Anda di halaman 1dari 19

MATA KULIAH DINAMIKA PEMBANGUNAN POLITIK

Vannessa Windy Pradana Putri

3312420083

Ilmu Politik

TOPIK PEMBANGUNAN DEMOKRASI

MELIPUTI MATERI:
A. Pengertian pembangunan
B. Pengertian demokrasi
C. Hubungan pembangunan demokrasi
D. Pembangunan demokrasi di Indonesia era orde lama
E. Pembangunan demokrasi di Indonesia era orde baru
F. Pembangunan demokrasi di Indonesia era reformasi

A. PENGERTIAN PEMBANGUNAN

Pengertian pembangunan secara sederhana dapat dimaknai dengan adanya suatu


perubahan, baik dari aspek sosial maupun dari sistem yang melekat di tubuh suatu negara.
Dewasa ini, melihat bagaimana perkembangan pemikiran tentang pembangunan yang dapat
dipahami secara kompleks, berbagi perspektif para ahli maupun para pendahulu memberikan
sebuah perkembangan serta pembaruan dalam memperkaya pengetahuan, salah satunya
dalam pengertian pembangunan. Hingga sampai pada saat ini kata dari pembangunan sendiri
sudah tidak asing lagi ditelinga, akan tetapi biasanya pembangunan identik dengan ekonomi,
kalimat pembangunan ekonomi seringkali terdengar di negara berkembang, walaupun
sebenarnya pembangunan bisa meliputi beberapa aspek sosial-politik. Dalam mengukur
keberhasilan pembangunan yang dapat dilihat dan dimaknai seringkali berkaca pada
pembangunan fisik, tolak ukur keberhasilan pembangunan yang dinilai dari segi fisik
merupakan suatu hal yang wajar, seperti halnya, melihat adanya perubahan dari fasilitas
publik, hal tersebut tentu saja tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi publik. Maka dapat dipahami
bahwasannya pengertian dari pembangunan secara umum adalah suatu proses yang
didalamya terdapat perencanaan dengan tujuan dan struktur yang jelas hingga memiliki
keterkaitan yang meliputi beberapa aspek dalam mendukung adanya suatu perubahan.

B. PENGERTIAN DEMOKRASI

Konsep demokrasi merupakan kata kunci tersendiri dalam ilmu politik. Sebab saat ini
demokrasi disebut sebagai indicator perkembangan politik sutau negara. Berbicara tentang
demokrasi berarti juga berbicara tentang kekuasaan, lebih tepatnya tentang pengelolaan
kekuasaan secara beradab. Di Indonesia sendiri demokrasi telah melampaui banyak fase di
mana demokrasi tumbuh dari waktu ke waktu.

Demokrasi sebagai suatu system telah digunakan sebagai alternatif dalam berbagai tatanan
aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Menurut Moh. Mahfud .MD, ada
dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai system dalam bermasyarakat dan bernegara.
Pertama, hamper di banyak negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas
yang fundamental. Kedua, sebagai asas kenegaraan demokrasi secara esensisal telah
memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai
organisasi tertingginya. Oleh karen itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar
pada warga masyarakat tentang demokrasi (MD 1993).

Pengertian paling sederhana, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti suatu
system pemerintahan di mana rakyat memegang kedaulatan tertinggi atau rakyat turut
diikutsertakan dalam pemerintahan negara. Abraham Lincoln adalah tokoh yang menyatakan
bahwa demokrasi adalah pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Sekalipun makna istilah demokrasi begitu jelas dari bunyi kata aslinya, demokrasi dipahami
dan dilaksanakan secara berbeda dalam praktiknya, sekalipun perkembangannya sangat tidak
terkendali.

Menurut Munir Fuady, demokrasi dipahami sebagai system pemerintahan di suatu negara di
mana warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan, dan kekuasaan yang baik untuk
menjalani kehidupan dan berpartisipasi dalam kekuasaan negara, di mana rakyat berhak
untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan baik secara
langsung, misalnya melalui ruang publik maupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara
adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan semata-mata untuk kepentingan rakyat,
sehingga system pemerintahan negara berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk
kepentingan rakyat (Fuady 2010).

Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh para
ahli adalah sebagai berikut:

a. Joseph A. Schumpeter

Demokrasi merupakan suatu rencana institusional untuk mencapai keputusan politik di


mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat (Schumpeter 1994).

b. Sidney Hook

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang


penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa

c. Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl

Demokrasi sebagai suatu system pemerintahan di mana pemerintah diminta untuk


bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warganegara
yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil
mereka yang terpilih.

d. Henry B. Mayo

Sebagai suatu system politik, demokrasi merupakan suatu system yang menunjukkan
bahwa kebijakan ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinisp kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Menurut Afan Gaffar ada dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman
secara normatif dan pemahaman secara empirik (Gaffar 2002 dalam (Agustinus Sugeng
Priyanto 2018)). Dalam pemahamannya secara normatif demokrasi menjadi sesuatu yang
secara idiil hendak dilakukan dalam sebuah negara, seperti halnya dalam ungkapan,
“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Hal ini dapat ditemukan dalam
psal-pasal UUD 1945, seperti misalnya pada pasal 1 ayat 2, pasal 28, atau pasal 29 ayat 2.
Demokrasi secara normatif belum tentu dilihat dalam konteks kehidupan sehari-hari dala
suatu negara. Oleh karena itu perlu kiranya dalam melihat makna demokrasi secara empiric
yang berarti perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik praktis.

Dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi oleh (Agustinus Sugeng


Priyanto 2018), para ilmuwan politik, setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai
negara, merumuskan demokrasi secara empiric menggunakan indicator tertentu, misalnya
Juan Linz, G. Bingham Powell Jr. dan Robert Dahl. Dari semua indikator yang diajukan oleh
ilmuwan politik lersebut, kemudian dapat memastikan ada lima indikator untuk melihat
apakah suatu negara itu betul-betul demokratis apa tidak (Gaffar, 2002: 7).

Kelima indikator tersebut adalah sebagai berikut:

1. Akuntabilitas.

Dalam demokrasi, pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan apa yang ingin dicapainya, ucapannya dan yang tidak kalah
penting adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah dan atau sedang bahkan akan
dijalaninya.

2. Rotasi kekuasaan.

Dalam demokrasi peluang terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara
teratur dan damai. Jadi tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara
peluang orang lain tertutup sama sekali.

3. Rekruitmen politik yang terbuka.

Untuk mendukung terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen


politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu
jabatan politik yang dipilih oleh rakyat memiliki peluang dalam mengikuti kompetisi
untuk mengisi jabatan tersebut.

4. Pemilihan umum.

Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilakukan secara teratur. Setiap warga negara
yang sudah dewasa memiliki hak untuk memilih dan memilih serta bebas menggunakan
haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.

5. Menikmati hak-hak dasar.

Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga negara dapat menikmati hak-hak
dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan
pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan hak untuk menikmati pers bebas.

Pentingnya demokrasi sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara menyiratkan


bahwa rakyatlah yang mengatur dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka,
bahkan ketika menilai kebijakan pemerintah, karena kebijakan itu pasti menentukan
kehidupan rakyat. Dengan demikian, negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara
yang diselenggarakan atas dasar kehendak dan kehendak rakyat.

Kesimpulan dari beberapa pendapat sebelumnya adalah bahwa hakikat demokrasi sebagai
sistem masyarakat dan negara serta pemerintahan menekankan adanya kekuasaan di tangan
rakyat, baik yang pelaksanaannya ada di tangan rakyat, mengandung pengertian sebagai
berikut:

a. Pemerintahan dari rakyat

Berisi pengertian tentang pemerintahan yang sah dan diakui di mata rakyat. Di sisi lain,
ada pemerintah yang tidak sah dan tidak diakui. Pemerintah yang diakui adalah
pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Pentingnya legitimasi
bagi pemerintahan adalah bahwa pemerintah dapat mengontrol roda birokrasi dan
program-programnya.

b. Pemerintahan oleh rakyat


Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama
rakyat dan bukan atas kehendaknya sendiri. Pengawasan terhadap masyarakat (kontrol
sosial) dapat dilakukan secara langsung oleh masyarakat maupun tidak langsung (oleh
DPR).
c. Pemerintah untuk rakyat

Mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diserahkan kepada rakyat kepada


pemerintah dilaksanakan untuk kebaikan dan kepentingan rakyat. Pemerintah
berkewajiban untuk menjamin kebebasan yang sebesar-besarnya kepada rakyat dalam
menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun secara langsung (Dwi
Sulisworo 2012).

