Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang
tuannya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi,
pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep
islam, tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga.
Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat
membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang
terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami dan isteri
dalam memelihara anak dan mengantarkan anak hingga menuju dewasa. Undang-
undang perkawinan dan kompilasi tidak secara rinci mengatur masalah tersebut.
Karena tugas dan kewajiban memelihara anak ada pada ayah dan ibunya, selaku
orangtua anak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)?
2. Bagaimana dengan tanggung jawab orang tua jika terjadi perceraian?
3. Apa yang dimaksud dengan Perwalian?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeliharaan Anak (Hadhanah)


1. Pengertian
Tanggung jawab dan pemeliharaan terhadap anak dalam bahasa arab
disebut Hadhanah. Hadhanah secara bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat
tulang rusuk atau di pangkuan, karena Ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan
anak itu di pangkuannya, seakan-akan Ibu disaat itu melindungi dan memelihara
anaknya sehingga Hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya ; pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh kerabat anak itu sendiri.
Para Ulama’ Fiqih mendifinisikan Hadhanah sebagai tindakan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang
sudah besar tetapi belum Mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti, mendidik jasmani dan
rohani, agar mampu berdiri sendiri serta bisa mengemban tanggung jawab.

2. Dasar Hukum
Dasar hukum pemeliharaan anak, tercantum dalam surat at-Tahrim : 6 yang
berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.
Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar
terpelihara dari api neraka, agar seluruh anggota keluarganya ,melaksanakan
perintah dan meninggalkan laranganya, termasuk anggota keluarga disini yakni
anak.

2
Betapa banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita (ibu-
bapak) untuk memelihara serta menjaga dan bertanggung jawab dalam
memelihara keluarganya.

3. Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin


a. Berakal Sehat, jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak
boleh menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya
sendiri, sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang
yang punya apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada
orang lain.
b. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan
orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak
boleh menangani urusan orang lain.
c. Mampu Mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta
atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk
mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri
juga perlu diurus oleh orang lain.
d. Amanah dan Berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan
tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik.
Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang
curang itu.
e. Islam, anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab
Hadhanan adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan
orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman
Allah dalam surat Annisa’ ayat 141 yang berbunyi : dan Allah tidak akan
memberikan jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin.
(QS. Annisa’: 141).
f. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan
tuannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.

3
dalam KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada perceraian:
a. Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal
dunia, maka kedudukannya diganti oleh;
1) Wanita- wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,
2) Ayah,
3) Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,
4) Saudara- saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,
5) Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,
6) Wanita- wanita sedarah menurut garis samping ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayahnya atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat
yang juga mempunyai hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk
memindahkan hak hadhanah.
d. Biaya hadhanah tangung jawab ayah sekurang- kurangnya sampai dewasa dan
dapat mengurus sendiri 21 (dua puluh satu) tahun.
e. Apabila ada perselisihan PA dapat memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.
f. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya pada penetapan jumlah
biaya untuk memelihara dan pendidikan anak.

B. Tanggung Jawab Terhadap Anak Akibat Perceraian


Pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban orang
tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau perkawinan mereka gagal
karena percerain.
Pemeliharaan anak akibat terjadinya perceraian dalam bahasa fiqih disebut
dengan hadlanah. Al-Shan’ani mengatakan bahwa hadlanah adalah memelihara
seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik dan memeliharanya untuk

4
menghindarkan dari sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madlarat
kepadanya. Dalam pasal 41 Undang-Undang perkawinan dinyatakan:
Akibat putusannya perkawinan karena perceraian ialah:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat memikul
biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Jika ketentuan pasal 41 UU Perkawinan tersebut lebih memfokuskan kepada
kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami
jika mampu, namun apabila terjadi bahwa suami tidak mampu, pengadilan dapat
menentukan lain. Kompilasi Hukum Islam mengaturnya secara lebih rinci dalam
pasal 105 sebagai berikut:
Dalam hal terjadainya perceraian:
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantera ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.1
Termasuk dalam tanggung jawab tua adalah merawat dan mengembangkan harta
anaknya, seperti diatur dalam pasal 106 Kompilasi Hukum Islam:
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikanya kecuali karena keperluan yang mendesak
1
Prof.Dr.H. Ahmad Rofiq,M,A, Hukum Perdata Islam di Indonesia,PT RAJA GRAFINDO PERSADA,Jakarta,
2013, Halaman 198.

