Anda di halaman 1dari 33

Analisis Pemikiran Ekonomi Islam: Studi Komparasi Pemikiran Syed Nawab Haider

Naqvi, Umer Chapra dan Muhammad Nejatullah Siddiqi

Syahrul Amsari
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan
syahrulamsari@umsu.ac.id

M Yasir Nst
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan

M Ridwan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan

Abstrak

Pada era 1980-an menunjukan perubahan-perubahan signifikan yang berkontribusi pada


pengembangan ekonomi Syariah. Khususnya pada sektor keuangan, pembentukan Lembaga
keuangan Syariah dimana beberapa negara membangun perbankan Syariah serta regulasinya.
Peneliti bermaksud untuk menjelaskan kajian mengenai pemikiran eknomi islam yang diahirkan
oleh cendikiawan seperti Syed Nawab Haider Naqvi, Umer Chapra, Muhammad Nejatullah
Siddiqi dan bertujuan untuk mengetahui pemikiran ketiganya tentang ekonomi syariah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Syed Nawab Haidar Naqvi dapat dikelompokkan dalam tiga
tema besar yang mencakup: (1) Ilmu ekonomi adalah subjek yang hendak mewujudkan keadilan
pada prinsip ilahiah yang dikenal dengan “adl wa al-ihsan”. (2) Komitmen keberpihakan kepada
kaum miskin dan lemah. (3) Peran negara dalam aktivitas ekonomi meliputi fungsi regulator dan
juga sebagai partisipan aktif. Kemudian Tiga konsep dasar yang menjadi dasar pemikiran
ekonomi Chapra adalah: tauhid, khilafah, dan keadilan, dan dalam operasionalnya, konsep
khilafah ini dibagi menjadi empat pokok utama, yaitu: persaudaraan universal (universal
brotherhood), sumber daya sebagai amanat (resources are trust), gaya hidup sederhana (humble
lifestyle), dan kebebasan manusia (human freedom). Sedangkan hiddiqi sebagai pemikir Islam
kontemporer meletakkan bangunan pemikirannya pada tauhid, khilafah, ibadah, dan takaful.
Dalam pelaksanaannya, Siddiqi berusaha menggabungkan nilai-nilai Islam dengan ilmu ekonomi
untuk mendapatkan sintesis pemikiran ekonomi. Perpaduan konsep ini dilakukan dengan
memasukkan perspektif Islam berupa asumsi, norma, perilaku, dan tujuan sehingga melahirkan
langkah-langkah operasional yang sejalan dengan aturan Syari‟a

