masing-masing”

Kemudian atas usul anggota Wongsonagoro


ditambahkan kata-kata “dan kepercayaannya” di antara kata
“agama” dan “masing-masing” sehingga ayat 2 itu bunyi

-26-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

lengkapnya sebagai berikut: “Negara menjamin kemerdekaan


tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-
masing” (Kristiadi Dkk, 1983)
Pada tanggal 7-9 November 1970, BK5I mengadakan
simposium. Prof. Pringgodigdo, salah satu perumus UUD
1945, menjelaskan di simposium tersebut bahwa pengertian
“Kepercayaan” pada Pasal 29 adalah kebatinan, kejiwaan,
dan kerohanian. Selain itu, kedudukan kepercayaan adalah
sejajar dengan agama (Dwiyanto, 2010:287).

Pada bulan berikutnya, tepatnya pada 27-30 Desember


1970, mereka melaksanakan Musyawarah Nasional
Kepercayaan di Yogyakarta. Dalam musyawarah tersebut,
mereka menegaskan bahwa salah tafsir terhadap Pasal 29
UUD 1945 telah merugikan kepercayaan. Kata “kepercayaan”
pada pasal tersebut seharusnya dipahami dan diakui sejajar
dengan agama. Penghayat kepercayaan berhak mendapatkan
perlakuan setara di hadapan hukum, hak organisasi,
pengajaran kebatinan di sekolah, hak perkawinan khusus,
dan subsidi dari pemerintah. Mereka menjelaskan bahwa
kata “kejiwaan” (dari jiwa) dan “kerohanian” (roh) muncul

-27-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

setelah “kebatinan.” Semua kata-kata tersebut dirangkum


menjadi kepercayaan.
Dari beberapa pengertian diatas mengenai kepercayaan
bahwa yang disebut kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian
hakikatnya adalah kepercayaan itu sendiri. Hal ini dipertegas
oleh Rahmat Subagja yaitu sebagai berikut:
Kebatinan mengandaikan adanya ruang hidup di dalam
diri manusia yang bersifat kekal. Di situlah terdapat
kenyataan mutlak, latar belakang terakhir dan definitif dari
segala yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu saja.
Seluruh alam kodrat dengan segala daya tenaganya hadir
secara immanent di dalam batin itu dalam wujud kesatuan
tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bila manusia
mengaktivir daya batinnya dengan rasa atau samadhi, dia
membebaskan diri dari prasangka tentang keanekaragaman
bentuk kehidupan yang dijalaninya.
Kejiwaan mengajarkan semacam psychotehnik, melalui
jiwa/mental abadi manusia menyadari diri bebas-mutlak
yang tidak tergantung pada apa saja yang ada di luarnya.
Manusia dibimbing untuk mengatasi batas-batas hukum
alam dan logika untuk menuju ke realisasi jiwa sendiri, yang

-28-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

penuh rahasia. Di dalam kebebasan itu manusia mengalami


kemuliaan dan kebahagiaannya. Kejiwaan ini bersifat
anthroposentris, netral terhadap nilai-nilai keagamaan dan
sering melakukan psychotherapie atau penyembuhan melalui
daya jiwa. Kejiwaan itu berkembang, baik dalam paham
pantheis, maupun dalam keyakinan monotheis.
Kerohanian memperhatikan jalan, melalui mana roh
manusia sudah dalam zaman sekarang ini dapat menikmati
kesatuan dengan roh mutlak, sumber-asal dan tujuan roh
insani. Terdapatlah kerohanian monistis, roh insani yang
dianggap mengalir daripada Tuhan dialihkan kepada hakikat
illahi dengan kehilangan identitasnya sendiri. Terdapat pula
kerohanian theosentris, di mana roh tercipta merasa
dipersatukan dengan Tuhan Pencipta tanpa kehilangan
kepribadiannya sendiri, tetapi melalui jalan budi atau gnosis,
melalui cinta, bhakti atau tawakkul.
Tentu saja ketiga bentuk kepercayaan ini tidak eksklusif
satu sama lain. Ketiga-tiganya memuat tema yang sama,
Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa perbincangan
tentang penggolongan ini membawa kita lebih dekat kepada
masalah kebatinan atau "kepercayaan" dalam dirinya sendiri.

-29-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Tiada keberatan ilmiah untuk tetap memakai sebutan


Kebatinan untuk seluruh gerakan yang dilukiskan di sini,
mengingat bahwa kebatinan pun bergerak di bawah lambang:
"bhinneka tunggal ika" (Rahmat, 1981)
Uraian konsep-konsep tersebut didasarkan pada
mistisisme Jawa atau kejawen (sering dikonotasikan dengan
takhayul, magis, dan klenik). Konsep-konsep tersebut
semuanya menekankan makna keyakinan pada Tuhan Yang
Maha Esa. Selain itu, penghayat kepercayaan juga memiliki
rangkaian doktrin dan struktur umat, sehingga
kedudukannya tak perlu diragukan setara dengan agama
(Patty, 1986:10;Dwiyanto,2010:287).
UU No.1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama adalah peraturan perundang-undangan
pertama yang secara langsung melegitimasi agama (sesuai
defnisi agama usulan DEPAG), sekaligus mendelegitimasi
kebatinan/kepercayaan (sebagai bukan agama), dan bahkan
“mengkriminalisasi” kelompok kebatinan/kepercayaan. Pasal
1 dari UU tersebut misalnya dinyatakan:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan

-30-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dukungan umum, untuk melakukan penafsiran


tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama
itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu”

Upaya untuk mengimplementasikan defnisi agama


sebagaimana diusulkan sebelumnya terus dilakukan. Pada
tahun 1961, status PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat) ditegaskan melalui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian
negara. Pasal 2 ayat (3) misalnya berbunyi, “Mengawasi
aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara.” Kemudian Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia juga dikeluarkan. Dalam UU
tersebut, Pasal 2 ayat (3) menegaskan (bahwa tugas
kejaksaan) “mengawasi aliran- aliran kepercayaan yang
dapat membahayakan masyarakat dan negara.” Selain itu,
UU tersebut juga mempertegas bahwa PAKEM berada di
bawah kejaksaan, bukan lagi dibawah DEPAG (Sihombing,

-31-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

2008). Pengalihan dan penegasan status PAKEM bertujuan


untuk menegaskan dan mengefektifkan fungsinya:
mengawasi perkembangan kebatinan. Selanjutnya sejak
tahun 1961, berdasarkan Surat Edaran Departemen
Kejaksaan Biro PAKEM Pusat No. 34/ Pakem/S.E./61 tanggal
7 April 1961, institusi PAKEM didirikan di setiap provinsi dan
kabupaten.
Defnisi agama kembali diajukan oleh DEPAG (pada tahun
1961). Defnisi tersebut mencakup adanya kitab suci, nabi,
kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, dan sistem hukum
bagi pemeluknya. Defnisi agama tersebut adalah pertama,
untuk menegaskan siapa yang dapat dan tidak dapat diakui,
karenanya dapat dan tidak dapat dilayani oleh negara, kedua,
untuk menekan kelompok kebatinan. Kelompok kebatinan
dikondisikan sehingga tidak dapat memenuhi defnisi agama.
Perlu dicatat bahwa defnisi agama usulan DEPAG tersebut
tidak pernah diundang-undangkan, atau menjadi catatan
resmi negara. Sekalipun demikian, defnisi agama tersebut
disinyalir menjadi dasar bagi Presiden Sukarno
mengeluarkan PERPRES yang kemudian menjadi UU No.
1/PNPS 1965 pada tanggal 27 Januari 1965 (Trisno S, 2011).

-32-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bagi negara, melalui UU. No. 1/PNPS/1965 ini, agama


(betapa pun definisinya diperdebatkan) sudah jelas mengikat
Enam agama yang pertama diakui, dijamin dan dilayani,
Sementara penganut agama leluhur diakui dan dilindungi,
tetapi tidak dilayani, sekalipun fakta di lapangan
menunjukkan bahwa tidak pernah ada pelayanan
terhadapnya. Sementara, alih-alih diakui sebagai agama,
kebatinan/kepercayaan justru diklaim bertentangan dengan
agama, dan penganutnya diklaim mengancam negara dan
ketertiban umum.
Penganut kepercayaan disetarakan dengan penganut
agama-agama lain, dan ada kalanya diperlakukan berbeda.
Pasang-surut itu terkait erat dengan perdebatan tentang
agama vs kepercayaan para pendiri bangsa. Pada 1952,
Departemen Agama (DEPAG) mengusulkan agar syarat-
syarat “agama” mencakup adanya nabi, kitab suci, dan
pengakuan internasional. Setahun kemudian, pada 1953,
DEPAG membentuk badan khusus, disebut Pengawasan
Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), yang bertujuan
mengawasi agar jangan sampai aliran kepercayaan menjadi
agama. Berbagai organisasi penghayat mengonsolidasikan

-33-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

diri melalui kongres yang diselenggarakan pada 1950-an


(Aryono, 2018).

2) Masa Orde Baru

Tercantumnya Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945


yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 telah
menjadi landasan yang kuat bahwa hak-hak asasi manusia
akan cukup mendapat perlindungan dalam UUD 1945. Selain
itu kepercayaan adalah suatu kenyataan yang hidup di
Indonesia. Hal itu diakui pula oleh negara. Penjelasan UUD
1945 menjelaskan bahwa pasal 29 ayat 1 itu menyatakan
“kepercayaan Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa”
Pengakuan atas agama Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu Bali, Budha dan Konghucu sebagai agama
berdasarkan kenyataan bahwa agama-agama itu dianut oleh
banyak orang di Indonesia, namun ternyata belum mencakup
seluruh bangsa, karena di Indoneisa masih terdapat banyak
orang yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi
tidak memeluk salah satu agama itu.
Mereka itu menamakan dirinya sebagai penganut atau
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

-34-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Sebagian dari mereka menganut salah satu dari banyak aliran


kepercayaan, yang sejak tahun 1970 mempunyai Sekretariat
Kerjasama Kepercayaan Indonesia (SKKI) sebagai wadah
Kerjasama untuk memajukan kepercayaan dan
memperjuangkan hak-haknya.
Orde Baru yang menyatakan tekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, telah
mengakui dan mendudukkan Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa di tempat yang selayaknya.
MPR sebagai lembaga tertinggi negara mendudukkan
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sebagai unsur keyakinan pribadi setara dengan agama,
meskipun disebutkan secara terpisah dari agama. Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa disebutkan
dalam beberapa pasal Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 dan
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, dan yang
terpenting lagi adalah Ketetapan MPR No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayat dan Pengamalan Pancasila atau
Eka Prasetia Pancakarsa. Di dalam penjelasannya, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978) menyatakan bahwa: "Dengan rumusan Sila

-35-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut pada Bab II angka I tidak


berarti bahwa negara memaksa agama atau suatu
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebab agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keyakinan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya. Kebebasan agama adalah
merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-
hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung
bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian
Negara atau bukan pemberian golongan".
Secara sosio kultural, kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa memang ada dan hidup di masyarakat. Bahkan
pemerintah Orde Baru telah menempatkannya pada
kedudukan yang sebenarnya, karena kepercayaan Tetap
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, tetap
berlaku UUD 1945, adanya ketetapan MPR-RI No.
IV/MPR/1973, No. II/MPR/1978 dan No. IV/MPR/1978 serta
beberapa peraturan perundangan lain, merupakan bukti

-36-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

nyata sikap pemerintahan Orde Baru yang tetap konsisten


memberi pengakuan atas eksistensi kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978 kedudukan Pancasila semakin jelas bahwa:
a. Pancasila adalah sumber hukum dari segala sumber
hukum Negara Republik Indonesia.
b. Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia
c. Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran
dan cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur bangsa
Indonesia
d. Pembukaan UUD 1945 adalah penuangan jiwa
Pancasila
e. Pembukaan UUD 1945, yang sekaligus memuat
Pancasila tidak dapat diubah oleh siapa pun termasuk
oleh MPR hasil pemilu, karena mengubah isi
Pembukaan UUD 1945 berarti pembubaran Negara
f. Tata urut dan rumusan Pancasila yang benar adalah
yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang
disahkan oleh PPKI pada tanggal 18Agustus, yakni:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

-37-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(Kristiadi Dkk, 1983).

Setelah kekuasaan beralih ke Suharto pada tahun 1968,


Suharto mulai menancapkan fondasi rezim Orde Baru. Dalam
Kongres Subud Sedunia ke-IV di Jakarta tanggal 5 Agustus
1971, Presiden Soeharto mengatakan:
“Penghayat kepercayaan atau kerohanian atau kejiwaan
namanya mempunyai tempat yang terhormat dalam
masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Oleh
karena itu pemerintah tidak melarang adanya penghayat
semacam itu, bahkan harus memberikan tempat yang wajar,
seperti diatur dalam UUD 1945”

Wakil Presiden Adam Malik, semasa menjabat Ketua


DPR/MPR tahun 1977 mengatakan:

“Penghayat kepercayaan memang ada dalam masyarakat dan


diakui oleh UUD 1945 Tapi yang terang, penghayat
kepercayaan diakui ada. Tidak dimusuhi dan tidak dilarang.

-38-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Penghayat kepercayaan punya hak hidup dalam masyarakat


kita”

Sejak awal pembentukan Golkar mendirikan,


menghidupkan kembali organisasi-organisasi kebatinan.
Pada akhir tahun 1960-an, kelompok kebatinan menerima
dukungan dari elit-elit politik dan militer yang memiliki latar
belakang kejawen. Pada Februari 1970, para pimpinan
kelompok kebatinan secara informal diminta untuk
bergabung ke Golkar (Patty,1986:10). Organisasi Kebatinan
(BKKI) yang sempat vakum akibat pergolakan politik anti-
komunis dan tekanan kelompok Islam politik kembali
dihidupkan di bawah Golkar, partai pemerintah. BKKI
bertransformasi menjadi BK5I (Badan Kongres Kepercayaan
Kejiwaan Kerohanian Kebatinan Indonesia) yang dianggap
setara dengan persatuan Ulama Indonesia (untuk umat
Islam), dan dikelola di bawah Sekretariat Kerjasama
Kepercayaan (SKK) Golkar. Di bawah SKK Golkar, kelompok
kebatinan diminta untuk mengganti nama “kebatinan”
menjadi “kepercayaan.” Seperti terlihat sebelumnya,
keduanya, “kebatinan” dan “kepercayaan”, sebenarnya
digunakan secara bergantian. Di bawah Golkar,

-39-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

“kepercayaan” diminta untuk lebih dipopulerkan.


Pertimbangannya adalah untuk menegaskan status hukum
(konstitusional) kelompok tersebut (Patty, 1986:11).
Pada 20 Januari 1971, delegasi Munas Kepercayaan yang
diketuai oleh Mr. Wongsonegoro menghadap Presiden
Suharto. Mereka mengajukan empat hal: 1) legalitas
kehidupan kepercayaan (kebatinan, kerohanian, kejiwaan), 2)
pendidikan moral Pancasila, 3) kedudukan Sekretariat
Kerjasama Kepercayaan, dan 4) perayaan Satu Syuro sebagai
hari besar Kepercayaan. Sebagai tindak lanjut, pada 27
Januari 1971 “Satu Syuro Syaka 1901” dirayakan di berbagai
tempat, dengan doa, sesaji, pewayangan, serta sambutan-
sambutan, termasuk sambutan yang dibawakan langsung
oleh Presiden Suharto. Segera setelah perayaan Satu Syuro
tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Februari 1971 Senat
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga mengeluarkan
deklarasi yang isinya, “Ketuhanan tanpa agama tidak diakui
oleh UUD 1945. Kepercayaan dan agama tidak (boleh)
disejajarkan dalam UUD 1945” Selain itu, juga dilaporkan
bahwa sampai pada tahun 1971, sudah ada 167 aliran yang
dilarang oleh Jaksa Agung (Dwiyanto, 2010:288).

