Anda di halaman 1dari 43

1

SEJARAH PERKEMBANGAN
PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A.SEJARAH SINGKAT JAKARTA
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan

B.PENGADILAN AGAMA JAKARTA 


Bermula dari surat ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda tanggal 12 Maret 1828  Nomor 17, khusus untuk Batavia dibentuk
satu majlis distrik yang berwenang menyelesaikan semua sengketa keagamaan, soal perkawinan dan warisan. Memang sangat
mungkin pengadilan agama sudah ada jauh sebelum itu, namun pengakuan pertama secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda
adalah pada tahun 1828 tersebut. Majlis distrik ini dipimpin oleh Komandan distrik sebagai Ketua dibantu oleh para Penghulu dan
Kepala Wilayah sebagai anggota.
Majlis Distrik ini pulalah yang menandai awal berdirinya pengadilan agama Jakarta sebagai badan peradilan yang terkait dan berada
dalam sistem pemerintahan dan ketata-negaraan secara formal dengan yurisdiksi meliputi seluruh wilayah Batavia, Meester
Cornelis (Jatinegara), Bekasi, dan Cikarang.  
Pada masa-masa ini Keberadaan dan kewenangan Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Batavia berada dalam ketidak
pastian karena masih saja dipersoalkan oleh para politisi dan ahli hukum Belanda tentang perlu dan tidaknya untuk dipertahankan.
Atas perjuangan para penghulu dan ulama, maka pada tanggal 19 Januari 1882 Raja Williem II mengeluarkan Konninklijk Besluit
(Keputusan Raja Belanda) nomor 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dinyatakan berlaku sejak dimuat dalam Staatsblad 1882 nomor
152 tanggal 1 Agustus 1882 yang dalam pasal 1 menegaskan bahwa disamping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan
Madura diadakan satu Raad Agama dengan susunan sebagaimana pasal 2 yang menyatakan bahwa Raad Agama terdiri dari para
Penghulu yang diperbantukan kepada Landraad sebagai ketua dan ulama Islam sebagai anggota. 
Dengan demikian untuk Batavia Pengadilan Agama yang tahun 1828 berbentuk majlis distrik yang diketuai oleh komandan distrik,
maka pada tahun 1882 telah berubah menjadi Pengadilan agama versi Stb 1882 nomor 152 yang dipimpin oleh seorang penghulu
sebagai hakim dan Presiden Raad Agama dengan didampingi oleh para ulama sebagai anggota.  
      RAAD AGAMA MEESTER CORNELIS
Di mana persisnya letak kantor Pengadilan Agama Jakarta, sejak awal-awal didirikan, sampai saat ini belum ada informasi yang pasti.
Yang jelas bahwa sampai tahun 1942 sebagaimana dokumen yang tersimpan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, nama Pengadilan
Agama Jakarta menggunakan nama Raad Agama Meester Cornelis. Dari dokumen ini dapat diperoleh informasi pula bahwa
yurisdiksi Raad Agama Meester Cornelis meliputi Kota Praja Meester Cornelis yang mewilayahi kawedanan Meester Cornelis
sendiri, kawedanan Kebayoran, Kawedanan Bekasi dan Kawedanan Cikarang serta seluruh wilayah Kota Praja Batavia. 
Raad Agama di Meester Cornelis, dengan demikian merupakan raad agama untuk dua wilayah kota Praja, yakni kota praja Batavia
dan kota praja Meester Cornelis sendiri yang status kota prajanya baru diresmikan pada tahun 1905 oleh Gubernur jendral di Batavia,
hingga kotapraja Meester Cornelis ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten pada tahun 1924 dan dicabut kembali status tersebut
untuk kemudian digabung menjadi satu dengan Batavia  pada 1 Januari 1936. Jadi pengadilan agama jakarta adalah Raad Agama di
Meester Cornelis. 
Pada saat kekuasaan atas Batavia diambil alih oleh kolonial bala tentara Dai Nippon pada tahun 1942, oleh Jepang nama Batavia
diganti dengan nama Jakarta dan nama Meester Cornelis dikembalikan kepada nama Jatinegara sekaligus merubah status Meester
Cornelis menjadi Siku atau Kawedanan bersama-sama dengan pembentukan Kawedanan Penjaringan, Kawedanan Mangga Besar,
Kawedanan Tanjung Priuk, Kawedanan Tanah Abang, Kawedanan Gambir dan Kawedanan Pasar Senen. Kemudian berdasarkan UU
2
yang diterbitkan oleh Bala Tentara Jepang Nomor 14 tahun 1942, nama Raad Agama Meester Cornelis secara formal diubah menjadi
Sooryo Hooin Jakarta (rapat agama Jakarta), meskipun di tengah-tengah masyarakat sebutan Sooryo Hooin sebagai ganti Raad
Agama belum sempat dikenal secara meluas. 
      PERUBAHAN NAMA PENGADILAN AGAMA JAKARTA
Nama Pengadilan Agama Jakarta dalam bentuknya yang pertama sebelum masuknya kekuasaan VOC belum diketahui hingga kini,
mungkin karena bentuknya yang sangat sederhana atau mungkin masih mengikuti nama pengadilan surambi sebagai mana sebutannya
dipusat pemerintahan kesultanan Demak dan Mataram tatkala Jakarta masih bernama Jayakarta atau telah bernama Pengadilan
Agama sebagaimana hasil penelitian Departemen Agama bahwa  pada abad ke 17 di Jawa Barat ternyata telah ada pengadilan dengan
nama Pengadilan Agama. Untuk Jakarta yang selalu menjadi Ibu kota sejak berada di dawah kekuasaan Kolonial Belanda, nama
Pengadilan Agama telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan nama Jakarta sebagai Ibukota sebagai berikut:
1.  Sebelum tahun 1828 belum diketahui namanya secara resmi
2.  Pada tahun 1828 sampai dengan1882 bernama Majlis Distrik.
3.  Pada tahun 1882 sampai dengan tahun 1942 bernama Priesterraad atau Penghoeloegerecht atau Raad Agama berkedudukan di
Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta Timur
4.  Pada tahun 1942 sampai dengan 1945 bernama Sooryo Hooin Jakarta, berkedudukan di Jl Bekasi Timur no. 76, Jatinegara, Jakarta
Timur
5.  Pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1959 bernama Pengadilan Agama Kota Jakarta, berkedudukan di Kramat Pulo, Gg. H.
Minan, Senen, Jakarta Pusat (1945 – 1957), kemudian pindah kedudukannya di Jl. Kemakmuran no.24, Jakarta Pusat(1957 – 1959)
6.  Pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1966 bernama Pengadilan Agama Istimewa Jakarta berkedudukan di Bidara Cina, no. 64,
Kec. Jatinegara, Jakarta Timur
7.  Pada tanggal 17 Januari 1967 dengan Keputusan Menteri Agama No. 4 tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967, bernama
Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya dan sekaligus sebagai Pengadilan Agama Jakarta Pusat, berkedudukan di Jl. KH. Mas Mansyur, Gg. H.
Awaludin II/2 Tanah Abang, Jakarta Pusat dengan yurisdiksi khusus untuk  wilayah Jakarta Pusat dan sebagai Pengadilan induk bagi
4 kantor cabang Pengadilan Agama dengan wilayah yurisdiksi meliputi wilayah administratif masing yakni:
1.  Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara;
2.  Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur;
3.  Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan; dan
4.  Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat. 
C.TANGGAL DAN SURAT KEPUTUSAN PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Pada awalnya, dahulu,  Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Majlis Distrik sebagaimana nama awal pada saat didirikan oleh
Kolonial Belanda pada tahun 1828 yang kemudian bernama Priesterraad atau Penghoeloe gerecht atau Raad Agama berdasarkan stb
1882 No. 152. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang merupakan penerus dan pelanjut bagi Pengadilan Agama  Jakarta
sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 4 tahun 1967, maka sejak tanggal 17 Januari 1967 Pengadilan
Agama Jakarta Pusat bernama Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya sebagai pengadilan induk yang
memiliki empat kantor cabang Pengadilan. Oleh karena Majlis Distrik didirikan berdasarkan Ketetapan Komisaris Jendral Hindia
Belanda No. 17 tanggal 12 Maret 1828, maka selayaknya tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari Kelahiran Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
Adapun para tokoh yang pernah memimpin Pengadilan Agama Jakarta sebelum kemerdekaan sampai saat ini yang dapat diketahui
adalah Presiden Raad Agama periode 1920 sampai dengan 1946, yakni: KH. Abdul Aziz dan KH. Abdul Mutholib dengan hakim-
hakim anggota terdiri dari: KH. Muhammad Enceng, KH. Muhammad, KH. Abdul Halim, dan KH. Abdullah. Kedua Presiden
3
(Ketua) Raad Agama dan para hakim Agama tersebut sampai saat ini belum diketahui identitas lengkap dan riwayat hidupnya. Oleh
karena itu kepada siapapun yang mengetahui dapat kiranya menyampaikan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk diabadikan
dalam tulisan ini.1

Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta pusat

Tugas Pokok

Tugas pokok Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

Perkawinan,
Waris,
Wasiat,
Hibah,
Wakaf,
Zakat,
Infaq,
Shadaqah,
Ekonomi syari’ah.
Fungsi.

Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta Pusat mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009).

Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah
jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan,
kepegawaian, dan pembangunan. (vide : Pasal 53 ayat (1, 2, 4 dan 5) Undang-undang Nomor No. 50 Tahun 2009 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).

Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,
Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1, 2, 4 dan 5) Undang-undang Nomor No. 50 Tahun 2009) dan terhadap pelaksanaan administrasi
umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta. (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 50 Tahun 2009).
Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,

1
https://pa-jakartapusat.go.id/sejarah-pengadilan/ diakses npada 17 Juli 2023 jam 15.10 WIB
4
keuangan, dan umum/perlengakapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

Fungsi Lainnya :
Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti Kemenag, MUI, Ormas
Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).

Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan sebagai pengganti Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor: 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan.

VISI
“MENDUKUNG TERWUJUDNYA PERADILAN YANG AGUNG DAN BERWIBAWA PADA PENGADILAN AGAMA
JAKARTA PUSAT”
M I S I
1. MEWUJUDKAN PERADILAN YANG SEDERHANA, CEPAT, BIAYA RINGAN, DAN TRANSPARAN

2. MELAKSANAKAN TERTIB ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN PERADILAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

3. MENGUPAYAKAN TERSEDIANYA SARANA DAN PRASARANA PERADILAN SESUAI DENGAN KETENTUAN YANG
BERLAKU

Struktur organisasi:
Dalam pembuatan struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kera Kepaniteraan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, KMA Nomor 5 Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan, dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan. Berikut
struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta pusat
5
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan


2. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama mendefinisikan bawa Peradilan Agama
adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam dan Pengadilan
adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan
peradilan agama.62
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi
yang melaksanakan tugasnya, memiliki dasar hukum dan landasan kerja
sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;
b. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan
Kehakiman;
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan
Agama;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
f. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
g. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama;
h. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963.

62
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

31
32

Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya


terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang, yaitu: Kantor
cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara, Kantor Pengadilan Agama
Jakarta Tengah, dan Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai
induk. Semua Pengadilan Agama tersebut termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah
berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember
1976, semua Pengadilan Agama di Provinsi Jawa Barat termasuk
Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya
berada dalam wilayah Hukum Mahkamah Islam TInggi Cabang
Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam
Tinggi menjadi Pengaidlan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61
Tahun 1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah ke Jakarta,
akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987
dan secara otomatis WIlayah Hukum Pengadilan Agama di Wilayah
DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta
Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta,
yang ketika itu pada tahun 1967 merupakan cabang di Pengadilan
agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya
Jakarta Timur.
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya
pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang
wilayahnya cukup luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan
darurat yaitu menempati gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu
di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang
Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar Siregar, S.H.
33

Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraianm kalaupun ada


tentang warisan, masuk kepada komparisi. itupun dimulai pada tahun
1969, kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin
oleh Bismar Siregar, S.H.
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dipindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan
dengan menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan
kantor cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag
Jakarta Selatan yang waktu itu dijabat pula Drs. H. Muhdi Yasin.
Keadaan penempatan kantor di serambi Masjid tersebut, bertahan
hingga tahun 1979. Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru
Pengadilan Agama Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah
Agung RI.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan
representatif tersebut, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan
pembenahan dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap
pencari keadilan maupun dalam hal peningkatan TI (Teknologi
Informasi) yang sudah semakin canggih disertai dengan aplikasi-
aplikasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti aplikasi
SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama)
yang sudah berjalan, sistem informasi manidiri dengan layar sentuh
(touchscreen), serta situs web "http://www.pa-jakartaselatan.go.id".

3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2)63 bahwa Peadilan Agama
merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di abwah
Mahkamah agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer,

63
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
34

merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman


untuk menyelenggerakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari
keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.64
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
meyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah sebagaimana diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UNdang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Di samping tugas pokok dimaksud diatas, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
a. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal
49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).
b. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah
jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi
peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan,
kepegawaian, dan pembangunan (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-
undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
c. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,
Panitera Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah
jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 3
Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum

64
https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/tugas-dan-fungsi.html
35

kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA


Nomor KMA/080/VIII/2006).
d. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat
tentang hukum islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006).
e. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi
peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum
(kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengkapan) (vide: KMA
Nomor KMA/080/VIII/2006).
f. Fungsi lainnya:
1) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan
rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI,
Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006).
2) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi
peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

4. Bagan Struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan


Dalam pembuatan struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mengacu pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
KMA/004/II/92 tentang organisasi dan Tata Kera Kepaniteraan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, KMA Nomor 5
Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi Peradilan, dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan. Berikut struktur
organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan:
36

(Gambar 3.1)
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM
DALAM MENGADILI SENGKETA EKONOMI
SYARIAH

A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Terkait


Sengketa Ekonomi Syariah Pada Tahun 2016-2022 Yang Tidak
Menggunakan Fatwa DSN Dan KHES Sebagai Rujukan Utama.
1. Kekuatan Hukum Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Dalam proses penyelesaiannya, sengketa ekonomi syariah yang
diselesaikan melalui jalur litigasi diselesaikan di Pengadilan Agama
diatur sebagaimana bunyi pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menyatakan bahwa
Pengadilan Agama mempunyai kopetensi absolut untuk menerima,
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa di bidang ekonomi
syariah.
Perubahan isi Undang-Undang yang semula dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama belum
mengakomodir sengketa ekonomi syariah sebagai kompetensi absolut
pengadilan agama menjadi kompetensi absolutnya menjadi tantangan
tersendiri bagi pengadilan agama terkusus para hakim. Mau tidak mau,
bisa tidak bisa setelah disahkannya perubahan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam undang –
undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hakim
pengadilan agama harus menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dan
menjalankan prinsip Ius Curia Novit.
Perinsip ini juga dijelaskan dalam pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
telah dicabut dan diganti menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun

37
38

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Undang – Undang yang


baru ini penjelasan mengenai prinsip Ius Curia Novit terdapat dalam
pasal 10 ayat (1) yang bunyi pasalnya tidak diubah yaitu : “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Maka Berdasarkan adagium Ius Curia Novit, hakim dianggap
mengetahui dan memahami segala hukum. Dengan demikian, hakim
yang berwenang menentukan hukum objektif mana yang harus
diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok perkara yang
menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara.
Sebagaimana dijelaskan juga dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
ditentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.” Dan pada Pasal 4 Ayat (1)
menyatakan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”. Ini mengartikan bahwa hakim pada
dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum), tidak boleh
keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya. Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan juga berfungsi sebagai penemu
hukum,hakim dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang bukan hukum. Dalam memeriksa perkara perdata, hakim
bersifat pasif, maksudnya ruang lingkup pokok perkara yang diajukan
kepada hakim ditentukan oleh pihak- pihak yang berkepentingan,
bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu paraa pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan.
Dalam mememutus perkara ekonomi syariah hakim merujuk
pada sumber-sumber hukum acara yang dapat dijadikan pertimbangan.
Sebagaimana dalam pasal 54 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989
39

di tentukan bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan


dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Berdasarkan pasal ini maka di kalsifikasikan sumber hukum acara
dalam Pengadilan Agama khusus terkait sengketa ekonomi syariah
sebagai berikut66:
1) Peraturan Perundang-undangan tentang hukumcara perdata yang
berlaku di lingkungan peradilan agama dan peradilan umum.
a. Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
kehakiman, dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009;
b. Undang-Undang Nomor 2005 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
2) Peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Umum.
a. Het Herziene Inlandsche reglement (HIR) atau yang disebut
juga RIB (Reglement Indonesia yang diperbaharui);
b. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RGB);
c. Burgelijk Wetboek (BW).
3) Pengaturan perundang-undangan yang berlaku khusus di
Pengadilan Agama.
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura;
b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;

66
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
40

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan


Agama, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah;
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa;
f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat;
g. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf;
4) Sumber-Sumber Lainnya.
a. Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA);
b. Edaran Mahkamah Agung RI;
c. Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan yang terkait dengan regulasi ekonomi syariah;
d. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI;
e. Doktrin ahli hukum terkait ekonomi syariah;
f. Perjanjian Internasional
g. Fatwa-DSN MUI
h. Kitab-kitab fikih dan sumber tidak tertulis lainnya.
Dari sumber hukum acara diatas dapat dilihat salah satu
sumber hukum acara hakim pengadilan agama dalam memutus
sengketa ekonomi syariah adalah Peraturan Mahkamah Agung RI
(PERMA) dan Fatwa-DSN, yang menariknya baik Peraturan
Mahkamah Agung yang dalam hal ini merujuk kepada Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang ditetapkan pada
10 September 2008, dan Fatwa-DSN sangatlah berpengaruh terhadap
perkembangan ekonomi syariah secara nasional khususnya terkait
regulasi.
41

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah merupakan Peraturan


Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang berawal dari
terbitnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
(UUPA). KHES berisi pedoman bagi hakim mengenai ekonomi
syariah sesuai prinsip syariah sebagaimana Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah menyatakan bahwa
“Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan
dengan ekonomi syari'ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip
syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah”
Keberadaan KHES dalam hirarki peraturan perundang -
undangan di Indonesia diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2008,
dimana peraturan Mahkamah Agung dianggap sebagai produk
lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai penyelenggara fungsi
peradilan. Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam ayat (2) juga dijelaskan bahwa “Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)”.
42

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Mahkamah
Agung memiliki kedudukan diluar hierarki peraturan perundang-
undangan yang ada, namum dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2)
yang berbunyi:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Dengan demikian Peraturan Mahkamah Agung termasuk dalam jenis
Peraturan Perundang-undangan yang ada serta mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan keberadaannya .
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dijelaskan
bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang;
(2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.
43

Maka berdasarkan amanat Undang-Undang, Mahkamah Agung


mempunyai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
Mahkamah Agung memiliki lima fungsi utama yaitu, fungsi peradilan,
fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasehat, dan fungsi
administratif. Sesuai dengan amanat Undang-undang pada Mahkamah
Agung, yang berwenang dalam menerbitkan suatu peraturan
perundang-undangan yang berfungsi untuk mengisi kekosongan
hukum yang ada di masyarakat. Sedangkan peraturan yang telah
digelontorkan (dihasilkan) oleh Mahkamah Agung berfungsi sebagai
delegasi kewenangan dalam membuat perundang-undangan yang
bersifat sementara. Selanjutnya Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo UndangUndang Nomor 5
Tahun 2004 jo UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 menguraikan
bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”. Fungsi
pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung tersebut
menimbulkan suatu kewenangan untuk menerbitkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) guna memperlancar penyelenggaraan peradilan yang kerap
kali terhambat karena belum adanya atau kurang lengkapnya
pengaturan hukum acara yang terdapat dalam undang-undang.
Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 jo
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 maka Mahkamah Agung dapat
membuat peraturan yang lebih lanjut yang belum di atur dalam
Undang-Undang. Dalam menyikapi perubahan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam
undang – undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka
44

Mahkamah Agung membuat Peraturan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah untuk menjadi pedoman para hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Mahkamah Agung merupakan badan kekuasaan kehakiman yang
tertinggi atau badan pengadilan negeri tertinggi. Sebagai
penyelenggara negara, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi
negara seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (pada masa sebelum Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 diamandemenkan). Mahkamah Agung
memiliki peranan yang penting dan fundamental dalam lingkup
kekuasaan kehakiman nasional di Indonesia dengan pengembangan
hal-hal yang terkait dengan Mahkamah Agung dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun undang-undang
terkait dengan Mahkamah Agung67
Kedudukan Perma sebagai peraturan perundang-undangan sudah
ditetapkan dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 12 tahun 2011 yakni di
bawah undang-undang dan sederajat dengan PP. Fungsi Perma secara
sederhana adalah untuk “mengatur hal-hal yang berlum diatur dalam
undang-undang” dengan tujuan mengisi “kekosongan hukum”. Dengan
demikian menunjukkan ruang kebebasan Mahkamah Agung untuk
mengisi kekosongan hukum. Dalam bingkai kebebasan tersebut,
Mahkamah Agung membentuk kaidah hukum yang baru belum pernah
diatur dalam undang-undang.68
Namun ketentuan dalam Undang – Undang No 12 tahun 2011
pasal 8 ayat (2) ini, tidak lantas memberikan Mahkamah Agung

67
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi(Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012), hal.,262-263
68
Agus Satory , Hotma Pardomuan Sibuea, “Problematika Kedudukan Dan Pengujian
Peraturan Mahkamah Agung Secara Materiil Sebagai Peraturan Perundang-Undangan”, PALAR
(Pakuan Law Review) Volume 06, Nomor 01 (Januari, 2020), h., 14.
45

kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan


sebagaimana lembaga legislatif yang berlaku umum, tetapi Mahkamah
Agung hanya berwenang untuk membentuk peraturan yang mengikat
ke dalam (interne regelling). Dengan demikian, Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) tidak termasuk pada peraturan perundang-undangan,
tetapi termasuk peraturan perundang-undangan semu (pseoude
wetgeving/beleidsgerels).
Jika KHES dianalisis melalui pendekatan peraturan perundang -
undangan maka,69 pertama, KHES adalah peraturan yang tertulis.
Kedua, KHES bukan merupakan norma hukum yang mengikat umum
kerena pada dasarnya KHES itu bersifat umum abstrak tetapi hanya
berlaku interne bagi kekuasaan Mahkamah Agung. Ketiga, KHES
bukan merupakan peraturan yang dibentuk oleh lembanga yang
mendapat kewenangan atribusi ataupun kewenangan delegasi
pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi KHES
diciptakan oleh Mahkamah agung hanya sebagai guidance hakim
memutus perkara ekonomi syariah. Jadi Penetapan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) melalui Peraturan Mahkamah Agung ini
tidak dapat mengikat keluar, karena KHES hanya mengikat institusi
peradilan agama (internal rules) saja.

