Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edible Film
Edible film merupakan suatu lapisan tipis dan transparan pada bahan pangan
yang layak untuk dikonsumsi dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis. Untuk
menambah nilai fungsional dari kemasan itu sendiri, dalam pembuatan edible film
dapat ditambahkan dengan komponen tertentu sehingga edible film dapat bersifat
biodegradable (Kusumawati dkk., 2013). Edible film juga dapat mempengaruhi
sebagai pembawa komponen makanan, diantaranya vitamin, mineral, antioksidan,
antimikroba, pengawet, bahan untuk memperbaiki rasa dan warna produk yang
dikemas. Selain bahan-bahan yang digunakan relatif murah, dalam pembuatan edible
film juga menggunakan teknologi yang sederhana dan mudah dirombak secara biologis
(biodegradable) (Yulianti dan Ginting, 2012).
Fungsi utama dari edible film adalah salah satunya memiliki kemampuan dalam
peranannya sebagai penghalang, baik itu air, minyak, atau gas. Titik penting untuk
menjaga kesegaran, mengontrol pertumbuhan mikroba dan tekstur yang baik
merupakan kadar air pada makanan. Selain itu, fungsi dari edible film dapat mengontrol
Aw (water activity) melalui penerimaan atau pelepasan air (Hui, 2006). Edible film
dapat digunakan sebagai pengemas bahan makanan seperti biji-bijian dan kacang-
kacangan (Krisna, 2011), buah-buahan, sayuran segar dan sosis (Nofita, 2011)
Menurut (Nathalya, 2015) beberapa keunggulan edible film dibandingkan
dengan bahan pengemas lain yaitu:
1. Meningkatkan retensi warna, gula, asam, dan komponen flavor.
2. Mengurangi kehilangan berat.
3. Mempertahankan kualitas saat distribusi dan penyimpanan.
4. Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan.
5. Memperpanjang umur simpan.
6. Mengurangi penggunaan pengemas sintetik.
Berdasarkan komponennya, edible film dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori
yaitu: hidrokoloid (mengandung protein, polisakarida atau alginat), lemak (asam

5
lemak, acylgliserol atau lilin) dan kombinasi (dibuat dengan menyatukan kedua
substansi dari dua kategori) (Skurtys dkk., 2011). Standart Edible Film dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Standart Edible Film

Parameter Nilai
Ketebalan 0,25 mm
Kuat tarik 0,39 Mpa
Elongasi <10% buruk
>50% bagus
WVTR <7 g/m2/hari
Sumber: (JIS (Japanesse Industrial Standard), 1997)
2.1.1 Hidrokoloid
Hidrokoloid merupakan suatu polimer yang mudah larut dalam air, mampu
mengentalkan larutan dan mampu membentuk koloid atau mampu membentuk gel dari
larutan. Hidrokoloid atau koloid hidrofilik ini dapat menggantikan istilah gum. Ada
beberapa jenis dari hidrokoloid yaitu alami dan sintetik, kedua jenis tersebut sering
digunakan dalam industri pangan. Hidrokoloid diklasifikasikan menjadi tiga jenis,
yaitu hidrokolid utama, hidrokoloid utama termodifikasi, dan hidrokoloid sintetik
(Misnawati, 2015).
Jenis hidrokoloid yang biasanya digunakan dalam pembuatan edible film adalah
protein atau karbohidrat. Karbohidrat yang digunakan dalam edible film dapat berupa
pati, pati yang dimodifikasi secara kimia, dan gum (alginat, pektin, dan gum arab).
Protein yang digunakan dalam pembentukan edible film dapat menggunakan gelatin,
kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum, dan protein jagung. Penggunaan
hidrokoloid dalam edible film sangat baik dalam menghambat perpindahan oksigen,
karbondioksida, dan lemak, serta memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,
sehingga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah
hancur. Peran polisakarida dalam pembuatan edible film yaitu untuk mengatur udara
sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan. Penggunaan dari
senyawa hidrokoloid ini memiliki banyak keuntungan yaitu tersedia dalam jumlah
yang banyak, mempunyai harga yang murah, dan bersifat non toksik (Misnawati,
2015).