-40-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Posisi politik dan dukungan pemerintah terhadap


kelompok kepercayaan semakin meningkat setelah pemilu
1971, di saat mana partai Islam kalah. Sekretariat Kerja Sama
antar-Kepercayaan Kebatinan, Kejiwaan dan Kerohanian
(SKK) terus berusaha untuk mensistematisasi dan
memformalkan ajaran-ajaran kepercayaan dengan tujuan
untuk memenuhi “persyaratan” pengakuan, berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 27 No 40 Tahun
1978 telah dibentuk Direktorat Pembinaan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang
mempunyai tugas antara lain membina kehidupan
masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Meskipun demikian, pengakuan atas eksistensi
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh beberapa
tokoh atau pihak-pihak lain akan semakin memperkuat
eksistensi kepercayaan itu dan dapat membantu
mendudukkan persoalan pada tempat yang sebenarnya.
Secara rinci dapat dilihat bahwa dalam TAP MPR RI No:
IV/MPR/1973 tentang GBHN, agama dan kepercayaan adalah
dua kategori kelompok warga yang eksistensinya sama-sama
diakui sebagai satu kesatuan bangsa yang perlu

-41-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dikembangkan. Pada Bab IV “Pola Umum Pelita Kedua”


bagian (D): Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan, secara
spesifik keduanya dituliskan “Agama dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Di antara poin-poinnya
adalah sebagai berikut:
1. Rukun diantara sesama ummat beragama sesama
penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan antara semua ummat beragama dan semua
penganut Kepercayaan terhadap Atas dasar
Kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang
Maha Esa maka perikehidupan beragama dan
perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa didasarkan atas kebebasan menghayati dan
mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai
dengan Falsafah Pancasila.
2. Pembangunan Agama dan Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa ditujukan untuk pembinaan
suasana hidup Tuhan Yang Maha Esa serta
meningkatkan amal dalam bersama-sama membangun
masyarakat.

-42-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

3. Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang


diperlukan bagi pengembangan kehidupan
Keagamaan dan kehidupan Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan Agama
yang dimasukkan kedalam kurikulum di sekolah-
sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan
universitas-universitas negeri.

3) Masa Reformasi

Wacana reformasi keyakinan juga diramaikan dengan


istilah-istilah seperti agama leluhur, agama lokal, agama
primordial, agama nusantara, bahkan kearifan lokal. Sebagai
wacana publik pada masa Reformasi, istilah-istilah ini
memiliki banyak arti. Penganut Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa merujuk pada kelompok sipil yang
mengalami diskriminasi sepanjang sejarah Indonesia dan
perlu diperjuangkan. Istilah-istilah ini diucapkan berbeda
dari agama resmi yang diakui dan dilayani oleh negara.
Agama-agama ini adalah agama impor dan kepercayaannya
adalah agama leluhur (warisan). Wacana ini mengisyaratkan
bahwa negara sebenarnya lebih disibukkan dengan orang

-43-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

asing ("resmi" agama impor) dan "kejam" terhadap negara


sendiri, penganut agama leluhurnya dan 'irregularitas'.
Wacana tentang agama leluhur menjadi semakin populer
selama periode ini.
Perbedaan antara “agama” dan “keyakinan” ini memiliki
sejarah panjang sejak tahun 1945, sebagaimana diperjelas
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016
(2017). Mempertimbangkan perdebatan tahun 2000 tentang
amandemen UUD 1945, hakim Mahkamah Konstitusi
menyimpulkan bahwa iman (aliran/penghayat) diakui identik
dengan pemeluk agama. Pasal 28E(2) (Bagir, 2020). Dalam
sejarah panjang kepercayaan leluhur dan pemeluk agama,
keputusan untuk mengakui kesetaraan dengan pemeluk
agama ini merupakan pengakuan tertinggi yang mereka
terima sejak awal sejarah Indonesia.
Sementara pemerintah berusaha untuk memimpin
perspektif yang sehat, perbedaan antara agama dan
kepercayaan mempengaruhi negara untuk memperlakukan
mereka secara tidak setara. Agama dikelola oleh
Kementerian Agama, sedangkan agama dikelola oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebelumnya

-44-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Kementerian Pariwisata). Pada dasarnya, UU PNPS 1965


tidak mengacu pada "agama resmi". Namun, Undang-Undang
Pengendalian Penduduk 2013 menggunakan istilah “agama
yang tidak diakui”. Agama yang tidak diakui adalah sekte
kepercayaan. Penduduk yang menganut agama yang "sudah"
diakui mendaftarkan agamanya. Mereka yang memiliki
keyakinan "tidak diakui" dapat mengosongkan kolom Agama
pada tahun 2006 dan menyatakan diri sebagai denominasi
Tuhan Yang Maha Esa di kolom Agama mulai tahun 2018
(Aryono, 2018).
Perkembangan terbaru dalam kebijakan
kewarganegaraan orang percaya adalah Undang-Undang
Pengendalian Penduduk 2006 (Adminduk). Undang-undang
ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
orang-orang yang beriman, meskipun sangat terbatas.
Pengikut dapat mengosongkan kolom Agama, Undang-
Undang Pemerintah Permendikbud No. 37 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Perkawinan Umat Mukmin dan
Permendikbud No. 2016 Tentang Pembinaan Anak Mukmin.
Pada tahun 2017 Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal
61 dan 64 Perubahan Undang-Undang Tata Usaha Negara

-45-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Tahun 2013 tentang KTP bagian agama. Putusan tersebut


menunjukkan bahwa Penggayat dapat mengisi kolom agama,
sebagaimana yang mereka anut. , adalah “iman” yang harus
diisi dengan “iman kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Putusan MK itu tidak sepenuhnya menjamin kebebasan
beragama dan kebebasan beragama bagi penganut
kepercayaan atau agama leluhur. Namun, melalui Majelis
Ketuhanan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), mereka dapat
mendaftarkan pernikahan antara orang-orang yang beriman.
Catatan pernikahan tidak hanya dapat mencatat pasangan,
tetapi juga akta kelahiran warga negara lainnya, termasuk
ayah dan ibu. Ketersediaan akta kelahiran memungkinkan
anak-anak beragama untuk bersekolah tanpa melepaskan
kualitas iman mereka. Berdasarkan Permendikbud tentang
Pendidikan, MLKI telah mengembangkan kurikulum
pendidikan agama untuk siswa yang diajarkan oleh konselor
agama. Selain kemajuan di atas, kerangka hukum yang
mendasari sistem kepercayaan masih memerlukan perlakuan
diskriminatif. Misalnya, denominasi tidak dianggap sebagai
agama, jadi Anda tidak bisa membangun tempat ibadah.
Mereka sering dijauhkan dari pemakaman umum karena

-46-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

identitas agama mereka. Belum lama ini, pemerintah


menyegel makam-makam yang dibangun oleh masyarakat
Sunda Wiwitan tersebut karena diyakini tidak memiliki izin
mendirikan bangunan (IMB).

Diskriminatif terhadap Penganut Kepercayaan Terhadap


Tuhan Yang Maha Esa

Edisi 2006 tentang Pengendalian Populasi diterbitkan.


Dalam Undang-Undang ini, negara mengambil sikap berbeda
dengan Mendagri dalam suratnya. Melalui hukum
administrasi negara seolah-olah menyadari adanya
perlakuan diskriminatif dari berbagai golongan masyarakat,
khususnya pemeluk agama tradisional.
Negara mengizinkan perlakuan diskriminatif terhadap
beberapa warga negara sebagaimana diatur dalam UU Tata
Usaha Negara 23/2006. Terutama karena agamanya tidak
diakui oleh negara atau karena warganya adalah pemeluk
agama (pengikut agama nenek moyang). Pasal 58(2) dari
Undang-Undang tersebut tampaknya dimaksudkan untuk
mengatasi perilaku diskriminatif oleh Negara. Bagian ini
menjelaskan tanggal tertentu yang harus ditulis, termasuk

-47-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

"agama/keyakinan". Baik agama maupun kepercayaan ditulis


seolah-olah untuk memperkuat pengakuan bahwa agama dan
kepercayaan adalah dua entitas yang terpisah dan setara.
Namun, Pasal 61(1) pada Kartu Keluarga (KK) menjelaskan
bahwa dalam KK tersebut terdapat beberapa keterangan
salah satunya kolom Agama, dan kata “Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” tidak disebutkan, dan
masih ada yang beriman.
Dibandingkan dengan peraturan-peraturan sebelumnya,
terutama sejak 1978, UU Tata Usaha Negara 23/2006
merupakan tonggak sejarah bagi Negara, mengingat
kesadaran dan keinginan Negara untuk mengatasi perlakuan
diskriminatif Negara terhadap warga negara yang beragama
leluhur atau setidaknya selangkah lebih maju. Sejarah Rezim
pascakolonial. Meski statusnya tidak diakui, pemeluk agama
(agama leluhur) tidak lagi diharuskan memilih salah satu
agama yang diakui negara, bahkan ada yang sudah bisa
menunjukkan KTP. Mereka bisa mengosongkan kolom agama
dari informasi pribadi dan negara tetap harus melayani dan
mencatatnya, yang mewajibkan pemerintah untuk segera
mengeluarkan peraturan perundang-undangan.

-48-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Pemenuhan Pelayanan terhadap Penganut Penganut


Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Sesuai dengan ketentuan Pasal 105 Hukum Tata Usaha


Negara, diundangkan Keputusan Nomor 37 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006.
PP tersebut memiliki pasal khusus tentang pencatatan
perkawinan pemeluk agama, yang menyatakan bahwa negara
wajib memfasilitasi pencatatan perkawinan pemeluk agama
menurut keyakinannya, dan tidak harus menganut salah satu
agama yang diakui negara.
Oleh karena itu, UU Tata Usaha Negara 23/2006, PP
37/2007 dan Perpres 25/2008 menjadi payung hukum bagi
pencatatan perkawinan pemeluk agama leluhur berdasarkan
keyakinannya bukan pada salah satu agama resmi. Payung
hukum ini memungkinkan beberapa kelompok agama (agama
leluhur) untuk mendaftarkan pernikahan mereka.

-49-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Layanan Organisasi Penganut Kepercayaan Terhadap


Tuhan Yang Maha Esa

1. Pendaftaran Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa

Layanan Pendaftaran Organisasi Perwalian diatur oleh


Nomor 1482/F2/KB/2020 Perintah Eksekutif Perwalian
tentang Standar Layanan Inventaris Organisasi Percaya
kepada Tuhan.

2. Pendaftran atau Perubahan Kartu Tanda Penduduk (KTP)


Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Pendaftaran atau pengubahan KTP 4.444 pemeluk


agama mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 97/PUUXIV/2016 Nomor
97/PUUXIV/2016 tentang Peninjauan Pasal 61 Ayat 1 dan
Pasal Ayat 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal
64 Ayat 1 dan Ayat 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1

-50-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Tahun Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 27


Pasal 3.

Pendaftaran atau pengubahan KTP 4.444 pemeluk


agama mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 97/PUUXIV/2016 Nomor
97/PUUXIV/2016 tentang Peninjauan Pasal 61 Ayat 1 dan
Pasal Ayat 2. Pasal 64 ayat 1 dan ayat 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2013 Nomor tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Pasal 1 Kependudukan Ayat (3), Pasal 27
ayat (1), 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari Menteri
Dalam Negeri No. 471.14/10666/DUKCAPIL tentang
Penerbitan Kartu Keluarga Bagi Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanggal 25 Juni 2018.

Berdasarkan putusan MK dan surat edaran, pemeluk


agama dapat memasukkan KTP pada kolom “Agama” KTP
sebagai “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan
mengubah KTP pada kolom “Agama” sebagai berikut: Saya

-51-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

bisa dia. "Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa" atau


sebaliknya.

Pendidikan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa

Pelayanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa diatur dengan Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Pelayanan
Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada Tuhan Yang Maha Esa di Satuan Pendidikan. Untuk
membantu pelaksanaan Ordonansi, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi telah menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Layanan
Pendidikan untuk Ketuhanan. Persyaratan Mendapatkan
Manfaat Pendidikan Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
1) Menyatakan diri secara tertulis sebagai Penghayat
Kepercayaan, yang diketahui dan Buku Saku
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 39
disetujui oleh Orang Tua, ditandatangani di atas
meterai Rp.10.000,00.

-52-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

2) Mengajukan permohonan kepada Kepala Sekolah


untuk mengikuti mata pelajaran Pendidikan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3) Sekolah menindaklanjuti Surat Permohonan dengan
bekerja sama dengan MLKI untuk menugaskan
Penyuluh Kepercayaan dari Organisasi Kepercayaan
setempat yang memenuhi ketentuan.
4) Organisasi Kepercayaan dari Peserta didik terdaftar di
Pemerintah pusat dan/atau daerah dan tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan dengan prinsip 4 (empat)

konsensus dasar, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada tahun 2012 diterbitkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 33 tentang Pedoman Pendaftaran Ormas di
Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah. Ordonansi membedakan antara agama dan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tetap
memperlakukannya dengan cara yang sama, tetapi yang
menjadi masalah adalah pendidikan, ketuhanan yang Maha

-53-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Esa, dan murid memiliki hak yang sama dengan murid yang
mempelajari agama. Belum diberikan dalam prosesnya. dasar
agama dan kepercayaan yang dikenal sebagai organisasi
kemasyarakatan (orkemas).
Formasi spiritual secara bertahap diakui. Komunitas
Parmalim Sumatera Utara memiliki rekam jejak yang terbukti
dalam memberikan pendidikan spiritual kepada anak-anak.
Setelah lama melakukan lobi dengan LSM, sekolah tempat
anak-anaknya belajar kini sepakat untuk di didik di
Penghayat (Parmalim) oleh masyarakat. Tidak semua orang
menyukai perkembangan baru, tetapi sebagian besar
menyukainya. Mereka yang tersebar di berbagai tempat dan
yang syafaatnya belum sampai kepada mereka, belum
menunggu. Di sisi lain, kata dia, umat beragama harus terus
berjuang untuk bisa menjalankan hak atas pendidikan yang
diatur dalam Permendikbud. Lebih penting lagi,
Permendikbud membutuhkan sosialisasi yang luas, bahkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dinas
Ketuhanan dan Adat secara aktif mensosialisasikan
Permendikbud, beserta peraturan-peraturan lain yang
menjamin hak-hak penganut agama leluhur.

