UTS DPP - 3312420083 - Vannessa Windy Pradana Putri
UTS DPP - 3312420083 - Vannessa Windy Pradana Putri
3312420083
Ilmu Politik
MELIPUTI MATERI:
A. Pengertian pembangunan
B. Pengertian demokrasi
C. Hubungan pembangunan demokrasi
D. Pembangunan demokrasi di Indonesia era orde lama
E. Pembangunan demokrasi di Indonesia era orde baru
F. Pembangunan demokrasi di Indonesia era reformasi
A. PENGERTIAN PEMBANGUNAN
B. PENGERTIAN DEMOKRASI
Konsep demokrasi merupakan kata kunci tersendiri dalam ilmu politik. Sebab saat ini
demokrasi disebut sebagai indicator perkembangan politik sutau negara. Berbicara tentang
demokrasi berarti juga berbicara tentang kekuasaan, lebih tepatnya tentang pengelolaan
kekuasaan secara beradab. Di Indonesia sendiri demokrasi telah melampaui banyak fase di
mana demokrasi tumbuh dari waktu ke waktu.
Demokrasi sebagai suatu system telah digunakan sebagai alternatif dalam berbagai tatanan
aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Menurut Moh. Mahfud .MD, ada
dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai system dalam bermasyarakat dan bernegara.
Pertama, hamper di banyak negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas
yang fundamental. Kedua, sebagai asas kenegaraan demokrasi secara esensisal telah
memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai
organisasi tertingginya. Oleh karen itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar
pada warga masyarakat tentang demokrasi (MD 1993).
Pengertian paling sederhana, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti suatu
system pemerintahan di mana rakyat memegang kedaulatan tertinggi atau rakyat turut
diikutsertakan dalam pemerintahan negara. Abraham Lincoln adalah tokoh yang menyatakan
bahwa demokrasi adalah pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Sekalipun makna istilah demokrasi begitu jelas dari bunyi kata aslinya, demokrasi dipahami
dan dilaksanakan secara berbeda dalam praktiknya, sekalipun perkembangannya sangat tidak
terkendali.
Menurut Munir Fuady, demokrasi dipahami sebagai system pemerintahan di suatu negara di
mana warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan, dan kekuasaan yang baik untuk
menjalani kehidupan dan berpartisipasi dalam kekuasaan negara, di mana rakyat berhak
untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan baik secara
langsung, misalnya melalui ruang publik maupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara
adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan semata-mata untuk kepentingan rakyat,
sehingga system pemerintahan negara berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk
kepentingan rakyat (Fuady 2010).
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh para
ahli adalah sebagai berikut:
a. Joseph A. Schumpeter
b. Sidney Hook
d. Henry B. Mayo
Sebagai suatu system politik, demokrasi merupakan suatu system yang menunjukkan
bahwa kebijakan ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinisp kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Menurut Afan Gaffar ada dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman
secara normatif dan pemahaman secara empirik (Gaffar 2002 dalam (Agustinus Sugeng
Priyanto 2018)). Dalam pemahamannya secara normatif demokrasi menjadi sesuatu yang
secara idiil hendak dilakukan dalam sebuah negara, seperti halnya dalam ungkapan,
“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Hal ini dapat ditemukan dalam
psal-pasal UUD 1945, seperti misalnya pada pasal 1 ayat 2, pasal 28, atau pasal 29 ayat 2.
Demokrasi secara normatif belum tentu dilihat dalam konteks kehidupan sehari-hari dala
suatu negara. Oleh karena itu perlu kiranya dalam melihat makna demokrasi secara empiric
yang berarti perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik praktis.
1. Akuntabilitas.
Dalam demokrasi, pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan apa yang ingin dicapainya, ucapannya dan yang tidak kalah
penting adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah dan atau sedang bahkan akan
dijalaninya.
2. Rotasi kekuasaan.
Dalam demokrasi peluang terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara
teratur dan damai. Jadi tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara
peluang orang lain tertutup sama sekali.
