Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KODE ETIK PSIKOLOGI

“Kebebasan dan Tanggung Jawab”

Diajukan sebagai pemenuhan nilai salah satu tugas mata kuliahh Kode Etik Psikologi

DOSEN PENGAMPU

Aski Marissa, Dr

DISUSUN OLEH

Alif Naafi Ardradhika 10518534

Bimbin Trayudi 11518434

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktu nya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai kebebasan dan tanggung
jawab.

Makalah ini mungkin sangat jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangan
baik dari segi materi maupun dalam penyajiannya. Oleh karena itu kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penyusunan makalah ini.

Hal tersebut karena kemampuan dan pengalaman penulis yang masih terbatas. Banyak
dukungan, masukan dan saran yang penulis terima dari berbagai pihak dalam penulisan makalah
ini. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada pihak-pihak terkait yang telah banyak
membantu sehingga penulisan ini dapat selesai dengan baik.

Jakarta , 3 December 2019

Penyusun
Daftar Isi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakah makhluk yang motil. Yaitu makhluk yang dapat bergerak secara
independen, bergerak atas kemauannya sendiri. Dalam bergerak atau berperilaku secara
independen, manusia secara bebas dapat menentukan responnya terhadap stimulus dari
lingkungan. Apakah menjauhi atau mendekati suatu stimulus tersebut. Manusia bebas dalam
menentukan pilihannya. Biasanya, manusia berperilaku bergantung pada pengalaman yang telah
dilewatinya semasa hidup. Pengalaman tersebut akan diingat oleh manusia dan diingatnya terus
agar bisa menjadi suatu pelajaran kedepannya dalam berperilaku agar tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Seperti yang sudah penulis katakan bahwa seorang individu bebas dalam
menentukan responnya, apakah respon yang diberikan apakah ditimbang berdasarkan
pengalaman yang ia punya atau tidak ditimbang sama sekali.

Tentu saja dalam berperilaku manusia tidak lepas dari tanggung jawab. Dalam berperilaku
manusia harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya. Bertanggung jawab
tidak hanya berupa suatu perilaku tetapi juga bisa dalam bentuk penjelasan bagaimana suatu
perilaku tersebut dilakukan. Penulis tertarik dengan tema ini dikarenakan adanya keterkaitan
antara kebebasan suatu individu berperilaku tetapi ada tanggung jawab yang mengikat sehingga
suatu individu dapat saja berperilaku bebas asalkan bisa bertanggung jawab atas perilakunya.

1.2 Rumusan Masalah


Berikut adalah rumusan masalah yang akan penulis bahas pada makalah ini:
1. Apakah yang dimaksud dengan kebebasan?
2. Apakah yang dimaksud dengan tanggung jawab?
3. Apa saja klasifikasi dari kebebasan?
4. Apa saja masalah dari kebebasan?
5. Bagaimanakah hasil analisis jurnal yang memuat mengenai kebebasan dan tanggung
jawab?
6. Bagaimanakah keterkaitan hubungan kebebasan dan tanggung jawab hasil analisis
jurnal?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui arti kebebasan.
2. Untuk mengetahui arti tanggung jawab.
3. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari kebebasan.
4. Untuk mengetahui apa saja masalah dari kebebasan.
5. Untuk mengetahui hasil analisis jurnal yang memuat mengenai kebebasan dan tanggung
jawab.
6. Untuk mengetahui keterkaitan hubungan kebebasan dan tanggung jawab hasil analisis
jurnal.

1.4 Metode Pengumpulan Data


Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan beberapa cara untuk
mengumpulkan data yang diperlukan, yaitu dengan mengambil informasi dari buku pegangan
mata kuliah Kode Etik Psikologi dan mencari jurnal terkait dengan mengunjungi website
yang mem-publish jurnal untuk dianalisis.

