Dalam tulisan ini, penulis akan membahas apa saja nilai-nilai rancu yang terdapat dalam
Profil pelajar Pancasila, bagaimana Islam menjawab kerancuan tersebut.
Penulis berharap semoga dengan tulisan ini, pihak berwenang bisa mempertimbangkan kembali bahwa Islam sebagai solusi ideal bagi setiap masalah. Islam menjadi solusi pembentukan karakter bangsa dan umat manusia dan Islam pulalah satu-satunya sistem yang tepat dipakai dalam bernegara. II. Pembahasan A. Nilai Rancu Profil Pelajar Pancasila 1. Pengejawantahan Islam dan Budaya Indonesia adalah negara yang kaya akan budayanya, memiliki kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Banyak wisatawan tertarik dengan budaya yang dimiliki Indonesia. Budaya menjadi salah satu aspek yang membanggakan bagi masyarakatnya. Jika warga mancanegara mendengar kata ‘Indonesia’, pasti yang langsung teringat dalam benak mereka adalah tentang kekayaan budaya dan keragaman yang ada di Indonesia. Dengan kebanggaan tersebut, sangat disayangkan jika kebudayaan yang sedemikian banyak hilang begitu saja. Mereka khawatir akan hilangnya keberagaman budaya yang ada Mari kita mencoba mengilustrasikannya! Sebutkan harta yang paling anda cintai! Lalu, coba bayangkan jika salah satu harta yang paling anda cintai itu tiba-tiba hilang begitu saja. Apa yang Anda rasakan? Pasti anda akan merasakan kerisauan yang sanga mendalam. Dengan alasan itu pulalah, pemerintah berupaya melakukan berbagai cara agar budaya Indonesia yang kaya dan beragam ini tak hilang dan punah begitu saja. Pengaburan budaya dan karakter bangsa menjadi salah satu kekhawatiran nasional saat ini. Masalah yang telah terlampau lama mengenai budaya membuat pemerintah memutuskan menjadikan pembentukan masyarakat berbudaya menjadi Rencana Pembangunan jangka panjang 2005-2025 Pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antarbudaya. Namun, di sisi lain upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, seperti penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan makin memudar. Hal tersebut, disebabkan antara lain, karena belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. 1 Di era kepresidenan tahun 2020-2024, penguatan karakter bangsa ini juga dimasukkan ke dalam Visi Presiden pada RPJMN Tahun 2020-2024, serta Visi Indonesia 2045 dengan dikeluarkannya Permendikbud RI Nomor 22 tahun 2020. Adapun Visi Kemendikbud 2020-2024 adalah: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendukung Visi dan Misi Presiden untuk mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global 2 Di lingkup Kementrian Pendidikan, upaya pemerintah dalam mempertahankan kekayaan budaya Indonesia yaitu dengan dibuatnya Program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, hlm. 6. 2 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2020, Rencana Strategis Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2020-2024, Jakarta: Kemendikbud, hlm. 32 terletak pada dimensi berkebhinekaan global. Sebagaimana yang termaktub pada dokumen resmi milik Kemendikbudristek sebagai berikut: Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya, dan tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain, sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan kemungkinan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa.3 Dengan program ini, diharapkan pelajar Indonesia memiliki rasa cinta tanah air dan rasa nasionalisme yang tinggi, apalagi di era disruptif saat ini. Era dimana berbagai budaya keluar dan masuk silih berganti. Hal demikian dapat mengakibatkan budaya luhur menjadi ditinggalkan dan tergantikan. Di lingkup Kementrian Agama, Rencana Pembangunan ini diwujudkan dengan pengimplementasiannya dalam pendidikan Islam. Kementrian Agama (Kemenag) meluncurkan sebuah program yang mengajak pelajar untuk akomodatif terhadap budaya lokal. Latar belakang upaya akomodatif terhadap budaya lokal dijelaskan di dalam buku yang diterbitkan oleh Kemenag (Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam). Mereka beralasan bahwa perjumpaan antara agama, khususnya Islam, dan budaya kerap mengundang perdebatan yang cukup panjang dan menyisakan beberapa persoalan. 4 Buku ini juga menjelaskan bahwa hubungan antara agama dan budaya merupakan sesuatu yang ambivalen. Islam sebagai agama bersumber dari wahyu yang setelah nabi wafat sudah tidak turun lagi, sementara budaya adalah hasil kreasi manusia yang dapat berubah sesuai kebutuhan hidup manusia.5 Mereka menganggap peleraian ketegangan antara dua hal ini (yaitu agama dan budaya) dapat selesai dengan dijembatani oleh sejumlah kaidah-kaidah fiqih dan ushul fiqh. Mereka menjelaskan kaidah seperti al- ‘âdah muhakkamah (tradisi yang baik bisa dijadikan sumber hukum) yang diklaim terbukti ampuh untuk mendamaikan pertentangan antara ajaran Islam dan tradisi lokal. Dalil ini dijadikan sebuah alasan bahwa hukum Islam itu bersifat fleksibel dan dinamis yang bisa menyesuaikan dengan ruang dan zaman.6 Pendapat itu dikuatkan juga dengan adanya berbagai upaya pribumisasi Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali songo dahulu. Fakta tentang adanya usaha “Pribumisasi Islam” merupakan jejak peninggalan dan warisan dakwah generasi awal pembawa Islam seperti Wali Songo yang masih terlihat sampai hari ini dalam bentuk penyesuaian ajaran Islam semisal penggunaan bahasa lokal sebagai ganti dari bahasa Arab. Sejumlah bahasa lokal yang digunakan untuk menggantikan istilah berbahasa Arab, misalnya dalam penggunaan sebutan Gusti Kang Murbeng Dumadi sebagai ganti dari Allah rabb al- ‘âlamîn, kanjeng Nabi untuk menyebut Nabi Muhammad ammad saw., susuhunan atau sunan untuk menyebut hadrat al-shaikh, puasa untuk mengganti istilah shaum, sembahyang sebagai ganti shalat, dan masih banyak lainnya. 