4. Pemilihan umum.
Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilakukan secara teratur. Setiap warga negara
yang sudah dewasa memiliki hak untuk memilih dan memilih serta bebas menggunakan
haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.
Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga negara dapat menikmati hak-hak
dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan
pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan hak untuk menikmati pers bebas.
Kesimpulan dari beberapa pendapat sebelumnya adalah bahwa hakikat demokrasi sebagai
sistem masyarakat dan negara serta pemerintahan menekankan adanya kekuasaan di tangan
rakyat, baik yang pelaksanaannya ada di tangan rakyat, mengandung pengertian sebagai
berikut:
Berisi pengertian tentang pemerintahan yang sah dan diakui di mata rakyat. Di sisi lain,
ada pemerintah yang tidak sah dan tidak diakui. Pemerintah yang diakui adalah
pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Pentingnya legitimasi
bagi pemerintahan adalah bahwa pemerintah dapat mengontrol roda birokrasi dan
program-programnya.
Kaitan antara pembangunan dan demokrasi sudah didiskusikan sejak beberapa dekade
terakhir. Ada anggapan bahwa keduanya memiliki hubungan dan saling bergantung, ada pula
anggapan bahwa konsep pembangunan dan demokrasi tidak saling bergantung sehingga
dapat dicapai dengan mudah tanpa harus saling menyertai. Dalam bab ini, akan dibahas
mengenai keterkaitan antara pembangunan dan demokrasi. Salah satu hipotesis yang paling
terkenal adalah pembangunan sosio-ekonomi (modernisasi) menghasilkan demokrasi.
Pandangan ini mengemukakan bahwa demokrasi sebagai “kebutuhan tingkat tinggi” yang
mengikuti kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dsb.
Robert Dahl percaya bahwa institusi dan warga negara yang memadai (terutama kelas
menengah yang mau menerima cita-cita demokrasi) harus ada agar demokratisasi dapat
berlangsung.
Walaupun telah dijelaskan bahwa pembangunan dan demokrasi adalah hal yang
berkaitan, keduanya bukan merupakan hal yang identik. Seperti pada kalimat pembuka, ada
pula yang berargumen bahwa pembangunan dan demokrasi tidak selalu saling membutuhkan.
Seperti yang disampaikan oleh Sulardi dalam artikelnya “Pembangunan dan Demokrasi:
Tidak Identik” (1998), pembangunan dan demokrasi tidak dapat diparalel dengan telur.
Maksudnya adalah pembangunan belum tentu menghasilkan demokrasi, dan demokrasi juga
belum tentu melahirkan pembangunan. Layaknya paradoks ayam dan telur, siapa yang ada
terlebih dahulu. Keberhasilan suatu negara sangat mungkin disebabkan oleh suksesnya
pelaksanaan demokrasi, dan negara bisa runtuh bila mengabaikan demokrasi. Namun perlu
diingat bahwa ada juga negara yang pembangunannya sulit meskipun demokrasinya kuat.
Demokrasi pada masa ini sering dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer.
Sistem ini telah berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian
diperkuat dalam Undang-Undang 1949 dan 1950. Sistem pemerintahan ini menetapkan
bahwa kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Sistem
kabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan suara (voting) yang digunakan
dalam pemilihan umum (Pemilu) mosi, dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam
mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik (Matroji, 2002:67). Adanya
sistem multipartai pada masa ini menyebabkan munculnya kelompok mayoritas dan
minoritas dalam masyarakat serta adanya sikap mementingkan kepentingan golongan
partai politik masing-masing daripada kepentingan bersama. Sistem pemerintahan ini
ternyata tidak cocok untuk Indonesia, meskipun dibeberapa negara Asia lainnya dapat
berjalan dengan baik.
Pada periode ini paratai politik memiliki kiprahnya pada pemerintahan Indonesia.
Dan pada masa inilah sering terjadinya pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat
mengambil alih kekuasaan. Kabinet tidak dapat bertahan lama sehingga masing-masing
kabinet yang berkuasa tidak dapat melaksanakan seluruh programnya. Hal ini yang dapat
menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan.
