Anda di halaman 1dari 67

1

A. Identifikasi Masalah
1. Kedudukan Fatwa DSN-MUI Dan KHES Dalam Hukum Positif Di
Indonesia.

2. Penggunaan Fatwa DSN MUI dan KHES Sebagai Rujukan Dalam


Pengambilan Putusan Hakim Di Pengadilan Agama.
3. putusan Yang Menggunakan Fatwa DSN-MUI Dan KHES Sebagai
Pertimbangan Putusan Pada Sengketa Ekonomi Syariah.
4. putusan Yang Tidak Menggunakan Fatwa DSN-MUI Dan KHES
Sebagai Pertimbangan Putusan Pada Sengketa Ekonomi Syariah.

B. Pembatasan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan, untuk
menghindari perbedaan dan meluasnya penafsiran penelitian ini, maka
peneliti membatasi pada uraian latar belakang permasalahan yang telah di
paparkan diatas maka pembahasan ini hanya membahas mengenai Urgensi
Penggunaan Fatwa DSN-MUI Dan KHES Dalam Pertimbangan Putusan
Hakim Pada Sengketa Ekonomi Syariah
2

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Urgensi Penerapan Fatwa DSN dan KHES dalam putusan
Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetaui Kedudukan Fatwa DSN-MUI Dan KHES Sebagai
Rujukan Hakim Dalam Membuat Putusan Sengketa Ekonomi Syariah
2. Untuk Menganalisis Bagaimana Intensitas Penggunaan Fatwa DSN-
MUI Dan KHES Sebagai Dasar Hukum Pertimbangan Hakim
Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama
3. Untuk Mengetahui Urgensi Penggunaan Fatwa DSN- MUI Dan KHES
Sebagai Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Sengketa Ekonomi
Syariah Di Pengadilan Agama

E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
rujukan ilmiah yang memberikan informasi kepada masyarakat
meupun akademisi terkait Penggunaan Fatwa DSN-MUI dan KHES
dalam pertimbangan hakim sengketa ekonomi syariah dalam membuat
putusan di Peradilan Agama.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
rekomendasi kepada hakim terkhusus hakim peradilan agama dalam
membuat putusan sengketa ekonomi syariah.
3

F. Metode Penelitian
1. jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
penelitian Eksploratif artinya penelitian ini menggali informasi yang
utuh dan lebih detail dari aspek hukum yang akan dikaji dalam
penelitian ini.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Normatif - Pendekatan kasus (Case Approach).
3. Data yang dibutuhkan
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
1) Data Premier berupa ketentuan undang-undang dan Peraturan
mengenai ketentuan- ketentuan yang membahas kedudukan Fatwa
DSN-MUI dan KHES dalam sistem hukum di Indonesia serta
kaitannya dengan pertimbangan hakim sengketa ekonomi syariah
dalam membuat putusan di Peradilan Agama.
2) Data Sekunder berupa hasil wawancara, isi dari buku-buku, Jurnal
dan kajian-kajian yang juga membahas kedudukan Fatwa DSN-
MUI dan KHES dalam sistem hukum di Indonesia serta kaitannya
dengan pertimbangan hakim sengketa ekonomi syariah dalam
membuat putusan di Peradilan Agama
4. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan langkah yang strategis
dalam sebuah penelitian untuk mendapatkan data-data yang memenuhi
standar. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode Komunikasi
berupa tulisan dengan studi dokumen yang berasal dari peraturan
Undang-Undang juga Peraturan terkait dan putusan di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Selain itu penulis juga menggunakan metode
komunikasi berupa wawancara.
4

5. Metode analisis
Data yang telah diperoleh dari studi dokumen dan Studi lapangan
yang telah dilakukan selanjutnya akan disedarhanakan lalu akan diolah
menjadi analisis Deskriptif-Komparatif, yaitu dengan memaparkan atau
menarasikan isi dari dokumen dengan cara komparisi, sesuai tidaknya
penerapan hukum yang digunakan dengan aturan yang ada dalam
bentuk rangkaian kalimat-kalimat hingga mudah dipahami.
6. Metode Penulisan
Pedoman yang digunakan peneliti ialah merujuk pada kaidah-
kaidah yang terdapat pada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang
dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2017.

G. Kajian terdahulu
Ika Atikah (2017) dalam penelitiannya yang berjudul “Eksistensi
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Sebagai Pedoman
Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah Di
Pengadilan Agama” Dalam penelitian ini Kedudukan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah merupakan sumber hukum materiil dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah yang harus dijadikan rujukan utama oleh para
hakim peradilan agama. Dalam hal terdapat kekurangan dalam KHES
maka hakim dapat mengambil dan melengkapiny dari sumber hukum yang
lain yang lebih spesifik. 8
dalam penelitian ini peran hakim dalam
memutus perkara merupakan hal krusial sehingga ijtihad hakimah sebagai
penentu Ex Aequo et Bono. Yang membedakan penelitian penulis dengan
penelitian tersebut yaitu penulis meneliti menganalisis lebih dalam
terhadap pertimbangan hakim di dalam menjadikan KHES dan Fatwa
DSN- MUI pada sengketa ekonomi syariah.

8
Ika Atikah, “Eksistensi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Sebagai Pedoman
Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama”, Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah Muamalatika, Vol .9 (2017).
5

Nur Afni Octafia (2017) dalam penelitiannya yang berjudul


“Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum Dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah” dijelaskan bahwa fatwa
DSN-MUI jika dikaitkan dalam hukum positif kedudukan fatwa sama
dengan doktrin yaitu sebagai penguat dalam pemutusan seorang qadhi
dalam sebuah perkara, namun fatwa pada hakikatnya hanyalah sebuah
petuah atau nasihat dari seorang alim ulama yang bersifat tidak mengikat.
Adanya pengakuan kedudukan dan peran Fatwa DSN secara formal
(dalam peraturan yang berlaku di jasa keuangan syariah) ini, tentunya
memberi pengaruh dalam penyelesaian perkara hukum di pengadilan
khususnya di Pengadilan Agama. Fatwa-fatwa ini seharusnya menjadi
dasar hukum bagi hakim sebagai bahan pertimbangan hukum untuk
memutuskan perkaranya karena dalam perundang-undangan yang berlaku
ditentukan bahwa kegiatan ekonomi syariah tersebut berpedoman pada
fatwa DSN-MUI.9 dalam penelitian ini menjelaskan bahwa fatwa DSN
MUI dijadikan acuan sebagai dasar hukum. Yang membedakan penelitian
ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian ini tidak hanya berfokus
pada kedudukan fatwa DSN –MUI dalam tata hukumdi Indonesia namun
juga meneliti lebih dalam mengenai bagaimana hakim dalam melakukan
pertimbangan hukum ketika memutus sengketa ekonomi syariah.
Shafira Azzahhara Aqkar (2021) dalam penelitiannya yang berjudul
“Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Sebagai Sumber Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif
Dan Hukum Islam” menjelaskan bahwa Kedudukan fatwa DSN-MUI
sebagai sumber hukum dalam perspektif hukum positif jika dilihat dari
segi konstitusi fatwa MUI hanya dijadikan sebagai pendapat hukum yang
boleh/ tidak untuk diikuti, fatwa diterapkan sebagai bentuk kesadaran
beragama secara pribadi. Dalam konteks hukum, sebelum ditetapkan
sebagai hukum positif, maka fatwa DSN-MUI adalah hukum aspiratif,
9
Nur Afni Octavia, “Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum Dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017)
6

sedangkan Dalam hukum islam fatwa ulama memiliki peranan yang


penting sebagai acuan menjalankan syariah karena fatwa merupakan salah
satu institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan
kedudukan hukum suatu masalah dimaksud. alam penelitian ini
menjelaskan Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Sebagai Sumber Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif Dan
Hukum Islam.10 Yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian
ini adalah pada penelitian ini hanya membahas bagaimana kedudukan
fatwa DSN-MUI sebagai sumber hukum prespektif hukum positif dan
hukum islam sedangkan penelitian penulis tidak hanya membehas
mengenai kedudukan Fatwa DSN- MUI dalam tatanan hukum di
Indonesia.

H. Sistematika Penelitian
Untuk mendeskripsikan penelitian dengan jelas dan mudah dipahami,
maka penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini dikemukakan hal-hal mengenai latar
belakang, permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan
dalam perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, dan dijabarkan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi mengenai teori yang berupa pengertian dan definisi
yang diambil dari kutipan buku dan jurnal serta beberapa review terdahulu
yang berhubungan dengan penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini mendeskripsikan profil lembaga dan atau karakter daerah
penelitian.

10
Shafira Azzahhara Apkar,” Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Sebagai Sumber Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam” (Skripsi S-
1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri sultan Thaha Saifuddin, 2021)
7

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Dalam bab ini peneliti akan memaparkan dat hasil penelitian dan
pembahasan penelitian dengan menjawab masalah-masalah yang telah
dirumuskan dengan metode-metode yang telah disebutkan.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran yang
dapat diberikan penulis yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL

A. Kerangka Teori
1. Teori Hukum Positif
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang
beranggapan bahwa teori hukum itu dikonsepsikan sebagai ius yang
telah mengalami positifisasi sebagai lage atau lex, guna menjamin
kepastian antara yang terbilang hukum atau tidak.11Aliran filsafat
hukum positivisme berpendapat bahwa hukum adalah positivisme
yuridis, dalam arti yang mutlak dan memisahkan antara hukum dengan
moral dan agama serta memisahkan antara hukum yang berlaku dan
hukum seharusnya, antara das sein dan das sollen.12 Han Kelsen
menegaskan bahwa terdapat tiga kemungkinan interpretasi terhadap
istilah positivisme sebagaimana dikutip oleh Ade Maman Suherman,
yaitu:13
a. Legal positivisme sebagai metode adalah cara mempelajari hukum
sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data sosial dan bukan
sebagai sistem nilai, sebagai metode yang men-setting pusat
inquiry problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan
aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan;
b. Legal positivisme yang dipahami secara teori adalah teori yang
berkembang pada era kodifikasi sampai pada abad ke-sembilan
belas. Dalam konsep ini dikembangkan dari ecole de l’exegese
sampai ke Jerman Rechtwissenschaft hukum dikemas sempurna ,
dengan positive order yang berasal dari kegiatan legeslatif suatu
negara. Paham ini disebut kelompok imperativist, corvisit, legalist

11
Yusridi, Bahan Kuliah Teori Hukum MIH Fakultas Hukum UNDIP Semarang, tanggal
14 November 2014,
12
Islamiyati, “KritikFilsafat Hukum positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Berkeadilan”, Law & Justice Journal, Vol 1, No 1 (2018), h., 84.
13
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common
Law, Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, Cet. Kedua), h., 37- 38.

10
11

c. conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis),


interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah,
khususnya hakim;
d. Legal positivisme sebagai ideologi merupakan ide bahwa hukum
negara ditaati secara absolut yang disimpulkan ke dalam suatu
statement gezetz ist gezetz atau the law is the law.