C. HUBUNGAN PEMBANGUNAN DAN DEMOKRASI

Kaitan antara pembangunan dan demokrasi sudah didiskusikan sejak beberapa dekade
terakhir. Ada anggapan bahwa keduanya memiliki hubungan dan saling bergantung, ada pula
anggapan bahwa konsep pembangunan dan demokrasi tidak saling bergantung sehingga
dapat dicapai dengan mudah tanpa harus saling menyertai. Dalam bab ini, akan dibahas
mengenai keterkaitan antara pembangunan dan demokrasi. Salah satu hipotesis yang paling
terkenal adalah pembangunan sosio-ekonomi (modernisasi) menghasilkan demokrasi.
Pandangan ini mengemukakan bahwa demokrasi sebagai “kebutuhan tingkat tinggi” yang
mengikuti kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dsb.
Robert Dahl percaya bahwa institusi dan warga negara yang memadai (terutama kelas
menengah yang mau menerima cita-cita demokrasi) harus ada agar demokratisasi dapat
berlangsung.

Pembangunan seringkali diidentikkan dengan ekonomi. Hal tersebut karena


pembangunan ekonomi jika ditingkatkan maka akan membantu jalannya pembangunan
pelayanan lainnya. Peningkatan pendapatan perkapita juga menjadi salah satu indikator sosial
yang lebih maju. Lipset dalam esainya “Some Social Requisites of Democracy” (1959)
memaparkan hubungan yang positif antara pembangunan ekonomi dan demokrasi, yang
mana menurutnya pembangunan ekonomi merupakan hal yang diperlukan oleh negara untuk
bisa memelihara jalannya fungsi-fungsi demokrasi. Argumen tersebut didasari dengan
korelasi positif antara pembangunan ekonomi dan demokratisasi. Kemudian ia memiliki
penjelasan multi-tiered mengenai pentingnya pembangunan ekonomi untuk demokrasi,
diantaranya:

 Pembangunan dapat membantu kalangan rendah untuk mencapai kesejahteraan


(kekayaan, pendidikan, dsb) sehingga menghasilkan pandangan politik moderat.
Pembangunan yang menurunkan jumlah kelas rendah juga akan membuat kaum ekstrimis
(yang biasa mempelopori gerakan kelas rendah) menjadi bisa lebih mudah dikendalikan.
 Modernisasi dapat memunculkan peluang untuk kelas menengah memasuki derajat kelas
atas maupun bawah. Alhasil kelas menengah dapat menjadi ekstrimis dan menjadi
ancaman demokrasi serta menjadi kelas pemegang kekuasaan.
 Pendapatan lebih besar dari kelas yang lebih rendah memungkinkan dilangsungkannya
pemilihan.

Walaupun telah dijelaskan bahwa pembangunan dan demokrasi adalah hal yang
berkaitan, keduanya bukan merupakan hal yang identik. Seperti pada kalimat pembuka, ada
pula yang berargumen bahwa pembangunan dan demokrasi tidak selalu saling membutuhkan.
Seperti yang disampaikan oleh Sulardi dalam artikelnya “Pembangunan dan Demokrasi:
Tidak Identik” (1998), pembangunan dan demokrasi tidak dapat diparalel dengan telur.
Maksudnya adalah pembangunan belum tentu menghasilkan demokrasi, dan demokrasi juga
belum tentu melahirkan pembangunan. Layaknya paradoks ayam dan telur, siapa yang ada
terlebih dahulu. Keberhasilan suatu negara sangat mungkin disebabkan oleh suksesnya
pelaksanaan demokrasi, dan negara bisa runtuh bila mengabaikan demokrasi. Namun perlu
diingat bahwa ada juga negara yang pembangunannya sulit meskipun demokrasinya kuat.