Selain itu, ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memiliki saluran
dan posisi yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang
paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubberstamp
(presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam
revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
1. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi
dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen itu diperlihatkan
dengan sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan
kabinet harus meletakkan jabatannya
2. Akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya
sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah
media massa sebagai alat kontrol sosial.
3. Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang sebesar-besarnya
untuk berkembang secara maksimal.
4. Sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi
Pemilihan Umum tersebut benar- benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.
5. Masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak
dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat memanfatkannya
dengan maksimal.
6. Dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang
cukup bahkan otonomi yang seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai
landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah.
Keenam hal tersebut merupakan kesuksesan dalam pelaksanaan demokrasi pada masa
pemerintahan parlementer. Namun kesuksesan tersebut tidak dapat bertahan lama.
Demokrasi parlementer hanya bertahan selama sembilan tahun seiring dengan
dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang
membubarkan Konstituante dan kembali kepada UUD 1945. Presiden menganggap
bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
dijiwai oleh semangat gotong royong, sehingga beliau menganggap bahwa sistem
demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Demokrasi Parlemeter mengalami kegagalan dikarenakan sebagai berikut:
1. Munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk membentuk
pemerintahan yang bersifat gotong royong yang melibatkan semua kekuatan politik
yang ada termasuk Partai komunis Indonesia. Konsepsi tersebut mendapat tantangan
dari sejumlah partai politik. Mereka menganggap bahwa pembentukan Dewan
Nasional merupakan pelanggaran yang sangat fundamental terhadap konstitusi
negara, karena lembaga tersebut tidak dikenal dalam konstitusi.
2. Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan
merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu
politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai ideologi negara dan
kelompok lain menginginkan Pancasila sebagai ideologi negara.
3. Dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan
konflik. Akibat politik aliran tersebut, setiap konflik yang terjadi cenderung meluas
melewati batas wilayah, yang pada akhirnya membawa dampak yang sangat negatif
terhadap stabilitas politik.
4. Basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah. Struktur sosial yang dengan tegas
membedakan kedudukan masyarakat secara langsung tidak mendukung
keberlangsungan demokrasi.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditekankan bahwa bagi seorang presiden untuk
bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Namun dalam ketetapatan MPRS No.
III/1963 Ir. Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan
pembatasan waktu lima tahun. Namun pada masa demokrasi terpimpin ini banyak terjadi
tindakan yang menyimpang atau banyak terjadi penyelewengan terhadap praktik
demokrasi. Dalam demokrasi terpimpin ini presiden memiliki peran penuh, sehingga
sistem yang diterapkan adalah presidensiil sebagai alat untuk menjalankan pemerintahan.
Pada demokrasi terpimpin ini presiden Ir. Soekarno banyak menuai pro dan kontra di
kalangan aparatur negara. Sebab banyak terjadi tindakan penyimpangan dari ketetapan
Undang-Undang Dasar. Contohnya pada tahun 1960 Ir. Soekarno membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat yang merupakan hasil pemilihan umum tahun 1955, padahal dalam
Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit presiden tidak memiliki kewenangan untuk
berbuat seperti itu. Dalam hal ini sebagai pengganti Dewan Perwakilan Rakyat digantikan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang memiliki peranan sebagai
pembantu pemerinta sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan. Dan pimpinan DPR
dijadikan sebagai pembantu presiden disamping fungsinya sebagai wakil rakyat. Dalam
hal ini menunjukan bahwa doktrin Trias Political telah ditinggalkan.
Dalam bidang eksekutif presiden diberi wewenang untuk ikut terlibat dalam bidang
lainnya. Seperti presiden yang diberi wewenang untuk ikut andil di bidang yudikatif
berdasarkan UU No.19/1964, dan di legislatif berdasarkan Peraturan Presiden
N0.14/1960 mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa mencapai mufakat.