-54-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Catatan penting dari putusan MK 19 April 2010 adalah


bahwa pemeluk agama dikaruniai hak untuk berkeyakinan
yang dijamin secara konstitusional. Diskriminasi yang
dialami selama ini dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap
norma hukum administrasi yang berlaku. Karena putusan MK
bersifat mengikat, seharusnya menjadi perhatian penting
bagi kebijakan perwalian baru yang adil dan tidak
diskriminatif.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemenuhan dan pelayanan kebutuhan dan hak
pemeluk agama leluhur. dikabarkan. Penguasa daerah
tampaknya memiliki orientasi politik yang berbeda. Fakta ini
menjadi salah satu alasan mengapa penganut agama leluhur
memiliki pengalaman yang berbeda dengan pelayanan
pemerintah. Pengalaman komunitas Parmalim dan Sangihe
masih sangat "mahal" bagi sebagian besar penganut agama
leluhur. (Maarif, 2012)

-55-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bab 3
Sistem Etika Politik
Wildhan & Desi M

A. Pancasila sebagai Etika Politik

Pancasila sebagai falsafah inti kehidupan bermasyarakat,


berbangsa dan bernegara juga mengandung etika yang sarat
dengan nilai-nilai filosofis. Jika pemahaman Pancasila tidak
didasarkan pada pemahaman aspek filosofisnya, maka hanya
aspek filosofis dan fenomenal yang dipahami tanpa
menyentuh poin esensial. Pancasila merupakan hasil
kompromi nasional dan pernyataan resmi bahwa negara
Indonesia akan memberikan status yang sama kepada semua
warga negara tanpa membedakan pemeluk agama mayoritas
dan minoritas. Juga, faktor-faktor lain seperti jenis kelamin,
budaya, dan wilayah tidak dibedakan (Pasaribu, 2013).

-56-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Pancasila sebagai dasar negara merupakan pedoman dan


standar kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Pancasila dapat mempengaruhi sebagai pedoman bahkan
pedoman kehidupan bangsa Indonesia dalam segala aspek
kehidupan. Tidak lain adalah kehidupan politik, etika politik
Indonesia yang tertanam dalam jiwa Pancasila. Kedudukan
Pancasila sebagai etika politik akan menjadi acuan
bagaimana kegiatan politik bangsa Indonesia dapat
dirundingkan berdasarkan prinsip musyawarah mufakat dan
demokrasi. Diyakini bahwa Indonesia dengan prinsip
demokrasi Pancasilanya dapat menjadi wadah untuk
mengkaji segala macam perbedaan yang ada di Indonesia.
Cita-cita rakyat atau cita-cita bersama menjadi tujuan
utama politik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai etika
dalam politik menjadi acuan bagaimana aktivitas politik
rakyat Indonesia bercermin pada pencapaian mufakat dan
berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi rakyat dalam
demokrasi terapan. Diyakini bahwa Indonesia dengan prinsip
demokrasi Pancasilanya dapat menjadi wadah untuk
mengkaji segala macam perbedaan yang ada di Indonesia.
Cita-cita atau cita-cita bersama adalah menjadi tujuan utama

-57-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dalam politik masyarakat Indonesia, yaitu memberikan


keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan
misi sila ke-5 Pancasila. (Mahendra, 2015).

1) Nilai-nilai Pancasila dalam etika politik.

Pancasila tidak hanya sebagai sumber derivasi


peraturan perundang-undangan, tetapi juga sumber
moralitas, terutama mengenai legitimasi kekuasaan,
undang-undang dan berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan dan penyelenggaraan negara. Adanya
sila pertama “ketuhanan yang maha esa” dan sila kedua
“kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan
sumber nilai-nilai moral kehidupan berbangsa dan
bernegara. Negara Indonesia yang berdasarkan sila
pertama 'ketuhanan Yang Maha Esa' bukanlah negara
'teokratis' yang mendasarkan kekuasaan negara dan
penyelenggaraan negara pada legitimasi agama.
Kekuasaan kepala negara tidak sepenuhnya didasarkan
pada legitimasi agama, tetapi pada legitimasi hukum
dan demokrasi. Oleh karena itu, prinsip “ketuhanan
yang maha esa” lebih berkaitan dengan kebenaran

-58-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

moral. Inilah yang membedakan bangsa yang percaya


pada satu Tuhan dengan teokrasi (Pureklolon, 2020).
Menurut (Pureklolon, 2020) Pancasila sebagai
dasar bangsa dan falsafah bangsa merupakan satu
kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan dari setiap
silanya. Karena jika kita melihat peraturan-peraturan
ini satu per satu, kita dapat menemukannya dalam
kehidupan negara lain. Namun, pentingnya Pancasila
adalah bahwa setiap peraturan terletak pada nilainya
sebagai satu kesatuan dan lokasi dan komposisinya,
tidak dapat dibatalkan. Semuanya tertuang dalam Lima
Sila Pancasila untuk memahami dan menggali nilai-
nilai Pancasila dalam etika politik.

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila Ketuhanan menekankan prinsip bahwa


moralitas dan spiritual keagamaan berperan penting
sebagai penyangga penting bagi keutuhan dan
keberlangsungan suatu bangsa, begitu pula moralitas
dan spiritualitas agama yang menekankan pada prinsip
pemenuhan. Pancasila yang berpedoman pada nilai-

-59-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

nilai sakral dapat memberikan landasan moral dan


filosofis bagi pengembangan sistem demokrasi. Nilai-
nilai sakral yang diupayakan Pancasila adalah nilai-
nilai sakral positif yang digali dari nilai-nilai agama-
agama yang mengagungkan inklusivitas, pembebasan,
keadilan dan persaudaraan.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu


makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi pikiran,
rasa, karsa, dan kreativitas. Dengan hati nuraninya,
orang sadar akan nilai dan norma. Adil berarti tepat
sesuai dengan hak dan kewajiban Anda. Beradab, kata
berasal dari kata adab, identik dengan sopan, berbudi
luhur dan bermoral. Beradab artinya berbudi luhur,
sopan, dan berbudi luhur.

Persatuan Indonesia.

Persatuan berarti utuh dan tidak terpecah-pecah.


Persatuan mengandung pengertian bersatunya aneka
macam corak yang menjadi satu kebulatan. Sila ketiga

-60-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik,


ekonomi, sosial-budaya, dan hankam. Indonesia
sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam
corak tidak terbantahkan lagi merupakan negara yang
rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat
persatuan sehingga tidak muncul jurang pemisah
antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung
semangat persatuan demi keutuhan negara dan
kebaikan bersama.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat


Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Negara berasal dari rakyat dan segala


kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat. Kata kuncinya adalah
demokrasi. Oleh karena itu rakyat merupakan asal-
muasal kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, segala kebijaksanaan,
kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan
kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara, serta

-61-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

partisipasi, harus berdasarkan legitimasi dari rakyat,


atau dengan kata lain harus memiliki “legitimasi
demokratis”.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan


legitimasi hukum, yaitu prinsip “legalitas”. Negara
Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu
keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial)
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam
penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan,
kewenangan, serta pembagian senantiasa harus
berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas
prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan
akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam
kehidupan negara.

2) Nilai-nilai Pancasila sebagai norma

Menurut (Yanto, 2017) Pancasila sebagai sistem


filsafat pada hakikatnya adalah seperangkat nilai luhur,
sumber dari segala penjabaran norma, baik moral,

-62-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

hukum maupun norma pemerintahan lainnya. Nilai-


nilai tersebut dijelaskan dengan jelas untuk dijadikan
pedoman. Norma-norma tersebut antara lain:
1. Norma moral berkaitan dengan perilaku manusia
yang dapat diukur dari sudut baik atau buruk.
2. Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Pada hakikatnya peraturan Pancasila bukanlah
pedoman normatif atau pedoman praktis langsung,
melainkan suatu sistem nilai-nilai etik yang dijabarkan
lebih lanjut ke dalam norma-norma etika, moral dan
hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila dipandang sebagai fenomena, maka
fenomena tersebut juga harus dilihat, sehingga sudut
pandang tidak terbatas pada permukaan luar yang
terlihat, tetapi perlu mencoba melihat apa yang terjadi
di dalam.

-63-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

B. Sistem Etika politik dalam perspektif Kepercayaan


Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Tuhan Yang Maha Esa pencipta langit dan bumi, diyakini


sebagai awal segala sesuatu yang ada, mula semua yang telah
menjadi. Para leluhur kita yang terpilih mengajarkan nilai-
nilai keluhuran mengajarkan ketundukan kepada Pencipta,
Yang Maha Memelihara ciptaan-Nya. Pada kepercayaan
Pencipta Alam Semesta yang dipuja, diagungkan dari segala
yang agung. Tuhan hadir memelihara ciptaan-Nya, kepada
semua manusia, semua kaum, bangsa. Tak terlewatkan
barang satupun. Selain tuntunan menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, ajaran budi luhur kepercayaan itu juga menjadi
sumber falsafah hidup, tuntunan sikap etika dan moral
dalam peradaban manusianya, mengajarkan budi pekerti
pribadi, sikap hidup bersama, dan hubungan manusia dengan
kelestarian alam sekitarnya. Ini pula ciri Kepercayaan asli
Nusantara. Dan para leluhur pendahulu juga dihormati
karena peranannya memelihara hidup generasi selanjutnya
dengan mengenalkan ketundukan kepada Sang Pencipta
(Sitorus, 2021).

-64-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Pada teologi Hindu “sistem etika secara keseluruhan


didefinisikan adalah dalil summum bonum sarana yang tepat
untuk mencapainya” (Suta, 2016). Dalam Penghayat
Kepercayaan Paguyuban Budaya Bangsa dasar umum yang
berhubungan dengan pedoman yang biasa disebut Jagad
Gumelar (alam semesta) pada dasar sistem etika Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara keseluruhan
didefinisikan dari ungkapan falsasafah memayu hayuning
bawana dan sarana yang tepat untuk mencapai keluhuran.
Sistem adalah kumpulan dari obyek, unsur-unsur dan
bagian-bagian yang mempunyai makna yang berbeda tetapi
memiliki hubungan dan saling Kerjasama serta saling
mempengaruhi satu sama lain dan juga memiliki keterkaitan
dalam rencana (plane) untuk mencapai suatu tujuan yang
kompleks pada lingkungan tertentu (K. Basuki, 2019).
Berdaasarkan pengertiannya sistem sanggat dibutuhkan
manusia baik secara individu maupun kelompok dengan
demikian Penghayat Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa juga sudah menerapkan sebuh sistem baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam mencapai suatu
tujuan.

-65-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa


beranggapan bahwa sistem adalah suatu metode penerapan
ajaran-ajaran, Penghayat Kepercayaan dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila.
Dalam penerapan sistem etika politik Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga
mempunyai dasar yang bersumber dari ajaran, seperti halnya
yang diungkapkan oleh Naipospos (2009) “kepercayaan tidak
mengenal monopoli kebenaran, karena diyakini Tuhan
memberikan tuntunan dan bimbingan kepada setiap kaum,
setiap suku bangsa”. Pernyataan tersebut menjadi salah satu
dasar untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan
toleransi dalam bentuk keyakinan.
Selain itu rasa kemanusiaan, perdamaian, persatuan,
kesejahteraan dan permusyawaratan serta kepemimpinan
yang berdasarkan kerakyatan menjadi ciri pokok budaya
nusantara, sama halnya dengan konsep budi luhur
spiritualitas Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep spiritualitas ini menjasdi dasar pengahayat
kepercayaan dalam bertindak dan bertingkah laku. Sikap

-66-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

spiritual penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang


Maha Esa berunsur tuntunan luhur dalam laku, ilmu suci dan
hukum yang dihayati dengan Nurani dalam keadaan sadar
dan keyakinan yang mutlak kepada Tuhan Yang Maha Esa (H.
Basuki, 2016). Dari penjelasan tersebut menjelaskan bahwa
penghayat kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai pandangan sendiri tentang sistem etika politik
yang dimana setiap menentukan sesuatunya tetap
mengedepankan moral dan etika dalam bertindak.
Sebagai contoh sistem yang telah diterapkan oleh
organisasi kepercayaan Parmalim dalam etika politik:

1) Parmalim

a. Sistem Etika Politik Pribadi

Sistem etika politik disini bukan dalam arti


mencapai suatu jabatan atau kedudukan melainkan
pedoman ajaran di implemtasikan menuju
kesempurnaan hidup. Parmalim mengenal sebuah
konsep “namanda dirina satintong sintongna ido
namanda Debata” yang mengandung makna bahwa
sesungguhnya barang siapa yang mengenal dirinya

-67-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pribadi maka dia yang mengenal Tuhan, maka dengan


konsep ini yang di pakai dalam sistim etika politik
pribadi. Dalam diri tertanam agar mencapai
kesempurnaan hidup parmalim dituntut harus totalitas
tidak tanggung tanggung dimana lahir batin, roh dan
tekat harus menyatu. Dapat dipahami bahwa batin
(roha) yang berhubungan dengan hati (ate-ate) berarti
sebagai dasar hidup manusia adalah jiwa.
Dapat dipahami bahwa batin berhubungan dengan
hati yang berarti berhubungan dengan jiwa sebagai
dasar hidup manusia. Olah batin
(kebatinan/kepercayaan) merupakan olah jiwa menuju
kesempurnaan hidup. Kebatinan/kepercayaan bukan
sekadar teori, melainkan praktik kehidupan seusai
idiom yang praktiknya dilatih dan dikejar selama hidup.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
mendahulukan budi luhur dan kesempurnaan hidup
yang pada dasarnya merupakan usaha manusia menuju
kesempurnaan diri, yang berarti mencapai keadaan
termulia atau kebahagiaan bagi dirinya.

-68-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

b. Sistem Etika Politik Keluarga

Dalam satu keluarga terdiri dari ayah ibu dan anak


dimana untuk mencapai keselarasan dalam keluarga
ada kerja sama dan gotong royong yang merupakan
sistem etika politik keluarga. Ayah sebagai penentu
kebijakan atau pemberi aturan dan ibu sebagai
manejemen keluarga dan anak sebagai pelaksan
sekaligus penerima manfaat. Dapat ditijau dari ajaran
kepercayaan parmalim patik (aturan) bagian marsuru
(perintah) yang berbunyi “pasangapon raja haholongan
dongan jolma” yang maknanya hormat dan patuh
kepada raja/pemimpin dan mengasihi sesama. Raja
dalam keluarga adalah orang tua dimana orang tua
sebagai harus dipatuhi dan harus dihormati.
Penerapan sistem etika politik baik dalam tatanan
politik maupun keluarga di organisasi kepercayaan
Parmalim, menjadi salah satu bukti bahwa penghayat
kepercayaan tetap menerapkan ajaran yang luhur dalam
menentukan Tindakan.