2. Positivasi Hukum Islam di Indonesia


Menurut Rofiq14, pembaharuan hukum Islam dapat diartikan
sebagai upaya untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan
praktek keislaman yang telah mapan (established) kepada pemahaman
dan pengamalan baru. Pembaharuan terus berjalan dari masa ke masa
walaupun sebenarnya Hukum Islam sudah berlaku sejak awal
masuknya Islam di Indonesia. Bahkan pada perkembangan berikutnya,
Hukum Islam menjadi salah satu dari tiga bahan dasar dari hukum
nasional selain Hukum Adat dan Hukum Barat. Pembaharuan hukum
Islam Indonesia saling berkaitan dengan pembaharuan Ilmu Hukum
Indonesia. Dibuktikan dengan historis relasi keduanya yang tidak bisa
dipisahkan dalam konteks pembangunan Sistem Hukum Nasional
(SHN) sejak awal kemerdekaan. Relasi keduanya dalam pembaharuan
ilmu hukum Indonesia meliputi beberapa aspek hukum nasional seperti
hukum pidana, perdata dan lainnya yang sudah, sedang dan terus
diproses15.
Namun hingga saat ini ada beberapa faktor yang menjadi peluang
dan tantangan positivisasi hukum Islam di Indonesia, diantaranya
faktor politis, faktor filosofis dan faktor sosiologis. Secara politik,
lemahnya dukungan politik parlemen dalam Program Legislasi

14
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia (Jakarta: Gama Media, 2001)
h., 97-98.
15
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan Hukum
Umum, (Jakarta: Gama Media, 2003), h., 150-157; Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek
Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia) ,
(Semarang: Pustaka Magister, 2011), h., 5-20.
12

Nasional (PROLEGNAS) merupakan tantangan serius bagi hukum


Islam menuju positivisasi. Sedangkan secara filosofis, kontroversi
internal dalam memahami hukum Islam seringkali menyudutkan pada
hukum Islam itu sendiri. Hal ini terkait dengan perkembangan
metodolgi studi Islam yang tidak bisa dibendung dan disatukan dalam
suatu paradigma tertentu. Sedangkan secara sosiologis, sedikit nilai
hukum Islam yang menjadi tradisi atau nilai yang secara mayoritas
diakui dalam sosial masyarakat yang bisa di serap secara nasional.16

3. Teori Hirarki Hukum


Tidak ada sistem didunia ini yang secara positif mengatur tata
urutan peraturan perundang undangan. kalaupun ada pengaturannya
hanya hanya sebatas pada asas yang menyebutkan misalnya:
“Peraturan daerah tidak boleh bertentang dengan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya‟.atau dalam hal
UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”.17
Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem
hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang.
Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan
norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-
ordinasi dalam konteks spasial.18 Han Kelsen juga berpendapat bahwa
jika terjadi pertentangan antara norma yang satu dengan norma yang
lainnya, maka norma yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma
yang lebih rendah.19

16
Shohibul Itmam, Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia, Ponorogo: STAIN Po Press,
2015, h., 316.
17
Ni‟matul Huda, Negara Hukum demokrasi dan judicial Review , (Yogyakarta: UII
Press, 2005, Cet Pertama), h., 48.
18
Asshiddiqie,Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, Theory Hans KelsenTentang Hukum,
(Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006,Cet. Pertama), h.,
110.
19
Darmini, Gokma,”Teori Positivisme Hans Kelsen Mempengaruhi Perkembangan
Hukum di Indonesia”, Lex Jurnalica Volume 18 Nomor 1, April 2021, h., 20.
13

Seperti dalam bukunya Kelsen mengungkapkan “The unity of


these norms is constituted by the fact that the creation of the norm–the
lower one-is determined by another-the higher-the creation of which of
determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated
by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of
validity of the whole legal order, constitutes its unity”.20
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis
dalam suatu susunan hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang
dibawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari norma yang lebih
tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma
yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu
norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dan
masih menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma yang
dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh
lembaga-lembaga otoritas-otoritasnya yang berwenang
membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga norma
yang lebih rendah (Inferior) dapat dibentuk berdasarkan norma yang
lebih tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu Hierarki.21
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini
diilhami oleh Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte
rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan
pengertiannya: Norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar
pada norma yang ada diatasnya; dan Norma hukum ke bawah, ia juga
menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang dibawahnya.
Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang
relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma
hukum yang diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang berada

20
Kelsen,Hans, General Theory of Law and State, Translated byAnders Wedberg , USA:
Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, 2009, h., 124.
21
Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011, Cet Pertama), hal., 14-15
14

diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang


berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.22

B. Tinjauan Konseptual
1. Ekonomi Syariah
Menurut bahasa, kata ekonomi berasal dari bahasa yunani yaitu
Oikos yang berarti keluarga tau rumah tangga sedangkan Nomos
berarti Peraturan atau aturan. Sedangkan menurut istilah yaitu
manajemen rumah tangga atau peraturan rumah tangga.23 Dalam
berkehidupan ekonomi meruakan bagian yang sangat penting dan
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan, selain itu ekonomi juga
merupakan alat ukur sebuah Negara dalam melihat tingkat
kemajuannya, apakah semakin membaik atau memburuk.24
Para ahli ekonomi neo klasik memberikan pengertian bahwa inti
dari kegiatan ekonomi adalah aspek pilihan penggunaan sumber daya
yang langka, sasaran utamanya adalah bagaimana mengatasi
kelangkaan, definisi ini mengandung konsekuensi.25 Dalam Al-Quran,
ekonomi diidentikan dengan iqtishad,26 yang artinya “umat yang
pertengahan” atau bisa dimaknai menggunakan rezeki yang ada di
sekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia
yang baik dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan oleh-
NYA. Dengan demikian nama ekonomi syariah bukan nama yang baku
dalam terminology islam. Bisa saja dikatakan “ekonomi ilaiyyah”,
“ekonomi islam”, “ekonomi Qur‟ani, “ekonomi syar‟i”. Namun dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat istilah ekonomi syariah atau

22
Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, (Kanisius: Yogyakarta,1998), h., 25
23
Pius A. Purtanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Popule, ( Arkola: Surabaya,
1994) h., 131.
24
Ghofur, Abdul, Pengantar Ekonomi Syariah: Konsep Dasar, Paradigma,
pengembangan ekonomi syariah, (Raja Grafindo Persada, 2018), h., 15.
25
Ghofur, Abdul, Pengantar Ekonomi Syariah: Konsep Dasar, Paradigma,
pengembangan ekonomi syariah, (Raja Grafindo Persada, 2018), h., 15.
26
QS Al-Maidah [5]: 66
15

ekonomi islam lebih popular.27 Menurut Abdul Mannan, ekonomi


syariah (syariah) merupkan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah ekonomi – ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai- nilai
islam.28

2. Sengketa Ekonomi Syariah


Ekonomi syariah telah menjadi instrument terpenting dan
berkembang pesat dalam sistem perekonomian umat manusia.
Aktivitas ekonomi syariah telah melibatkan banyak orang sebagai
pelakunya, setiap manusia mempunyai naluri untuk beraktivitas dan
hidup dengan orang lain (gregariousness).29 Dalam aktivitasnya
manusia melakukan interaksi antar sesamanya. Interaksi sosial tersebut
dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan
bahkan berbentuk pertentanganatau pertikaian (conflict).30 Yang dapat
menimbulkan sengketa- sengketa lain , aktifitas ekonomi syariah tidak
selalu sesuai akad sehingga hal tersebut dapat menimbulkan sengketa.
Sengketa ekonomi merupakan Conflict dan Dispute yaitu berbentuk
perselisihan atau disagreement on a point of law or fact of interest
between two persons, artinya suatu kondisi dimana tidak ada
kesepahaman para pihak tentang sesuatu dan faktanya dan perbedaan
kepentingan diantara kedua belah pihak. 31

Apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan


ekonomi syariah, maka ini menjadi sebuah sengketa ekonomi syariah.
Terjadinya sengketa ini pada umumnya karena adanya penipuan atau
ingkar janji oleh pihak-pihak atau salah satu pihak yang tidak

27
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonosia,
2004), h., 6.
28
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997), h., 19.
29
Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, (Raja Grafindo Prasada, Jakarta,
2001).. h, 73.
30
Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, (Raja Grafindo Prasada, Jakarta,
2001),..h.64
31
Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, (Raja Grafindo Prasada, Jakarta,
2001),.. h5
16

melakukan apa yang di janjikan atau disepakati untuk dilakukan. 32

Apabila seseorang atau badan hukum telah melakukan akad syariah


dengan pihak lain, maka antara para pihak tersebut telah terjadi
perikatan, oleh karna itu, menurut hukum perdata, kesepakatan yang
telah disetujui para pihak tersebut akan mengikat sebagai undang-
undang bagi mereka yang mebuatnya.33 Dengan demikian, terjadinya
suatu sengketa ekonomi syariah disebabkan oleh dua pihak, baik
perorangan maupun badan hukum yang melakukan akadau perjanjian
dengan prinsip syariah.34
Sengketa ekonomi syariah merupakan suatu pertentangan antara
dua pihak atau lebih pelaku ekonomi yang kegiatan usahanya yang
dilaksanakan menurut prinsip-prinsip dan asas ekonomi syariah yang
disebabkan persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak
milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dan dapat
diberikan sanksi hukum terhadap salah satu diantara keduanya .35

3. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah


a. Landasan Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Secara yuridis terdapat beberapa landasan hukum penyelesaian
sengketa ekonomi syariah, diantaranya36 :
1) Al- Quaran Surah al – Hujurat (49) ayat 9
Allah Berfirman Dalam Al- Qur‟an surat al- Hujurat (49)
ayat 9 :

32
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Rineka Cipta, Jakarta,
2003), h., 41.
33
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
34
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Rineka Cipta, Jakarta,
2003),..h.7
35
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Rineka Cipta, Jakarta,
2003),.. h.11
36
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Rineka Cipta, Jakarta,
2003),h.8
17

‫ ِتُلىا‬N‫ ٰ ر قَا‬N‫ح ٰدى ُه ما‬ ‫و ِا ْن ۤ ا ِٕىف م َه الْ ُم ْؤ ِم ِن ْي َه ِ َب ْينَ ُه َم ِ َغ‬


َ
‫َعًَل ا ْْل ي‬ ‫ ُل ْىا ا ل ۚا ح ْىا ا ْۢ ت‬Nَ‫ت‬Nَ‫ا ْقت‬ ‫ٰت ِه‬
‫خ‬ ‫ْن‬
‫ص‬
َّٰ‫ل‬ ٰٓ
‫سطُ ِا‬ ‫ل و‬N‫ ِبا‬N‫ِ َ ت ِ ْ ْيَن ُه َما‬ ‫ ِف ۤ ٰلً َا ْم‬Nَ‫الَّ ِت ي َت ْب حتًّٰ ت‬
‫ا‬ ‫ْىا ۗ َّن‬ ‫ق‬Nَ‫َع ْدل ا‬ ‫ ل ى‬N‫ِر ا َۖف ِا ء َفا‬ ‫ْي َء‬ ‫ُي ِح ِغي ُّب‬
‫ا‬ ‫ْن ۤا‬ ‫ ِطْي‬N‫الْ مْقس‬
‫صح‬ ُ
٩ ‫َه‬

Yang artinya : “Dan apabila ada dua golongan orang-


orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap
(golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang
berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil.”
2) Hadist
Diantara hadist yang menjelaskan mengenai landasan
hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah hadist
riwayat at-Tarmizi, Ibnu Majah, al- Hakim dan Ibnu Hibban
bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Yang artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin


Ali Al Khallal, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al
'Aqadi, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Abdullah bin
Amru bin 'Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perdamaian
diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
18

haram." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (Hadist


Tirmidzi No 1272).”
3) Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Pasal 1338 Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) menyatakan, “Semua perjanjian yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang- undang bagi
mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau
karen alasan yang ditentukan oleh undang – undang perjanjian
harus dilaksanakan dengan baik.”
b. Tujuan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ekonomi
syariah adalah agar setiap permasalahan - permasalahan yang
muncul dalam kegiatan ekonomi syariah dapat terselesaikan
dengan cepat dan tepat sebagaimana mestinya. Sehingga tidak
menimbulkan persengketaan yang berujung pada ketidakadilan,
karena sebagaimana dalam ajaran Islam tidak dibolehkan
perselisihan yang berlarut-larut dan berkepanjangan karena dapat
menimbulkan persengketaan yang semakin tajam dan rumit.37
c. Sistem Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Secara garis besar, terdapat dua sistem dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Pertama, secara litigasi yaitu penyelesaian sengketa yang
diselesaikan di lembaga pengadilan dengan berbagai hukum
acaranya. Litigasi sendiri merupakan suatu istilah dalam hukum
mengenai penyelesaian suatu sengketa yang dihadapi melalui jalur
pengadilan. Proses tersebut melibatkan pembeberan informasi dan
bukti terkait atas sengketa yang dipersidangkan. Gunanya untuk
menghindari permasalahan yang tak terduga di kemudian
hari. Masalah sengketa tersebut diselesaikan di bawah naungan

37
Hendi Suhendi, Fikih Muamalat, (Raja Grafindo, Jakarta, 2002), h., .34.
19

kehakiman. Dalam UUD 1945 pasal 22 disebutkan bahwa sistem


kehakiman di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya.
Litigasi merupakan proses gugatan atas suatu konflik yang
diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana
para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua
pilihan yang bertentangan. Lembaga litigasi merupakan sistem
penyelesaian sengketa melalui peradilan. Penyelesaian sengketa
melalui litigasi ini diatur dalam Undang - undang nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.38
Kedua, secara nonlitigasi yaitu penyelesaian sengketa yang
diselesaikan diluar lembaga pengadilan.
a) Arbitrase – Basyarnas
Basyarnas adalah lembaga hakam (arbritase syariah) satu-
satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus
sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan,
keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah berlaku sejak
permulaan sejarah Islam. Para ulama di Indonesia yang dikenal
sebagai Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk lembaga
arbritase di Indonesia untuk membantu penyelesaian sengketa
dengan cara damai di antara sesama muslim. Lembaga
arbitrase syariah didirikan bersamaan dengan pendirian Bank
Muamalat Indonesia (BMI). Lembaga arbitrase tersebut
dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) berdasarkan SK No Kep 392/mui/IV/1992. Pada
tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS)
lahir, BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) hingga kini.

38
Edi Hudiata, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah : Pasca Putusan MK Nomor
93/PUU-X/2012 : Litigasi Dan Nonlitigasi, h., 90
20

b) Alternatif Penyelesaian Sengketa


Alternatif Penyelesaian Sengketa Di dalam terminologi
Islam dikenal dengan ash-shulhu, yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syari‟at ash-
shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri
perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang
bersengketa.39 Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur
dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang - Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa.
c) Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Lembaga
Konsumen
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga
konsumen diatur dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, namun Undang-undang ini
tidak memberikan batasan tentang apa yang di maksud dengan
sengketa konsumen. Definisi sengketa konsumen dapat di
pahami dalam Surat Keputusan Nomor 30/MPP/Kep/12/2001
tanggal 10 Desember tahun 2001 Peraturan Menteri
Perindustrian Dan Perdagangan.

4. Fatwa
Secara etimologis, fatwa berarti, petuah, nasehat dan jawaban atas
pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Dalam literatur lain fatwa
Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab. Dalam kamus
Lisân al-„Arab karangan Ibnu Mandzur disebutkan bahwa kata fatwa
merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaitu, fatwan, yang

39
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13) , (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1997),
h.,189.
21

bermakna muda, baru penjelasan, penerangan.40 Pendapat ini hamper


sama dengan pendapat al- fayumi yang menyatakan al-fatwa berasal
dari kata Fata, artinya pemuda yang kuat. Sehingga orang yang
mengeluarkan fatwa dikatakan Mufti, karena orang tersebut diyakini
mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan (Al-Bayan) dan
jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagaimana
kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. 41 Menurut Al- Jurjani,
Fatwa berasal dari al- fatwa atau al- futya artinya jawaban terhadap
suatu permasalahan (musykil) dalam bidang hukum. Sehingga fatwa
dalam pengertian ini juga diartikan sebagai penjelasan (al- ibanah).42
Pengertian fatwa secara terminologis, sebagaimana dikemukakan
oleh Zamakhsyari adalah penjelasan hukum syara‟ tentang suatu
masalah atau pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut As-
Syatibi, fatwa dalam arti al- iftaa yang berarti keterangan –keterangan
tentang hukum syara‟ yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut
Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara‟ dalam suatu
persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti) baik secara perseorangan atau kolektif.43
Dari beberapa pengertian di atas, terdapat dua hal penting yaitu :
1. Fatwa bersifat responsif, yaitu merupakan jawaban hukum (legal
opinion) yang dikeluarka setelah adanya suatu pertanyaan atau
permintaan fatwa (based on demand); dan
2. Fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat
mengikat . orang yang meminta fatwa (mustafti)
Definisi fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: (1)
jawaban berupa keputusan atau pendapat yang diberikan oleh

40
Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shâdir, t.th.), juz XV, h., 145
41
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Elsas: Jakarta,2008), h., 19.
42
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Elsas: Jakarta,2008), h., 19.
43
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Elsas: Jakarta,2008), h., 20.
22

mufti/ahli tentang suatu masalah; dan (2) nasihat orang alim; pelajaran
baik; dan petuah.44
Fatwa menurut arti syariat ialah suatu penjelasan hukum syariat
dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seorang yang
bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu- ragu dan penjelasan itu
mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi atau
kepentingan masyarakat banyak.45 Dalam terminologi ushul fikih,
fatwa dimaknai sebagai pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid
atau fakih sebagai jawaban yang diajukan oleh peminta fatwa dalam
suatu kasus yang sifatnya tidak mengingat46 Dengan kata lain, fatwa
adalah pendapat hukum yang tidak mengikat yang dikeluarkan untuk
menanggapi persoalan hukum.47 Dengan demikian, fatwa sifatnya
berbeda dengan peraturan perundangan di negeri muslim dan
keputusan pengadilan, Sifat fatwa adalah tidak mengingat. Karena itu
ia tidak memiliki konsekwensi dan akibat hukum yang ketat48
5. Majelis Ulama Indonesia
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Wadah Musyawarah
para Ulama, Zu‟ama, dan Cendekiawan Muslim di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh
Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395
Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.49
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu‟ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk:
44
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa), h., 240.
45
Rohadi Abdul fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam,( Buku Aksara,
Jakarta, 2006), h., 7.
46
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi ,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, Cet. Pertama), h., 127.
47
Khaled M. Abou El Fadl, “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and
Women”, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin , Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004, Cet. Pertama), h., 542.
48
Sofyan, “Posisi Fatwa Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam”, Jurnal Al- Ulum ,
2010, h., 178.
49
https://mui.or.id/sejarah-mui diakses pada Minggu 21 November 2021 pukul 16.04 WIB.
23

a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia


dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah Subhanahu wa Ta‟ala;
b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-
umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan
bangsa serta;
c. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional;
d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga
Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan
dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan
mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

6. Fatwa DSN – MUI


Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan
untuk menetapkan fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dewan Syariah
Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia. Dewan
Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen
keuangan, bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan
atau ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. Anggota Dewan
Syariah Nasional terdiri dari atas Ulama, dan para pakar dalam bidang
yang terkait dengan muamalah syariah. Anggota Dewan Syariah
Nasional ditunjuk dan diangkat olah MUI untuk masa bakti 4 (empat)
tahun.50

50
Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah Memahami Bank Syariah dengan Mudah,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), h., 6.
24

Sejarah terbentuknya Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama


Indonesia bermula dari Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syari‟ah
yang diselenggarakan MUI Pusat pada tanggal 29-30 Juli 1997 di
Jakarta yang merekomendasikan perlunya sebuah lembaga yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas
lembaga keuangan syariah (LKS). Lalu Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan Syariah Nasional
(DSN) pada tanggal 14 Oktober 1997. Selanjutnya untuk menindak
lanjuti hasil rapat Tim pembentuk DSN, Dewan Pimpinan MUI
menerbitkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari
1999 tentang Pembentukan Dewan Syari‟ah Nasional MUI. Dewan
Pimpinan MUI mengadakan acara ta‟aruf dengan Pengurus DSN-MUI
tanggal 15 Februari 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta dan Pengurus
DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan Rapat Pleno I DSN-
MUI tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan mengesahkan Pedoman
Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI.51
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai
masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam
bidang perekonomian atau keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan
tuntunan syariat Islam. Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah
efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang
berhubungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Berbagai
masalah atau kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan
dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam
penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang ada di lembaga keuangan syariah Untuk mendorong penerapan
ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan, DSN-MUI akan
senantiasa dan berperan secara proaktif dalam menanggapi

51
Diakses melalui https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/ pada ( 10, September 2022).
25

perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang


ekonomi dan keuangan.52
Fatwa Dewan Syariah Nasional adalah fatwa yang dikeluarkan atas
jenis-jenis kegiatan keuangan syariah serta produk dan jasa keuangan
syariah. Dalam proses penetapan fatwa ekonomi syariah DSN
melalui rapat pleno yang dihadiri oleh semua anggota DSN, BI atau
lembaga otoritas keuangan lainnya, dan pelaku usaha baik
perbankan, asuransi, pasar modal dan lain-lain. Fatwa-fatwa yang
diterbitlan oleh DSN berasal dari permasalahan yang muncul dalam
pelaksanaan ekonomi syariah. Dari fatwa DSN permasalahan yang
muncul berasal dari pertanyaan atau usulan dari LKS ataupun pendapat
dari DSN yang menganggap perlu ada fatwa berdasarkan kebutuhan.53
Metode pengeluaran fatwa DSN mengikuti pedoman atau panduan
yang telah ditetapkan oleh komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Menurut Pedoman dan Prosedur Penetapan fatwa, setiap masalah yang
dibahas di komisi fatwa (termasuk fatwa tentang ekonomi syariah)
harus didasarkan pada Al-Qur‟an, Sunnah, ijma dan Qiyas. Sebelum
fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau terlebih dahulu secara seksama
pendapat para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan
tersebut berikut dalil-dalilnya.54
Adapun tugas DSN- MUI diantaranya adalah :
a. Menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS,
LBS, dan LPS lainnya;
b. Mengawasi penerapan fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS
lainnya;
c. Membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan
fatwa tertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat
diimplementasikan di LKS, LBS, dan LPS lainnya;

52
Diakses melalui https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/ pada ( 10, September 2022).
53
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional (Diterbitkan
olehBadan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI), h., 171.
54
Nafis, M Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI-Press, 2011), h., 92.
26

d. Mengeluarkan Surat Edaran (Ta‟limat) kepada LKS, LBS, dan


LPS lainnya;
e. Memberikan rekomendasi calon anggota dan/atau
mencabut rekomendasi anggota DPS pada LKS, LBS, dan LPS
lainnya;
f. Memberikan Rekomendasi Calon ASPM dan/atau
mencabut Rekomendasi ASPM;
g. Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Keselarasan
Syariah bagi produk dan ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas
terkait;
h. Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atas sistem, kegiatan,
produk, dan jasa di LKS, LBS, dan LPS lainnya;
i. Menerbitkan Sertifikat Kesesuaian Syariah bagi LBS dan LPS
lainnya yang memerlukan;
j. Menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi
LKS, LBS, dan LPS lainnya;
k. Melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan
literasi keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan
l. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada
khususnya.
Sedangkan Wewenang DSN-MUI diantaranya:
a. Memberikan peringatan kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang diterbitkan oleh
DSN-MUI;
b. Merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan;
c. Membekukan dan/atau membatalkan sertifikat Syariah bagi LKS,
LBS, dan LPS lainnya yang melakukan pelanggaran;
d. Menyetujui atau menolak permohonan LKS, LBS, dan LPS lainnya
mengenai usul penggantian dan/atau pemberhentian DPS pada
lembaga yang bersangkutan;
27

e. Merekomendasikan kepada pihak terkait untuk


menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan
ekonomi syariah; dan
f. Menjalin kemitraan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik
dalam maupun luar negeri untuk menumbuhkembangkan usaha
bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah.

7. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah


Lahirnya KHES tersebut berawal dari terbitnya Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang No.3
Tahun 2006 ini memperluas kewenangan Pengadilan Agama sesuai
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan umat Islam di Indonesia
saat ini. Dijelaskan pada pasal 49 atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA), Pengadilan agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqah; Dan
i. Ekonomi Syari'ah.
Setelah masuknya sengketa ekonomi syariah di wiayah
kewenangan peradilan agama melalui peraturan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari'ah yang ditetapkan pada 10 September 2008
oleh Ketua MA pada waktu yaitu Prof.Dr. H. Bagir Manan,
28

S.H.,M.C.L., Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang disingkat


KHES resmi diberlakukan dengan perjalanan panjangnya,
Pembentukan KHES Mahkamah Agung RI memulainya dengan
pembentukan Tim penyusun KHES berdasarkan Surat keputusan No.
KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 oktober 2006, yang diketuai oleh
Prof. Dr. H. Abdul Manan.
KHES lahir dengan berbagai macam materi yang ada
didalamnya, dimana KHES terdiri dari 4 buku dan 796 pasal,
yaitu Buku I: Tentang Subyek Hukum dan Harta (amwal) yang terdiri
3 bab dengan 19 pasal; Buku II: Tentang Akad, yang terdiri 29 bab
dengan 655 pasal; Buku III: Tentang Zakat dan Hibah, yang terdiri
4 bab dengan 60 pasal; Sedangkan pada Buku IV: Tentang
Akuntansi Syariah, yang terdiri 7 bab dengan 62 pasal.
Dalam perma dijelaskan bahwa Hakim pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah,
mempergunakan KHES ini sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam
Kompilsai Hukum Ekonomi Syari'ah.55 Selain itu, dalam pasal-pasal
KHES juga tampak sekali dengan fatwa-fatwa MUI-DSN, karenanya
dapat mengakomodir kenyataan sosiologis umat Islam dan menjadikan
pendapat para ulama sebagai akar rumput yang berfungsi untuk
dijadikan pertimbangan dalam pengambilan fatwa-fatwanya. Jadi
dengan melihat materi KHES baik dari penyusunan dan
pembahasannya produk KHES adalah produk Ijtihad jama‟i (kolektif).

8. Putusan Hakim
Pengertian putusan secara bahasa disebut dengan vonnis (Belanda)
atau al-aqda‟u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya
dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan

55
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 02
Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah
29

“tergugat”. Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan


“produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa”.56
Definisi Putusan yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa:
“Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan
berdasarkan adanya suatu sengketa. Menurut Sudikno Mertokusumo,
Putusan adalah suatu pernyataan yang diberikan oleh Hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di
dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang
berperkara.57
Dalam pelaksanaan putusan ada beberapa asas yang harus
terpenuhi, yaitu:58
a. Putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, kecuali
pelaksanaan putusan uitvoerbaar bij voorraad, putusan provisi,
putusan perdamaian, dan eksekusi berdasarkan Grose akta.
b. Putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, meskipun telah
dilakukan teguran (aanmaning) oleh Ketua Pengadilan Agama.
c. Putusan mengandung amar condemnatoir. Ciri putusan yang
bersifat condemnatoir ini mengandung salah satu amar yang
diawali dengan kata menghukum atau memerintahkan.
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Pengadilan yang berwenang melaksanakan eksekusi adalah
Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan tersebut atau
Pengadilan Agama yang diberi delegasi wewenang oleh
Pengadilan Agama yang memutusnya.

56
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006),
h., 203.
57
Sudikno Mertokususmo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988),
h., 167-168.
58
Musthofa, Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), h., 109.
30

9. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan putusan hakim adalah suatu tahapan proses
pengambilan putusan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam
mempertimbangkan fakta yang terungkap sejak awal hingga akhir
persidangan perkara berlangsung. Dalam pertimbangan hukum
tersebut dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang
menjadi dasar hakim dalam memutus perkara tersebut.59
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan
teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan
hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah
Agung.60
Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa: “hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” dan juga
dalam ayat (2) dan (3) pada Undang – undang ini, juga menjelaskan
bahwa “(2) hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. (3) hakim dan hakim konstitusi
wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”.61
Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus
benarbenar melalui proses pemeriksaan peradilan yang jujur (fairtrial)

59
Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id diakses 10
September 2022
60
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama , (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004, Cetakan, Kelima), h., 140.
61
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
31

dengan pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan


moral (moral justice), dan bukan hanya semata-mata berdasarkan
keadilan undangundang (legal justice). Di Indonesia asas kebebasan
hakim dijamin sepenuhnya dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya disebut Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman, dimana dirumuskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Asas kebebasan hakim ini termasuk juga kebebasan bagi hakim dalam
merumuskan pertimbangan hukum dikenal dengan legal reasoning
yang dilakukan oleh seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara
yang diadilinya.
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan


1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama mendefinisikan bawa Peradilan Agama
adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam dan Pengadilan
adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan
peradilan agama.62
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi
yang melaksanakan tugasnya, memiliki dasar hukum dan landasan kerja
sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;
b. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan
Kehakiman;
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan
Agama;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
f. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
g. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama;
h. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963.

62
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

31
32

Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya


terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang, yaitu: Kantor
cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara, Kantor Pengadilan Agama
Jakarta Tengah, dan Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai
induk. Semua Pengadilan Agama tersebut termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah
berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember
1976, semua Pengadilan Agama di Provinsi Jawa Barat termasuk
Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya
berada dalam wilayah Hukum Mahkamah Islam TInggi Cabang
Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam
Tinggi menjadi Pengaidlan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61
Tahun 1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah ke Jakarta,
akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987
dan secara otomatis WIlayah Hukum Pengadilan Agama di Wilayah
DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta
Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta,
yang ketika itu pada tahun 1967 merupakan cabang di Pengadilan
agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya
Jakarta Timur.
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya
pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang
wilayahnya cukup luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan
darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu
di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang
Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar Siregar, S.H.
33

Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraianm kalaupun ada


tentang warisan, masuk kepada komparisi. itupun dimulai pada tahun
1969, kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin
oleh Bismar Siregar, S.H.
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dipindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan
dengan menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan
kantor cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag
Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat pula Drs. H. Muhdi Yasin.
Keadaan penempatan kantor di serambi Masjid tersebut, bertahan
hingga tahun 1979. Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru
Pengadilan Agama Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah
Agung RI.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan
representatif tersebut, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan
pembenahan dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap
pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan TI (Teknologi
Informasi) yang sudah semakin canggih disertai dengan aplikasi-
aplikasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti aplikasi
SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama)
yang sudah berjalan, sistem informasi manidiri dengan layar sentuh
(touchscreen), serta situs web "http://www.pa-jakartaselatan.go.id".

2. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2)63 bahwa Peadilan Agama
merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di abwah
Mahkamah agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer,

63
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
34

merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman


untuk menyelenggerakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari
keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.64
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
meyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah sebagaimana diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UNdang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Di samping tugas pokok dimaksud diatas, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
a. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal
49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).
b. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah
jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi
peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan,
kepegawaian, dan pembangunan (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-
undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
c. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,
Panitera Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah
jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 3
Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum

64
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/tugas-dan-fungsi.html
35

kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA


Nomor KMA/080/VIII/2006).
d. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat
tentang hukum islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006).
e. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi
peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum
(kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengkapan) (vide: KMA
Nomor KMA/080/VIII/2006).
f. Fungsi lainnya:
1) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan
rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI,
Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006).
2) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi
peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

3. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan


Dalam menjalankan tugas-tugasnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mempunyai Visi Misi sebgai acuan dalam menentuan langkah dan
pengaplikasiaan pada manajemen strategis di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, berikut visi dan misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan65:
a. Visi
“ Mewujudkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Yang Agung”

65
Dilansir dari https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/visi-dan-misi.html
36

b. Misi
1) Menjaga Kemandirian Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
2) Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan, Transparan dan
Akuntabel;
3) Melaksanakan Penguatan Pengawasan Yang Sistematis dan
berkesinambungan;
4) Mewujudkan Sistem Peradilan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Yang Berbasis IT.

4. Bagan Struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan


Dalam pembuatan struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mengacu pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kera Kepaniteraan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, KMA Nomor 5
Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan, dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan. Berikut struktur
organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan:

(Gambar 3.1)
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM
DALAM MENGADILI SENGKETA EKONOMI
SYARIAH

A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Terkait


Sengketa Ekonomi Syariah Pada Tahun 2016-2022 Yang Tidak
Menggunakan Fatwa DSN Dan KHES Sebagai Rujukan Utama.
1. Kekuatan Hukum Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Dalam proses penyelesaiannya, sengketa ekonomi syariah yang
diselesaikan melalui jalur litigasi diselesaikan di Pengadilan Agama
diatur sebagaimana bunyi pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyatakan bahwa
Pengadilan Agama mempunyai kopetensi absolut untuk menerima,
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa di bidang ekonomi
syariah.
Perubahan isi Undang-Undang yang semula dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama belum
mengakomodir sengketa ekonomi syariah sebagai kompetensi absolut
pengadilan agama menjadi kompetensi absolutnya menjadi tantangan
tersendiri bagi pengadilan agama terkusus para hakim. Mau tidak mau,
bisa tidak bisa setelah disahkannya perubahan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam undang –
undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hakim
pengadilan agama harus menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan
menjalankan prinsip Ius Curia Novit.
Perinsip ini juga dijelaskan dalam pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
telah dicabut dan diganti menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun

37
38

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Undang – Undang yang


baru ini penjelasan mengenai prinsip Ius Curia Novit terdapat dalam
pasal 10 ayat (1) yang bunyi pasalnya tidak diubah yaitu : “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Maka Berdasarkan adagium Ius Curia Novit, hakim dianggap
mengetahui dan memahami segala hukum. Dengan demikian, hakim
yang berwenang menentukan hukum objektif mana yang harus
diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok perkara yang
menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara.
Sebagaimana dijelaskan juga dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
ditentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.” Dan pada Pasal 4 Ayat (1)
menyatakan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”. Ini mengartikan bahwa hakim pada
dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum), tidak boleh
keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya. Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan juga berfungsi sebagai penemu
hukum,hakim dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang bukan hukum. Dalam memeriksa perkara perdata, hakim
bersifat pasif, maksudnya ruang lingkup pokok perkara yang diajukan
kepada hakim ditentukan oleh pihak- pihak yang berkepentingan,
bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu paraa pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan.
Dalam mememutus perkara ekonomi syariah hakim merujuk
pada sumber-sumber hukum acara yang dapat dijadikan pertimbangan.
Sebagaimana dalam pasal 54 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989
39

di tentukan bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan


dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Berdasarkan pasal ini maka di kalsifikasikan sumber hukum acara
dalam Pengadilan Agama khusus terkait sengketa ekonomi syariah
sebagai berikut66:
1) Peraturan Perundang-undangan tentang hukumcara perdata yang
berlaku di lingkungan peradilan agama dan peradilan umum.
a. Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
kehakiman, dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009;
b. Undang-Undang Nomor 2005 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
2) Peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Umum.
a. Het Herziene Inlandsche reglement (HIR) atau yang disebut
juga RIB (Reglement Indonesia yang diperbaharui);
b. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RGB);
c. Burgelijk Wetboek (BW).
3) Pengaturan perundang-undangan yang berlaku khusus di
Pengadilan Agama.
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura;
b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;

66
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
40

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan


Agama, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah;
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa;
f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat;
g. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf;
4) Sumber-Sumber Lainnya.
a. Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA);
b. Edaran Mahkamah Agung RI;
c. Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan yang terkait dengan regulasi ekonomi syariah;
d. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI;
e. Doktrin ahli hukum terkait ekonomi syariah;
f. Perjanjian Internasional
g. Fatwa-DSN MUI
h. Kitab-kitab fikih dan sumber tidak tertulis lainnya.
Dari sumber hukum acara diatas dapat dilihat salah satu
sumber hukum acara hakim pengadilan agama dalam memutus
sengketa ekonomi syariah adalah Peraturan Mahkamah Agung RI
(PERMA) dan Fatwa-DSN, yang menariknya baik Peraturan
Mahkamah Agung yang dalam hal ini merujuk kepada Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang ditetapkan pada
10 September 2008, dan Fatwa-DSN sangatlah berpengaruh terhadap
perkembangan ekonomi syariah secara nasional khususnya terkait
regulasi.
41

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah merupakan Peraturan


Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang berawal dari
terbitnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
(UUPA). KHES berisi pedoman bagi hakim mengenai ekonomi
syariah sesuai prinsip syariah sebagaimana Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah menyatakan bahwa
“Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan
dengan ekonomi syari'ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip
syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah”
Keberadaan KHES dalam hirarki peraturan perundang -
undangan di Indonesia diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2008,
dimana peraturan Mahkamah Agung dianggap sebagai produk
lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai penyelenggara fungsi
peradilan. Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam ayat (2) juga dijelaskan bahwa “Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)”.
42

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Mahkamah
Agung memiliki kedudukan diluar hierarki peraturan perundang-
undangan yang ada, namum dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2)
yang berbunyi:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Dengan demikian Peraturan Mahkamah Agung termasuk dalam jenis
Peraturan Perundang-undangan yang ada serta mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan keberadaannya .
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dijelaskan
bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang;
(2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.
43

Maka berdasarkan amanat Undang-Undang, Mahkamah Agung


mempunyai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
Mahkamah Agung memiliki lima fungsi utama yaitu, fungsi peradilan,
fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasehat, dan fungsi
administratif. Sesuai dengan amanat Undang-undang pada Mahkamah
Agung, yang berwenang dalam menerbitkan suatu peraturan
perundang-undangan yang berfungsi untuk mengisi kekosongan
hukum yang ada di masyarakat. Sedangkan peraturan yang telah
digelontorkan (dihasilkan) oleh Mahkamah Agung berfungsi sebagai
delegasi kewenangan dalam membuat perundang-undangan yang
bersifat sementara. Selanjutnya Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo UndangUndang Nomor 5
Tahun 2004 jo UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 menguraikan
bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”. Fungsi
pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung tersebut
menimbulkan suatu kewenangan untuk menerbitkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) guna memperlancar penyelenggaraan peradilan yang kerap
kali terhambat karena belum adanya atau kurang lengkapnya
pengaturan hukum acara yang terdapat dalam undang-undang.
Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 jo
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 maka Mahkamah Agung dapat
membuat peraturan yang lebih lanjut yang belum di atur dalam
Undang-Undang. Dalam menyikapi perubahan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam
undang – undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka
44

Mahkamah Agung membuat Peraturan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah untuk menjadi pedoman para hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Mahkamah Agung merupakan badan kekuasaan kehakiman yang
tertinggi atau badan pengadilan negeri tertinggi. Sebagai
penyelenggara negara, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi
negara seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (pada masa sebelum Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 diamandemenkan). Mahkamah Agung
memiliki peranan yang penting dan fundamental dalam lingkup
kekuasaan kehakiman nasional di Indonesia dengan pengembangan
hal-hal yang terkait dengan Mahkamah Agung dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun undang-undang
terkait dengan Mahkamah Agung67
Kedudukan Perma sebagai peraturan perundang-undangan sudah
ditetapkan dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 12 tahun 2011 yakni di
bawah undang-undang dan sederajat dengan PP. Fungsi Perma secara
sederhana adalah untuk “mengatur hal-hal yang berlum diatur dalam
undang-undang” dengan tujuan mengisi “kekosongan hukum”. Dengan
demikian menunjukkan ruang kebebasan Mahkamah Agung untuk
mengisi kekosongan hukum. Dalam bingkai kebebasan tersebut,
Mahkamah Agung membentuk kaidah hukum yang baru belum pernah
diatur dalam undang-undang.68
Namun ketentuan dalam Undang – Undang No 12 tahun 2011
pasal 8 ayat (2) ini, tidak lantas memberikan Mahkamah Agung

67
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi(Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012), hal.,262-263
68
Agus Satory , Hotma Pardomuan Sibuea, “Problematika Kedudukan Dan Pengujian
Peraturan Mahkamah Agung Secara Materiil Sebagai Peraturan Perundang-Undangan”, PALAR
(Pakuan Law Review) Volume 06, Nomor 01 (Januari, 2020), h., 14.
45

kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan


sebagaimana lembaga legislatif yang berlaku umum, tetapi Mahkamah
Agung hanya berwenang untuk membentuk peraturan yang mengikat
ke dalam (interne regelling). Dengan demikian, Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) tidak termasuk pada peraturan perundang-undangan,
tetapi termasuk peraturan perundang-undangan semu (pseoude
wetgeving/beleidsgerels).
Jika KHES dianalisis melalui pendekatan peraturan perundang -
undangan maka,69 pertama, KHES adalah peraturan yang tertulis.
Kedua, KHES bukan merupakan norma hukum yang mengikat umum
kerena pada dasarnya KHES itu bersifat umum abstrak tetapi hanya
berlaku interne bagi kekuasaan Mahkamah Agung. Ketiga, KHES
bukan merupakan peraturan yang dibentuk oleh lembanga yang
mendapat kewenangan atribusi ataupun kewenangan delegasi
pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi KHES
diciptakan oleh Mahkamah agung hanya sebagai guidance hakim
memutus perkara ekonomi syariah. Jadi Penetapan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) melalui Peraturan Mahkamah Agung ini
tidak dapat mengikat keluar, karena KHES hanya mengikat institusi
peradilan agama (internal rules) saja.

2. Kedudukan Fatwa-DSN
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1999 telah
membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan SK MUI No
Kep-754/MUI/II/99 tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional,
DSN adalah satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan
fatwa terkait dengan perbankan syariah. Pasal 1 ayat (2) Keputusan
Dewan Syariah Nasional No: 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah
Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PRTD SN-
69
Halimatus, Lailatul, Mukti dan Erie, “Sejarah dan Kedudukan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah dalam Peraturan Mahkamah AgungNomor 2 Tahun 2008 di Indonesia”, Al -
Huquq: Journal of Indonesian Islamic Economic Law , (2021), h., 111.
46

MUI) menentukan status Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama


Indonesia sebagai satu-satunya badan yang berwenang dan mempunyai
tugas utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan,
produk, dan jasakeuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa
dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.70
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011, fatwa bukan
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian maka fatwa
tidak dapat diterapkan atau berlaku sebagaimana peraturan perundang-
undangan, seperti berlaku mengikat untuk semua rakyat Indonesia atau
dapat dipaksakan berlakunya. Fatwa baru dapat mengikat apabila
sudah ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bukanlah hukum positif, sama
seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI dalam bidang-bidang
lainnya. Agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat
berlaku dan mengikat sebagai mana hukum positif yang berlaku di
Indonesia, maka pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan
DSN-MUI dapat ditindak lanjuti sebagai Peraturan Bank Indonesia.71
Sebagaimana Transformasi fatwa ke dalam peraturan perundang-
undangan yang dikenal dalam sistem hukum nasional dapat dilandaskan
pada Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011. Pada pasal tersebut diatur
mengenai jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawataran Rakyat (MPR). Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan

70
Astika Nurul Hidayah, Kedudukan Fatwa Ulama Dalam Sistem Hukum Nasional
Sebagai Landasan Operasional Bank Syaria,(Purwokerto: Universitas Muhamadiyah Purwokerto,
2019), h., 96
71
Ahmad Badrut Tamam, “Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Mui) Dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional (Dsn) Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Al-Musthofa: Journal Of Sharia
Economics, Volume 4 Nomor 29, (Lamongan, 2021), h., 180.
47

Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia


(BI), Menteri, badan lembaga atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-undang, DPRD, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI dipositivisasi dengan Peraturan Bank
Indonesia sehingga kemudian memiliki kekuatan hukum mengikat
karena berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Positivisasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia
dilandaskan pada Pasal 26 ayat (3) UU Perbankan Syariah yang
menyatakan bahwa fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 26 ayat (3) UU
Perbankan Syariah, menentukan bahwa dalam penyusunan Peraturan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia
membentuk Komite Perbankan Syariah. Komite inilah yang kemudian
menyusun Peraturan Bank Indonesia berangkat dari fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI.72 DSN-MUI memiliki peran penting
dalam menjaga kepatuhan LKS terhadap prinsip-prinsip Syariah. UU
Nomor 21 Tahun 2008 juga menegaskan bahwa setiap kegiatan usaha
tidak boleh bertentangan dengan syariah, yang dirujuk pada fatwa yang
telah dikeluarkan DSNMUI dan telah dikonfersi ke dalam PBI.
Dengan demikian Fatwa yang telah dirujuk dan dijadikan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) yang mengikat setiap LKS atau mengikat publik,
sedangkan fatwa yang yang belum tertuang dalam PBI belum dapat
dikatakan mengikat. Namun jika merujuk pada Peraturan Bank
Indonesia No.11/15/PBI/2009 yang telah memberikan pengertian
bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia, maka prinsip syariah demi hukum
72
Astika Nurul Hidayah, Kedudukan Fatwa Ulama Dalam Sistem Hukum Nasional
Sebagai Landasan Operasional Bank Syaria,(Purwokerto: Universitas Muhamadiyah Purwokerto,
2019), h., 98-99.
48

telah berlaku sebagai hukum positif sekalipun belum atau tidak


dituangkan dalam Perturan Bank Indonesia73
Mengingat dalam pelaksanaannya lembaga keuangan syariah
sangatlah bergantung pada Dewan Syariah Nasional seperti diharuskan
adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagaimana diatur dalam
Peraturan DSN-MUI No. PER-01/DSN-MUI/X/2017 tentang Dewan
Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah
(LPS) menyatakan bahwa:
a. Setiap LKS, LBS, dan LPS harus memiliki sedikitnya 3 (tiga)
orang anggota DPS, dan salah satunya ditetapkan sebagai Ketua;
b. Dalam hal LKS, LBS, dan LPS masih memiliki kelolaan bisnis
yang masih kecil, dimungkinkan jumlah DPS minimal 2 (dua)
orang dan salah satunya ditetapkan sebagai Ketua.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/Pbi/2009 Tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah pasal 47 juga menjabarkan tugas dan tanggung jawab
Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran
kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
Prinsip Syariah. Dengan banyaknya keterlibatan DSN-MUI dalam
regulasi lembaga keuangan syariah memperkuan peran serta posisi
lembaga DSN termasuk Regulasi berupa fatwa-fatwa yang di
keluarkan.
Selain transformasi fatwa DSN dalam bentuk PBI, fatwa DSN juga
ditransformasikan kedalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa keuangan
(POJK). Berdasarkan amanah pada Pasal 34 Undang-Undang No. 23
tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No. 3 tahun
2004 tentang Bank Indonesia melahirkan Undang-Undang No. 21
tahun 2008 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga

73
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek Hukumnya
(Jakarta: PT Jakarta Agung Offset, 2010), h., 137-138.
49

Independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi


lembaga keuaangan bank dan non-bank. Lembaga non-bank seperti
Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Efek/Pasar Modal. Modal Ventura,
Perusahaan Anjak Piutang, Reksadana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi74. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai
fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan,
dalam melaksanakan fungsinya OJK juga mentransformasikan fatwa-
fatwa DSN MUI terkait kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan,
sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB kedalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan(OJK). Dilansir dari website resmi Otoritas Jasa Keuangan
terdapat 12 fatwa yang ditransformasikan menjadi POJK Syariah.75

3. Analisis intensitas Penggunaan Fatwa-DSN dan KHES di Lingkup


Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Untuk menganalisis lebih lanjut terkait kedudukan dan
penggunaan fatwa DSN dan KHES dalam pertimbangan hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan peneliti mengklasifikasikan
beberapa putusan yang dilansir dari Direktorat Mahkamah Agung
Republik Indonesia76 dengan Keyword Direktori Perdata Agama,
Klasifikasi Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada tahun 2016 hingga 2022 dengan Amar Diterima. Dari 44
keseluruhan putusan yang di upload ditemukan beberapa putusan yang
sesuai kriteria atau keyword peneliti diantaranya sebagai berikut:

Pertimbangan Hakim
No Nomor Perkara KET
Fatwa-DSN KHES KUHPer
1 Putusan No 644/Pdt.G/2016/PA.JS Tidak Ya Ya

74
Bambang Murdadi, Otoritas Jasa Keuangan Pengawasan Lembaga Keuangan Baru
Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan, (Vol. 8, No. 2, Maret 2012-Agustus 2012), h. 32
75
Diakses melalui https://www.ojk.go.id
76
Diakses melalui https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori
50

2 Putusan No 1901/Pdt.G/2016/PA.JS Tidak Ya Ya


3 Putusan No 1151/Pdt.G/2018/PA.JS Ya Ya Ya
4 Putusan No 1957/Pdt.G/2018/PA.JS Tidak Tidak Ya
5 Putusan No 426/Pdt.G/2021/PA.JS Tidak Ya Ya
6 Putusan No 1127/Pdt.G/2022/PA.JS Tidak Tidak Ya

Tabel 4.1
Data Perkara Ekonomi Syariah

Berdasarkan data putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan di


rentan tahun 2016 hingga 2022 diatas, penulis mengelompokan
pertimbangan hakim pada beberapa kelompok pertimbangan putusan
diantaranya: pertama, Pengelompokan pertimbangan hakim yang
menggunakan Fatwa-DSN sebagai rujukan. Kedua, Pengelompokan
pertimbangan hakim yang menggunakan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) sebagai rujukan. Dan ketiga, Pengelompokan
pertimbangan hakim yang menggunakan KUHPer sebagai rujukan.
Dengan menambah keterangan “YA” yang berarti dalam putusannya
hakim menggunakan (Fatwa-DSN/KHES/KUHHPer/Ketiganya)
dalam melakukan pertimbanagannya untuk membuat putusan sengketa
ekonomi syariah begitu pula sebaliknya ditambahkannya keterangan
“TIDAK” yang berarti dalam putusannya hakim tidak menggunakan
(Fatwa-DSN/KHES/KUHHPer/Ketiganya) dalam melakukan
pertimbanagannya untuk membuat putusan sengketa ekonomi
syariah.
Dari pengelompokan data putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan di rentan tahun 2016 hingga 2022 diatas dapat dilihat dari 6
putusan yang amarnya di terima oleh hakim terdapat 5 dari 6 putusan
yang tidak menggunakan fatwa-DSN sebagai rujukan utamanya,
selain itu 2 dari 6 putusan juga tidak menggunakan KHES sebagai
rujukan utamanya dan 2 dari 6 putusan tidak menggunakan keduanya,
51

baik fatwa-DSN maupun KHES sebagai rujukan utamanya. Dengan


demikian intensitas penggunaan Fatwa-DSN di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan masih sangatlah kurang, begitu juga dengan intensitas
penggunaan KHES walaupun 4 dari 6 putusan menggunakan KHES
sebagai rujukan dalam pengambilan putusan, penggunaan KHES dan
Fatwa DSN dalam pertimbangan hakim dalam memutus sengketa
ekonomi syariah di pengadilan agama Jakarta selatan masih relative
rendah.
Dengan data tersebut dapat di simpulkan bahwa intensitas
penggunaan fatwa DSN dan KHES di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan belum maksimal. Walaupun demikian, berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan salah satu hakim sengketa ekonomi
syariah di pengadilan agama Jakarta selatan77, beliau menjelaskan
bahwa menurutnya hakim- hakim di pengadilan agama Jakarta selatan
sudah memberikan pertimbangan yang terbaik dalam menetapkan
landasan hukum sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama
Jakarta Selatan. Para hakim juga bertumpu pada regulasi undang-
undang dan hukum positif pengadilan agama dalam memberikan
sebuah dasar hukum untuk memutus sengketa ekonomi syariah.

4. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Tidak Mengunakan Fatwa


DSN Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Dalam wawancara bersama hakim sengketa agama di pengadilan
agama Jakarta selatan, beliau menjelakan beberapa pendapatnya
mengenai fatwa DSN sebagai regulasi dalam pertimbangannya dalam
memutus perkara ekonomi syariah. Menurutnya78 dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah hakim harus berpegang pada
Fatwa DSN yang merupakan hukum materil yang harus

77
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27
September 2022
78
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27
September 2022
52

dipertimbangkan hakim dalam mengambil keputusan dalam


permasalahan ekonomi syariah, Jika hakim memutuskan suatu perkara
tanpa mempertimbangkan fatwa DSN maka hakim harus mencari
undang-undang lain terlebih dahulu.
Dan Terhadap hakim yang tidak menggunakan Fatwa DSN
menurutnya tidak bisa sembarang mengatakan bahwa hakim itu tidak
menggunakan Fatwa DSN maka hakim tersebut kurang kompeten,
karena bisa saja hakim sudah merasa cukup dengan konsideran yang
ada sehingga hakim tidak perlu pula memuat semua regulasi yang ada
seperti jika dalam kondisi undang-undang atau peraturan lain seperti
KUHPer bisa menjawab permasalahan dalam sebuah sengketa.
faktanya bahwa aturan – aturan hukum yang berlaku pada pengadilan
umum berlaku juga pada pengadilan agama, namun beliau menjelaskan
bahwa alangkah eloknya dalam membuat putusan terkait sengketa
ekonomi syariah mereka tetap menggunakan dan sandingkan dengan
fatwa DSN. Disisi lain hakim juga beranggapan bahwa kedudukan
Fatwa tidaklah mengikat bagi hakim dengan demikian hakim boleh
menggunakan atau tidak menggunakan fatwa.
Selain dengan pasal atau aturan yang dirasa cukup beliau
menuturkan dilain sisi aturan yang ada terhadap suatu sengketa
ekonomi syariah saling berkaitan satu sama lain, junto - junto yang
saling berkaitan dari peraturan yang satu dengan peraturan yang lain
artinya ada beberapa aturan berbeda yang mengatur satu persoalaan
dalam hal ini sengketa ekonomi syariah. Beliau memberikan contoh
jika terjadi sengketa Asuransi syariah, ada beberapa aturan yang
mengatur tentang asuransi seperti Peraturan OJK, fatwa DSN, KHES,
KUHPer dan Hukum Dagang. Namun dalam membuat pertimbangan
putusan alangkah lebih baik jika hakim mengatur dan menggunakan
junto dari peraturan yang satu dengan peraturan lain yang berkaitan.
Tetapi jika hakim hanya mengambil beberapa peraturan dari
53

keseluruhan peraturan yang ada dan sudah menjawab keseluruhan


maka sudah dirasa cukup.
Akan tetapi jika melihat dari sengketa yang telah diputus oleh
hakim di pengadilan agama Jakarta Selatan, menurut data putusan
yang diunggah pada website Mahkamah Agung terdapat beberapa
putusan yang alangkah baiknya merujuk pada Fatwa DSN salah
satunya adalah sengketa dengan Putusan No 1127/Pdt.G/2022/PA.JS,
sengketa ini merupakan sengketa ekonomi syariah dengan penggugat
adalah PT Bank Syariah Indonesia Tbk dan Tergugat Tri Sulistiowarni,
S.H. duduk perkara dari sengketa ini adalah tergugat tidak
melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian, fasilitas – fasilitas
pembiayaan yang telah diberikan oleh penggugat kepada tergugat
melahirkan kewajiban bagi tergugat untuk memenuhi seluruh
kewajibannya secara tepat waktu, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh
tergugat dan disepakati bersama dalam akta-akta perjanjian. Dalam
kasus ini penggugat dan tergugat melakukan akad Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ) untuk tujuan refinancing rumah, dengan nilai
penyertaan awal/syirkah Bank in casu sebesar Rp. 620.000.000,-
(enam ratus dua puluh juta Rupiah) serta fasilitas pembiayaan sebesar
RP. 2.880.000.000,- ( dua miliah delapan ratus delapan puluh juta
rupiah) sebagai harga jual dari
1) Harga beli sebesar Rp. 4.804.100.000,- (empat miliar delapan
ratus empat juta seratus ribu rupiah);
2) Margin sebesar Rp. 1.783.029.493,85 (satu miliar tujuh ratus
delapan puluhtiga juta dua puluh Sembilan ribu empat ratus
Sembilan puluh tiga rupiah koma delapan puluh lima sen);
3) Harga jual adalah sebesar Rp. 6.587.129.493,85 (enam miliar
lima ratus delapan puluh tujuh juta seratus dua puluh Sembilan
ribu empat ratus Sembilan puluh tiga rupiah koma delapan puluh
lima sen);
54

