Anda di halaman 1dari 5

Semangat toleransi terus digaungkan dari tahun ke tahun.

Hal itu dapat pula kita lihat dari


sumber yang pernah dibahas sebelumnya, yaitu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang periode
2005-2025 yaitu
Pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan yang ditandai dengan
meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman budaya, pentingnya toleransi, dan
pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya
interaksi antarbudaya… 1
Pemerintah juga mulai mengevaluasi dan melakukan kampanye melalui beberapa program agar
masyarakat mampu bertoleransi dan berpikiran terbuka terhadap fenomena yang terjadi. Berikut
adalah sebuah kutipan yang terdapat dalam program profil kurikulum merdeka yang merupakan upaya
penggaungan toleransi di lingkup Kementrian Pendidikan:
Pelajar Pancasila bersusila, bertoleransi dan menghormati penganut agama dan kepercayaan
lain. Ia menjaga kerukunan hidup sesama umat beragama, menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, tidak
memberikan label negatif pada penganut agama dan kepercayaan lain dalam bentuk apapun,
serta tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain. 2
Begitulah sepenggal paragraf yang terdapat dalam buku Dimensi, Elemen dan Subelemen
Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka. Pelajar indonesia diajak untuk memiliki sikap
toleransi dengan agama lain.
Di lingkup Kementrian Agama, misi ini juga termasuk dalam program dan kurikulum mereka
dalam menyusun modul-modul pendidikan Islam. Bagaimana bentuk toleransi yang diartikan oleh
pihak Kementrian Agama? Berikut penjelasannya?
Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu orang lain untuk
berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal
tersebut berbeda dengan yang kita yakini. Sikap terbuka seperti ini menjadi titik penting dari
toleransi. Selain keterbukaan dalam menyikapi perbedaan, toleransi mengandung sikap
menerima, menghormati orang lain yang berbeda, serta menunjukkan pemahaman yang
positif.3
Di dalam penjelasan ini dijelaskan pula bahwa toleransi tidak hanya dijadikan sebagai sikap
keterbukaan dalam hal agama saja. Tapi dalam konteks yang lebih luas, toleransi juga mengarah pada
perbedaan, ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, budaya, dan lain sebagainya. 4
1. Menilik Tafsir Radikalisme
Dewasa ini kerukunan dan persatuan negara terancam dengan hadirnya individu-individu
dengan paham radikal dan ekstrem di lingkup masyarakat. Kelompok ini meneror, menimbulkan
kekacauan bahkan tindak kekerasan di masyarakat. Para penganut paham ini juga muncul dengan
tindakan berupa kekerasan non-fisik seperti, menuduh sesat kepada individu maupun kelompok
masyarakat yang berbeda paham dan keyakinan tanpa argumentasi yang logis dan benar.
Untuk menanggapi hal ini, Kementrian Pendidikan mengeluarkan program Profil Pelajar
Pancasila yaitu dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan berakhlak mulia
dengan bunyi sebagai berikut:

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005 – 2025, hlm. 6.
2
Kepala Badan Standar, kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi Nomor 009 /H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum
Merdeka, hlm. 3.
3
Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi
Beragama dalam Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019, hlm. 18.
4
Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi
Beragama dalam Pendidikan Islam, hlm. 19.
Pelajar Pancasila adalah pelajar yang moderat dalam beragama. Ia menghindari pemahaman
keagamaan dan kepercayaan yang eksklusif dan ekstrim, sehingga ia menolak prasangka
buruk, diskriminasi intoleransi dan kekerasan terhadap sesama manusia baik karena
perbedaan ras, kepercayaan, maupun agama. Pelajar Pancasila bersusila, bertoleransi dan
menghormati penganut agama dan kepercayaan lain. 5
Dalam paragraf di atas, dijelaskan bahwa seorang Pelajar Pancasila mesti meghindari
pemahaman keagamaan dan kepercayaan yang ekslusif dan ektrim. Namun sayangnya, di dalam profil
pelajar pancasila ini belum dijelaskan bagaimana bentuk pemahaman keagamaan dan kepercayaan
yang ekslusif dan ektrim tersebut. Beruntungnya, buku Implementasi Moderasi Beragama dalam
Pendidikan Islam menjelaskan hal tersebut. Tentunya definisi antara dua institusi ini akan serupa
dikarenakan mereka dalam satu wadah yang sama, yaitu kabinet kementrian, yang bertugas di bawah
wewenang presiden. Dan juga, dalam hal ini Kemenag juga sedang membahas topik pendidikan, yaitu
pendidikan Islam. Topik ini pasti akan membutuhkan integrasi dari dua belah pihak, yakninya
Kementrian Pendidikan dan Kementrian Agama.
Bagaimanakah individu atau kelompok yang dinilai memiliki pemahaman keagamaan dan
kepercayaan yang eksklusif dan ekstrim tersebut? Berikut kutipannya:
...radikalisme dan kekerasan juga muncul dari pemahaman keagamaan yang mengusung
ideologi revivalisme dengan cita-cita untuk mendirikan negara Islam semacam daulah
Islamiyah seperti khilafah, dar al-Islam, dan imamah. Varian-varian ideologi keagamaan
seperti ini kemudian semakin menambah rumit suasana dalam menciptakan kondisi harmonis
dalam masyarakat. Sebagian kelompok ada yang sibuk dalam mengoreksi ibadah saudaranya
yang seiman. Pada saat yang sama, sebagian kelompok yang lain ada yang dikendalikan oleh
rasa benci secara berlebihan terhadap kelompok yang memiliki keyakinan berbeda dengan
mengaitkannya sebagai musuh keimanan yang membahayakan, dan bahkan tidak menutup
kemungkinan, selanjutnya mereka terdorong untuk mengkafirkan kelompok seiman yang
mengakui keragaman dan menghormati kepercayaan agama lain. 6
Adapun Rudi Ahmad Suryadi berpendapat bahwa “Gejala radikalisme muncul akibat
pemahaman keagamaan yang literal terhadap teks-teks keagamaan. Media sosial juga internet sering
melansir konten radikal untuk menjelekkan pemerintah bahkan mengkafirkan orang lain yang
berbeda pemahaman…”.7 Dari pernyataannya, penulis mengambil kesimpulan bahwa menentang
kelompok yang memakai paham keagamaannya untuk mengkoreksi kebijakan pemerintah, atau
menjelek-jelekkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, bahkan sampai mengkafir-kafirkan orang
lain termasuk dalam kriteria radikal itu sendiri.
Dari penjelasan kutipan-kutipan diatas dapat diambil beberapa poin yang menjadi fokus pihak
Kementrian Agama dalam menilai orang-orang yang diduga terkena paham radikal dan ektrim, yaitu:
1. Pihak yang memiliki ideologi revivalisme dengan cita-cita mendirikan negara Islam.
2. Pihak yang mengoreksi Ibadah saudaranya seiman, lau memiliki rasa benci berlebihan hingga
muncul keyakinan bahwa mereka adalah musuh keimanan yang membahayakan
3. Pihak yang dengan mudah mengkafirkan saudara seimannya yang tidak memiliki tafsir
keagamaan yang sama dengannya

5
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi Nomor 009 /H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum
Merdeka, hlm. 3.
6
Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi
Beragama dalam Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019, hlm. 20.
7
Rudi Ahmad Suryadi, “Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Agama Islam”, Jurnal Taklim, Vol.
XX (No. 1), 2020, hlm. 3.
Kementrian Agama menganggap sikap dan ekspresi yang muncul dari pemahaman ini akan
cenderung merubah tatanan kehidupan sosial dan politik masyarakat dengan menggunakan cara-cara
kekerasan.
4. Pola Pikir Rasional, HAM dan Demokrasi
Salah satu dimensi yang tak kalah penting dibahas dalam Profil Pelajar Pancasila adalah
dimensi yang membentuk pelajar Indonesia untuk bernalar kritis. Kemampuan ini merupakan suatu
hal yang harus dimiliki setiap individu, khususnya seorang pembelajar. Dengan metode berpikir ini,
siswa diharapkan mampu mengambil, mencerna, menganalisis sebuah informasi, kemudian
merefleksikannya sehingga menjadi sebuah kesimpulan, yang mana kesimpulan itu akan menjadi
tahap akhir dalam pengambilan sebuah keputusan.
Kita berada di era digital, era dimana akses informasi sangat mudah didapatkan. Era ini
memiliki bencana baru bagi ummat manusia yaitu meluapnya data dan informasi atau yang disebut
juga flood of information. Era ini disebut juga dengan era disrupsi, dimana perubahan besar bisa
terjadi tiba-tiba. Kemungkinan terjadinya perubahan yang besar itu sangatlah mudah, bisa mengarah
pada hal yang baik, namun bisa juga mengarah pada hal yang buruk dan kacau. Dibutuhkan sumber
daya manusia dengan kemampuan beprikir kritis agar tak mudah terpengaruh oleh luapan informasi.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Kemendikbud melalui Program Profil Pelajar Pancasila
memasukkan berpikir kritis sebagai sebuah dimensi yang harus dimiliki seorang pelajar. Berikut
kutipannya:
Pelajar Pancasila menggunakan nalarnya sesuai dengan kaidah sains dan logika dalam
pengambilan keputusan dan tindakan dengan melakukan analisis serta evaluasi dari gagasan
dan infornasi yang ia dapatkan. Ia mampu menjelaskan alasan yang relevan dan akurat dalam
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Akhirnya, ia dapat membuktikan
penalarannya dengan berbagai argumen dalam mengambil suatu simpulan atau keputusan. 8
Pola pikir tersebut juga ditujukan untuk menjaga keutuhan negara, yaitu dengan sikap
berkeadilan sosial pada keberagaman dan bersikap inklusif dalam masyarakat. Inklusif bertujuan
mengajak dan mengikutsertakan semua orang yang memiliki latar belakang berbeda. Kebenaran
sifatnya relatif sehingga masyarakat tidak bisa menilai dengan sudut pandangnya sendiri. Manusia
memiliki hak yang sama dalam masyarakat. Dibantu dengan pola pikir rasional dan bernalar kritis
tadi, meraka akan berubah menjadi masyarakat yang lebih inklusif, demokratis dan memegang teguh
prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagaimana dijelaskan dalam Dimensi, Elemen dan Subelemen
Profil Pelajar Pancasila berikut:
Pelajar Pancasila peduli dan aktif berpartisipasi dalam mewujudkan keadilan sosial di tingkat
lokal, regional, nasioanal, dan global. Ia percaya akan kekuatan dan potensi dirinya sebagai
modal untuk menguatkan demokrasi, untuk secara aktif-partisipatif membangun masyarakat
yang damai dan inklusif, berkeadilan sosial dan berorientasi pada pembangunan yang
berkelanjutan.9
B. Islam Menjawab Kerancuan Profil Pelajar Pancasila
1. Syariat Acuan terhadap Budaya
Islam bukanlah hal yang bertentangan dengan budaya. Jika budaya bisa menyesuaikan dengan
Islam, maka tidak perlu diubah, dengan catatan Islamlah yang menjadi acuan, bukan sebaliknya.
Keberadaan Islam sebagai akidah dan syariat diperuntukkan untuk umat Islam keseluruhan, bukan