D. PEMBANGUNAN DEMOKRASI di INDONESIA DARI KEMERDEKAAN


HINGGA REFORMASI

1. PEMBANGUNAN DEMOKRASI PADA ERA ORDE LAMA


a. Masa Demokrasi Konstitusional (1945-1959)

Demokrasi pada masa ini sering dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer.
Sistem ini telah berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian
diperkuat dalam Undang-Undang 1949 dan 1950. Sistem pemerintahan ini menetapkan
bahwa kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Sistem
kabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan suara (voting) yang digunakan
dalam pemilihan umum (Pemilu) mosi, dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam
mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik (Matroji, 2002:67). Adanya
sistem multipartai pada masa ini menyebabkan munculnya kelompok mayoritas dan
minoritas dalam masyarakat serta adanya sikap mementingkan kepentingan golongan
partai politik masing-masing daripada kepentingan bersama. Sistem pemerintahan ini
ternyata tidak cocok untuk Indonesia, meskipun dibeberapa negara Asia lainnya dapat
berjalan dengan baik.

Dalam Undang-Undang Dasar 1950, mengatur tentang penerapan sistem parlementer


yang dimana badan eksekutif yang terdiri dari Presiden sebagai kepala negara
konstitusional dan para menterinya memiliki tanggung jawab politik. Karena fragmentasi
partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua
partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-
partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu,
sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan
demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam
menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Dilain pihak, partai-
partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang
menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari
tugas oposisi.

Pada periode ini paratai politik memiliki kiprahnya pada pemerintahan Indonesia.
Dan pada masa inilah sering terjadinya pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat
mengambil alih kekuasaan. Kabinet tidak dapat bertahan lama sehingga masing-masing
kabinet yang berkuasa tidak dapat melaksanakan seluruh programnya. Hal ini yang dapat
menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan.
Selain itu, ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memiliki saluran
dan posisi yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang
paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubberstamp
(presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam
revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia,


karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan perwujudannya dalam
kehidupan politik di Indonesia.

1. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi
dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen itu diperlihatkan
dengan sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan
kabinet harus meletakkan jabatannya
2. Akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya
sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah
media massa sebagai alat kontrol sosial.
3. Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya
untuk berkembang secara maksimal.
4. Sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi
Pemilihan Umum tersebut benar- benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.
5. Masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak
dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfatkannya
dengan maksimal.
6. Dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang
cukup bahkan otonomi yang seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai
landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.

Keenam hal tersebut merupakan kesuksesan dalam pelaksanaan demokrasi pada masa
pemerintahan parlementer. Namun kesuksesan tersebut tidak dapat bertahan lama.
Demokrasi parlementer hanya bertahan selama sembilan tahun seiring dengan
dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang
membubarkan Konstituante dan kembali kepada UUD 1945. Presiden menganggap
bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
dijiwai oleh semangat gotong royong, sehingga beliau menganggap bahwa sistem
demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Demokrasi Parlemeter mengalami kegagalan dikarenakan sebagai berikut:

1. Munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk membentuk
pemerintahan yang bersifat gotong royong yang melibatkan semua kekuatan politik
yang ada termasuk Partai komunis Indonesia. Konsepsi tersebut mendapat tantangan
dari sejumlah partai politik. Mereka menganggap bahwa pembentukan Dewan
Nasional merupakan pelanggaran yang sangat fundamental terhadap konstitusi
negara, karena lembaga tersebut tidak dikenal dalam konstitusi.
2. Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan
merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu
politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai ideologi negara dan
kelompok lain menginginkan Pancasila sebagai ideologi negara.
3. Dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan
konflik. Akibat politik aliran tersebut, setiap konflik yang terjadi cenderung meluas
melewati batas wilayah, yang pada akhirnya membawa dampak yang sangat negatif
terhadap stabilitas politik.
4. Basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah. Struktur sosial yang dengan tegas
membedakan kedudukan masyarakat secara langsung tidak mendukung
keberlangsungan demokrasi.

b. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Sistem pemerintahan Indonesia beberapa kali mengalami perubahan salah satunya