2. Kedudukan Fatwa-DSN
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1999 telah
membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan SK MUI No
Kep-754/MUI/II/99 tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional,
DSN adalah satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan
fatwa terkait dengan perbankan syariah. Pasal 1 ayat (2) Keputusan
Dewan Syariah Nasional No: 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah
Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PRTD SN-
69
Halimatus, Lailatul, Mukti dan Erie, “Sejarah dan Kedudukan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah dalam Peraturan Mahkamah AgungNomor 2 Tahun 2008 di Indonesia”, Al -
Huquq: Journal of Indonesian Islamic Economic Law , (2021), h., 111.
46

MUI) menentukan status Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama


Indonesia sebagai satu-satunya badan yang berwenang dan mempunyai
tugas utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan,
produk, dan jasakeuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa
dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.70
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011, fatwa bukan
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian maka fatwa
tidak dapat diterapkan atau berlaku sebagaimana peraturan perundang-
undangan, seperti berlaku mengikat untuk semua rakyat Indonesia atau
dapat dipaksakan berlakunya. Fatwa baru dapat mengikat apabila
sudah ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bukanlah hukum positif, sama
seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI dalam bidang-bidang
lainnya. Agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat
berlaku dan mengikat sebagai mana hukum positif yang berlaku di
Indonesia, maka pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan
DSN-MUI dapat ditindak lanjuti sebagai Peraturan Bank Indonesia.71
Sebagaimana Transformasi fatwa ke dalam peraturan perundang-
undangan yang dikenal dalam sistem hukum nasional dapat dilandaskan
pada Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011. Pada pasal tersebut diatur
mengenai jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawataran Rakyat (MPR). Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan

70
Astika Nurul Hidayah, Kedudukan Fatwa Ulama Dalam Sistem Hukum Nasional
Sebagai Landasan Operasional Bank Syaria,(Purwokerto: Universitas Muhamadiyah Purwokerto,
2019), h., 96
71
Ahmad Badrut Tamam, “Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Mui) Dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional (Dsn) Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Al-Musthofa: Journal Of Sharia
Economics, Volume 4 Nomor 29, (Lamongan, 2021), h., 180.
47

Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia


(BI), Menteri, badan lembaga atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-undang, DPRD, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI dipositivisasi dengan Peraturan Bank
Indonesia sehingga kemudian memiliki kekuatan hukum mengikat
karena berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Positivisasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia
dilandaskan pada Pasal 26 ayat (3) UU Perbankan Syariah yang
menyatakan bahwa fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 26 ayat (3) UU
Perbankan Syariah, menentukan bahwa dalam penyusunan Peraturan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia
membentuk Komite Perbankan Syariah. Komite inilah yang kemudian
menyusun Peraturan Bank Indonesia berangkat dari fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI.72 DSN-MUI memiliki peran penting
dalam menjaga kepatuhan LKS terhadap prinsip-prinsip Syariah. UU
Nomor 21 Tahun 2008 juga menegaskan bahwa setiap kegiatan usaha
tidak boleh bertentangan dengan syariah, yang dirujuk pada fatwa yang
telah dikeluarkan DSNMUI dan telah dikonfersi ke dalam PBI.
Dengan demikian Fatwa yang telah dirujuk dan dijadikan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) yang mengikat setiap LKS atau mengikat publik,
sedangkan fatwa yang yang belum tertuang dalam PBI belum dapat
dikatakan mengikat. Namun jika merujuk pada Peraturan Bank
Indonesia No.11/15/PBI/2009 yang telah memberikan pengertian
bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia, maka prinsip syariah demi hukum
72
Astika Nurul Hidayah, Kedudukan Fatwa Ulama Dalam Sistem Hukum Nasional
Sebagai Landasan Operasional Bank Syaria,(Purwokerto: Universitas Muhamadiyah Purwokerto,
2019), h., 98-99.
48

telah berlaku sebagai hukum positif sekalipun belum atau tidak


dituangkan dalam Perturan Bank Indonesia73
Mengingat dalam pelaksanaannya lembaga keuangan syariah
sangatlah bergantung pada Dewan Syariah Nasional seperti diharuskan
adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagaimana diatur dalam
Peraturan DSN-MUI No. PER-01/DSN-MUI/X/2017 tentang Dewan
Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS),
Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah
(LPS) menyatakan bahwa:
a. Setiap LKS, LBS, dan LPS harus memiliki sedikitnya 3 (tiga)
orang anggota DPS, dan salah satunya ditetapkan sebagai Ketua;
b. Dalam hal LKS, LBS, dan LPS masih memiliki kelolaan bisnis
yang masih kecil, dimungkinkan jumlah DPS minimal 2 (dua)
orang dan salah satunya ditetapkan sebagai Ketua.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/Pbi/2009 Tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah pasal 47 juga menjabarkan tugas dan tanggung jawab
Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran
kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
Prinsip Syariah. Dengan banyaknya keterlibatan DSN-MUI dalam
regulasi lembaga keuangan syariah memperkuan peran serta posisi
lembaga DSN termasuk Regulasi berupa fatwa-fatwa yang di
keluarkan.
Selain transformasi fatwa DSN dalam bentuk PBI, fatwa DSN juga
ditransformasikan kedalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa keuangan
(POJK). Berdasarkan amanah pada Pasal 34 Undang-Undang No. 23
tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No. 3 tahun
2004 tentang Bank Indonesia melahirkan Undang-Undang No. 21
tahun 2008 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga

73
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek Hukumnya
(Jakarta: PT Jakarta Agung Offset, 2010), h., 137-138.
49

Independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi


lembaga keuaangan bank dan non-bank. Lembaga non-bank seperti
Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Efek/Pasar Modal. Modal Ventura,
Perusahaan Anjak Piutang, Reksadana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi74. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai
fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan,
dalam melaksanakan fungsinya OJK juga mentransformasikan fatwa-
fatwa DSN MUI terkait kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan,
sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB kedalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan(OJK). Dilansir dari website resmi Otoritas Jasa Keuangan
terdapat 12 fatwa yang ditransformasikan menjadi POJK Syariah.75

3. Analisis intensitas Penggunaan Fatwa-DSN dan KHES di Lingkup


Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Untuk menganalisis lebih lanjut terkait kedudukan dan
penggunaan fatwa DSN dan KHES dalam pertimbangan hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan peneliti mengklasifikasikan
beberapa putusan yang dilansir dari Direktorat Mahkamah Agung
Republik Indonesia76 dengan Keyword Direktori Perdata Agama,
Klasifikasi Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada tahun 2016 hingga 2022 dengan Amar Diterima. Dari 44
keseluruhan putusan yang di upload ditemukan beberapa putusan yang
sesuai kriteria atau keyword peneliti diantaranya sebagai berikut:

Pertimbangan Hakim
No Nomor Perkara KET
Fatwa-DSN KHES KUHPer
1 Putusan No 644/Pdt.G/2016/PA.JS Tidak Ya Ya

74
Bambang Murdadi, Otoritas Jasa Keuangan Pengawasan Lembaga Keuangan Baru
Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan, (Vol. 8, No. 2, Maret 2012-Agustus 2012), h. 32
75
Diakses melalui https://www.ojk.go.id
76
Diakses melalui https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori
50

2 Putusan No 1901/Pdt.G/2016/PA.JS Tidak Ya Ya


3 Putusan No 1151/Pdt.G/2018/PA.JS Ya Ya Ya
4 Putusan No 1957/Pdt.G/2018/PA.JS Tidak Tidak Ya
5 Putusan No 426/Pdt.G/2021/PA.JS Tidak Ya Ya
6 Putusan No 1127/Pdt.G/2022/PA.JS Tidak Tidak Ya