Kata kunci: Ekonomi Islam, Pemikiran, Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi, Umer Chapra,
Muhammad Nejatullah Siddiqi
Pendahuluan
Era 1980-an menunjukkan perubahan-perubahan signifikan yang berkontribusi pada
pengembangan ekonomi Syariah. Arus keinginan ummat dalam mewujudkan nilai Islami di
segala bidang kehidupan bermasyarakat menunjukkan trend peningkatan. Kaum cendikiawan
muslim terus mencoba untuk menelaah nilai Islam sebagai sebuah identitas kolektif, pada
periode ini tercatat beberapa ahli ekonomi islam yang terkenal dengan berbagai pemikiran
dengan gagasan tentang ekonomi Islam di antaranya; Syed Nawab Haidar Naqvi, Umer Chapra,
dan Muhammad Nejatullah Siddiqi (Qoyum et al., 2021).
Termasuk pada sektor keuangan, khususnya pembentukan lembaga keuangan Syariah
dimana beberapa negara membangun perbankan Syariah beserta regulasinya, contohnya Negara
Malaysia dimana pada tahun 1983 menginisiasi lahirnya perbankan Syariah dengan
mengeluarkan Islamic Bank Act; Takaful Act atau Prinsip Asuransi Syariah pada tahun 1984;
dan Government Investment Act pada tahun 1983, yang diikuti dengan pendirian Bank Islam.
Di Indonesia hal tersebut tergambar dengan didirikannya Bank Muamalat pada tahun
1991. Regulasi di keuangan Islam juga mengalami pembaharuan dengan disahkannya Undang -
Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Dari penjelasan tersebut diatas
maka perlu untuk dilakukan kajian mengenai pemikiran ekonomi islam yang dilahirkan oleh para
cendikiawan muslim pada periode tersebut, yaitu: (1) Bagaimana pemikiran ekonomi islam Syed
Nawab Haidar Naqvi, dan (2) Bagaimana pemikiran ekonomi Islam Umer Chapra. (3)
Bagaimana pemikiran Muhammad Nejatullah Shiddiqy. Oleh karena itu dapat dirumuskan tiga
tujuan dari tulisan ini yaitu untuk mengetahui (1) Pemikiran ekonomi islam Syed Nawab Haidar
Naqvi, dan (2) Pemikiran ekonomi Islam Umer Chapra. (3) Pemikiran ekonomi Muhammad
Nejatullah Shiddiqy.
Kajian Teori
1. Paradigma Pemikiran Ekonomi Islam
Islam hadir di tengah-tengah masyarakat bukan hanya mengatur persoalan ibadah ritual atau
hubungan dengan Allah swt. (habluminallah) saja, namun juga mengatur persoalan sosial atau
muamalah atau hubungan dengan manusia (habluminannas). Kedua persoalan itu memiliki peran
dan fungsi yang sama sebagai pedoman hidup bagi umat Islam. Pada posisi inilah nampak
keuniversalitas dari Islam itu sendiri. Kaitannya persoalan hubungan manusia, khususnya di
bidang perekonomian, Ahmad Mustaq sebagaimana dikutip Syamsuri menjelaskan Alquran
memberikan porsi pembahasan ekonomi sekitar 370 kali disebutkan di dalam Alquran (Syamsuri,
2016).
Ajaran Islam tentang perekonomian ini menjadi pedoman umat Islam untuk mengamalkan
ajaran Islam secara komprehensif (kaffah). Seorang muslim yang taat beribadah, tentunya dalam
aktifitas ekonominya perlu dilandasi dengan transaksi keuangan dan bisnis yang Islami. Di
sinilah mulai bermunculan pemikiran terkait eksistensi ekonomi Islam, apakah ekonomi Islam itu
suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif atau kedua-duanya.
Secara umum ilmu pengetahuan positif mempelajari persoalan-persoalan perekonomian, di
mana dapat diuji melalui pengamatan empiris (fakta-fakta). Sedangkan ilmu pengetahuan
normatif membahas persoalan bagaimana sesuatu itu seharusnya, kaitanya penelitian terhadap
apa yang baik dan apa yang buruk (Muhammad Abdul Mannan, 1997). Pendapat lain
dikemukakan ekonomi Islam sebagai cabang ilmu pengetahuan sosial yang tidak bebas dari nilai-
nilai moral (Ahmad Rodli Makmun, Rahardjo, M. Dawam, Rusn, 1987). Sedangkan Siddiqi
berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam merupakan jawaban dari para tokoh pemikir Muslim
terhadap adanya tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dan tentunya dalam
menghadapinya dengan berpedoman kepada Alquran dan Sunnah, serta akal dan pengalaman.
Untuk memahami konsep ekonomi Islam atau ekonomi syariah yang makin tren
diwacanakan, maka perlu menyorotinya dalam dua sudut pandang, yaitu secara eksklusif dan
secara inklusif. Secara eksklusif bermakna menempatkan sistem syariah sebagai bagian yang
terintegral dari ajaran Islam. Artinya sebagai sebuah kesatuan yang sistematis, menyeluruh dan
mandiri (QS al-Baqarah/2: 208). Sedangkan secara inklusif bermakna umat Muslim mutlak
menempatkan syariat di atas segala-galanya dalam menjalankan segala aktifitas (dimensi)
kehidupannya, tak terkecuali dalam hal ekonomi. Jika tidak menempatkan syariah dalam setiap
dimensi kehidupannya, maka termasuk pengingkaran terhadap ajaran Islam yang dianutnya
(Hamid, 2007).
Sistem ekonomi berdasarkan syariah tidak hanya sebagai sarana untuk menjaga
keseimbangan kehidupan ekonomi, namun juga sebagai sarana untuk merealokasi sumber-
sumber daya kepada orang-orang yang berhak menurut syariah, sehingga tujuan efisiensi
ekonomi dan keadilan dapat tercapai secara bersamaan (Chapra, 1992).
Olehnya itu paradigma ekonomi syariah didasarkan atas pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindarkan mudharat. Artinya hakikat kemaslahatan dalam Islam adalah
mewujudkan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi,
material dan spiritual, serta individual dan kolektif.
2. Karakteristik Ekonomi Islam
Setiap sistem ekonomi pastilah didasarkan pada ideologi yang memberikan suatu landasan,
tujuan, aksioma-aksioma dan prinsip-prinsip. Ekonomi Islam sebagai sebuah sistem
diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Olehnya itu ada karakteristik
yang dimiliki oleh ekonomi Islam. Menurut Qardhawi, ekonomi Islam memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Ekonomi Ketuhanan
Ekonomi Islam merupakan ekonomi yang berdasarkan pada nilai Ilahiyyah. Hal ini
dikarenakan asal muasalnya dari Allah swt. dan tujuan yang ingin dicapai pada akhirnya
untuk memperoleh keridhaan Allah swt. Aktifitas yang dijalankan seorang Muslim
merupakan implementasi dari beribadah kepada Allah swt. dan sesuai kodratnya sebagai
makhluk yang diciptakan (QS az-Zariyat/51: 56). Olehnya itu harus dilakukan sesuai
syariat dan niat ikhlas semata-mata karena Allah SWT
b. Ekonomi Akhlak
Akhlak adalah urat nadi dari kehidupan Islami. Olehnya itu kegiatan ekonomi menurut
Islam tidak pernah lepas dari akhlak. Seorang Muslim, baik secara personal maupun
kelompok tidak boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya secara bebas atau
menguntungkannya saja. Muslim yang taat tentunya terikat atas iman dan akhlak,
sehingga dalam kegiatan ekonominya senantiasa mengimplementasikan atas keduanya,
disamping terikat pula atas perundang-undangan negara dan hukum-hukum agama
(syariat).
c. Ekonomi Kerakyatan
Manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS al-Baqarah/2: 30) diberi kemampuan dan
kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara pribadi, keluarga dan
kepada manusia lainnya. Manusia berkewajiban beramal dengan berkreasi dan berinovasi
dalam setiap aktifitas ekonominya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang telah
diajarkan oleh Allah swt. (QS al-Baqarah/2: 31).
d. Ekonomi Pertengahan
Islam memiliki karakteristik sikap pertengahan, seimbang antara dunia dan akherat
(tawazun). Indvidualisme dan sosialisme adalah dua kutub yang bertemu dalam bentuk
perpaduan dan keharmonisan, kebebasan individu dan masyarakat seimbang, hak dan
kewajiban yang serasi, imbalan dan tanggungjawab yang selurus. Keseimbangan dalam
ekonomi berdasarkan Islam adalah tidak adanya penganiayaan dan eksploitasi ekonomi
kepada yang lain, keseimbangan antara produksi dan konsumsi, serta keseimbangan
antara produksi satu dengan produksi lainnya (Qardhawi, 1995).
Kelima karakteristik inilah yang melingkupi bentuk perekonomian berbasis Islam atau
berbasis syariah. Kesemunya diimplementasikan dalam rangka memenuhi hajat kebutuhan
manusia, baik secara individu maupun secara sosial tanpa adanya ketidakseimbangan dan
eksploitasi kepada pihak-pihak tertentu.
Metode Penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan
teknik pengumpulan data berupa dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data tertulis berupa
sumber primer dan sekunder. Sumber primer berupa tulisan langsung dari Syed Nawab Haider
Naqvi, Umer Chapra Muhammad Nejatullah Siddiqi, sedangkan sumber sekunder berupa tulisan
selain dari Syed Nawab Haider Naqvi, Umer Chapra Muhammad Nejatullah Siddiqi. Setelah
data-data terkumpul selanjutnya ditelaah dan diteliti, dengan memilah data-data yang sifatnya
umum kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus. Selanjutnya data tersebut dianalisis
dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode induktif, deduktif dan deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
1. Biografi Syed Nawab Haider Naqvi
Naqvi adalah seorang pemikir ekonomi Islam yang terpandang pada era kontemporer.
Latar belakang pendidikannya yang ketat dalam ilmu ekonomi memengaruhinya dalam
melihat ilmu ekonomi sebagai sebuah proses pandangan dunia seseorang, sehingga
penjelasan ilmu ekonomi melibatkan perilaku manusia dan aktivitas ekonomi yang
dijalaninya.
Lahir pada 11 Juli 1935 M di India dan kemudian bermigrasi ke Pakistan, Naqvi
menempuh pendidikan ekonomi di Amerika Serikat dan memperoleh gelar MA di Yale 1961,
pendidikan doktor ditempuh pada Universitas Princetown 1966, dan dilanjutkan dengan studi
postdoctoral pada Universitas Harvard. Kemudian Naqvi mengajar di sejumlah lembaga
pendidikan tinggi dan riset ternama di Norwegia, Turki dan Jerman Barat sebelum akhirnya
kembali ke Universitas Quad-i-Azam, Pakistan, pada 1975 (Haneef & Rosyidi, 2006).
Sebagai sarjana yang memiliki ilmu ekonomi yang kuat, Naqvi melihat dan mengkritisi
sistem ekonomi yang dibangun oleh kapitalis maupun sosialis, dan tidak hanya mengkritisi,
Naqvi secara aktif mengenalkan ekonomi Islam melalui berbagai bukunya yang dikenal luas,
yaitu ; Perspectives on Morality and Human Well Being (2003), Development Economics:
Nature and significance (2002), The Crisis of Development Planning in Pakistan: Which
Way Now? (2000), External Shocks and Domestic Adjustment: Pakistan‟s Case 1970-1990
(1997), Islam, Economics, and Society (1994), Development Economics: The New Paradigm
(1993), SAARC Link: An Econometric Approach (1992), Macro economic Framework for
The Eight Five Year Plan (1992), On Raising The Level of Economic and Social Well Being
of The people (1992), Structure of Protection And Allocative Efficiency in Manufacturing
With A.R. Kemal (1991), Structural Change in pakistan‟s Agriculture with Mahmood Hasan
Khan and Ghaffar Chaudry (1989), Land Reforms in Pakistan: A Historical perspectives with
Mahmood Hasan Khan and Ghaffar Chaudry (1987), Preliminary Revised P.I.D.E. Macro
Econometric Model of pakistan‟s Economy with Ashfaq H Khan and Ather Maqsood Khan
(1986), dan Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981) (Havis Aravik, 2017).
a. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Menurut Syed Nawab Haider Naqvi
Sistem ekonomi kapitalis yang mengikuti prinsip-prinsip yang digariskan oleh
