Anda di halaman 1dari 35

BUKU PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN

DETEKSI DINI KANKER KOLOREKTAL DI


FASILITAS KESEHATAN TINGKAT
PERTAMA (FKTP)
DAFTAR ISI
Sambutan

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Sasaran
1.4 Landasan Hukum
1.5 Ruang Lingkup

BAB II Kanker Kolorektal


2.1 Pengertian
2.2 Epidemiologi
Anatomi dan Patofisiologi
2.3 Faktor Risiko
2.4 Tanda dan Gejala

BAB III Upaya Pencegahan dan Deteksi Dini di Masyarakat


3.1 Pencegahan Kanker Kolorektal
3.2 Deteksi dini
3.3 Pemeriksaan Colok Dubur
3.4 Pemeriksaan FOBT
3.5 Pemeriksaan Tingkat Lanjutan

BAB IV Pelaksanaan Deteksi Dini Kanker Kolorektal

4.1 Alur/Algoritme Pelaksanaan Deteksi Dini Kanker


Kolorektal di FKTP
4.2 Tindak Lanjut/Rujukan

BAB V Konseling
5.1 Pra pemeriksaan
5.2 Paska pemeriksaan

BAB VI Pengorganisasian dan Manajemen


6.1 Peran masing-masing jenjang
6.2 Pembiayaan
6.3 Monitoring dan Evaluasi

BAB VII Penutup


Daftar Pustaka

Tim Penyusun

Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan penyebab
kematian kedua terbanyak di dunia (WHO, 2020). Dari data Globocan 2020, kanker
kolorektal merupakan kanker terbanyak keempat di Indonesia dengan insiden 12,4 per
100.000 penduduk, dan mortalitas 6,7 per 100.000 penduduk.

Kunci utama keberhasilan penanganan kanker kolorektal adalah ditemukannya kanker


dalam stadium dini, sehingga terapi dapat dilaksanakan dengan tujuan kuratif. Sayangnya,
sampai saat ini sebagian besar pasien kanker kolorektal di Indonesia datang dalam
stadium lanjut yang berakibat angka harapan hidup rendah walaupun telah dilakukan
terapi secara maksimal. Banyak hal yang mengakibatkan keterlambatan terapi pada
pasien kanker kolorektal mulai dari deteksi dini yang belum adekuat, pengetahuan atau
kesadaran pasien yang kurang tentang gejala penyakit, tidak meratanya pengetahuan
dokter dalam menganali gejala kanker kolorektal hingga masalah ketersediaan sarana dan
prasarana deteksi, diagnosis hingga tatalaksana penyakit tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka deteksi dini kanker kolorektal memegang peranan
yang sangat penting. Deteksi dini yang adekuat terbukti dapat meningkatkan angka
harapan hidup penderita dan menurunkan angka kematian akibat kanker kolorektal. Hal
tersebut disebabkan dengan lebih banyak ditemukan kasus kanker kolorektal secara dini
akan meningkatkan luaran hasil pengobatan. Walaupun demikian, masih didapat
kesenjangan dalam hal skrining kanker kolorektal terutama terkait fasilitas skrining. Oleh
karena itu, perlu adanya panduan deteksi dini yang aplikatif khususnya di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Meningkatnya upaya penemuan stadium dini kanker kolorektal

b. Tujuan Khusus
 Terselenggaranya kegiatan pengenalan tanda dan gejala kanker kolorektal
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
 Terselenggaranya deteksi dini kanker kolorektal di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama
 Terselenggaranya sistem rujukan kasus kanker kolorektal secara berjenjang
 Terselenggaranya sistem pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi
program sesuai jenjang fasilitas pelayanan kesehatan.

1.3 Sasaran
a. Sasaran Langsung
Petugas kesehatan (Dokter, Perawat, Ahli Teknologi Laboratorium Medis) di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) pemerintah maupun swasta
b. Sasaran Tidak langsung
 Pengelola program pengendalian Penyakit Tidak Menular di Kementerian
Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota
 Unit Pelayanan Teknis (UPT)
 Lembaga Swadaya Masyarakat
 Organisasi Profesi
 Pemerhati kanker kolorektal
 Pasien dan Keluarga pasien Kanker kolorektal
 Masyarakat

1.4 Landasan Hukum


a. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan
b. Undang-undang No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Nasional
c. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
republik Indonesia tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063)
d. Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional
e. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2021 tentang Kementerian Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 83);
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022
Nomor 156);
g. Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan
Penyakit Tidak Menular
h. Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas)
i. Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan
j. Permenkes nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan
Kesehatan Nasional
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022
Nomor 156);
l. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 430/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Kanker

1.5 Ruang Lingkup


Buku ini membahas tentang Kanker Kolorektal, upaya deteksi dini di masyarakat, rujukan,
konseling sampai dengan monitoring dan evaluasi.
BAB II
KANKER KOLOREKTAL

2.1 Pengertian
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar , terdiri dari
kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus
besar sebelum anus). Distribusi kanker kolorektal di kolon dapat dilihat pada Gambar 1.