-69-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

2) Organisasi Budi daya

Pancasila sebagai dasar negara merupakan


pedoman dan standar kehidupan bangsa dan negara
Republik Indonesia. Pancasila dapat mempengaruhi
sebagai pedoman bahkan pedoman kehidupan bangsa
Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Tidak lain
adalah kehidupan politik, etika politik Indonesia yang
tertanam dalam jiwa Pancasila (Pureklolon, 2020).
Pancasila selain sebagai dasar negara Dalam ajaran
kepercayaan Organisasi Budi Daya juga dijadikan
sebagai “DASAR SALIRA” yang berkaitan dengan
system etika politik menurut perspektif Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang digali oleh Mei
Kartawinata (Pujanegara, 2020).
“Pancasila Dasar Salira” yang berarti Nilai-nilai
Pancasila yang terkandung dalam Pancasila dijadikan
pedoman hidup atau tuntunan berbangsa dan
bernegara. Ajaran “Pancasila Dasar Salira” terdapat
lima sila yang sama dengan Pancasila yakni:
1) “Ka-Tuhanan Anu Maha Esa” (Ketuhanan Yang
Maha Esa) dalam diri ini adanya Kuasanya-nya,

-70-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Kersa-nya, Tahu-Nya, Hidup-Nya, Lihat-Nya,


Dengar-Nya, Ucap-Nya, walaupun kita tidak dapat
menyentuhnya namun kita percaya bahwa diri ini
“Ka-Tuhanan” (terdapat kuasa Tuhan) maka
sewajarnya kita wajib berkata jujur (Jelema anu Ka-
Tuhan-an = Manusa).
2) “Kama-nusaan” anggota badan kita yang Sembilan
yaitu mata, telinga, hidung, mulut, tangan, hati,
otak, saraf, kaki semua ini harus dipergunakan
dengan baik baik/Bageur (Jelema anu Kamanusaan =
Bangsa).
3) Ka-Bangsaan Anu Buleud kita dilahirkan di alam
pawenangan ini bukanlah kehendak sendiri
ataupun kehendak ibu dan bapak melainkan atas
Kersaning Gusti Anu Maha Suci (Tuhan Yang Maha
Esa) dijadikan bangsa Indonesia dengan adat,
budaya yang memiliki cara ciri nya masing masing.
Contoh yang paling mudah adalah baju adat, baju
adat yang diberikan baju adat sunda/jawa/sumatera
dan lain-lain maka kita harus bangga menggunakan
baju adat tersebuat dan tetap memakai baju adat

-71-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

tersebut maka kita memiliki kebangsaan yang bulat


(bener) bukan yang mengikuti bangsa lain (Jelema
Anu Ka-Bangsaaan = Rakyat).
4) Ka-daulatan Rakyat, sebagai warga negara yang baik
tentu saja kita harus menaati aturan yang telah
dibuat oleh negara dan pemerintah/Lahir kaulaning
Nagara yang berarti kita wajib berbakti pada negara
(Cageur) tidak menjadikan negara sebagai musuh
(Jelema Anu Ka-Rakyatan = Adil)
5) Ka-adilan Sosial, jika seluruh rakyat sudah mau
berlaku adil yaitu berkata jujur, berbadan sehat
(awakna Cageur), berkelakuan baik (Kalakuanna
Bageur), dan berpengetahuan benar (Kanyahona
Bener) dengan cara menolong sesama hidup tanpa
melihat latar belakang apapun itu yang dinamakan
sosial yang sering di sebut “Sepi Ing Pamrih Rame
Ing Gawe”. Inti dari ajaran “Pancasila Dasar salira”
ini adalah jika orang yang memiliki etika atau sifat
“Ke-Tuhanan” dengan berkata jujur dalam setiap
tindakannya itu yang disebut Manusia. Manusia
yang memiliki etika atau sifat “Ke-Manusiaan”

-72-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dengan berkelakuan baik itu yang disebut Bangsa.


Bangsa yang memiliki etika atau sifat “Ke-
Bangsaan” dengan menggunakan kebangsaan yang
benar diberikan oleh Tuhan itu yang disebut
Rakyat. Rakyat yang memiliki etika atau sifat “Ke-
Rakyatan” dengan berbakti kepada negara serta taat
pada aturan pemerintah itu yang disebut adil.
Sebagai seorang pengahayat kepercayaan akan
berlaku adil dengan menolong sesama hidupnya
tanpa melihat latar belakang apapun itu yang
dinamakan sosial yang sering di sebut “Sepi Ing
Pamrih Rame Ing Gawe” maka akan tercipta sebuah
keharmonisan dalam hidup (Mamayu ayuning
Bawono) jika Pancasila dasar salira digunakan
menjadi pedoman/etika berkehidupan berbangsa
dan bernegara (Kartawinata, 1953).

-73-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bab 4
Pancasila Sebagai sumber
Etika
Wildhan & Lastiur

A. Nilai-nilai Pancasila

Menurut (Pasaribu, 2013) Nilai pada hakikatnya


suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek,
namun bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, yang kemudian nilai dijadikan landasan,
alasan dan motivasi dalam bersikap dan berperilaku baik
disadari maupun tidak disadari. Nilai merupakan harga
untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya
kejujuran, kemanusiaan. Nilai akan lebih bermanfaat
dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka

-75-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

harus lebih di kongkritkan lagi secara objektif, sehingga


memudahkannya dalam menjabarkannya dalam tingkah
laku, misalnya kepatuhan dalam norma hukum, norma
agama, norma adat istiadat dll. Secara teoritis nilai-nilai
pancasila dapat dirinci menurut jenjang dan jenisnya.
Tataran nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai
dengan system nilai dalam kehidupan manusia.
Nilai-Nilai Pancasila Menurut Jenjang :
1) Nilai Religius

Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan


melekat/dimiliki Tuhan Yang Maha Esa yaitu nilai
yang Maha Agung, Maha Suci, Absolud yang
tercermin pada Sila pertama pancasila yaitu
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2) Nilai Spiritual

Nilai ini melekat pada manusia, yaitu budi


pekerti, perangai, kemanusiaan dan kerohanian
yang tercermin pada sila kedua pancasila yaitu
”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

-76-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

3) Nilai Vitalitas
Nilai ini melekat pada semua makhluk hidup,
yaitu mengenai daya hidup, kekuatan hidup dan
pertahanan hidup semua makhluk. Nilai ini
tercermin pada sila ketiga dan keempat dalam
pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dan
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan”.
4) Nilai Moral
Nilai ini melekat pada prilaku hidup semua
manusia, seperti asusila, perangai, akhlak, budi
pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin
pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang
adil dan Beradab”.
5) Nilai Materil
Nilai ini melekat pada semua benda-benda
dunia. Yang wujudnya yaitu jasmani, badani,
lahiriah, dan kongkrit. Yang tercermin dalam sila
kelima pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.

-77-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nilai-Nilai Pancasila Menurut jenisnya


1) Nilai Ketuhanan

Nilai yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang


melekat pada manusia yaitu berwujud harapan,
janji, keyakinan, kepercayaan, persaudaraan,
persahabatan.
2) Nilai Etis

Nilai yang dimiliki dan melekat pada manusia,


yaitu berwujud keberanian, kesabaran, rendah hati,
murah hati, suka menolong, kesopanan, keramahan.
3) Nilai Estetis
Nilai yang melekat pada semua makhluk
duniawi, yaitu berupa keindahan, seni, kesahduan,
keelokan, keharmonisan.
4) Nilai Intelek
Nilai yang melekat pada makhluk manusia,
berwujud ilmiah, rasional, logis, analisis, akaliah.
Menurut (Hartati; Firmansyah Putra, 2019) secara
konsepsional nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila terdiri dari nilai dasar, nilai instrumental,
dan nilai praktis.

-78-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nilai Dasar adalah prinsip yang sangat abstrak,


universal dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Konten yang benar, seperti aksioma tentang
keberadaan, mengikuti cita-cita, tujuan, tatanan dasar,
karakteristik yang pada dasarnya tidak berubah dari
waktu ke waktu. Nilai dasar Pancasila bersifat Abadi,
Kekal, yang tidak dapat berubah, wujudnya ialah sila-
sila pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan dan keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia. Nilai Instrumental Berupa
penjabaran nilai dasar, yaitu arahan kinerja untuk kurun
waktu tertentu dan kondisi tertentu. Sifat kontektual,
harus disesuaikan dengan tuntutan jaman. Nilai
Instrumental berupa kebijakan, strategi, system,
rencana, program dan proyek.

Pelaksanaan umum dari nilai dasar, biasanya dari


wujud norma sosial ataupun norma hukum yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga- lembaga
yang bersifat dinamik. Menjabarkan nilai dasar yang

-79-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

umum kedalam wujud kongkrit, sehingga dapat sesuai


dengan perkembangan jaman, merupakan semacam
tafsir politik terhadap nilai dasar umum tersebut. Nilai
instrummental terpengaruh oleh waktu, keadaan, dan
tempat, sehingga sifat dinamis, berubah, berkembang,
dan enovatif. Kontektualisasi nilai dasar harus
dijabarkan secara kreatif dan dinamik kedalam nilai
instrumental penjabaran nilai dasar terwujud ke dalam:
TAP MPR, PROPENAS UNDANG-UNDANG, DAN
PERATURAN PELAKSANAAN. Nilai Praksis Nilai yang
dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari, istilah
“PRAKSIS” tidak seluruhnya sama maknanya dengan
istilah “PRAKTEK”.

Praksis harus selalu Pased on Values, sedangkan


Praktek bisa bersifat Value Free, maka secara hierarkhis
praksisi berada dibawah nilai instrumental dan
menjabarkan nilai instrumental tersebut secara taat asas
(konsisten). Merupakan interaksi antara nilai
instrumental dengan situasi kongkrit pada tempat dan
waktu tertentu juga merupakan gelanggang pertarungan
antara idealisme dengan realitas, yang tidak dapat

-80-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

sepenuhnya kita kuasai, ada kalanya justru kondisi


objektif itu yang jauh lebih kuat dari nilai praksis berupa
nilai yang sebenarnya kita laksanakan dalam kehidupan
kenyataan sehari-hari, contohnya, memelihara
persahabatan. Berbagai wujud penerapan Pancasila
dalam kenyataan sehari-hari, baik oleh para
penyelenggara Negara maupun oleh masyarakat
Indonesia sendiri, misalnya dalam kerukunan hidup
beragama, praksisnya: silahturahmi antar umat
beragama, melakukan dialog antar umat beragama,
toleransi dan saling menghormati antar umat beragama.

Menurut (Mahendra, 2015) Aktualisasi Pancasila


sebagai dasar etika tercermin dalam sila-silanya, yaitu:
Sila pertama: menghormati setiap orang atau warga
negara atas berbagai kebebasannya dalam menganut
agama dan kepercayaannya masing-masing, serta
menjadikan ajaran-ajaran sebagai anutan untuk
menuntun ataupun mengarahkan jalan hidupnya. Sila
kedua: menghormati setiap orang dan warga negara
sebagai pribadi (personal) “utuh sebagai manusia”,
manusia sebagai subjek pendukung, penyangga,

-81-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pengemban, serta pengelola hak-hak dasar kodrati yang


merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya
secara bermartabat. Sila ketiga: bersikap dan bertindak
adil dalam mengatasi segmentasi-segmentasi atau
primordialisme sempit dengan jiwa dan semangat
“Bhinneka Tunggal Ika”- “bersatu dalam perbedaan”
dan “berbeda dalam persatuan”. Sila keempat:
kebebasan, kemerdekaan, dan kebersamaan dimiliki dan
dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk
mencapai kemufakatan secara jujur dan terbuka dalam
menata berbagai aspek kehidupan. Sila kelima:
membina dan mengembangkan masyarakat yang
berkeadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat
(equality) dan pemerataan (equity) bagi setiap orang
atau setiap warga negara. Sila-sila dalam pancasila
merupakan satu kesatuan integral dan integrative
menjadikan dirinya sebagai sebagai referensi kritik
sosial kritis, komprehensif, serta sekaligus evaluatif bagi
etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
ataupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah
bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila akan

-82-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

mendasari dan mengarahkan sila-sila lain.

B. Etika Kehidupan Berbangsa

Etika kehidupan bermasyarakat diatur dalam


Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Kebangsaan, yang mengatur sebagai berikut:
Perlu pencerahan dan pengamalan etika kehidupan
berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya
saat ini, etika kehidupan masyarakat sedang mengalami
kemunduran yang menyebabkan krisis multifaset. Etika
dalam kehidupan masyarakat diatur dalam Ketetapan
MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Dalam Kehidupan
Masyarakat, yang isinya sebagai berikut. Penting untuk
mencerahkan semua warga negara tentang etika
kehidupan berbangsa dan mempraktikkannya.
Indonesia. Apalagi, saat ini, etika kehidupan publik
terbelakang, menyebabkan krisis multifaset, “Realisasi
selanjutnya adalah perlunya merumuskan prinsip-
prinsip etika kehidupan masyarakat yang menjadi acuan
bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia secara

-83-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

keseluruhan dalam rangka menyelamatkan dan


meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan bangsa.

Merujuk pada wawasan Ketetapan MPR di atas


bahwa praktik-praktik etis diperlukan bagi kehidupan
masyarakat dan bangsa untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia, etika dapat digagalkan,
sehingga mengakibatkan krisis multifaset sawah. Kata-
kata Prinsip Hidup Beretika Negara menjadi norma
hukum pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia untuk
menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup
bangsa dan negara. Etika dalam Demokrasi Pancasila
Pengertian Etika dan Moralitas Etika berasal dari kata
latin ethos yang berarti kebiasaan. Kata Latin ethos
berarti sopan santun, berasal dari kata moralitas. Moral
berarti "moral" dalam bahasa Indonesia. Istilah
"moralitas" konsisten dengan pengertian yang diterima
secara umum bahwa perilaku manusia itu baik dan
alami. Etika adalah teori perilaku (Etika Berdemokrasi
Pancasila Dalam Konstestasi Politik Di Era Digitalisasi,
2019).

Pancasila adalah dasar falsafah Indonesia, baik

-84-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dalam bidang sosial budaya, politik dan pemerintahan,


ekonomi dan bisnis, penegakan hukum, ilmu
pengetahuan dan lingkungan. Pancasila adalah dasar
dan semangat kehidupan nasional.

1) Pengertian, Maksud, dan Tujuan Etika Kehidupan


Berbangsa

Etika kehidupan berbangsa sebagai konsep nilai


moral, sebagai rumusan etika yang bersumber dari
ajaran agama, khususnya nilai-nilai luhur universal,
telah diusulkan oleh Majelis Nasional, berdasarkan
TAP MPR Nomor VI/MPR/2001.(MPR) dirumuskan
oleh budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila
sebagai standar dasar berpikir, dan bertindak dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika dalam
Kehidupan Kebangsaan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran akan pentingnya
menjunjung tinggi etika dan moralitas dalam
kehidupan bermasyarakat. Perumusan etika
kehidupan berbangsa merupakan standar dasar untuk
meningkatkan kualitas manusia yang beriman,

-85-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam kehidupan


berbangsa dan berkepribadian Indonesia.

2) Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa

Prinsip-prinsip etika dalam kehidupan berbangsa


mengutamakan kejujuran, kepercayaan, keteladanan,
sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian,
toleransi, rasa malu, tanggung jawab, dan menjaga
harga diri bangsa. Bagian dari Etika Kehidupan
Nasional, meliputi:
a. Etika Sosial dan Budaya

Etika sosial dan budaya dimulai dengan rasa


kemanusiaan yang mendalam dengan menunjukkan
kejujuran, kasih sayang, pengertian, saling
menghormati, saling mencintai, dan saling
mendukung antar sesama warga negara dan warga
suatu bangsa. Sejalan dengan itu, budaya malu, malu
berbuat salah, yang bertentangan dengan nilai-nilai
luhur moral agama dan budaya bangsa, harus
ditumbuhkan dan harus diwujudkan dalam tindakan
pemimpin. Etika ini membangkitkan, mengevaluasi,

-86-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

mengembangkan, dan mengadaptasi budaya nasional


yang berasal dari budaya lokal, berinteraksi dengan
bangsa lain, dan memungkinkan mereka untuk
bertindak secara positif, sehingga memiliki tingkat
budaya yang tinggi, yang bertujuan untuk
menumbuhkan dan mengembangkan kembali
kehidupan masyarakat. Menangkap tuntutan
globalisasi. Berbicara tentang budaya politik tidak bisa
dilepaskan dari etika politik. Budaya politik
mengasumsikan dimensi normatif (aturan permainan
yang adil dan tidak memihak) dan terutama berkaitan
dengan mempromosikan nilai-nilai dan mewujudkan
cita-cita. Dalam hal ini, semua orang dengan
keyakinan mereka sendiri harus mengakui dan
mengamalkan agama yang benar, kemampuan
beradaptasi, ketahanan dan kreativitas budaya
komunitas mereka.
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ini masih sangat erat kaitannya dengan budaya dan
tradisi Nusantara, dan Tuhan dinilai dengan sifat-sifat
yang luhur. Dapat dijadikan pedoman hidup dasar

-87-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

untuk membentuk karakter diri kita dan karakter


bangsa kita.

b. Etika Politik dan Pemerintahan

Etika ini menciptakan pemerintahan yang


bersih, efisien dan efektif, keterbukaan, akuntabilitas,
keterbukaan terhadap aspirasi rakyat, menghargai
perbedaan, kejujuran dalam persaingan, kemauan,
dan pendekatan yang lebih jujur dalam menerima dan
menegakkan hak asasi manusia. suasana politik
demokratis yang bercirikan opini dan keseimbangan
hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika
pemerintahan adalah para pengelola pemerintahan
memiliki kepentingan yang tinggi dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan bersedia
mengundurkan diri jika merasa telah melanggar
aturan atau nilai-nilai atau jika dianggap tidak mampu
memenuhi misi masyarakatnya, dan negara. Masalah
yang kita hadapi harus diselesaikan melalui
musyawarah dengan penuh kearifan dan kearifan kita,
dengan tetap menjaga perbedaan kita sebagai manusia

-88-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dan alam, sesuai dengan nilai-nilai budaya luhur kita.