Adam Smith yang mengenalkan konsep invisible hand yang menjadi fondasi
ideologinya. Selanjutnya, ideologi ini telah membangun paradigma ekonomi kapitalis
yang menyandarkan dirinya semata pada materialisme. Kehampaan ruang spiritual
pada sistem ekonomi ini dikritik oleh Naqvi di mana sistem kapitalis tidak memiliki
gagasan orisinal mengenai moral dan hanya menitikberatkan pada profit motive, free
competition, private property, expansionism, the creation of wealth, capital
accumulation. Sebagai kebalikannya, pemikiran ekonomi sosialis, yang
menitikberatkan pada pembatasan kepemilikan pribadi, pendapatan kolektif, dan
campur tangan yang kuat dalam produksi dan distribusi oleh negara, juga tidak
membawa pada kebaikan yang hakiki.
Sejalan dengan itu Naqvi menawarkan konsep pemikiran ekonomi Islam yang
dapat dikelompokkan dalam tiga tema besar yang mencakup: (1)Ilmu ekonomi adalah
subjek yang hendak mewujudkan keadilan pada prinsip ilahiah yang dikenal dengan
“adl wa al-ihsan”. (2) Komitmen keberpihakan kepada kaum miskin dan lemah. (3)
Peran negara dalam aktivitas ekonomi meliputi fungsi regulator dan juga sebagai
partisipan aktif. Konsep “adl wa al-ihsan” menjelaskan bahwa etika adalah hal yang
harus dibangun secara terang, dan menjadi ciri keunggulan ekonomi Islam.
Ekonomi islam tidak lepas dari penghapusan riba. Penghapusan riba dikarenakan
hukum riba itu sendiri yaitu haram karena memiliki banyak madharat dari pada
manfaatnya. Lebih jauh, Naqvi berpendapat bahwa penghapusan riba tidak hanya
mengenai penghapusan bunga akan tetapi penghapusan eksploitasi serta menolak
sistem feodalistik-kapitalistik yang dapat menyebabkan eksploitasi untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memakai kepentingan bersama sebagai
sebuah alasan (Yusup, 2014).
b. Tujuan Ekonomi Islam
Ada beberapa tujuan ekonomi islam yakni: (Naqvi, Syed Nawab Haider, Anam, M.
Saiful, Mubin, 2003) :
1. Kebebasan Individu
Dalam hal kebebasan Naqvi memberikan penekanan pada beberapa hal agar
lebih diperhatikan lagi. Hal pertama yang perlu diperhatikan yakni bahwa
kebebasan yang ada dalam diri manusia meupakan kebebasan yang sifatnya
relatif. Sedangkan kebebasan yang absolut hanyalah milik-Nya. Hal kedua yakni
mengenai kualitas dan kuantitas kebebasan itu sendiri. adanya interaksi antara
tanggung jawab dengan kehendak bebas dapat menentukan kualitas dan kuantitas
kebebasan manusia. hal ketiga yang harus diperhatikan secara lebih hati-hati
yakni mengenai batasan kebebasan. Manusia dapat memiliki pilihan diantara
berbagai alternatif pilihan lain yang mana pilihan tersebut harus mempunyai
hubungan dengan usaha untuk menjaga keseimbangan antara klaim antar umat.
2. Keadilan Distributif
Keadilan distributif merupakan sebuah elemen ekonomi islam yang
kejelasannya melebihi elemen yang lain. Prinsip keadilan distributif ini
merupakan gambaran dari hubungan antara ilmu ekonomi dengan etika. Islm
memperbolehkan adanya perbedaan pendapatan seseorang sesuai dengan proporsi
pekerjaannya.
Keadilan distributif memiliki tujuan utama agar manusia dapat memiliki
kehidupan yang lebih baik. Tujuan ini dapat tercapai jika kebahagiaan manusia
juga tercapai. Kebahagiaan yang dimaksud yaitu segala hal yang mampu
membuat manusia merasa bahagia terlepas dari terjadinya hal tersebut dalam
batasan agama.
3. Pendidikan Universal
Amanah kekhalifahan dapat diwujudkan dengan terpenuhinya sebuah sarana
seperti kualitas pendidikan yang baik. Di dalam Islam pendidikan meupakan hal
yang sangat penting. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kata “‟ilm
(pengetahuan)” yang merupakan kata terbanyak setelah “Allah” di dalam
AlQur‟an. Dengan adanya pengetahuan manusia mampu memperoleh
keselamatan spiritual dan menciptakan barang yang bermacam-macam. Dalam hal
pendidikan, pandangan dari Naqvi memiliki kesamaan dengan teori Human
Capital. Dimana dalam teori ini pendidikan memberikan pengaruh yang besar
terhadap tingkat pendapatan dan adanya kecenderungan dalam meminimalkan
kemiskinan.
4. Pertumbuhan Ekonomi
Naqvi berpendapat bahwa ekonomi dalam islam memiliki tingkat
pertumbuhan yang lebih luas jika dibandingkan dengan ekonomi konvensional.
Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan ekonomi islam tidak hanya mencakup
kesejahteraan material tetapi juga kesejahteraan atau kebahagiaan spiritual. Selain
itu, dalam hirarki ekonomi islam pertumbuhan ekonomi menempati posisi yang
paling atas. Pertumbuhan ekonmi berada di puncak hirarki karena semua sasaran
yang sebelumnya telah ditentukan dapat lebih lambat atau lebih cepat bergantuk
pada pertumbuhan ekonominya.
5. Peluang Kerja Maksimum
Pengangguran merupakan masalah umum yang sering kali terjadi. Negara
dapat mengatasi masalah pengangguran dengan cara meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Ketika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka lapangan kerja
yang tersedia juga akan mengalami peningkatan.
c. Ciri-ciri Ekonomi Islam
Ada beberapa ciri ekonomi islam, diantaranya ialah (Naqvi, 2010):
1. Hubungan Harta
Perbedaan mendasar antara sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, dan Islam
terletak pada kepemilikan harta. Pada sistem ekonomi kapitalisme kepemilikan
sifatnya adalah tidak terbatas dan mutlak. Pada sistem ekonomi sosialisme
kepemilikan seutuhnya adalah milik negara. Sedangkan konsep kepemilikan
dalam ekonomi islam menurut Naqvi ialah konsep perwalian. Dimana
kepemilikan absolut berada di tangan Allah SWT. Sedangkan kepemilikan
manusia sifatnya hanyalah relatif dan terbatas pada pemenuhan kebutuhannya.
2. Sistem Insentif
Dalam agama islam inti dari orde sosio-ekonomi yang adil adalah sedekah
atau amal. Sehingga negara diharuskan untuk mengingatkan agar individu
bersedekah.
3. Alokasi Sumber dan Pembuatan Keputusan
Naqvi menyetujui adanya peran negara dalam upaya pengendalian sifat rakus
manusia.
4. Jaminan Sosial dan Program Anti Kemiskinan
Untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial diperlukan adanya berbagai
kebijakan untuk menyamakan utilitas setiap individu.
d. Etika Ekonomi
Dalam menjalankan bisnis, etika adalah hal yang penting yang perlu mendapat
perhatian. Etika adalah komponen yang membuat sebuah bisnis dapat berlangsung
secara berkesinambungan karena mendapat kepercayaan dari partner dan
konsumennya. Selaku muslim yang berkeyakinan bahwa bisnis adalah sebuah
aktivitas yang dapat dijadikan sebagai lahan amal menjadikan seorang muslim untuk
melakukan bisnis dalam bingkai yang telah digariskan dalam aturan agama. Oleh
karena itu, nilai etika seorang muslim tidak hanya mencakup sisi pandang
keduniawian saja, tetapi juga nilai-nilai ilahiah (tauhid). Adapun yang menjadi ciri
etika muslim adalah: (1) tauhid, (2) kehendak bebas, (3) bertanggung jawab (Mapara,
1999).
Tauhid merupakan fondasi dalam etika. Meyakini Allah Swt Maha Kuasa dan
Maha Tahu, manusia menyerahkan diri pada kehendakNya dan menghubungkan
dirinya pada kekuasaan yang universal. Dengan tertanamnya pemahaman yang kuat
mengenai tauhid akan memberi kontribusi pada terbentuknya kehidupan sosial,
politik, dan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai ilahiah yang pada gilirannya nanti
berkontribusi pada hubungan horizontal yaitu kemanusiaan universal. Lebih jauh,
Naqvi menjelaskan bahwa meski Allah Swt penguasa segalagalanya, manusia
dianugerahkan kebebasan dan diberikan keleluasaan untuk menggunakannya; tetapi,
semua itu akan diminta pertanggung jawaban. Oleh karena itu, dengan kebebasan dan
keleluasaan ini terbuka kesempatan pada manusia untuk terus meningkatkan kualitas
dirinya atau sebaliknya memilih jalan yang keliru.
Berkaitan dengan keseimbangan (equilibrium) pada konsep aladl wal ihsân,
tauhid juga bertalian erat, karena konsep keseimbangan ini mencerminkan keadaan
ideal (nilai-nilai moral) yang dipraktikkan pada berbagai lembaga. Konsep tauhid
memandang nilai-nilai moral ini memang sangat dianjurkan untuk diterapkan.
Dalam praktiknya, keseimbangan sosial ini sangat menaruh perhatian pada
kondisi orang-orang yang belum beruntung (miskin), di mana usaha-usaha untuk
meningkatkan kualitas hidup golongan ini digiatkan. Ketidakseimbangan di dalam
masyarakat dapat dianggap sebagai sebuah sikap yang berlawanan dengan kata „adl,
yaitu sikap zhulum. Sifat buruk ini dapat berbentuk eksploitasi terhadap orangorang
lemah sehinggaharta mengalir dan menumpuk dariorang miskin kepada orang kaya;
padahal, Islam sangat mengecam beredarnyaharta hanya pada segelintir orang-orang
kaya saja.
Hal kedua mengenai kehendak bebas (free will). Manusia diberikan kebebasan
untuk melakukan pilihan atas berbagai alternatif dalam hidupnya. Setiap pilihan akan
mendatangkan konsekuensi. Sebagai khalifah, manusia diharuskan mengikuti aturan
yang telah digariskan dalam Syarī‟at. Berbeda dalam hal ibadah, yang telah ada
aturan baku dan tidak diperkenankan melakukan berbagai kreativitas dalam ibadah,
muamalah adalah tempat manusia mencari berbagai pilihan-pilihan dan kemudian
memutuskan pilihan terbaik untuk kegiatan muamalahnya. Etika bisnis dalam
muamalah harus tunduk kepada Syarī‟at; kebebasan manusia diikat pada tanggung
jawab moral kepada Allah Swt. Tanggung jawab ini menjadi panduan dalam
melakukan berbagai kegiatan atau aktivitas ekonomi. Bagaimanapun juga, Islam telah
mengajarkan bahwa harta adalah amanah yang diperuntukkan untuk mengejar
kemenangan di hari akhir kelak, bahkan, tidak saja dalam masalah penggunaan,
perolehan harta pun menjadi isu yang akan diminta pertanggungjawaban.
Berkaitan dengan tanggung jawab moral dalam melakukan aktivitas ekonomi,
Islam menentang keras segala praktik kezaliman yang dilakukan dalam pasar. Pasar
harus dibebaskan dalam keluar masuk barang, sehingga harga yang terjadi adalah
cerminan aktivitas nyata. Kezaliman dalam bentuk penimbunan barang, monopoli,
dan berbagai transaksi yang bersifat ribawi adalah contoh hal-hal yang harus
ditiadakan. Khususnya transaksi ribawi, sepatutnya segala perhatian harus dicurahkan
dalam menemukan solusi sebab sistem ribawi telah masuk ke dalam sistem keuangan
dan sangat sulit dibebaskan.
Ketiga adalah tanggung jawab. Kebebasan dibatasi oleh tanggung jawab.
Tanggung jawab tidak hanya kepada Allah Swt, tetapi juga kepada lingkungan.
Belakangan ini, tanggung jawab sebuah korporasi ditunjukkan dalam berbagai
kegiatan sosial yang dikenal dengan CSR. Islam telah mengenalkan tanggung jawab
sosial dan berjalan beriring dengan kebebasan berkehendak. Etika dalam bentuk
tanggung jawab ini dibingkai dengan konsep tauhid yang membuka cakrawala
berpikir bahwa segala aktivitas yang dilakukan akan diminta pertanggung jawaban.
Naqvi mengenalkan dua konsep mengenai tanggung jawab, yaitu, (1) aspek
khilafah;(2) aspek volunteer (sukarelawan).
Dalam menjalankan dirinya sebagai khalifah, manusia bertanggung jawab untuk
melihat sesama, dan menaruh perhatian atas keadaan orang yang kurang beruntung.
Mengabaikan fungsi sosial terancam sebagai orang yang mendustakan agama
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.Al-Ma‟un ayat 1-3:

            

  


Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
Hal yang merintangi untuk melaksanakan perintah ini adalah sifat tamak, sifat
yang suka menimbun harta sehingga hati keras dan bebal. Membebaskan diri dari
sifat tamak ini juga sebagai sebuah elemen yang melekat dari seorang khalifah.
Menghilangkan sifat tamak dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah ciri
dari sifat kekhalifahan. Adapun aspek volunteer berkenaan dengan sebuah kesadaran
spiritual yang walau ada pembatasan dalam bentuk tanggung jawab atas berbagai
keinginannya, manusia sadar bahwa segala kesabaran yang rela dia lakukan akan
mendapat balasan di hari kemudian. kerelaan dan kepatuhan secara ikhlas ini
menjadikan kualitas hidupnya meningkat dalam bentuk ketenangan dan kebahagiaan.
Menurut Naqvi ada lima sifat dasar etika yakni: (Darwanto & Muslimin, 2022):
1. Perangkat tersebut merupakan representasi dari pandangan yang memadai dan
komprehensif mengenai etika islam.
2. Seperangkat yang memadai dan harus berbentuk sesuatu yang mendasar.
3. Independen.
4. Elemen-elemennya harus saling konsisten.
5. Mampu menghasilkan berbagai elemen tunggal.
Selain lima sifat dasar etika, Naqvi juga mengemukakan mengenai aksioma etika
yang terdiri dari:
1. Aksioma Tauhid
Etika islam bersumber pada kepercayaan atas keesaan Allah SWT. Untuk
mencapai kehidupan yang selaras, konsisten, dan menyatu diperlukan adanya
integrasi antara berbagai aspek ekonomi, sosial, religi, dan politik. Peranan
integrasi sosial dalam konsep tauhid muncul dari adanya kesadaran masyarakat
muslim bahwa Allah SWT merupakan Dzat yang maha kuasa, maha memiliki,
maha mengetahui dari segala sesuatu, tetapi manusia tetap diberi kebebasan untuk
berbuat dan bertindak. Di muka bumi ini manusia bertindak sebagai pemegang
amanat atas semua yang dimiliki oleh Allah SWT.
2. Aksioma Keseimbangan/kesejajaran
Menurut Naqvi keseimbangan yang dimaksud yaitu berupa penggabungan
antara nilai ihsan dan adil. Dimana aksioma ini memiliki dimensi yang horizontal.
Prinsip keseimbangan atau kesejajaran ini adalah nilai etika yang bersifat
fundamental karena merupakan rangkuman dari berbagai ajaran etik seperti
pemerataan pendapatan, keharusan membuat beberapa penyesuaian dalam
kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi, serta adanya keharusan untuk
membantau fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Prinsip
keseimbangan atau kesejajaran ini dapat tercapai jika penjelasan yang diberikan
lengkap dan pelaksanaannya dilakukan dengan baik oleh institusi sosial.
3. Aksioma Kehendak Bebas
Dalam islam konsep kebebasan memiliki arti bahwa manusia memiliki
kebebasan akan tetapi sifatnya lebih relatif dan tidak mutlak. Ketika manusia
terlahir ke dunia mereka memiliki kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan
menyangkut hidupnya. Kunci utama dalam memaknai kebebasan individu ini
terletak pada pemahaman bahwa manusia dapat memiliki pilihan yang
menurutnya benar dengan tetap menaati syariat dan dibimbing menuju jalan yang
benar atau sebaliknya. Manusia juga dapat membuat kesalahan, akan tetapi
mereka dapat belajar dari kesalahan tersebut.
4. Aksioma Tanggung Jawab
Dalam agama islam tanggung jawab memiliki dua aspek fundamental yaitu
menyatu dengan status manusia sebagai khalifah di muka bumi dan bersifat
sukarela tanpa adanya paksaan. Sebagai manusia tentunya tidak terlepas dari
msyarakat. Sehingga mereka memiliki tanggung jawab pada orang lain dan diri
mereka sendiri. Aksioma tanggung jawab memiliki sifat yang dinamis karena
ketika terjadi ketidakadilan maka tanggung jawab manusialah yang harus
mengubahnya. Tanggung jawab manusia diukur dengan kemampuan fisik dan
finansialnya.
e. Peran Pemerintah
Menurut Naqvi dan Anam peran pemerintah dalam Islam bukan hanya sebagai
pembuat peraturan atau regulasi saja, namun negara dalam hal ini pemerintahnya
harus berperan aktif dalam kegiatan distribusi dan produksi barang yang ada di pasar.
Pemerintah juga harus memastikan bahwasanya setiap masyarakat kebutuhannya
sudah terpenuhi. Menurut Naqvi, pemerintah merupakan bentuk dari perwujudan atau
penjelmaan kepercayaan (amanah) dari Allah SWT. Pemerintah harus hadir untuk
membantu serta memastikan orang-orang miskin supaya memenuhi kebutuhan
dasarnya melalui berbagai macam program anti kemiskinan dan jaminan sosial
(Naqvi, Syed Nawab Haider, Anam, M. Saiful, Mubin, 2003).
Kemudian pemerintah tidak hanya memberikan program-program anti
kemiskinan dan jaminan sosial saja, namun pemerintah harus mengurangi tingkat
kemiskinan, melindungi masyarakat yang miskin dari bermacam-macam tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh orang kaya. Lebih lanjut, Naqvi menjelaskan
peranan pemerintah dalam memberantas serta mengurangi kemiskinan antara lain
dengan penghapusan sistem riba dan redistribusi pendapatan melalui zakat (Darwanto
& Muslimin, 2022).
Naqvi berpandangan bahwa kehadiran negara memiliki fungsi esensial. Negara
berkewajiban mendorong dan membawa masyarakat kepada tujuan mulia yaitu
masyarakat adil makmur. Kondisi ini tercapai dengan menerapkan keadilan sehingga
orang lemah dilindungi dan ada jaringan pengaman sosial untuk memastikan
masyarakat dapat memenuhi hajat hidupnya (AN-NABAHAN, 2000).
Contoh Kasus: Banyak pengemis ditemui pada perempatan lampu merah di kota-
kota besar. Mereka menadahkan tangan kepada para pengendara dengan
memperlihatkan kondisi tubuhnya yang cacat. Pada sebagian daerah, pengemis yang
sakit ini didatangkan dari daerah lain oleh sindikat, Bagaimana pendapatmu untuk
menyelesaikan masalah ini? Bagaimana peran negara dalam memberantas tindakan
eksploitatif sesama manusia?
Praktik kezaliman ini sepatutnya tidak ada tempat dalam masyarakat yang
beradab. Tindakan eksploitatif ini pasti disepakati untuk segera dihilangkan.
Menariknya, terdapat juga praktik kezaliman dengan wajah yang berbeda, seolah
menolong tetapi sebenarnya menghancurkan yang dikenal dengan praktik riba.
Perilaku ini hanya mengeksploitasi orang lemah dan memperkaya memperkaya
segelintir orang. Naqvi berpendapat negara mesti hadir untuk menghapuskan tindakan
eksploitatif ini karena dapat merusak sendi-sendi ekonomi (Havis Aravik, 2017).
Dalam skala lebih luas pemerintah juga harus menyiapkan infrastruktur, agar
selain menghilangkan kezaliman, turut berperan aktif menyambut masa depan
ekonomi Islam. Tantangan tentu akan berbeda sehingga dibutuhkan kegesitan dalam
beradaptasi dengan kebutuhan yang semakin kompleks, infrastruktur yang dibutuhkan
berupa ketersediaan teknologi, kemampuan merespons perubahan sosial, dan
memiliki niat politik yang kuat.
2. Biografi Umer Chapra
Umer Chapra adalah seorang pemikir ekonomi Islam yang memiliki kemampuan dan
pengetahuan dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam Ia lahir di Pakistan India
pada tanggal 1 Februari 1933 M. Dia meneruskan pendidikan strata satu dan magister di
Karachi, Pakistan (Fauzi, 2010). Keinginan tahuannya pada ilmu ekonomi
mengantarkannya menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat, dan menamatkan
pendidikan doktoralnya pada Universitas Minneapolis dengan predikat Cum Laude.
Kemudian meraih gelar Ph.D pada bidang ekonomi pada tahun 1961 dengan predikat
cum laude di Universitas Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat. Kemudian dia
kembali ke negara asalnya dan bergabung dengan Central Institute of Islamic Research di
tahun yang sama. Selama 2 tahun berada di dalam lembaga tersebut Chapra aktif
melakukan penelitian yang sistematis terhada gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip tradisi
Islam untuk mewujudkan sistem ekonomi yang sehat. Hasil kajian itu, dituliskan dan
dibukukan dengan judul The Economic System of Islam: A Discussion of Its Goals and
Nature, (London, 1970). Selain itu, dia juga menjabat sebagai ekonom senior dan
Associate Editor pada Pakistan Development Review di PakistanInstitute of Economic
Development (Chapra, Umer diterjemahkan oleh, 2000).
Pada tahun 1964, Chapra kembali ke Amerika dan mengajar di beberapa sekolah
tinggi ternama. Diantaranya adalah Harvard Law School, Universities of Wiscousin,
United States (Chapra, M Umer Penerjemah: Ikhwan Abidin Basri, M.A, 2008),
Universitas Autonoma, Madrid, Universitas Loughborough, U.K, Oxford Center for
Islamic Studies, London School of Economic, Universitas Malaga, Spanyol, dan
beberapa Universitas di berbagai negara lainnya.Kemudian dia bergabung dengan Saudi
Arabian Monetary Agency (SAMA), Riyadh, dan menjabat sebagai penasihat ekonomi
hingga pensiun pada tahun 1999. Selain itu dia juga menjabat sebagai penasehat riset di
Islamic Research and Training Institute (IRTI) di Islamic Development Bank (IDB),
Jeddah.
Dia juga bertindak sebagai komisi teknis dalam Islamic Financial Services Board
(IFSB) dan menentukan rancangan standar industri keuangan Islam (2002-2005). Atas
kiprah dan jasanya dalam dunia ekonomi Islam, dia mendapatkan penghargaan dari The
Islamic Development Bank untuk bidang Ekonomi Islam, dan penghargaan dari King
Faisal untuk bidang studi Islam, yang keduanya diraih pada tahun 1990. Selain itu, dia
juga mendapatkan penghargaan yang dianugrahkan langsung oleh Presiden Pakistan,
berupa medali emas dari IOP (Islamic Overseas of Pakistanis) untuk jasanya terhadap
Islam dan Ekonomi Islam, pada konferensi pertama IOP di Islamabad.
a. Pemikiran Ekonomi Umer Chapra
M. Umer Chapra mempunyai kiprah yang tidak sedikit dalam dunia ekonomi
Islam. Menurutnya tujuan dari berekonomi adalah membantu manusia untuk
merealisasikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi (Chapra, 1997). Tidak sulit
menemukan buku yang merupakan buah dari pemikirannya. Beberapa pemikirannya
yang terkenal adalah mengenai konsep hayyatan thayyibatan, konsep kebijakan
moneter dalam Islam, dan konsep perbankan Syariah.
1. Konsep Falah dan Hayatan Thayyibatan
Dalam bukunya Islam and The Islamic Challenge yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Tantangan
Ekonomi M. Umer Chapra menjelaskan bahwa setiap individu pelaku ekonomi
sudah pasti didominasi dengan worldview (pandangan) maupun asumsinya
mengenai alam, dan hakikat kehidupan manusia di dunia. Chapra mengibaratkan
pandangan dunia sebagai fondasi bagi sebuah bangunan yang memainkan peranan
yang sangat penting dan sangat menentukan. Sehingga strategi dari suatu sistem
yang merupakan hasil logis dari pandangan hidup, selayaknya selaras dengan
sasaran yang dipilih agar tujuan dapat dicapai dengan efektif (Chapra, 1992).
Chapra juga menjelaskan dalam buku ini mengenai aktualisasi konsep falah
dan hayatan thoyyibatan yang merupakan inti dari tantangan ekonomi bagi
negaranegara muslim. Sebab kedua konsep ini berasal dari Islam, diajarkan Islam
dan hendaknya pula diterapkan dalam kehidupan muslim untuk mewujudkan
kebahagiaan dunia akhirat. Hal ini menuntut peningkatan moral, persaudaraan dan
keadilan sosio-ekonomi, dengan pemanfaatan sumber-sumber daya yang langka
untuk mengentaskan kemiskinan, memenuhi kebutuhan dan meminimalkan
kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
Analisis Chapra tentang kemiskinan dan kesenjangan parah yang terjadi di
negara-negara berkembang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil
menurut perspektif strategi sekuler, baik berupa kapitalisme, sosialisme, atau
negara kesejahteraan. Sementara strategi-strategi tersebut sudah gagal
mewujudkan kebahagiaan bagi penganutnya. Sebab kebahagian adalah suatu
refleksi dari kedamaian pikiran atau an-nafs al-muthmainnah yang dimaksudkan
oleh al-Qur‟an pada surah al-Fajr ayat 27:

   