Kolon transversum
15%

Kolon
descendens
Kolon ascenden 5%
dan sekum
25%

Kolon sigmoid
25%
Kolon rektosigmoid
10% Rektum
20%

Gambar 1. Distribusi Kanker Kolorektal di Kolon


Sumber: Bresalier SR, 2016
2.2 Anatomi
Kolon adalah usus besar proksimal dari rektum. Pada orang dewasa, yang dimaksud
dengan rektum intra-operatif adalah batas fusi dua taenia mesenterik dengan area
amorfus rektum (true rectum); sedangkan pada pemeriksaan sigmoidoskop kaku, rektum
disepakati berjarak 15 cm dari anal verge (UKCCR) atau 12 cm dari anal verge (USA).13
Pilihan penanganan karsinoma rekti memerlukan ketepatan lokalisasi tumor, karena itu
untuk tujuan terapi rektum dibagi dalam 3 bagian, yaitu 1/3 atas, 1/3 tengah dan 1/3
bawah. Bagian 1/3 atas dibungkus oleh peritoneum pada bagian anterior dan lateral,
bagian 1/3 tengah dibungkus peritoneum hanya di bagian anterior saja, dan bagian 1/3
bawah tidak dibungkus peritoneum. Lipatan transversal rektum bagian tengah terletak +
11 cm dari garis anokutan dan merupakan tanda patokan adanya peritoneum. Bagian
rektum di bawah katub media disebut ampula rekti, di mana bila bagian ampula ini
direseksi maka frekuensi defekasi secara tajam akan meningkat. Hal ini merupakan
faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih tindakan pembedahan.
Bagian posterior rektum tidak ditutup peritoneum tetapi dibungkus oleh lapisan tipis fasia
pelvis yang disebut fasia propria. Pada setiap sisi rektum di bawah peritoneum terdapat
pengumpulan fasia yang dikenal sebagai ligamen lateral, yang menghubungkan rektum
dengan fasia pelvis parietal .

Letak ujung bawah tumor pada karsinoma rekti biasanya dihitung dari berapa cm jarak
tumor tersebut dari garis anokutan. Pada hasil-hasil yang dilaporkan harus disebutkan
apakah pembagian tersebut dibuat dengan endoskopi yang kaku atau fleksibel dan
apakah patokannya dari garis anokutan, linea dentata, atau cincin anorektal.

Bagian utama saluran limfatik rektum melewati sepanjang trunkus a. hemoroidalis


superior menuju a. mesenterika inferior. Hanya beberapa saluran limfe yang melewati
sepanjang v. mesenterika inferior. Kelenjar getah bening pararektal di atas pertengahan
katup rektum mengalir sepanjang cincin limfatik hemoroidalis superior. Di bawahnya
(yaitu 7-8 cm di atas garis anokutan), beberapa saluran limfe menuju ke lateral. Saluran-
saluran limfe ini berhubungan dengan kelenjar getah bening sepanjang a. hemoroidalis
media, fossa obturator dan a. hipogastrika serta a. iliaka komunis.

Perjalanan saluran limfatik utama pada karsinoma rekti adalah mengikuti pembuluh
darah rektum bagian atas menuju kelenjar getah bening mesenterika inferior. Aliran
limfatik rektum bagian tengah dan bawah juga mengikuti pembuluh darah rektum bagian
tengah dan berakhir di kelenjar getah bening iliaka interna. Karsinoma rekti bagian bawah
yang menjalar ke anus kadang-kadang dapat bermetastase ke kelenjar inguinal
superfisial karena adanya hubungan dengan saluran limfatik eferen yang menuju ke anus
bagian bawah.

Anatomi kolon yang terkait dengan kanker kolorektal saat ini dibagi atas kolon sisi kanan
dan kolon sisi kiri dimana kolon sisi kanan dimulai dari saekum, kolon asenden, flexura
hepatika dan sebagian kolon transversum. Sedangkan untuk kolon sisi kiri merupakan
sebagian dari kolon transversum, fleksura splenikum, kolon desenden hingga sigmoid.
Pembagian ini didasarkan dari asal anatomis dimana sisi kanan berasal dari midgut
sedangkan sisi kiri berasal dari hindgut.

Konsekwensi klinis yang mengikuti terkait dengan perbedaan sifat molekular dari sisi
kanan dan kiri serta respons terhadap pengobatan. Selain itu, prognosis secara
keseluruhan kanker kolorektal sisi kiri dikatakan lebih baik daripada sisi kanan.

2.2 Epidemiologi
Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak di dunia. Pada tahun 2020 terdapat
lebih dari 1,9 juta kasus kanker kolorektal dengan angka kematian sebanyak 935.173
kasus (World Cancer Research Fund International). Menurut American Cancer Society
(ACS), kanker kolorektal adalah kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker
penyebab kematian kedua terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat. Telah
diprediksi bahwa pada tahun 2023 terdapat 106.970 kasus baru kanker kolon dan 46.050
kasus baru kanker rektum. Angka kejadian kanker kolorektal telah menurun terutama
karena meningkatnya deteksi dini dan gaya hidup sehat. Namun usia terkena kanker
kolorektal tampak kecenderungan lebih muda dari usia 50 tahun.

Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang
(5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada perempuan dibandingkan pada laki-
laki. Data Globocan tahun 2020 juga menunjukkan kejadian kanker kolorektal kasus baru
pada laki-laki sebesar 21.764 (11.9%) dan 12.425 (5,8%) dari keseluruhan kanker pada
setiap jenis kelamin tersebut. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20
tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada
penanganan kanker kolorektal (American Cancer Society)

Di Indonesia kanker kolorektal adalah kanker keempat terbanyak pada semua jenis
kelamin, dan kedua terbanyak pada laki-laki setelah kanker paru. Insidens kanker
kolorektal di Indonesia 12,4 per 100.000, dan angka kematian 6,7 per 100.000 (Globocan,
2020). Masih tingginya angka kanker kolorektal dengan angka kematian yang cukup tinggi
membutuhkan penanganan yang tepat dan segera melalui upaya deteksi dini.

2.3 Faktor Risiko


Secara umum, individu yang berisiko mengalami kanker kolorektal dibagi menjadi dua
kelompok, yakni individu dengan risiko sedang dan tinggi.

