Anda di halaman 1dari 19

UJIAN TENGAH SEMESTER

KGD
“ISPA”

Nama : Meilinda Fitria Anggraini


NPM : 08210100210
Kelas : 3C Ekstensi Keperawatan

UNIVERSITAS INDONESIA MAJU


TAHUN AJARAN 2022
BAB I
A. PENDAHULUAN
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi
pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi
menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi
saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis,
tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada
bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran
napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan
infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak
terjadi serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya
yang membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih
mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebaran infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku
masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta
rendahnya gizi. Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar
seperti air bersih, jamban, pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat
hingga pencemaran air dan udara.Perilaku masyarakat yang kurang baik
tercermin dari belum terbiasanya cuci tangan, membuang sampah dan
meludah di sembarang tempat. Kesadaran untuk mengisolasi diri dengan cara
menutup mulut dan hidung pada saat bersin ataupun menggunakan masker
pada saat mengalami flu supaya tidak menulari orang lain masih rendah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting di
samping karena penyebarannya sangat luas yaitu melanda bayi, anak-anak dan
dewasa, komplikasinya yang membahayakan serta menyebabkan hilangnya
hari kerja ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya
pneumonia)
Ditinjau dari prevalensinya, infeksi ini menempati urutan pertama pada
tahun 1999 dan menjadi kedua pada tahun 2000 dari 10 Penyakit Terbanyak
Rawat Jalan.Sedangkan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Nasional tahun
2001 diketahui bahwa Infeksi Pernapasan (pneumonia) menjadi penyebab
kematian Balita tertinggi (22,8%) dan penyebab kematian Bayi kedua setelah
gangguan perinatal. Prevalensi tertinggi dijumpai pada bayi usia 6-11 bulan.
Tidak hanya pada balita, infeksi pernapasan menjadi penyebab kematian umum
terbanyak kedua dengan proporsi 12,7%. Tingginya prevalensi infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat
pada tingginya konsumsi obat bebas (seperti anti influenza, obat batuk,
multivitamin) dan antibiotika. Dalam kenyataan antibiotika banyak diresepkan
untuk mengatasi infeksi ini. Peresepan antibiotika yang berlebihan tersebut
terdapat pada infeksi saluran napas khususnya infeksi saluran napas atas akut,
meskipun sebagian besar penyebab dari penyakit ini adalah virus. Salah satu
penyebabnya adalah ekspektasi yang berlebihan para klinisi terhadap
antibiotika terutama untuk mencegah infeksi sekunder yang disebabkan oleh
bakteri, yang sebetulnya tidak bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah
meningkatnya resistensi bakteri maupun peningkatan efek samping yang tidak
diinginkan. Permasalahan-permasalahan di atas membutuhkan keterpaduan
semua profesi kesehatan untuk mengatasinya. Apoteker dengan pelayanan
kefarmasiannya dapat berperan serta mengatasi permasalahan tersebut antara
lain dengan mengidentifikasi, memecahkan Problem Terapi Obat (PTO),
memberikan konseling obat, promosi penggunaan obat yang rasional baik
tentang obat bebas maupun antibiotika.Dengan memahami lebih baik tentang
patofisiologi, farmakoterapi infeksi saluran napas, diharapkan peran Apoteker
dapat dilaksanakan lebih baik lagi. Dalam (MAKALAH PRAKTIKUM PRESKRIPSI, n.d.)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang
masih menjadi masalah di Indonesia karena kasusnya masih cukup tinggi. Meski
pada orang dewasa tidak menimbulkan kesakitan yang parah, namun para
orang tertentu menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar. ISPAjuga
paling sering menjadi penyebab anak bolos sekolah atau orang dewasa bolos
kantor, artinya mengganggu dan menurunkan produktifitas. Penelitian ini
bertujuan mengetahui proporsi merokok pada mahasiswa dan hubungan
merokok dengan kejadian ISPApada mahasiswa setelah mengontrol status
gizi,jenis kelamin, olahraga, lingkungan fisik rumah, ada pencemar dalam
rumah dan kepadatan hunian. Penelitian dengan jenis analitik menggunakan
rancangan case control dilakukan di Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Tanjungkarang dengan populasi kasus mahasiswa yang menderita
ISPA pada bulan Januari sampai April 2012, dan populasi kontrol adalah
mahasiswa yang berobat ke klinik terpadu pada bulan yang sama tetapi tidak
menderita ISPA dan tidak menunjukkan gejala ISPA saat penelitian
dilaksanakan. Sampel berjumlah 172 mahasiswa namun yang dapat
diwawancarai hanya 162 mahasiswa terdiri dari 81 kasus dan 81 kontrol. Hasil
penelitian diketahui proporsi mahasiswa merokok 29,6%, ada hubungan
merokok dengan kejadian ISPA pada mahasiswa setelah mengontrol jenis
kelamin, status gizi, pencemaran dalam rumah, lingkungan fisik rumah dan
interaksi antarajenis kelamin dengan merokok. Perlu dilakukan upaya primary
prevention oleh pihak Poltekkes dan Klinik Terpadu untuk memberikan
penyuluhan kepada mahasiswa dan menjadi trendsetter dalam bidang
kesehatan, dan spesifik protection oleh mahasiswa dengan tidak menyediakan
asbak didalam rumah (Ahyanti et al., 2013).
ISPA merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah di
Indonesia karena kasusnya masih cukup tinggi. Meski pada orang dewasa tidak
menimbulkan kesakitan yang parah, namun pada orang tertentu ISPA juga bisa
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar, terutama pada
orang yang memiliki asma, alergi dan penyakit paru kronik. Walaupun biasanya
dianggap remeh, menurut dr. Frans (Health NewsThu, 16 Feb 2012) 1 ISPA juga
paling sering menjadi penyebab anak bolos sekolah atau orang dewasa bolos
kantor, yang artinya mengganggu dan menurunkan produktivitas.
Di Provinsi Lampung selama tiga tahun berturut-turut (2004-2006)
sepuluh besar penyakit terbesar pertamadiduduki olehpenyakit infeksiakut lain
pernafasan bagian atas, tahun 2004 sebesar 27,24%, tahun 2005 (29,88%),
tahun 2006 sebesar 46,29%, tetapi tahun 2007 terbesar pertama adalah diare
sebesar 16,50%, tahun 2008 terbesar pertama yaitu infeksiakut lain pernafasan
bagian atas sebesar 21,16% dan tahun 2009 sebesar 3 1,30%.
ISPA selalu berada pada daftar 10 besar penyakit terbanyak di rumah
sakit maupun di layanan umum lainnya, salah satunya adalah Klinik Terpadu
Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang. Data kunjungan mahasiswa yang tercatat
pada Klinik terpadu selama tiga tahun terakhir (2009-2011), tertinggi dengan
keluhan ISPA,rata-rata kunjungan bulan Januari sampai Desember 2011 adalah
21 kasus (21,69%).
Adanya ketidak konsistenan antara beberapa penelitian tentang
hubungan antara merokok dengan kejadian ISPA, sehingga penelitian ini
bertujuan mengetahui hubungan merokok dengan kejadian ISPA pada
mahasiswa Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang tahun 2012 setelah mengontrol
variabel status gizi, jenis kelamin, olahraga, lingkungan fisik rumah,
pencemaran dalam rumah dan kepadatan hunian (Ahyanti et al., 2013)