Serta penyimpangan yang terjadi pada bidang perundang-undangan di mana tindakan
pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang menggunakan
Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Demokrasi terpimpin ini bukanlah demokrasi yang
sesungguhnya. Pada demokrasi ini Ir. Soekarno justru lenih tertarik pada isu politik.
Dengan didirikannya badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang
ternyata di manfaatkan oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, yang sesuai dengan
taktik Komunisme Internasional sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi
rakyat. Selain itu partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari jalannya
revolusi di tutup, tidak dibernakan dan dibreidel. Sehingga politik menjadi kacau di
bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri menjadi bertambah suram.
Perkembangan yang terlihat adalah kesenjangan yang semakin lebar antara kekuasaan
negara dan orang teralienasi dari lingkungan kekuasaan dan proses perumusan kebijakan.
Situasi ini merupakan efek dari :
(1) Kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu yang memberikan legitimasi politik
kepada pemerintah.
(4) Peran dan intervensi pemerintah dalam ekonomi dan pasar dengan mengakumulasi
modal dan kekuatan ekonomi.
(5) Ketersediaan sumber biaya pembangunan yang berasal dari eksploitasi minyak dan
gas bumi, komoditas nonmigas, pajak dalam negeri, dan bantuan luar negeri.
1. Rotasi kekuasaan atau suksesi kepemimpinan eksekutif hampir tidak pernah terjadi.
2. Politik rekrutmen ditutup. Ketiga, Pemilihan Umum bersifat prosedural.
3. Jenderal Pemilu itu prosedural.
4. Tidak terjaminnya pelaksanaan hak-hak dasar warga. (Rukiyati, dkk. 2008: 114-117).
Era Reformasi muncul di tandai dengan mundurnya presiden Suharto dari kursi presiden
yang telah menjabat selama 32 tahun (1968-1998) , lalu menyerahkan jabatan presiden ke
wakil presiden Bj. Habibie di istana merdeka pada tanggal 21 desember 1998. era reformasi
hadir di karenakan kepercayaan rakyat telah hilang pada pemerintah yang menjabat pada
saat itu. Di karenakan pemerintah saat itu tidak mampu menghadapi krisis moneter dan
ekonomi yang berkepanjangan. Tidak hanya itu saja pada saat pemerintahan era orde banyak
pelanggaran yang telah di lakukan terhadap demokrasi itu sendiri, pada ruan kebebasan
dalam berpatisipasi dalam pengambilan kebijakan, pemerintah pada saat itu malah
melakukan penyimpangan seperti Melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang justru
malah melakukannnya dengan mengatasnamakan rakyat dan ideologi negara sebagai
jargonnya. Pada masa orde baru itu, dengan dominasi nya presiden Suharto yang tidak
pernah lengser atau kalah dalam pemilu, membuatnya menjadi penguasa mutlak karena tidak
ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya
melakukan penyele wengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru,
elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugi kan negara dan rakyat
banyak.
Akibat dari itu semua, banyak bermunculan kelompok kelompok di masyarakat yang
menentang kepresidenan Suharto. Yang menjadi pelopor kelompok dan Gerakan ini adalah
ara mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung
MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden
Soeharto dan tumbangnya Orde Baru.
Setelah Pergantian Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ. Habibie di mulai lah era
reformasi. Presiden BJ Habibie meletakkan fondasi yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi
Indonesia pada masa selanjutnya.
Dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie muncul beberapa indikator pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, yaitu:
Diberikan kebebasan pers, Pada era reformasi diberikan ruang kebebasan pers
sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan.
Berlakunya sistem multipartai, Di era reformasi sistem multipartai diberlakukan
terlihat pada Pemilihan Umum 1999.
Habibie sebagai Presiden RI membuka kesempatan pada rakyat untuk berserikat dan
berkumpul sesuai ideologi dan aspirasi politiknya.