Etika politik dan pemerintahan harus didasarkan pada
kepentingan antar aktor, sosial politik, dan
kepentingan lainnya untuk mencapai kemajuan
bangsa dan negara yang sebesar-besarnya dengan
mengutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan individu dan kolektif antar kelompok.
Etika politik dan pemerintahan mencakup
semua pegawai negeri dan elit politik yang jujur,
dapat dipercaya, atletis, dermawan, melayani,
keteladanan, rendah hati, dan bersalah atau
melanggar moral. Ini juga mencakup mandat bahwa
orang tersebut bermaksud untuk mengundurkan diri
dari jabatan public yang merupakan pengertian
hukum dan masyarakat.

c. Etika Ekonomis dan Bisnis

Etika ini menyatakan bahwa prinsip dan


perilaku ekonomi dan bisnis baik individu, lembaga
dan pengambil keputusan di bidang ekonomi
menciptakan kondisi dan realitas ekonomi yang

-89-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

ditandai dengan persaingan yang jujur dan adil, serta


etika kerja ekonomi dan etika ekonomi. Pembangunan
ketahanan dan daya saing serta pemberdayaan
ekonomi masyarakat miskin melalui kebijakan yang
berkelanjutan.

d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika ini bertujuan untuk meningkatkan


kesadaran bahwa ketertiban, ketentraman, dan
ketertiban masyarakat yang kita jalani bersama hanya
dapat dicapai dengan mengikuti semua peraturan
yang menjunjung hukum dan keadilan, Rule of law dan
rule of law yang menjamin kepastian hukum sejalan
dengan upaya mewujudkan keadilan terhadap rasa
keadilan yang hidup dan memelihara masyarakat.
Untuk itu penegakan hukum harus dilakukan secara
adil dan terpercaya, tidak boleh mendiskriminasikan
warga negara manapun di hadapan hukum, dan harus
menghindari penyalahgunaan hukum sebagai alat
kekuasaan dan bentuk manipulasi hukum lainnya.

-90-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

e. Etika Keilmuan

Etika ini bertujuan untuk menjunjung tinggi


nilai-nilai kemanusiaan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi agar warga negara dapat menjaga martabat,
membela kebenaran, dan kemajuan sesuai dengan
nilai-nilai agama dan budaya. Etika tersebut
diwujudkan, baik secara individu maupun kolektif,
dalam inisiatif, kreativitas, dan karya, yang
mendorong kreativitas, inovasi, dan kreativitas
melalui membaca, penelitian, penelitian, menulis, dan
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kreatif, dan perilaku komunikatif. Etika ini juga
mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi dan
mengatasi hambatan, mengubah tantangan menjadi
peluang, mendorong kreativitas untuk menciptakan
peluang baru, bertahan dalam cobaan dan pantang
menyerah dalam menghadapi situasi apapun.

-91-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

f. Etika Lingkungan

Etika lingkungan menekankan pentingnya


penghormatan dan pelestarian lingkungan serta
kesadaran akan perencanaan tata ruang yang
berkelanjutan dan bertanggung jawab. Lingkungan
harus dirancang sedemikian rupa sehingga
pembangunan nasional yang dilakukan dapat berjalan
secara harmonis tanpa merusak lingkungan. Dalam
konteks ini, ada empat hal yang tidak boleh diabaikan
oleh pengelolaan lingkungan, yaitu:
1) Lingkungan hidup dan sumber daya alam pada
hakikatnya selalu mengalami proses perubahan,
baik secara evolusioner maupun secara
revolusioner.
2) Secara ekologis, sumber daya lingkungan
mengalami proses transformasi dari bentuk yang
satu ke bentuk yang lainnya.
3) Berkaitan dengan pembangunan, jika pengelolaan
lingkungan berasaskan kelestarian, maka akan
timbul situasi kontradiktif antara dunia

-92-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

lingkungan disatu pihak dan dunia pembangunan


di pihak lain.
4) Pembinaan lingkungan dengan asas pelestarian
kemampuan lingkungan akan menciptakan objek
atau ruang lingkup manajemen yang lebih sempit
terhadap lingkungan (Siahaan 2004).

Semua tindakan yang menghadapi lingkungan


didasarkan pada konsep ekosentrisme, yang
menyatakan bahwa manusia dapat bahagia jika dapat
berinteraksi dengan alam dan menghargai
keberadaan alam dan hubungan manusia.

Membangun sikap religius terhadap kehidupan di


wilayah ini sangat penting, terutama dalam
kehidupan umat beriman. Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa memiliki makna “spiritual”,
yang selalu berkaitan erat dengan pikiran, jiwa, roh
dan selalu menjadi bagian dari amalan-ilmu
kebatinan, psikologi, amalan kerohanian, saat ini
terangkum dalam istilah Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.

-93-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Untuk membentuk pribadi yang beriman kepada


Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Seseorang harus menjadi orang yang religius yang
merasakan getaran spiritual dan membangun energi
spiritual sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Bertindak berdasarkan pemikiran (logika), emosi
(estetika) dan kehendak (etika), energi budi
membentuk martabat (hati nurani) manusia dan oleh
karena itu menjadi dasar dan media tindakan mereka.

3) Arah Kebijakan dan Kaidah Pelaksanaan Etika


Kehidupan Berbangsa

Arah kebijakan untuk membangun etika


kehidupan berbangsa diimplementasikan sebagai
berikut;

Keluarga, masyarakat, bangsa dan negara melalui


pendidikan formal, informal dan nonformal dan
pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin
negara, pemimpin bangsa dan pemimpin
Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya
luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, kemasyarakat.

-94-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Mengarahkan orientasi pendidikan yang


mengutamakan aspek pengenalan menjadi
pendidikan yang bersifat terpadu dengan
menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran
agama dan budaya luhur bangsa serta pendidikan
watak dan budi pekerti yang menekankan
keseimbangan antara kecerdasan, intelektual,
kematangan emosional dan spiritual, serta amal
kebajikan.
a. Mengupayakan agar setiap program pembangunan
dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa
dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun
evaluasi.
b. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia
dalam Pembukaan UUD 1945, etika sangat
diperlukan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Pokok-pokok etika, meliputi etika sosial budaya,
etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan
bisnis, etika pelaksanaan yang adil, etika ilmiah,
etika lingkungan, membantu pemerintah,

-95-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

penyelenggara negara, pemerintah untuk


menghasilkan kualitas yang lebih baik, dan menjadi
acuan bagi seluruh warga negara Indonesia dari
kehidupan untuk rakyat. Untuk itu perilaku PNS dan
masyarakat Indonesia mengutamakan kejujuran,
akhlak mulia, kredibilitas, sportivitas, disiplin, etos
kerja, kemandirian, toleransi, rasa malu dan
tanggung jawab, serta kehormatan, harkat dan
martabat bangsa, bersedia mendukung kebanggaan.
(Handoyo et al., n.d.)

4) Mewujudkaan rasa persaudaraan antara sesama


umat atas dasar Cinta Kasih

Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha


Esa menyampaikan cinta kasih kepada sesama
manusia. Dalam kepercayaan Ugamo-Malim, itu
adalah Haholongan dongan jolma (Cinta sesama) dan
songon holong ni roha niba tu diri niba songon ima
holong niroha tu dongan (layaknya menyanyangi diri
sendiri harus seperti itu juga dalam menyanyangi
orang lain). Dalam hal ini, penghayat Kepercayaan

-96-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus bertindak


dengan mempertimbangkan orang lain.

Penghayat Kepercayaan harus dapat membawa


diri dalam meningkatkan kepedulian sosial dengan
cara bersikap dan berperilaku BERSIH (Benar) dengan
mengekang nafsu diri, dalam 5 aspek "Poda
Hamalimon" (5 pitutur perilaku suci) dalam ajaran
Kepercayaan Ugamo Malim (Sitorus, 2013), yaitu:
a. Duduk benar (mengenali diri dan tanggung jawab,
serta kewajiban. Tidak mengutamakan hak dan
wewenang, menjaga kedudukan, hak dan wewenang
orang lain).
b. Makan Benar, (memperoleh nafkah, pekerjaan dan
harta yang benar, serta hidup sederhana, hemat dan
iklas berderma).
c. Melihat Benar (menjaga martabat dan kehormatan
kemanusiaan, kesusilaan, rendah hati dan
menghormati setiap manusia, terutama yang lemah
dan kurang beruntung).

-97-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

d. Bicara Benar (ucapan dan pendapat yang baik, jujur


dikatakan dengan santun dan bijaksana, jujur serta
lembut).
e. Berjalan Benar (bertindak/perilaku menuruti
kepantasan hukum, dan beradab sesuai norma,
terpercaya, tidak mengandalkan ego kuasa,
kekuatan, harta maupun kemampuan).

5) Memenuhi Kewajiban Kemanusiaan dalam


Berbangsa dan Bernegara

Sebagai warga negara Indonesia penghayat


Kepercayaan memiliki kewajiban untuk menggali dan
membangun kembali warisan budaya kearifan
nasional kita. Sebagai bekal dalam memperkuat
ketahanan berbangsa dan bernegara secara jujur dan
adil seperti yang diamanatkan dalam UUD 45 dan
Pancasila. Dimana Pancasila Dasar Negara, setiap
negara didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah
itu merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya,
Oleh karenanya setiap negara mempunyai falsafah
yang berbeda, karena suatu falsafah itu identik

-98-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dengan keinginan dan watak rakyat dan bangsanya,


tidak mungkin untuk mengambil falsafah bangsa lain
untuk dijadikan falsafah bangsanya begitu saja. Pada
waktu Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rapat-
rapatnya mencari philosofische grondslag untuk
Indonesia yang akan merdeka. Pancasila diputuskan
sebagai Dasar Negara. Hal ini berarti bahwa setiap
tindakan rakyat dan negara Indonesia harus sesuai
dengan Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai
Dasar Negara itu. Membahas fungsi Pancasila,
sebenarnya berkaitan erat dengan persoalan apa
peranan Pancasila dalam dan bagi kehidupan bangsa
Indonesia, sehingga di dalamnya terkait pula
kedudukan Pancasila. Pada dasarnya Pancasila
merupakan “Dasar Negara” dan “Pandangan hidup
bangsa Indonesia”. Dari kedua pengertian dasar ini
dikembangkan berbagai macam predikat yang
dihubungkan dengannya, mengingat fungsi Pancasila
demikian luas dalam kedudukannya sebagai pedoman
untuk mengatur penyelenggaraan negara dan

-99-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

kehidupan bangsa. (U. Basuki, 2019)

Bagi penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan


yang Maha Esa moral dan etika merupakan refleksi
dari ketinggian tingkat kesadaran mental-spiritual
yang harus dicapai atau pernah dicapainya, untuk
mencapai Memayu Hayuning Diri, yaitu senantiasa
mawas diri, agar selalu berada dalam kondisi Memayu
Hayuning sesama, yaitu mawas kebersamaan (tepa
selira).

6) Pancasila Sebagai Dasar Etika Kehidupan


Berbangsa Dan Bernegara.

Dipahami bahwa sila-sila Pancasila merupakan


suatu sistem nilai, artinya setiap sila memiliki nilai,
tetapi sila-sila tersebut saling berhubungan, saling
bergantung secara sistematis, dan terdapat
tingkatan-tingkatan antara nilai sila yang satu
dengan sila lainnya.

Berkaitan dengan nilai-nilai etis yang terkandung


dalam pancasila, maka pancasila merupakan
seperangkat nilai yang dilandasi oleh prinsip-prinsip

-100-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.


Nilai-nilai tersebut berupa nilai-nilai agama, nilai
adat, budaya, dan setelah disahkan menjadi dasar
negara yang termasuk dalam nilai-nilai kebangsaan.

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar falsafah


negara harus dituangkan dalam suatu standar yang
menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara,
bahkan dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Ada dua jenis standar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu standar
hukum dan standar moral atau etika. Pancasila yang
dikenal sebagai norma hukum positif, dinyatakan
dalam ketentuan hukum yang tegas, dikonkretkan
dalam sistem hukum Indonesia.

Sebaik apapun suatu hukum, jika


pelaksanaan dan penyelenggaraan negaranya tidak
dilandasi akhlak mulia, maka hukum dengan
sendirinya tidak akan mencapai keadilan.
VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat, yang merupakan
penyempurnaan nilai-nilai Pancasila menjadi

-101-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pedoman berpikir, bersikap, dan berperilaku yang


mencerminkan nilai-nilai agama dan budaya yang
mengakar dalam masyarakat. hidup bagi jiwa
manusia.

Tujuan etika kehidupan berbangsa, bernegara,


dan bermasyarakat adalah:
1) Memberikan landasan moral dan etika bagi seluruh
komponen bangsa dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa di berbagai bidang.
2) Mendefinisikan prinsip-prinsip etika kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
3) Digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi
pelaksanaan nilai-nilai etika dan moral dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Etika kehidupan berbangsa meliputi
etika sosial dan budaya. Etika ini muncul dari
kedalaman kemanusiaan yang menunjukkan sikap
jujur, saling menjaga, pengertian, menghormati,
saling mengasihi dan tolong menolong antar
sesama dan anak bangsa. Selain itu, etika ini juga
mendorong budaya malu yaitu malu melakukan

-102-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

kesalahan dan segala sesuatu yang bertentangan


dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya
populer. (Ilmiah & Amri, 2018)

7) Peran Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa dalam Meningkatkan Karakter
Bangsa

Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang


Maha Esa dalam menigkatkan karakter bangsa
sebagai berikut:
a. Budaya Nasional.
b. Pendidikan Nasional.
c. Potensi Nasional.
d. Globalisasi.
e. Interaksi.
f. Akal budaya kearifan lokal.
Dengan adanya Kesadaran utuh, mesu budi atau
pencerahan batin, menjiwai pancasila, aplikasi
spiritual-sosial, dan kepribadian Indonesia (budi
luhur) maka akan tercapai karakter bangsa yang baik.
Peran penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam meningkatkan karakter bangsa

-103-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

berakar dari kearifan lokal budaya yaitu budaya


Nasional, Pendidikan Nasional dan potensi Nasional
yang akan menghasilkan kesadaran yang utuh,
pencerahan batin, menjiwai Pancasila, aplikasi
spiritual-sosial, kepribadian Indonesia (Budi Luhur)
dan tetap dalam lingkaran pluralisme dalam
Bhinneka Tunggal Ika yang akan menghasilkan
karakter ke Indonesiaan yaitu Memayau Hayuning
Pribadi (mawas diri), Memayu Hayuning Sesama (stepo
saliro), Memayu Hayuning Bawana (wicaksana).