B. DEFINISI
ISPA merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
menyebar melalui udara. Penyakit ini dapat menular apabila virus atau bakteri
yang terbawa dalam droplet terhirup oleh orang sehat. Droplet penderita dapat
disebarkan melalui batuk atau bersin. Proses terjadinya penyakit setelah agent
penyakit terhirup berlangsung dalam masa inkubasi selama 1 sampai 4 hari
untuk berkembang dan menimbulkan ISPA. Apabila udara mengandung zat –
zat yang tidak diperlukan manusia dalam jumlah yang membahayakan Oleh
karena itu kualitas lingkungan udara dapat menentukan berbagai macam
transmisi penyakit (Shibata et al dalam Nur, Sonia A. 2017).
Lingkungan adalah komponen dalam paradigma keperawatan yang
mempunyai implikasi sangat luas bagi kelangsungan hidup manusia, khususnya
menyangkut status kesehatan seseorang. Lingkungan yang dimaksud dapat
berupa lingkungan internal dak eksternal yang berpengaruh, baik secara
langsung maupun tidak langsung pada individu, kelompok atau masyarakat,
seperti lingkungan yang bersifat biologis, psikologis, sosial, cultural, spiritual,
iklim, dan lain-lain. Jika keseimbangan lingkungan ini tidak dijaga dengan baik
maka dapat menyebabkan berbagai macam penyakit (Mubarak, 2011).
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau
keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan yang optimum pula, ruang lingkup kesehatan
lingkungan tersebut antara lain mencakup perumahan , pembuangan kotoran
manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air
kotoran (limbah), dan sebagainya ( Suyono, 2012)

(JURNAL KESEHATAN FAKTOR PENYEBAB KEJADIAN ISPA Prima


Nusantara Bukittinggi et al., 2019, p. 2019 YUHENDI PUTRA,SEKAR SARI)
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan
akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung
kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi
kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara
stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah penyakit yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari
hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003). Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah
suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran
pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang
berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Dalam (MAKALAH PRAKTIKUM PRESKRIPSI,
n.d.)