1.5 Sistematika Penulisan


Penulis membagi makalah ini menjadi beberapa bab, yaitu sebagai berikut:

a. BAB I: Pendahuluan
Terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
pengumpulan data, serta sistematika penulisan.
b. BAB II: Pembahasan
Menjelaskan materi yang telah penulis kami dapatkan.
c. BAB III: Penutup
Berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebebasan dan Tanggung Jawab


“Kebebasan” dan “Tanggung Jawab” seolah-olah merupakan pengertian kembar.
Terdapat hubungan timbal balik antara dua pengertian ini, sehingga orang yang
mengatakan “manusia itu bebas” dengan sendirinya juga menerima “manusia itu
bertanggung jawab”. Sebaliknya, jika kita bertolak dari pengertian “tanggung jawab”,
kita selalu turut memaksudkan juga “kebebasan”. Tidak mungkin kebebasan tanpa
tanggung jawab dan tidak mungkin tanggung jawab tanpa kebebasan.

2.2 Kebebasan
2.2.1 Pengalaman tentang Kebebasan
Kebebasan berasal dari kata “bebas” yang menurut etimologi
berarti merdeka, tak terkendali. Dalam KBBI “bebas” mempunyai arti
lepas sama sekali dalam arti tidak terhalang, tidak terganggu. Namun,
Secara etimologi makna kebebasan tidak dapat dipastikan artinya.
Sebenarnya tidak ada manusia yang tidak tahu apa itu kebebasan,
karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kita semua.
Dalam hidup setiap orang kebebasan adalah suatu unsur yang hakiki. Kita
semua mengalami kebebasan, justru karena kita semua manusia.
Kesulitannya baru mulai, bila kita ingin mengungkapkan pengalaman itu
pada taraf refleksi. Dan justu itulah yang menjadi usaha dan tanggungan
filsafat. Tentang kebebasan, seperti juga tentang banyak pengalaman
manusia lainnya, berlaku apa yang di zaman purba pernah dikatakan
Augustinus (254-430) mengenai waktu. Dalam renungannya tentang
waktu, Augustinus sendiri heran, karena sebenarnya selalu ia sudah tahu
apa itu waktu, namun ia mengalami kesulitan juga, bila mau merumuskan
pengetahuan-pengetahuan serba biasa itu. “Di antara hal-hal yang disebut
dalam pembicaraan sehari-hari kita, apakah yang lebih biasa serta akrab
dengan kita daripada waktu? Tidak bisa diragukan, kita mengerti bila kita
berbicara tentangnya dan kita mengerti juga bila kita mendengar orang
lain berbicara tentangnya. Lalu apa gerangan waktu itu? Jika tidak ada
orang yang tanya, saya tahu. Tapi jika saya mau menjelaskannya kepada
orang lain setelah ditanya, saya tidak tahu”. Hal yang sama dikatakan juga
tentang kebebasan. Kalau tidak ada orang yang bertanya apakah
kebebasan itu, kita yakin kita tahu, karena kita sendiri mengalaminya.
Tapi pada saat kita ditanya apakah kebebasan itu kita menjadi bingung dan
tidak bisa menjawab.
Tidak dapat disangkal, dalam hidup manusia kebebasan merupakan
suatu realitas yang amat kompleks. Kebebasan mempunyai banyak aspek
dan banyak karakteristik. Sudah dalam bahasa sehari-hari kata “bebas”
dipakai dengan berbagai nuansa dan sesudah pemeriksaan lebih lanjut
tetap tinggal banyak arti yang tidak boleh dicampuradukkan. Salah satu
usaha pertama dari filsafat adalah membedakan serta menganalisis banyak
arti itu dan dengan demikian menciptakan kejelasan.