Budi pekerti menjadi ajaran hidup dan tuntunan


moral dalam lingkup masyarakat nusantara yang
berasal dari integritas nilai yang tertanaman pada
setiap individu dengan menunjukkan peranannya
dalam tatanan sosial ber-masyarakat. Individu yang
memiliki karakter budi pekerti luhur adalah aset
bangsa yang memiliki peran penting dalam Memayu
Hayuning Pribadi, masyarakat bangsa dan negara
sebagai pondasi jati diri. (Riastuti et al., 2022).

-104-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bab 5
Manifestasi Etika Politik
Dedi P. & Desi M.

A. Manifestasi Etika Politik di Indonesia

Indonesia adalah negara yang “Adiluhung”. Dalam


perkembangannya partai politik (Parpol) telah berfungsi
dan berperan dalam sistem politik demokrasi. Dalam
sudut pandang Amien Rais keluhuran politik adalah
untuk merealisasi kesadaran etika keriligiusan atas
peran seseorang yang bermanfaat bagi masyarakat luas
lebih dari sekedar orang lain membuat orang lain bisa
berperan (Fathorrahman, 2014).

-105-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Secara terminologis keluhuran politik bermakna


sebagai basis politik yang luhur dan bukan politik tinggi
yang terkesan ekslusifitas. Luhur yang dimaksud
mengenai etika religius yang dipsosisikan sebagai basis
politik yang berbadan sosial (kelembagaan) serta
prilaku. Hal tersebut dicermati dari tiga ciri-ciri
keluhuran politik yang diutamakan dalam pemikiran
Amien Rais (dalam Fathorrahman, 2014) “pertama,
politik sebagai amanah dan sebagai konsep religius.
Kedua, kesadaran akan tanggung jawab politik. Ketiga,
keterkaitan politik dengan prinsip spiritualitas yang
melampaui batas etnik, ras, keyakinan, dan status sosial
ekonomi budaya lainnya”. Selain itu, dalam tindakan
politik seyogyanya mengacu pada nilai-nilai keluhuran
dianataranya, keterbukaan, keberanian, kejujuran dan
tanggung jawab. Agar setiap perbuatan yang dilakukan
oleh politisi hanya berdasarkan komitmen dirinya
kepada Tuhan. Juga menjadi salah satu sumber pokok
dalam melakukan perubahan kehidupan dimasyarakat
(society).

-106-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Masyarakat Indonesia dalam menyikapi


perkembangan jaman selalu dihubungkan dengan
pesan-pesan yang disampaikan oleh leluhurnya, hal
tersebut dapat dilihat dari kelompok/organisasi
Peghayat Kepercayaan. Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa menjadi salah satu modal sosial guna
berkembangnya prilaku yang mempercayai nilai-nilai
tradisi dan tumbuh dari leluhurnya. Kepecayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia telah
berkembang dari jaman nenek moyang, jauh sebelum
agama masuk di Indonesia (Ab, 2020).

Pandangan penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa tentang etika politik bukan hanya
menilai dari sisi kebutuhannya saja melainkan menilai
dari nilai kepatuhannya kepada leluhurnya sebagai
tauladan dalam menjalankan kehidupan serta lebih
mengutamakan aspek kebatinan (hati nurani). Seperti
halnya yang dipaparkan oleh Andri Hernandi (2014b)
“Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bersumber
kepada kebatinan”. Berdasarkan ungkapan tersebut
dapat disimpulkan dalam menyikapi suatu hal,

-107-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa


memiliki banyak pertimbangan. Berikut beberapa
pandangan penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dalam menyikapi sistem etika politik di
Indonesia:
1. Paguyuban Satya Bhumiputra Indonesia (SBI)

Menurut Ki Aditya R. Kertawidjaja ketua Paguyuban


Satya Bhumiputera Indonesia (SBI) dalam wawancara
mengatakan bahwa, sistem politik di Indonesia sudah
baik akan tetapi dalam penerapanya belum sesuai
dengan falsafah Pancasila. Sebagai contonya dalam
penerapan etika yang tekandung dalam sila ke 4
“Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Ki Aditya juga
menjelaskan bahwa mayoritas Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih kurang sadar
politik yang dimana Penghayat Kepercayaan hanya
memandang politik hanya dari sistem perebutan
kekuasan saja (politik praktis), sehingga dibutuhkan
sosialisasi tentang pehamanan sistem politik.

-108-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Ki Aditya juga menyampaikan bahwa “seluruh


warga Indonesia memiliki hak politik yang sama,
semestinya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan
baik” dari pandangan Ki Aditya dapat disimpulkan
bahwa Penghayat Kepercayaan perlu benat-benar
paham akan sistem politik dan sistem etika politik yang
berkembang di Indonesia. Agar dalam penerapannya
tidak lepas dari falsafah Pancasila dan ajaran
Kepercayaan yang budi luhur.

2. Paguyuban Budaya Bangsa (PBB)

Menurut Hadi Bayu Adji Ketua Umum Paguyuban


Budaya Bangsa (PBB) dalam wawancara mengatakan
bahwa pengertian secara teori tentang sistem politik
maupun sistem etika politik tidak ada, akan tetapi
dalam pelaksanaan tata organisasi telah menerapkan
baik sistem politik maupun sistem etika politik. Seperti
halnya dalam menentukan kebijakan Paguyuban
Budaya Bangsa menerapkan prinsip musyawarah dalam
menentukan keputusan ataupun kebijakan.

-109-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Hadi Bayu Adji Juga menjelaskan bahwa anggota


Paguyuban Budaya Bangsa menjalankan politik
berdasarkan pesan luhur “jangan campur adukan politik
dengan spiritual” yang mengandung makna bahwa
anggota Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) tidak boleh
mencampurkan adukan urusan politik dengan urusan
spiritual, politik yang dimaksud adalah politik untuk
mencari jabatan/kekuasaan tertentu. Selain dari pesan
tersebut pesan tersebut ada ungkapan yang
disampaikan oleh Ki Nurhadi tokoh pendahulu
Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) yaitu “asung andil, apa
manggul bedhi?” (turut/ikut menyumbang, apa
mengangkat senapan?) dari ungkapan yang berbentuk
pasemon tersebut bermakna semua anggota yang diberi
kebebasan untuk memilih tindakan apa yang harus
dilakukan dan anggotanya memilih “asung Andil” yang
berarti bahwa tidak turut serta secara langsung
melaikan ikut mendukung suatu kegiatan untuk
kebaikan bersama. Sebagai contoh dalam pelaksanaan
pesta demokrasi yang dilaksanakan Pemerintah
(pemilu) anggota Paguyuban Budaya Bangsa (PBB)

-110-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

tidak ikut mendukung salah satu Partai Politik (Parpol),


melaikan turut mendukung pelaksanaan pemilu seperti
ikut membantu kegiatan pemungutan suara atau
kegiatan lain untuk mendukung terlaksananya pemilu.

Selain dari dua ungkapan tersebut Anggota


Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) juga memperhatikan
ajaran “panca bakti” yang salah satunya berbunyi “bakti
kepada pemerintah” yang mengharuskan anggotanya
patuh dan taat pada peraturan pemerintah Indonesia
seagai wujud baktinya negara (Tjaroko, 2004). Hadi
Bayu Adji juga menjelaskan tentang sistem etika politik
yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tetap
mengedepankan moralitas yang bersumber dari ajaran
yang budi luhur. Hal tersebut juga ditegaskan oleh
Turimin, S.Pd. Ketua Bidang Keorganisasian Paguyuban
Budaya Bangsa, yang menjelaskan bahwa dalam
mencapai suatu tujuan tetap menerapkan moral dan
norma yang berasal dari ajaran.

-111-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

3. Parmalim

Menurut Marubat sitorus dalam wawancara


mengatakan bahwa Secara eksplisit memang dalam
ajaran Parmalim tidak ada unsur politik. Namun barang
siapapun dari penghayat Parmalim yang terjun ke dunia
politik yang menjadi acuannya adalah poda hamalimon
na 5i yang meliputi. 1. Parhundulon: seimbang dan
sesuai aturan tentang Hak dan Kewajiban, Wewenang
dan Tanggung jawab. 2. Parmanganon: Bersih dan jujur
dalam hal sumber dan penggunaan dana, 3.
Pamerengon: Peduli dan menghormati orang lain. 4.
Panghataion: terpercaya dalam hal pemikiran, ide,
pendapat dan tulisan (Jujur, Terbuka dan santun), 5.
Pardalanon: Taat hukum, norma dan adat tanpa upaya
memperdaya ketentuan hukum yang adil sekalipun
Kuat, Berkuasa, Pintar dan Terampil. (Dang
dipangasahon i manuruk/mangalangkai sabor, mandege
pinggol ni dalan manang papan na ungkal, berazaskan
Adat, Norma dan Hukum)

4. Ak. Perjalanan

-112-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Menurut Andri Hernandi, Ketua Aliran Kebatinan


Perjalanan dalam wawancara menyatakan bahwa
“dalam Aliran Kebatinan Perjalanan secara teori sistem
etika politik tidak ada” akan tetapi kembali kepada
ajaran. Pada ajaranya mengenal konsep “Lahir
kawulaning nagara” yang bermakna warga Aliran
Kebatinan Perjalanan harus tunduk pada peraturan
negara.

Konsep ajaran tersebut menjadi pedoman warga


Aliran Kebatinan Perjalanan untuk mematuhi Pancasila
Undang-undang Republik Indonesia 1945, dan
peraturan pemerintah lainya. Dalam pandangan
spiritual telah dijelaskan pada buku Aliran Kebatinan
Perjalanan (2014) “Pergulatan para pembesar (Menteri-
menteri, Anggota-anggota DPR Pusat/Daerah, Pemimpin
Masyarakat, Pejabat dll) bersifat mengadu luhur ilmunya,
gagasan yang masuk akal, tertib dan rapihnya
argumentasi/motivasi, tajamnya lidah, lincahnya
berbantah dan menerawang untuk waktu yang akan
datang dengan menggambarkan apa yang menjadi tujuan

-113-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dan harapan sesuai dengan fungsi kampanye pemilihan


umum ”.

Pandangan warga Aliran Kebatinan Perjalanan yang


menyikapi kejdian pemilu Tahun 1982, dengan
membaca pentunjuk alam dari letusan gunung
Galunggung. Yang dimana proses berjalannya pestaa
demokrasi tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan
ajaran leluhur yang digambarkan dalam peristiwa
meletusnya gunung Galunggung (Hernandi, 2014;
Yuslih, 2021).

Pandangan ilmu politik yang dianggap kurang baik


oleh sebagian besar masyarakat indonesia disebabkan
karena kurang pemahaman masyarakat indonesia tentang
ilmu politik dan kurangnya penerapan etika politik dalam
mewujudkan sebuah misi melalui pendekatan politik.
Penerpan etika politik yang baik akan membawa
pandangan baik tentang ilmu politik yang sejatinya
merupakan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan tujuan.

Bangsa indonesia dalam penerapan Etika politik tidak


lepas dari dasar negara yaitu Pancasila sebagai suatu

-114-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

sistem filsafat yang pada hakikatnya merupakan suatu


nilai dan merupakan sumber dari segala penjabaran
norma, baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila terkandung
didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat
kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif
(menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu
nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara
langsung menyajikan norma-norma yang merupakan
pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praktis
melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar
(Kartika, 2013).

B. Implementasi Sistem Etika Politik di Indonesia

Implementasi etika politik di indonesia dapat dilihat


dari cara atau sistem yang digunakan Penghayat
kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berangkat
dari kearifan lokal di Indonesia yang telah menjadi tradisi
yang tidak dapat ditinggakan masyarakat Indonesia
khususnya bagi Penghayat Kepercayaan. Berikut contoh
perwujudan sistem etika politik yang berkembang

-115-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dikalangan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang


Maha Esa dan telah menjadi adat kebiasaan:

1) Gotong Royong

Gambar 5. 1 (sumber:
https://www.orangperak.com/amalan-usung-
rumah-yang-kian-dilupakan.html) Tradisi
Marakka Bola

Gotong-royong menjadi salah satu manifestasi


atau bentuk penerapan dari sebuah sistem pada
tatanan masyarakat, dalam pandangan sistem etika
politik di indonesia gotong-royong merupakan sebuah
sistem yang digunakan masyarakat dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat sejak dahulu kala. Pengertian
gotong-royong sendiri adalah sikap positif yang
mendukung dalam perkembangan suatu tatanan
masyarakat dan juga perlu dipertahankan sebagai

-116-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

suatu perwujudan kebiasaan melakukan suatu


pekerjaan dengan cara bersama-sama (K. Basuki,
2019).

Dalam persepektif Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa, makna gotong-royong sering kali
menjadi budaya yang diwariskan secara turun
temurun. Berbicara tentang ajaran kepercayaan yang
sanggat beragam tidak menjadi suatu batasan dalam
penerapan makna gotong-royong dalam kehidupan,
salah satunya dari ajaran Kepercayaan Terhadap
Tuhan Maha Esa di Paguyuban Budaya Bangsa. Ajaran
tentang gotong royong terdapat pada sesanti
Paguyuban Budaya Bangsa, yaitu “sepi ing pamrih
rame ing gawe” yang mempunyai makna mengerjakan
sesuatunya mengharap agar mendapat imbalan yang
sesuai dengan hasil pekerjaan yang dikerjakan, bukan
mengharap imbalan yang sesuai dengan kebutuhan
(Tjaroko, 2004).

Secara sistem etika politik dalam sesanti yang


ada di Paguyuban Budaya Bangsa menjadi bukti

-117-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

penerapan sebuah sitem yang sesuai dengan


ajarannya yang dimana seorang manusia tetap dapat
berhubungan kerja tidak hanya menilai dari segi
materi saja. Melainkan bagaimana seseorang dapat
membantu dalam bidang pekerjaan tertentu untuk
sesuatu yang sesuai dengan haknya bukan sesuai
dengan kebutuhannya.

Selain itu, dalam sesanti Paguyuban Budaya


Bangsa juga terdapat makna gotong-royong yang
menjadi salah satu pedoman menjalin hubungan antar
sesama. Sesanti tersebut berbunyi “Hidup Bergotong-
royong” yang dalam pemaknaannya “dalam kehidupan
sehari-harinya diwajibkan untuk saling berhubungan
satu sama lain serta melaksanakan hidup
bermasyarakat sehari-harinya, manusia hendaknya
berdasar kepada kebaikan dan kebenaran agar
masyarakat kita menjadi masyarakat yang baik dan
benar” (Tjaroko, 2004).

Gotong-royong menjadi bukti penerapan sebuah


sistem di dalam masyarakat dengan tidak

-118-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

meninggalkan aspek-aspek keluhuran dalam suatu


ajaran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Gotong-royong juga mampu menjadi sebuah alat
untuk mencapai tujuan bersama serta mampu
mempersatukan kebhinekaan yang ada di Indonesia.