C. ETIOLOGI

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium dan virus penyebab
ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma Herpesvirus (Pitriani, 2020). ISPA yaitu infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme distruktur saluran napas atas yang tidak
berfungsi untuk pertukaran gas, termasuk rongga hidung, faring dan laring,
yang dikenal dengan ISPA antara lain pilek, faringitis (radang tenggorokan),
laringitis dan influenza tanpa komplikasi (Fatmawati, 2018) Dalam (BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), n.d.)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bisa disebabkan oleh banyak hal,
salah satunya faktor lingkungan yang bisa menjadi salah satu faktor pencetus
terjadinya ISPA. Kondisi lingkungan yang mempunyai tingkat polusi yang buruk
dan sanitasi lingkungan yang tidak baik bisa menjadi pencetus terjadinya ISPA.
(Prima Nusantara Bukittinggi et al., 2019)

Hasil analisa data secara bivariat menunjukkan bahwa mahasiswa yang


menderita ISPA sebagian besar tinggal dalam rumah yang ada pencemarnya
(87,7%), demikian halnya dengan yang tidak menderita ISPA, sebagian besar
(70,4%) juga tinggal pada rumah yang ada pencemarnya. Dariuji ChiSquare
diperolehpvalue sebesar 0,012 lebih kecil dibanding a (0,05), jadi ada hubungan
yang bermakna antara pencemaran dalam rumah dengan ISPA pada
mahasiswa, dengan OR = 2,989, artinya mahasiswa yang yang tinggal dalam
rumah yang ada pencemarnya berisiko 2,989 kali untuk menderita ISPA
dibanding dengan mahasiswa yang tinggal dalam rumahyangtidak ada
pencemarnya.

Adanya zat pencemar yang terkurungnya didalam ruangan akan


membuat mata pedih, selain itu asap yang terhirup akan merusak sistem
paruparu. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian, mahasiswa yang tinggal
dalam rumah yang ada pencemamya berisiko 2,989 kali untuk menderita ISPA
dibanding dengan mahasiswa yang tinggal dalam rumahyang tidak ada
pencemamya. Artinya begitu penting asap, darimanapun asalnya, harus
mendapatkan penangan yang serius. Pencemaran yang teriadi di dalam rumah
juga turut berperan dalam terjadinya ISPA. Analisis multivariat membuktikan
ada hubungan yang bermakna antara pencemaran dalam rumah dengan
Kejadian ISPA pada mahasiswa (p value = 0,006) dan mahasiswa yangtinggal
didalam mmahyang adapencemamya berisiko 3,465 kali menderita ISPA
dibanding dengan mahasiswa yang tinggal di dalam rumah yang tidak
adapencemamya.Asap yang berasal dari kegiatan didalam rumah yang tidak
dapat keluar akan terhirup dan membuat sistem pernafsan terganggu hingga
menimbulkan gangguan pemafasan. (Ahyanti et al., 2013)

Ada hubungan bermakna antara merokok dengan kejadian ISPA pada


mahasiswa setelah mengontrol jenis kelamin, status gizi, pencemaran dalam
mmah, lingkunganfisik mmahdan interaksi antara jenis kelamin dengan merokok.
Mahasiswa yang merokok beresiko 4,278 kali menderita ISPA dibanding dengan
mahasiswa yang tidak merokok, dengan interval antara 1,559 sarnpai 11,739 kali.
Politeknik Kesehatan perlu bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Pemerintah
Provinsi Lampung dalam membuat peraturan larangan merokok di tempat umum,
bekerja sama dengan BEM menerapkan zona bebas asap rokok dilingkungan
kampus, memberikan penyuluhan kepada mahasiswa melalui kuliah siaga bencana
dengan materi ISPA dan faktor penyebab serta pencegahan agar mahasiswa dapat
melakukan tindakan pencegahan lebih dini. Klinik Terpadu
meningkatkanperanserta dalam upayapencegahan
danpenanggulanganISPAmelaluikonselingkepada pasien. Pencegahan khusus
dengan cara tidak menyediakanasbak/tempat aburokok dirumahatau tempat
tinggalnya, sehingga mahasiswa atau tarnu yang berkunjung tidak merokok
didalam mmah. Selalu menjagakebersihanmmahdengan menyapu setiap ada
kotoran dilantai dan mengepel. Menjaga kesehatan pribadi dengan mengkonsumsi
makarran secara teratur sesuai porsi yang mengandungunsur gizi.