5
jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan
yang tidak dapat dihindarkan lagi.
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Alasanya jelas anak yang belum dewasa belum memiliki kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum. Karena itu, segala perbuatan yang menyangkut
kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pasal 48 UU
Perkawinan menyatakan: “Orang tua tidak diperbolehkaan memindahkanhak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya”.
Kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan
yang menunut pengalihan tersebut, sebagaimana dinyatakan pasal 49 UUP:
a. Salah seorang atau kedua orang tua ddapat dicabut kekuasanya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
1. Ia sangat melalaikan kewajibanya terhadap anaknya.
2. Ia berkelakuan buruk sekali.
b. Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, meereka masih tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepad anak tersebut.2

C. Penentuan Kewajiban Memberi Biaya penghidupan Oleh Suami Kepada Bekas


Istri dan Anak

2
ibid hlm 202

6
Bagi pegawai negeri sipil, penentuan kewajiban untuk memberi biaya
penghidupan oleh suami kepada bekas istri dan anak, diatur dalam Pasal 8 PP 10/
1983 yang diubah dengan PP 45/1990, yaitu:
a. Apabila perceraian terjadi atas kehendak Peggawai Negeri Sipil pria, maka ia
wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-
anak.
b. Pembagian gaji tersebut ialah sepertiga untuk pegawai negeri sipil pria yang
bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anak-anaknya.
c. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib
diserahkan oleh peggawai negeri sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah
dari gajinya.
d. Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian
disebabkan karena istri berzina, dan atau istri melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat, baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri
menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan; dan atau istri
telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
e. Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian
penghasilan dari bekas suaminya.
f. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam syarat diatas (e) tidak berlaku, apabila
istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzina, suami melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat, baik lahir maupun batin terhadap istri, dan
atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan,
dan atau suami telah meninggalkan istri selama 2 tahun secara berturut-turut
tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuan.
Apabila bekas istri pegawai negeri sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka
haknya atas bagian gaji dari bek
BAB III
PENUTUP

7
A. KESIMPULAN
Khulu’ menurut istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dengan
memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan diri dari suaminya
dengan memberikan ganti rugi kepadanya. Mengenai kebolehan khulu ini menurut
kebanyakan ulama, berdasarkan firman Allah yang artinya : “….maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
(Q.S. Al Baqarah: 229).
Nusyuz berasal dari kata an-Nasyzu yang artinya tempat yang tinggi. Dan
secara istilah : maksiat yabg dilakukan oleh orang seorang istri kepada suaminya pada
apa-apa yang telah diwajibkan Alah SWT, kepadanya untuk ditaati, sehingga ia
seolah mengangkat dan meninggikan dirinya dihadapan suaminya.
Syiqaq menurut bahasa adalah perselisihan, percekcokan, dan permusuhan.
Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing anatara suami. syiqaq merupakan
perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri secara
bersama-sama. Dengan demikian syiqaq berbea dengan Nusyuz, yang perselisihannya
terjadi pada salah satu pihak, yaitu dari pihak suami dan istri.

B. SARAN
Penulis sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada
makalah ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua
disebabkan kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman penulis.
Untuk itu, apabila ada kritik maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan, agar di penulisan berikutnya penulis dapat memperbaikinya.

DAFTAR PUSTAKA

8
Slamet Abidin. Fiqh Munakahat. Bandung : Pustaka Setia. 1997.
Amir.Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawina. Jakarta : Kencana. 2006.
Kamil.Muhammad, fiqh Sunnah Wanita.Jakarta Timur : Puataka Al-Kautsar. 2008.
Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim. Fikih Sunnah Wanita. Jakarta : Qisthi Press.
2013.
Dahlan Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Intermasa. 1997.
Kamal Muchtar . Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta : PT. Karya Unipress. 1974.

Anda mungkin juga menyukai