sistem demokrasi terpimpin ini. Munculnya demokrasi terpimpin tidak terlepas dari
berbagai macam permasalahan yang muncul di era demokrasi liberal (1950-1959),
terutama permasalahan berupa pertikaian politik antar elit politik di pusat ataupun daerah.
Melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 demokrasi terpimpin mulai diterapkan
di Indonesia, dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dalam
menghadapi permasalahan dan kemacetan politik dengan melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. Demokrasi ini diambil sebagai reaksi terhadap demokrasi
parlementer yang menjadikan negara tidak stabil serta memberi peluang kepada golongan
kuat untuk mendominasi golongan lemah. Demokrasi terpimpin bercirikan dengan
dominasi peran presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh
komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditekankan bahwa bagi seorang presiden untuk
bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Namun dalam ketetapatan MPRS No.
III/1963 Ir. Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan
pembatasan waktu lima tahun. Namun pada masa demokrasi terpimpin ini banyak terjadi
tindakan yang menyimpang atau banyak terjadi penyelewengan terhadap praktik
demokrasi. Dalam demokrasi terpimpin ini presiden memiliki peran penuh, sehingga
sistem yang diterapkan adalah presidensiil sebagai alat untuk menjalankan pemerintahan.
Pada demokrasi terpimpin ini presiden Ir. Soekarno banyak menuai pro dan kontra di
kalangan aparatur negara. Sebab banyak terjadi tindakan penyimpangan dari ketetapan
Undang-Undang Dasar. Contohnya pada tahun 1960 Ir. Soekarno membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat yang merupakan hasil pemilihan umum tahun 1955, padahal dalam
Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit presiden tidak memiliki kewenangan untuk
berbuat seperti itu. Dalam hal ini sebagai pengganti Dewan Perwakilan Rakyat digantikan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang memiliki peranan sebagai
pembantu pemerinta sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan. Dan pimpinan DPR
dijadikan sebagai pembantu presiden disamping fungsinya sebagai wakil rakyat. Dalam
hal ini menunjukan bahwa doktrin Trias Political telah ditinggalkan.

Dalam bidang eksekutif presiden diberi wewenang untuk ikut terlibat dalam bidang
lainnya. Seperti presiden yang diberi wewenang untuk ikut andil di bidang yudikatif
berdasarkan UU No.19/1964, dan di legislatif berdasarkan Peraturan Presiden
N0.14/1960 mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa mencapai mufakat.
Serta penyimpangan yang terjadi pada bidang perundang-undangan di mana tindakan
pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang menggunakan
Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Demokrasi terpimpin ini bukanlah demokrasi yang
sesungguhnya. Pada demokrasi ini Ir. Soekarno justru lenih tertarik pada isu politik.
Dengan didirikannya badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang
ternyata di manfaatkan oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, yang sesuai dengan
taktik Komunisme Internasional sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi
rakyat. Selain itu partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari jalannya
revolusi di tutup, tidak dibernakan dan dibreidel. Sehingga politik menjadi kacau di
bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri menjadi bertambah suram.

Demokrasi terpimpin ini terdapat dua kecenderungan kuat, seperti masyarakat


tenggelam dalam heroism, simbolisme, dan sloganisme revolusioner. Serta negara
menjadi mandiri dan terlepas dari masyarakat, sehingga mengembangkan pikiran atau
logika dan kepentingannya sendiri. Masa demokrasi terpimpin ini mewariskan struktur
politik eksklusif yang dominan yang bercirikan partai politik yang sentrifugal, legislatif
yang lemah dan kepresidenan yang patrimonial, serta struktur ekonomi yang tidak
berubah. Kemudian masalah ini lah yang menjadi tantangan pada rezim pemerintahan
berikutnya. Berakhirnya demokrasi terpimpin ini terjadi dengan lahirnya G30S/PKI.

2. PEMBANGUNAN DEMOKRASI ERA ORDE BARU


a) Masa Pemerintahan Orde Baru (1965-1998)

Demokrasi mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan ekonomi, politik


dan, ideologi sesaat atau sementara. Tahun-tahun awal Pemerintahan Orde Baru ditandai
dengan kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno
sebagai Presiden RI ke-2 dan menerapkan model yang berbeda yang disebut Demokrasi
Pancasila (Orde Baru), untuk meneguhkan mengklaim bahwa model demokrasi ini
sebenarnya sesuai dengan ideologi negara negara pancasila. Dalam kurun waktu tidak
lebih dari tiga tahun, kekuatan seolah-olah menjadi didistribusikan kepada kekuatan
masyarakat. Oleh karena itu, di kalangan elit perkotaan dan sosial-politik organisasi siap
menyambut pemilu 1971, ada keinginan yang tumbuh untuk berpartisipasi dalam
mendukung program reformasi pemerintah yang baru.

Perkembangan yang terlihat adalah kesenjangan yang semakin lebar antara kekuasaan
negara dan orang teralienasi dari lingkungan kekuasaan dan proses perumusan kebijakan.
Situasi ini merupakan efek dari :

(1) Kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu yang memberikan legitimasi politik
kepada pemerintah.