(Ahyanti et al., 2013)

D. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus


dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
spasmus oleh laring.Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk


kering (Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada
dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang
melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan
gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala
ISPA yang paling menonjol adalah batuk. Adanya infeksi virus merupakan
predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut
terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri- bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan
atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending dan Chernick,
1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan
juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell,
1980). Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-
tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam,
dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi
sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-
bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas,
sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga
menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985). Penanganan penyakit saluran
pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran nafas
terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar
terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang
tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah
bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada
saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan
dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Siregar, 1994). Dari
uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu :

a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum


menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit.Timbul gejala
demam dan batuk. d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu
dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan
dapat meninggal akibat pneumonia. Dalam (MAKALAH PRAKTIKUM
PRESKRIPSI, n.d.)

E. MANIFESTASI KLINIS

Perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap,
yaitu:

a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum


menunjukkan reaksi apa-apa
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit.Timbul gejala
demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal
akibat pneumonia. (MAKALAH PRAKTIKUM PRESKRIPSI, n.d.)
ISPA adalah penyakit yang menular, hal ini timbul karena menurunnya
sistem kekebalan tubuh (immunologi). Pada fase awal, gejala yang
dirasakan berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung yang kemudian
diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan
bengkak, infeksi lebih lanjut membuat secret menjadi kental dan sumbatan
di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan
berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii
hingga bronchitis dan pneumonia (Kunoli, 2013). (Ispa 10, n.d.)

F. KOMPLIKASI

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh


sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi penyakit ISPA
yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang baik dapat
menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis paranasal, penutupan tuba eustachi,
empiema, meningitis dan bronkopneumonia serta berlanjut pada kematian
karena adanya sepsis yang menular (Ngastiyah, 2005).

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi


telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia
(radang paru).

Infeksi saluran pernapasan parah dan menyebabkan dehidrasi yang


signifikan, kesulitan bernafas dengan oksigenasi buruk ( hipoksia ), kebingungan
yang signifikan, kelesuan, dan pembengkakan napas pendek pada paru-paru
kronis dan penyakit jantung ( chronic obstructive pulmonary disease atau
COPD, gagal jantung kongestif ). Dalam (MAKALAH PRAKTIKUM PRESKRIPSI, n.d.)

ISPA Parah Akan Mendapatkan Komplikasi Seperti :


a. Radang dalam selaput lendir Sinusitis adalah kondisi peradangan akut dari
satu atau lebih sinus paranasal. Infeksi memainkan peran penting dalam
penderitaan ini. Sinusitis sering terjadi akibat infeksi pada situs lain dari
saluran pernafasan karena sinus paranasal bersebelahan dengan, dan
berkomunikasi dengan, saluran pernapasan bagian atas.
b. Otitis Infeksi telinga adalah peristiwa umum yang ditemui dalam praktik
medis, terutama pada anak kecil. Otitis externa adalah infeksi yang
melibatkan kanal pendengaran eksternal sementara otitis media
menunjukkan radang pada telinga tengah.
c. Faringitis Faringitis adalah radang faring yang melibatkan jaringan limfoid
faring posterior dan lateral faring. Etiologi dapat berupa infeksi bakteri,
virus dan jamur serta etiologi non-infeksi seperti merokok. Sebagian besar
kasus disebabkan oleh infeksi virus dan menyertai flu biasa atau influenza.
d. Epiglotitis dan Laryngotracheitis Peradangan pada jalan nafas atas
diklasifikasikan sebagai epiglotitis atau laringotracheitis (croup)
berdasarkan lokasi, manifestasi klinis, dan patogen infeksi. Beberapa kasus
epiglotitis pada orang dewasa mungkin berasal dari virus. Sebagian besar
kasus laryngotracheitis disebabkan oleh virus yang menyebabkan ISPA.
e. Bronchitis dan Bronchiolitis Bronkitis dan bronkiolitis melibatkan
peradangan pada pohon bronkus. Bronkitis biasanya didahului oleh infeksi
saluran pernafasan bagian atas atau merupakan bagian dari sindrom klinis
pada penyakit seperti influenza, rubeola, rubella, pertusis, demam
berdarah dan demam tifoid. Bronkitis kronis dengan batuk terus-menerus
dan produksi sputum tampaknya disebabkan oleh kombinasi faktor
lingkungan, seperti merokok, dan infeksi bakteri dengan patogen seperti H
influenzae dan S pneumoniae.
f. Pneumonia Pneumonia adalah radang parenkim paru. Konsolidasi jaringan
paru-paru dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dan rontgen dada.
Dari sudut pandang anatomis, pneumonia lobar menunjukkan proses
alveolar yang melibatkan seluruh lobus paru-paru sementara
bronkopneumonia menggambarkan proses alveolar yang terjadi dalam
distribusi yang tidak rata tanpa mengisi seluruh lobus.