Di sini pergantian presiden soeharto ke Wakil Presiden BJ. Habibie menimbulkan suatu
polemik di karenakan pergantian di lakukan tanpa ada pertanggung jawaban. Menurut UUD
1945 pasal 8 jabatan Presiden adalah diangkat MPR, oleh karenanya jabatan presiden yang
diemban BJ. Habibie harus dilihat sebagai sementara atau darurat. Presiden BJ. Habibie
tidak berhak membuat keputusan-keputusan yang bersifat strategis. Dari berbagai kalangan
menuntut BJ. Habibie agar secepatnya menyelenggarakan pemilu baru untuk memilih
anggota MPR/DPR.
Menjelang pemilu yang akan diadakan pada bulan Juni 1999, telah terdaftar pada
Departemen Kehakiman sebanyak 141 partai lama dan baru,, dan setelah diadakan verifikasi
hanya 48 partai politik yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu. Hasil dari Pemilu 1999,
hanya 5 (lima) partai yang memperoleh lebih dari 3% suara pemilih, 15 partai memperoleh
suara berkisar dari 0,2 – 1,9% dan mendapar kursi DPR, sisanya 28 partai tidak berhasil
mendapatkan satu kursi pun. Adapun kelima partai termaksud adalah PDIP, kelanjutan dari
PDI yang terbentuk pada masa Orde Baru, 33,7% dengan perolehan kursi DPR sebanyak
(153), Golkar,22,4% (120), PPP, 10,7% (58), PKB, partai baru yang lahir pada awal era
reformasi, 12,6% (51), PAN, juga partai baru yang dibentuk pada awal reformasi,
mendapatkan suara 7,1% dengan raihan kursi DPR 34. Partisipasi rakyat pada Pemilu 1999
sebesar 91,69% dari pemilih yang terdaftar sebanyak 117.738.682 orang. (Pamungkas 2012:
183).
Pada pemilu – pemilu selanjutnya di Era Reformasi ini jumlah partai peserta pemilu
berfluktuasi yaitu pada Pemilu 2004 sebanyak 24 partai, Pemilu 2009 sebanyak 38 partai.
Pada Pemilu 2014 sebanyak 12 partai, dan untuk Pemilu 2019 tercatat 16 partai yang telah
dinyatakan sah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu.
Penyelenggaraan pemilihan umum tidak lagi ditangani oleh Departemen Dalam Negeri,
melainkan harus ditangani oleh Komisi Pemilihahn Umum (KPU) yang independen. Euforia
demokrasi menyebar ke semua arah, sejak dari pusat sampai ke daerah dan meliputi semua
bidang kehidupan. Presiden dan wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR
dianggap tidak sesuai lagi karena mereka yang duduk pada lembaga itu sering tidak
mencerminkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, proses pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung dilakukan oleh rakyat. Demikian juga dengan jabatan politik untuk
kepada daerah (Gubernur, Bupati, atau Wali Kota) dipilih langsung oleh rakyat. Lalu
birokrasi dan militer menjadi sasaran untuk tidak terlibat dalam politik praktis.
Militer tidak boleh menduduki jabatan di luar pertahanan, terutama jabatan politik. Bagi
anggota militer yang menduduki jabatan politik (di legislatif, sebagai kepada daerah, atau
yang lain) harus mengundurkan diri. Lalu Sistem pemerintahan yang sentralistik segera
diganti dengan pemerintahan yang desentralistis dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahu
1999. UU itu direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004. Pers diberi kebebasan untuk memberi
informasi secara bebas dan terbuka tanpa intervensi dari apparat pemerintah dan keamanaan.
Di masa Reformasi ini juga terdapat peningkatan prinsip-prinsip demokrasi yang
terpenting,yaitu jaminan penegakan hak asasi manusia dengan di keluarkannya Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak asasi manusia
Sistem Demokrasi yang terwujud dalam Era Reformasi ini bernuansa Demokrasi Liberal
yang ditandai banyak kebebasan seperti kebebasan berserikat dengan mudahnya mendirikan
partai dan organisasi kemasyarakatan (ormas), dan mengeluarkan pendapat melalui media
cetak dan elektronik yang mana menerbitkan media-media cetak tanpa izin lagi dari
pemerintah yang dahulu dikenal dengan Surat Izin Terbit (SIT) dan banyak lagi-lagi
kebebasan yang dirasakan oleh masyarakat.
