Anda di halaman 1dari 3

Membaca Blandong di Sekuel Novel [Resensi "Anwar Tohari Mencari Mati" -

Mahfud Ikhwan]

Data Buku
Judul: Anwar Tohari Mencari Mati (Sebuah Novel)
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: I, Februari 2021
Ukuran: 14 × 20,3 cm
Tebal: vi + 207 hlm.
ISBN: 978-602-0788-12-8

“TAPI aku benar-benar tak bisa menggerakkan lidah,” keluhnya.

Ia wartawan. Mustofa Abdul Wahab, namanya. Mulutnya disumpal oleh Hendro Siswanto.
Dosen. Kritikus sastra. Anak Hanggono; tentara—adik Sinder Harjo—yang terbunuh saat
bertarung dengan Anwar Tohari.

Wartawan itu telat insaf bahwa Anwar Tohari adalah Warto Kemplung. Ia teperdaya oleh
surat-surat. Oleh tulisan. Surat dikarang dan diketik manual oleh Hendro Siswanto yang
menyaru sebagai Imam Widjaja. Sahabat Anwar Tohari.

Surat itu kebohongan yang meyakinkan. Ia sekelas hoaks yang berseliweran.


Wartawan itu diringkus. “Aku teriak sekuat tenaga, namun telingaku hanya mendengar suara
ah-uh-ah-uh yang terbungkam,” ujarnya, “kedua tanganku menempel di punggung dan
menyatu satu sama lain.” (Hlm. 152)

Ia disiksa di warung blandongan. Beruntung. Sebelum mati ditembak, Warto


menyelamatkannya.

Kisah itu di novel Anwar Tohari Mencari Mati. Sekuel Dawuk: KIsah Kelabu dari Rumbuk Randu.

Mendapati kekerasan terhadap wartawan di novel, pembaca lekas ingat kekerasan yang
dialami oleh wartawan di kenyataan. Terbaru, jurnalis Suara Pakar dihalangi dalam
mewawancara Wali Kota Medan Bobby Nasution. Sebelumnya, 27 Maret 2021,
jurnalis Tempo mengalami penyekapan dan penganiayaan ketika meliput kasus korupsi.

Berdasarkan data advokasi AJI, sejak 2006 kasus kekerasan terhadap wartawan sudah terjadi
848 kali. Jumlah terbanyak terjadi pada 2020, yaitu 84 kasus. Meningkat tajam dari tahun
sebelumnya, 53 kasus. Jumlah kasus kekerasan yang tergolong tinggi terjadi pada 2016
dengan 81 kasus.

Masih berdasarkan data yang sama, pada periode November 2014 hingga Oktober 2019,
kekerasan terhadap jurnalis mencapai 308 kasus. Meningkat 34,5% dibandingkan dengan
periode November 2009 hingga Oktober 2014. Sedangkan, pada November 2019 hingga April
2021, satu setengah tahun terakhir, sudah tercatat 99 kasus. Ada upaya pembungkaman?

Di novel, pembungkaman wartawan bersimbol mulut disumpal dan tangan diikat. Mulut itu
untuk menyuarakan kebenaran. Tangan itu simbol kerja. Oh, ingat kerja, ingat presiden dan
menteri-menteri berbaju putih dengan lengan baju digulung hingga siku. Siap kerja, katanya.

Dan tangan juga berarti perjuangan. Perlawanan. Maka, gerakan rakyat juga mahasiswa
bersimbol tangan mengepal.

Pantas, pertarungan Warto dengan Hanggono dan kemudian Hendro penuh adegan
mencegkeram dan memuntir lengan. Menghancurkan tangan. Tangan tak bermanfaat itu
tangan tuman, kata Warto. (Hlm. 177)

Seharusnya, tangan orang-orang loji dapat digunakan untuk menulis. Mereka kaya. Mereka
bersekolah tinggi. Kontras dengan anak-anak blandong yang miskin. Mereka hanya bisa pakai
tangannya untuk pegang kampak dan potong kayu.

Itu soal kesadaran, pertentangan, dan perjuangan kelas. Novel berkisah seputar itu. Antara
blandong dan sinder. Antara borjuis dan proletar. Antara kelompok yang berkuasa dan yang
dikuasai. Di teori Marx, pertentangan keduanya dipicu oleh kepentingan ekonomi yang
secara objektif berlawanan satu sama lain.

Blandong biasa merasakan sakit pinggang akibat harus mengggotong jati gelondongan. Kaki
mereka ngilu akibat harus berjalan jauh untuk mencuri kayu yang mereka tanam sendiri. (Hlm.
125) Namun toh mereka tetap miskin.

Setelah hutan makin habis, para blandong lebih banyak menganggur. Mereka terpaksa
“ngobyek macam-macam, mesti ke mana-mana”. (Hlm. 11)

Sinder dan keturunan loji lainnya berbeda nasib. Berbeda pula jalan pikirnya. Kepentingan
mereka adalah mempertahankan status quo. Bagi mereka, blandong itu masalah. Blandong
menjarah hutan. Seturut itu, “Warung-warung blandongan membludak. Bukan cuma jual kopi
atau gimbal tempe atau tuwak seperti sebelumnya, tapi menyediakan karaoke, bahkan
pelacur.” Lalu, “Jati habis. Salah mereka sendiri.” (Hlm. 160)
Oh, jangan kira blandong itu tetiba ada di masa republik. Ia ada sejak Abad XVII dan
mencapai puncaknya pada Abad XIX saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan
blandongdiensten. Rakyat dikerahkan untuk penebangan, pengangkutan, pembelahan, dan
penanaman hutan kembali terutama di daerah pedalaman dan pantai utara Pulau Jawa.

Jadi, blandong pada masa lalu adalah buruh penebang kayu hutan yang legal. Mereka
adalah rakyat jelata yang tinggal di sekitar hutan dan dipaksa menjadi buruh penebang kayu
jati di tengah hutan. Kerja rodi.

Sekarang, setelah VOC dan perusahaan-perusahaan kehutanan swasta bertransformasi


menjadi Perhutani, blandong juga mengalami perubahan makna. Ia diartikan sebagai orang
yang melakukan penebangan kayu liar (illegal logging). Pencuri kayu hutan. Persamaannya
keduanya: mereka miskin.

Kemiskinan mengakibatkan pertentangan. Menuntut perjuangan. Di novel, pertentangan


diwujudkan adu jotos dan balas dendam. Pembaca gagal menemu adegan percintaan.
Dewasa ini, di negara berhaluan kerja, kerja, kerja, tak ada waktu untuk bercinta. Kira-kira
begitu.●fgs

https://www.febrie.com/2021/05/membaca-blandong-di-sekuel-novel.html

Anda mungkin juga menyukai