Waspadai bahaya penyakit ISPA, segera lakukan pengobatan penyakit


ISPA untuk mencegah penyakit lebih parah dan mendapatkan komplikasi
berbahaya, karena harus Anda ketahui ISPA termasuk penyakit yang
mematikan. ( Baca juga Tanaman Obat Penyakit ISPA ) (MAKALAH PRAKTIKUM
PRESKRIPSI, n.d.)

Menurut (Widoyono, 2011) komplikasi yang dapat timbul pada


penderita ISPA antara lain sebagai berikut :
1. Otitis media akut (radang telinga tengah)

2. Rinosinusitis.

3. Meningitis.

4. Pneumonia.

5. Bronchitis.

6. Konjungtivitis.

7. Faringitis.

8. Hipoksia akibat gangguan difusi


(Ispa 10, n.d.)

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut (Wulandari D & Purnamasari L, 2015) pemeriksaan penunjang


yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa pada penderita ISPA yaitu :

1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Pemeriksaan darah rutin
b. Pemeriksaan sputum
c. Analis gas darah (AGD)
d. Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab)
2. Pemeriksaan X-Ray ataupun CT-Scan.
3. Kultur virus dilakukan untuk menemukan RSV (Respiratory syncytial virus).
Dalam (Ispa 10, n.d.)
Hasil penelitian didapatkan bahwa Antibiotik yang paling banyak
digunakan pada pasien anak penderita ISPA di RS ‘X’ yaitu amoksiklav
sebanyak 21,42%. Terapi suportif yang paling banyak digunakan adalah
kombinasi golongan dekongestan dan antihistamin sebesar 21,42% . Biaya
total ratarata medis langsung pada pasien ISPA rawat jalan di RS ‘X’ yaitu
sebesar Rp.250.407 per pasien.(Mar’atus Sholihah et al., 2017)
H. PENATALAKSANAAN
1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
2. Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti
kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek
bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah
(eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap
sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi
antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak
dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk
pemeriksaan selanjutnya.(Tulis et al., n.d.)
Menurut WHO (2017), penatalaksanaan ISPA meliputi :

1. Suportif Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang


adekuat, pemberian multivitamin

2. Antibiotik
a) Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab.
b) Utama ditujukan pada pneumonia, influenza dan Aureus
c) Pneumonia rawat jalan yaitu kotrimoksasol 1mg, amoksisillin 3 x ½
sendok teh, amplisillin (500mg) 3 tab puyer/x bungkus / 3x sehari/8 jam,
penisillin prokain 1 mg.
d) Pneumonia berat yaitu Benzil penicillin 1 mg, gentamisin (100 mg) 3
tab puyer/x bungkus/3x bungkus/3x sehari/8 jam.
e) Antibiotik baru lain yaitu sefalosforin 3 x ½ sendok teh, quinolon 5
mg,dll.
f) Beri obat penurun panas seperti paracetamol 500 mg, asetaminofen 3
x ½ sendok teh. Jika dalam 2 hari anak yang diberikan antibiotik tetap
sama ganti antibiotik atau rujuk dan jika anak membaik teruskan
antibiotic sampai 3 hari (Kepmenkes RI, 2017). (Ispa 12, n.d.)