Risiko sedang dapat dialami oleh individu yang:


a. Berusia 50 tahun atau lebih
b. Tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau inflammatory bowel disease (IBD)
c. Tanpa riwayat keluarga mengalami kanker kolorektal
d. Terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia 60 tahun

Sementara, risiko meningkat atau tinggi dialami oleh individu dengan:


a. Riwayat polip adenomatosa
b. Riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal
c. Riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau adenoma (rekomendasi
berbeda berdasarkan umur keluarga saat diagnosis)
d. Riwayat inflammatory bowel disease (IBD)
e. Diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non polyposis colorectal cancer
(HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial adenomatous polyposis (FAP)

Individu dengan risiko meningkat atau risiko tinggi terkena kanker kolorektal perlu
menjalani pemeriksaan teratur sejak dini, sehingga penyakit dapat diketahui dan diterapi
sejak awal sehingga memberikan harapan kesembuhan lebih tinggi. Namun, seperti yang
kita yakini bersama bahwa mencegah tentu saja lebih baik daripada mengobati. Oleh
karena itu, mengetahui dan mengontrol faktor risiko merupakan salah satu upaya
pencegahan kanker kolorektal yang efektif. Seperti penyakit kanker pada umumnya,
kanker kolorektal terjadi akibat adanya interaksi antara faktor lingkungan dan genetik.
Berbagai faktor lingkungan diketahui dapat berinteraksi dengan faktor genetik maupun
faktor didapat, sehingga menimbulkan kanker kolorektal.

Dengan demikian, kita perlu mengetahui berbagai faktor risiko yang dapat meningkatkan
atau menurunkan risiko kanker kolorektal yang telah diklasifikasikan menjadi dua
kelompok besar, yaitu:
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, terdiri atas riwayat kanker kolorektal atau
polip adenoma individual ataupun keluarga, riwayat individual penyakit kronis
inflamatorik pada usus, usia, jenis kelamin, dan ras (misalnya kanker kolorektal lebih
banyak dijumpai pada orang Amerika Utara dibandingkan ras Asia ataupun Afrika)
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi obesitas, diet (asupan tinggi daging
merah, tinggi energi, tinggi lemak, rendah serat), kurang aktivitas fisik, riwayat diabetes
mellitus, konsumsi alkohol, dan merokok.

Faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:


a. Faktor keluarga (familial) atau genetik
Sekitar 20% kasus kanker kolorektal memiliki riwayat familial. Beberapa syndrome
herediter akan meningkatkan kejadian kanker kolorektal antara lain: Lynch syndrome,
familial adenomatous polyposis dan Peutz Jeghers syndrome. Studi menunjukkan
risiko terkena kanker kolorektal meningkat 23 kali lipat pada pasien dengan keluarga
tingkat pertama menderita kanker kolorektal pada usia 50-70 tahun dan meningkat 3x
lipat pada keluarga tingkat pertama terdiagnosis pada usia <50. Oleh karena itu,
riwayat keluarga sangat perlu ditanyakan pada semua pasien kanker kolorektal.
b. Kurang aktivitas (gaya hidup sedenter) dan obesitas
Kurang aktivitas fisik dan obesitas merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko
kanker kolorektal. Kurang aktifitas fisik dapat menyebabkan gangguan buang air
besar, sehingga dapat meningkatkan lama kontak zat karsinogenik dengan dinding
usus, yang memungkinkan terjadinya mutasi sel usus dan menimbulkan kanker.
Kurang aktivitas juga dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas, yang akan
semakin meningkatkan risiko kanker kolorektal.

Obesitas meningkatkan risiko kanker kolorektal melalui peningkatan respons peradangan


dan meningkatkan kadar beberapa hormon dalam aliran darah. Penelitian menunjukkan
bahwa melakukan aktifitas fisik secara teratur setiap hari bersifat protektif dan dapat
menurunkan risiko kanker kolorektal hingga 50%. American Cancer Society (ACS) telah
menyarankan untuk melakukan aktifitas fisik tingkat sedang, seperti senam aerobik, jalan
cepat, berenang, bersepeda, dan lain-lain, selama paling tidak 30 menit setiiap hari, untuk
mencegah berbagai jenis kanker, termasuk kanker kolorektal.

c. Diet
Asupan makanan tinggi energi, tinggi lemak, serta rendah serat dapat meningkatkan risiko
kanker kolorektal. Membatasi konsumsi daging merah dan atau daging proses yang
dimasak dengan temperatur tinggi dengan waktu yang lama dapat mengurangi risiko
terjadinya kanker kolorektal.

d. Asupan serat rendah


Konsumsi serat yang berasal dari sayur, buah, kacang-kacangan, serealia dapat
menurunkan risiko kanker kolorektal. Hal ini karena serat dapat menurunkan waktu transit
tinja di usus, mengubah lingkungan di usus besar dengan cara menstimulasi fermentasi
bakteri komensal usus, dan meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek sehingga
menurunkan tingkat keasaman tinja. Kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan sel
kanker terhambat, sehingga dapat mencegah terjadinya kanker kolorektal.

e. Konsumsi daging merah dan daging yang diproses


Konsumsi daging merah dan daging proses (diasap, diasinkan, penambahan bahan
pengawet) dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal. Demikian halnya dengan proses
pemasakan menggunakan suhu tinggi (goreng atau bakar) meningkatkan risiko kanker
karena pembentukan zat karsinogenik heterosiklik amin. Sedangkan daging atau ikan
yang dimasak langsung di atas api menyebabkan pembentukkan polisiklik aromatik
hidrokarbon, yang meningkatkan risiko kanker kolorektal.

f. Suplemen kalsium
Cara kerja kalsium dalam menurunkan risiko kanker kolorektal belum diketahui secara
pasti. Sebuah metaanalisis dari berbagai uji klinik acak terkontrol menemukan bahwa
suplementasi kalsium dengan dosis lebih dari 1.200 mg/hari dapat menurunkan risiko
adenoma secara bermakna.

g. Vitamin D
Beberapa studi menunjukkan bahwa individu dengan kadar vitamin D yang rendah dalam
darah dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal. Namun, hubungan antara vitamin D
dan penyakit kanker belum diketahui secara pasti.

h. Kebiasaan
 Merokok
Kebiasaan merokok harus dihentikan karena merokok merupakan salah satu penyebab
terjadinya kanker kolorektal. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang masih berisiko
terkena kanker kolorektal meskipun telah berhenti merokok selama 25 tahun. Sekitar
1520% kanker kolorektal terkait dengan merokok, dan hubungan ini terutama pada
kanker rektum.