Tabel 4.1
Data Perkara Ekonomi Syariah

Berdasarkan data putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan di


rentan tahun 2016 hingga 2022 diatas, penulis mengelompokan
pertimbangan hakim pada beberapa kelompok pertimbangan putusan
diantaranya: pertama, Pengelompokan pertimbangan hakim yang
menggunakan Fatwa-DSN sebagai rujukan. Kedua, Pengelompokan
pertimbangan hakim yang menggunakan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) sebagai rujukan. Dan ketiga, Pengelompokan
pertimbangan hakim yang menggunakan KUHPer sebagai rujukan.
Dengan menambah keterangan “YA” yang berarti dalam putusannya
hakim menggunakan (Fatwa-DSN/KHES/KUHHPer/Ketiganya)
dalam melakukan pertimbanagannya untuk membuat putusan sengketa
ekonomi syariah begitu pula sebaliknya ditambahkannya keterangan
“TIDAK” yang berarti dalam putusannya hakim tidak menggunakan
(Fatwa-DSN/KHES/KUHHPer/Ketiganya) dalam melakukan
pertimbanagannya untuk membuat putusan sengketa ekonomi
syariah.
Dari pengelompokan data putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan di rentan tahun 2016 hingga 2022 diatas dapat dilihat dari 6
putusan yang amarnya di terima oleh hakim terdapat 5 dari 6 putusan
yang tidak menggunakan fatwa-DSN sebagai rujukan utamanya,
selain itu 2 dari 6 putusan juga tidak menggunakan KHES sebagai
rujukan utamanya dan 2 dari 6 putusan tidak menggunakan keduanya,
51

baik fatwa-DSN maupun KHES sebagai rujukan utamanya. Dengan


demikian intensitas penggunaan Fatwa-DSN di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan masih sangatlah kurang, begitu juga dengan intensitas
penggunaan KHES walaupun 4 dari 6 putusan menggunakan KHES
sebagai rujukan dalam pengambilan putusan, penggunaan KHES dan
Fatwa DSN dalam pertimbangan hakim dalam memutus sengketa
ekonomi syariah di pengadilan agama Jakarta selatan masih relative
rendah.
Dengan data tersebut dapat di simpulkan bahwa intensitas
penggunaan fatwa DSN dan KHES di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan belum maksimal. Walaupun demikian, berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan salah satu hakim sengketa ekonomi
syariah di pengadilan agama Jakarta selatan77, beliau menjelaskan
bahwa menurutnya hakim- hakim di pengadilan agama Jakarta selatan
sudah memberikan pertimbangan yang terbaik dalam menetapkan
landasan hukum sengketa ekonomi syariah di pengadilan agama
Jakarta Selatan. Para hakim juga bertumpu pada regulasi undang-
undang dan hukum positif pengadilan agama dalam memberikan
sebuah dasar hukum untuk memutus sengketa ekonomi syariah.

4. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Tidak Mengunakan Fatwa


DSN Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Dalam wawancara bersama hakim sengketa agama di pengadilan
agama Jakarta selatan, beliau menjelakan beberapa pendapatnya
mengenai fatwa DSN sebagai regulasi dalam pertimbangannya dalam
memutus perkara ekonomi syariah. Menurutnya78 dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah hakim harus berpegang pada
Fatwa DSN yang merupakan hukum materil yang harus

77
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27
September 2022
78
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27
September 2022
52

dipertimbangkan hakim dalam mengambil keputusan dalam


permasalahan ekonomi syariah, Jika hakim memutuskan suatu perkara
tanpa mempertimbangkan fatwa DSN maka hakim harus mencari
undang-undang lain terlebih dahulu.
Dan Terhadap hakim yang tidak menggunakan Fatwa DSN
menurutnya tidak bisa sembarang mengatakan bahwa hakim itu tidak
menggunakan Fatwa DSN maka hakim tersebut kurang kompeten,
karena bisa saja hakim sudah merasa cukup dengan konsideran yang
ada sehingga hakim tidak perlu pula memuat semua regulasi yang ada
seperti jika dalam kondisi undang-undang atau peraturan lain seperti
KUHPer bisa menjawab permasalahan dalam sebuah sengketa.
faktanya bahwa aturan – aturan hukum yang berlaku pada pengadilan
umum berlaku juga pada pengadilan agama, namun beliau menjelaskan
bahwa alangkah eloknya dalam membuat putusan terkait sengketa
ekonomi syariah mereka tetap menggunakan dan sandingkan dengan
fatwa DSN. Disisi lain hakim juga beranggapan bahwa kedudukan
Fatwa tidaklah mengikat bagi hakim dengan demikian hakim boleh
menggunakan atau tidak menggunakan fatwa.
Selain dengan pasal atau aturan yang dirasa cukup beliau
menuturkan dilain sisi aturan yang ada terhadap suatu sengketa
ekonomi syariah saling berkaitan satu sama lain, junto - junto yang
saling berkaitan dari peraturan yang satu dengan peraturan yang lain
artinya ada beberapa aturan berbeda yang mengatur satu persoalaan
dalam hal ini sengketa ekonomi syariah. Beliau memberikan contoh
jika terjadi sengketa Asuransi syariah, ada beberapa aturan yang
mengatur tentang asuransi seperti Peraturan OJK, fatwa DSN, KHES,
KUHPer dan Hukum Dagang. Namun dalam membuat pertimbangan
putusan alangkah lebih baik jika hakim mengatur dan menggunakan
junto dari peraturan yang satu dengan peraturan lain yang berkaitan.
Tetapi jika hakim hanya mengambil beberapa peraturan dari
53

keseluruhan peraturan yang ada dan sudah menjawab keseluruhan


maka sudah dirasa cukup.
Akan tetapi jika melihat dari sengketa yang telah diputus oleh
hakim di pengadilan agama Jakarta Selatan, menurut data putusan
yang diunggah pada website Mahkamah Agung terdapat beberapa
putusan yang alangkah baiknya merujuk pada Fatwa DSN salah
satunya adalah sengketa dengan Putusan No 1127/Pdt.G/2022/PA.JS,
sengketa ini merupakan sengketa ekonomi syariah dengan penggugat
adalah PT Bank Syariah Indonesia Tbk dan Tergugat Tri Sulistiowarni,
S.H. duduk perkara dari sengketa ini adalah tergugat tidak
melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian, fasilitas – fasilitas
pembiayaan yang telah diberikan oleh penggugat kepada tergugat
melahirkan kewajiban bagi tergugat untuk memenuhi seluruh
kewajibannya secara tepat waktu, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh
tergugat dan disepakati bersama dalam akta-akta perjanjian. Dalam
kasus ini penggugat dan tergugat melakukan akad Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ) untuk tujuan refinancing rumah, dengan nilai
penyertaan awal/syirkah Bank in casu sebesar Rp. 620.000.000,-
(enam ratus dua puluh juta Rupiah) serta fasilitas pembiayaan sebesar
RP. 2.880.000.000,- ( dua miliah delapan ratus delapan puluh juta
rupiah) sebagai harga jual dari
1) Harga beli sebesar Rp. 4.804.100.000,- (empat miliar delapan
ratus empat juta seratus ribu rupiah);
2) Margin sebesar Rp. 1.783.029.493,85 (satu miliar tujuh ratus
delapan puluhtiga juta dua puluh Sembilan ribu empat ratus
Sembilan puluh tiga rupiah koma delapan puluh lima sen);
3) Harga jual adalah sebesar Rp. 6.587.129.493,85 (enam miliar
lima ratus delapan puluh tujuh juta seratus dua puluh Sembilan
ribu empat ratus Sembilan puluh tiga rupiah koma delapan puluh
lima sen);
54