I. PENGKAJIAN

Pengkajian yaitu tahap pertama dari proses keperawatan dan


merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber seperti observasi (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi), wawancara
dan catatan (catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama) untuk
mengidentifikai dan mengevaluasi status kesehatan klien. Dalam pengkajian
ada dua tahap yaitu pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data ini merupakan kegiatan
dalam mendapatkan informasi (data-data) dari keluaga klien maupun
rekam medis yang meliputi bio-psiko-spiritual secara lengkap dan relevan
untuk mengenal klien agar dapat memberi arah tindakan keperawatan :
a. Identitas Nama lengkap, usia (pada penderita ISPA sering terjadi pada
anak usia ≤ 2 tahun), jenis kelamin (tidak terdapat perbedaan jenis
kelamin), agama, golongan darah, anak ke-, jumlah saudara, alamat
b. Keluhan Utama Anak dengan ISPA mengalami gejala umum seperti
batuk disertai dahak, pilek, sakit tenggorokan dan demam dengan
suhu diatas 37ºC (Wijayaningsih, 2013).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang Penderita ISPA biasanya didahului pada
infeksi saluran pernapasan bagian atas (hidung dan tenggorokan)
selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak 38ºC–
40ºC, kadang disertai kejang karena demam yang tinggi dan bisa
menyebabkan bronkopnemonia atau pneumonia, jika tidak segera di
tanganin oleh tenaga ahli (Wijayaningsih, 2013).
d. Riwayat Penyakit Dahulu Pernah mengalami batuk pilek dan sesak
sebelumnya, status gizi, status imun yang menurun akibat infeksi
(morbili, pertusis, malnutrisi dan imunosupresi), faktor lingkungan
(asap rokok dan polusi).
e. Riwayat Imunisasi Anak yang tidak mendapatkan imnunisasi lengkap
(BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B) sangat berisiko tinggi untuk
diserang penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau bawah karena
sistem pertahanan tubuh yang tidak cukup kuat untuk melawan infeksi
sekunder (imun lemah) (Widoyono, 2011).
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
1) Penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga Ada anggota
yang pernah menderita penyakit ISPA, pneumonia, TB Paru dan
penyakit yang berhubungan dengan pernafasan.
2) Lingkungan Rumah Dan Komunitas Umumnya penyakit ISPA
memiliki daerah endemic dan wilayah kumuh serta kurangnya
ventilasi udara, hal ini berkaitan dengan masalah ekonomi,
lingkungan yang mengakibatkan timbulnya ISPA bisa berhubungan
dengan ventilasi, sampah dan debu serta lingkungan dekat dengan
pabrik. Lingkungan yang tidak bersih dapat memicu timbulnya
ISPA didalam tubuh anak.
3) Perilaku yang Mempengaruhi Kesehatan Satu lingkungan dan
berkontak dekat dengan penderita penyakit ISPA atau penyakit
pernafasan, sering terpapar debu, adanya perokok pada keluarga,
kebiasaan tidak membuka jendela dan lingkungan rumah lembab
serta kurangnya menjaga kebersihan rumah dapat memicu
timbulnya penyakit ISPA.
g. Riwayat Nutrisi Pada penderita ISPA biasanya mengalami penurunan
nafsu makan dan porsi makan tidak habis. Pemberian makan sedikit
tapi sering sangat mengurangi resiko berat badan anak menurun dan
terdapat infeksi yang serius. Cairan anak dengan dehidrasi ringan
diberikan cairan pada invtravena berupa cairan RL.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum dan TTV : adanya peningkatan suhu tubuh dan
respiratory rate (RR), mengalami batuk pilek diwaspadai suhu
tubuh tinggi dapat menyebabkan kejang.
2) Pernafasan (B1: Breath) Inspeksi : Bentuk dada asimetris, pola
napas ireguler , irama nafas tidak teratur, frekuensi pernafasan
meningkat, ada retraksi otot bantu nafas , ada batuk, terdapat
secret, mukosa hidung lembab, menggunakan alat bantu nafas jika
mengalami sesak atau kesulitan bernapas. Palpasi : Tidak ada
benjolan pada bagian dada, vocal fremitus sama kanan atau kiri.
Perkusi : Thorax sonor Auskultasi : Suara nafas vesikuler.
3) Kardiovaskuler (B2 : Blood) Inspeksi : Pucat, tidak ada tekanan
vena jugularis, tidak ada clubbing finger, nyeri dada tidak ada.
Palpasi : Peningkatan nadi, pulsasi (TD) kuat, CRT ≤ 3 detik, pulsasi
kuat di nadi radialis. Perkusi : Normal, redup Auskultasi : Irama
jantung regular, bunyi jantung S1 S2 tunggal
4) Persarafan (B3 : Brain) Pada penderita bronkhopneumonia
biasanya didapatkan demam, kejang, sakit kepala.
5) Perkemihan-Eliminasi Urine (B4 : Bladder) Pada penderita ISPA
biasanya didapatkan anak atau bayi menderita diare, atau
dehidrasi, orang tua mungkin belum memahami alasan anak
menderita diare sampai terjadi dehidrasi (ringan sampai berat).
6) Pencernaan (B5 : Bowel) Inspeksi : Mukosa bibir kering, pada lidah
biasanya ditemukan lidah kotor berwarna putih terutama pada
bagian tengah lidah. Hal ini disebabkan karena terjadinya
penurunan nafsu makan pada anak, muntah mual, dehidrasi dan
BB menurun. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada perut, tidak ada
nyeri telan Perkusi : Kembung Auskultasi : Terdengar bising usus
7) Integumen (B6 : Bone) Inspeksi : Tidak ada fraktur, tidak ada
dislokasi, kulit bersih, kulit lembab, tidak ada edema, tonus otot
menurun. Palpasi : Akral hangat, turgor kulit kembali ≤ 3 detik,
kelembapan kulit kering, tidak ada nyeri tekan.
8) Pemeriksaan Tingkat Perkembangan Tumbuh kembang : BB sesuai
dengan Usia (9-12 bulan umur (bln) + 9) : 2. TB, tumbuh kembang
sesuai usia. Adaptasi sosial, bahasa, motorik halus dan motorik
kasar (Widoyono, 2011).(Ispa 10, n.d.)