6
2.1.2 Lipida
Nama suatu golongan senyawa organik yang meliputi sejumlah senyawa yang
terdapat di alam yang memiliki sifat dapat larut dalam pelarut-pelarut organik tetapi
sukar larut atau tidak larut dalam air disebut lipida. Pelarut organik yang dimaksud
yaitu pelarut organik non polar, seperti benzen, dietil eter, pentana, dan karbon
tetraklorida. Lipid dapat diekstraksi dari sel jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan
pelarut-pelarut tersebut (Misnawati, 2015). Penggunaan lipida pada pembuatan edible
film sering digunakan sebagai penghambat uap air, atau bahan pelapis untuk
meningkatkan kilap pada produk-produk permen. Sedangkan penggunaan lemak murni
dalam pembuatan edible film sangat terbatas dikarenakan dapat menghasilkan kekuatan
struktur film yang kurang baik (Fennema dkk, 2004).
Penggunaan lipid dalam pembuatan edible film memiliki karakteristik yaitu
tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang,
dan polaritas. Contoh lipida yang sering digunakan sebagai pembuatan edible film
antara lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak,
monogliserida, dan resin (Hui, 2006). Carnauba merupakan jenis lilin yang biasa
digunakan hingga sekarang. Salah satu alasan mengapa lipida ditambahkan dalam
edible film adalah untuk memberikan sifat hidrofobik (Misnawati, 2015).
2.1.3 Komposit
Komponen lipid dan hidrokoloid merupakan komposit dari edible film. Cara
pengaplikasian dari komposit film dapat dibentuk dalam lapisan satu-satu (bilayer),
lapisan satu merupakan hidrokoloid dan lapisan lain merupakan lipida, atau dapat
berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Komposit digunakan
untuk mengambil keuntungan dari setiap komponen hidrokoloid dan lipida.
Hidrokoloid dapat memberikan daya tahan dan lipida akan meningkatkan ketahanan
terhadap penguapan air. Hasil film gabungan antara hidrokoloid serta lipida (komposit)
ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan serta sayuran yang telah mengalami
proses minimalis (Misnawati, 2015).

7
2.2 Lidah Buaya
2.2.1 Gambaran Umum Lidah Buaya
Liliaceae merupakan golongan tanaman Lidah buaya (Aloe vera L.) yang
berasal dari Afrika tepatnya Ethiopia. Sebagian besar lidah buaya berisi pulp atau
daging yang mengandung getah bening, lekat dan berbentuk gel. Sedangkan bagian
luar dari lidah buaya berupa kulit tebal yang berklorofil (March, 2006). Tanaman lidah
buaya (Aloe vera L.) banyak tumbuh pada iklim tropis ataupun subtropis dan sudah
digunakan sejak lama karena fungsi pengobatannya. Benua Afrika, Asia dan Amerika
merupakan daerah yang biasanya lidah buaya dapat tumbuh. Lidah buaya dapat tumbuh
pada musin kemarau dikarenakan bagian stomata daun lidah buaya dapat tertutup rapat
karena untuk menghindari air daun. Suhu optimum untuk pertumbuhan lidah buaya
berkisar antara 16-33°C dengan curah hujan 1000-3000 mm dengan musim kering agak
panjang, sehingga lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air
(Furnawanthi, 2002).
Adapun taksonomi dari lidah buaya menurut (Furnawanthi, 2002) adalah
sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Liliflorae
Suku : Liliaceae
Marga : Aloe
Jenis : Aloe barbadensis Miller
Secara umum, lidah buaya merupakan jenis tanaman terlaris didunia yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri dan tanaman
obat. Berdasarkan hasil penelitian, lidah buaya memiliki beberapa kandungan antara
lain kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida, dan
komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Arifin, 2014)
Lidah buaya memiliki salah satu zat penting yaitu aloe emodin, sebuah senyawa
organik dari golongan antrokuinon yang mengativasi jenjang sinyal insulin seperti

8
fosfatidil inositol-3 kinase dan meningkatkan laju sintesis glikogen dengan
menghambat glikogen sintase kinase 3 beta, sehingga sangat berguna untuk
mengurangi rasio gula darah (Arifin, 2014). Bentuk dari tanaman lidah buaya dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lidah Buaya (Aloe vera L.)