Artinya: Hai jiwa yang tenang. dan Chapra menegaskan, bahwa hal tersebut
tidaklah dapat dicapai kecuali kehidupan manusia selaras dengan dunia batinnya.
Kemudian Chapra menawarkan tiga strategi solusi bagi permasalahan-
permasalahan ekonomi yang dialami negaranegara muslim. Antara lain: 1)
mekanisme filter terhadap kepentingan penggunaan sumber daya langka, sehingga
tercipta efisiensi. 2) sistem motivasi penggunaan agar sesuai dengan mekanisme
filter.3) rekonstruksi sosio-ekonomi yang akan menegakkan kedua elemen
sebelumnya dan mengaktualisasikan hayatan thayyibatan.
Monzer Kahf dalam bukunya Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap fungsi
Sistem Ekonomi Islam, memberikan gambaran mengenai uang dan otoritas moneter.
Dimana uang sebagai media barter yang disahkan oleh Nabi SAW sebagai satuan
moneter yang menjembatani transaksi-transaksi agar menjadi seimbang dan adil.
Uang diposisikan hanya sebagai alat tukar dan tidak bisa memainkan peran sebagai
barang yang layak diperjual-belikan. Kuantitas uang memberikan pengaruh langsung
terhadap berbagai transaksi lainnya (Kahf, 1995).
Sejalan dengan apa yang dinyatakan Kahf, Chapra mengajukan mekanisme
kebijakan moneter yang terdiri dari enam elemen:
1. Target pertumbuhan dalam M dan Mo
M yang dimaksudkan di sini adalah peredaran uang yang diinginkan.
Sedangkan Mo adalah uang berdaya tinggi, atau mata uang dalam sirkulasi
plus deposito pada bank sentral, sehingga pertumbuhan M dan Mo haruslah
diatur dan disesuaikan dengan sasaran ekonomi nasional, yang harus
berorientasi kepada kesejahteraan sosial.
2. Saham publik terhadap deposito unjuk (uang giral)
Sebagian dari uang giral pada bank komersial, guna melakukan pembiayaan
terhadap proyek-proyek yang bermanfaat secara sosial dan tidak
menggunakan prinsip bagi hasil. Tujuannya untuk memobilisasikan sumber
daya masyarakat yang menganggur untuk kemaslahatan sosial
3. Cadangan Wajib Resmi
Bank-bank komersial diwajibkan untuk menahan suatu proporsi tertentu dari
deposito unjuk mereka dan disimpan di bank sentral sebagai cadangan wajib
4. Pembatas Kredit
Pembatasan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa penciptaan kredit total
adalah konsisten dengan target-target moneter. Sebab kucuran dana kepada
perbankan tidak mungkin menemui angka yang akurat terutama di pasar uang
yang masih kurang berkembang.
5. Alokasi Kredit Yang Berorientasi Pada Nilai
Alokasi ini harus ditujukan untuk realisasi maslahat sosial secara umum.
Yaitu harus merealisasikan sasaransasaran masyarakat Islam dan
memaksimalkan keuntungan privat. Maka haruslah dijamin bahwa alokasi
tersebut akan menimbulkan produksi dan distribusi yang optimal bagi barang
dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Serta manfaatnya dapat dirasakan
oleh sejumlah besar kalangan bisnis dalam masyarakat.
6. Teknik Yang Lain
Chapra sekali lagi menekankan pentingnya moral sebagai kunci dari semua
teknik yang telah diajukan sebelumnya. Hubungan yang baik antara bank
sentral dan bank-bank komersial akan mempermudah proses pencapaian
tujuan yang diinginkan.
b. Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah
Chapra menyatakan bahwa dalam suatu sistem keuangan Islam, adanya bank
syariah sebagai instrumen pendukung adalah suatu keniscayaan. Bank syariah dengan
sistem, Corporate Governance dan manajemen yang baik, akan memperkuat
pergerakan keuangan Islam, meminimalisir kegagalan dan diharapkan mampu
mewujudkan keadilan sosio-ekonomi dengan pelarangan bunga. Sedangkan untuk
melakukan standardisasi produk dan jasa, bank syariah hendaknya mengadakan
forum diskusi antara ulama fikih, sebagaimana yang dilaksanakan oleh IDB dengan
membuat lembaga diskusi yang disebut Council of Islamic Bank (M Umer Chapra,
Khan, 2008).
Peran Coorporate Governance yang efektif akan mampu menunjang posisi
perbankan syariah untuk menjadi lebih kuat, perluasan dan menunjukkan kinerja yang
lebih efektif. Sebab lembaga keuangan Islam haruslah dapat memenuhi kepentingan
stakeholder(pemegang saham) dengan penerapan kinerja yang efektif. Sedangkan
stakeholder dalam lembaga keuangan Islam adalah Islam itu sendiri sehingga apabila
bank tidak mampu menunjukkan kinerja yang baik maka sistem Islamlah yang akan
disalahkan dan dianggap buruk. Di lain pihak, ketika deposan yang menggunakan
sistem Islam sebagai Profit-Loss Sharing, maka kepentingan para pemegang saham
tetap harus dilindungi dan dijaga. Maka diungkapkanlah beberapa cara untuk
melindungi kepentingan stakeholder, diantaranya adalah disiplin pasar, nilai-nilai
sosial dan masyarakat, peraturan dan pengawasan yang efektif integritas sistem
peradilan, struktur kepemilikan yang baik, dan I‟tikad secara politik.
Di samping itu, perlu digunakan beberapa unsur untuk mendukung perkembangan
perbankan syariah. Diantaranya adalah pembangunan lingkungan dengan
memperkuat disiplin pasar dalam sektor keuangan, integritas moral bagi para pelaku
perekonomian serta dukungan lingkungan sosio-politik melalui pengawasan hukum.
Dalam tahap ini, Chapra menekankan peran moral para pelaku pasar. Sebab tanpa
adanya komitemn moral, segala cara akan dapat dilegalkan untuk melanggar hukum
tanpa terdeteksi maupun mendapatkan tuntutan.
Adanya institusi pendukung berupa lembaga rating kredit yang menyediakan
informasi mengenai rating kredit nasabah, akan memungkinkan bank syariah untuk
menuju model pembiayaan yang lebih beresiko, yaitu mudharabah dan musyarakah.
Lembaga ini pun akan membantu meningkatkan penegakan disiplin pasar. Selain itu,
bank syariah harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memiliki tugas
untuk memastikan kesesuain transaksi yang dilakukan bank dengan prinsip syariah.
Untuk menjawab permasalahan bank-bank kecil tentang biaya pembentukan DPS
yang relatif mahal, Chapra mengusulkan dewan pengawas syariah di bank sentral
yang mengawasi segala operasional bank sehingga bank-bank lain dapat menikmati
fasilitas ini.
Umer Chapra tidak hanya mengabdikan dirinya dalam keilmuan semata, tetapi ia
juga terlibat aktif sebagai praktisi. Pengalaman profesionalnya yang kaya dihimpun
dari berbagai aktivitasnya di berbagai negara seperti India, Pakistan, Amerika Serikat,
dan Arab Saudi. Berbagai jabatan penting telah diampunya pada organisasi Islamic
Research and Training Institute (IRTI), Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA),
dan juga berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh IMF,
IBRD, OPEC, IDB, dan OIC.
Pengakuan atas keilmuannya juga datang dari berbagai negara. Pada Tahun 1990,
atas kontribusinya mengembangkan ekonomi Islam, Umer Chapra mendapat
penghargaan dari Arab Saudi: King Faisal International Prize (KFIP), dan Islamic
Development Bank (IDB). Lima tahun kemudian, Umer Chapra juga mendapat
penghargaan dari Islamic Overseas Pakistan (IOP).
Umer Chapra sebagai seorang pemikir kontemporer memberikan kontribusi dalam
bentuk ide-ide yang memungkinkan ekonomi Islam itu masuk dalam wilayah
operasional. Dengan latar belakang keilmuan yang kuat dalam dunia moneter, konsep
perbankan, pasar modal, bank sentral, Chapra mengajukan berbagai gagasan segar
yang menjadikan pemikiran ekonomi Islam menjadi sebuah konsep yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur. Bentuk pemikiran Chapra dapat ditelusuri dari
berbagai karyanya, yaitu : Towards a Just Monetary System, Islam and The Economic
Challenge, The Future of Economics, Islam and the International Debt Problem, The
Role of Islamic Banks in Non-Muslims Countries, The Need for a New Economic
System, dan The Prohibition of Riba in Islam: an Evaluation of Some Objection.
Dari karya-karya tersebut, pemikiran ekonomi Umer Chapra berlandaskan kepada
tiga konsep dasar yang mencakup: Tauhid, Khalifah, dan Keadilan. Tauhid
membentuk worldview seorang muslim karena tauhid memberikan kesadaran bahwa
Allah Swt. adalah penguasa dan pemilik jagat raya dan satu-satunya Tuhan yang
disembah. Worldview ini akan memberi pengaruh dalam menginterprestasikan
masalah-masalah pokok dalam ilmu ekonomi yang terbagi dalam pertanyaan-
pertanyaan utama terkait apa, bagaimana, dan siapa yang menjadi pokok bahasan
dalam kajian ekonomi. Untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut, Umer Chapra
menurunkan konsep tauhid ke dalam konsep lanjutannya tentang khilafah dan
keadilan. Kedua konsep ini memberi panduan dalam hubungan antara manusia dalam
melakukan aktivitas ekonomi.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi bertindak sebagai wakil Tuhan dibekali
dengan sumber daya materi-materi dan juga petunjuk spiritual yang menjadi panduan
dalam menjalankan misinya di dunia. Panduan ini menjadi sangat penting karena
manusia diberikan kebebasan berpikir dan memiliki kehendak bebas untuk memilih
jalan yang ingin ditempuhnya: panduan ini akan menjadi pembatas dan pengingat
agar tidak menempuh jalan yang menyalahi sehingga tugas dia sebagai wakil Tuhan
dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Dalam operasionalnya, Umer Chapra membagi konsep khilafah ini menjadi empat
pokok utama, yaitu: Persaudaraan universal (universal brotherhood), Sumber daya
sebagai amanat (resources are trust), Gaya hidup sederhana (humble lifestyle), dan
Kebebasan manusia (human freedom). Persaudaraan universal membangun