8
Kepala Badan Standar, kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi Nomor 009 /H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum
Merdeka, hlm. 28.
9
Kepala Badan Standar, kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi Nomor 009 /H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum
Merdeka, hlm. 9.
untuk sebagian etnis, golongan atau kelompok saja. Islam berlaku bagi orang arab dan non-arab, yang
artinya berlaku juga untuk orang Indoesia. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran al-Karîm yang
berbunyi
}۱۰۷{ َ‫َو َمٓا اَرْ َس ْل ٰنكَ اِاَّل َرحْ َمةً لِّ ْل ٰعلَ ِم ْين‬
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS.
Al-Anbiyâ' [21]:107)10
Dari ayat ini, telah jelas bagi kita apa yang Allah swt. turunkan kepada nabi Muhammad saw.
itu ialah rahmat yang diperuntukkan bagi semesta alam seluruhnya, bukan bagi sebagainnya saja.
Islam mengatur seluruh aturan manusia seluruhnya secara global, yang mana dari sumber-
sumber syariat tadi bisa digali hukum-hukum atas tiap perkara yang terjadi di masyarakat. Dan telah
kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu (QS. An-Nahl [16]:
85). Termasuk pula di dalam segala sesuatu tersebut ialah bagaimana harusnya posisi Islam dan
budaya.
Datangnya Islam sebagai syariat (aturan kehidupan) tidak berarti menafikan budaya yang ada
dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat. Namun, diantara banyaknya budaya yang
berkembang, ada budaya yang memang bisa dipertahankan, ada juga budaya yang mesti diubah atau
ditinggalkan. Objek budaya hanya terbatas pada dua hal yaitu budaya yang berkaitan dengan sebuah
perbuatan dan budaya yang berkaitan dengan benda. Di dalam Islam ada kaidah ushul yang mengatur
dua hal tersebut. Kitab Dirasat fi al-Fikru al-Islami membahasnya dengan bunyi sebagai berikut:
“Hukum asal setiap benda adalah mubah, sampai datang dalil yang mengharamkannya” 11. Kaidah
ini adalah sebuah kaidah untuk menghukumi sebuah benda. Jika misal terdapat budaya minum arak,
makan babi dan anjing, atau mengadakan upacara dengan darah, maka itu tidak diperbolehkan dalam
Islam. Benda sendiri hukumnya hanya ada dua, halal dan haram.
Selanjutnya kaidah yang membahas perbuatan manusia, bunyinya adalah: “Hukum asal
setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’. ” 12. Hukumnya terbagi menjadi lima, yakini
fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah (boleh), makruh, dan haram. Hukum atas perbuatan dan
benda ini haruslah digali dari dalil-dalil syara’, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta apa-apa yang
ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul, yaitu Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’i.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan
Islam, budaya adalah hasil kreasi manusia. Hasil kreasi manusia ini berasal dari keinginan hawa nafsu
manusia itu sendiri, dan dari pandangan dan wawasan manusia yang terbatas. Hasil kreasi manusia ini
memiliki sifat berubah-ubah karena mengalami penyempurnaan terus menerus. Sang penciptalah yang
lebih tahu aturan yang baik bagi makhluk ciptaannya. Dan aturan sang pencipta itu adalah syariat
Islam, dengan aturan yang menyeluruh, luas, sesuai dengan naluri manusia dan memang bersifat
praktis (amaliyah).
Adapun Islam sebagai faktor yang menyebabkan hilangnya ragam budaya adalah dugaan
manusia saja. Mereka menduga jika budaya yang satu dilarang maka budaya itu hilang, orang tak
tertarik lagi dengan Indonesia, mereka mengira dengan hilangnya budaya akan hilang pula jati diri
bangsa. Ini adalah dugaan yang tak beralasan.
Budaya itu akan tergantikan dengan budaya baru yang lebih baik dari sebelumnya. Perlu
diketahui, budaya yang ada di Indonesia saat ini lahir dan berkembang sesuai dengan pemikiran nenek
moyang dulu (dimana pemikiran belum berkembang seperti sekarang). Dan ketika pemikiran berganti
dengan Islam, budaya yang ada akan berganti menjadi budaya yang yang juga pastinya akan menjadi