J. DIAGNOSIS

Diagnosis ISPA umumnya ditegakkan melalui anamnesa (wawancara


seputar riwayat penyakit dan gejala), pemeriksaan fisik, dan apabila diperlukan,
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik, suara napas anda akan
diperiksa untuk mengetahui apakah ada penumpukan cairan atau terjadinya
peradangan pada paru-paru. Hidung dan tenggorokan juga akan diperiksa.
Pemeriksaan tambahan yang mungkin dilakukan adalah prosedur pulse
oxymetry. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa seberapa banyak
oksigen yang masuk ke paru-paru, dan biasanya dilakukan pada pasien yang
mengalami kesulitan bernafas.

Selain itu, dokter mungkin akan menyarankan untuk melakukan


pengambilan sampel dahak untuk diperiksa di laboratorium. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menentukan jenis virus atau bakteri penyebab ISPA. Apabila
infeksi dicurigai telah masuk sampai ke dalam paru-paru, maka pemeriksaan
dengan X-Ray atau CT scan mungkin akan direkomendasikan oleh dokter.
Kedua jenis pemeriksaan ini dilakukan untuk mengamati kondisi paru-paru.

Penentuan klasifikasi pneumonia berat dan pneumonia sekaligus


merupakan penegakan diagnosis, sedangkan penentuan klasifikasi bukan
pneumonia dianggap sebagai penegakan diagnosis. Jika seorang baliita keadaan
penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosis
penyakitnya adalah: batuk pilek biasa. Diagnosis pneumonia pada balita
didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai peningkatan
frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur, adanya nafas cepat ini ditentukan
dengan cara menghitung frekuensi pernafasan. Batas nafas cepat adalah
frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali permenit atau lebih pada anak usia 2
bulan kurang dari 1 tahun dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1
tahun kurang dari 5 tahun. Pada anak usia kurang dari 2 bulan tidak dikenal
dosis pneumonia

Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau


kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan dinding dada sebelah
bawah kedalam. pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas
cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Untuk
tatalaksana penderita di Rumah sakit atau sarana kesehatan rujukan
bagikelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun. Dikenal pada diagnosis
pneumonia sangat berat yaitu gejala batuk atau kesukaran bernafas yang
disertai adanya gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum. Dalam(MAKALAH
PRAKTIKUM PRESKRIPSI, n.d.)

K. INTERVENSI

Setelah ditemukan masalah keperawatan yaitu bersihan jalan nafas


tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret, penulis membuat
intervesi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan selama 3 kali 24 jam
diharapkan bersihan jalan nafas paten dengan kriteria hasil : jalan nafas tetap
bersih, sekret dapat keluar, respirasi dengan batas normal (30 sampai 50 kali
per menit) auskultasi suara nafas paru tidak terdapat suara tambahan ronkhi.
Penulis melakukan intervensi antara lain monitor tanda-tanda vital dengan
rasional untuk membandingkan temuan abnormal, seperti: respirasi meningkat
dapat mempengaruhi fungsi mental, kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas dan
kecepatan irama) dengan rasional penurunan bunyi nafas dapat diindikasikan
atelektasi dan ronki indikasi akumulasi. Catat kemampuan untuk mengeluarkan
sekret dengan rasional pengeluaran sulit bila sekret kental. Berikan pasien
posisi semi fowler dengan rasional meningkatkan ekspansi paru dan
memudahkan pernafasan. Lakukan fisioterapi dada dengan rasional
meminimalkan dan mencegah sumbatan/obstrusik saluran pernafasan.
Bersihan sekret dari mulut dan hidung dengan rasional mencegah
obstruksi/aspirasi dan kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat
golongan kortikosteroid yaitu obat untuk mengurangi radang jalan nafas.(Tulis
et al., n.d.)