Di sini Warga negara bertugas mengawal demokrasi agar dapat teraplikasikan dalam
aspek kehidupan. Karakteristik demokrasi pada periode reformasi adanya Pemilu lebih
demokratis, terjadi perputaran kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah. Pola
rekrutmen politik terbuka Hak-hak dasar warga negara, rekrutmen politik untuk pengisian
jabatan politik dilakukan secara terbuka. Setiap warga negara yang mampu dan memenuhi
syarat dapat menduduki jabatan politik tanpa diskriminasi. Hak-hak dasar warga negara
terjamin, sebagian besar hak dasar rakyat bisa terjamin seperti adanya kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan pers dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus Sugeng Priyanto, Sunarto, Setiajid, Ngabiyanto. 2018. PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI. Semarang: UNNES
Press.
Anugerah, B., & Endiartia, J. J. (2018). Reorientasi Identitas Demokrasi Indonesia di Era
Pasca Reformasi: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Daulat Rakyat. Jurnal Kajian
Lemhannas RI, 34, 23–40.
Bulkin, Farhan, Politik Orde Baru, Prisma, Vol.8, 1984 (Lutfi, Vol 6 No 11 2005)
Dwi Sulisworo, Tri Wahyuningsing, Dikdik Baehaqi Arif. 2012. "DEMOKRASI."
Universitas Ahmad Dalan 4-5.
Fuady, Munir. 2010. Konsep Negara Demokrasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Isrimirajnia. (2013). Pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi. Isrimirajnia, 1.
https://isrimirajnia.wordpress.com/2013/06/08/pelaksanaan-demokrasi-di-
indonesia-sejak-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/
Kantaprawira, R. (2004). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1, 91.
https://doi.org/10.15408/sd.v2i2.2814.Permalink/DOI
Makhfudz, M. (2018). Demokrasi di Era Reformasi. ’Adalah, 2(8), 73–74.
https://doi.org/10.15408/adalah.v2i8.8725
Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:
LP3ES.
MD, Moh. Mahfud. 1993. Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Mohsin, A. (2018). Partai Politik Dan Sistem Demokrasi. Jurnal Populis, 3(6), 777–788.
Muntoha, & Darmoko, P. D. (2017). Pergeseran Demokrasi Pancasila Ke Demokrasi Liberal
(Praktek Ketatanegaraan Ri Pasca Reformasi). Jurnal Madaniyah, 7(2), 354–372.
Purnamawati, E. (2020). Perjalanan Demokrasi Indonesia. Solusi, 18(2), 251–264.
Purnaweni, Hartuti. DEMOKRASI INDONESIA: DARI MASA KE MASA. Vol. 3, No.2,
2004. Jurnal Administrasi Publik
Purwoko. (2010). SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDONESIA SETELAH
REFORMASI Purwoko. Ilmu Politik, 1 no., 1–14.
Samarasinghe, SWR. (1994). Democracy and Democratization in Developing Countries.
Series on Democracy and Health: Harvard School of Public Health, 14-15.
Schumpeter, Josep A. 1994. Capitalisme, Socialisme, And Demcracy. New York:
Routledge.
Sofyan, A. (2013). PEMAKNAAN DEMOKRASI DI ERA REFORMASI (Opini
Masyarakat Jawa Tengah terhadap Demokrasi Saat Ini) Arif Sofyan. 4(2), 5–13.
Sulardi. (1998). Demokrasi dan Pembangunan: Tidak Identik dengan Ayam dan Telur.
Bestari, 109-114.
Wahyudi, Lutfi. Demokrasi Orde Baru. Vol. 6, No. 11, 2005
Witianti, Siti. (2016). Demokrasi dan Pembangunan. Jurnal Wacana Politik – Jurnal Ilmiah
Departemen Ilmu Politik, 1(1), 71-76.
Zamri, A. R. (2019). Implementasi Demokrasi Di Era Reformasi Di Indonesia Menurut
Perspektif Siyasah Dusturiyah. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,
1–72.