2) Musyawarah Mufakat (Rembuk/Sambung Rasa)

Gambar 5. 2 (Sumber: https://theglobal-


review.com/pemilihan-kepala-desa/musyawarah/)
Musyawarah

Musyawah mufakat adalah salah satu contoh


cara yang dapat digunakan untuk memngambil sebuah
keputusan atau kebijakan yang bersumber dari
falsafah sila ke 4 Pancasila yng dapat dilihat daari
pembukaan UUD RI 1945. Tetapi pada kenyaataannya
dalam pelaksaanaan musyawarah mufakat sering
terjadi penyimpangan sistem etika yang dimana
keputusan mutlak berada pada pemangku kebijakan
(Permatasari & Seftyono, 2014). Sering juga dalam

-119-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pelaksanaan musyawarah mufakat tidak mencapi


sebuah keputusan yang sesuai dengan topik
pembahasan untuk membawa sebuah tujuan besar
dalam suatu musyawarah. Dalam keadaan tersebut
akan membawa musyawarah yang tidak sesuai dengan
konsepnya. Musyawarah untuk mufakat pada dasarnya
merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia yang
terkandung dalam Pancasila sila keempat. Tujuan
tersendiri adanya musyawarah untuk mufakat adalah
membentuk rakyat yang harmonis dan memperatakan rasa
kekelurgaan serta semangat kebersamaan (Ii &
Musyawarah, 2012).

Konsep musyawah mufakat sudah dikenal dan


terapkan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, contohnya dalam Simposium
Kepercayaan tahun 1970 di Yogyakarta. Yang
mendapatkan rekomendasi atau saran untuk
melaksanakan Musyawarah Nasional Kepercayaan
yang pertama di Yogyakarta. Serta mendapatkan hasil
mufakat yang termuat dalam Sejarah Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia “menghasilkan

-120-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pembentukan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan


(Kebatinan, Kejiwaan, dan Kerohanian) menggantikan
BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia)” (Bustami,
2017).

Selain dari sejarah kepercayaan yang sudah


menerapkan konsep musyawarah mufakat dalam
kegiaataan nasional, beberapa organisasi Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mempunyai ajaran
yang merujuk pada konsep musyawarah mufakat
diantaranya; dalam ajaran kebudayaan Jawi Tunggul
Sabdo Jati Doyo Among Rogo, mempunyai ajaran
“hora sepata hanepatani” yang mempunyai makna
Tidak berbicara yang tidak baik, semua hal dapat
dimusyawarahkan. sedangkan pada paguyuban uban
llmu Roso Sejati bersumber pada wewarah Supadi
dalam ajarannya mengenal sebuah konsep
“Bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan
bersama” (Tim Direktorat Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, 2017). Selain dari
ajaran-ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang menggunakan musyawarah mufakat.

-121-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Musyawarah dan mufakat juga digunakan hamper


semua Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.

C. Manisfestasi Etika Politik Dalam Organisasi


Kepercayaan

Penerapan sistem etika politik di Organisasi


Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat
dilihat dari sebagaimana organisasi tersebut mengikuti
perkembangan era dengan tidak meninggalkan tradisi
serta ajaran yang telah diwarikan secara turun temurun.
Berikut penerapan sistem maupun etika politik pada
Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa:

1) Paguyuban Satya Bhumiputra Nusantara (SBI)

Manifestasi sistem etika politik di Paguyuban


Satya Bhumiputera Indonesia (SBI) dijelaskan oleh Ki
Aditya R. Kertawidjaja ketua Paguyuban Satya
Bhumiputera Indonesia (SBI) bahwa “secara
keorganisasi menerapkan politik gotong-royong” yang
dimana peranan dari semua yang anggota dan

-122-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

pengurus paguyuban tetap mempunyaai peran yang


sama dalam mewujudkan tujuannya. Sedangkan
dalam penerapan sistem etika politik pribadi
dikembalikan kembali pada falsafah jawa “Memayu
hayuning pribadi” “ndelok gitoke dewe” dan “ojo
rumongso biso nagging biso rumongso”.
Sehingga dalam penerapan etika politik tetap
ingat akan ajaran leluhur yang berbudi serta menjadi
refleksi diri akan budaya adiluhur bangsa Indonesia. Ki
Aditya menjelaskan bahwa manifestasi etika politik
dapat diterapkan memalui “tutur” atau ucapan, yang
membawa pemikiran untuk mengkontrol tata bahasa
dalam berbicara.

2) Paguyuban Budaya Bangsa (PBB)

Paguyuban Budaya Bangsa merupakan paguyuban


atau organisasi kepercayaan yang berkembang di
Indonesia. Seperti organisasi kepercayaan lainnya,
Paguyuban Budaya Bangsa berpedoman pada
peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh
pemerintah yaitu Permendikbud nomor 77 tahun 2013

-123-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan


Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat
dan juga Permendagri nomor 44 tahun 2009 tentang
Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah dengan Organisasi
Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya
(Adhitama, 2022). Paguyuban Budaya Bangsa dalam
menerapkan sistem etika politik pada
keorgaisasiannya menggunakan 2 (dua) sistem yang
melupi:
a. Menentukan kepemimpinan
Dalam proses menentukan kepemimpinan
Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) mengunakan
konsep trahin kusuma atau garis keturunan.
Dalam istilah modern trahing kusumo sering
disebut juga dengan sistem kepemimpinan
kharismatik, yang dimana sosok seorang tokoh
yang dipercaya mampu membawa
organisasi/kelompok masyarakat untuk mencapai
tujuan. Kepemimpinan kharismatik menekankan
tujuan idiologis yang erat hubungannya dengan

-124-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

misi kelompok kepada nilai-nilai, cita-cita serta


aspirasi yang dirasakan bersama dari anggotanya.
Selain itu Kharismatik juga didasarkan pada
kekuatan yang luar biasa yang dimiliki seseorang
tokoh sebagai anugerah dari Tuhan yang maha
esa dan dianggap (bahkan) diyakini memiliki
kekuatan spiritual serta istimewa dipandang
anggotanya (Fauzan, 2019). Sehingga dalam
menentukan pemimpin di organisasi/paguyuban
Pusat anggota Paguyuban Budaya Bangsa (PBB)
selalu meminta kepada keturunan Ki Bagus Hadi
Kusumo (pencetus ajaran) untuk melanjutkan
kepemimpinan dari pendalunya.

b. Menentukan Kebijakan
Paguyuban Budaya Bangsa dalam
menentukan kebijakan tetap menggunakan sistem
demokrasi yaitu musyawarah mufakat sebagai
keputusan tertinggi. Dalam pemaknaan
musyawarah tersebut tidak lepas dari falsafah
Pancasila dan ajaran luhur, yang dimana saling

-125-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

menghargai pendapat dari semua anggota selalu


diutamakan dan menyepakati keputusan yang
sesuai dan relevan dengan topik pembahasan
(hasil wawancara dengan Hadi Bayu Adji, Ketum
Paguyuban Budaya Bangsa).
Hadi Bayu Adji juga menjelaskan bahwa dalam
melaksanakan keorganisasian antara anggota dan
pemimpin masih menerapkan prinsip “manunggaling
kawulo gusti” yang dimana hubungan antar pemimpin
dan anggota tetap satu suara yang didapatkan melalui
musyawarah mufakat. Serta dalam keanggotaannya
Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) tidak ada status
secara formal, melaikan bukti refleksi dari ajaran yaitu
“kepatuhan antara murid dan guru” yang menjadi
sebuah pengikat batin antara anggota kepada tokoh-
tokoh dan pendahulu Paguyuban Budaya Bangsa
(PBB). Dapat disimpulkan bahwa Paguyuban Budaya
Bangsa (PBB) dalam menerapkan sistem etika politik
tetap berpegang teguh pada falsafah Pancasila sebagai
ideologi Bangsa Indonesia dan ajaran leluhurnya

-126-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dalam menjalani kehidupan baik secara individu


maupun kelompok.

3) Parmalim
Dalam ajaran parmalim yang dijelaskan oleh
Marubat Sitorus, Sekretaris Jendral Parmalim, bahwa
pada dasarnya manifestasi etika politik ini bukan
hanya untuk parmalim namun lebih kepada
masyarakat batak khususnya batak toba dimana
organisasi dalam masyarakat yang generik. Bahwa
tujuan dibentuk dari musyawarah masyarakat
parmalim dengan konsep “sijuguk simarata molo dung
disi raja naung disi do ompunta debata” Yang
maknannya jika para orang tua sudah berada di
tempat musyawarah maka Tuhan sudah hadir
ditempat musyawarah tersebut. setiap tempat kodrat
lahir yang di ketahui garis keturunan dan tanda-tanda
kebijaksanaan sebagai seorang pemimpin.
Pelaksanaan manifestasi etika politik adalah
cualerif komunitas bahwa setiap unit memiliki
kemerdekaan masih berberbeda, desa memiliki aturan
sendiri bahkan sampai unit kecil seperti huta, horja,

-127-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

bius, dengan konsep “mansi jujung baringin nabe” yang


maknananya menjunjung aturan yang berlaku di
wilayah masing-masing. Tujuan musyawarah untuk
kerukunan bersama, politik untuk musyawarah
tujuannya diperlukan kesetiakawanan sosial budaya
dimana cara memandang orang lain harus lebih
dahulu memandang diri sendiri.

-128-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Daftar Pustaka

Ab, S. (2020). Penghayat Kepercayaan Merupakan Pelestari


Nilai-nilai Budaya Luhur. Pemerintah Kabupaten
Manggarai Barat.

Adhitama, S. (2022). IMPLEMENTASI AJARAN KEJAWEN


OLEH PAGUYUBAN BUDAYA BANGSA. 22.

Alamsyah, A. (2012). Etika Politik. Alauddin University Press.

Anggriani Alamsyah, Sip., M. (2012). Etika Politik.pdf.

Aryono. (2018). Pergulatan Aliran Kepercayaan dalam


Panggung Politik Indonesia, 1850an-2010an: Romo
Semono Sastrodihardjo dan Aliran Kapribaden. Jurnal
Sejarah Citra Lekha, 3, 58–68.

Basuki, H. (2016). Nilai-Nilai Luhur Kepercayaan terhadap


Tuhan Yang Maha Esa dan Strategi Pemanfaatannya.
2016, 15.

Basuki, K. (2019). Sistem Pemilu. ISSN 2502-3632 (Online)


ISSN 2356-0304 (Paper) Jurnal Online Internasional &
Nasional Vol. 7 No.1, Januari – Juni 2019 Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta, 53(9), 1689–1699.

Basuki, U. (2019). Dasar Negara dan Hukum Dasar: Suatu


Telaahan Yuridis atas Relasi Pancasila dan UUD 1945.
Supremasi Hukum, 8(1), 21–48.

-123-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Bera, K. (n.d.). Relevansi Hubungan Etika-Politik Menurut


Aristoteles Bagi Kehadiran Politik Kebohongan di
Indonesia.

Bustami, A. L. (2017). Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan


Yang Maha Esa Indonesia. Pendidikan Dan Latihan
Jabatan Penyuluh Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, 1–54.

Dwiyanto, D. (2010). Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan


Yang Maha Esa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pararaton.

Endraswara, S. (2012). the Aspect of Noble Characters and


Memayu Hayuning Bawana in Mystical Literatures of
Believer of One Supreme God. Jurnal Pendidikan
Karakter, 2(2), 225–238.

Etika Berdemokrasi Pancasila dalam Konstestasi Politik di Era


Digitalisasi. (2019).

Fathorrahman. (2014). Paradigma Politik Profetik: Sebuah


Pembacaan Ideorafik erhadap Politik Adiluhung Amien
Rais. IN RIGHT Jurnal Agama Dan Hak Azazi Manusia,
4(1).

Fauzan. (2019). KEPEMIMPINAN KHARISMATIK VERSUS


KEPEMIMPINAN VISIONER Fauzan. 22(1), 68–79.
https://doi.org/https://doi.org/10.35719/aladalah.v22i1.1
1

Handoyo, E., Si, M., Munandar, M. A., & Sos, S. (n.d.). Etika
politik.

-124-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Hartati; Firmansyah Putra. (2019). 8828-Article Text-21564-


1-10-20200305. In Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Fisipol Universitas Jambi (Vol. 2, Issue Etika Politik dalam
Politik Hukum di Indonesia).

Hernandi, A. (2014a). Budaya Spiritual Aliran Kebatinan


Perjalanan. 2.

Hernandi, A. (2014b). Eksitensi Organisasi dan Kehidupan


Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Rapat Teknis
Pelestarian Budaya, 1–14.

Ii, B. A. B., & Musyawarah, A. N. (2012). Implementasi Nilai


Musyawarah…, Oktaviary Indun Permatasari, FKIP UMP,
2019.

Ilmiah, A., & Amri, S. R. (2018). PANCASILA SEBAGAI


SISTEM ETIKA PANCASILA as an ETHICAL SYSTEM
Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis
multidimensional di segenap aspek dicita-citakan ,
senantiasa berdasarkan pada. Jurnal Voice of Midwifery,
08(01), 760=768.

Kartawinata, M. (1953). Pancasila Dasar nagara sanes agama.

Kartika, I. M. (2013). Politik Di Indonesia. Jurnal UMM


Komunikasi Politik, 53(9), 10.
http://eprints.umm.ac.id/38681/2/BAB I.pdf

Kristiadi Dkk. (1983). Sejarah Perkembangan Kepercayaan Dan


Masalah Yang Dihadapinya.pdf.

Maarif, S. (2012). Pasang surut rekognisi agama leluhur


dalam politik agama di indonesia. In Journal of Chemical

-125-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9).

Maarif, S. (2018). Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur


Dalam Politik Agama Di Indonesia (L. K. Pary (Ed.); Imam
Syahi). CRCS (Center for Religious and Cross-cultural
Studies).

Mahendra, putu ronny angga. (2015). Pancasila sebagai etika


politik. 30.

Muh, Y. (1971). Naskah Persiapan UUD 1945 (1st ed.).

Muskens, D. M. P. M. (1973). Sejarah Gereja Khatolik


Indonesia.

Nasrun, M. M. (1954). Pancasila. Pusaka Lama.

Pasaribu, R. B. F. (2013). Pendidikan Pancasila Sebagai Etika


Politik. Ittihad Jurnal Koperitas Wilayah XI Kalimantan,
II, 37–56.

Patty, S. A. (1986). “Aliran Kepercayaan” a Socio-religious


Movement in Indonesia (Disertasi). State University,
Department of Anthropology.

Pawestri, S. (2019). Etika Politik dan Radikalisme Yang Terjadi


di Indonesia Ditinjau Melalui Pandangan Para Ahli
Aristoteles dan Machiavelli.

Permatasari, D., & Seftyono, C. (2014). MUSYAWARAH


MUFAKAT ATAU PEMILIHAN LEWAT SUARA
MAYORITAS DISKURSUS POLA DEMOKRASI DI
INDONESIA. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 13(2), 1–
13. https://doi.org/10.21009/jimd.v13i2.6410

-126-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Pujanegara, A. setia. (2020). Agama kuring (E. Ruswana


(Ed.)). Budi daya.

Pureklolon, T. T. (2020). PANCASILA SEBAGAI ETIKA


POLITIK DAN HUKUM NEGARA INDONESIA. Law
Review, 21(1), 1–17.

Rahmat, S. (1981). Agama Asli Indonesia. : Sinar Harapan &


Yayasan Cipta Loka Caraka.

Riastuti, D., Dovi, F., Wasono, J. S., Sitorus, L., & Apriyatin,
D. N. (2022). Dalam Perspektif Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.

Rizal, D., & Zarkasi, A. (2019). Hubungan Etika Politik dan


Kekuasaan.

Sihombing, U. P. (2008). Menggugat Bakor Pakem Kajian


Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di
Indonesia. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).