kesadaran bersama bahwa setiap manusia harus diperlakukan sama dan tidak
memberikan ruang atas berbagai sikap dan perlakuan diskriminatif karena perbedaan
latar belakang suku, pendidikan, bangsa, dan lainlain. Harta yang dimiliki mesti
diperoleh dari usaha yang halal dan dibelanjakan sesuai dengan ketentuan.
Pengelolaan harta bersifat khas karena pertanggung jawabannya kelak meliputi
perolehan dan pembelanjaan.
Harta hanya bersifat titipan dan Allah Swt pemilik sejati, oleh karena itu harta
hendaknya menjadi sarana untuk memperoleh kemenangan. Gaya hidup sederhana
dianjurkan dengan senantiasa menghindari perbuatan berlebih-lebihan dan tindakan
mubazir. Etika Islam sangat memperhatikan kepatutan dalam bertindak selaras
dengan nilai-nilai moral selaku wakil Tuhan di muka bumi. Selain itu, prinsip-prinsip
dasar dari fungsi kekhalifahan memberikan kepada manusia pilihan dalam menempuh
dan mewujudkan mimpinya. Pilihan ini seyogianya menimbulkan etos kerja yang
kuat dalam mewujudkan kebaikan individu dan kesejahteraan pada masyarakat luas,
sehingga tidak memberikan tempat bagi kemalasan dan sikap ceroboh yang timbul
dari ketidakmampuan merespons secara positif atas pilihan-pilihan yang terhampar.
Dalam menjalankan misinya, Umer Chapra mengulas paradigma sebagai konsep
yang menuntun dan memayungi khususnya dalam membangun ekonomi Islam. Di
bawah ini terdapat enam prinsipnya, yaitu:
1. Rational economic man, penggunaan sumber daya untuk menyejahterakan dirinya
(individu) dan juga masyarakat sehingga tercapai keharmonisan baik material
maupun spiritual bagi pribadi maupun sosial.
2. Positivisme, tidak mempertimbangkan nilai moral sebagai alat untuk memfilter
dalam alokasi dan distribusi sumber daya.
3. Keadilan, menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Lawan keadilan ini adalah
kezaliman. Suatu negara bisa tegak dan berlangsung lama bila terpenuhi prinsip-
prinsip keadilan.
4. Pareto optimum, menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efisien.
Efisiensi optimum tercapai bila seluruh potensi sumber daya materi dan sumber
daya manusia dapat menghadirkan kepuasan.
5. Efisiensi, melakukan sesuatu dengan hasil terbaik (itqan)
6. Intervensi negara, negara berhak mengatur perekonomian agar terpenuhi
kehidupan layak bagi semua warga negara.
c. Peran Negara
Negara memainkan peran yang sangat penting dengan tugas utama memastikan
segala tindakan ketidakadilan harus ditindak, dan mendorong dan mewujudkan
kesejahteraan secara luas. Dalam Islam sesuai dengan pemikiran Mawardi, negara
mesti hadir dan bertindak aktif untuk menjamin kemashlahatan dan negara memiliki
otoritas berupa kontrol atas pemasukan dan pendapatan negara. Oleh sebab itu,
dengan kekuatan yang dimiliki negara, pemerintah yang baik dengan segala
kesungguhan mesti menempatkan kepentingan rakyat untuk kesejahteraan, dan bukan
untuk kepentingan segelintir kelompok tertentu yang menikmati fasilitas negara dan
mengabaikan rakyat banyak.
Fungsi negara dalam merumuskan dan mewujudkan kebijakan ekonomi meliputi
(Al-Arif, 2014):
1. Pemberantasan kemiskinan
2. Penyediaan lapangan kerja yang menampung seluruh potensi produktifnya
(full employment)
3. Penjagaan nilai mata uang, di mana pemerintah mengawasi terhadap berbagai
tindakan spekulatif yang memicu pada krisis moneter
4. Penegakan hukum dan ketertiban
5. Keadilan sosial dan ekonomi
6. Pengaturan jaminan sosial dan distribusi pendapatan
7. Harmonisasi hubungan internasional, dan mempertahankan keamanan Negara
Dalam mewujudkan keadilan ekonomi, Chapra memberi perhatian yang dalam
pada Islamic social finance, yaitu zakat. Zakat sebagai sumber dana dapat disalurkan
untuk mengurangi kesenjangan ekonomi sehingga tercipta masyarakat yang kuat
secara finansial. Zakat memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar, pada tingkatan
yang lebih jauh, zakat hendaknya juga dapat digulirkan untuk menjangkau
sasaranyang lebih tinggi yang melahirkan usahawan-usahawan baru melalui
pemberian dana bebas bunga, dan bantuan manajemen usaha. Selain zakat, sarana lain
yang disarankan oleh Chapra adalah pemungutan pajak. Zakat menjadi sumber
pendanaan untuk mencapai tujuan kemashlahatan besar, dan dalam pemungutan dan
pengeluarannya harus mengikuti aturan yang ketat. Berikut beberapa hal yang
menjadi pertimbangan dalam melakukan pungutan pajak:
1. Pungutan pajak ditujukan untuk pewujudan maqâshid Syari‟at
2. Besaran pajak tidak membedaulah orang yang dipungut pajak
3. Pajak yang sudah dihimpun dikeluarkan secara ketat pada pos-pos yang sesuai
peruntukannya.
3. Biografi Muhammad Nejatullah Shiddiqi
Menghubungkan ilmu fikih dengan ilmu ekonomi modern menjadi konsentrasi
pemikiran M.N. Shiddiqi. Latar belakang pendidikannya yang sarat dengan disiplin ilmu
ekonomi modern mewarnai corak pemikirannya. Ia lahir pada tanggal 21 Agustus 1931
M dan dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat di Gorakhpur India, Ia juga
memiliki fondasi keilmuan Islam yang kokoh sehingga bisa menerjemahkan dan
mengimplementasikan ekonomi Islam dalam dunia nyata.
Siddiqi adalah sarjana lulusan Aligarh Muslim University, dan sekaligus menuntut
ilmu pada Madrasatul Islah, Saraimir, Azamgargh. Pengalaman profesionalnya diperoleh
dari pengabdiannya pada lembaga Islamic Research and Training Institute, Islamic
Development Bank, Center for Near Eastern Studies di University of California. Atas
prestasinya, Siddiqi mendapat beberapa penghargaan bertaraf internasional dari King
Faisal International Prize untuk kategori studi Islam, tidak hanya itu, Siddiqi juga
membuktikan dirinya sebagai kontributor andal dalam bidang pendidikan yang
memperoleh penghargaan Shah Waliyullah Award di New Delhi (2003), Prolific Writer
InUrdu untuk kategori adab Islam (1960), Muslim Personal Law (1971), Islamic
Movement in Modern Times (1995).
Corak pemikiran Siddiqi dapat dilihat pada publikasi karyakaryanya yang tersebar
luas, yaitu: Recent Theories of Profit, A Critical Examination (1971), Muslim Personal
Law (1972), Some Aspects of Islamic Economy (1972), Economic Enterprise in
Islam,(1972), Contemporary and Literature in Islamic Economics (1972), Muslim
Economic Thinking (1981), Issues in Islamic Banking (1983), Banking Without Interest
(1983), Partnership and Profit Sharing in Islamic Law (1985), Insurance in an Islamic
economy (1985), Teaching Economics in Islamic Perspective (1996), Role of State in
Islamic Economy (1996), Economics, an Islamic Aprroach (2001), Dialogue in Islamic
Economics (2002), Riba, Bank Interest and the Rationale of its Prohibition (2004), dan
Islamic Banking and Finance in Theory and Practice : A Survey of the Art (2006)(Havis
Aravik, 2017).
Dari karya-karya tersebut di atas, Siddiqi membangun pemikiran ekonominya dengan
berusaha mencari persinggungan antara aturan Syari‟at dengan ilmu ekonomi, di mana
ilmu ekonomi ini adalah bagian dari disiplin ilmu yang telah dikuasainya. Bentuk
pemikirannya digolongkan dalam aliran ekonomi mainstream. Secara garis besar,
bangunan pemikirannya dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar tauhid, khilafah, ibadah,
dan takaful. Dari landasan ini, Siddiqi menjabarkan pemikirannya dengan menempatkan
bahwa Islam adalah the comprehensive way of life. Ajaran bersifat menyeluruh dan
menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Karena sifatnya yang lengkap dan luas ini,
pemberlakuan ajaran-ajaran Islam tidak hanya untuk kelompok geografis tertentu, tetapi
ditujukan buat seluruh manusia untuk mencapai tujuan hidup yang sempurna. Oleh
karena itu, ilmu ekonomi Islam memberikan panduan yang dapat diterapkan oleh
siapapun karena sifatnya yang universal.
Kemudian, Shiddiqi merumuskan bahwa ekonomi Islam yang paripurna ini memiliki
tujuan yang khas, yakni (Fauzia, Ika Yunia dan Riyadi, 2014):
Memenuhi kehidupan seseorang secara sederhana
1. Memenuhi kebutuhan keluarga
2. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
3. Menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
4. Memberikan sumbangan dan bantuan sosial di jalan Allah SWT
a. Pemikiran Ekonomi Muhammad Nejatullah Shiddiqi
Tujuan di atas memperlihatkan bahwa konsep ekonomi Islam mencakup
kebutuhan pribadi dan juga kepedulian terhadap masyarakat dalam bentuk
kepekaan terhadap kondisi sosial. Untuk mencapai hal tersebut, lebih lanjut
Siddiqi menawarkan kerangka institusionalnya berupa (Muhammad Nejatullah
Shiddiqi, 1996).
1. Allah Swt merupakan pemilik mutlak atas kekayaan (harta). Meskipun
demikian, manusia diperkenankan untuk mendapatkan kepemilikan pribadi
sepanjang dalam batasan aturan Syarī‟at dan memenuhi kewajiban kepada
sesama.
2. Manusia diberikan untuk melakukan berbagai kreasi dengan batas tidak
mengganggu kepentingan yang lain dan seluruh bentuk kompetisi mestilah
dalam ruang persaingan yang sehat.
3. Usaha bersama (joint ventura) hendaklah menjadi bentuk kerja sama dengan
menerapkan sistem bagi hasil dan menanggung kerugian secara bersama-
sama.
4. Konsultasi dan Musyawarah menjadi landasan dalam mengambil keputusan.
5. Guna mencapai tujuan Islam, negara memiliki peran mengatur individu untuk
menyelaraskan hidupnya sesuai dengan ajaran Islam
Muhammad Najetullah Siddiqi sebagai salah seorang tokoh ekonom Islam di