 Alkohol
Konsumsi alkohol harus hindari, karena konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko
kanker kolorektal. Alkohol termasuk wine meningkatkan risiko kanker melalui
beberapa mekanisme, yaitu sebagai pelarut yang mempermudah masuknya bahan
karsinogen ke dalam sel. Selain itu, alkoholisme sering dihubungkan dengan defisiensi
nutrisi, yang menyebabkan sel lebih rentan terhadap bahan karsinogen.

i. Obat-obatan dan hormon


Penggunaaan asam ursodeksikolik dosis tinggi dapat meningkatkan risiko kanker
kolorektal Sebaliknya, penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
secara teratur dan jangka panjang dapat menurunkan risiko kanker kolorektal. Saat ini,
beberapa ahli telah menganjurkan penggunaan aspirin atau OAINS sebagai pencegahan
kanker kolorektal. Namun, perlu diperhatikan bahwa OAINS dapat menyebabkan berbagai
efek samping serius, seperti perdarahan saluran cerna, tukak lambung, dan lain-lain.
Sehingga, penggunaanya harus hati-hati.

Pengobatan human growth hormone (HGH) pada masa kanak-kanak dan dewasa muda,
juga dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal. Sementara, penggunaan terapi insulin
hormon pascamenopouse secara teratur dan jangka panjang dapat menurunkan risiko
kanker kolorektal, tetapi penggunaannya tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan
risiko kanker payudara dan penyakit kardiovaskular.

2.4 Tanda dan Gejala


Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:
 Perubahan pola buang air besar (misalnya diare, konstipasi, perubahan bentuk dan
jumlah serta frekwensi defekasi)
 Defekasi feces bercampur darah dan lendir
 Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
 Massa intraluminal di dalam rektum
 Tanda-tanda obstruksi mekanik usus
 Nyeri perut berulang
 Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb<11 g% untuk laki-laki atau <10 g%
untuk perempuan pascamenoupouse)
 Mudah lelah dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
BAB III

PROGRAM PENCEGAHAN KANKER KOLOREKTAL

3.1 Pencegahan Kanker Kolorektal


Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan melalui dua cara yaitu Pencegahan
Primer dan Sekunder.

a. Primer
Pencegahan primer dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi pajanan
penyebab dan faktor risiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan individu
terhadap efek dari penyebab kanker. Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup
sehat dengan pola hidup CERDIK untuk menghindari faktor risiko penyebab kanker
kolorektal.

b. Sekunder
Deteksi dini (skrining) dan diagnosis dini pada kanker kolorektal memiliki peranan
penting dalam rangka untuk mencapai hasil tatalaksana yang optimal, yaitu
meningkatnya ketahanan hidup, menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas para
pasien kanker kolorektal. Deteksi Dini Kanker Kolorektal di FKTP dengan cara Colok
Dubur dan Tes Darah Samar atau Fecal Occult blood tests (FOBTs).

Tujuan deteksi dini kanker kolorektal adalah mendeteksi penyakit pada stadium awal
sehingga dapat dilakukan terapi dengan tujuan kuratif.

3.2 Deteksi Dini


Sasaran deteksi dini atau skrininig kanker kolorektal adalah:
a. Individu berusia 50 tahun atau lebih;
b. Individu dengan riwayat keluarga kanker kolorektal atau Individu dengan riwayat
keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau adenoma kolorektal (rekomendasi
berbeda berdasarkan umur keluarga saat didiagnosis);
c. Individu dengan riwayat polip adenomatosa;
d. Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal;
e. Individu dengan riwayat inflammatory bowel disease yang lama;
f. Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non-polyposis
colorectal cancer (HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial adenomatous polyposis
(FAP).

Selain riwayat penyakit tersebut, maka deteksi dini juga dilakukan pada orang dengan
keluhan pola defekasi yaitu sbb:
 Buang air besar bercampur darah dan/atau lendir
 Diare kronis
 Buang air besar 2 – 3 minggu seperti kotoran kambing
 Konstipasi kronis
 Perubahan bentuk dan frekwensi defekasi

Namun demikian apabila usia kurang dari 50 tahun tetapi ada faktor risiko dan gejala dapat
dilakukan deteksi dini.

3.3 Pemeriksaan colok dubur


Tujuan pemeriksaan colok dubur :
a. Menetapkan keutuhan sfingter ani
b. Mengetahui mukosa rekti licin atau berbenjol
c. Mengetahui ampula rekti
d. Mengetahui sarung tangan ada feces, darah atau lendir
e. Menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal

Gambaran khas pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan tepi, yang dapat
berupa :
 Suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu
plateu kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
 Suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak , tetapi umumnya
mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
 Suatu bentuk ulkus maligna yang khas dengan tepi noduler menonjol dengan kubah
yang dalam (bentuk ini paling sering)
 Suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan berbentuk cincin.
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap
cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada
pasien perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui
apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah ada
perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas
atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur.
b. Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.
Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum.
Pada lesi yang sudah lebih lanjut umumnya terfiksir karena penetrasi atau perlekatan ke
struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau
dinding anterior uterus.
c. Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler.