Sumber: (Rifaldo, 2020)
2.2.2 Lidah Buaya
Tanaman lidah buaya merupakan tanaman yang serbaguna untuk kesehatan,
mudah ditanam dan tumbuh didaerah berhawa panas (tropik). Julukan tanaman lidah
buaya ini yaitu the miracle plant atau tanaman ajaib karena memiliki banyak manfaat
dan khasiat bagi kehidupan manusia. Lidah buaya mampu menyembuhkan luka dan
meredam rasa sakit atau panas di kulit yang terbakar (Arifin, 2014).
Lidah buaya memiliki lebih dari 350 jenis yang termasuk dalam suku liaiaceae.
Menurut (Hayati, 2009), ada tiga jenis lidah buaya yang dibudidayakan secara
komersial di dunia, yakni curacao aloe atau Aloe barbadensis miller, cape aloe atau
Aloe ferox miller, dan socotrine aloe yang salah satunya adalah Aloe perryi baker.
Perbedaan ketiga jenis tanaman lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 2.
Spesies Aloe barbadensis miller merupakan jenis lidah buaya yang banyak
dimanfatkan karena jenis ini mempunyai banyak keunggulan yaitu: tahan hama,
ukurannya dapat mencapai 121 cm, berat per batangnya bisa mencapai 4 kg,
mengandung 75 nutrisi serta aman dikonsumsi (Istanto dkk., 2014). Perbedaan
karakteristik ketiga jenis lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 2.

9
Gambar 2. Jenis-jenis Tanaman Lidah Buaya a) Aloe barbadensis miller, b) Aloe
ferox miller, c) Aloe perryi baker
Sumber: (Pradnyani and Ari, 2018)

Tabel 2. Karakteristik Tiga Jenis Tanaman Lidah Buaya

No. Karakteristik Aloe Barbadensis Aloe Aloe Perryi


Miller Ferox Miller Baker
1. Batang Tidak terlihat Terlihat jelas Tidak terlihat
jelas (tinggi 3-5 m jelas (lebih
atau lebih) kurang 0,5 m)
2. Bentuk daun Lebar dibagian Lebar Lebar dibagian
bawah, dengan dibagian bawah
pelepah bagian bawah
atas cembung
3. Lebar daun 6-13 cm 10-15 cm 5-8 cm
4. Lapisan lilin pada Tebal Tebal Tipis
daun
5. Duri Dibagian pinggir Dibagian Dibagian
daun pinggir dan pinggir daun
bawah daun
6. Tinggi bunga (mm) 25-30 (tinggi 35-40 25-30
tangkai bunga 60-
100 cm)
7. Warna bunga Kuning Merah tua Merah terang
hingga jingga
Sumber: (Arifin, 2014)
2.2.3 Gel Lidah Buaya
Bagian daun terdalam yang berlendir dinamakan gel. Memiliki sifat
mendinginkan dan mudah rusak karena oksidasi, sehingga pengolahan lebih lanjut

