Kwasiokor
Kwasiokor
Orang yang beresiko untuk mengalami marasmus dan kwasiokor adalah bayi
dan anak-anak. Merupakan resiko terbesar untuk mengalami kekurangan gizi karena
mereka membutuhkan sejumlah besar kalori dan zat gizi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Mereka bisa mengalami kekurangan zat besi, asam folat, vitamin
C dan tembaga karena makanan yang tidak memadai. Kekurangan asupan protein,
kalori dan zat gizi lainnya bisa menyebabkan terjadinya kekurangan kalori protein
(KKP), yang merupakan suatu bentuk dari malnutrisi yang berat, yang akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Keluarga yang ekonominya lemah
dan hidup dalam lingkungan kotor, sering menyiapkan susu botol terlalu encer karena
pertimbangan biaya. Demikian juga penggunaan air yang tercemar kuman, sebagai
pencuci botol dan pengencer susu dapat mengubah susu tersebut menjadi suatu
produk yang berbahaya bagi bayi Seperti apa yang dikatakan oleh Jeffile yang
menganggap susu botol sebagai 'baby killer' karena dapat mengakibatkan
meningkatnya morbiditas diare. Hal ini karena kuman dan moniliasis mulut sebagai
akibat pengadaan air dan sterilisasi yang kurang baik serta marasmus pada bayi
karena kesalahan dalam penakaran susu.( Winarno, 1990; Soetjiningsih, 1997)
Hal hal tersebut diatas akan mempengaruhi tumbuh kembang dan keadaan gizi
bayi. Pembuatan susu botol yang terlalu encer menyebabkan anak tidak mendapatkan
protein dan kalori yang cukup. Bayi pada umumnya rentan terhadap infeksi serta
kurang mendapat asupan makanan yang bergizi baik secara kualitas atau kuantitas
akibat krisis ekonomi akan mengakibatkan timbulnya masalah-masalah gizi pada
bayi. Bayi sering kali mengalami penurunan berat badan yang merupakan indikator
gizi buruk bayi.
Faktor yang menyebabkan kekurangan gizi dan energi serta asupan protein
yang rendah, yang terlihat pada anak – anak adalah peningkatan penggunaan susu sapi
dan konsumsi sayuran serta keterlambatan pemberian makanan pada anak – anak
dalam keluarga (Torún and Chew, 1994, p.952; Kapur et al., 2004; Torún, 2006,
p.883). Meskipun ASI kaya akan protein berkualitas tinggi (Monckeberg, 1991,
p.122; Torun dan Chew, 1994, p.952; Emas dan Golden 2000, p.515, Torun 2006,
p.893), menyusui berkepanjangan menyebabkan keterlambatan dalam pengenalan
makanan pendamping dan dapat mengakibatkan defisiensi mikronutrien, seperti susu
manusia rendah zat besi dan seng (Kalanda et al., 2006).
Menurut Suryanah (1996), gizi buruk merupakan penyakit lingkungan, oleh
karena itu faktor-faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit
tersebut antara lain:
1) Peranan diit : Menurut konsep klasik gizi yang mengandung cukup energi tapi
kurang protein menyebabkan anak menjadi kwashiorkor sedangkan diit kurang
energi walaupun zat-zat esensialnya seimbang akan menyebabkan marasmus
tetapi dalam penelitian Gopalan dan Narasanya (1971) terlihat bahwa diit yang
kurang pada anak yang lain timbul marasmus. Mereka menyimpulkan peranan
diit merupakan faktor yang penting.
2) Peranan faktor sosial : Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu
dapat mempengaruhi, penyakit gizi buruk. Faktor-faktor sosial lain yang
mempengaruhi terjadinya KEP adalah:
a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai
anak banyak dengan suaminya sehingga merupakan pencari nafkah
tunggal.
b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak,
sehingga dengan pendapatan kecil tidak dapat memberi cukup makan
pada anggota keluarga yang cukup besar itu.
c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu tertentu misalnya
bekerja pada musim panen, sehingga perhatian ke anak kurang,
terutama soal makan.
3) Peranan kepadatan penduduk : MC Laren (1982) memperkirakan bahwa
marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak, jika suatu daerah padat
penduduknya dengan keadaan higiene buruk, sedang kwashiorkor terdapat
jumlah yang banyak di desa-desa dengan penduduk yang mempunyai
kebiasaan makanan tambahan berupa tepung terutama pada anak-anak yang
tidak mau atau tidak mendapat cukup ASI.
4) Infeksi : Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi, pada daya
tahan tubuh terhadap infeksi.
5) Peranan kemiskinan : Pentingnya kemiskinan dalam laporan Oda Advisory
Commite on Protein tahun 1974. Mereka menganggap kemiskinan merupakan
dasar penyakit gizi buruk, dengan kemiskinan dan mempunyai penghasilan
yang rendah, ketidak mampuan menambahkan makanan sendiri, ditambah
dengan timbulnya gizi buruk lebih dipercepat (Pudjiadi, 2000).
Lingkungan yang tidak sehat, padat penduduk, kekurangan air dan air bersih
dan sanitasi yang buruk, secara langsung menyebabkan kekurangan gizi melalui
infeksi (FAO, 1996). SAM terjadi terutama pada keluarga yang tinggal di kondisi
yang tidak higienis dan dengan akses terbatas terhadap makanan. Kondisi tersebut di
atas meningkatkan risiko infeksi berulang (WHO, 2007a). Menurut Abate et al.
(2001) rumah tangga yang kebersihannya rendah sangat rawan untuk terinfeksi
penyakit menular. Limbah di dalam rumah, penyimpanan makanan yang dimasak
terlalu lama, makan dengan tangan kotor dan penyimpanan makanan dan air dalam
wadah yang tidak tercakup dapat menyebabkan diare pada anak-anak yang
kekurangan gizi. Praktik kebersihan yang buruk ini menyebabkan makanan yang
terkontaminasi dan cairan (Abate et al., 2001). Kepadatan penduduk dan sanitasi
lingkungan yang buruk sering menjadi penyebab penyakit pada anak-anak,terutama di
negara-negara berkembang (Pereira, 1991, hal.143). Padat penduduk dan kondisi
hidup tidak sehat terkait erat dengan kemiskinan (Torun dan Chew, 1994, p.951).
B. Pemeriksaan fisik
1) BB, TB atau PB
2) Tanda gangguan sirkulasi: tangan/kaki dingin, nadi lemah, kesadaran
menurun
3) Suhu : hipotermia atau demam
4) Frekuensi dan tipe pernafasan : tanda pneumonia atau gagal jantung
5) Sangat pucat --> anemia berat
6) Mata : lesi merupakan tanda defisiensi vit.A, cekung merupakan tanda
dehidrasi
7) Rasa haus, mukosa mulut kering
8) THT : tanda infeksi
9) Abdomen : kembung, bising usus
10) Pembesaran atau nyeri pd hati; ikterus
11) Kulit : tanda infeksi, purpura, lemak SC
12) Edema, atrofi otot
13) Penampilan feses
C. Pem. Penunjang
1) Laboratorium
a. Gula darah : < 54 mg/dl = hipoglikemia
b. prep.apus darah : parasit malaria
c. Hb atau Ht : < 4 g/dl atau < 12% = anemia berat
d. Urin rutin/kultur: bakteri + atau > 10 lekosit/LPB = infeksi
e. Feses : darah + = disentri, Giardia + / parasit lain = infeksi
f. Foto Rontgen : - toraks : Pneumonia, Gagal jantung
g. Tulang : rikets, fraktur
h. Tes tuberkulin : seringkali negatif
2) Antropometri
3) Analisis diet