3.4 Pemeriksaan Tes Darah Samar fecal occult blood tests (FOBTs)
a. Definisi pemeriksaan tes darah samar feses (Faecal Occult Blood Test)
Tes darah samar feses (faecal occult blood test) adalah suatu prosedur sederhana
untuk mencari pasien-pasien awal kanker usus. Prosedur ini terdiri dari pengambilan
sampel feses dan pemeriksaan sampel di laboratorium. Pengambilan sampel feses
umumnya dapat dilakukan sendiri oleh pasien.

Prosedur ini berfungsi untuk memeriksa sejumah kecil darah dalam sampel feses yang
tidak terlihat oleh mata telanjang. Darah yang tidak dapat dilihat tersebut disebut juga
darah samar. Keberadaan darah samar dapat mengindikasikan adanya kanker
kolorektal, kanker usus besar atau polip di usus besar atau anus.

Biasanya, volume darah samar sangat sedikit sehingga hanya dapat dideteksi melalui
bahan kimia yang dibuat khusus untuk tes darah samar feses. Jika ada darah yang
berhasil terdeteksi, tes tambahan mungkin diperlukan untuk menemukan sumber
perdarahan. Tes darah samar feses hanya dapat mendeteksi ada tidaknya darah, dan
tidak dapat menentukan penyebab perdarahan tersebut.

b. Tujuan tes darah samar feses


Tes darah samar feses merupakan salah satu pilihan untuk mendeteksi kanker kolorektal.
Prosedur ini bisa menjadi pilihan jika pasien memiliki potensi terkena kanker kolorektal,
tanpa disertai gejala apa pun. Tes darah samar feses biasanya diulang setiap tahun.

c. Persiapan sebelum menjalani prosedur tes darah samar feses


Tes terhadap darah samar penting sekali untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang
tidak dapat dinyatakan secara makroskopi atau mikroskopis sampel hendaknya diperiksa
dalam keadaan segar (< 1 jam).

Tiga hari sebelum tes dilaksanakan, dokter mungkin akan meminta pasien untuk
menghindari beberapa jenis makanan atau obat-obatan tertentu, seperti:
 Buah-buahan dan sayuran tertentu, termasuk brokoli dan lobak
 Daging merah
 Suplemen vitamin C
 Obat penghilang rasa sakit, termasuk aspirin dan ibuprofen

Untuk memastikan hasil tes yang akurat, ikuti instruksi dokter dengan hati-hati. Sebab,
berbagai makanan, suplemen makanan, dan obat-obatan dapat mengubah hasil tes darah
samar feses.

d. Jenis Tes Darah Samar


Terdapat beberapa jenis tes darah samar yang dapat dilakukan yaitu Benzidine test,
Guaiac fecal occult blood test (gFOBTs), Fecal Occult Blood Rapid Test, dan
Immunochemical fecal occult blood test (iFOBT atau FIT).

 Jenis tes darah samar yang dilakukan di FKTP:

- Metode Benzidine Basa


Prinsip: Hemoglobin sebagai peroksidase akan menguraikan H2O2 dan
mengoksidasi benzidin menjadi warna biru.
Alat dan Bahan:

A. Alat

Wadah penampung sampel Feses (Pot feses)


Tabung reaksi dan rak tabung

Alat pemanas (Hot plate)

B. Bahan
Sampel Feses yang akan diperiksa
Kristal benzidin basa
Hidrogen peroksida (H2O2) 3%
NaCl 0,9%
Asam cuka glasial
Prosedur Kerja:
1. Buatlah emulsi tinja dengan air atau dengan larutan garam kira-kira 10 ml dan
panasilah hingga mendidih.
2. Saringlah emulsi yang masih panas itu dan biarkan filtrate sampai menjadi dingin
kembali.
3. Ke dalam tabung reaksi lain dimasukkan benzidine basa sebanyak sepucuk pisau.
4. Tambahkan 3 ml asam acetat glacial, kocoklah sampai benzidine itu larut dengan
meninggalkan beberapa Kristal.
5. Bubuhilah 2ml filtrate emulsi tinja, campur.
6. Berilah 1ml larutan hydrogen peroksida 3 %, campur.
7. Hasil dibaca dalam waktu 5 menit ( jangan lebih lama ).

Intrepretasi hasil:

Negatif (-): tidak ada perubahan warna atau samar-samar hijau

Positif (+) Hijau

Positif (++) biru bercampur hijau positif

Positif (+++) Biru

Positif (++++) Biru tua

- Metode Benzidine Dihidrochlorida


Jika hendak memakai benzidine dihirochlorida sebagai pengganti benzidine basa
dengan maksud mengurangi hasil positif palsu, maka caranya sama.

- Metode Guajac
1. Buatlah emulsi tinja sebanyak 5ml dalam tabung reaksi dan tambahkan 1ml asam
acetat glacial, campur.
2. Dalam tabung reaksi lain dimasukkan sepucuk pisau serbuk guajac dan 2ml
alcohol 95 %, campur.
3. Tuang hati-hati isi tabung kedua dalam tabung yang berisi emulsi tinja sehingga
kedua jenis campuran tetap sebagai lapisan terpisah.
4. Hasil positif kelihatan dari warna biru yang terjadi pada batas kedua lapisan itu.
Derajat kepositifan dinilai dari warna itu.

Hasil dinilai dengan cara :


Negatif (-): tidak ada perubahan warna atau samar-samar hijau

Positif (+) Hijau

Positif (++) biru bercampur hijau positif

Positif (+++) Biru

Positif (++++) Biru tua

- Metode Fecal Occult Blood Rapid Test


Merupakan tes immunokromatografi berdasarkan tes in vitro satu step sebagai alat
pengukur kualitatif darah samar yang terdapat dalam feces manusia. Tes ini dapat
mendeteksi konsentrasi hemoglobin minimal lOOng Hb / ml feces spesifik terhadap
hemoglobin manusia. Tes ini tidak memerlukan diet ketat sebelum dilakukan
pemeriksaan dan memiliki akurasi sebesar 98%.