4) Uang muka adalah sebesar Rp. 1.924.100.000,- (satu miliar


Sembilan ratus dua puluh empat juta seratus ribu rupiah);
5) Angsuran di tangguhkan adalah sebesar Rp. 4.663.029.793,85
(empat miliar enam ratus enam puluh tiga juta dua puluh
Sembilan ribu tujuh ratus Sembilan puluh tiga rupiah koma
delapan puluh lima sen);
6) Angsuran bilan 1 sampai dengan 24 sebesar Rp. 45.801.370,16
(empat puluh lima juta delapan ratus satu ribu tiga ratus tujuh
puluh rupiah koma enam belas sen);
7) Angsuran bulan 25 sampai dengan 60 sebesar Rp. 48. 800.472,67
(empat puluh delapan juta delapan ratus ribu empat ratus tujuh
puluh dua rupiah koma enam puluh tujuh sen), dan
8) Angsuran bulan 61 sampai dengan 96 sebesar Rp. 50.193.877,61 (
lima puluhh juta seratus Sembilan puluh tiga ribu delapan ratus
tujuh puluh tujuh rupiah koma enam puluh satu sen).
Dan jaminan berupa benda dengan obyek sebidang tanah dan
segala sesuatu yang berdiri di atasnya yang terletak di Jl. Kana Lestari
No. j/15 RT/RW 004/004, Lebak Bulus Jakarta Selatan dengan luas
tanah 250 m2 dan luas bangunan 300 m2 berdasarkan Sertifikat Hak
Milik No. 5533/Lebak Bulus selain itu nasabah in casu juga
memberikan jaminan benda bergerak berupa dana yang ada di
rekening tabungan tergugat.
Pada tanggal 19 Desember 2017, penggugat dan tergugat
bersama- sama telahh melakukan penanda tanganan akta- akta notaris
terhadap akta berikut:
1) Akta Perjanjian Pinjaman Untuk Tujuan Pelunasan Kewajiban
Dan Pembiayaan Untuk Pengadaan Barang No. 06 Tanggal 19
Desember 2017;
2) Akta Perjanjian Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Musyarakah
Mutanaqisah Untuk Refinancing No. 07 Tanggal 19 Desember
2017;
55

3) Akta Pernyataan Sertifikat Pemeriksaan Dan Kesesuain No 08


Tanggal 19 Desember 2017;
4) Akta Akad Sewa (Ijarah) No. 09 Tanggal 19 Desember 2017;
5) Akta kuasa Jual No 10 Tanggal 19 Desember 2017;
6) Akta Perjanjian Penunjukan Agen Jasa Pemeliharaan No 11
Tanggal 19 Desember 2017.
Berdasarkan data ini bahwa perjanjian dalam sengketa ini
memiliki banyak akta-akta yang memuaat berbagai macam akad yang
disepakati dalam pembiayaan ini, terlebih sengketa ini melibatkan
Bank Syariah maka pada sengketa ini haruslah mengacu pada
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
selain itu akad-akad pada perjanjian ini secara jelas dan rinci diatur
dalam fatwa – fatwa DSN seperti Fatwa DSN No 73/DSN-
MUI/XI/2008 yang mengatur tentang Musyarakah Mutanaqisah,
Fatwa DSN No 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah, dan Fatwa DSN No 114/DSN-MUI/IX/2017 tentang
Syirkah. Dalam akta no 06 terdapat 3 ( tiga) prinsip syariah yang
digunakan yaitu akad Al-Qardh, akad Al-Bai‟ dan akad pembiayaan
berdasarkan prinsip murabahah maka hakim dalam pertimbanganya
juga merujuk pada fatwa DSN No 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-
Qardh, Fatwa No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Jual Beli, Fatwa
DSN No 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad Jual Beli Murabahah,
Fatwa DSN No 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali
Tagihan Murabahah, Fatwa No 47/DSN-MUI/II/2005 tentang
Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah tidak mampu bayar,
Fatwa DSN No 46/DSN-MUI /II/2005 tentang Potongan Tagihan
Murabahah, Fatwa DSN No 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan
Pelunasan dalam Murabahah, Fatwa DSN No 16/DSN-MUI/IX/2000
tentang Diskon dalam Murabahah, juga pada akta no 09 yang
membahas mengenai akad sewa maka hakim juga dapat merujuk pada
Fatwa DSN No 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah dan
56

Fatwa DSN No 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.


Selainitu juga dalamkasus ini hakim dapat merujuk pada Fatwa DSN
No 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentangganti Rugi, Fatwa DSN No
129/DSN-MUI/VII/2019 tentang Biaya Rilll Sebagai Ta‟widh Akibat
Wanprestasi. Sebagaimana Positivisasi fatwa ke dalam Peraturan
Bank Indonesia dilandaskan pada Pasal 26 ayat (3) UU Perbankan
Syariah yang menyatakan bahwa fatwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 26 ayat (3)
Undang-undang Perbankan Syariah, menentukan bahwa dalam
penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.
Komite inilah yang kemudian menyusun Peraturan Bank Indonesia
berangkat dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.

5. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Tidak Mengunakan KHES


Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Berdasarkan data intensitas penggunaan KHES diatas dapat dilihat
jika penggunaan KHES masih kurang maksimal, adapun pendapat
hakim Abdul Aziz dalam wawancaranya menyatakan bahwa segala
sesuatu mengenai hukum materil di pengadilan agama sudah jelas
adanya, berbicara mengenai sengketa ekonomi syariah hukum
materilnya berada di KHES, Fatwa DSN, OJK, Hukum Dagang,
KUHPer dan lainnya. Jika hakim tidak tidak menggunakan hukum
materil yang ada maka menurutnya itu tidak bisa diungkapkan dengan
kata, karena hukum materil yang ada di pengadilan agama sudah
dengan jelas diajarkan. Terkait dengan KHES tuturnya bahwa KHES
adalah kitab suci pengadilan agama dalam bidang ekonomi syariah,
KHES diambil dari intisari Al-Quran, Hadist, Kitab Fikih, Fatwa,
Pendapat Fuqaha dan Para Pakar Ekonomi Islam.
Adapun jika terdapat hakim yang tidak mempedomani KHES
menurutnya dapat membuat masyarakat sebagai pencari keadilan
57

menjadi bingung dan dapat memicu terjadinya disparitas terhadap


sebuah putusan karena ketidak konsistenan hakim dalam membuat
sebuah putusan. Namun beliau melanjutkan bahwa pada akhirnya apa
yang hakim lihat dalam menyelesaikan sebuah perkara akan berbeda
dengan masyarakat, mahasiswa dan para pembaca lihat dalam
menyikapi sebuah persoalan. Fakta lain bahwa para hakim sengketa
ekonomi syariah sudah dibekali dengan diklat-diklat ekonomi syariah,
maka agak naïf jika hakim tidak menggunakan itu, tuturnya.

