Anda di halaman 1dari 2

Resensi “Transit (Urban Stories)” – Seno Gumira Ajidarma

Oleh: Febrie G. Setiaputra

Data Buku
Judul: Transit (Urban Stories)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, 2019
Ukuran: 13,5 × 20 cm
Tebal: vii + 141 hlm.
ISBN: 978-602-0622-52-1

KETIDAKTAHUAN itu menakutkan. Sama seperti kegelapan. Sayangnya, ia ada di mana-mana.


Juga di kota.

Transit (Urban Stories), kumpulan 17 cerita pendek Seno Gumira Ajidarma (SGA),
menggambarkan itu. Kota boleh jadi dianggap sebagai simbol kemajuan. Keakanan.
Keterangbenderangan. Nyatanya, ia punya sederet persoalan.

SGA oleh Fuller dalam Sastra dan Politik disebut sebagai pendongeng dengan dominasi
ekspresi posmodernisme. Di antaranya, ia mendongeng melalui mikronarasi, karakter dengan
identitas ganda, metafiksi, dan penerimaan terhadap budaya populer.
Dalam Transit misalnya, penerimaan terhadap budaya populer sekaligus kebimbangan nilai
tergambarkan melalui kisah perzinaan lelaki beristri dengan perempuan lain. Perempuan
yang selalu mengirim pesan “Let’s have a quickie!” kepadanya. Perempuan yang benar-
benar melakukannya tanpa bertanya kemudian, “Kapan kita kawin?”

Bebas. Yang penting, mau sama mau. Prinsip itu tak boleh dilanggar. Demikian gaya hidup
modern?

Lelaki itu menikmati. Sekali. Lalu, ia takut sendiri. Ia tak dapat membayangkan dirinya
tepergok duduk di atas kloset dengan celana melorot dan seorang perempuan setengah
telanjang di pangkuannya. Ia tak bisa membiarkan dirinya terombang-ambing kegelapan
keakanan.

Orang mengota seperti mengalami zaman serbabimbang. Ia ditingkahi ketertukaran antara


berita sungguh-sungguh dan berita bohong. Belum lagi soal pembingkaian berita.

Itu dikisahkan oleh SGA dalam beberapa cerpen. Setan Becak, misalnya. Melalui cerpen itu,
pembaca dibuat sadar ihwal keterbatasan teks dan ketidakmampuan penulis atau penutur
mengisahkan peristiwa secara akurat. Bahwa teks dapat tak terkendali.

Sayangnya, ketidaktahuan menjadikan banyak orang dimanfaatkan oleh pihak tertentu.


Kekerasan pada 1965, 1983, dan 1998, contohnya. Pun aksi bom bunuh diri. SGA
mengisahkannya dalam GoKill dan Budak Cinta.

Menarik dibahas, orang (atau negara?)—Orde Baru menyebutnya sebagai oknum—yang


menjadi operator menikmati saat-saat mencangkokkan ide jahat. Mereka tak peduli objek
mereka menjadi korban. Mereka menjadikannya permainan dan senda gurau. Seperti kisah
bertajuk Setan Banteng.

Dalam aras itu, oknum “kalah” oleh perempuan pelacur di Bong Suwung, Stasiun Tugu.
Dikisahkan oleh SGA, seorang anak, sebelas tahun umurnya, ingin bercinta.

“Kamu juga mau ya?” tanya pelacur yang ditemuinya, “kawan-kawan precilmu semuanya
juga mau.”

Pelacur itu tak mau dibayar untuk bercinta. Dia hanya memberi sepuluh batang korek api.
Masing-masing boleh dibakar dan diarahkan ke pangkal pahanya.

Sepuluh korek terbakar dan segera padam tertiup angin. Anak itu tak sempat melihat apa-
apa.

“Dik, kamu bawa saja kembali uangmu!” kata perempuan itu. Matanya basah.

Sementara, mata oknum sulit basah. Sangat mungkin, mereka hanya bisa berteriak dan
tertawa. Kira-kira begitu.●fgs

Sumber:
Catatan Febrie: Transit [Resensi “Transit (Urban Stories)” – Seno Gumira Ajidarma]

Anda mungkin juga menyukai