10
sangat dibutuhkan agar diperoleh gel yang stabil dan tahan lama (Wahjono dkk, 2002).
Sebagian besar gel lidah buaya terdiri dari air dan sisa berupa padatan terutama
karbohidrat, dan memiliki beberapa vitamin, protein, mineral serta mempunyai
beberapa senyawa aktif yang mengandung antimikroba dan antioksidan. Gel lidah
buaya tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempengaruhi rasa atau rupa, alami serta
aman untuk digunakan, sehingga pada pengaplikasian gel lidah buaya dapat sebagai
edible film dan mampu meminimalkan resiko oksidasi serta kontaminasi mikroba pada
produk pangan. Pada penelitian edible film dengan proporsi gel lidah buaya 3%,
memiliki karakteristik edible film perlakuan terbaik dengan kadar air 4,22%, total fenol
828,42 μg/g, aktivitas antioksidan 22,34%, tensile strength 166,23 N/cm2, elongasi
50,22%, transmisi uap air 13,97 g/m2, tingkat kecerahan 63,98 (Afriyah dkk., 2015)
Cara pengaplikasian gel lidah buaya sebagai edible menurut (Afriyah dkk.,
2015) gel lidah buaya dapat dibuat edible film dikarenakan lidah buaya sebagian besar
berisi pulp atau daging yang mengandung getah bening, lekat dan berbentuk gel.
Sedangkan bagian luar berupa kulit tebal yang berklorofil. Gel lidah buaya sebagian
besar terdiri dari air dan sisanya berupa padatan terutama karbohidrat, dan memiliki
beberapa vitamin, protein, mineral serta mempunyai beberapa senyawa aktif yang
mengandung antimikroba dan antioksidan. Selain itu gel lidah buaya tidak berwarna,
tidak berbau, tidak mempengaruhi rasa atau rupa, alami serta aman untuk digunakan,
sehingga diharapkan pada pengaplikasian gel lidah buaya sebagai edible film mampu
meminimimalkan resiko oksidasi serta kontaminasi mikroba pada produk pangan.
Penambahan lidah buaya dengan proporsi pati kacang hijau dan gliserol pada edible
film diharapkan dapat berpengaruh terhadap karakteristik sifat edible film yang
bermutu tinggi, dan mampu memberikan perannya sebagai pelapis alternatif yang
bermanfaat bagi produk-produk pangan. Menurut (Chauhan dkk., 2016) cara
memperoleh lapisan bening gel aloe vera dapat berasal dari sel parenkim daun aloe
vera segar. Gel lidah buaya memiliki kandungan bioaktif antara lain antraquinon (aloin,
barbaloin, emodin), sakarida (selulosa, manosa, glukomanan), vitamin (B1, B2, B6, C)
dan enzim (amilase, katalase, lipase). Gel lidah buaya yang telah diekstrak ini secara
alami mengandung antioksidan dan antimikroba yang mampu melawan bakteri patogen

11
sehingga dapat berpotensi sebagai bahan dasar edible film. Selain itu, pada gel lidah
buaya terkandung zat-zat penting lain yang dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan
komponen nutrisi gel lidah buaya per 100g dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Zat-Zat yang Terkandung di dalam Gel Lidah Buaya

Zat Kegunaan
Lignin  Mempunyai kemampuan penyerapan
yang tinggi, sehingga memudahkan
peresapan gel ke kulit atau mukosa.
Saponin  Mempunyai kemampuan
membersihkan dan bersifat
antiseptik.
 Bahan pencuci yang sangat baik.
Kompleks Anthraquinone alon,  Bahan laktasatif.
Barbaloin, Iso-Barbaloin, Anthranol,  Penghilang rasa sakit, mengurangi
Aloe emodin, Anthrancene, Aloetic racun.
acid, Ester Asan Sinamat, Asam  Senyawa anti bakteri.
Krisophanat, Eteral oil, Resistanol  Mempunyai kandungan antibiotik.
Acemannan  Sebagai anti virus.
 Anti bakteri.
 Anti jamur.
 Dapat menghancurkan sel tumor,
serta meningkatkan daya tahan
tubuh.
Vitamin B1, B2, Niacinamida, B6,  Bahan penting untuk menjalankan
Cholin, Asam Folat fungsi tubuh secara normal.
Enzim oksidase, amylase, katalase,  Mengatur proses-proses kimia dalam
lifase, protease tubuh.
 Menyembuhkan luka dalam dan luar.
Monosakarida, polisakarida, selulosa,  Bahan laktasatif.
glukosa, mannose, aldophentosa,  Penghilang rasa sakit, mengurangi
rhamnosa racun.
 Senyawa antibakteri.
 Mempunyai kandungan antibiotik.
Enzim bradykinase, karbiksipeptidase  Mengurangi inflamasi.
 Anti alergi.
 Dapat mengurangi rasa sakit.
Glukomannan, Mukopolysakarida  Memberikan efek imuno modulasi.
Salisilat  Menghilangkan rasa sakit, dan anti
inflamasi.
Tennin, aloctin A  Sebagai anti inflamasi.
Sumber: (Arifin, 2014).