Petunjuk Penggunaan
- Bawa test dan sampel ke suhu ruang.
- Keluarkan test Card dari bungkus, letakkan test Card pada permukaan datar.
- Buka tutup tabung koleksi dan ambil secara acak sampel feces dengan stik yang
tersedia di dalam tabung koleksi minimal di 6 tempat yang berbeda lalu dikocok
sampai rata.
- Pegang tabung tegak lurus dan pecahkan pipet diatas tump tabung, masukan 3
tetes campuran tersebut kedalam lubang sampei ( S ) dan jalankan timer.
- Baca hasil dalam kurun waktu 5 menit. Jangan membaca hasil setelah lebih dari
10 menit
Pembacaan hasil:
Positif: Terbentuk dua garis berwarna, satu pada zona garis Tes dan satu pada
zona garis Control. Hal ini berarti terdapat darah samar diatas cut off value dalam
feces tersebut.
Negatif: ferbentuk satu garis wama pada zona garis Control saja. J
Invalid/Test gagal: Jika tidak timbul garis wama pada zona Control maka test
dinyatakan gagal. Ulangi tes dengan alat baru.

Pembacaan hasil Fecal Occult Blood Rapid Test

 Tes darah samar yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan:

Metode Immunochemical fecal occult blood test (iFOBT atau FIT):


Metode prosedur ini dapat berbeda, tergantung pabrik pembuat perangkat tes.
Biasanya pasien diminta diminta buang air besar untuk mendapatkan sampel feses.
Pasien akan mendapatkan sendok khusus atau perangkat lain untuk mengambil dan
mengumpulkan sampel tinja tersebut.
Selanjutnya sampel tinja harus disimpan di dalam suatu wadah yang dilengkapi
dengan test kit. Wadah sampel kemudian diserahkan pada dokter atau petugas
laboratorium yang ditunjuk.
Tes imunokimia dari feces lebih sering dipilih dibanding tes darah samar feses lainnya,
karena lebih akurat dan tidak memerlukan diet (tidak dipengaruhi oleh makanan),
sebelum pengumpulan dan pengujian sampel dilakukan. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk pemeriksaan tingkat lanjut.

3.5 Pemeriksaan Tingkat lanjutan


Apabila salah satu hasil pada pemeriksaan di atas ditemukan kelainan, maka pasien di
rujuk ke FKRTL untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, yaitu :
 Pemeriksaan endoskopi (fleksibel sigmoidoskopi, kolonoskopi) dan/atau pemeriksaan
radiologik (barium enema dengan kontras ganda dan computed tomography (CT)
colonography).
 Kolonoskopi dilakukan setiap 5 tahun, jika FKRTL tidak mempunyai kolonoskopi,
dapat dilakukan CT colonography atau barium enema. Hal ini tergantung keadaan
klinis pasien, standar pelayanan di FKRTL dan keputusan tim dokter.
BAB IV
PELAKSANAAN DETEKSI DINI KANKER KOLOREKTAL
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

4.1 Alur/Algoritme Pelaksanaan Deteksi Dini Kanker Kolorektal di FKTP

Aktif

Deteksi Dini Jika hasil salah satu


di pemeriksaan (+), maka rujuk
FKRTL
Puskesmas untuk penegakan diagnosa
1.1 Tind
/Fasilitas dan dilakukan tata laksana
Kesehatan sesuai Prosedur
Tingkat
Primer

Positif
Populasi ≥ 50 Pemeriksaan Fisik
tahun (Rectal Touche) dan
pemeriksaan darah Hasil
Risiko samar feses di Deteksi
sedang/tinggi Puskesmas/FKTP Dini

Riwayat gejala Negatif

Pasif

Self Jika hasil kedua pemeriksaan


negatif, maka
Assessment • Edukasi Pola Hidup
pada mobile Sehat
Jaminan • Edukasi Kunjungan
rutin ke FKTP untuk
Kesehatan pemeriksaan setiap
Nasional tahun

Keterangan:

- Peserta deteksi dini aktif datang ke Puskesmas/FKTP dijaring melalui jalur Pelayanan
terpadu (Pandu), Poliklinik umum, Posyandu

- Anamnesis faktor risiko dan gejala:


• Riwayat perubahan pola BAB: darah dan lendir, diare kronis, perubahan bentuk
dan konsistensi,konstipasi kronis
• Riwayat Keluarga dengan KKR
• Riwayat reseksi KKR
• Riwayat inflammatory bowel disease (IBS)
• Riwayat Polip adenomatosa
• Riwayat diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary non-polyposis colorectal cancer
(HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial adenomatous polyposis (FAP).

4.2 Tindak Lanjut/Rujukan


Rujukan kanker kolorektal dilaksanakan mengacu pada sistem rujukan kesehatan
yang ada yang dilaksanakan sebagai berikut :

a. FKTP melakukan deteksi dini kanker kolorektal pada setiap pasien usia 50
tahun ke atas dengan faktor risiko kanker kolorektal yang datang berkunjung
ke FKTP. Petugas FKTP mendeteksi dini/mendiagnosis dini kanker kolorektal
yang ditemukan, yang selanjutnya dirujuk ke RS sesuai kebutuhan medis
pasien dan kompetensi fasiltas pelayanan kesehatan penerima rujukan.
Rujukan ditujukan ke RS yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan medis
pasien. Kompetensi Fasyankes berdasarkan SDM, jenis layanan RS, alat
kesehatan dan daya tampungnya. Kelas RS yang dipilih sesuai dengan
kebutuhan medis pasien dan kompetensi sehingga bisa merujuk ke RS kelas
C, B, atau A langsung.
b. Bila RS membutuhkan, bisa merujuk lagi ke RS yang memiliki kompetensi lebih
memadai.
c. Tenaga kesehatan di RS melakukan diagnosis dan pengobatan sesuai dengan
fasilitas yang dipunyai. Selain itu, dilakukan juga perawatan paliatif pada setiap
pasien kanker kolorektal.
BAB V
KONSELING