B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Terkait


Sengketa Ekonomi Syariah Pada Tahun 2016-2022 Yang
Menggunakan Fatwa DSN Dan KHES Sebagai Rujukan Utama.
1. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Mengunakan Fatwa DSN
Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.
Kedudukan Fatwa DSN MUI berbeda dengan kedudukan fatwa
pada umumnya, jika kedudukan fatwa hanya sebagai opsional hukum
maka Fatwa DSN memiliki kekuatan hukum yang mengikat
berdasarkan Undang- Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah. Fatwa juga menjadi sumber hukum materil hakim Peradilan
Agama dalam membuatt putusan. kedudukan fatwa DSN-MUI
merupakan landasan formal yang memiliki kekuatan mengikat bagi
para pelaku lembaga keuangan syariah, Fatwa DSN-MUI digunakan
sebagai otoritas dalam perbankan syariah. Ini menyiratkan bahwa
semua produk perbankan syariah harus mematuhi aturan dan nilai-nilai
syariah.
Sebagaimana Rosalia mengungkapkan79 pasca Undang-
Undang Perbankan Syariah diundangkan, BI telah menerbitkan
sejumlah peraturan terkait perbankan syariah. yang di dalam
pembentukan peraturan hingga terbitnya melibatkan Komite Perbankan

79
Rosalia di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari
RuanSidang Pleno MK, Jakarta. Diakses pada https://www.mkri.id
58

Syariah dan DSN-MUI untuk memutuskan tentang materi yang akan


dituangkan dalam peraturan BI tersebut. Selain itu dalam
pelaksanaannya lembaga keuangan syariah sangatlah bergantung pada
Dewan Syariah Nasional seperti diharuskan adanya Dewan Pengawas
Syariah (DPS) sebagaimana diatur dalam Peraturan DSN-MUI No.
PER-01/DSN-MUI/X/2017 tentang Dewan Pengawas Syariah (DPS) di
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Hal demikian memperkuat
kedudukan Fatwa DSN menjadi rujukan dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah.
Menurut Abdul Aziz80, Fatwa DSN digunakan untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sepanjang berkaitan dengan
permasalahan yang dikemukakan, selain itu dalam prosesnya hakim
sebagai pengawal keadilan harus mencari hukum dengan sebaik-
baiknya melibatkan aturan-aturan yang berlaku dan memutus dengan
seadil-adilnya. Aturan yang merujuk pada kedudukan Fatwa DSN
dalam sistem hukum nasional juga membuat peran fatwa sebagai
rujukan dan menjadi pertimbangan dalam memutus haruslah
diutamakan sepanjang itu berkaitan dengan sengketa yang disidangkan.

2. Analisis Pertimbangan Hakim Yang Mengunakan KHES Dalam


Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Bahwa berdasarkan Perma No 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah memuat bahwa untuk kelancaran
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah sebagaimana
dimaksud Pasal 49 huruf i beserta Penjelasan, Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari'ah Negara, Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari'ah, perlu
dibuat pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip

80
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27
September 2022
59

syari'ah maka Mahkamah Agung dirasa perlu menetapkan Peraturan


Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah. Dalam Pasal 1 Ayat 1 Perma No 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Ekonomi Syariahh juga menjelaskan bahwa Hakim
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,
mengadili dan _ menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan
ekonomi syari'ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang disebut KHES ini
menjadi pedoman para hakim di dalam lingkup peradilan agama dalam
menemukan hukum, menjawab persoalan dan memberikan solusi yang
paling efektif untuk sengketa ekonomi syariah. Menurut Abdul Aziz81
dalam wawancaranya menyampaikan bahwa penggunaan KHES
sebagai hukum materil dalam lingkungan Peradilan Agama jelas
adanya, aturan-aturan yang sudah di pilah dan bersumber dari intisari
Al-Quran, Hadist, Kitab Fikih, Fatwa, Pendapat Fuqaha dan Para Pakar
Ekonomi Islam yang kemudian di satukan dalam buku kitab pedoman
yang diberi nama Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, seluruh hakim
yang akan mengadili sengketa ekonomi syariah sudah dibekali ilmu-
ilmu penyelesaian sengketa ekonomi syariah maka sudah sepatutnya
dan seharusnya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah para
hakim melibatkan KHES sebagai rujukan utamanya.

3. Pendapat Hakim Terhadap Kedudukan Fatwa DSN dan KHES


Dalam Sistem Hukum Nasional.
Kedudukan Fatwa DSN dan KHES dalam sistem hukum nasional
memang tidak tercantum dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan namun kedudukan keduanya bisa dilihat pada pasal

81
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27 September
2022
60

setelahnya yaitu pada pasal 8 Undang-Undang No.12 Tahun 2011


Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kedudukan
Perma dibawah undang-undang dan sederajat dengan PP, Meskipun
demikian ketentuan dalam Undang – Undang No 12 tahun 2011 pasal
8 ayat (2) ini, tidak lantas memberikan Mahkamah Agung kewenangan
untuk membentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana
lembaga legislatif yang berlaku umum, tetapi Mahkamah Agung hanya
berwenang untuk membentuk peraturan yang mengikat ke dalam
(interne regelling). Dengan demikian, Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) tidak termasuk pada peraturan perundang-undangan, tetapi
termasuk peraturan perundang-undangan semu atau (pseoude
wetgeving/beleidsgerels).
Menanggapi terkait kedudukan Fatwa DSN di dalam sistem hukum
nasional, Abdul Azis82 selaku hakim sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat bahwa melihat
kedudukan dan keadaan Fatwa yang sekarang beliau mempunyai
harapan agar Fatwa-fatwa yang dikeluarkan majelis Ulama Indonesia
atau Fatwa DSN –MUI dapat di jadikan Undang-Undang atau
setidaknya Peraturan Pemerintah. Karena menurutnya mendengar kata
fatwa hal yang terlintas adalah sebuah peraturan yang tidak mengikat
jadi boleh di pedomani boleh tidak, jadi jika para pembaca melihat
atau membaca putusan yang tidak menggunakan fatwa maka kembali
melihat asas fatwa yang tidak mengikat. Berbeda dengan kedudukan
Perma yang sudah jelas mengikat hakim dalam membuat putusan
sengketa ekonomi syariah maka kembali lagi bahwa sudah seharusnya
hakim menggunakan KHES dalam pertimbangan putusan di dalam
sengketa ekonomi syariah.

82
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi, Jakarta, 27 September
2022
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang peneliti lakukan pada


putusan sengketa ekonomi syariahh di Pengadilan Agama Jakarta Selamat,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan data yang peneliti dapat memalui website Mahkamah
Agung peneliti menemukan putusan sengketa ekonomi syariah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang belum menggunakan Fatwa
DSN dan KHES sebagai rujukannya dalam membuat putusan. Dari
pengelompokan data putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan di
rentan tahun 2016 hingga 2022 dari 6 putusan yang amarnya di terima
oleh hakim terdapat 5 dari 6 putusan yang tidak menggunakan fatwa-
DSN sebagai rujukan utamanya, selain itu 2 dari 6 putusan juga tidak
menggunakan KHES sebagai rujukan utamanya dan 2 dari 6 putusan
tidak menggunakan keduanya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti
dengan salah satu hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, alasan
hakim tidak menggunakan Fatwa DSN dan KHES dalam pertimbangan
putusannya adalah karena hakim sudah merasa cukup dengan
konsideran yang ada sehingga hakim tidak perlu pula memuat semua
regulasi yang ada seperti jika dalam kondisi undang-undang atau
peraturan lain seperti KUHPer bisa menjawab permasalahan dalam
sebuah sengketa, faktanya bahwa aturan – aturan hukum yang berlaku
pada pengadilan umum berlaku juga pada pengadilan agama.
2. Fatwa DSN dan KHES digunakan untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah sepanjang berkaitan dengan permasalahan yang
dikemukakan, selain itu dalam prosesnya hakim sebagai pengawal
keadilan harus mencari hukum dengan sebaik-baiknya melibatkan
aturan-aturan yang berlaku dan memutus dengan seadil-adilnya. Selain
itu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang disebut KHES ini

61
62

berdasarkan Perma No 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Ekonomi


Syariah, menjadi pedoman para hakim di dalam lingkup peradilan
agama dalam menemukan hukum, menjawab persoalan dan
memberikan solusi yang paling efektif untuk sengketa ekonomi
syariah.