2.2.2 Beberapa arti Kebebasan


a. Kebebasan Sosial-politik
Pertama-tama harus dibedakan antara kebebasan sosial-politik dan kebebasan
individual. Subyek kebebasan sosial-politik –artinya, yang disebut bebas di sini
adalah suatu bangsa atau rakyat. Sedang subyek kebebasan individual adalah
manusia perorangan.
Kebebasan sosial-politik bukannya sesuatu yang selalu sudah ada, melainkan
sebagian besar merupakan produk perkembangan sejarah atau, lebih tepat lagi,
produk perjuangan sepanjang sejarah. Dalam sejarah modern dapat dibedakan dua
bentuk. Bentuk pertama adalah tercapainya kebebasan politik rakyat dengan
membatasi kekuasaan absolut para raja. Bentuk kedua terdiri dari kemerdekaan
yang dicapai oleh negara-negara muda terhadap negara-negara penjajah.
1) Kebebasan Rakyat versus Kekuasaan Absolut
Dua negara yang memainkan peranan besar dalam sejarah Eropa dan
sejarah dunia, menjadi pelopor dalam mewujudkan kebebasan sosial-politik
menurut bentuknya yang pertama, yaitu Inggris dan Prancis. Di Inggris
pembatasan absolutism para raja berlangsung berangsur-angsur selama kurun
waktu yang panjang, salah satu langkah pertama adalah Magna Charta (1215).
Piagam yang terpaksa oleh keadaan dikeluarkan Raja John untuk
menganugerahkan kebebasan-kebebasan tertentu kepada para baron dan uskup
Inggris. Sesudah itu proses pembatasan kuasa absolut monarki berjalan terus dan
dianggap selesai dengan yang disebut The Glorius Revolution (1688).
Menunjukan peristiwa William III dan Mary Stuart naik takhta Inggris sambil
mengakui dan menerima The Bill of Rights. Piagam itu berisikan perumusan hak-
hak parlemen terhadap monarki. Pada hakikatnya kejadian itu merupakan
kemenangan parlemen atas raja-raja yang autocrat. Dengan demikian untuk
pertama kali dalam sejarah terbentuklah demokrasi modern di mana perwakilan
rakyat membatasi dan mengontrol kekuasaan raja.
Seabad kemudian di Prancis absolutism para raja dipatahkan dengan lebih
mendadak dan lebih dramatis melalui Revolusi Prancis (1789), yang antara lain
mengakibatkan raja Louis XVI dipenggal kepalanya dengan alat guillotine (1792),
beberapa bulan kemudian disusul oleh istrinya, ratu Marie Antoinette. Pejuang-
pejuang Revolusi Prancis tidak saja membatasi tapi bahkan menggulingkan para
raja Prancis yang mereka beri nama “Rezim Lama”. Semboyan yang
mengungkapkan tujuan revolusi ini adalah “kebebasan, persamaan, persaudaraan”.
Di sini kata “kebebasan” jelas dimaksud dalam arti “kebebasan sosial-politik”.
Hingga kini semboyan tadi terpampang di atas pintu masuk setiap balai kota
Prancis.
Pembahasan singkat mengenai kebebasan sosial-politik menurut bentuk
pertama ini dapat diakhiri dengan menambah dua catatan. Yang pertama ialah
bahwa perwujudan kebebasan sosial-politik ini tidak terbatas pada kedua negara
bersangkutan saja tapi mempunyai relevansi universal. Catatan kedua lebih erat
kaitannya dengan etika. Gagasan yang melatarbelakangi kebebasan sosial-politik
dalam bentuk ini pada dasarnya bersifat etis. Perkembangan dari monarki absolut
ke demokrasi modern bukan saja merupakan suatu kenyataan historis, melainkan
juga suatu keharusan etis. Tidak dapat dibenarkan, jika perkembangan itu
menempuh lagi arah yang terbalik. Kebebasan rakyat tidak boleh lagi dirampas oleh
diktator siapapun juga. Kedaulatan harus tetap di tangan rakyat dan tidak boleh
berada pada instansi lain. Itulah suatu tuntutan etis.