4) Uang muka adalah sebesar Rp. 1.924.100.000,- (satu miliar


Sembilan ratus dua puluh empat juta seratus ribu rupiah);
5) Angsuran di tangguhkan adalah sebesar Rp. 4.663.029.793,85
(empat miliar enam ratus enam puluh tiga juta dua puluh
Sembilan ribu tujuh ratus Sembilan puluh tiga rupiah koma
delapan puluh lima sen);
6) Angsuran bilan 1 sampai dengan 24 sebesar Rp. 45.801.370,16
(empat puluh lima juta delapan ratus satu ribu tiga ratus tujuh
puluh rupiah koma enam belas sen);
7) Angsuran bulan 25 sampai dengan 60 sebesar Rp. 48. 800.472,67
(empat puluh delapan juta delapan ratus ribu empat ratus tujuh
puluh dua rupiah koma enam puluh tujuh sen), dan
8) Angsuran bulan 61 sampai dengan 96 sebesar Rp. 50.193.877,61 (
lima puluhh juta seratus Sembilan puluh tiga ribu delapan ratus
tujuh puluh tujuh rupiah koma enam puluh satu sen).
Dan jaminan berupa benda dengan obyek sebidang tanah dan
segala sesuatu yang berdiri di atasnya yang terletak di Jl. Kana Lestari
No. j/15 RT/RW 004/004, Lebak Bulus Jakarta Selatan dengan luas
tanah 250 m2 dan luas bangunan 300 m2 berdasarkan Sertifikat Hak
Milik No. 5533/Lebak Bulus selain itu nasabah in casu juga
memberikan jaminan benda bergerak berupa dana yang ada di
rekening tabungan tergugat.
Pada tanggal 19 Desember 2017, penggugat dan tergugat
bersama- sama telahh melakukan penanda tanganan akta- akta notaris
terhadap akta berikut:
1) Akta Perjanjian Pinjaman Untuk Tujuan Pelunasan Kewajiban
Dan Pembiayaan Untuk Pengadaan Barang No. 06 Tanggal 19
Desember 2017;
2) Akta Perjanjian Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Musyarakah
Mutanaqisah Untuk Refinancing No. 07 Tanggal 19 Desember
2017;
55

3) Akta Pernyataan Sertifikat Pemeriksaan Dan Kesesuain No 08


Tanggal 19 Desember 2017;
4) Akta Akad Sewa (Ijarah) No. 09 Tanggal 19 Desember 2017;
5) Akta kuasa Jual No 10 Tanggal 19 Desember 2017;
6) Akta Perjanjian Penunjukan Agen Jasa Pemeliharaan No 11
Tanggal 19 Desember 2017.
Berdasarkan data ini bahwa perjanjian dalam sengketa ini
memiliki banyak akta-akta yang memuaat berbagai macam akad yang
disepakati dalam pembiayaan ini, terlebih sengketa ini melibatkan
Bank Syariah maka pada sengketa ini haruslah mengacu pada
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
selain itu akad-akad pada perjanjian ini secara jelas dan rinci diatur
dalam fatwa – fatwa DSN seperti Fatwa DSN No 73/DSN-
MUI/XI/2008 yang mengatur tentang Musyarakah Mutanaqisah,
Fatwa DSN No 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah, dan Fatwa DSN No 114/DSN-MUI/IX/2017 tentang
Syirkah. Dalam akta no 06 terdapat 3 ( tiga) prinsip syariah yang
digunakan yaitu akad Al-Qardh, akad Al-Bai‟ dan akad pembiayaan
berdasarkan prinsip murabahah maka hakim dalam pertimbanganya
juga merujuk pada fatwa DSN No 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-
Qardh, Fatwa No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Jual Beli, Fatwa
DSN No 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad Jual Beli Murabahah,
Fatwa DSN No 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali
Tagihan Murabahah, Fatwa No 47/DSN-MUI/II/2005 tentang
Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah tidak mampu bayar,
Fatwa DSN No 46/DSN-MUI /II/2005 tentang Potongan Tagihan
Murabahah, Fatwa DSN No 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan
Pelunasan dalam Murabahah, Fatwa DSN No 16/DSN-MUI/IX/2000
tentang Diskon dalam Murabahah, juga pada akta no 09 yang
membahas mengenai akad sewa maka hakim juga dapat merujuk pada
Fatwa DSN No 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah dan
56

Fatwa DSN No 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.


Selainitu juga dalamkasus ini hakim dapat merujuk pada Fatwa DSN
No 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentangganti Rugi, Fatwa DSN No
129/DSN-MUI/VII/2019 tentang Biaya Rilll Sebagai Ta‟widh Akibat
Wanprestasi. Sebagaimana Positivisasi fatwa ke dalam Peraturan
Bank Indonesia dilandaskan pada Pasal 26 ayat (3) UU Perbankan
Syariah yang menyatakan bahwa fatwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 26 ayat (3)
Undang-undang Perbankan Syariah, menentukan bahwa dalam
penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.
Komite inilah yang kemudian menyusun Peraturan Bank Indonesia
berangkat dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.

5. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Tidak Mengunakan KHES


Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Berdasarkan data intensitas penggunaan KHES diatas dapat dilihat
jika penggunaan KHES masih kurang maksimal, adapun pendapat
hakim Abdul Aziz dalam wawancaranya menyatakan bahwa segala
sesuatu mengenai hukum materil di pengadilan agama sudah jelas
adanya, berbicara mengenai sengketa ekonomi syariah hukum
materilnya berada di KHES, Fatwa DSN, OJK, Hukum Dagang,
KUHPer dan lainnya. Jika hakim tidak tidak menggunakan hukum
materil yang ada maka menurutnya itu tidak bisa diungkapkan dengan
kata, karena hukum materil yang ada di pengadilan agama sudah
dengan jelas diajarkan. Terkait dengan KHES tuturnya bahwa KHES
adalah kitab suci pengadilan agama dalam bidang ekonomi syariah,
KHES diambil dari intisari Al-Quran, Hadist, Kitab Fikih, Fatwa,
Pendapat Fuqaha dan Para Pakar Ekonomi Islam.
Adapun jika terdapat hakim yang tidak mempedomani KHES
menurutnya dapat membuat masyarakat sebagai pencari keadilan
57

menjadi bingung dan dapat memicu terjadinya disparitas terhadap


sebuah putusan karena ketidak konsistenan hakim dalam membuat
sebuah putusan. Namun beliau melanjutkan bahwa pada akhirnya apa
yang hakim lihat dalam menyelesaikan sebuah perkara akan berbeda
dengan masyarakat, mahasiswa dan para pembaca lihat dalam
menyikapi sebuah persoalan. Fakta lain bahwa para hakim sengketa
ekonomi syariah sudah dibekali dengan diklat-diklat ekonomi syariah,
maka agak naïf jika hakim tidak menggunakan itu, tuturnya.

B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Terkait


Sengketa Ekonomi Syariah Pada Tahun 2016-2022 Yang
Menggunakan Fatwa DSN Dan KHES Sebagai Rujukan Utama.
1. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Mengunakan Fatwa DSN
Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.
Kedudukan Fatwa DSN MUI berbeda dengan kedudukan fatwa
pada umumnya, jika kedudukan fatwa hanya sebagai opsional hukum
maka Fatwa DSN memiliki kekuatan hukum yang mengikat
berdasarkan Undang- Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah. Fatwa juga menjadi sumber hukum materil hakim Peradilan
Agama dalam membuatt putusan. kedudukan fatwa DSN-MUI
merupakan landasan formal yang memiliki kekuatan mengikat bagi
para pelaku lembaga keuangan syariah, Fatwa DSN-MUI digunakan
sebagai otoritas dalam perbankan syariah. Ini menyiratkan bahwa
semua produk perbankan syariah harus mematuhi aturan dan nilai-nilai
syariah.
Sebagaimana Rosalia mengungkapkan79 pasca Undang-
Undang Perbankan Syariah diundangkan, BI telah menerbitkan
sejumlah peraturan terkait perbankan syariah. yang di dalam
pembentukan peraturan hingga terbitnya melibatkan Komite Perbankan

79
Rosalia di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari
RuanSidang Pleno MK, Jakarta. Diakses pada https://www.mkri.id
58

Syariah dan DSN-MUI untuk memutuskan tentang materi yang akan


dituangkan dalam peraturan BI tersebut. Selain itu dalam
pelaksanaannya lembaga keuangan syariah sangatlah bergantung pada
Dewan Syariah Nasional seperti diharuskan adanya Dewan Pengawas
Syariah (DPS) sebagaimana diatur dalam Peraturan DSN-MUI No.
PER-01/DSN-MUI/X/2017 tentang Dewan Pengawas Syariah (DPS) di
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Hal demikian memperkuat
kedudukan Fatwa DSN menjadi rujukan dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah.
Menurut Abdul Aziz80, Fatwa DSN digunakan untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sepanjang berkaitan dengan
permasalahan yang dikemukakan, selain itu dalam prosesnya hakim
sebagai pengawal keadilan harus mencari hukum dengan sebaik-
baiknya melibatkan aturan-aturan yang berlaku dan memutus dengan
seadil-adilnya. Aturan yang merujuk pada kedudukan Fatwa DSN
dalam sistem hukum nasional juga membuat peran fatwa sebagai
rujukan dan menjadi pertimbangan dalam memutus haruslah
diutamakan sepanjang itu berkaitan dengan sengketa yang disidangkan.

2. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Mengunakan KHES Dalam


Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Bahwa berdasarkan Perma No 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah memuat bahwa untuk kelancaran
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah sebagaimana
dimaksud Pasal 49 huruf i beserta Penjelasan, Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari'ah Negara, Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari'ah, perlu
dibuat pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip

80
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27
September 2022
59

syari'ah maka Mahkamah Agung dirasa perlu menetapkan Peraturan


Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah. Dalam Pasal 1 Ayat 1 Perma No 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Ekonomi Syariahh juga menjelaskan bahwa Hakim
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,
mengadili dan _ menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan
ekonomi syari'ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang disebut KHES ini
menjadi pedoman para hakim di dalam lingkup peradilan agama dalam
menemukan hukum, menjawab persoalan dan memberikan solusi yang
paling efektif untuk sengketa ekonomi syariah. Menurut Abdul Aziz81
dalam wawancaranya menyampaikan bahwa penggunaan KHES
sebagai hukum materil dalam lingkungan Peradilan Agama jelas
adanya, aturan-aturan yang sudah di pilah dan bersumber dari intisari
Al-Quran, Hadist, Kitab Fikih, Fatwa, Pendapat Fuqaha dan Para Pakar
Ekonomi Islam yang kemudian di satukan dalam buku kitab pedoman
yang diberi nama Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, seluruh hakim
yang akan mengadili sengketa ekonomi syariah sudah dibekali ilmu-
ilmu penyelesaian sengketa ekonomi syariah maka sudah sepatutnya
dan seharusnya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah para
hakim melibatkan KHES sebagai rujukan utamanya.