(2) Berlakunya birokratisasi, kebijakan depolitisasi dan pelembagaan.

(3) Pemerintah menggunakan jaminan pendekatan untuk melaksanakan pembangunan.

(4) Peran dan intervensi pemerintah dalam ekonomi dan pasar dengan mengakumulasi
modal dan kekuatan ekonomi.

(5) Ketersediaan sumber biaya pembangunan yang berasal dari eksploitasi minyak dan
gas bumi, komoditas nonmigas, pajak dalam negeri, dan bantuan luar negeri.

(6) Keberhasilan implementasi kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat


sehingga untuk menyumbat gejolak orang.

Karakter dari demokrasi di era Orde Baru meliputi :

1. Rotasi kekuasaan atau suksesi kepemimpinan eksekutif hampir tidak pernah terjadi.
2. Politik rekrutmen ditutup. Ketiga, Pemilihan Umum bersifat prosedural.
3. Jenderal Pemilu itu prosedural.
4. Tidak terjaminnya pelaksanaan hak-hak dasar warga. (Rukiyati, dkk. 2008: 114-117).

3. PEMBANGUNAN DEMOKRASI ERA REFORMASI


Kata ‘reformasi’ secara etimologis berasal dari kata reform, sedangkan secara harfiah
reformasi mempunyai pengertian suatu gerakan yang memformat ulang, menata ulang,
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk
semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Reformasi juga diartikan
pembaruan dari paradigma pola lama ke paradigma pola baru untuk menuju ke kondisi yang
lebih baik sesuai dengan harapan. Reformasi memberikan berbagai pengaruh penting terkait
perubahan pemahaman dan kesadaraan politik masyarakat berupa menyebarnya ide tentang
kesetaraan, kebebasan dalam berpendapat atau aspirasi menjadi ide utama dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya perubahan politik di tingkat nasional terutama dalam tatanan
kelembagaan politik, prosedur, sistem nilai, serta perubahan kebijakan pemerintah
memunculkan harapan Indonesia menjadi lebih baik. Ide mengenai kebebasan berpendapat,
keleluasaan beraktifitas politik yang menunjukkan kesamaan dan adanya transparansi dan
kebebasan informasi memberikan harapan perbaikan ke depan.

Era Reformasi muncul di tandai dengan mundurnya presiden Suharto dari kursi presiden
yang telah menjabat selama 32 tahun (1968-1998) , lalu menyerahkan jabatan presiden ke
wakil presiden Bj. Habibie di istana merdeka pada tanggal 21 desember 1998. era reformasi
hadir di karenakan kepercayaan rakyat telah hilang pada pemerintah yang menjabat pada
saat itu. Di karenakan pemerintah saat itu tidak mampu menghadapi krisis moneter dan
ekonomi yang berkepanjangan. Tidak hanya itu saja pada saat pemerintahan era orde banyak
pelanggaran yang telah di lakukan terhadap demokrasi itu sendiri, pada ruan kebebasan
dalam berpatisipasi dalam pengambilan kebijakan, pemerintah pada saat itu malah
melakukan penyimpangan seperti Melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang justru
malah melakukannnya dengan mengatasnamakan rakyat dan ideologi negara sebagai
jargonnya. Pada masa orde baru itu, dengan dominasi nya presiden Suharto yang tidak
pernah lengser atau kalah dalam pemilu, membuatnya menjadi penguasa mutlak karena tidak
ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya
melakukan penyele wengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru,
elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugi kan negara dan rakyat
banyak.

Akibat dari itu semua, banyak bermunculan kelompok kelompok di masyarakat yang
menentang kepresidenan Suharto. Yang menjadi pelopor kelompok dan Gerakan ini adalah
ara mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung
MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden
Soeharto dan tumbangnya Orde Baru.