2) Kemerdekaan versus Kolonialisme


Kebebasan sosial-politik menurut bentuk kedua direalisasikan dalam
proses dekolonialisasi yang di zaman kita sekarang sudah kira-kira selesai.
Kebebasan dalam bentuk ini biasanya kita sebut “kemerdekaan”. Dalam zaman
modern banyak negara baru merebut kemerdekaannya sejak akhir abad ke-18,
mulai dari benua Amerika. Amerika Serikat adalah negara pertama yang
melepaskan diri dari kekuasaan Inggris dengan The Declaration of Independence
pada tahun 1776. Revolusi Amerika ini memengaruhi Revolusi Prancis di Eropa.
Dan akhirnya antara tahun 1776 dan 1825 hampir semua negara di benua Amerika
Memeroleh kemerdekaannya. Gelombang kedua dalam proses dekolonialisasi
berlangsung sesusai Perang Dunia II. Pertama-tama di Asia dan kemudian juga di
Afrika. Kini di kedua benua ini pun tidak ada lagi negara yang dijajah oleh nagara
lain.
Di sini juga perlu ditekankan bahwa ide di belakang proses dekolonialisasi
itu bersifat etis. Bagaimanapun pandangan di abad-abad sebelumnya, di zaman
modern timbul keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa
lain. Dan karena itu situasi kolonialisme tidak pernah boleh terjadi lagi. Setelah
beradab-abad lamanya penjajahan dianggap lumrah saja, kini sistem kolonialisme
ditolak secara umum sebagai tidak etis.

b. Anatomi Kebebasan individual


Kebebasan dalam arti sosial-politik berkaitan erat dengan etika. Namun
demikian, bagi etika umum yang lebih penting adalah kebebasan individual.
Kemudian kami akan membahas tentang beberapa cabang arti kebebasan
individual.

1) Kesewenang-wenangan
Kadang-kadang kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan
(arbitrariness). Kalau begitu, orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak
berbuat sesuka hatinya. Di sini “bebas” dimengerti sebagai terlepas dari segala
kewajiban dan keterikatan.
Kalau tidak berpikir lebih panjang, banyak orang cenderung menerima
pengertian kebebasan ini. Atas pertanyaan “apa itu kebebasan”, secara spontan
mereka akan menjawab: “saya bebas, jika bisa melakukan apa saja yang saya mau”.
Kesan spontan ini disebabkan, karena orang mencampuradukkan kebebasan dengan
merasa bebas. Bila sekolahnya libur, seorang belajar sungguh-sungguh merasa
bebas. Ia tidak terikat oleh kewajiban apapun. Ia bisa melakukan banyak hal yang
menjadi pantangan waktu sekolah: tidur hingga siang, main bulu tangkis sepuas-
puasnya, dan lain-lain. Akan tetapi, apakah isi kebebasan hanya itu? Kalau kita
berefleksi lebih mendalam, akan tampak bahwa kebebasan tidak bisa disamakan
dengan merasa bebas atau merasa dilepaskan dari segala macam ikatan sosial atau
moral.
Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas
disebut “kebebasan”. Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Sebab, “bebas”
sesungguhnya tidak berarti “lepas dari segala keterikatan”. Dengan demikian
penyelidikan singkat ini sudah membawa kesimpulan yang sangat berharga:
kebebasan tidak bertentangan dengan keterikatan. Sebaliknya, kebebasan yang
sejati mengandaikan keterikatan dengan norma-norma. Bertingkah laku bebas
selalu berimplikasi mengikat diri dengan norma yang berlaku di bidang
bersangkutan. Bila tingkah laku manusia tidak secara otomatis ditentukan oleh
insting tapi ia sendiri harus mengatur kecenderungan-kecenderungan alamiahnya,
maka itu berarti ia membutuhkan norma-norma. Jadi, norma-norma tidak
menghambat adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan tingkah laku bebas.
2) Kebebasan Fisik
Arti “kebebasan” berikut adalah kebebasan fisik. Di sini “bebas” berarti
tidak ada paksaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas
dalam arti ini, jika bisa bergerak ke mana saja ia mau tanpa hambatan apapun.
Orang yang diborgol atau dipasung tentu tidak bebas. Selama meringkuk di
penjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi begitu masa tahanannya lewat ia
kembali menghirup udara kebebasan.
Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud kebebasan yang
sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti
kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”,
maka kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu. Kebebasan ini sangat
bermanfaat dan sangat dibutuhkan untuk menjadi orang yang bebas dalam arti yang
sebenarnya.