L. IMPLEMENTASI

Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan atau


melaksanakan rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi
keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Nursalam, 2015).

Pada tahap pelaksanaan ini kita benar-benar siap untuk melaksanakan


intervensi keperawatan dan aktivitas-aktivitas keperawatan yang telah
dituliskan dalam rencana keperawatan pasien. Dalam kata lain dapat disebut
bahwa pelaksanaan adalah peletakan suatu rencana menjadi tindakan yang
mencakup:

1. Penulisan dan pengumpulan data lanjutan


2. Pelaksanaan intervensi keperawatan
3. Pendokumentasian tindakan keperawatan
4. Pemberian laporan/mengkomunikasikan status kesehatan pasien dan
respon pasien terhadap intervensi keperawatan

Pada kegiatan implementasi diperlukan kemampuan perawat terhadap


penguasaan teknis keperawatan, kemampuan hubungan interpersonal, dan
kemampuan intelektual untuk menerapkan teori-teori keperawatan kedalam
praktek. (Ispa 12, n.d.)

M. EVALUASI

Dilaksanakan suatu penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah


diberikan atau dilaksanakan dengan berpegang teguh pada tujuan yang ingin
dicapai. Pada bagian ini ditentukan apakah perencanaan sudah tercapai atau
belum, dapat juga timbul masalah baru. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan suhu tubuh dalam batas normal
teratasi, jalan nafas kembali efektif teratasi, status nutrisi teratasi, pola napas
kembali efektif teratasi selama 2x24 jam dan tingkat infeksi teratasi selama
2x24 jam.(Ispa 10, n.d.)

Evaluasi adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk


menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana
keperawatan (Nursalam, 2015). Dalam evaluasi pencapaian tujuan ini terdapat
3 (tiga) alternatif yang dapat digunakan perawat untuk memutuskan/menilai
sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan
tercapai, yaitu :

1. Tujuan tercapai.
2. Tujuan sebagian tercapai.
3. Tujuan tidak tercapai.

Evaluasi dibagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu :

1. Evaluasi Proses (Formatif)


Evaluasi ini menggambarkan hasil observasi dan analisis perawat
terhadap respon klien segera stelah tindakan. Evaluasi formatif dilakukan
secara terus menerus sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
2. Evaluasi Hasil (sumatif)
Evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan
selesai dilakukan. Menggambarkan rekapitulasi dan kesimpulan dari
observasi dan analisis status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu
yang ditetapkan. Evaluasi sumatif bertujuan menjelaskan perkembangan
kondisi klien dengan menilai dan memonitor apakah tujuan telah tercapai.
Evaluasi pencapaian tujuan memberikan umpan balik yang penting
bagi perawat untuk mendokumentasikan kemajuan pencapaian tujuan
atau evaluasi dapat menggunakan kartu/format bagan SOAP (Subyektif,
Objektif, Analisis dan Perencanaan). (Ispa 12, n.d.)

DAFTAR PUSTAKA
Ahyanti, M., Budi, A., & Duarsa, S. (2013). HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA
MAHASISWA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN TANJUNGKARANG (Vol. 7,
Issue 2).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). (n.d.).

ispa 10. (n.d.).

ispa 12. (n.d.).

MAKALAH PRAKTIKUM PRESKRIPSI. (n.d.).

Mar’atus Sholihah, N., Susanti, R., Eka, D., & Untari, K. (2017). GAMBARAN PENGOBATAN DAN
BIAYA MEDIS LANGSUNG PASIEN ISPA ANAK OVERVIEW TREATMENT AND DIRECT MEDICAL
COST IN CHILDREN PATIENT. 7.

Prima Nusantara Bukittinggi, Stik., Putra, Y., & Sri Wulandari, S. (2019). JURNAL KESEHATAN FAKTOR
PENYEBAB KEJADIAN ISPA INFORMASI ARTIKEL A B S T R A K.
http://ejurnal.stikesprimanusantara.ac.id/

Tulis, K., Untuk, I., Salah, M., & Persyaratan, S. (n.d.). STUDI KASUS PERNAFASAN ATAS (ISPA) DI
RUANG MELATI RSUD KARANGANYAR.

Anda mungkin juga menyukai