3. Pendapat Hakim Terhadap Kedudukan Fatwa DSN dan KHES


Dalam Sistem Hukum Nasional.
Kedudukan Fatwa DSN dan KHES dalam sistem hukum nasional
memang tidak tercantum dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan namun kedudukan keduanya bisa dilihat pada pasal

81
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27 September
2022
60

setelahnya yaitu pada pasal 8 Undang-Undang No.12 Tahun 2011


Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kedudukan
Perma dibawah undang-undang dan sederajat dengan PP, Meskipun
demikian ketentuan dalam Undang – Undang No 12 tahun 2011 pasal
8 ayat (2) ini, tidak lantas memberikan Mahkamah Agung kewenangan
untuk membentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana
lembaga legislatif yang berlaku umum, tetapi Mahkamah Agung hanya
berwenang untuk membentuk peraturan yang mengikat ke dalam
(interne regelling). Dengan demikian, Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) tidak termasuk pada peraturan perundang-undangan, tetapi
termasuk peraturan perundang-undangan semu atau (pseoude
wetgeving/beleidsgerels).
Menanggapi terkait kedudukan Fatwa DSN di dalam sistem hukum
nasional, Abdul Azis82 selaku hakim sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat bahwa melihat
kedudukan dan keadaan Fatwa yang sekarang beliau mempunyai
harapan agar Fatwa-fatwa yang dikeluarkan majelis Ulama Indonesia
atau Fatwa DSN –MUI dapat di jadikan Undang-Undang atau
setidaknya Peraturan Pemerintah. Karena menurutnya mendengar kata
fatwa hal yang terlintas adalah sebuah peraturan yang tidak mengikat
jadi boleh di pedomani boleh tidak, jadi jika para pembaca melihat
atau membaca putusan yang tidak menggunakan fatwa maka kembali
melihat asas fatwa yang tidak mengikat. Berbeda dengan kedudukan
Perma yang sudah jelas mengikat hakim dalam membuat putusan
sengketa ekonomi syariah maka kembali lagi bahwa sudah seharusnya
hakim menggunakan KHES dalam pertimbangan putusan di dalam
sengketa ekonomi syariah.

82
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27 September
2022
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang peneliti lakukan pada


putusan sengketa ekonomi syariahh di Pengadilan Agama Jakarta Selamat,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan data yang peneliti dapat memalui website Mahkamah
Agung peneliti menemukan putusan sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang belum menggunakan Fatwa
DSN dan KHES sebagai rujukannya dalam membuat putusan. Dari
pengelompokan data putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan di
rentan tahun 2016 hingga 2022 dari 6 putusan yang amarnya di terima
oleh hakim terdapat 5 dari 6 putusan yang tidak menggunakan fatwa-
DSN sebagai rujukan utamanya, selain itu 2 dari 6 putusan juga tidak
menggunakan KHES sebagai rujukan utamanya dan 2 dari 6 putusan
tidak menggunakan keduanya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti
dengan salah satu hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, alasan
hakim tidak menggunakan Fatwa DSN dan KHES dalam pertimbangan
putusannya adalah karena hakim sudah merasa cukup dengan
konsideran yang ada sehingga hakim tidak perlu pula memuat semua
regulasi yang ada seperti jika dalam kondisi undang-undang atau
peraturan lain seperti KUHPer bisa menjawab permasalahan dalam
sebuah sengketa, faktanya bahwa aturan – aturan hukum yang berlaku
pada pengadilan umum berlaku juga pada pengadilan agama.
2. Fatwa DSN dan KHES digunakan untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah sepanjang berkaitan dengan permasalahan yang
dikemukakan, selain itu dalam prosesnya hakim sebagai pengawal
keadilan harus mencari hukum dengan sebaik-baiknya melibatkan
aturan-aturan yang berlaku dan memutus dengan seadil-adilnya. Selain
itu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang disebut KHES ini

61
62

berdasarkan Perma No 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Ekonomi


Syariah, menjadi pedoman para hakim di dalam lingkup peradilan
agama dalam menemukan hukum, menjawab persoalan dan
memberikan solusi yang paling efektif untuk sengketa ekonomi
syariah.

B. SARAN
Berdasarkan hasil analisis, pembahasan dan uraian kesimpulan
diatas, peneliti memberi saran sebagai berikut:
1. Dalam membuat putusan terhadap sengketa ekonomi syariah
sebaiknya hakim sebagai pengawal keadilan menggunakan Fatwa DSN
dan KHES dalam membuat putusan mengingat peran Fatwa DSN dan
KHES di lingkungan ekonomi syariah telah menjadi peran inti dalam
menciptakan regulasi- regulasi agar ekonomi syariah tegak dan tetap
pada prinsip-prinsip syariah. Selain itu penggunaan Fatwa DSN dan
KHES juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya Disparitas
terhadap putusan – putusan karena penggunaan dasar pertimbangan
hakim yang berbeda dalam membuat putusan.
2. Pemerintah dapat meliat peran Fatwa DSN dalam pengaruhnya di
lingkungan ekonomi syariah. Menyadari kedudukan dan keadaan
Fatwa yang sekarang peneliti berharap agar Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat di jadikan Undang-Undang secara
khusus.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
QS Al-Maidah Ayat 66
QS Al- Hujarat Ayat
49
Buku dan Karya Tulis Ilmiah
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan
Hukum Umum, Jakarta: Gama Media, 2003.
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law,
Common Law, Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006,
Cet. Kedua.
Agus Satory, Hotma Pardomuan Sibuea, “Problematika Kedudukan Dan
Pengujian Peraturan Mahkamah Agung Secara Materiil Sebagai
Peraturan Perundang-Undangan”, PALAR (Pakuan Law Review)
Volume 06, Nomor 01 Januari, 2020.
Ahmad Badrut Tamam, “Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Mui)
Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (Dsn) Dalam Sistem Hukum
Indonesia”, Al-Musthofa: Journal Of Sharia Economics, Volume 4
Nomor 29, Lamongan, 2021.
Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah Memahami Bank Syariah dengan
Mudah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia Jakarta: Gama
Media, 2001.
Asshiddiqie,Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, Theory Hans KelsenTentang Hukum,
Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006,Cet. Pertama.
Astika Nurul Hidayah, Kedudukan Fatwa Ulama Dalam Sistem Hukum
Nasional Sebagai Landasan Operasional Bank Syaria,Purwokerto:
Universitas Muhamadiyah Purwokerto, 2019
Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011, Cet Pertama.

63
64

Bambang Murdadi, Otoritas Jasa Keuangan Pengawasan Lembaga Keuangan


Baru Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan, Vol. 8, No. 2, Maret
2012-Agustus 2012.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Semarang:
Pustaka Magister, 2011.
Darmini, Gokma,”Teori Positivisme Hans Kelsen Mempengaruhi
Perkembangan Hukum di Indonesia”, Lex Jurnalica Volume 18
Nomor 1, April 2021.
Edi Hudiata, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah : Pasca Putusan MK
Nomor 93/PUU-X/2012 : Litigasi Dan Nonlitigasi.
Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius: Yogyakarta,1998.
Ghofur, Abdul, Pengantar Ekonomi Syariah: Konsep Dasar, Paradigma,
pengembangan ekonomi syariah, Raja Grafindo Persada, 2018.
Halimatus, Lailatul, Mukti dan Erie, “Sejarah dan Kedudukan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah dalam Peraturan Mahkamah AgungNomor
2 Tahun 2008 di Indonesia”, Al -Huquq: Journal of Indonesian
Islamic Economic Law, 2021.
Hendi Suhendi, Fikih Muamalat, Raja Grafindo, Jakarta, 2002.
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Ekonosia, 2004.
Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shâdir, t.th.).
Ika Atikah, “Eksistensi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Sebagai
Pedoman Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah Di
Pengadilan Agama”, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Muamalatika,
Vol .9, 2017.
Islamiyati, “KritikFilsafat Hukum positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan
Hukum Yang Berkeadilan”, Law & Justice Journal, Vol 1, No 1,
2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa)
65

Kelsen,Hans, General Theory of Law and State, Translated byAnders


Wedberg, USA: Harvard University Printing Office Cambridge,
Massachusetts, 2009.
Khaled M. Abou El Fadl, “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority,
and Women”, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin , Atas
Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2004, Cet. Pertama.
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997.
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, Cet. Pertama.
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas: Jakarta,2008.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004, Cetakan, Kelima.
Musthofa, Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama Jakarta: Kencana, 2005.
Nafis, M Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah Jakarta: UI-Press, 2011
Ni‟matul Huda, Negara Hukum demokrasi dan judicial Review, Yogyakarta:
UII Press, 2005, Cet Pertama.
Nur Afni Octavia, “Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum
Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah” Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sunan
Gunung Djati Bandung, 2017.
Otoritas jasa Keuangan (OJK), laporan perkembangan keuangan syariah
Indonesia tahun 2020 Jakarta: OJK, 2010.
Pius A. Purtanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Popule, Arkola:
Surabaya, 1994.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta,
Jakarta, 2003.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2012.
66

Rohadi Abdul fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Buku
Aksara, Jakarta, 2006.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama Jakarta: PT. Rajawali
Press, 2006.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), Bandung: PT. Al-Ma‟arif,
1997.
Shafira Azzahhara Apkar,” Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia Sebagai Sumber Hukum Dalam Perspektif
Hukum Positif Dan Hukum Islam” Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negri sultan Thaha Saifuddin, 2021.
Shohibul Itmam, Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia, Ponorogo: STAIN
Po Press, 2015.
Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Prasada,
Jakarta, 2001.
Sofyan, “Posisi Fatwa Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam”, Jurnal Al-
Ulum , 2010.
Sudikno Mertokususmo, Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta:
Liberty, 1988.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek
Hukumnya Jakarta: PT Jakarta Agung Offset, 2010.
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(Diterbitkan oleh Badan Litbang Dan Diklat Kementrian
Agama RI)
Yoyok prasetyo, Ekonomi Syariah Aria Mandiri Group :2011.
Yusridi, Bahan Kuliah Teori Hukum MIH Fakultas Hukum
UNDIP Semarang, tanggal 14 November 2014.

Undang-Undang, PERMA dan Peraturan Lainnya


Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.
67

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.

Website
Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id
diakses 10 September 2022 Pukul 21.00 WIB.
Dewan Syariah Nasiona lndonesia - Majelis Ulama Indonesia, “Sekilas
tentang DSN-MUI”, Diakses melalui https://dsnmui.or.id pada 10,
September 2022 pukul 16.00 WIB.
Mahkamah Agung, “Putusan Ekonomi Syariah Pengadilan Agama Jakarta
Selatan” Diakses melalui https://putusan3.mahkamahagung.go.id
pada Minggu 7 Agustus2022 Pukul 23.00 WIB.
Majelis Ulama Indonesia, “Sejarah MUI”, https://mui.or.id diakses pada
Minggu 21 November 2021 pukul 16.04 WIB.
Otoritas Jasa Keuangan “Fatwa DSN-MUI”, Diakses melalui
https://www.ojk.go.id pada senin, 24 Oktober pukul 01.08 WIB.
68

Pengadilan Agama Jakarta Selatan “Tugas dan Fungsi”, Dilansir dari


https://www.pa-jakartaselatan.go.id diakses pada Minggu 21
November 2021 pukul 15.25.WIB.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan “Visi dan Misi”, Dilansir dari
https://www.pa-jakartaselatan.go.id diakses pada Minggu 21
November 2021 pukul 15.00 WIB.
Rosalia di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari
Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Diakses pada https://www.mkri.id
diakses pada Jumat, 14 Oktober 2022 pukul 01.23 WIB.

Wawancara
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi,
Jakarta, 27 September 2022.

Anda mungkin juga menyukai