5.1 Pra Pemeriksaan


Sangat penting memberikan konseling pada klien sebelum pemeriksaan yaitu
menjelaskan pentingnya pemeriksaan, cara pemeriksaan, dan kemungkinan hasil
pemeriksaan serta tindakan apa yang akan dilakukan setelah pemeriksaan. Sangat
diperlukan kemampuan tim untuk mengetahui tanda dan gejala dini kanker kolorektal,
untuk menjaring secara awal kemungkinan klien dengan risiko kanker kolorektal sehingga
dapat dilakukan deteksi dini serta memberikan tindakan yang tepat untuk untuk
pencegahan kanker selanjutnya.

5.2 Paska Pemeriksaan


Petugas kesehatan harus memberitahukan hasil pemeriksaan apabila hasilnya normal
kapan klien harus kembali untuk memeriksakan diri serta upaya pencegahan kanker
seperti pola hidup sehat yang harus dilakukan serta gejala yang harus diwaspadai. Apabila
hasilnya ditemukan kelainan maka klien harus dijelaskan mengenai kemungkinan
tindakan yang akan dilakukan di FKTL serta mendorong klien agar mau melakukan
tindakan selanjutnya.
BAB VI
PENGORGANISASIAN DAN MANAJEMEN

6.1 Peran masing-masing jenjang Institusi Kesehatan dan masyarakat


Upaya pengendalian kanker kolorektal dilaksanakan oleh setiap jenjang bidang kesehatan
serta mendapat dukungan semua pihak terkait. Pengorganisasian mengenai peran
masing-masing jenjang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. FKTP/Puskesmas
 Sosialisasi pengenalan tanda dan gejala kanker kolorektal
 Memberikan konseling tentang kanker kolorektal
 Melatih dan memberdayakan kader dalam upaya penemuan tanda dan gejala
kanker kolorektal serta dalam upaya promotif kepada masyarakat melalui
Posyandu, serta kegiatan lainnya.
 Melakukan deteksi dini kanker kolorektal berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pemeriksaan laboratorium bila tersedia
 Merujuk pasien yang terdiagnosa ke FKRTL kab/kota
 Menerima umpan balik hasil rujukan dan tindaklanjut sesuai hasil rekomendasi
 Mencatat hasil-hasil deteksi dini dan melaporkan ke Dinas Kesehatan
kabupaten/kota setiap bulan

b. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM)


 Sosialisasi faktor risiko kanker kolorektal
 Menjaring kelompok berisiko dan kelompok berisiko tinggi
 Mendorong kelompok berisiko dan kelompok berisiko tinggi untuk
memeriksakan diri ke FKTP

c. FKRTL/Rumah Sakit
 Menegakkan diagnosis kanker kolorektal
 Menerima rujukan FKTP dan FKRTL lain
 Memberikan umpan balik pasien yang dirujuk kepada instansi yang merujuk
 Memberikan terapi sesuai dengan fasilitas dan kompetensi yang ada
 Memberikan perawatan paliatif
 Mencatat hasil diagnosis dan melaporkan ke Dinas Kesehatan kab/kota setiap
bulan
d. Dinas Kesehatan Kab/Kota
 Sosialisasi dan advokasi pengendalian kanker kolorektal
 Sosialisasi pengenalan tanda dan gejala kanker kolorektal untuk meningkatkan
kesadaran/kewaspadaan masyarakat agar melakukan pemeriksaan ke
FKTP/FKRTL
 Fasilitasi FKTL/rumah sakit dan FKTP/puskesmas di wilayah dalam diagnosis
dan pengobatan kanker kolorektal
 Membina dan meningkatkan keterampilan tenaga puskesmas di wilayahnya
dalam upaya deteksi dini kanker kolorektal
 Membuat jejaring pengendalian kanker kolorektal tingkat tingkat kab/kota
 Menyiapkan sumber daya terkait
 Menerima laporan dari FKTP dan FKRTL, merekap dan melaporkan ke Dinas
kesehatan provinsi
 Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengendalian kanker kolorektal

e. Dinas Kesehatan Provinsi


 Sosialisasi dan advokasi pengendalian kanker kolorektal
 Sosialisasi pengenalan tanda dan gejala kanker kolorektal untuk meningkatkan
kepedulian (awareness) masyarakat agar melakukan pemeriksaan ke
FKTP/FKRTL
 Fasilitasi rumah sakit dan puskesmas di wilayahnya dalam diagnosis dan
pengobatan kanker kolorektal
 Berkoordinasi dengan dinas kesehatan kabupaten/kota di wilayahnya dalam
pengendalian kanker kolorektal
 Membuat jejaring pengendalian kanker kolorektal tingkat tingkat provinsi
 Menyiapkan sumber daya terkait
 Menerima laporan dari Dinas kesehatan kabupaten/kota dan melaporkan ke
Kementerian Kesehatan (Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah,
Direktorat P2PTM, Direktorat Jenderal P2P)
 Melakukan monitoring dan evaluasi program pengendalian kolorektal di
wilayahnya.
f. Kementerian Kesehatan
 Kampanye pengenalan tanda dan gejala kanker kolorektal dalam rangka
meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan ke
FKTP/FKRTL
 Peningkatan kapasitas SDM dalam pengendalian kanker kolorektal
 Menyiapkan sarana dan prasarana pengendalian kanker di fasilias pelayanan
kesehatan
 Membuat jejaring pengendalian kanker kolorektal tingkat nasional
 Mengembangkan sistem surveilans kanker, khususnya kanker kolorektal

g. Peranan Organisasi Masyarakat ( LSM, Yayasan, Profesi)