masa kontemporer dalam memaknai dan memahami ekonomi Islam dapat dilihat
dari corak pemikirannya berikut ini (Rizal Darwis, 2022):
1. Konsep Keberhasilan
Islam selalu sejalan dengan kemajuan di bidang ekonomi dengan konsep
keberhasilannya yang berkaitan dengan nilai-nilai moral. Hal ini tergambar
dari pernyataan Shiddiqi bahwa: “Keberhasilan terletak dalam kebaikan.
Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-
pembakuan moral, dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia semakin
berhasil…. Selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan pada setiap
langkah, individu Muslim berusaha berbuat selaras dengan nilai-nilai
moral”(Chamid, 2010).
Bersikap positif dalam menjalani kehidupan dan menilai orang lain
merupakan salah satu bentuk kebaikan dalam Islam. Meninggalkan kehidupan
dan pergaulan dengan masyarakat, serta melakukan negatifisme adalah hal
yang paling buruk yang dilakukan seseorang. Selama 6 abad yang lampau,
para sufi yang hidup dalam masyarakat Muslim dan orang-orang Nonmuslim
dalam kalangan Kristiani menyorot Islam melalui kacamata prakonsepsi
Kristen selama perjalanan kehidupannya (Chamid, 2010). Shiddiqi
mengemukakan pandangannya bahwa: “Manusia dilahirkan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terhitung; berusaha memenuhinya dengan
wajar. Semakin baik kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi, semakin baik pulalah
dia. Kehidupan yang dipersiapkan secara baik menjamin kedamaian jiwa,
kepuasan dan rasa aman. Dan kondisi jiwa semacam itulah yang menopang
terbinanya suasana yang sehat, bermoral dan bercorak spritual. Tidak satu
kemajuan material dan pembangunan ekonomi yang dalam dirinya sendiri
bertentangan dengan kemajuan moral dan spritual. Betapa pun juga semua
kemajuan semacam itu, bila diperoleh dengan cara yang baik dan
dipertahankan, merupakan sumbangan terhadap moralitas yang sehat dan
spiritualitas yang benar”
Ajaran Islam mengenal adanya tujuan dari pada adanya penetapan hukum,
yaitu maqashid alsyariah. Maqashid al-syariah adalah sebuah konsep penting
dalam pengkajian hukum Islam. Para pakar teori Hukum Islam menyebutkan
maqashid al-syariah ini penting menjadi sesuatu yang seharusnya dipahami
oleh mujtahid yang melaksanakan ijtihad. Teori maqashid al-syariah pada
prinsipnya menciptakan kemaslahatan (kebaikan) sekaligus menghindarkan
mafsadat (keburukan) (Ghofar Shidiq, 2009).
Salah satu maqashid al-syariah itu adalah menjaga atau memelihara harta
(hifz al-mal). Islam percaya bahwa Allah swt. yang memiliki kesemua harta di
dunia ini, dan manusia hanya memiliki hak untuk menggunakannya. Islam
juga mengakui adanya hak-hak pribadi seseorang. Namun terkadang manusia
sangat rakus akan harta benda, sehingga mereka ingin memperolehnya dengan
cara apa pun. Olehnya itu, Islam mengatur bahwa seharusnya tidak ada
konflik antara satu dengan yang lain. Islam melalui syariatnya mengatur
mengenai bermuamalah, seperti jual beli, sewa, gadai, dan lain sebagainya.
Selain itu melarang perbuatan menipu, transaksi riba dan jika terjadi
pengrusakan barang milik orang lain, maka bertanggungjawab untuk
mengganti atau membayarnya, termasuk properti yang dirusak oleh anak-anak
dalam perwalian, bahkan jika hewan peliharaan merusaknya, maka harus
dipertanggung jawabkan.
2. Paradigma Al-quran dan Asumsi Dasar
Persoalan ekonomi Islam telah disinggung dalam Alquran dengan
berbagai paradigma dan ini bukan karena persoalan ekonomi Barat. Untuk
menikmati kehidupan ini, maka alam disediakan untuk menjamin keseluruhan
umat manusia di dunia. Manusia harus mewujudkannya melalui upaya yang
ada jaminan kebebasan untuk memiliki dan mencoba. Namun, keadilan harus
dijamin, jika perlu melalui hukum. Kerjasama dan kebajikan harus menjadi
norma dalam kehidupan ekonomi, bukan keegoisan atau keserakahan.
Shiddiqi menjadikan paradigma Alquran sebagai asumsi dasar dalam
sistem ekonomi yang dijalankan manusia. Pandangan ekonomi neoklasik,
manusia ekonomi rasional (rational economic man) tidak hanya imajiner,
tetapi juga tidak diinginkan. Oleh karena itu, hukum perilaku manusia
perspektif manusia ekonomi rasional tidak dapat bersifat universal. Hukum
semacam itu tergantung pada pihak-pihak yang menggunakannya, bagaimana
penilaian, waktu dan ruang mereka. Manusia yang paling cocok adalah
manusia Muslim (Islamic man) yang memiliki sifat perhatian terhadap orang
lain (individu altruistik). Di sini Siddiqi berpendapat Islam memberi
penekanan kuat untuk berperilaku tolong-menolong (QS al-Ma‟idah/5: 2).
Berdasarkan prinsip, seorang Muslim haruslah memiliki jiwa kepedulian
terhadap kesejahteraan orang lain, dalam artian jangan hanya mementingkan
diri pribadi. Kerjasama dan kebajikan adalah sesuatu yang sama-sama
ditingkatkan (Muhammad Nejatullah Shiddiqi, 1995)
3. Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam
Perubahan perilaku yang diantisipasi, perubahan tata nilai dan tujuan yang
diharapkan, kewajiban untuk mengimplementasikan perintah yang jelas dari
Alquran dan Sunnah, demikian pula struktur sistem Islam, akan menciptakan
suatu kerangka institusional ekonomi Islam yang unik dan berbeda. Itu semua
diterangkan oleh Shiddiqi sebagai berikut: “Untuk menciptakan kerangka
kelembagaan ekonomi Islam yang unik dan berbeda, maka perlu
mengantisipasi beberapa perubahan, antara lain perubahan perilaku,
perubahan tata nilai dan tujuan yang hendak dicapai, kewajiban untuk
menerapkan instruksi yang jelas dari Alquran dan Sunnah, serta struktur
sistem Islam”. Inilah yang menjadi kerangka pemikiran dari Shiddiqi.
b. Implementasi Zakat dan Penghapusan Riba Menurut Muhammad
Nejatullah Shiddiqi
Persoalan zakat dan riba menjadi topik gagasan pemikiran dari Shiddiqi.
Menurutnya, sistem ekonomi Islam memiliki ciri utama terkait dua persoalan
tersebut, yaitu implementasi zakat dan penghapusan praktik riba. Kedua persoalan
ini sangat jelas (eksplisit) disebutkan dalam Alquran dan hadis Nabi saw.
Mekanisme mengeluarkan zakat, baik itu jenis harta yang dikeluarkan dan batas
tarif pemungutannya telah ada ketetapannya (Muhammad Nejatullah Shiddiqi,
1983). Zakat ini berbeda dengan pajak, karena zakat kaitannya dengan perintah
agama, sedangkan pajak kaitannya dengan pemerintah (ulil amri). Pajak boleh
saja dipungut oleh negara jika diperlukan untuk menunjang penerimaan zakat.
Persoalan zakat dalam Alquran disebutkan sebanyak 32 kali dengan
penggunaan kata zakat, dan berulang sebanyak 82 kali dengan penggunaan kata
yang sinonim, seperti sedekah dan infak. Ini menandakan bahwa persoalan zakat
memiliki fungsi, kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan.
Dalam Alquran, kata zakat digandengkan dengan perintah shalat, di mana
sebanyak 29 kata dari 32 kali tersebut (Abdurrachman Qadir, 1998). Ini berarti
ibadah shalat dan zakat memiliki keterkaitan yang erat, di mana bukan hanya
ibadah ritual kepada Allah swt. semata, namun ibadah sosial kepada masyarakat
perlu dilakukan. Inilah yang dimaknai habluminallah wa habluminannas.
Jika mencermati aspek yang dikandung dalam pengeluaran zakat, maka
terkandung aspek moral, sosial dan ekonomi. Pada aspek moral, zakat
mengajarkan sifat kedermawanan dengan mengikis sifat ketamakan dan
keserakahan dari kelompok orang kaya; pada aspek sosial, zakat menjadi salah
satu cara menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat melalui tanggung jawab
sosial dari kelompok orang kaya; pada aspek ekonomi, zakat mencegah terjadinya
monopoli kekayaan oleh pihak tertentu saja, juga zakat menjadi kas negara yang
wajib dikeluarkan oleh umat Muslim.
Shiddiqi berpendapat zakat yang merupakan salah satu rukun Islam adalah
suatu langkah strategis, namun di kalangan umat Islam bahkan Sebagian ulama
masih memahami secara keliru terkait zakat. Persoalan kekeliruan ini akibat
adanya pembahasan dalam kitab-kitab fikih zakat yang lebih mengemukakan
segi-segi perbedaan pendapat dari fuqaha, padahal di masa kontemporer ini
persoalan yang penting adalah mencermati jenis kekayaan yang potensial untik
dikeluarkan wajib zakatnya, hasil dari pekerjaan jasa dan komoditas-komoditas
yang memiliki nilai ekonomis.
Selanjutnya terkait persoalan bunga, Shiddiqi berpandangan bunga adalah
riba, sehingga harus dilenyapkan. Untuk memberantas riba, maka perlu diganti
dengan sistem bagi laba dan rugi. Konsep itulah yang disebut mudharabah.
Anggapan Shiddiqi bahwa tidak ada alasan yang perlu diungkapkan oleh pihak
bank jika dalam pengelolaan perbankan tetap menggunakan sistem bunga
(Elpinadela, 2014). Nampak bahwa Shiddiqi adalah seorang kritikus yang konsen
dalam mencermati sistem pengelolaan bank-bank syariah, di mana bank-bank
syariah perlu meningkatkan kegiatan mudharabah dibandingkan kegiatan
murabahah (mark-up).
Jika mencermati pemaknaan mudharabah menurut fukaha adalah akad antara
dua orang yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya
kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan. Di sisi lain, mudharabah menurut Hanafiyah adalah memandang
tujuan dua pihak yang berakad dan berserikat dalam keuntungan atau laba
dikarenakan harta diserahkan kepada yang lain memiliki jasa mengelolanya
(Suhendi, 2016). Sedangkan murabahah adalah penjual dalam hal ini adalah bank
memberitahukan harga poduk yang dibeli dan menentukan tingkat keuntungan