12
Tabel 4. Komponen Nutrisi Gel Lidah Buaya per 100g

Komponen Jumlah
Karbohidrat 0.300 g
Kalori 1.750 – 2.300 kal
Lemak 0.050 – 0.090 g
Protein 0.010 – 0.061 g
Vitamin A 2.000 – 4.600 IU
Vitamin C 0.500 – 4.200 mg
Thiamin 0.003 – 0.004 mg
Riboflavin 0.01 – 0.04 mg
Niacin 0.038 – 0.040 mg
Kalsium 9.920 – 10.920 mg
Besi 0.060 – 0.320 mg
Sumber: (Sushanty, 2014)

2.3 Kacang Hijau


2.3.1 Gambaran Umum Kacang Hijau
Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan tanaman kacang-kacangan ketiga
yang banyak dibudidayakan di Indonesia setelah kedelai dan kacang tanah. Indonesia
termasuk salah satu negara yang memiliki kesempatan untuk melakukan ekspor kacang
hijau apabila dilihat dari kesesuaian iklim dan kondisi lahan yang dimiliki (Purwono
dan Hartono, 2005). Kacang hijau memiliki ukuran batang yang kecil, batang tumbuh
tegak mencapai 30-110 cm, bercabang menyebar ke semua arah, berbulu, berwarna
hijau kecoklat-coklatan atau kemerah-merahan. Daun kacang hijau adalah daun
majemuk dengan tiga helai anak daun per tangkai, helai daun berbentuk oval dengan
ujung lancip dan berwarna hijau. Buah kacang hijau berbentuk polong dengan panjang
antara 6-15 cm, tiap polong berisi 6-16 butir biji, biji kacang hijau berbentuk bulat kecil
dengan bobot (berat) tiap butir 0,5 mg-0,8 mg atau berat per 1000 butir antara 36g-78g.
Biji kacang hijau berwarna hijau kusam atau hijau mengkilap, namun adapula yang
berwarna kuning dan coklat (Fachrudin, 2000). Bentuk dari kacang hijau dapat dilihat
pada Gambar 3.

13
Gambar 3. Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Sumber: (Balitkabi, 2005)
Adapun taksonomi dari kacang hijau menurut (Purwono dan Hartono, 2005)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyldonae
Ordo : Leguminales
Famili : Leguminosae
Genus : Vigna
Spesies : Vigna radiata L.
Kandungan dari kacang hijau antara lain sumber protein nabati, vitamin (A, B1,
C, dan E), serta beberapa zat lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti
amilum, besi, belerang, kalsium, minyak lemak, mangan, magnesium dan niasin. Selain
biji, daun kacang hijau muda sering dimanfaatkan sebagai sayuran. Khasiat dari kacang
hijau bermanfaat untuk melancarkan buang air besar dan menambah semangat
(Purwono dan Hartono, 2005). Kandungan protein kacang hijau sekitar 22%. Kacang
hijau termasuk bahan makanan sumber protein kedua setelah susu skim kering. Namun
bila dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, kandungan protein kacang hijau
menempati peringkat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah. Kacang hijau 100g
mengandung 22g protein yang kaya akan asam amino lisin (7,94%). Kacang hijau
mengandung mineral kalsium dan fosfor yang relatif tinggi yaitu 125 mg kalsium dan

14
320 mg fosfor dalam 100 g kacang hijau. Lemak kacang hijau (1,2 g/100g) jauh lebih
rendah dari kacang kedelai (15,6 g/100g), karena itu kacang hijau sangat baik bagi
orang yang ingin menghindari konsumsi lemak tinggi. Kacang hijau memiliki
kandungan rendah lemak yang dapat menyebabkan bahan makanan atau minuman
yang terbuat dari kacang hijau tidak mudah tengik. Lemak kacang hijau tersusun atas
73% asam lemak tak jenuh dan 27% asam lemak jenuh (Diniyati, 2012). Komposisi
zat gizi kacang-kacangan per 100g yang dapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Zat Gizi Kacang-Kacangan per 100 gram

Zat Gizi Kacang Hijau Kacang Merah Kedelai Kacang Tanah


Energi (kkal) 323 314 381 525
Protein (g) 22,9 22,1 40,4 27,9
Lemak (g) 1,5 1,1 16,7 42,7
Karbohidrat (g) 56,8 56,2 24,9 17,4
Serat (g) 7,5 4 3,2 2,4
Kalsium (mg) 223 502 222 310
Fosfor (mg) 319 429 628 456
Besi (mg) 7,5 10,3 10 5,7
Sumber: (Kemenkes, 2009)