3) Kebebasan Yuridis
Arti “kebebasan” lain dapat disebut kebebasan yuridis, sebab berkaitan
erat dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum. Sebenarnya kebebasan yuridis
ini merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Dalam Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) dan juga dalam dokumen-dokumen lain
tentang hak hak manusia berulang kali dibicarakan tentang “hak-hak dan
kebebasan-kebebasan”.
Yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti ini adalah syarat-syarat fisik
dan sosial yang perlu untuk dipenuhi agar dapat menjalankan kebebasan secara
konkret. Kebebasan yuridis yang dimaksudkan semua syarat hidup di bidang
ekonomis, sosial dan politik yang diperlukan untuk menjalankan kebebasan
manusia secara konkret dan mewujudkan kemungkinan yang terpendam. Peranan
negara disini sangat penting. Negara, yang bertujuan mengupayakan kesejahteraan
umum, harus menjamin dan memajukan kebebasan-kebebasan ini. Hal itu akan
dilakukannya dengan membuat undang-undang yang cocok bagi keadaan konkret.
Tapi peranan negara tidak sama terhadap semua kebebasan yuridis. Perlu
dibedakan dua macam kebebasan yuridis, tergantung pada dasarnya. Dasarnya bisa
hukum kodrat atau hukum positif. Karena itu kita membedakan kebebasan yuridis
yang didasarkan pada hukum kodrat dan kebebasan yuridis yang didasarkan pada
hukum positif.
a) Dengan kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat dimaksudkan semua
kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terikat begitu erat dengan
kodrat manusia, sehingga tidak pernah boleh diambil dari anggota-anggota
masyarakat. Kebebasan-kebebasan ini berkaitan dengan martabat manusia itu
sendiri dan karena itu tidak boleh dipisahkan.
Secara konkret kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat
ini sama dengan hak-hak asasi manusia seperti dirumuskan dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Manusia bebas untuk bekerja,
memilih profesinya, mempunyai milik sendiri, menikah, mendapat pendidikan,
memperoleh pelayanan kesehatan, dan banyak hal lain lagi. Dalam arti ini pula
terdapat kebebasan hati nurani, kebebasan beragama, kebebasan berpikir,
kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berkumpul, dan seterusnya.
b) Kebebasan yuridis yang didasarkan pada hukum positif diciptakan oleh negara.
Kebebasan-kebebasan ini merupakan hasil dari perundang-undangan.
Seandainya tidak dirumuskan, kebebasan-kebebasan ini tidak ada sama sekali.
Itulah perbedaan dengan kebebasan-kebebasan yang langsung berasal dari
hukum kodrat.

4) Kebebasan Psikologis
Salah satu arti “kebebasan” yang sangat penting adalah kebebasan
psikologis. Dengan kebebasan psikologis kita dimaksudkan kemampuan yang
dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya.
Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan merupakan ciri khasnya. Karena
itu suatu nama lain untuk kebebasan psikologis adalah “kehendak bebas” (free
will). Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah
makhluk berasio. Ia bisa berpikir sebelum bertindak. Jika manusia bertindak
bebas maka ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebab perbuatannya. Berkat
kebebasan ini ia dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya.
Kemungkinan untuk memilih merupakan aspek penting dari kebebasan
psikologis, namun itu tidak berarti bahwa kebebasan ini lebih besar sejauh
kemungkinan untuk memilih lebih luas. Kemungkinan untuk memilih tidak bisa
dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan ini. Walaupun kebebasan psikologis
selalu disertai kemungkinan untuk memilih dan tidak ada kebebasan kalau tidak
ada kemungkinan untuk memilih, namun pemilihan tidak merupakan hakikat
kebebasan psikologis. Yang menjadi hakikatnya ialah kemampuan manusia untuk
menentukan dirinya sendiri.

5) Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis, namun
tidak boleh disamakan dengannya. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan
psikologis, sehingga tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin terdapat
kebebasan moral. Tapi kalau terdapat kebebasan psikologis belum tentu terdaoat
kebebasan moral juga, walaupun dalam keadaan normal kebebasan psikologis
akan disertai kebebasan moral. Kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja
(free), sedangkan kebebasan moral berarti suka rela (voluntary).
Dalam arti tertentu dapat dikatakan, kebebasan moral adalah kebebasan-
psikologis-plis. Terdapat kebebasan moral, bila orang tidak mengalami tekanan atau
paksaan moral dalam menentukan diri.

6) Kebebasan Eksistensial
Kebebasan eksistensial adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut
seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan
ini mencakup eksistensi manusia.
Kebebasan eksistensial adalah bentuk kebebasan tertinggi. Tentu saja,
manusia tidak memiliki kebebasan ini tanpa kebebasan dalam arti lain, khususnya
kehendak bebas. Tapi kebebasan eksistensial melebihi semua arti lain itu. Orang
yang bebas secara eksistensial seakan-akan “memiliki dirinya sendiri”. Ia
mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas, kematangan rohani. Orang yang
sungguh-sungguh bebas dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif. Ia dapat
merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya dengan kemandirian dan otonomi
yang paling besar.
Contohnya adalah cendekiawan yang telah mencapai taraf berpikir sendiri.
Ia tidak membeo saja. Ia tidak mengumandangkan saja apa sudah pernah dikatan
oleh orang lain. Ia mempunyai pendapat sendiri yang didasarkan pada pengertian
sendiri. Ia tahu betul apa yang dipikirkan dan ditulis di bidang keahliannya, tapi ia
tidak terikat dengannya. Ia hanya terikat pada kebenaran dan tidak akan mundur
karena alas an apa pun dalam mencari kebenaran. Ia sungguh-sungguh berpikir
bebas dan mandiri.
Kebebasan eksistensial ini jarang sekali direalisasikan dengan sempurna.
Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi
arah dan makna kepada kehidupan manusia. Kebebasan ini selalu patut dikejar,
tapi jarang saja akan terealisasi dengan sepenuhnya. Dalam situasi kita sekarang
ini kebebasan eksistensial barangkali lebih sulit tercapai daripada sebelumnya.

2.3 Beberapa Masalah Mengenai Kebebasan


a. Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Dalam menghadapi kebebasan manusia sebenernya dihadapkan dengan dua aspek
kebebasan. Dua aspek ini adalah aspek negative dan aspek positif. Dua aspek kebebasan
tersebut dapat dapat dimengerti sebagai “kebebasan dari…” untuk aspek negatif dan
“kebebasan untuk…” untuk aspek positif. Masyarakat awam lebih mengenal arti
kebebasan dalam aspek negative, bahkan dari KBBI pun kata kebebasan lebih
didefinisikan menggunakan aspek negative. Kebebasan dalam aspek negative yang
masyarakat pahami lebih kepada “terlepas”,”tidak ada”,”tanpa”. Seperti contohnya lepas
dari tugas, makanan bebas minyak, dan semacamnya. Aspek positif dari kebebasan yang
dimengerti sebagai “kebebasan untuk..” yang harus diisi oleh manusia sendiri. Untuk
mengisi aspek positif kebebasan manusia dituntut untuk menggukanan kreativitasnya
untuk mengisi aspek positif dari kebebasan. Sehingga ada banyak sekali cara untuk
manusia untuk mengisi aspek positif dari kebebasan ini.
b. Batas-batas Kebebasan
Kebebasan merupakan suatu komponen kehidupan manusia. Satre berpendapat dalam
optimismenya mengenai kebebasan bahwa tidak ada batas lain untuk kebebasan daripada
batas-batas yang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Batas-batas itu sendiri:

1) Faktor internal
Kebebasan dibatasi oleh faktor internal baik dari segi fisik maupun psikis
yang dipengaruhi oleh gen kita sebagai warisan dari orang tua. Selalu ada suatu
batasan tertentu yang membatasi manusia dalam segi fisik. Seperti contohnya
dalam memasuki akademi penerbangan diwajibkan untuk orang-orang memiliki
tinggi yang sudah ditetapkan.

