Anda di halaman 1dari 4

Lutfi Bhekti Aji | 1521106

HAP & Peradilan Agama D

Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama Dalam Perkembangannya

Pengadilan Agama untuk pertama kali dibentuk pada tanggal 19 Januari 1882 dengan
Ketetapan Raja yang dimuat dalam Staatsblad 1882

Yang dimaksud dengan hukum acara perdata di sini adalah hukum acara perdata yang
berlaku di lingkungan peradilan agama. Istilah peradilan berbe- da dengan istilah pengadilan.
Peradilan merupakan suatu pengertian yang umum (Belanda: rechts-spraak, Arab: al-Qadha)
merupakan suatu upaya un- tuk mencari keadilan atau penyele- saian sengketa hukum di
hadapan ba- dan peradilan menurut peraturan-pera- turan yang berlaku. Badan peradilan adalah
instansi pemerintah (bidang- yudikatif) yang diberi tugas dan we- wenang untuk menyelesaikan
sengketa hukum yang diajukan kepada badan tersebut.

Apabila dilihat dari sudut kodifi- kasi tertutup, sejak tahun 1882 sampai sekarang
hukum acara perdata Pengadilan Agama belum tersusun da- lam suatu Undang-Undang. Akan
te tapi keadaan ini, tidak dapat dijadi- kan alasan untuk mengatakan bahwa hukum acara
perdata Pengadilan Aga- ma belum ada.7) Kenyataan mem- buktikan bahwa sejak tahun 1882
terdapat berbagai peraturan yang me ngatur tentang hukum acara perdata di lingkungan
Peradilan Agama.

Peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum acara perdata Peradilan Agama,


antara lain terdapat di dalam S. 1882 No. 152, S. 1939 No. 116, P.P. No. 45 tahun 1957, Memori
Penjelasan P.P. No. 45 tahun 1947, Surat Edaran Kementerian Agama B/III/227 tanggal 8
Januari 1952 tentang kompetensi Pengadilan A- gama dan sekitar pembagian mal waris. Surat
Edaran Kepala Biro Peradilan Agama No. B/1/737 tanggal 18 Pebruari 1958 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, Surat Edaran Mahkamah Islam Tinggi
No. A/5/167 tanggal 8 Nopember 1938 tentang Aturan-aturan Yang Amat Perlu Diketahui Raad
Agama, Surat Edaran Mahkamah Islam Tinggi No. A/6/168 tanggal 8 Mei 1939 tentang
penegasan terhadap surat edaran yang sebelumnya, Surat Edaran Mahkamah Islam Tinggi No.
B/5/789 tanggal 14 Nopember 1956 tentang bahan-bahan yang harus dilampirkan untuk
mengajukan banding kepada Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta, Keputusan Menteri Agama
No. 127 tahun 1968 tentang Perobahan Keputusan Menteri Agama No. 35 tahun 1966
mengenai biaya perkara dan biaya-biaya lainnya pada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Agama Tinggi, P.P. No.9 tahun 1975 (Bab V), Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 dan
Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. D/INS/ 117/1975 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 dan Lampiran Instruksi Dir.
Jen. Bimbingan Masyarakat Is- lam No. D/INS/117/1975.

Pokok-pokok dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut di atas, oleh


Departemen Agama (Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama) telah disusun dalam satu
buku yang berjudul Kompilasi Perundang-undangan Badan Peradilan Agama (diterbitkan
tahun 1980/1981).

SUSUNAN PERADILAN AGAMA

Berdasarkan Koninklijke Besluit tanggal 19 Januari 1882 No. 153. pada setiap tempat
yang ada Pengadilan Negeri dibentuklah Pengadilan Agama dengan daerah hukum dan
yurisdiksi yang sama seperti Pengadilan Negeri. Tetapi peraturan ini hanya berlaku un- tuk
Jawa dan Madura. Oleh karena itu, istilah Pengadilan Agama (yang berasal dari Priester raad)
atau disebut Raad Agama hanya dikenal di Jawa dan Madura saja.

Untuk luar Jawa dan Madura berlaku peraturan-peraturan lain, yaitu: Staatsblad 1937
No. 638/639 tentang Reglemen Peradilan Agama untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan
dan Timur. Pasal 1 Reglemen ini berbunyi:

"Dalam afdeling Banjarmasin (kecuali onde rafdeling Pulau Laut dan afdeling Hulu Sungai
dari Residensi Borneo Selatan dan Rimuri peradilan agania antara orang-orang Islam dilakukan
oleh: (a) Pengadilan Kadi dan (b) Pengadilan Kali Tinggi.