Suta, I. B. (2016). Bioetika dalam Hindu: Studi kasus


fenomena bayi tabung di Bali. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu
Agama Dan Kebudayaan, 15(28), 1–17.
https://doi.org/10.32795/ds.v15i28.56

Tim Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa


dan Tradisi. (2017). Ensiklopedia Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
https://repositorio.ufsc.br/bitstream/handle/123456789/
186602/PPAU0156-D.pdf?sequence=-
1&isAllowed=y%0Ahttp://journal.stainkudus.ac.id/index
.php/equilibrium/article/view/1268/1127%0Ahttp://www
.scielo.br/pdf/rae/v45n1/v45n1a08%0Ahttp://dx.doi.org/

-127-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

10.1016/j

Tjaroko, A. (2004). Jabaran Sesanti.

Trisno S, S. dkk. (2011). Kertas Posisi: Menuntut Pemenuhan


Hak-Hak Konstitusional Penhayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Human Rights Working Group,
kerjasama dengan Masyarakat Dialog Antar Agama
(MADIA), Badan Kerjasama Organisasi- organisasi
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK),
dan Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa (HPK).

Yanto, D. (2017). Etika Politik Pancasila. Ittihad Jurnal


Kopertais Wilayah Kalimantan, 15(27), 23–28.

Yuslih, M. (2021). Epistemologi Pemikiran Karl R Popper Dan


Relevansinya Dengan Pemikiran Islam. JOURNAL
SCIENTIFIC OF MANDALIKA (JSM) e-ISSN 2745-5955 ,
2(9 (Septemb), 438–444.

-128-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Glosarium
Abangan : Abangan adalah orang yang tidak
menjalankan peribadatan yang
diwajibkan menurut syariat, ritual
keagamaan berdasarkan tradisi lokal.
Agraris : Sebutan yang ditujukan untuk suatu
negara dengan penduduk yang
sebagian besar bekerja di bidang
pertanian memiliki lahan dan
dukungan yang positif dari alam.
Akulturasi : Proses adaptasi kebudayaan dengan
tetap mempertahankan kebudayaan
lama
Animisme : Sistem pemujaan terhadap roh leluhur
Antroposentris : Teori etika lingkungan yang
memandang manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta. Manusia
dan kepentingannya dianggap yang
paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang
diambil dalam kaitan dengan alam
Arabisasi : Proses yang meliputi perubahan
bahasa yang digunakan sebagai
administrasi pemerintahan, pada
awalnya menggunakan bahasa Yunani
beralih ke bahasa Arab.
Asimilasi : Penyesuaian atau peleburan sifat asli
yang dimiliki dengan sifat lingkungan
sekitar
Bahari : Bahari sama dengan

-129-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

maritim merupakan bahasa arab yang


mengacu pada hal yang berkenaan
dengan laut, seperti pelayaran dan
perdagangan
Brahmana : Kasta pendeta agama Hindu atau
kasta tertinggi dalam agama Hindu
atau orang yang masuk golongan
pendeta dalam agama Hindu
Ekslusifitas Terpisah dari yang lain,khusus atau
Eksplisit Makna yang diutarakan secara
gamblang, tegas, dan berterus terang
Empiris : Pengalaman yang didapatkan dari
melakukan percobaan dari penemuan
dan pengamatan yang dilakukan
seseorang
Feodalisme : Sistem sosial politik yang
memberikan kekuasaan yang besar
kepada golongan bangsawan, sistem
sosial di Eropa pada abad pertengahan
yang ditandai oleh kekuasaan yang
besar di tangan tuan tanah
Heterogen Campuran yang terdiri dari dua zat
atau lebih yang tidak tercampur secara
sempurna, tidak merata
Hinduisme : Salah satu paham esensial realitas
hidup yang melahirkan agama Hindu.
Immanent : Kesadaran dalam akal budi (pikiran)
paham yang menekankan berpikir
dengan diri sendiri atau subjektif.
Bahasa latin immanere yang berarti
"tinggal di dalam".

-130-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Integralistik : Hubungan antara masyarakat dengan


penguasa negara, sehingga
membentuk satu kesatuan utuh yang
didukung oleh rasa kekeluargaan serta
kebersamaan.
Jagad gumelar Jagat seisinya berupa bintang, bulan,
matahari bumi, mega, hujan, laut,
batu, kayu, api dan sebagainya baik
yang kasat mata maupun tak kasat
mata
Kaum abangan : Abangan merujuk kepada golongan
sosial yang kurang menjalankan rukun
dan kebiasaan agama Islam. Istilah
Abangan sendiri baru muncul sekitar
abad ke-19. Kata abangan berasal dari
bahasa Jawa ngoko yang berarti
merah, sehingga kaum Abangan
adalah "orang merah" yang dibedakan
dari kaum putihan.
Kaum kebatinan : Paham yang membentuk komunitas
dan mengikatkan diri untuk
bersepakat dalam nilai-nilai
kehidupan berdasarkan keyakinan
batin. Kaum kebatinan ini sudah
berlangsung ratusan tahun di
Indonesia, dan melakukan secara aktif
pengamalan dan penghayatan religius
dalam kehdiupan bukan dalam bentuk
agama.
Kawulo gusti : Kesatuan antara rakyat dan
pemimpinnya. Setiap orang dan

-131-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

golongan sudah memiliki tempat dan


perannya sendiri dalam kehidupan
sesuai dengan hukum kodrat.
Keluhuran Kemuliaan, kebesaran
Kerohanian monistis : Suatu pandangan yang menyatukan
antara unsur perbuatan pidana dan
unsur pertanggungjawaban pidana,
melihat keseluruhan syarat untuk
adanya pidana merupakan sifat dari
perbuatan bahwa di dalam pengertian
perbuatan/tindak pidana sudah
tercakup didalamnya perbuatan yang
di larang (tindakan pidana) dan
pertanggungjawaban
pidana/kesalahan (Criminal
responsibility)
Kerohanian theosentris : Kesucian atau kebenaran hidup orang
percaya, tidak dapat terukur oleh
manusia lain atau diukur oleh hukum,
sebab tingkat perbuatannya diukur
oleh Tuhan dan disadari oleh diri
sendiri
Kodrat alam : Pada hakikatnya manusia itu sebagai
makluk, adalah satu dengan kodrat
alam. Manusia tidak dapat lepas dari
alam dan akan berbahagia apabila
dapat menyatukan diri dengan alam
Koeksistensi : Suatu keadaan ketika seseorang
ataupun suatu kelompok hidup
bersama, saling menghormati satu
sama lain, menghargai perbedaan, dan

-132-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

menyelesaikan konflik tanpa


kekerasan.
Komprehensif Bersifat integral dan menyeluruh,
bertujuan menilai keluasan wawasan
Kontinuitas : Kesinambungan, kelangsungan,
kelanjutan
Monotheis : Kepercayaan yang berpendapat Tuhan
hanya ada satu dan berkuasa penuh
atas segala sesuatu.
Moril : Moral
Orde Baru : Menggantikan Orde Lama yang
merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno, Orde baru diawali dengan
dikeluarkannya Surat Perintah 11
Maret 1966. berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Suatu tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan
negara diletakkan kembali kepada
pelaksanaan Pancasila dan UUD 45
secara murni dan konsekuen.
Orde lama : Orde Lama istilah yang baru muncul
ketika Indonesia memasuki masa
Orde Baru. Masa Orde Lama
mengacu pada sistem perpolitikan di
Indonesia setelah kemerdekaan sejak
1945 hingga 1966.
Otentik : Nyata, asli dapat dipercaya
Pantheis : Faham yang meyakini Tuhan adalah
segalanya dan segalanya adalah
Tuhan, serta Alam Semesta ini adalah
Tuhan dan sebaliknya.

-133-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Partai politik Organisasi yang mengoordinasikan


calon untuk bersaing dalam pemilihan
di negara tertentu.
Pempribumian : Pempribumian menunjukkan
perubahan dan penyesuaian terhadap
situasi sosial budaya.
Persepektif Sudut pandang manusia dalam
memilih opini dan kepercayaan
Philosophische : merupakan penegrtian dasar negara
grondslag yang berasal dari Bahasa
Belanda. Lag yang
berarti norma, dan grands yang
berarti dasar, dan
Philosophisce yang berarti filsafat
Rasional Pola pikir dimana seseorang
cenderung bersikap dan bertindak
berdasarkan logika dan nalar manusia
Reinterpretasi : Menafsirkan kembali (ulang)
Rekomendasi Saran yang menganjurkan
Roh insani : Suatu unsur halus yaitu jiwa yang
berhubungan dengan tubuh
Roh mutlak Pengetahuan manusia tentang yang
Absolut (nyata) baik dalam Seni,
Agama, dan Filsafat dan itu adalah
tahap-tahap dari perjalanan Roh
absolut
Samadhi : Fase terkuat dari yoga di mana
seseorang memperoleh kekuatan
untuk menangguhkan hubungan
antara tubuh dan jiwa
Santri : adalah varian masyarakat di Jawa

-134-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

yang taat kepada ajaran Islam


Sesanti Wejangan, nasihat
Simposium : Pertemuan dengan beberapa
pembicara yang mengemukakan
pidato singkat tentang topik tertentu
Sinkretisme : Proses perpaduan antara dua atau
lebih suatu agama atau kepercayaan.
Sistematis egala usaha untuk menguraikan dan
merumuskan sesuatu dalam hubungan
yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti
secara Utuh, menyeluruh, terpadu,
mampu menjelaskan rangkaian sebab
akibat menyangkut obyeknya
Sosio kultural : Didefinisikan sebagai gagasan-
gagasan, kebiasaan, keterampilan,
seni, dan alat yang memberi ciri pada
sekelompok orang pada waktu
tertentu
Struktur sosial (Sociale : Suatu tingkatan dalam masyarakat,
structuur) tatanan sosial yang ada pada
masyarakat yang juga merupakan
jaringan dari unsur-unsur sosial yang
pokok
Terminologis Ilmu mengenai batasan atau definisi
istilah
Totaliter : Bersangkutan dengan pemerintahan
yang menindas hak pribadi dan
mengawasi segala aspek kehidupan
warganya
Transenden : Di luar segala kesanggupan manusia

-135-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

cara berpikir tentang hal-hal yang


melampaui apa yang terlihat, yang
dapat ditemukan di alam semesta
Up-to-date : Terkini, terbaru
Yuridis formal : Landasan hukum yang berupa
peraturan yang telah disahkan oleh
Pemerintah yang memiliki kekuatan
mengikat dan jika melanggarnya kita
dapat dikenakan suatu sanksi.

-136-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Indeks
A
H
Abangan, 128, 130
Agraris, 128 Heterogen, 129
Akulturasi, 128 Hinduisme, 19, 129
Animisme, 128
Antroposentris, 128 I
Arabisasi, 128
Asimilasi, 129 Immanent, 130
inklusivitas, 61
Integralistik, 130
B
Bahari, 129 J
Brahmana, 129
Jagad gumelar, 130

D
K
demokrasi, 58, 60, 61, 63
derivasi, 59 Kaum abangan, 130
Diskriminasi, 55 Kaum kebatinan, 130
Kawulo gusti, 131
Keluhuran, 131
E Kerohanian monistis, 131
Ekslusifitas, 129 Kerohanian theosentris, 131
Eksplisit, 129 Kodrat alam, 131
Empiris, 129 Koeksistensi, 132
esensial, 57 Komprehensif, 132
Kontinuitas, 132
F
L
falsafah, 57, 60, 65, 84, 97, 100
Feodalisme, 129 legitimasi, 59, 63
filosofis, 57, 61
M
G
mayoritas, 58
Globalisasi, 103 Mengaktualisasikan, 94
minoritas, 58

-137-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Monotheis, 132 S
moral, 37, 40, 59, 61, 64, 66, 69, 84, 85,
86, 89, 98, 100, 101, 102, 103, 114 Samadhi, 134
Moralitas, 84 Santri, 134
Moril, 132 Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe, 74
Sesanti, 118, 127, 134
O Simposium, 120, 134
Sinkretisme, 134
Orde Baru, 34, 35, 37, 38, 132 Sistematis, 134
Orde lama, 132 Sosio kultural, 134
Otentik, 133 Spiritual, 76
spiritualitas, 61, 68
P Struktur sosial (Sociale structuur), 134

Pantheis, 133
T
Partai politik, 133
Pempribumian, 133 teokrasi, 60
Persepektif, 133 Terminologis, 135
Philosophische grondslag, 133 Totaliter, 135
Transenden, 135
R
U
Rasional, 133
Reinterpretasi, 133 Up-to-date, 135
Rekomendasi, 133
religius, 92, 93 Y
Roh insani, 133
Roh mutlak, 133 Yuridis formal, 135

-138-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Biodata Penulis
Nama lengkap : Dedi Priyono
Tempat / tanggal lahir : Nusawungu, 29 April 1996
Alamat : Pekon Nusawungu, Kec. Banyumas,
Kab. Pringsewu
Organisasi/paguyuban : Paguyuban Budaya Bangsa (PBB)
Status : Mahasiswa S1 Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Fakultas Bahasa dan Budaya
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Riwayat berorganisasi :

Dedi Priyono

-139-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nama lengkap : Desi Mery Kristina Marpaung


Tempat, tanggal lahir : Lumban Butarbutar, 28 Desember 1988
Alamat rumah : Dusun III Lumban Lobu Parik,
sumatera Utara
Organisasi/paguyuban : Parmalim
Status : Mahasiswa S1 Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Fakultas Bahasa dan Budaya
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Riwayat berorganisasi : Penyuluh terampil, Guru parguruan,
Puanhayati bidang pendidikan

Desi Mery Kristina Marpaung

-140-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nama lengkap : Desi Riastuti


Tempat / tanggal lahir : Kulonprogo, 22 Desember 1996
Alamat rumah : Depok, Sukoreno Sentolo, Kulonprogo
Organisasi/paguyuban : Persatuan Ekhlasing Budi Murka
Status : Mahasiswa S1 Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Fakultas Bahasa dan Budaya
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Riwayat berorganisasi : Gemapakti, Puan hayati

Desi Riastuti

-141-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nama lengkap : Four Dofi Sidabutar


Tempat / tanggal lahir : Pansur onom, 27 Januari 1994
Alamatrumah : Dusun lll Toba Holbung Desa Siregar
Aek Nalas Kec.Uluan Kab. Toba
Sumatera Utara
Organisasi/paguyuban : Parmalim
Status : Mahasiswa S1 Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Fakultas Bahasa dan Budaya
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Riwayat berorganisasi : Penyuluh di Bogor tingkat SD tahun
2017-2018
Penyuluh terampil di Toba tingkat SD
tahun 2018-2020

Four Dofi Sidabutar

-142-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nama lengkap : Lastiur Bonita Sitorus


Tempat / tanggal lahir : Jambi, 08 April 2003
Alamat rumah : Pangkatan, Labuhanbatu, Sumatera
Utara
Organisasi/paguyuban : Parmalim
Status : Mahasiswa S1 Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Fakultas Bahasa dan Budaya
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Riwayat berorganisasi : -

Lastiur Bonita Sitorus

-143-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Nama lengkap : Wildhan


Tempat / tanggal lahir : Bandung, 09 Maret 1996
Alamat rumah : Kp Tugu, Mekarsaluyu, Cimenyan
Kab. Bandung
Organisasi/paguyuban : Budi Daya
Status : Mahasiswa S1 Pendidikan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Fakultas Bahasa dan Budaya
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Riwayat berorganisasi : Penyuluh terampil SMA, DPP
Organisasi Budi Daya, DPD Organisasi
Budi Daya Kab. Bandung,
JAKATARUB (Jaringan Kerja Antar
Umat Beragama) 2020-2021, FPPM
Kab.Bandung Tahun 2015–2020.

Wildhan

-144-
Etika Politik dalam Perspektif Ajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

-145-

Anda mungkin juga menyukai