2.3.2 Pati Kacang Hijau


Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuhan dan merupakan
karbohidrat utama yang dimakan oleh manusia sebagai sumber energi utama. Dua
fraksi yang terdapat pada pati dapat dipisahkan dengan air panas. Dua fraksi tersebut
yaitu fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin
(Winarno, 2005). Molekul amilosa merupakan polimer dari unit-unit glukosa dengan
bentuk ikatan α-1,4 glikosidik, berbentuk rantai lurus, tidak bercabang atau mempunyai
struktur heliks yang terdiri dari 200 - 2000 satuan anhidroglukosa sedangkan
amilopektin merupakan polimer unit-unit glukosa dengan ikatan α-1,4 glikosidik pada
rantai lurus dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangan, terdiri dari 10.000 - 100.000
satuan anhidroglukosa (Adebowale dan Lawal, 2003).
Amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai
polimernya yang sederhana. Struktur yang sederhana ini dapat membentuk interaksi
molekuler yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa.

15
Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa dibanding
amilopektin. Namun, pada dasar struktur amilopektin sama seperti amilosa, yaitu
terdiri dari rantai pendek α-1,4-D-glukosa dalam jumlah yang besar (Taggart, 2004).
Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat berpengaruh pada profil gelatinisasi pati.
Gelatinisasi merupakan suatu proses ketika granula pati dipanaskan dengan air yang
cukup sehingga terjadi pengembangan granula pati dan menghasilkan cairan yang
kental untuk memberikan kualitas produk yang diinginkan (Rohaya, 2013).
Pati disimpan dalam granula-granula yang terpisah, dengan ukuran, bentuk,
morfologi, komposisi, dan struktur molekul bervariasi tergantung asal tanamannya
(Sajilata, 2006). Diameter granula umumnya berkisar 1 μm - 100 μm, dengan berbagai
variasi bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan, serta terdistribusi secara
tunggal maupun bergerombol (Bertolini, 2010). Pati tersusun oleh polimer rantai lurus
amilosa dan polimer bercabang amilopektin. Umumnya pati mengandung 20-30%
amilosa dan 70-80% amilopektin, tetapi pada varietas tertentu mengandung pati
beramilopektin tingi seperti pada waxy corn dengan amilopektin 98% (Stipanuk,
2012).
Pati kacang hijau dapat diisolasi dengan cara kering maupun cara basah, namun
isolasi cara basah lebih banyak dikerjakan (Triwitono dkk., 2017). Granula pati kacang
hijau mempunyai bentuk dan ukuran tidak seragam serta sangat heterogen. Granula
pati kacang hijau berbentuk oval sampai bulat, seperti ginjal (kidneyshaped), elips,
bulat-kecil, dan berbentuk kubah dengan ukuran granula antara 5 – 40 μm (Li dkk.,
2011). Cara pengaplikasian kacang hijau menurut (Triwitono dkk., 2017) pada isolasi
pati cara basah, perlu modifikasi tertentu misalnya dengan penyosohan untuk merusak
sebagian kulit biji dan lembaga sehingga tidak terjadi perkecambahan selama
perendaman pada suhu kamar atau dapat langsung menggunakan kacang hijau yang
telah dikupas terlebih dahulu. Kajian sifat-sifat pati kacang hijau dari berbagai negara
sudah cukup banyak dilakukan, tetapi kajian sifat-sifat pati kacang hijau lokal asal
Indonesia masih sangat terbatas untuk dijadikan edible film.
Menurut (Garcia dkk., 2000) melaporkan bahwa kandungan amilosa yang
tinggi akan membuat film menjadi lebih kompak karena amilosa bertanggung jawab