Dari ketentuan pasal 1 S. 1937 No. 638 dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama
di Kalimantan Selatan dan Timur disebut dengan istilah Pengadilan Kadi. Jadi berbeda dengan
istilah yang dikenal di pulau Jawa dan Madura. Untuk tingkat banding, dise but Pengadilan
Kadi Tinggi. Pada tahun yang sama (1937) dibentuk pula Mahkamah Islam Tinggi (MIT) untuk
pulau Jawa dan Madura sebagai peradilan tingkat banding yang berkedudukan di Jakarta.

Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi dimuat dalam Staatsblad 1937 No. 610. Ke
mudian dengan surat keputusan Menteri Kehakiman R'I. tanggal 2 Januari 1946, Mahkamah
Islam Tinggi dipin dahkan ke Surakarta (Solo). Selanjut nya, dengan keputusan Menteri Agama
R.I. No. 71 tahun 1976 dibentuklah cabang MIT yang berkedudukan di Bandung meliputi
daerah Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selain itu dibentuk pula cabang MIT yang
berkedudukan di Surabaya yang bertugas dan berwewenang menyelesaikan per kara-perkara
tingkat banding di Propinsi Jawa Timur.

Untuk daerah-daerah selain dari pu- lau Jawa, Madura, Kalimantan Selatan dan Timur,
dengan Peraturan Pemerin tah No. 45 tahun 1957 dibentuklah :

(1) Mahkamah Syar'iyah untuk ting kat kabupaten/kotamadya, seba- gai pengadilan agama
tingkat pertama.

(2) Mahkamah Syar'iyah Propinsi yang merupakan badan peradillan agama untuk tingkat
banding (pasal 6 PP No. 45 tahun 1957). Selain itu ditetapkan pula bahwa Mahkamah Syar'iyah
Propinsi mempunyai tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi yang dibentuk berdasarkan
staatsblad 1937 No. 610 yo. su rat keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal
2 Januar 1946 No. 12.

Dari uraian di atas dapatlah disimpul kan bahwa :

1. Untuk pulau Jawa dan Madura di- kenal Pengadilan Agama (untuk tingkat pertama) dan
Mahkamah Islam Tinggi (untuk tingkat banding).

2. Untuk Kalimantan Selatan dan Timur dikenal Pengadilan Kadi (untuk tingkat pertama) dan
Pengadilan Kadi Tinggi (untuk tingkat banding), atau disebut juga Kerapatan Kadi dan
Kerapatan Kadi Besar.

3. Untuk daerah-daerah luar pulau Ja- wa, Madura, Kalimantan Selatan dan Timur dikenal
Mahkamah Syar' iyah (untuk tingkat pertama) dan Mahkamah Syar'iyah Propinsi (un- tuk
tingkat banding).

Dengan demikian terdapat tiga ma- cam penyebutan untuk Pengadilan Agama tingkat pertama
yaitu:

1. Di pulau Jawa dan Madura disebut Raad Agama atau Pengadilan Agama.

2. Di Kalimantan Selatan dan Timur disebut Kerapatan Kadi atau Pengadilan Kadi.

3. Di luar Jawa/Madura (di Sumatera dan Sulawesi), disebut Mahkamah Syar'iyah.

Demikian pula untuk tingkat ban- ding dikenal tiga penyebutan yaitu :

1. Di Jawa/Madura disebut Mahkamah Islam Tinggi.

2. Di Kalimantan Selatan/Timur disebut Kerapatan Kadi Besar atau Pengadilan Kadi Tinggi.
3. Di luar Jawa/Madura (Sumatera dan Sulawesi) disebut Mahkamah syar'iyah Propinsi.

KESIMPULAN:

1. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata di lingkungan Peradilan
Agama sejak tahun 1882 sampai sekarang sudah ada dan terse- bar diberbagai peraturan
perundang-undangan.

2. Di dalam praktek, terutama sejak berlakunya undang-undang Perkawinan, Peradilan Agama


menggunakan pula Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (HI- R) sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fikih.

3. Sekarang ini RUU tentang Acara Peradilan Agama sedang "digodok" dan diharapkan tidak
lama lagi akan menjelma sebagai Undang-Undang.

4. Pada hakekatnya RUU tentang Acara Peradilan Agama yang tersebut di atas, selain memuat
ketentuan-ketentuan yang sudah ada tentang hukum acara perdata di lingkungan Peradilan
Agama, memuat pula ketentuan-ketentuan yang baru sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan perkembangan produk hukum setelah Indonesia merdeka.

5.Patut dipuji usaha-usaha Departemen Agama yang telah menghimpun peraturan perundang-
undangan, khususnya yang berta- lian dengan hukum acara perdata di lingkungan Peradilan
Agama. Pada tahun 1976 telah di- himpun setebal 896 halaman berbagai peraturan-perundang-
undangan dan pada tahun 1980 telah diterbitkan suatu buku yang berjudul "Kompilasi
Perundang-undangan Badan Peradilan Agama.

Anda mungkin juga menyukai