Setelah Pergantian Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ. Habibie di mulai lah era
reformasi. Presiden BJ Habibie meletakkan fondasi yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi
Indonesia pada masa selanjutnya.
Dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie muncul beberapa indikator pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, yaitu:
 Diberikan kebebasan pers, Pada era reformasi diberikan ruang kebebasan pers
sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan.
 Berlakunya sistem multipartai, Di era reformasi sistem multipartai diberlakukan
terlihat pada Pemilihan Umum 1999.
Habibie sebagai Presiden RI membuka kesempatan pada rakyat untuk berserikat dan
berkumpul sesuai ideologi dan aspirasi politiknya.
Di sini pergantian presiden soeharto ke Wakil Presiden BJ. Habibie menimbulkan suatu
polemik di karenakan pergantian di lakukan tanpa ada pertanggung jawaban. Menurut UUD
1945 pasal 8 jabatan Presiden adalah diangkat MPR, oleh karenanya jabatan presiden yang
diemban BJ. Habibie harus dilihat sebagai sementara atau darurat. Presiden BJ. Habibie
tidak berhak membuat keputusan-keputusan yang bersifat strategis. Dari berbagai kalangan
menuntut BJ. Habibie agar secepatnya menyelenggarakan pemilu baru untuk memilih
anggota MPR/DPR.
Menjelang pemilu yang akan diadakan pada bulan Juni 1999, telah terdaftar pada
Departemen Kehakiman sebanyak 141 partai lama dan baru,, dan setelah diadakan verifikasi
hanya 48 partai politik yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu. Hasil dari Pemilu 1999,
hanya 5 (lima) partai yang memperoleh lebih dari 3% suara pemilih, 15 partai memperoleh
suara berkisar dari 0,2 – 1,9% dan mendapar kursi DPR, sisanya 28 partai tidak berhasil
mendapatkan satu kursi pun. Adapun kelima partai termaksud adalah PDIP, kelanjutan dari
PDI yang terbentuk pada masa Orde Baru, 33,7% dengan perolehan kursi DPR sebanyak
(153), Golkar,22,4% (120), PPP, 10,7% (58), PKB, partai baru yang lahir pada awal era
reformasi, 12,6% (51), PAN, juga partai baru yang dibentuk pada awal reformasi,
mendapatkan suara 7,1% dengan raihan kursi DPR 34. Partisipasi rakyat pada Pemilu 1999
sebesar 91,69% dari pemilih yang terdaftar sebanyak 117.738.682 orang. (Pamungkas 2012:
183).
Pada pemilu – pemilu selanjutnya di Era Reformasi ini jumlah partai peserta pemilu
berfluktuasi yaitu pada Pemilu 2004 sebanyak 24 partai, Pemilu 2009 sebanyak 38 partai.
Pada Pemilu 2014 sebanyak 12 partai, dan untuk Pemilu 2019 tercatat 16 partai yang telah
dinyatakan sah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu.
Penyelenggaraan pemilihan umum tidak lagi ditangani oleh Departemen Dalam Negeri,
melainkan harus ditangani oleh Komisi Pemilihahn Umum (KPU) yang independen. Euforia
demokrasi menyebar ke semua arah, sejak dari pusat sampai ke daerah dan meliputi semua
bidang kehidupan. Presiden dan wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR
dianggap tidak sesuai lagi karena mereka yang duduk pada lembaga itu sering tidak
mencerminkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, proses pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung dilakukan oleh rakyat. Demikian juga dengan jabatan politik untuk
kepada daerah (Gubernur, Bupati, atau Wali Kota) dipilih langsung oleh rakyat. Lalu
birokrasi dan militer menjadi sasaran untuk tidak terlibat dalam politik praktis.
Militer tidak boleh menduduki jabatan di luar pertahanan, terutama jabatan politik. Bagi
anggota militer yang menduduki jabatan politik (di legislatif, sebagai kepada daerah, atau
yang lain) harus mengundurkan diri. Lalu Sistem pemerintahan yang sentralistik segera
diganti dengan pemerintahan yang desentralistis dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahu
1999. UU itu direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004. Pers diberi kebebasan untuk memberi
informasi secara bebas dan terbuka tanpa intervensi dari apparat pemerintah dan keamanaan.
Di masa Reformasi ini juga terdapat peningkatan prinsip-prinsip demokrasi yang