2) Lingkungan
Kebebasan dibatasi oleh lingkungan. Baik lingkungan yang bersifat
alamiah maupun lingkungan yang bersifat sosial. Lingkungan yang bersifat
alamiah sperti yang umum kita ketahui bahwa alam disekitar kita tidak dapat kita
kontrol sehingga berdampak pada kebebasan manusia yang ada di lingkungan
tersebut. Seperti contohnya di Indonesia tidak memungkinkan kita untuk
melakukan olahraga ski karena letak Indonesia yang berada di garis khatulistiwa
membuat iklim Indonesia beriklim tropis. Dalam hal sosial contohnya orang-
orang yang berasal dari lingkungan yang kurang mampu sehingga terbatas dalam
mendapatkan pendidikan karena adanya tuntutan ekonomi untuk kehidupan
sehari-hari.

3) Kebebasan orang lain


Kebebasan manusia juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak
dibenarkan jika suatu manusia begitu bebas sampai orang lain tidak memiliki
kebebasan. Apabila seseorang dapat menghormati kebebasan orang lain dapat
dikatakan bahwa orang itu dapat menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang
lain.
4) Generasi mendatang
Kebebasan manusia dibatasi oleh masa depan manusia atau oleh generasi
sesudah kita. Kebebasan kita dalam menguasai dan mengeksploitasi alam dibatasi
sampai titik tertentu, sehingga alam masih bisa menjadi dasar hidup bagi generasi
yang akan mendatang. Diperbolehkan apabila kita menggunakan alam sebagai
sumber daya untuk membangun ekonomi, tetapi harus sedemikian rupa sehingga
pemanfaatan alam masih bisa dilanjutkan oleh generasi-generasi selanjutnya.

2.4 Tanggung Jawab


Tanggung jawab berkaitan dengan kata jawab. Yang berarti seseorang harus bisa
menjawab apabila ditanya mengenai perbuatannya dan tidak boleh mengelak , bila
dimintai penjelasan tentang perbuatannya. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang
disebabkan olehnya. Sebaliknya, orang yang tidak menjadi penyebab sesuatu tidak harus
mempertanggungjawabkan akibat dari suatu perilaku. Akan tidak adil apabila seseorang
yang tidak menyebabkan suatu akibat harus bertanggung jawab menggantikan orang yang
seharusnya bertanggung jawab.
Tanggung jawab itu bisa secara langsung dan tidak langsung. Secara harfiah
bertanggung jawab secara langsung benar-benar bertanggung jawab sepenuhnya atas
suatu tindakan yang disebabkan oleh perilakunya. Sedangkan bertanggung jawab secara
tidak langsung lebih mengacu kepada bertanggung jawab atas perbuatan yang bukan
secara langsung diakibatkan oleh si penanggung jawab. Seperti contohnya orang tua yang
memiliki anak kecil, kemudian anak kecil tersebut memecahkan suatu barang pecah belah
di supermarket, yang bertanggung jawab atas perbuatan tersebut adalah orang tuanya
karena seorang anak kecil belum bisa dianggap sebagai pelaku bebas.
Tanggung jawab dalam konteks hati nurani menurut Bertens, terdapat 2 macam
yaitu tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospektif. Tanggung jawab
retrospektif adalah tanggunng jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan segala
konsekuensinya. Contohnya apabila seseorang dokter memberikan suatu resep obat yang
salah maka dokter tersebut harus bertanggung jawab atas perbuatannya sesuai dengan
konsekuensi yang diterapkan di dunia kedokteran. Sedangkan tanggung jawab prospektif
merupakan tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Contohnya apabila
seseorang dokter sudah mengucapkan sumpah untuk menolong orang maka di masa
depan dokter tersebut tidak boleh memandang sebelah mata pasiennya dan bisa menolong
pasien tersebut.

2.5 Hasil Analisis Jurnal

Anda mungkin juga menyukai