sebagai tambahannya (Rianto, 2012).
Siddiqi berpendapat bahwa praktik mudharabah dan murabahah secara legal
dapat diterima, namun secara ekonomis tidak sama produktifitasnya dalam hal
penciptaan lapangan kerja dan dari semangat kegiatan perekonomian. Bank-bank
menggunakan praktik tersebut demi kelangsungan hidup ekonomis dan
penggunaan dana yang dipinjamkan, padahal bank menurut sistem ekonomi Islam
haruslah memperhatikan fungsinya, yaitu bukan hanya sebagai lembaga perantara,
namun juga sebagai agen ekonomi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan
ekonomi secara langsung (Elpinadela, 2014).
c. Peran Negara
Adapun negara, sebagaimana ditunjukkan pada kerangka di atas, hadir dalam
aktivitas ekonomi. Kendati Islam menghormati mekanisme pasar, Negara
bersikap awas atas ketimpangan mekanisme pasar sehingga berpotensi
menyebabkan ketidakadilan. Konsep pengawasan ini sudah dibentuk sejak Islam
menugaskan al-hisbah untuk melakukan monitoring dan mengambil tindakan atas
perilaku mengurangi timbangan, menimbun barang, dan melakukan pemalsuan.
Dalam konteks kehidupan sosial, setiap keberhasilan dalam kepemilikan harta
dengan berbagai aktivitas ekonomi, ketika mencapai takaran tertentu, terselip di
dalamnya hak orang lain yang dikenal dengan zakat. Shiddiqi memandang bahwa
konsep zakat ini adalah konsep unik yang ada dalam Islam yang memiliki
mekanisme distribusi kekayaan. Setiap perolehan harta selalu melibatkan
golongan-golongan lemah yang membantu seseorang mengumpulkan harta. Oleh
sebab itu, distribusi kekayaan melalui mekanisme zakat adalah bentuk rasa terima
kasih kepada orang-orang yang kurang beruntung. Sebagai konsekuensi logis atas
berjalannya zakat, maka kesenjangan antara kaya dan miskin tidak terlalu curam.
Kerusakan sebuah masyarakat adalah ketika sendisendi kehidupan terganggu
akibat beredarnya harta hanya dalam kalangan tertentu sehingga kemiskinan dan
kriminalitas merajalela.
d. Takaful (Islamic Insurance)
Salah satu pemikiran M.N. Shiddiqi yang menonjol dan memiliki kontribusi
yaitu tentang bagaimana membangun takaful atau asuransi Islam. Takaful ini
adalah produk baru yang lahir akibat penolakan terhadap asuransi konvensional
yang dalam operasionalnya melakukan praktik riba, maysir, dan gharar. Takaful
Islam berlandaskan sifat tolong menolong di mana peserta takaful saling
menjamin dalam menghadapi risiko: berbeda dengan asuransi konvensional,
operator takaful sama sekali tidak menjamin peserta (Isra, 2015). Hadirnya takaful
menjawab berbagai permasalahan yang memerlukan bantuan santunan seperti:
kecelakaan, kematian, bencana alam, pengangguran, yang semuanya itu
membutuhkan bantuan finansial. Mengingat bantuan ini krusial maka bantuan
yang bersifat sukarela tidak memberikan kepastian sehingga perlu dibentuk
takaful untuk menanggulangi masalah ini secara profesional. Oleh karena itu,
takaful merupakan instrumen keuangan Syari‟at yang sangat dibutuhkan untuk
menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat. Dari karakteristik ini terlihat,
takaful memasukkan nilai-nilai keadilan, kerja sama, dan saling menolong. Dalam
praktiknya takaful dapat dikelola negara untuk kategori risiko kehilangan nyawa,
dan kehilangan anggota badan. Bila berhubungan dengan dunia kerja, maka
takaful ini menjadi bagian tanggung jawab perusahaan.
Kesimpulan
Konsep pemikiran ekonomi Islam Syed Nawab Haidar Naqvi dapat dikelompokkan dalam
tiga tema besar yang mencakup: (1) Ilmu ekonomi adalah subjek yang hendak mewujudkan
keadilan pada prinsip ilahiah yang dikenal dengan “adl wa al-ihsan”. (2) Komitmen
keberpihakan kepada kaum miskin dan lemah. (3) Peran negara dalam aktivitas ekonomi
meliputi fungsi regulator dan juga sebagai partisipan aktif. Etika dalam Islam bersifat sangat
krusial dan nilai-nilainya merupakan pemahaman dari nilai tauhid.
Tiga konsep dasar yang menjadi dasar pemikiran ekonomi Chapra adalah: tauhid, khilafah,
dan keadilan, dan dalam operasionalnya, konsep khilafah ini dibagi menjadi empat pokok utama,
yaitu: persaudaraan universal (universal brotherhood), sumber daya sebagai amanat (resources
are trust), gaya hidup sederhana (humble lifestyle), dan kebebasan manusia (human freedom).
Intervensi negara diperkenankan untuk memastikan berlangsungnya aktivitas ekonomi yang adil
dan tidak terdapat praktik kezaliman.
Shiddiqi sebagai pemikir Islam kontemporer meletakkan bangunan pemikirannya pada
tauhid, khilafah, ibadah, dan takaful. Dalam pelaksanaannya, Siddiqi berusaha menggabungkan
nilai-nilai Islam dengan ilmu ekonomi untuk mendapatkan sintesis pemikiran ekonomi.
Perpaduan konsep ini dilakukan dengan memasukkan perspektif Islam berupa asumsi, norma,
perilaku, dan tujuan sehingga melahirkan langkah-langkah operasional yang sejalan dengan
aturan Syari‟at. Selain itu, Siddiqi juga sangat berperan dalam mengembangkan asuransi Syari‟at
yang dikenal dengan takaful. Hadirnya takaful dengan sifat utama tolong menolong telah
memberikan ruang yang besar untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Daftar Pustaka
Abdurrachman Qadir. (1998). Zakat dalam Konteks Mahdah dan Sosial. Raja Grafindo Persada.
Ahmad Rodli Makmun, Rahardjo, M. Dawam, Rusn, A. I. (1987). Prespektif Deklarasi Makkah
Menuju Ekonomi Islam. Mizan.
Al-Arif, M. N. R. dan E. A. (2014). Mikro Ekonomi Islam; Suatu Perbandingan Ekonomi Islam
dan Ekomnomi Konvensional. Prenada Media Grup.
AN-NABAHAN, M. F. (2000). Sistem Ekonomi Islam: Pilihan setelah Kegagalan Sistem
Kapitalis dan Sosialis. UII Press.
Chamid, N. (2010). Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar.
Chapra, M Umer Penerjemah: Ikhwan Abidin Basri, M.A, M. S. (2008). Corporate Governance.
Edisi terjemahan : Lembaga Keuangan Syariah. PT Bumi Aksara.
Chapra, Umer diterjemahkan oleh, I. A. B. (2000). Islam dan Tantangan Ekonomi. Edisi
terjamahan dari Islam and The Economic Challenge. Gema Insani Pers atas kerjasama
dengan Tazkia Institute.
Chapra, M. U. (1992). Islam and The Economic Challenge. The Islamic Foundation and The
International Institute of Islamic Thought.
Chapra, M. U. (1997). Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adi. PT. Dhana Bakti Prima
Yasa.
Darwanto, & Muslimin, M. I. (2022). Studi Komparasi Pemikiran Ekonom Islam Syed Nawab
Haider Naqvi dengan Yusuf Al-Qardhawi: Pandangan Dasar, Etika Ekonomi dan Peran
Pemerintah. Al-Kharaj: Jurnal Ekonomi, Keuangan Dan Bisnis Syariah, Vol. 4, No(1),
2656–4351. https://doi.org/10.47467/alkharaj.v3i1.540
Fauzi, A. (2010). Pemikiran M. Umer Chapra tentang Instrumen Kebijakan Moneter dan
Peluang Implementasinya di Indonesia. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fauzia, Ika Yunia dan Riyadi, A. K. (2014). Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif Maqâshid
Al-Syarī’at,. Kencana Prenada Media Group.
Ghofar Shidiq. (2009). TEORI MAQASHID AL-SYARI‟AH DALAM HUKUM ISLAM.
Majalah Ilmiah Sultan Agung, 44(118), 117–130.
Hamid, M. A. (2007). ukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia: Aplikasi dan
Prospektifnya. Ghalia Indonesia.
Haneef, M. A., & Rosyidi, S. (2006). Pemikiran ekonomi Islam kontemporer: analisis
komparatif terpilih (Cet. 1). Airlangga University Press.
Havis Aravik. (2017). Sejarah pemikiran ekonomi islam kontemporer. Kencana Prenada Media
Goup.
Isra. (2015). Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi. PT Raja Grafindo Persada.
Kahf, M. (1995). Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam.
Pustaka Pelajar.
M Umer Chapra, Khan, T. (2008). Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah. PT Bumi Aksara.
Mapara, S. (1999). A Critical Examination of the Ethics and Methodology of Syed Nawab
Naqvi’s Islamic Economics. McGill University, Montreal.
Muhammad Abdul Mannan. (1997). Islamic Economics, theory and Practice. Dana Bhakti Prima
Yata.
Muhammad Nejatullah Shiddiqi. (1983). Banking Without Interest. Islamic Foundation.
Muhammad Nejatullah Shiddiqi. (1995). Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Pustaka
Firdaus.
Muhammad Nejatullah Shiddiqi. (1996). Teaching Economics in An Islamic perspective.
Scientific Publishing Center. King Abdulaziz University.
Naqvi, Syed Nawab Haider, Anam, M. Saiful, Mubin, M. U. (2003). Menggagas Ilmu Ekonomi
Islam. Pustaka Pelajar.
Naqvi, M. A. H. (2010). Pemikiran ekonomi islam kontemporer : Analisis komparatif terpilih.
Rajawali Pers.
Qardhawi, Y. (1995). Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami. Maktabah Wahbah.
Qoyum, A., Nurhalim, A., Fithriady, |, Dwi, M., Nurizal, P. |, Mohammad, I., Khalifah, H. |, Ali,
M., Ekonomi, D., Syariah, K., & Indonesia, B. (2021). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah-Bank Indonesia.
Rizal Darwis, Z. (2022). Pendekatan Pemikiran Ekonomi Islam Muhammad Nejatullah Siddiqi.
18(1), 51–68.
Syamsuri. (2016). Paradigma Pembangunan Ekonomi; Satu Analisis Tinjauan Ulang Dari
Perspektif Ekonomi Islam. ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam, 7(219–242).
https://doi.org/https://doi.org/10.32678/ijei.v7i2.42
Yusup, A. (2014). PARADIGMA KONTEMPORER EKONOMI ISLAM (Muh. Abdul Mannan
versus Syed Nawab Haedir Naqvi). Hunafa: Jurnal Studia Islamika Is an Islamic Studies,
11(2), 216–244.

Anda mungkin juga menyukai