7 Konsep Pribumisasi Islam adalah upaya pengejawantahan ajaran-ajaran Islam agar tidak bertentangan dangan tradisi dan kebudayaan lokal. Mari kita simak salah satu kutipan yang diambil dari buku Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam berikut: 3 Kepala Badan Standar, kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 009 /H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka, hlm.9. 4 Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019, hlm. 21. 5 Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, hlm. 21 6 Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, hlm. 21 7 Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, hlm. 23 Dalam konsep pribumi Islam ini (Jurnal Tashwirul Afkar: 2003) pengejawantahan ajaran- ajaran Islam agar tidak bertentangan dangan tradisi dan kebudayaan lokal. Pribumisasi bukan berarti meninggalkan norma-norma keislaman demi budaya, tetapi agar norma-norma tersebut menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (Al-Quran dan Hadis). Perpaduan di antara keduanya menjadi saling melengkapi, di mana Islam lahir dari perintah Allah swt., sedangkan budaya merupakan hasil dari kreasi manusia. Dalam pribumisasi Islam nampak bagaimana Islam diakomodasikan ke dalam tradisi dan budaya yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing- masing, sehingga tidak ada pemurnian Islam atau penyeragaman praktik keagamaan dengan budaya Timur Tengah.8 Sikap keagamaan yang tidak akomodatif terhadap tradisi dan budaya di dalam lingkup Kemenag dianggap merupakan bentuk yang kurang bijaksana. Tidak seharusnya dipertentangkan antara keduanya dalam bentuk dualisme yang saling menjaga jarak, melainkan antara agama dan budaya, keduanya saling mengisi. Konsep pemahaman keagamaan yang akomodatif terhadap tradisi dan budaya tersebut sejalan dengan konsep Islam. Praktik dan perilaku keagamaan yang akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pemahaman tersebut bersedia untuk menerima praktik keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi. Dengan program ini diharapkan lahir orang-orang yang memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Pemahaman keagamaan yang tidak kaku ditandai dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran paradigma keagamaan normatif, namun juga paradigma kontekstualis yang positif. 2. Keterbukaan: Antara Toleransi dan Kebebasan Toleransi bukan hanya menjadi problem satu kelompok masyarakat atau budaya tertentu, tapi menjadi problem kemanusiaan secara universal. Toleransi bukan menjadi problem di zaman sekarang saja, melainkan sudah menjadi problem di zaman klasik, pertengahan hingga kontemporer. Di tengah situasi masyarakat yang plural, rentan konflik dan fanatik golongan, dibutuhkan terobosan yang mendukung gagasan toleransi. Indonesia secara realitas merupakan negara yang plural. Kondisi ini membuat masyarakat Indonesia rentan mengalami konflik dengan kelompok atau budaya lain. Pada 12 Mei 1998, terjadi sebuah konflik terhadap etnis Tionghoa. Peristiwa tersebut berawal dari peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti yang terlibat demonstrasi untuk melenserkan Soeharto sebagi presiden RI. Kejadian tersebut berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya kisruh aksi massa terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan. Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan hebat pada penghujung rezim Orde Baru. Kerusuhan tersebut menular pada konflik antara etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Selama ini, etnis Tionghoa di Indonesia dianggap sebagai kelompok minoritas yang kaya dan sukses secara ekonomi. Namun, banyak masyarakat Indonesia yang merasa iri dan cemburu terhadap keberhasilan mereka. Terdapat isu diskriminasi dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Tionghoa, seperti diskriminasi dalam penerimaan di sekolah dan pekerjaan. Banyak toko dan rumah milik etnis Tionghoa yang dirusak dan dibakar, serta banyak orang Tionghoa yang menjadi korban kekerasan dan pemerkosaan. Kerusuhan tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Konflik tragis berbau agama juga turut meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi 8 Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, hlm. 22 aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah. Tragedi Sampit, konflik berdarah antar suku yang paling membekas bagi bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang Dayak yang didiuga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak. Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku Dayak yang kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku Dayak demi memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura. Tak hanya konflik antar golongan saja, serangan-serangan dari teroris juga ikut mengancam keamanan Indonesia. Dengan dalih agama, mereka melancarkan aksinya tersebut. Pemahaman yang minim tentang agama membuat mereka tak paham arti dari kata perjuangan dan malah melakukan perbuatan yang nekat serta membahayakan orang lain. Pengeboman yang terjadi di beberapa daerah nyatanya justru semakin memperkeruh suasana toleransi antara umat beragama. Pemerintah juga mendorong masyarakat untuk meningkatkan toleransi mereka dalam mengahadapi berbagai permasalahan diatas.