B. SARAN
Berdasarkan hasil analisis, pembahasan dan uraian kesimpulan
diatas, peneliti memberi saran sebagai berikut:
1. Dalam membuat putusan terhadap sengketa ekonomi syariah
sebaiknya hakim sebagai pengawal keadilan menggunakan Fatwa DSN
dan KHES dalam membuat putusan mengingat peran Fatwa DSN dan
KHES di lingkungan ekonomi syariah telah menjadi peran inti dalam
menciptakan regulasi- regulasi agar ekonomi syariah tegak dan tetap
pada prinsip-prinsip syariah. Selain itu penggunaan Fatwa DSN dan
KHES juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya Disparitas
terhadap putusan – putusan karena penggunaan dasar pertimbangan
hakim yang berbeda dalam membuat putusan.
2. Pemerintah dapat meliat peran Fatwa DSN dalam pengaruhnya di
lingkungan ekonomi syariah. Menyadari kedudukan dan keadaan
Fatwa yang sekarang peneliti berharap agar Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat di jadikan Undang-Undang secara
khusus.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
QS Al-Maidah Ayat 66
QS Al- Hujarat Ayat
49
Buku dan Karya Tulis Ilmiah
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, Kompetisi Hukum Islam dan
Hukum Umum, Jakarta: Gama Media, 2003.
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law,
Common Law, Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006,
Cet. Kedua.
Agus Satory, Hotma Pardomuan Sibuea, “Problematika Kedudukan Dan
Pengujian Peraturan Mahkamah Agung Secara Materiil Sebagai
Peraturan Perundang-Undangan”, PALAR (Pakuan Law Review)
Volume 06, Nomor 01 Januari, 2020.
Ahmad Badrut Tamam, “Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Mui)
Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (Dsn) Dalam Sistem Hukum
Indonesia”, Al-Musthofa: Journal Of Sharia Economics, Volume 4
Nomor 29, Lamongan, 2021.
Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah Memahami Bank Syariah dengan
Mudah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonsesia Jakarta: Gama
Media, 2001.
Asshiddiqie,Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, Theory Hans KelsenTentang Hukum,
Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006,Cet. Pertama.
Astika Nurul Hidayah, Kedudukan Fatwa Ulama Dalam Sistem Hukum
Nasional Sebagai Landasan Operasional Bank Syaria,Purwokerto:
Universitas Muhamadiyah Purwokerto, 2019
Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011, Cet Pertama.

63
64

Bambang Murdadi, Otoritas Jasa Keuangan Pengawasan Lembaga Keuangan


Baru Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan, Vol. 8, No. 2, Maret
2012-Agustus 2012.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Semarang:
Pustaka Magister, 2011.
Darmini, Gokma,”Teori Positivisme Hans Kelsen Mempengaruhi
Perkembangan Hukum di Indonesia”, Lex Jurnalica Volume 18
Nomor 1, April 2021.
Edi Hudiata, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah : Pasca Putusan MK
Nomor 93/PUU-X/2012 : Litigasi Dan Nonlitigasi.
Farida, Maria, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius: Yogyakarta,1998.
Ghofur, Abdul, Pengantar Ekonomi Syariah: Konsep Dasar, Paradigma,
pengembangan ekonomi syariah, Raja Grafindo Persada, 2018.
Halimatus, Lailatul, Mukti dan Erie, “Sejarah dan Kedudukan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah dalam Peraturan Mahkamah AgungNomor
2 Tahun 2008 di Indonesia”, Al -Huquq: Journal of Indonesian
Islamic Economic Law, 2021.
Hendi Suhendi, Fikih Muamalat, Raja Grafindo, Jakarta, 2002.
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Ekonosia, 2004.
Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shâdir, t.th.).
Ika Atikah, “Eksistensi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Sebagai
Pedoman Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah Di
Pengadilan Agama”, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Muamalatika,
Vol .9, 2017.
Islamiyati, “KritikFilsafat Hukum positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan
Hukum Yang Berkeadilan”, Law & Justice Journal, Vol 1, No 1,
2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa)
65

Kelsen,Hans, General Theory of Law and State, Translated byAnders


Wedberg, USA: Harvard University Printing Office Cambridge,
Massachusetts, 2009.
Khaled M. Abou El Fadl, “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority,
and Women”, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin , Atas
Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2004, Cet. Pertama.
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997.
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, Cet. Pertama.
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas: Jakarta,2008.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004, Cetakan, Kelima.
Musthofa, Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama Jakarta: Kencana, 2005.
Nafis, M Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah Jakarta: UI-Press, 2011
Ni‟matul Huda, Negara Hukum demokrasi dan judicial Review, Yogyakarta:
UII Press, 2005, Cet Pertama.
Nur Afni Octavia, “Kedudukan Fatwa DSN MUI Sebagai Dasar Hukum
Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah” Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sunan
Gunung Djati Bandung, 2017.
Otoritas jasa Keuangan (OJK), laporan perkembangan keuangan syariah
Indonesia tahun 2020 Jakarta: OJK, 2010.
Pius A. Purtanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Popule, Arkola:
Surabaya, 1994.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta,
Jakarta, 2003.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2012.
66

Rohadi Abdul fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Buku
Aksara, Jakarta, 2006.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama Jakarta: PT. Rajawali
Press, 2006.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), Bandung: PT. Al-Ma‟arif,
1997.
Shafira Azzahhara Apkar,” Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia Sebagai Sumber Hukum Dalam Perspektif
Hukum Positif Dan Hukum Islam” Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negri sultan Thaha Saifuddin, 2021.
Shohibul Itmam, Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia, Ponorogo: STAIN
Po Press, 2015.
Soerjono Soekanto, Pokok- Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Prasada,
Jakarta, 2001.
Sofyan, “Posisi Fatwa Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam”, Jurnal Al-
Ulum , 2010.
Sudikno Mertokususmo, Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta:
Liberty, 1988.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek
Hukumnya Jakarta: PT Jakarta Agung Offset, 2010.
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(Diterbitkan oleh Badan Litbang Dan Diklat Kementrian
Agama RI)
Yoyok prasetyo, Ekonomi Syariah Aria Mandiri Group :2011.
Yusridi, Bahan Kuliah Teori Hukum MIH Fakultas Hukum
UNDIP Semarang, tanggal 14 November 2014.

Undang-Undang, PERMA dan Peraturan Lainnya


Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.
67

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.

Website
Damang, Definisi Pertimbangan Hukum, dalam http://www.damang.web.id
diakses 10 September 2022 Pukul 21.00 WIB.
Dewan Syariah Nasiona lndonesia - Majelis Ulama Indonesia, “Sekilas
tentang DSN-MUI”, Diakses melalui https://dsnmui.or.id pada 10,
September 2022 pukul 16.00 WIB.
Mahkamah Agung, “Putusan Ekonomi Syariah Pengadilan Agama Jakarta
Selatan” Diakses melalui https://putusan3.mahkamahagung.go.id
pada Minggu 7 Agustus2022 Pukul 23.00 WIB.
Majelis Ulama Indonesia, “Sejarah MUI”, https://mui.or.id diakses pada
Minggu 21 November 2021 pukul 16.04 WIB.
Otoritas Jasa Keuangan “Fatwa DSN-MUI”, Diakses melalui
https://www.ojk.go.id pada senin, 24 Oktober pukul 01.08 WIB.
68

Pengadilan Agama Jakarta Selatan “Tugas dan Fungsi”, Dilansir dari


https://www.pa-jakartaselatan.go.id diakses pada Minggu 21
November 2021 pukul 15.25.WIB.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan “Visi dan Misi”, Dilansir dari
https://www.pa-jakartaselatan.go.id diakses pada Minggu 21
November 2021 pukul 15.00 WIB.
Rosalia di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari
Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Diakses pada https://www.mkri.id
diakses pada Jumat, 14 Oktober 2022 pukul 01.23 WIB.

Wawancara
Abdul Aziz, Hakim Pengadilan Agama JakartaSelatan, Interview Pribadi,
Jakarta, 27 September 2022.

Anda mungkin juga menyukai