terpenting,yaitu jaminan penegakan hak asasi manusia dengan di keluarkannya Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak asasi manusia
Sistem Demokrasi yang terwujud dalam Era Reformasi ini bernuansa Demokrasi Liberal
yang ditandai banyak kebebasan seperti kebebasan berserikat dengan mudahnya mendirikan
partai dan organisasi kemasyarakatan (ormas), dan mengeluarkan pendapat melalui media
cetak dan elektronik yang mana menerbitkan media-media cetak tanpa izin lagi dari
pemerintah yang dahulu dikenal dengan Surat Izin Terbit (SIT) dan banyak lagi-lagi
kebebasan yang dirasakan oleh masyarakat.
Di sini Warga negara bertugas mengawal demokrasi agar dapat teraplikasikan dalam
aspek kehidupan. Karakteristik demokrasi pada periode reformasi adanya Pemilu lebih
demokratis, terjadi perputaran kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah. Pola
rekrutmen politik terbuka Hak-hak dasar warga negara, rekrutmen politik untuk pengisian
jabatan politik dilakukan secara terbuka. Setiap warga negara yang mampu dan memenuhi
syarat dapat menduduki jabatan politik tanpa diskriminasi. Hak-hak dasar warga negara
terjamin, sebagian besar hak dasar rakyat bisa terjamin seperti adanya kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan pers dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus Sugeng Priyanto, Sunarto, Setiajid, Ngabiyanto. 2018. PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI. Semarang: UNNES
Press.
Anugerah, B., & Endiartia, J. J. (2018). Reorientasi Identitas Demokrasi Indonesia di Era
Pasca Reformasi: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Daulat Rakyat. Jurnal Kajian
Lemhannas RI, 34, 23–40.
Bulkin, Farhan, Politik Orde Baru, Prisma, Vol.8, 1984 (Lutfi, Vol 6 No 11 2005)
Dwi Sulisworo, Tri Wahyuningsing, Dikdik Baehaqi Arif. 2012. "DEMOKRASI."
Universitas Ahmad Dalan 4-5.
Fuady, Munir. 2010. Konsep Negara Demokrasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Isrimirajnia. (2013). Pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi. Isrimirajnia, 1.
https://isrimirajnia.wordpress.com/2013/06/08/pelaksanaan-demokrasi-di-
indonesia-sejak-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/
Kantaprawira, R. (2004). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1, 91.
https://doi.org/10.15408/sd.v2i2.2814.Permalink/DOI
Makhfudz, M. (2018). Demokrasi di Era Reformasi. ’Adalah, 2(8), 73–74.
https://doi.org/10.15408/adalah.v2i8.8725
Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:
LP3ES.
MD, Moh. Mahfud. 1993. Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Mohsin, A. (2018). Partai Politik Dan Sistem Demokrasi. Jurnal Populis, 3(6), 777–788.
Muntoha, & Darmoko, P. D. (2017). Pergeseran Demokrasi Pancasila Ke Demokrasi Liberal
(Praktek Ketatanegaraan Ri Pasca Reformasi). Jurnal Madaniyah, 7(2), 354–372.
Purnamawati, E. (2020). Perjalanan Demokrasi Indonesia. Solusi, 18(2), 251–264.
Purnaweni, Hartuti. DEMOKRASI INDONESIA: DARI MASA KE MASA. Vol. 3, No.2,
2004. Jurnal Administrasi Publik
Purwoko. (2010). SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDONESIA SETELAH
REFORMASI Purwoko. Ilmu Politik, 1 no., 1–14.
Samarasinghe, SWR. (1994). Democracy and Democratization in Developing Countries.
Series on Democracy and Health: Harvard School of Public Health, 14-15.
Schumpeter, Josep A. 1994. Capitalisme, Socialisme, And Demcracy. New York:
Routledge.
Sofyan, A. (2013). PEMAKNAAN DEMOKRASI DI ERA REFORMASI (Opini
Masyarakat Jawa Tengah terhadap Demokrasi Saat Ini) Arif Sofyan. 4(2), 5–13.
Sulardi. (1998). Demokrasi dan Pembangunan: Tidak Identik dengan Ayam dan Telur.
Bestari, 109-114.
Wahyudi, Lutfi. Demokrasi Orde Baru. Vol. 6, No. 11, 2005
Witianti, Siti. (2016). Demokrasi dan Pembangunan. Jurnal Wacana Politik – Jurnal Ilmiah
Departemen Ilmu Politik, 1(1), 71-76.
Zamri, A. R. (2019). Implementasi Demokrasi Di Era Reformasi Di Indonesia Menurut
Perspektif Siyasah Dusturiyah. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,
1–72.

Anda mungkin juga menyukai