Anda di halaman 1dari 2

Kamus Umum Bahasa Indonesia

Data Buku
Judul: Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pengarang: W.J.S. Poerwadarminta
Penerbit: Jakarta, Perpustakaan Perguruan Kementerian P. P. dan K
Cetakan: II, Februari 1954
Ukuran: 14 × 20 cm
Tebal: 904 hlm.

KAMUS garapan W.J.S. Poerwadarminta baru sampai pekan lalu. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Kamus mengabadikan bahasa masih berejaan Soewandi (1947).
Ejaan Soewandi bukan ejaan Van Ophuysen (1901). Ia tak pakai oe. Pun tak kenal é.
Pendeknya, ejaan itu identitas bangsa baru merdeka. Ejaan menandai bangsa lepas dari
kolonialisme.
Bung Karno termasuk tokoh menyesuaikan ejaan. Soekarno ia ubah jadi Sukarno. Ejaan
mengemuka sebagai soal politik.
Jelas tulisan politik adalah teks Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan. Tulisan
berbahasa Indonesia. Bukan Jawa atau etnik lainnya. Apalagi Belanda. Padahal, masa itu,
tokoh-tokoh politik biasa menyatakan gagasan atau berdebat dalam bahasa Belanda.
Di Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Bung Karno mengaku berpikir, berdoa,
juga memaki dalam bahasa Belanda. Awalnya, Bahasa Belanda memang dirasa lebih
canggih dalam beberapa hal daripada bahasa Melayu—untuk menyebut “bahasa
Indonesia” kala itu.
Nah, generasi kiwari sudah fasih omong Indonesia gagal membayangkan pilihan bahasa
politik itu heroik. Dikira, penggunaan bahasa Indonesia wajar dan serbaalami.
Itulah. Pada galibnya, ingatan orang tentang sejarah melulu soal perebutan kekuasaan.
Melalui jalan perang atau siasat politik. Begitu kiranya diajarkan buku pelajaran. Perjuangan
kebahasaan belum punya tempat.
Asal tahu saja, menundukkan bangsa setidaknya dapat dilakukan melalui empat jalan. Kuasa
politis, kuasa intelektual, kuasa budaya, dan kuasa moral. Mengontrol bahasa untuk
mengendalikan pikiran rakyat adalah praktiknya.
Jadi, menelusuri kata dan makna itu menarik. Juga penting. Penelusuran bisa dengan
memperbandingkan antara Kamus Umum Bahasa Indonesia berejaan Soewandi dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Cetakan I, 1988) ber-EYD.
Omong-omong, Kamus Umum Bahasa Indonesia cetakan pertama (1952) itu langka. Di
lokapasar, ada yang mencoba peruntungan dengan menjualnya seharga Rp25 juta! Harga
membikin gentar kaum berdompet tipis. Maka, mendapatkan cetakan kedua (1954), sudah
kebahagiaan. Lagi pula, di cetakan kedua, Poerwadarminta menulis, “Selain perbaikan salah
tjetak dan tambahan sedikit-sedikit, tiada bedanya dengan tjetakan pertama.”
Cetakan pertama terbit sekira 10 tahun setelah Poerwadarminta mulai menyusunnya. Sebagai
patokan awal pengumpulan kata, Poerwadarminta mempergunakan novel dan buku-buku.
“Setiap kata ditulis pada sehelai kartu, disertai keterangan-keterangan yang sekiranya
diperlukan.” terang Swantoro dalam Dari Buku ke Buku.
Kerja rumit. Tak sebanding agaknya dengan keminderan orang berbahasa Indonesia. Kira-kira
begitu.●fgs

https://www.febrie.com/2020/06/kamus-umum-bahasa-indonesia.html#more

Anda mungkin juga menyukai