 Membantu pemberdayaan masyarakat dalam hal promosi dan edukasi
 Dukungan sumber daya
6.2 Pembiayaan
Sumber untuk menjamin kesinambungan deteksi dini kanker kolorektal, maka pemerintah
perlu mengalokasikan anggaran di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, meliputi:
a. Dana APBN
Pelaksanaan pembekalan kapasitas petugas melalui dana Pusat ataupun
penyediaan reagen melalui Dana Alokasi Khusus
b. Dana APBD
Pemerintah daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menggunakan dana
APBD untuk pembiayaan peningkatan kapasitas petugas, dll
c. Dana Bantuan Operasional Khusus (BOK)
d. Apabila negara menjamin maka pembiayaan deteksi dini kanker kolorektal dapat
dibiayai oleh Jaminan Kesehatan Nasional

Selain bersumber dari anggaran tersebut di atas, pembiayaan deteksi dini kanker
kolorektal juga dapat diperoleh dari sumber lain yang tidak mengikat, antara lain mitra
swasta, perorangan, LSM, ataupun donor agensi. Melalui sumber swadaya masyarakat
tersebut dapat diperoleh bantuan dana untuk kegiatan sosialisasi edukasi pencegahan
dan deteksi dini kanker kolorektal ataupun kegiatan CSR Perusahaan untuk mendukung
kegiatan deteksi dini di FKTP/Puskesmas.

6.3 Monitong dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi merupakan bagian dari pelaksanaan program yang dilakukan
secara rutin untuk memantau dan mengukur kemajuan program. Dalam monitoring dan
evaluasi dibutuhkan kegiatan pencatatan dan pelaporan yang menjadi instrument
pengumpulan data.

Pencatatan deteksi dini kanker kolorektal dapat dilakukan secara manual dan online
melalui sistem pencatatan dan pelaporan yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan.
Sedangkan pelaporan dilakukan secara berjenjang dari FKTP hingga Pusat.
Berikut kegiatan pencatatan dan pelaporan sesuai jenjangnya:
a. Tingkat FKTP
 Mencatat semua faktor risiko dan gejala kanker kolorektal pada orang yang
diskrining pada formular catatan medik deteksi dini kanker kolorektal
 Menginput data pasien dalam surveilans PTM berbasis web yang ditetapkan
oleh Kementerian Kesehatan
 Melaporkan rekapitulasi deteksi dini secara manual ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
 Menerima laporan dari FKTP/puskesmas
 Merekap laporan dari FKTP/puskesmas dan membuat rekapitulasi tingkat
kabupaten/kota
 Melaporkan rekapitulasi secara manual ke Dinas Kesehatan Provinsi
 Memberikan feedback kepada FKTP/Puskesmas
c. Dinas Kesehatan Provinsi
 Menerima laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
 Merekap laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan membuat
rekapitulasi tingkat provinsi
 Melaporkan rekapitulasi secara manual ke Kementerian Kesehatan melalui
Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah, Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tidak Menular
 Memberikan feedback kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
d. Kementerian Kesehatan
 Menerima laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi
 Membuat rekapitulasi tingkat nasional
 Memberikan feedback kepada Dinas Kesehatan Provinsi
BAB VII
PENUTUP

Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak di dunia dan keempat di Indonesia.
Faktor risiko kanker kolorektal meliputi usia,faktor genetik, pola makan dan aktivitas fisik serta
gaya hidup. Untuk itu penting untuk melakukan promosi kesehatan untuk meningkatkan pola
hidup sehat mencegah kanker, pengenalan tanda dan gejala kanker kolorektal serta upaya
deteksi dini.

Deteksi dini kanker kolorektal dimulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu
di Puskesmas dengan menjaring masyarakat yang memiliki faktor risiko kanker kolorektal
untuk menemukan tanda dan gejala kanker seawal mungkin. Dengan demikian diharapkan
dapat menemukan lebih dini kanker kolorektal untuk mendapatkan pengobatan yang tepat
dengan peluang kesembuhan yang lebih baik.
Pencatatan Deteksi Dini Kanker Kolorektal

Puskesmas:

Kab/Kota:
Provinsi:

Hasil Tes Darah


No Nama Umur NIK Faktor Risiko Hasil Colok Dubur Samar Dirujuk
Normal Curiga kanker Kelainan lainnya Negatif Positif Ya Tidak
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Sociaties Journals, 2023

Globocan, 2020

JawabanApapun.com

SehatQ

Periksaan Darah Samar, info@pdfcoffee.com


TIM PENYUSUN

PELINDUNG
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS

PENASEHAT
Dr. Eva Susanti, S.Kp, M.Kes

PENANGGUNGJAWAB
dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA

Tim Penyusun
Dr. dr. Warsinggih, Sp.B,Subsp.BD(K), M.Kes
dr. Eka Widya Khorinal, Sp.PD,K-HOM, FINASIM
Dr. dr. Sri Hartini, Sp.PK(K), MARS, FISQua
dr. Angela Giselvania, Sp.Rad.(K)Onk
Atna Permana, M.Biomed, PhD
dr. Sylvianna Andinisari, M.Sc
dr. Yoan Hotnida, M.Sc
dr. Frides Susanti, M.Epid
drg. Ni Kadek Dyahantari Kurniawati, M.Kes
Ns. Dian Kiranawati, S.Kep
drg. Ina Yulvina Rachmi
Imanda Zein Fatihah, SKM
Merlida Sitinjak, SKM

Administrasi
Hastuti Purwani Siwi, A.Md
Triesna Agustini, Amd.Prs

Kontributor:

Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer


Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan
Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI)
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Indonesia (PDS Patklin)
Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI)

Anda mungkin juga menyukai