10
Abdul Aziz Abdul Rauf, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Cordoba Internasional-
Indonesia, 2020, hlm. 331.
11
Muhammad Husain Abdullah, Dirâsat fi al-Fikru al-Islâm, Oman: Dar al-Bayariq, 1990, hlm.9.
12
Muhammad Husain Abdullah, Dirâsat fi al-Fikru al-Islâm, hlm.9.
jati diri bangsa kita juga nantinya. Atau mari kita lihat bagaimana transformasi budaya yang dialami
orang Quraisy ketika di tengah-tengah mereka hadir seorang Rasul yang membawa ajaran Islam.
…dahulu kami adalah suatu kaum yang diliputi kebodohan (jahiliyah) dengan menyembah
patung, memakan bangkai, melakukan perzinaan, memutuskan silaturrahmi, berlaku buruk
pada tetangga, yang kuat memakan yang lemah. Begitulah keadaan kami dahulu. Hingga
Allah menghadirkan ke hadapan kami seorang rasul dari kalangan kami sendiri yang kami
kenal garis keturunan, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya (‘iffah). Ia datang dengan
menyerukan agar kami mengesakan Allah dan menyembah-Nya. Lantas kami mencerabut apa
yang dahulu kami dan leluhur kami sembah selain Allah berupa bebatuan dan berhala. Ia
memerintahkan kepada kami untuk jujur dalam bertutur, menunaikan amanah, menyambung
silaturrahmi, berbuat baik pada tetangga, menahan diri dari yang diharamkan dan tidak saling
menumpahkan darah. Iapun melarang kami untuk melakukan kemesuman (al-fawâhisy) dan
perkataan keji (qaul al-zûr), memakan harta anak yatim, serta menuduh berzina perempuan
yang baik-baik. Dia pun memerintahkan kami untuk semata-mata menyembah Allah dengan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, melaksanakan shalat, shaum, zakat (sebuah
riwayat menyebutkan, hingga mencapai bilangan perkara yang diperintahkan Islam). Lalu
kemudian kami membenarkan dan mengimani Beliau, serta mengikuti apa yang Beliau bawa
dari Allah swt.. Sehingga kami hanya menyembah Allah swt. saja dengan tidak
menyeketukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kami mengharamkan apa yang diharamkan bagi
kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. 13
Budaya jahiliyah dengan tarif berpikir masyarakat yang rendah seketika berubah menjadi
sebuah peradaban mulia yang pada akhirnya mampu menerangi dunia dengan kemilau peradabannya
yang masih kita rasakan bahkan hingga hari ini. Semua itu tak lain karena mereka menerapkan ajaran
Islam sebagai budaya hidup masyarakat sehari-hari. Jika negara memang menginginkan kebangkitan
sebagaimana kebangkitan yang dulu pernah dirasakan umat Islam selama 13 abad lamanya, maka tak
ada pilihan lain dengan merubah pemikiran Islam dan merubah budaya masyarakat menjadi budaya
hidup yang Islami. Untuk mewujudkan kebangkitan, masyarakat harus di-instal dulu pemikirannya
dengan ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Taqiyuddin an-Nabhani di dalam bukunya, ia
mengatakan:

13
Muhammad Husain Abdullah, Dirâsat fi al-Fikri al-Islâm, Oman: Dar al-Bayariq, 1990, hlm.13

Anda mungkin juga menyukai