16
terhadap pembentukan matriks film. Amilosa adalah fraksi yang berperan dalam
pembentukan gel serta dapat menghasilkan lapisan tipis (film) yang baik dibandingkan
amilopektin. Kacang-kacangan dikenal sebagai bahan pangan sumber protein, namun
pada kacang hijau mempunyai sifat cukup unik. Kacang hijau mengandung protein dan
sekaligus pati cukup tinggi. Menurut penelitian (Triwitono dkk., 2017) menyatakan
bahwa kandungan pati kacang hijau berkisar antara 40,41- 43,46% dengan rendemen
pati bervariasi antara 26- 36,76%. Kadar amilosa pada kacang hijau varietas lokal
berkisar antara 53,70-55,39%. Hasil ekstraksi pati kacang hijau mempunyai kemurnian
pati sangat tinggi (berkisar 99,22 - 99,80%) dengan kadar abu dan lemak sangat rendah.
Sedangkan menurut (Gozali dkk., 2020) data hasil perhitungan analisis bahan baku
didapat bahwa bahan baku pati kacang hijau mengandung pati sebesar 87,59%. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa kacang hijau sangat potensial untuk dimanfaatkan
sebagai produk pangan yang membutuhkan sumber pati yang tinggi. Pati kacang hijau
dipilih sebagai bahan baku pembuatan edible film dikarenakan mudah didapat, murah
serta kandungan amilosa pada kacang hijau cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan
kelarutan dalam air. Oleh karena itu pati kacang hijau sangat berpotensi untuk
digunakan sebagai bahan baku edible film. Menurut penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh (Irmayani, 2020) menyatakan bahwa terjadi interaksi antara konsentrasi
pati kacang hijau. Penambahan pati kacang hijau dengan konsentrasi berbeda
berpengaruh nyata terhadap ketebalan, kelarutan, transparansi, kuat tarik, elongasi, dan
daya hambat bakteri. Hasil terbaik terdapat pada perlakuan P3J3 (pati kacang hijau 4%
+ filtrat jahe emprit 10%).

2.4 Gliserol
Gliserol sebagai plasticizer merupakan bahan penyusun atau pembentuk edible
film. Plasticizer merupakan substansi bersifat non-volatil, memiliki titik didih yang
tinggi, tidak memisah, yang ketika ditambahkan ke dalam materi lain mengubah sifat
fisik dan mekanik dari material tersebut. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan
edible film untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan
lapisan terutama jika disimpan pada suhu rendah. Gliserol (C3H8O3) merupakan

17
senyawa alkohol polihidrat (polyol) dengan 3 gugus hidroksil dalam satu molekul atau
disebut alkohol trivalent. Nama lain gliserol adalah gliserin atau 1,2,3-propanetriol.
Gliserol tidak berwarna, tidak berbau, rasa manis, berbentuk liquid sirup, meleleh pada
suhu 17,8˚C, mendidih pada suhu 290˚C dan larut dalam air dan etanol. Sifat gliserol
higroskopis, seperti menyerap air dari udara. Gliserol termasuk jenis plasticizer yang
bersifat hidrofilik, menambah sifat polar dan mudah larut dalam air. Secara umum
plasticizer dibutuhkan sekitar 10 - 60% dari berat kering, tergantung dari kekakuan
polimer (Sothornvit dan Krochta, 2005).
Gliserol bersifat humektan berfungsi untuk menahan air pada edible film
tersebut. Gliserol diperoleh dari fermentasi gula, sayuran, minyak hewan dan lemak.
Gliserol berbentuk cair pada suhu ruangan. Gliserol merupakan plasticizer yang efektif
dengan harga yang terjangkau. Selain itu, gliserol dapat membuat material fleksibel
pada suhu yang sangat rendah. Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang lebih
fleksibel dan halus, selain itu gliserol dapat meningkatkan permeabilitas film terhadap
gas, uap air, dan zat terlarut (Winarno F.G, 2005). Menurut penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh (Susi Irmayani, 2020) menyatakan bahwa kandungan gliserol yang
digunakan sebesar 1% b/b pati. Selain itu menurut (Gozali dkk., 2020) menyatakan
bahwa Konsentrasi gliserol berpengaruh nyata terhadap kadar air, kecepatan larut, dan
tekstur. Perlakuan terbaik adalah perlakuan C1P2 dengan konsentrasi CMC 1% dan
konsentrasi gliserol 2%.

18

Anda mungkin juga menyukai